Munajat Cinta Rabiah al Adawiyah dalam Dimensi Sufi
Cinta Rabiah al Adawiyah | Mahabbah Cinta Rabiah al Adawiyah |Munajat cinta rabiah al adawiyah |nasehat cinta rabiah al adawiyah |rabiah al adawiyah dan pemikirannya|
KONSEP
MAHABBAH RABI'AH AL-ADAWIYAH
A. Mahabbah
1. Pengertian Mahabbah
Mahabbah
sering diterjemahkan dengan istilah "cinta" dalam Mu'jam Muqoyyis
Al-Lughoh. Kata mahabbah memiliki tiga pengertian dasar; pertama,
berarti "kesenantiasaan dan ketetapan"; kedua, berarti "cinta
terhadap sesuatu" (al-abbat min al-syai'); dan ketiga berarti,
"sifat berkecukupan" (walk al-qitr). Pengertian dasar semantic
di atas memberi arti bahwa mahabbah merupakan suatu wujud ketetapan hati
yang tidak akan mau berpisah (al-luzm) dengan sesuatu yang dicintai, dan
sesuatu yang dicintai itu sudah cukup bagi (seseorang) sehingga ia tidak akan
mungkin mencintai yang lainnya.[1]
Abu Najr Al-Saroj
Al-Siy, dalam karyanya Al-Luma' mengkategorikan cinta (mahabbah)
kepada tiga tingkatan:
a. Cinta orang awam, yaitu mereka yang selalu mengingat Allah
dengan zikir. Suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dan
berdialog dengan-Nya. Ia senantiasa memuji Allah.
b. Cinta para Muttahaqqiqin, yaitu mereka yang sudah kenal
Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain
sebagainya. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang
dengan Tuhan, sehingga ia dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan.
Cinta ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifat
sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta dan rindu dendam
pada-Nya.
c. Cinta bagi mereka yang sudah kenal betul pada Tuhan, yang
dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi "diri yang dicintai",
akhirnya diri yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.[2]
Cinta yang kedua
atau yang ketiga inilah yang dimiliki dan kemudian dikembangkan Rabi'ah
Al-Adawiyah, sehingga ia benar-benar merasakan cinta yang sebenarnya, cinta
sejati yaitu cinta Ilahi.
Al-Junaid berkata
"cinta adalah kecenderungan hati", berarti bahwa hati cenderung
kepada Tuhan dan apa yang berhubungan dengan Tuhan, tanpa dipaksa.[3]
Di antara
ungkapan-ungkapan para sufi tentang definisi cinta yang disampaikan oleh
Al-Qusyairi mendefinisikan cinta sebagai kecenderungan hati yang telah diracuni
cinta, penegasan esensi sang kekasih (Allah) dan akhirnya terjalinnya hati Sang
Pencipta itu dengan kehendak ilahi. Cinta menurut Abu Abdullah Al-Quraisy
adalah “memberikan semua yang engkau miliki kepada-Nya (Allah) yang sangat
engkau cintai, sehingga tidak ada lagi sisa dalam dirimu”; Sybli mengatakan,
“disebut cinta, sebab ia menghapuskan
semua dari dalam hati kecuali sang kekasih”, dan lagi, “cinta adalah api yang
akan melalap semua kecuali kehendak ilahi.[4]
Begitu juga Abu
Thalib berbicara tentang pengaruh cinta dan kepada Sang pencintanya, ia
mengatakan bahwa cinta akan mampu membimbing pada pengetahuan tentang
misteri-misteri kesucian ilahiah, dan bagi yang mencintai Allah selamanya serta
hanya memandang kepada-Nya saja, ia lebih dekat kepada-Nya dari yang lainnya.
Bagi mereka ini akan menatap wajah ilahi tanpa ada penghalangnya sama sekali,
di mana tatapannya itu mempergunakan mata kepastian.[5]
Secara global,
agama berputar dalam empat pedoman, yaitu cinta, benci, dan dari keduanya
memberikan konsekuensi berbuat atau meninggalkannya. Maka bila seseorang merasa
benci, suka, berbuat atau tidak berbuat karena Allah berarti imannya telah
sempurna. Sebaliknya, seirama dengan berkurangnya nilai keempat aspek tersebut,
berkurang pula keimanan dan agamanya.[6]
Cinta atau mahabbah
adalah sesuatu yang kita alami dengan penuh getaran jiwa, dia tidak bisa
mengerti hanya dengan intelektual. Cinta berkaitan dengan perasaan yang paling
halus. Perasaan cinta adalah perasaan Tuhan, bukan perasaan indrawi atau
perasaan vitalis nafsiyah.[7]
Leo F. Baccoglia dalam bukunya Love menjelaskan bahwa cinta adalah
semuanya dan sekaligus, keadaan gembira luar biasa, keadaan senang, fantasi,
keadaan rasional atau tidak rasional.[8]
Cinta selalu hadir pada setiap orang dan merupakan proses "membangun"
di atasnya apa yang sudah ada landasannya. Cinta merupakan sebuah tindakan yang
mengandung kepercayaan dan siapa saja yang sedikit memiliki kepercayaan, maka
ia akan mempunyai sedikit cinta.
Cinta tidak bisa
oleh akal pikiran, tetapi hanya bisa dipahami oleh cinta itu sendiri. Itulah
sebabnya, cinta manusia bisa melangit serta mulia dalam ridha Ilahi, tetapi
tidak jarang karena alasan cinta pula, amnesia bisa terjerumus dalam nista dan
kesengsaraan yang menggigil. Sebab itu, manusia harus menyadari makna dari
syari'at dan lebih khusus lagi aturan cinta. Bagaimana caranya menempatkan
rasanya cinta, upaya meraihnya, dan mengukurnya dengan bahasa cinta yang
disuarakan oleh kalbu yang sejati.[9]
Tugas manusia adalah
mengatur cinta (ordo amoris) agar dia menempatkan cinta pada haknya,
pada ilahi, bukan pada yang lain, maka disinilah manusia akan berpegang setiap
detik, bahkan kalau ada ukuran waktu lebih kecil dari detik, dia akan berpegang
menurut ukuran waktu tersebut, karena benci dan cinta bagaikan tanpa dinding.[10]
Cinta Ilahi berarti menerima ke-Ilahian yang ingin menempatkan jiwa manusia
pada kedudukan atau maqamat yang penuh rahmat.
Menurut Al-Ghazali,
siapa yang mencintai Allah, bukan karena adanya keterkaitan kepada Allah, maka
hal itu karena kebodohan dan kekurangannya dalam mengenal Allah.[11]
Cinta kepada Allah bisa berkembang menjadi cinta kepada Rasul-Nya,
ulama-ulama-Nya, karena kekasihnya kekasih adalah kekasih. Bisa juga berkembang
menjadi cinta anak dengan orang tuanya, cinta dengan orang muslim, dan lain
sebagainya. Semua itu berpulang kepada cinta utama lalu tidak melampauinya
kepada yang lain.
Rabi'ah
Al-Adawiyah misalnya ketika ditanya apakah beliau mencintai Rasululloh ? dia
menjawab; "siapa orang yang tidak mencintai Rasululloh, akan tetapi
cintaku kepada Allah sudah tidak menyisakan satu ruang pun untuk mencintai
selain dia, bahkan untuk membenci iblis sekalipun".[12]
Rabi'ah
Al-Adawiyah membagi doktrin mahabbah atau ajaran untuk mencintai Tuhan
secara mutlak dalam dua babak. Cinta tingkat pertama untuk membukakan dimensi
baru dalam ibadah kepada Allah, yaitu ibadah yang semata-mata karena cinta
kepada Tuhan, bukan karena mengharapkan pahala-Nya atau menghindari siksa-Nya,
atau bukan karena raja’ atau khauf. Cinta tingkat kedua adalah
rindu bertemu dengan wajah Tuhan, sebagai kekasih-Nya. Dengan cinta tahap kedua
ini diharapkan Tuhan membukakan hijab atau tabir-Nya hingga betul-betul
dapat melihat wajah-Nya, bukan melihat dengan mata akan tetapi melihat dengan
mata hatinya atau kasyf.[13]
Ajaran ini
betul-betul mengarah kepada sikap yang ekstrim, emosional dan rohaniah. Oleh
Abu Yazid al-Bustami (Abad ke-9) ajaran ini dikembangkan menjadi paham ittihad
(kesamaan dan kesatuan manusia dengan Tuhan) ajaran yang sudah mulai cenderung
kepada paham pantheisme dengan ucapan “laisa fi jubbati illa Allah”
yang artinya “yang ada di dalam jubbahku ini tidak lain adalah Allah”.[14]
Rabi'ah Al-Adawiyah
mencintai Allah karena dua macam, menurut ajaran tasawuf, yaitu cinta karena
rindu dan cinta karena Allah yang layak dicintai.
