Makalah Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak
Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak | Kekerasan Orang Tua pada Anak |Kekerasan orang tua kepada anak| Kekerasan orang tua pada anaknya.
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BATAS-BATAS
KEKERASAN ORANG TUA TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA
A. Pandangan Hukum Islam
Tentang Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak Dalam Keluarga
Keluarga merupakan tempat berkumpulnya manusia yang disatukan dalam
sebuah ikatan perkawinan yang sah. Orang tua berperan sebagai pengelola
keluarga yang berusaha untuk menjadikan rumah tangga menjadi sebuah tempat yang
nyaman bagi setiap anggota keluarganya termasuk anak-anak. Praktek kehidupan
sosial, politik dan budaya selama ini berjalan berdasarkan tatanan dan aturan
yang berlaku setengah-setengah, seringkali tidak berkaitan antara satu dengan
yang lainnya dan tidak jarang tanpa dilandasi latar belakang filosofi hidup
suatu bangsa bahkan agama.
Dalam kehidupan rumah tangga (keluarga) misalnya, ketika sebuah keyakinan
yang secara umum berkembang dalam masyarakat menghendaki bahwa suatu keluarga
hendaklah dibangun berdasarkan aturan-aturan agama. Namun pada kenyataannya
keyakinan tersebut rusak oleh pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan
dalam sebuah keluarga yang terkadang dianggap
sebagai suatu perbuatan yang sama sekali tidak melanggar hukum. Di mana
orang tua bisa bersikap dan berbuat sesuka hatinya terhadap anak-anak mereka
dengan alasan bahwa orang tua mempunyai hak dan kedudukan yang lebih tinggi
dari pada anak.
Satu hal yang harus diperhatikan oleh orang tua sebagai pemegang
kebijakan dalam sebuah keluarga adalah bahwa ada aturan-aturan yang harus
dipegang teguh oleh para orang tua dalam melaksanakan kewajibannya sebagai
pengemban amanah dari Allah, yaitu dalam melakukan pemeliharaan dan perawatan
terhadap anak. Orang tua berkewajiban melakukan pemeliharaan terhadap anak-anak
yang masih kecil (tanpa harus membedakan jenis kelamin mereka) dengan
sebaik-baiknya. Memenuhi segala kebutuhannya, menjaganya dari hal-hal yang
dapat merusak dan membahayakan keselamatan jiwanya, mendidik jasmani, rohani
serta akalnya agar anak mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan
memikul tanggung jawab.
Dengan demikian, kemaslahatan umat yang menjadi tujuan hukum Islam bisa
terwujud dengan baik, dalam hal ini adalah masa depan dan kebaikan anak-anak
sehingga mereka tumbuh menjadi manusia yang utuh dan menjadikan keluarga
sebagai tempat yang nyaman dan dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang. Di samping
itu kesejahteraan anak sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang akan
terpenuhi dan anak akan tumbuh sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu orang tua sebagai pihak yang paling bertanggung jawab
terhadap anak harus mampu memperlakukan anak-anak mereka secara tepat dan penuh
rasa tanggung jawab, tidak didasarkan pada hawa nafsu dan keinginan pribadi
yang tidak beralasan melainkan harus didasarkan pada aturan dan petunjuk al
Qur’an dan as Sunnah.
Tindak kekerasan orang tua terhadap anak pada umumnya terjadi dengan
alasan untuk kebaikan dan kemaslahatan bagi anak serta merupakan tanggung jawab
orang tua untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, dengan harapan agar anak
tidak berkembang secara liar dan selalu taat pada aturan-aturan hukum, agama,
masyarakat maupun keluarga yang kelak akan sangat berguna bagi masa depan anak.[1]
Namun pada kenyataannya muncul anggapan bahwa kekerasan yang dilakukan
oleh orang tua merupakan cara yang sangat efektif dalam mewujudkan idealisme mereka atau dalam
menghadapi dan menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan anak. Sehingga
tidak sedikit orang tua yang menggunakan cara-cara kekerasan dengan sangat
berlebihan dan tanpa memperhatikan akibat yang akan diterima oleh anak.