Menurut Al-Ghazali
dalam Ihya' Ulum Al-Din berkata. "mungkin yang dimaksud cinta rindu
adalah cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunianya kepadanya dengan
seketika. Dan cinta kepada-Nya karena dia layak dicintai ialah karena keindahan
dan keagungannya, yang tersingkap kepadanya. Dan inilah diantara keduanya,
cinta paling luhur dan paling luhur serta merupakan kelezatan melihat keindahan
Tuhan, seperti disabdakan Rasululloh SAW yang meriwayatkan firman Allah,
"bagi hamba-hamba-Ku yang shaleh aku menyiapkan apa yang tidak terlihat
mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terbesit oleh kalbu manusia.[15]
Rabi’ah dalam kaitannya dengan konsep cinta Allah
kepada hamba-Nya, ia mengakatan: “dikisahkan pada suatu hari Rabi’ah berdoa
kepada Allah, “Ya Allah, akankah Engkau bakar nanti ini yang selalu
mencintai-Mu?” tiba-tiba terdengar suara yang menyahut “tidak, Aku tidak akan
melakukan yang itu, janganlah Engkau berbuat sangka kepada-Ku!”, dimana jawaban
itu dimaksudkan untuk menghibur hati Rabi’ah karena perasaan kurangnya iman
atau rendahnya konsep pengertian tentang cinta Allah kepada orang-orang yang
suci. Tetapi pandangan atau pengertian Rabi’ah ini sesuai dengan pandangan para
sufi sebelumnya, yaitu suatu kewajiban seorang hamba Allah untuk selalu
mencintai-Nya, tetapi sebaliknya, Allah tidak memiliki kewajiban untuk membalas
cinta itu.[16]
Rabi'ah Al-Adawiyah begitu mendalam pengertiannya
tentang cinta Ilahi, dan secara khusus dia cenderung pada cintanya tersebut.
Misalnya dalam suatu syair:
Aku cinta Kau dua mode cinta
Cinta rindu, dan cinta karena Kau layak dicintai
Adapun cinta rindu, karena hanya Kau kukenang selalu
bukan selain-Mu
Adapun cinta karena Kau layak
dicintai, karena kau singkapkan tirai
sampai Kau nyata bagiku
Bagiku, tentang ini itu, tidak
ada puji
Namun bagi-Mu sendiri sekalian
puji.[17]
Rabi'ah
Al-Adawiyah telah mengajarkan kepada manusia bahwa hidup adalah cinta, cinta
terhadap semua manusia, cinta kepada seluruh alam karena dia ciptaan Allah,
cinta terhadap qodho dan qodar karena keduanya adalah masalah yang mulia dari
kekasih. Rabi'ah Al-Adawiyah juga mengajarkan bahwa ibadah kepada Allah, sebab
utamanya adalah cinta. Oleh sebab itu, harus ada hubungan hamba dengan
Tuhannya, yaitu dalam bentuk rindu, mesra, dan ridha.[18]
Cinta dapat
menjadi dasar bagi kemanusiaan. Cinta juga mewarnai seluruh hubungan
kemanusiaan dalam hidupnya, maka cinta Ilahi merupakan sumber hakiki yang
membentangkan seluruh alam.
Rabi’ah
Al-Adawiyah mencintai Allah bukan karena cinta yang mengharapkan pamrih. Tapi
cinta yang benar-benar tulus yang didalamnya hanya ada keikhlasan, kerinduan
dan keakraban untuk mencari ridha Allah SWT.
Cinta kepada Allah
memang suatu ajaran yang sangat ditekankan dalam Islam. Firman Allah dalam
Al-Qur’an surat
Al-Baqoroh ayat 165 :
وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا أَشَدُّ حُبًّا ِللهِ
.
Artinya
:
“Adapun
orang yang beriman sangat mencintai Allah (Al-Baqoroh: 165)[19]
Jadi mukmin yang
sejati tentu cinta pada Allah dan apabila cinta itu belum tumbuh maka belum
bisa disebut mukmin. Cinta seorang mukmin merupakan cinta kepada Allah dan
kepada Rasul-Nya.
2. Tanda-tanda Mahabbah
Sebagaimana tersebut di atas bahwa untuk mendefinisikan cinta sangatlah
sulit, apalagi jika dikaitkan dengan hubb al-Ilahi, yang mempunyai makna
luas, tidak hanya cinta terhadap sesamanya, tetapi cinta kepada Tuhan, Allah
SWT. Untuk mengetahui adanya cinta maka dapat dilihat dari tanda-tandanya, R. A
Nicholson menyebutkan bahwa cinta Ilahi itu di luar batas rincian, hanya
tanda-tandanya saja yang dirasakan.[20]
Di antara
tanda-tanda cinta adalah selalu menyebut seruan yang dicintainya, kemudian
mentaatinya, melaksanakan segala perintahnya, di samping itu, juga melaksanakan
segala ikatan dirinya dari perbuatan maksiat dan dosa lalu bergerak menuju
Tuhan yang Maha Esa, agar demikian mencapai derajat yang paling tinggi.[21]
Dalam al-Qur’an disebutkan tanda-tanda orang-orang yang cinta
kepada Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَّ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.
Artinya:
”Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebutkan nama Allah
maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah
iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertakwa.” (Al-Anfal:
2)[22]
Menurut Al-Ghazali bahwa orang-orang yang benar-benar
mencintai Allah itu memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
a. Kasih ia akan mati
b. Melebihkan barang yang dikasihi oleh
Allah dan menjauhkan diri dari hawa nafsu
c. Senantiasa melazimkan zikir Allah
d. Jinak dengan bersunyi sendirian,
bermunajat akan Allah, berzikir, membaca Al-Qur’an dan membekali dengan
sembahyang tahajjud di malam yang sunyi.
e. Tidak menyesal kehilangan sesuatu yang
lain daripada Allah SWT.
f. Senang dengan berbuat taat kepada Allah
SWT
g. Kasih sayang akan hamba Allah yang
muslim dan membenci akan orang-orang kafir yaitu seteru Allah.
h. Ia dalam kasih Allah serta takut akan
Allah.
i.
Menyembunyikan Ia akan kasihnya akan Allah Ta’ala,
itu dari pada orang-orang yang bukan ahlinya.
j.
Senantiasa lunak hatinya kepada
Allah dan ridha kepada Allah atas segala cobaan yang telah diterima.[23]
Menurut uraian di atas, yang menjadi ciri dari mahabbah
adalah orang yang selalu mengingat Allah, selalu berzikir, taat kepada Allah,
menyayangi hamba-hamba yang menjadi kekasih Allah dan ridha terhadap segala
sesuatu yang telah diberikan Allah.
Begitu pula tentang tanda-tanda mahabbah Rabi'ah
Al-Adawiyah. Karena ibadah Rabi'ah Al-Adawiyah kepada Allah yang didasarkan
kepada keimanan dan ketaqwaan yang tinggi sehingga hari-hari tidak pernah sepi
dari zikir, doa, tasbih, dan sholat lail.[24]
Ibadah Rabi'ah Al-Adawiyah kepada Allah mengharuskan dirinya untuk meninggalkan
kesenangan material dunia menuju sikap zuhud karena cintanya yang teramat dekat
kepada Allah, ia membebaskan dirinya dari penghambaan dunia, karena menurutnya
dunia tidak memiliki arti yang hakiki.[25]
Dengan demikian Rabi'ah Al-Adawiyah tengah mencari ridha Allah, suatu tingkat
kejiwaan yang luhur, yang menerima segala ketentuan yang diberikan Allah tanpa
persangkaan buruk kepadanya. Ridha Rabi'ah Al-Adawiyah kepada Allah adalah,
"jika engkau menerima musibah (penderitaan), maka perasaanmu sama dengan
ketika engkau menerima nikmat (karunia).[26]
Seseorang yang sedang ke tingkat mahabbah, maka ketika
menjalankan ibadah sama sekali sudah tidak mengharapkan balasan dari Allah.
Ibadahnya dilakukan dengan khusyu’, ikhlas, dan ridha.
3. Orang-orang yang Dicintai oleh Allah
Salah satu tanda
cinta adalah dengan menjalankan segala sesuatu yang disukai oleh orang yang
dicintai. Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang menyebutkan tanda-tanda maupun
perilaku yang disukai oleh Allah[27];
a. Hamba yang menjadi kekasih Allah adalah mereka yang berakhlak
tinggi, lemah-lembut terhadap sesamanya.
b. Menjaga kebersihan dan kesucian baik kebersihan badan maupun
pikiran, hati dan akhlak.
ِانَّ اللهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.
Artinya:
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
bertobat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri". (Q.S
Al-Baqoroh: (2): 222).[28]
c.
Sabar, taqwa, dan jihad di
jalan Allah.
وَاللهُ يُحِبُّ الصَّابِرِيْنَ.
Artinya:
"Allah menyukai orang-orang yang sabar". (Q.S
Ali Imron (3): 146).[29]
بلَى
مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقى فَاِنَّ اللهَ يحُِبُّ الْمُتَّقِيْنَ.
Artinya:
"Sebenarnya siapa yang menepati janji (yang
dibuatnya) dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertakwa." (Q.S. Ali Imron (3): 76).[30]
اِنَّ اللهَ يُحِبُّ
الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِىْ سَبِيْلِهِ صَفًّّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوْصٌ.
Artinya:
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berperang di jalan Allah dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti
suatu bangunan yang tersusun kokoh." (Q.S Ash-Shaff (61): 4).[31]
d. Berlaku adil
إِنَّ
اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ.
Artinya:
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil". (Q.S Al-Hujurat: (49): 9).[32]
e. Berbuat baik
وَأَحْسِنُوْا اِنَّ
اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ.
Artinya:
"Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik". (Q.S Al-Baqoroh (2): 195).[33]
4. Dasar Ajaran Cinta Ilahi
Sebagaimana telah
disebutkan bahwa faktor utama yang mengantarkan Rabi'ah Al-Adawiyah mencapai
tingkat ajaran cinta Ilahi adalah ajaran
Islam yang sudah ditanamkan orang tuanya sejak kecil. Karena itu ada
baiknya kita lihat beberapa dasar ajaran cinta kepada Allah yang bersumber dari
Al-Qur'an dan Hadits.[34]
a. Ajaran cinta kepada Allah yang bersumber dari Al-Qur'an
1. Surat Al-Baqoroh: 165
"Dan di antara manusia ada yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah, dan
jika seandainya orang-orang yang berbuat dhalim itu mengetahui ketika mereka
melihat siksa (pada hari kiamat) bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah amat besar
siksaan-Nya (niscaya ia menyesal). (Q.S Al-Baqoroh (2): 165).[35]
2. Surat
Ali Imran: 31-32
"Katakanlah; jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu, Allah
Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. Katakanlah; taatilah Allah dan Rasul-Nya,
jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang
kafir." (Q.S. Ali Imran: 31-32).[36]
3. Surat Al-Maidah: 54
"Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap
lemah lembut terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak
takut terhadap celaan. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja
yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui".
(Q.S. Al-Maidah (5): 54).[37]
4. Surat Al-Hujurat: 7
”Dan ketahuilah olehmu bahwa dikalangan kamu ada
Rasululloh, kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan
benar-benarlah kamu akan mendapatkan kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu
cinta kepada keimanan dan menjadikan cinta it indah dalam hatimu serta
menjadikan kedurhakaan, mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan-jalan
yang lurus". (Q.S Al-Hujurat (49): 7).[38]
"Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri
seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu: Allah dan Rasul-Nya
lebih dicintai dari pada yang lain, mencintai seseorang hanya kepada Allah dan
benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia suka dilemparkan ke dalam
neraka" (HR. At-Tirmidzi).
"Cintailah Allah karena ia yang mencurahkan
nikmat-nikmat-Nya kepadamu, dan cintailah aku karena Allah dan cintailah
keluargaku karena mencintai-ku". (H.R At-Tirmidzi).
"Tiga hal yang menjadikan manusia
diharamkan terhadap neraka dan neraka haram atasnya, yaitu iman kepada Allah,
cinta Allah dan bertemu dengan-Nya dalam bara api cinta kepada-Nya dari pada
kembali kepada kekufuran". (H.R Ahmad Ibnu Hambal).
Berdasarkan
dalil-dalil di atas, baik dalil aqli maupun dalil naqli Rabi'ah
Al-Adawiyah mengenal teori (jalan) cinta kepada Allah. Selain itu pengalaman
keagamaan Rabi'ah Al-Adawiyah membawanya ke arah kematangan beragama.
Dalam psikologi
agama, kematangan beragama adalah kemampuan seseorang untuk mengenali atau
memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan
nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku. Jadi kematangan beragama
terlihat dari kemampuan seseorang untuk menghayati, memahami serta mengaplikasikan
nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari,[40]
dari hasil memahami dan menghayati dan meyakini suatu agama maka Rabi'ah
Al-Adawiyah mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari
hingga mencapai tingkat mahabbah.
B. Pencapaian Cinta Ilahi
Pada dasarnya
tujuan ibadah para sufi adalah untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Guna
mencapai kedekatan dengan Tuhan, sufi harus menempuh jalan (thariqah)
yang panjang penuh duri, dan berisi stasiun-stasiun (maqamat).[41]
Perbedaan antara hal
dan maqam adalah, bahwa maqam diperoleh atas usaha manusia,
sedangkan hal didapatkan sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Hal bersifat
sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati
Tuhan.[42]
Selain sebagai maqam,
mahabbah (cinta Ilahi) sering dipandang sebagai hal, yaitu suatu
keadaan spiritual yang tinggi, yang merupakan anugerah Tuhan karena cinta-Nya.
Menurut Ibrahim Basyuni, dua macam cinta yang dimiliki Rabi'ah Al-Adawiyah yang
satu sebagai maqam dan yang satu lainnya adalah hal.[43]
Cinta Rabi'ah
Al-Adawiyah yang pertama, selalu mengingat Allah yang merupakan jenis maqam,
yang di dalamnya ada daya dan upaya dari seorang hamba. Dan yang kedua adalah
jenis hal, terbukanya tabir antara hamba dengan Tuhan sebagai kehendak
dan anugerah Tuhan. Dalam maqamat, Allah adalah yang mencegah seorang
hamba dari kecenderungan terhadap sesuatu yang lain dan memilihnya, memberi
tauhid dan memberi petunjuk sebagai pencipta. Sedangkan Allah dalam ahwal
adalah yang muncul dengan penampakannya sebagai kekasih, maka tidaklah ada
dalam cinta itu kecuali Dia.[44]
a. Ibadah dan Doa
Menurut bahasa
ibadah sama dengan artinya taat atau kepatuhan, dan ta'abud
(penghambaan), yang mempunyai arti dengan at-tanasuk (pengabdian).[45]
Menurut pandangan Abul A'la al-Maududi ibadah adalah ketundukan seseorang
karena ketinggian derajat orang lain dan dirinya dapat dikuasai, sehingga
menurunkan dirinya dari kebebasan dan kemerdekaan, ia meninggalkan reaksi
menentang dan memperkokoh dirinya dari kekokohan.[46]
Seolah-olah
Al-Maududi melihat bahwa ibadah adalah tunduk dan patuh secara totalitas.