Keluarga merupakan kumpulan manusia yang memiliki karakter dan sifat yang
berbeda, sehingga wajar apabila terjadi kesalahpahaman dan ketegangan antar
anggota keluarganya, dalam hal ini adalah orang tua dengan anak-anaknya. Dalam
keadaan demikian, orang tua tidak diperkenankan untuk melakukan tindak
kekerasan terhadap anak (apapun alasannya) yang dapat mengancam keselamatan
jiwanya. Karena pada dasarnya, setiap persoalan memiliki cara dan proses
penyelesaiannya masing-masing. Sekalipun itu dilakukan demi kebaikan sang anak
bukan berarti orang tua harus dan selalu menggunakan cara-cara kekerasan dalam
menyelesaikan segala persoalan.
Ketika orang tua memperlakukan anak-anaknya dengan cara dan tindakan yang
mencerminkan kekerasan hingga mengalami luka baik fisik maupun mental,
sebenarnya tanpa disadari mereka telah melakukan perbuatan yang melanggar
hukum. Pelanggaran tersebut menyangkut hak dasar anak, yaitu hak untuk hidup,
hak untuk mendapatkan perlindungan dan lain sebagainya. Dengan adanya
pelanggaran tersebut maka tujuan dari hukum tidak terpenuhi dengan baik dan itu
berarti bahwa mencederai kehidupan, menimbulkan kekacauan dan melanggengkan
kekerasan.[2]
Tindak kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak dalam keluarga
dapat mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Padahal keluarga yang damai,
aman dan sejahtera merupakan tempat yang sangat ideal untuk mewujudkan
anak-anak yang berkualitas, ini tidak saja menjadi tanggung jawab orang tua
tetapi juga merupakan tanggung jawab setiap orang.
Pendidikan merupakan hak anak dan menjadi tanggung jawab orang tua. Namun
ketika cara yang digunakan tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam
al Qur’an dan as Sunnah, maka mencegah dan mengingatkan orang tua yang
melakukan perbuatan yang keluar dari aturan-aturan agama adalah merupakan
kewajiban setiap orang. Meskipun mengandung resiko yang sangat berat, yaitu
terjadinya kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Akan tetapi yang perlu
diperhatikan adalah bahwa ini dilakukan dalam rangka untuk mencegah kerusakan
yang lebih parah. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, orang tua sedapat
mungkin untuk tidak menggunakan cara-cara kekerasan, walaupun memang cara
tersebut terbukti sangat ampuh.
Di samping hak tersebut, anak juga berhak untuk hidup. Tidak dipungkiri
oleh setiap mukmin yang memahami isi dan kandungan al Qur’an dan as Sunnah,
bahwa Allah telah mensyari’atkan kepada orang tua untuk tidak membunuh
anak-anak mereka. Allah tidak mentolelir pembunuhan terhadap anak apapun
alasannya. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
Ayat ini menjelaskan bahwa kekhawatiran akan kemiskinan dapat memicu
orang tua untuk memberikan perlakuan yang salah (kekerasan bahkan sampai
membunuh) terhadap anak-anak mereka. Karena anak akan tumbuh dan berkembang
secara tidak wajar sebagai akibat dari perlakuan yang salah yang dilakukan oleh
orang tua.
Oleh karena itu, setiap orang tua berkewajiban menerima kehadiran anaknya
dengan penuh antusias dan siap memberikan perlindungan terhadap anak-anak mereka.
Oleh sebab itu perlindungan fisik dan psikis merupakan hak anak yang harus
dipenuhi oleh orang tua. Al Qur’an tidak pernah mengakui adanya diskriminasi
perlakuan terhadap anak berdasarkan jenis kelamin. Artinya adalah bahwa setiap
anak baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk mendapatkan perlakuan dan
perawatan yang layak dari orang tua mereka.[4]
Islam memang tidak menolak kekerasan, hanya saja yang perlu diperhatikan
adalah bahwa kekerasan (apalagi yang menimbulkan luka) dapat dikategorikan
sebagai perbuatan yang dapat merusak dan merugikan orang lain. Perbuatan orang
tua seperti memukul, menampar, menendang dan tindak kekerasan lainnya merupakan
perbuatan yang dapat menimbulkan luka, sehingga mengakibatkan kerusakan pada
sang anak yang menjadi korban. Tindak kekerasan apapun itu bentuknya akan
menimbulkan dampak yang negatif, baik
bagi pelaku (dalam hal ini adalah orang tua) maupun bagi sang korban (anak).