Tunduk secara sempurna dan patuh secara mutlak. Kemudian makna ini juga
disandarkan pada unsur yang baru, yang didalamnya mengandung ibadah hati.
Setelah sebelumnya melalui ubudiyah dengan kepala dan lutut (ruku’ dan
sujud). Tampaknya unsur ini adalah pengejawantahan dari penghambaan dan
peribadatan serta mendatangi tanda-tanda pengabdian kepadanya.[47]
Dengan demikian seorang yang hendak mencapai keridhaan Allah harus melaksanakan
ibadah. Ibadah merupakan sarana paling utama untuk menuju Allah.
Berdoa merupakan
ibadah yang paling agung sekaligus intisari ibadah. Hal ini tercermin dari
sabda Rasululloh yang mulia, "barang siapa yang tidak meminta kepada
Allah, maka Dia akan membencinya, tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi
Allah selain doa". Karenanya berdoa amat dianjurkan baik dalam waktu
senang ataupun susah, secara diam-diam (sirri) atau terang-terangan,
sehingga memperoleh pahala Allah SWT.[48]
Seorang abid ialah
orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Allah, Rabi'ah
Al-Adawiyah adakah seorang abidah yang sangat tekun beribadah kepada
Allah. Harapannya akan ridha Allah membuatnya tidak pernah berhenti dari
beribadah kepada Allah. Hal itu sesuai dengan janjinya ketika masih sebagai
budak, yaitu bila ia terbebas dari perbudakan maka tidak akan berhenti
mengabdikan diri kepada Allah.[49]
Suatu saat ia pernah mengucapkan doa; "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari segala perkara yang menyibukkanku untuk menyembah-Mu dan dari segala
penghalang yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu.[50]
Rabi'ah Al-Adawiyah telah menepati janjinya kepada Allah, ia selalu dalam
keadaan beribadah kepada Allah SWT sampai menemui ajalnya, ia bahkan selalu
melakukan shalat tahajjud sepanjang malam, hingga tiba waktu fajar.[51]
Rabi'ah
Al-Adawiyah sangat tekun beribadah, dan ibadahnya ia lakukan untuk mengabdi
kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rabi'ah Al-Adawiyah ketika
ia ditanya tentang apa yang mendorongnya tekun beribadah kepada Allah. Rabi'ah
Al-Adawiyah menjawab;" karena Allah saja, apakah tidak wajar Allah
menyuruh kita beribadah kepada-Nya, mengingat nikmat-nikmat-Nya yang telah
dilimpahkan kepada kita ? [52]
Tentang doa,
menurut Al-Qusyairi, adalah jawaban bagi setiap kebutuhan. Doa adalah tempat
beristirahat bagi mereka yang miskin, tempat berteduh bagi mereka yang gundah,
kelegaan bagi yang terbakar api hasrat.[53]
Terkabulnya doa
menurut Rabi'ah Al-Adawiyah tergantung kepada kehendak Tuhan yang bisa
mengabulkan, meskipun doa itu diulang berkali-kali. Hal ini sebagaimana yang ia
sampaikan ketika menghadapi Shaleh Al-Man yang menyatakan bahwa doa bisa
terkabul bila dilakukan berulang-ulang hingga terkabulkan.[55]
Dari keterangan di
atas dapat digambarkan, bahwa Rabi'ah Al-Adawiyah adalah seorang yang rajin
beribadah kepada Allah. seperti selalu menjalankan ibadah-ibadah yang
diwajibkan seperti shalat, puasa, serta ibadah-ibadah yang disunnahkan seperti
membaca Al-Qur'an, zikir, sholat sunnah serta shodaqoh kepada berbagai
makhluk.
b. Maqamat
Adapun maqamat
yang pernah ia lalui antara lain: taubat, zuhud, sabar, syukur, wara',
dan ridha. Urutan ini bukanlah urutan yang pasti, karena memang tidak ada
petunjuk tentang urutan maqamat yang dirumuskan atau dilalui oleh
Rabi'ah Al-Adawiyah.[56]
1). Taubat
Taubat secara lughot
artinya: kembali atau menyesal. Yang dimaksudkan dalam istilah syari'at
adalah kembali kepada kesucian setelah melakukan dosa.[57]
Taubat merupakan suatu kesadaran yang muncul dari hati untuk tidak mengulangi
suatu perbuatan-perbuatan dosa yang ia lakukan, yang diikuti dengan perbuatan
yang baik sesuai dengan tuntunan agama.
Pendapat Ibnu
Qoyyim: taubat yang murni mengandung tiga
unsur:
(a). Taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu
dosa pun melainkan bertobat karenanya.
(b). Membulatkan
tekad dan bersungguh-sungguh dalam bertaubat, sehingga tidak ada keragu-raguan
dan menunda-nunda kesempatan untuk bertaubat.
(c). Mensucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat
mengurangi rasa keikhlasan, dan menginginkan karunia Allah.[58]
Taubat yang murni merupakan taubat yang
memakai niat yang bersungguh-sungguh, yang diaplikasikan dalam perbuatan
sehari-hari bahwa ia tidak akan mengulangi perbuatan yang keji lagi dan
merubahnya ke perbuatan yang baik demi Allah SWT.
Menurut Al-Ghazali, Taubat tersusun atas tiga
perkara: Pertama ilmu, kedua hal, ketiga fi'il, yakni perbuatan.
Yang dimaksudkan dengan ilmu adalah kesadaran akan kemudaratan dosa bagi diri
seseorang, bahwa dosa itu akan menghalangi dirinya dari Tuhan yang dicintainya.
Kesadaran tersebut melahirkan rasa pilu dalam hatinya, karena takut luput
kekasihnya itu. Hal itu lalu mendorongnya memperbaiki semua kesalahan dan
kekurangannya di masa lalu, dengan tekad yang bulat untuk tidak melakukannya
lagi di masa yang akan datang.[59]
Dengan demikian taubat adalah ketergantungan jiwa manusia yang melahirkan
kesadaran akan segala kekurangannya dan kebulatan tekad yang disertai amal
perbuatan untuk memperbaikinya.
Sebagaimana
sufi-sufi lainnya, taubat adalah salah satu tahap yang harus dilalui untuk
membersihkan dosa-dosa karena dengan dosa itulah manusia akan terhalang untuk
berada sedekat mungkin dengan Allah. Maka sehubungan dengan perbuatan dosa
tersebut, Rabi'ah Al-Adawiyah terlihat dengan nafsu keduniaan. Hal itu sangat
bertentangan hati nuraninya dan terjadi diluar kemampuannya. Dengan demikian
apa yang didambakan oleh Rabi'ah Al-Adawiyah sebelum mendapat kemerdekaan dari
Tuhannya ternyata tidak diperolehnya.[60]
Pertentangan
antara kenyataan dengan keinginan hati nurani menyebabkan timbulnya kegoncangan
dalam diri Rabi'ah Al-Adawiyah. Baginya, untuk terhindar dari kegoncangan
tersebut ia merasa perlu bertaubat, tetapi ia senantiasa dibayangi keraguan
antara diterima atau tidak atas dosa taubat yang dilakukannya tersebut. Karena
itu, dia memilih jalan taubat yang setinggi-tingginya, taubat tanpa mengenal
waktu. Ia melakukan taubat secara kontinyu, tidak hanya sekali tetapi selama
hayat dikandung badan.[61]
Kini Rabi'ah
Al-Adawiyah melakukan taubat yang tiada putus-putusnya dan berbakti sepenuhnya
kepada Allah SWT, namun kegoncangan dalam jiwanya tetap berkecamuk, seperti
yang digambarkan dalam syair sebagai berikut :
"Tuhanku, malam telah berlalu, dan siang telah
menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalku Engkau terima hingga aku merasa
gembira ataukah Engkau tolak hingga aku merasa sedih. Demi Maha Kuasa-Mu inilah
yang kau lakukan selama aku Engkau beri hajat. Sekiranya Engkau mengusir aku
dari depan pintu-Mu aku tidak akan pergi, karena cintaku pada-Mu telah memenuhi
hatiku.[62]
Rabi'ah
Al-Adawiyah senantiasa menyerahkan segala urusannya kepada Allah, dan hal itu
menjadi kebiasaannya. Bagi Rabi'ah Al-Adawiyah, taubat adalah karunia Allah,
dan anugerah rabbaniyah yang dikhususkan untuk hamba-hamba-Nya yang dia
kehendaki. Berkatalah seseorang kepada Rabi'ah Al-Adawiyah: “Sesungguhnya aku
telah berbuat dosa dan maksiat, andai kata aku bertobat, apakah tobatku akan
diterima?” Rabi’ah menjawab, “tidak, akan tetapi kalau Dia akan menerima
tobatmu, maka engkau akan bertobat”.[63]
2). Zuhud.