Kekerasan fisik selain akan berakibat secara psikologis juga dapat
mengakibatkan luka fisik. Sedangkan kekerasan psikilogis akan berakibat
terjadinya gangguan mental baik jangka pendek maupun jangka panjang yang pada
akhirnya pertumbuhan jiwa dan kepribadian anak akan terganggu.
Dengan demikian, segala sesuatu yang akan dilakukan dalam membina sebuah
rumah tangga (keluarga) harus mempertimbangkan baik dan buruknya. Apalah
artinya sebuah kebaikan apabila dicapai dengan cara-cara yang tidak benar
(dengan kekerasan) dan akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah dikemudian
hari sebagai akibat dari penggunaan cara yang salah. Hal ini sebagaimana
tersirat dalam kaidah
us}u>l fiqih, yaitu :
Islam dengan tegas menyatakan bahwa tindak kekerasan merupakan perbuatan
yang dapat merusak dan merugikan orang lain, sehingga Islam melarang untuk
melakukan perbuatan tersebut. Di samping itu, hukum positif dalam hal ini
adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa orang tua wajib memelihara, mendidik dan melindungi
anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya.[6]
Orang tua yang terbukti melakukan tindak kekerasan dapat dikenai sanksi
hukum baik secara pidana maupun perdata sesuai dengan tingkat kejahatan yang
dilakukannya. Dalam hukum pidana orang yang melakukan kekerasan dapat dihukum
maksimal tujuh tahun penjara, karena telah melanggar hak asasi manusia dan
merugikan kepentingan orang lain. Sedangkan secara perdata, orang tua dapat
dicabut kekuasaannya terhadap anak, karena dinilai telah melakukan kecerobohan
dan kelalaian sehingga membuat anak (yang seharusnya dipelihara dan dilindungi)
menderita. Pencabutan kekuasaan ini dilakukan sebagai pelajaran bagi para orang
tua yang suka melakukan tindak kekerasan terhadap anak dengan maksud agar sadar
dan tidak mengulangi perbuatannya.[7]
Namun demikian, pada kenyataannya masih banyak kita temukan orang tua
yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Ini disebabkan karena mereka
tidak memahami peraturan-peraturan dan norma-norma yang ada. Di samping itu
juga kurangnya sosialisasi hukum terhadap masyarakat serta lemahnya penegakkan hukum, sehingga tidak
heran apabila tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak
makin hari semakin merajalela.
Adanya anggapan yang salah bahwa tindak kekerasan bukanlah problem
kemanusiaan yang bersifat universal, melainkan persoalan domestik keluarga.
Sehingga orang lain (di luar keluarga) tidak berhak untuk ikut campur. Ini
merupakan persoalan yang sangat pelik, karena di satu pihak hal tersebut
merupakan suatu perbuatan yang membahayakan yang harus segera ditangani dan
diselesaikan, tetapi di pihak lain hal ini telah menjadi sebuah persoalan yang
tertutup bagi sebuah keluarga. Dalam kondisi yang seperti ini, tindak kekerasan
terhadap anak dalam keluarga menjadi kenyataan yang wajar dan sangat sulit
untuk disentuh oleh manusia maupun hukum.
Yang harus digarisbawahi adalah bahwa masyarakat masih bersifat
ambivalen. Artinya adalah, di satu pihak melarang tindak kekerasan terhadap
anak dalam keluarga dan dianggap sebagai perbuatan yang tidak bermoral. Tetapi
di pihak lain memberikan dukungan dan legitimasi dengan menjadikan kekerasan
sebagai salah satu solusi alternatif dalam membangun sebuah keluarga. Ini
terbukti dengan banyaknya kasus tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga
yang berawal dari penggunaan cara-cara kekerasan oleh orang tua dalam
menyelesaikan persoalan keluarga terutama yang berkaitan dengan anak, dan yang
lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa tindakan ini dilakukan dalam rangka
menjalankan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anak sebagai
pengemban amanah dari Allah swt.
B. Batas-batas Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak Dalam
Keluarga
Perbincangan mengenai masyarakat tidak bisa dilepaskan dari adanya
fenomena perubahan sosial, dan perubahan itu sendiri merupakan sebuah realitas
yang harus diterima. Namun pada kenyataannya, realitas tersebut dianggap
sebagai suatu hal yang biasa dan tidak perlu dipersoalkan lebih lanjut. Hal ini
bukan berarti bahwa kehidupan sehari-hari tanpa adanya permasalahan. Sehingga
apabila ada persoalan maka persoalan itu harus dilihat dari aspek
pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dengan demikian kita tidak akan melakukan kesalahan
yang sama, dan pada akhirnya kita akan bersikap lebih arif dan bijaksana dalam
menyikapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi.[8]
Dalam konteks perubahan sosial, tindak kekerasan yang dilakukan orang tua
terhadap anak yang berkaitan dengan pola dan tradisi dalam sebuah keluarga juga
merupakan sebuah realitas. Realitas yang dianggap begitu saja dan lumrah
terjadi sebagaimana dahulu dan pada umumnya yang terdapat dalam sebuah
keluarga. Adanya anggapan bahwa bentakan, makian, hinaan, pukulan dan tamparan
merupakan suatu kekerasan yang tidak berkonotasi negatif. Ini merupakan
pemahaman yang keliru yang kemudian dijadikan sebagai dalil ataupun alasan oleh
para orang tua yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak mereka.
Segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga
harus dilakukan dengan memperhatikan akibat (baik dan buruknya) yang akan
ditimbulkan. Sekalipun suatu kebaikan dapat dicapai dengan cepat akan tetapi
dapat berakibat lebih buruk maka harus dipertimbangkan kembali secara berulang-ulang.
Karena bagaimanapun juga kekerasan merupakan seburuk-buruk tindakan. Dengan
kata lain tindak kekerasan merupakan tindakan yang tidak bermoral.
Di samping hukum Islam dengan jelas menyatakan kekerasan sebagai tindakan
yang tidak bermoral dan melarangnya, hukum di Indonesia juga telah mendeterminasikannya
dalam sebuah undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu pada
bab X tentang hak dan kewajiban orang tua terhadap anak. Dalam Pasal 45 ayat
(1) dinyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan melindungi anak-anak
mereka dengan sebaik-baiknya.[9]
Dengan demikian orang tua wajib memperlakukan anak mereka dengan baik
dari segi apapun, baik materi, fisik maupun jiwa. Orang tua yang dengan
semena-mena terhadap anaknya hingga mengalami gangguan perkembangan dan
pertumbuhan fisik atau mental berarti dapat dikatakan melakukan kecerobohan dan
berkelakuan buruk atau tidak bermoral. Bahkan apabila tidak memenuhi segala
kebutuhan dan hak-hak mereka atau tidak menjalankan kewajibannya selaku orang tua,
maka mereka termasuk orang tua yang melalaikan kewajibannya.
Adanya pemahaman yang keliru terhadap h}adi>s|
Rasulullah yang menyatakan bahwa orang tua diperintahkan untuk memukul anak
mereka ketika mereka tidak mau melaksanakan kewajiban ibadah (shalat) yang
diperintahkan oleh Allah swt.
H}adi>s| tersebut berbunyi :
Pemahaman inilah yang menyebabkan para orang tua yang dengan penuh
kesadaran cenderung untuk melakukan kekerasan sebagai solusi dalam melaksanakan
kewajibannya dan mereka menganggap ini adalah cara yang paling efektif dalam
menyelesaikan persoalan keluarga terutama persoalan yang berkaitan dengan
masalah anak.
Sebenarnya perintah memukul yang terdapat dalam h}adi>s| tersebut di atas tidak
dimaksudkan untuk menyiksa ataupun menyakiti anak, melainkan untuk memberikan
kesan terhadap anak akan kesungguhan orang tua dalam menyuruhnya untuk
beribadah kepada Allah, dan hal tersebut merupakan reaksi dari orang tua
(sebagai manusia biasa) yang perintahnya tidak ditaati oleh anaknya.