Kezuhudan (zuhud)
bermakna berpalingnya hati dari kesenangan duniawi dan tidak menginginkannya.[64]
Adapun inti dari zuhud adalah kesadaran jiwa akan remeh dan hinanya dunia, dan
bahwa jika seandainya cukup berharga di sisi Allah, walaupun hanya sebanding
dengan berat sayap seekor nyamuk, niscaya Allah menolak memberi seteguk air pun
darinya untuk seorang kafir.[65]
Zuhud di dunia
merupakan suatu kenikmatan, karena zuhud ialah meninggalkan segala bentuk
kecintaan terhadap dunia yang bersifat sementara dan mencintai sesuatu yang
lebih baik dari dunia yaitu akhirat. Orang yang sudah merasakan nikmatnya zuhud
maka orang tersebut akan merasakan tenang, tentram dalam kehidupannya.
Dalam istilah ada
beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ahli tasawuf antara lain:
a. Benci kepada dunia dan berpaling dari padanya.
b. Membuang kesenangan dunia untuk mencapai kesenangan akhirat.
c. Hati tidak memperdulikan kekosongan tangan.
d. Membelanjakan apa yang dimiliki dan tidak menghargakan apa yang
didapat.
Maksud zuhud di
atas ialah menghindari perbudakan harta benda, tidak rakus terhadap kemewahan
duniawi, menerima nikmat Allah dengan perasaan qonaah, cenderung dan
mengutamakan pahala di akhirat.
Sebagaimana
Rabi'ah Al-Adawiyah yang melaksanakan zuhud, maka sebagaimana tindak lanjut
dari apa yang dilakukannya, Rabi'ah Al-Adawiyah tidak mau hati dan pikirannya
dikotori oleh gemerlapnya dunia. Karena ia merasa bahwa dunia merupakan sesuatu
yang semu, yang didalamnya hanya mendatangkan kegelisahan, kesusahan dan
kesedihan.
Sejarah telah
mencatat liku-liku perjalanan hidup Rabi'ah Al-Adawiyah. Di sana tertulis dengan jelas bahwa kezuhudannya
atas pilihan dan keinginannya sendiri. Ia telah mencapai maqam kezuhudan
sebagaimana yang telah dicapai ahli zuhud di masa Rasululloh dan Khulafaur-Rasyidin.[67]
Zuhud yang dilakukan oleh Rasul bukan hanya beribadah saja tetapi juga dengan
berusaha untuk mencari kecukupan hidup di dunia. Kekayaan bukan dijadikan
tujuan tetapi kekayaan di jalan untuk mencapai keridhaan Allah SWT, yaitu
ketika ada orang yang meminta bantuan maka ia tidak segan-segan untuk
mengulurkan tangan.
Tidak diragukan
lagi, bahwa Rabi'ah Al-Adawiyah termasuk barisan zahidah yang mengikuti
sunnah Rasul. Kezuhudannya terbukti dalam kehidupannya yang teramat sederhana,
tangannya tidak bisa menggenggam harta, dirinya bersih dari pengaruh nafsu, dan
matanya terpelihara dari memandang kemewahan duniawi.[68]
Malik bin Dinar juga pernah meriwayatkan tentang kezuhudan Rabi'ah Al-Adawiyah.
Suatu hari ia datang ke rumah Rabi'ah Al-Adawiyah, saat itu Rabi'ah Al-Adawiyah
sedang minum air dari bejana yang pecah, tikar yang terbentang sudah kumal,
sementara yang dijadikan bantal tidurnya adalah sebuah batu.[69]
Meskipun dalam keadaan seperti itu, Rabi'ah Al-Adawiyah tidak pernah mengeluh
bahkan ketika mau diberi bantuan, maka Rabi'ah Al-Adawiyah akan menolaknya.
Karena Rabi'ah Al-Adawiyah yakin bahwa Allah tidak hanya memberi rizki kepada
orang kaya tetapi kepada orang miskin juga.
Sejak Rabi'ah
Al-Adawiyah melangkahkan kaki ke arah kesufian, sejak itu pula ia menghindarkan
diri dari hidup keduniaan. Dengan demikian Rabi'ah Al-Adawiyah telah mengusir
dunia dari hati, pikiran, dari lidahnya walaupun hanya sejenak. Karena semua
itu dimaksudkan agar dirinya hanya diperuntukkan untuk mengingat Allah.[70]
Farid Ad-Din
Al-Attar (513-586 H) meriwayatkan bahwa Rabi'ah Al-Adawiyah suatu ketika
berpuasa dan sedang bermunajat, kemudian matahari tenggelam, sedang di sisinya
tidak ada sesuap makanan apapun, lalu dia bergumam: "sampai kapan kamu
menyiksa dirimu, wahai Rabi'ah, dan engkau menanggung derita yang tiada akhir"
?[71]
Al-Hujwiri (w. 465
H) meriwayatkan: "telah datang seorang amir Basrah kepada Rabi'ah
Al-Adawiyah untuk menjenguknya dengan membawa harta yang banyak dan ia
memberikan kepadanya untuk membantu kebutuhan hidupnya, maka menangislah
Rabi'ah Al-Adawiyah lalu mengangkat kepalanya ke langit dan berkata, "Dia
mengetahui bahwa saya malu kepada-Nya untuk meminta dunia, sedang Dialah
pemiliknya, maka bagaimana aku akan menerima harta itu dari orang yang bukan
pemiliknya ? maka malulah amir Basrah untuk mengulangi perbuatannya itu.[72]
sesungguhnya dunia tidak diangankan oleh Rabi'ah Al-Adawiyah dan juga tidak
dalam pikirannya sehingga ia malu untuk memintanya kepada Allah, karena
sesungguhnya dunia itu tidak ada apa-apanya, maka bagaimana mungkin dia akan
meminta kepada seorang hamba-Nya ? begitu pula bagaimana dia bisa menerima
pemberian harta dari seorang hamba. Contoh-contoh di atas, dapat menunjukkan
bahwa Rabi'ah Al-Adawiyah sama sekali tidak berhajat pada kesenangan dunia.
Zuhud adalah
permulaan dari tasawuf, termasuk salah satu dari pintu-pintunya, tetapi zuhud
bukanlah tujuan dari pada tasawuf dan bukan pula tujuan akhirnya, zuhud
hanyalah suatu sarana dan jalan untuk mencapai tingkat kerohanian yang lebih
tinggi.[73]
3). Sabar
Sahl berkata:
"Kesabaran adalah pengharapan akan laporan dari Tuhan, kesabaran merupakan
kebaktian yang paling mulia dan paling tinggi". Yang lain berkata;
"Kesabaran berarti bersikap sabar terhadap kesabaran".[74]
Atau dengan kata lain sabar merupakan sikap menjauhkan diri dari hal-hal yang
tidak dikehendaki oleh Allah dengan tenang ketika mendapatkan cobaan dan
menampakkan sikap cukup terhadap sesuatu yang telah diberikan Allah kepada-Nya
serta yang ada dalam hatinya keikhlasan yang benar-benar tulus.