As Syaukani> berpendapat
bahwa h}adi>s|
tersebut mengandung makna sebagai perintah wajib kepada para orang tua untuk
mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang bersuci dan shalat ketika mereka
telah mencapai usia tujuh tahun, dan perintah memukul bermakna mendidik anak
dengan memberikan hukuman apabila mereka melanggar. Hal inipun dibatasi ketika
mereka telah mencapai usia sepuluh tahun. [11]
Kekerasan sebagai bentuk hukuman atau upaya yang dilakukan orang tua
terhadap anak dalam rangka melaksanakan kewajibannya baru bisa diterapkan
ketika anak telah mencapai usia sepuluh tahun dan itupun harus dilakukan secara
wajar dan menghindarkan dari luka baik fisik maupun psikis serta tidak melampaui
batas. Hal ini sangat logis apabila kita memahaminya dari konsep periodesasi
anak (t}ufu>lah,
mumayyiz dan akil baligh), karena sebelum usia tersebut anak belum
sepenuhnya mampu untuk membedakan antara yang bermanfaat dan yang tidak bagi
dirinya. Sedangkan di atas usia tersebut walaupun dengan kemampuan akal yang
kurang sempurna anak sudah agak mampu untuk membedakan antara yang baik dan
yang buruk.
Adapun batasan-batasan yang harus diperhatikan oleh orang tua dalam
melakukan tindak kekerasan terhadap anak dalam melaksanakan kewajibannya
sebagai orang tua dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: batasan-batasan
yang bersifat fisik dan batasan yang bersifat psikis. Batasan yang bersifat
fisik antara lain: pertama, orang tua tidak diperkenankan untuk
melakukan kekerasan terhadap anak secara berlebihan. Artinya anak tidak boleh
mengalami luka, seperti luka memar, luka yang mengeluarkan darah, patah tulang,
pelukaan yang tembus daging apalagi sampai mengakibatkan anak meninggal dunia.
Hal ini jelas sangat bertentangan dengan ajaran Islam dan melanggar norma serta
nilai-nilai yang telah ditetapkan syara’. Kedua, orang tua tidak boleh
melakukan kekerasan (memukul, menampar, menendang dan lain-lain) pada bagian
anggota tubuh yang dapat membahayakan keselamatan jiwa serta dapat menghambat
pertumbuhan dan perkembangan sang anak.
Adapun bagian tubuh tersebut di antaranya adalah seperti, kepala, wajah
atau muka, dada, perut, punggung, alat kelamin, kaki, dan bagian tubuh lainnya yang dapat
membahayakan keselamatan jiwa anak. Dengan kata lain orang tua hanya
“diperbolehkan” melakukan kekerasan pada bagian tubuh yang memang tidak terlalu
membahayakan dan tidak menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, seperti,
pinggul (pantat), betis (bukan berarti tidak membahayakan, hanya saja resikonya
lebih ringan) dan itupun harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Ketiga,
dalam melakukannya orang tua harus didasarkan pada rasa tanggung jawab dan
dilandasi oleh rasa kasih sayang serta tidak didasarkan pada hawa nafsu belaka
yang akan membawa pada kesesatan dan kehancuran bagi kedua belah pihak terutama
sekali bagi anak yang dalam hal ini adalah sebagai korban.
Memang sangat sulit untuk menentukan batasan kekerasan yang bersifat
psikis, karena akibat yang ditimbulkan hanya bisa dirasakan oleh korban sendiri
dan sulit untuk dideteksi secara kasat mata. Namun demikian, yang pasti orang
tua dalam melakukan kekerasan terhadap anak jangan sampai menimbulkan luka
psikis pada anak yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Adapun
batasan tersebut antara lain, orang tua tidak boleh menghina, mencemooh,
membentak, memarahi serta mencaci-maki dengan menggunakan kata-kata kasar serta
berlebihan di mana anak akan merasa tersinggung dan sakit hati yang pada
akhirnya anak akan melakukan perbuatan yang dapat merugikan dirinya sendiri. Di
samping itu, orang tua tidak boleh menelantarkan, mendiamkan dan
mengasingkannya dari kehidupan keluarga. Dengan kata lain, ketika sang anak
merasa tidak nyaman dan terganggu ketenangannya (psikis/jiwa) akibat perlakuan
seseorang terhadap dirinya ketika itu telah terjadi kekerasan (psikis) terhadap
anak, dan sekaligus hal tersebut menjadi batasan kekerasan orang tua terhadap
anak yang bersifat psikis.
Oleh karena itu, kekerasan sebagai salah satu solusi alternatif yang
digunakan oleh para orang tua dalam melaksanakan kewajibannya tidak dengan
mudah dapat diterapkan, melainkan harus melalui pertimbangan yang matang, baik
dari segi penyebab, faktor orang tua, anak, lingkungan dan yang lebih penting
adalah akibat yang akan ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Sehingga dengan
memperhatikan semua ini maka sebetulnya tindak kekerasan dapat dihindarkan.