Sabar merupakan
amalan atau sifat yang harus dimiliki seorang sufi. Menurut Al-Qusyairi, sabar
ada dua macam;
(a). Sabar terhadap apa yang telah diperoleh si hamba dengan upaya
(melalui amal-amalnya). Sabar ini ada dua yaitu:
-
Sabar dalam menjalankan perintah
Allah.
-
Sabar dalam menjauhi larangan-Nya.
(b). Sabar terhadap apa yang telah diperolehnya tanpa upaya, yaitu
sabar dalam menjalankan ketentuan Allah yang menimbulkan suka baginya.[75]
Sikap sabar sangat
dianjurkan, dalam Al-Qur'an Allah berfirman:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ
اُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلاَ تَسْتَعْجِلْ لَّهُمْ.
Artinya:
"Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang
mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta
disegerakan (azab) bagi mereka. (Q.S. Al-Ahqof (46): 35).[76]
Kehidupan
Rabi'ah Al-Adawiyah yang sederhana telah mengajarkan perihal sabar. Berbagai
hikayat yang dikaitkan dengan biografinya menunjukkan kebiasaannya dalam
kesabaran.
Sekalipun
hidupnya sangat menderita, Rabi'ah Al-Adawiyah tetaplah Rabi'ah Al-Adawiyah.
Pendiriannya tak berubah sedikit pun. Betapapun pahit kehidupan yang dijalani,
tetaplah dijalani dengan taat dan sabar. Shalat malam tetap dijalankannya
secara rutin dan lisannya tak pernah berhenti berzikir, istighfar merupakan
senandung yang selalu didendangkannya.[77]
Pada
masa mudanya terlihat kesabarannya dalam menghadapi penderitaan keras sebagai
budak, ia mendapatkan cobaan-cobaan dan
kesengsaraan hidup dalam jiwanya. Ia kehilangan kenikmatan hidup, miskin, dan
tidak senang dalam hidupnya, penderitaan jiwa raga, ia putuskan untuk
memikulnya. Semua telah diterimanya sebagai sebagian dari kehendak Tuhan
terhadapnya dan sebagai latihan bagi wataknya.[78]
Rabi'ah Al-Adawiyah merupakan seorang yang sangat sabar ketika menerima cobaan
dari Allah, dan kesabarannya itu telah teruji ketika Rabi'ah Al-Adawiyah masih
kecil sampai akhir hayatnya yaitu menjadi seorang yatim piatu, menjadi seorang
budak, menjadi seorang yang miskin.
Dengan
demikian sebagaimana dikatakan Al-Qusyairi, orang yang beriman harus menerima
dengan sabar segala apa yang telah ditentukan oleh Tuhan kepadanya. Dan Rabi'ah
Al-Adawiyah telah mengajarkan pelajaran ini, baik dengan ajaran maupun contoh.[79]
4). Syukur
Syukur adalah
amalan yang paling melengkapi bagi sabar yang sama menunjukkan anugerah dari
Tuhan. Hakikat syukur adalah pengakuan anugerah dari sang pemberi dengan sikap
penuh kepasrahan.[80]
Al-Palim Bani menjelaskan bahwa rasa syukur terhadap nikmat Allah itu harus
dilahirkan dalam bentuk amal, baik yang dilakukan dengan hati atau diucapkan dengan lidah maupun yang
dilakukan dengan anggota,[81]
syukur yang dihadirkan dalam hati maksudnya mencita-citakan dalam hati akan
berbuat kebajikan bagi segala makhluk dan dihadirkan dalam bentuk zikrullah,
mensyukuri dengan ucapan yaitu mengucapkan zikir dengan mengucap Al-Hamdulillah,
sedangkan mengamalkan dalam bentuk anggota badan yaitu mengamalkan segala
nikmat Allah untuk berbuat taat kepada-Nya.[82]
Di samping puasa, zikir pun sering diucapkan demi membuktikan rasa syukur
kepada Allah SWT.
Rabi'ah
Al-Adawiyah telah mengajarkan sekaligus mempraktekkan amalan syukur ini. Banyak
waktunya dihabiskan untuk memuji Tuhannya atas segala kebaikannya. Do'anya
selalu diulang-ulang senantiasa penuh penyampaian terima kasih. Suatu saat ia
berkata: "Engkau telah memberikan hidup dan memperlengkapinya untukku, dan
kepunyaan-Mu adalah cahaya kemuliaan", selanjutnya ia berkata:
"berapa karunia yang telah Kau limpahkan kepadaku, anugerah-anugerah,
kelonggaran, dan pertolongan.[83]
Syukur Rabi'ah Al-Adawiyah kepada Allah karena rasa syukurnya terhadap
kesengsaraan sama dengan rasa syukurnya terhadap kenikmatan. Menurut Rabi'ah
Al-Adawiyah antara kenikmatan dan kesengsaraan itu sama rasanya sebab itu semua
sama-sama anugerah dari Allah SWT.
5). Wara'
Wara'
mengandung arti menjauhkan hal-hal yang tidak baik dan dalam pengertian sufi
adalah meninggalkan yang subhat (meragukan),[84]
dalam skripsi ini tepatnya bab II tentang biografi Rabi'ah Al-Adawiyah,
menunjukkan bahwa ia menjalankan amalan wara' ini. Sikap wara'-nya
ini terlihat ketika ia masih kecil, yaitu ketika ia menegur ayahnya karena
menyediakan makanan yang masih meragukan kehalalannya kepada Rabi'ah
Al-Adawiyah.
Demikian ke-wara'-an
Rabi'ah Al-Adawiyah, ia selalu berhati-hati dan selalu meninggalkan hal-hal
yang membuat hatinya ragu. Pada suatu haru pelayan wanita Rabi'ah Al-Adawiyah
hendak memasak sup bawang karena telah beberapa lamanya mereka tidak
memasaknya, karena kehabisan bawang, kemudian si pelayan berkata kepada Rabi'ah
Al-Adawiyah: "aku hendak meminta bawang kepada tetangga sebelah",
akan tetapi Rabi'ah Al-Adawiyah mencegah; "telah empat puluh tahun aku
berjanji kepada Allah tidak akan meminta sesuatu apapun kecuali kepada-Nya,
lupakanlah bawang itu. setelah Rabi'ah Al-Adawiyah berkata demikian datanglah
seekor burung menjatuhkan bawang yang telah terlepas dari paruhnya. Melihat
semua ini Rabi'ah Al-Adawiyah berkata: "aku takut jika semua ini hanya
tipu muslihat", Rabi'ah Al-Adawiyah ragu dan tidak mau menyentuh sub
bawang tersebut akhirnya hanya roti yang dimakannya.[85]
Setiap sufi
menyadari bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang subhat
akan mendekati haram. Sedangkan barang yang haram akan berpengaruh bagi yang
memakannya, orang yang demikian akan keras hati yang akhirnya akan menyebabkan
sulitnya mendapat ilham dan hidayah dari Allah SWT.
6). Ridha
Ridha adalah
ketenangan kalbu di bawah alur hukum. Menurut ali Al-Junaid, ridha adalah
keabsahan ilmu yang bersambung sampai ke kalbu, apabila kalbu telah berkait
langsung dengan hakikat ilmu, maka akan diteruskan kepada ridha dan mahabbah,
seperti khauf dan raja' pula, keduanya merupakan perilaku yang
tidak bisa dipisahkan dalam diri hamba baik di dunia maupun di akhirat, karena
di surga pun, seorang hamba tetap membutuhkan ridha dan mahabbah.[86]
Seseorang yang
sudah di maqom ridha ini tidak membedakan lagi antara apa yang disebut
musibah dan apa yang disebut dengan
nikmat, semuanya diterima dengan gembira, karena semuanya adalah takdir Allah.
Menurut Al-Ghazali sikap batin seperti mungkin saja dimiliki oleh orang yang
segenap pikiran dan perasaannya telah dikuasai kecintaan kepada Allah, karena
dalam kehidupan manusia di dunia sangat banyak contoh yang menunjukkan bahwa
orang yang mencintai sesuatu selalu rela memikul segala pengorbanan untuknya.[87]
Pada suatu hari
Rabi'ah Al-Adawiyah mendengar seorang hamba sahaya lelaki berdoa: "Ya
Allah, limpahkan ridha-Mu kepadaku", Rabi'ah Al-Adawiyah berkata padanya:
"jika engkau telah ridha dengan ketentuan Allah, maka pasti Allah akan ridha
padamu. Laki-laki itu bertanya pada Rabi'ah Al-Adawiyah: "bagaimana
caranya aku ridha pada Allah SWT? Rabi'ah Al-Adawiyah menjawab, "jika
engkau menerima musibah yang menimpamu dengan perasan yang sama seperti engkau
menerima nikmat, karena baik musibah maupun karunia datangnya hanya dari Allah.
Pernah hama
belalang hinggap pada tanaman Rabi'ah Al-Adawiyah dan melalap habis semua
tanamannya, ia hanya menerimanya dengan tersenyum, lalu mengangkat muka ke
langit sambil berdoa, "Oh Tuhanku! Rizki datang dari-Mu, hama belalang tidak akan mengurangi atau
merampas rizkiku sama sekali, semua adalah ketentuan dari-Mu juga".[88] Ridha
menurut versi Rabi'ah Al-Adawiyah adalah ketika ia menerima musibah dengan
lapang dada seperti ketika ia menerima nikmat dengan perasaan bahagia.
Suatu hari ketika
Rabi'ah Al-Adawiyah sedang shalat, balok yang di langit-langit gubuknya jatuh
menimpanya. Sehingga kepalanya benjol dan meneteskan darah, sekalipun darah
mengalir keras, ia tetap melanjutkan shalatnya, ia sama sekali tidak mengeluh
kesakitan. Selesai shalat, ada orang bertanya, "tidakkah engkau merasa
sakit wahai Rabi'ah Al-Adawiyah ? Rabi'ah Al-Adawiyah menjawab, "Allah
telah menjadikan diriku ridha menerima setiap kehendak-Nya, semua yang terjadi
atas kehendak-Nya.[89]
Suatu hari
kelaparan menimpa Rabi'ah Al-Adawiyah, maka mereka tetap sabar menanggung rasa
lapar dan kesusahan hidup dengan penuh keridhaan dan ketenangan. Karena mereka
berkeyakinan bahwa yang demikian itu adalah cobaan dari Allah. Kemudian mereka
merasakannya dengan nikmat dan senang, karena mereka tahu kalau cobaan dan
ujian itu adalah sarana pembersih hati dari segala tindak kejahatan.
Sebaliknya, mereka akan memperoleh suatu hikmah dan kekuatan yang lebih
memantapkan lagi pengakuan serta penerimaan terhadap ketentuan Allah.[90]
Maqom ridha
sangat erat dengan kehidupan Rabi'ah Al-Adawiyah, ridha ini merupakan rahasia
hidupnya. Rabi'ah Al-Adawiyah selalu ridha selamanya, tidak pernah terlihat dia
benci lalu marah-marah, tidak pula memperlihatkan sikap penuh derita yang
menunjukkan keragu-raguan. Rabi'ah Al-Adawiyah adalah seorang wanita yang
selalu ridha terhadap Tuhan dan penciptaan-Nya, selalu gembira dengan pemberian
yang diterimanya dan tak pernah keluh kesah terhadap apa yang berlalu bagi
dirinya.[91]
Peristiwa-peristiwa
di atas menunjukkan bahwa Rabi'ah Al-Adawiyah telah mencapai maqam ridha.
c. Ahwal
Menurut Harun
Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang,
perasaan sedih, takut, dan lain sebagainya. Hal yang biasanya disebut sebagai hal
adalah takut (al-khauf), raja', ikhlas, gembira hati dan
lain sebagainya.[92]
1. Khauf (takut) dan raja'
(harap)
Menurut Ahmad Ibn
Al-Sayyid Hamdawain berkata: "orang yang takut itu dibuat takut oleh
hal-hal yang menyebabkan (yang lain) merasa takut", Abu Abdillah Ibn
Al-Jalla berkata: "orang yang takut adalah yang ditentramkan dari hal-hal
yang menyebabkan rasa takut.[93]
Pengetahuan
tentang raja' dapat ditengok dalam sifat-sifat yang qodim yang
melahirkan segala hal yang buruk, rahasia, manfaat, dan bahaya. Siapa saja yang
mengenal sifat-sifatnya, ia akan terdorong untuk takut dan berharap (raja').
Inilah yang dimaksud raja' bagi
dzat-Nya. Karena kebajikan atau apapun keburukan tidak akan menimpa, kecuali
karena keutamaan (fadhal) Allah SWT. Dengan raja' ini orang yang
dilahirkan oleh khauf akan terdorong menjadi patuh.[94]
Dalam perkembangan
ajaran mistik Islam khauf dan raja' merupakan ajaran tertua dalam
kehidupan para zahid dan sufi. Yang pertama-tama menekankan ajaran khauf
dan raja' adalah zahid pemula Hasan Basri. Khauf yang
dimaksud adalah takut kepada Allah dan adzab-Nya, sedangkan raja' adalah
mengharapkan ridha Allah dan surga-Nya. Kedua ajaran tersebut selalu
berdampingan, karena mempunyai orientasi yang sama, yaitu kehidupan yang akan
datang. Takut dan harap merupakan komponen iman, sebagaimana Tuhan ajarkan
bahwa orang yang beriman akan berdoa dengan rasa takut dan harap. Firman Allah
:
"Mereka menyeru kepada Tuhannya dengan rasa
takut dan penuh harap" (Q.S. As-Sajdah (32): 16).
Bagi Rabi'ah
Al-Adawiyah, takut hanyalah kepada Allah yang menciptakan neraka, bukan kepada
neraka-Nya. Takutnya Rabi'ah Al-Adawiyah kepada sang pencipta pernah
diisyaratkan dalam doanya:
"Tuhanku, akan Engkau bakarkan hati orang yang
sangat mencintai-Mu, lidahnya selalu menyebut nama-Mu, hatinya takut pada-Mu,
dan umurnya dihabiskan dengan hiasan taat, dibingkai dengan ibadah dan berdoa
kepada-Mu ?"[95]
Hal ini telah dibuktikan oleh Rabi'ah Al-Adawiyah
sendiri bahwa pengabdiannya kepada Tuhan bukan karena takut neraka dan ingin
surga-Nya, akan tetapi semata-mata karena cinta kepada-Nya, bahkan ia pernah
"menantang" Tuhan, jika sekiranya ibadahnya karena takut neraka-Nya,
maka ia minta dibakar di dalamnya, dan sebaliknya apabila karena menginginkan
surga-Nya, maka ia minta dijauhkan dari padanya.[96]
Gejolak hati
Rabi'ah Al-Adawiyah untuk mendapatkan ridha Allah mendorong dia untuk terus
berusaha meningkatkan kecintaannya kepada Allah. Sehingga ia rela terhadap
segala penderitaan yang menimpa dirinya. Karena baik dan buruk, maupun musibah
dan karunia, semuanya berasal dari Allah SWT.[97]
Dari pernyataan di
atas dapat dikemukakan bahwa Rabi'ah Al-Adawiyah bukan takut kepada neraka,
tetapi yang ditakutkan adalah kehilangan keridhaan dari Allah, di samping itu
Rabi'ah Al-Adawiyah juga punya pengharapan keridhaan Allah. Tuhannyalah (ridha,
kasih sayang, cinta maupun wajahnya) yang menjadi cita-cita, harapan, dan
tujuannya.