Dengan demikian, kekerasan bukanlah merupakan satu-satunya jalan keluar
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan keluarga terutama sekali yang berkaitan
dengan masalah anak. Tetapi kalaupun memang harus menggunakan cara-cara
kekerasan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi tidak boleh dilakukan
sampai melampaui batas-batas yang telah ditentukan apalagi sampai anak
mengalami cedera. Ini jelas melanggar hak-hak asasi manusia dan Islam tidak
menghendaki cara yang demikian. Islam menganggap tindak kekerasan seperti ini
merupakan tindakan yang sangat tidak bermoral. Sekalipun cara tersebut
digunakan demi kebaikan dan masa depan anak.
Jadi tindakan fisik merupakan alternatif terakhir yang digunakan orang
tua dalam menyelesaikan persoalan keluarga terutama yang berkaitan dengan
persoalan anak, dan inipun harus dilakukan melalui pertimbangan dan pemikiran
yang matang serta dengan cara-cara yang wajar dan tidak berlebihan bahkan
jangan sampai anak mengalami luka baik jasmani maupun rohani.
Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa untuk mencapai tujuan yang
mulia, maka cara yang digunakan pun harus disesuaikan dengan tujuannya. Dengan
kata lain, kita harus menggunakan cara-cara yang baik pula, sehingga cita-cita
yang ingin dicapaipun dapat terwujud dengan baik. Asghar Ali mengatakan bahwa
masalah cara itu tergantung pada konteks materilnya serta kita harus mengelaborasi
tentang cara itu sendiri. Konsep anti kekerasan memang sebuah idealitas yang
harus dijadikan landasan dan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi konsep tersebut tidak akan dapat berjalan ketika dihadapkan pada
struktur sosial yang senantiasa berubah, maka di sinilah barangkali kekerasan
tidak dapat dihindari. Namun demikian, Islam mengajarkan agar cara-cara yang
ditempuh harus mengindahkan dan memperhatikan nilai-nilai moral.[12]
Berdasarkan uraian di atas, penyusun menilai bahwa orang tua baik ayah
maupun ibu yang terlibat dalam tindak kekerasan terhadap anak bisa jadi
merupakan suatu i’tikad baik dari orang
tua dalam rangka menunjukkan rasa kasih sayangnya terhadap anak-anak mereka.
Dalam rangka pendidikan , satu hal yang harus menjadi perhatian kita bersama
terutama para orang tua adalah bahwa ketidak hati-hatian dalam menerapkan
tindak kekerasan orang tua terhadap anak dalam keluarga ini dapat mengantarkan
anak pada suatu keputusan untuk memberikan nilai pembenaran atas tindakan sewenang-wenang
orang tua terhadap anaknya.
[1] M.
Anies, "Anak Perspektif Al
Qur'an: Kajian dari Segi Pendidikan,"
Jurnal Al Jamiah No. 54, Th. 1994, hlm. 8.
[2] Hasbi Ash Siddiqiy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 81.
[4] M.
Anies, Anak, hlm. 8.
[5]Asjmuni Abdurrahman, Qai’dah
Fiqih (Qawa’id al Fiqhiyah) cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang,1976), hlm. 85.
[6]
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan Pasal 45 Ayat (1).
[7]
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat,
Hukum Islam dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 55.
[8]
Soedjito Sastrohajo, Hukum Adat dan Realitas Penghidupan, (Yogyakarta:
Fakultas Hukum UII, 1998), hlm. 107.
[9]
Soedaryo soimin, Hukum, hlm.56. Lihat juga Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, Pasal 45 Ayat (1).
[10] Ima>m Abu> Da>wud
Sulaima>n ibn al 'Asy'as as Sajastani>, Sunan Abi> Da.wud, Kita>b
S}alat (Indonesia :
Maktabah Dahlan, tt), I : 33.
[11] As Syaukani>, Nailul Aut}a>r
Kumpulan H}adi>s|-h}sdi>s|
Hukum, penerjemah, Mu’ammal Hamidi dkk, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), I:288.
[12]
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan.,alih bahasa Agung
Prihartono, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 207.
0 Response to "Makalah Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak"
Post a Comment