Rabi'ah
Al-Adawiyah memang telah meningkatkan ibadah dari maqam khauf dan
raja' kepada cinta (mahabbah) Allah. Tetapi tidak meninggalkan
keduanya, dengan catatan hanya ditujukan atas Tuhan semata.[98]
Sehingga dari keduanya tersebut yaitu takut dan harapan yang menyebabkan
Rabi'ah Al-Adawiyah selalu teringat hari kiamat.
2. Rindu
Seorang yang sedang dilanda cinta tentu akan selalu
mengharapkan pertemuan dan akan selalu menunggu pertemuan itu. itulah yang
disebut dengan rindu. Cinta kepada Allah yang melanda Rabi'ah Al-Adawiyah
terbuktikan dengan keadaannya yang selalu dilanda kerinduan yang tinggi. Hal
itu tercermin dalam syair;
O kegembiraan, tujuan dan harapanku
Engkau semangat hatiku
Engkau telah memberikan kebahagiaan
padaku
Kerinduan kepada-Mu, merupakan
bekalku
Kalau bukan karena mencari-Mu
Tak ku jelajahi negeri yang luas
ini
Betapa banyaknya limpahan nikmat
karunia-Mu
Cinta pada-Mu tujuan hidupku.[99]
Dan di antara
tanda-tanda orang-orang yang dicinta, adalah keinginan untuk dekat kepada-Nya
dengan orang yang dicintainya, karena ia selalu rindu pada-Nya, ingin selalu
bermunajat pada-Nya, jika berjauhan ia merasa tersiksa.[100]
Kalau cinta telah
mencapai tingkat kerinduan, maka lama kelamaan perasaan itu akan berkembang
menjadi cinta yang membara. Sehingga bila mendengar nama Allah SWT, bergetar
seluruh jiwa raganya dan berkobar rasa rindu dalam hatinya.[101]
Cinta mempunyai
dua mempunyai dua gejala, kadang ia muncul dalam bentuk kerinduan, kadang ia
tampak dalam bentuk keakraban, kedua gejala-gejala tersebut sama-sama
mengungkapkan cinta. Kerinduan akan terjadi tatkala sang pencinta jauh dari
kekasihnya, dan keakraban terjadi ketika ia berada dekat dengan kekasihnya.[102]
Mengenai
"cinta Ilahi", Rabi'ah Al-Adawiyah mengenalkan dua jenis cinta
sebagaimana ia dendangkan dalam satu puisinya:
Aku cinta Kau dengan dua jenis
cinta
Cinta karena rindu dan cinta karena
Kau layak dicinta
Adapun cinta rindu karena hanya Kau
ku kenang selalu,
Bukan selain-Mu. Adapun cinta
karena kau layak dicinta,
Karena Kau singkapkan tirai sampai
Kau nyata bagiku
Bagiku, tidak puji untuk ini dan
itu, tetapi sekalian puji hanya
Bagi-Mu selalu.[103]
Rabi'ah
Al-Adawiyah dengan isi puisinya di atas memperluas arti dan ruang lingkup cinta
Ilahi, ia cinta bukan karena mengharap, tapi ia cinta karena ketulusan.
Rindunya kepada Allah telah membewa perasaan berkembang menjadi cinta yang
membara. Hatinya ingin selalu melihat Allah dan kobaran cintanya selalu
membakar kecemasan hati yang terpendam. Bila kerinduan dan keinginannya
menggelora semakin membesar, maka cinta pun akan meningkat pada derajat fana,
bahkan ia fana dihadapan Allah, fana karena cinta Ilahi.[104]
3. Sedih
Sedih merupakan
keadaan seseorang yang tanpa di sengaja muncul dari dalam batin yang merindukan
pertemuan dengan yang dicintanya, bahkan kadang-kadang yang mengalami kesedihan
itu sendiri tidak mengetahui apa penyebab kesedihan itu sendiri. Kesedihan
tersebut adalah anugerah dari Allah SWT. Rabi'ah Al-Adawiyah pernah mengalami
hal itu pada suatu ketika ia tiba-tiba menangis tersedu-sedu lalu Abdah
menegurnya:
"apa yang
sedang engkau sedihkan Rabi'ah ? tak tahu lah aku, namun akan merasa sedih
sekali. Kesedihan yang dialami Rabi'ah Al-Adawiyah seperti ia selalu menangis
sehingga ada orang yang bertanya, mengapa engkau menangis apakah engkau
menderita karena-Nya? Rabi'ah Al-Adawiyah menjawab: "O nasib penderitaan
dan nasib yang aku derita tidak seorang pun dokter yang mampu mengobatinya.
Mereka tidak akan mampu menolongku menghilangkan derita in kecuali jika
harapanku telah terwujud di alam yang lain yaitu ketika aku melihat wajah-Nya
Yang Maha Mulia.[105]
4. Cemburu dan Ikhlas
Cemburu adalah emosi
yang meresahkan yang timbul apabila seseorang merasa bahwa orang yang
dicintainya mengarahkan perhatian atau cintanya kepada orang lain, bukan pada
dirinya.[106]
Al-Junaid berkata:
"keikhlasan adalah sesuatu yang dengan jalan itu Tuhan apapun tindakannya.[107]
Telah digambarkan
suatu kepercayaan yang kukuh yang begitu dominan dalam jiwa Rabi'ah
Al-Adawiyah. Ia sadar bahwa Allah amat mencintai dirinya, begitulah ia
merasakannya kecintaan ini yang senantiasa Rabi'ah Al-Adawiyah pelihara dan
hargai, tak se-dzarroh pun gerak-gerik perilakunya yang bisa membuat
kekasihnya cemburu dan cemberut. Karena itu ia tidak mau memadu cinta dengan
yang
selain-Nya.
Tentang perasaan
Rabi'ah Al-Adawiyah akan kecemburuan Allah kepada-Nya ia tuturkan di hadapan
jamaah yang datang menjenguknya tatkala ia sakit, [108]
Keikhlasan dalam
beribadah menjadikan dirinya selalu ingat kepada Allah setiap waktu. Ia begitu
hanyut merasakan kenikmatan itu, tenang dalam zikir, dan riang mendekatkan diri
kepada-Nya. Di hatinya tumbuh kerinduan untuk bertemu dengan-Nya.[109]
Ikhlas memiliki
kekuatan yang amat perkasa. Ia mampu mengusir setiap bentuk riya dalam hati.[110]
Jika diteliti lebih mendalam sejauh manakah keikhlasan yang telah dicapai
Rabi'ah Al-Adawiyah, kita kana mendapati bahwa ia selamanya dalam lindungan
Allah. Ia telah mencapai derajat yang amat tinggi, sangat dekat kepada Allah
dan mendapatkan pancaran cahaya kerinduan-Nya. Derajat ini belum pernah dicapai
oleh orang alim atau orang shalih manapun kecuali Rabi'ah Al-Adawiyah.
C. Syair-syair Rabi'ah Al-Adawiyah
Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi, karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan bila aku menyembah-Mu
Karena mengharap surga, campakkan aku darinya.
Tetapi, jika aku menyembah-Mu
Demi Engkau semata, jangan Engkau enggan
Memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi padaku.[111]
Tuhanku, aku tenggelam dalam cinta-Mu
Hingga tak ada sesuatu pun menggangguku dalam jumpa-Mu
Tuhanku, bintang gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malam pun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malam ku Kau terima
Hingga aku berhak merengguk bahagia
Ataukah itu Kau tolak hingga aku dihimpit duka
Demi kemahakuasaan-Mu
Inilah yang selalu ku lakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu
Andai Kau usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu.[112]
Zuhud pada dunia memberi ketenangan
Sedang terlalu mendamba dunia
Menimbulkan keprihatinan atau kesedihan, karena itu...
Persiapkan dirimu, dahulukan tempat kembali
Hendaklah engkau mengurus dirimu
Dan jangan harap orang lain mengurusmu
Mereka akan membagi-bagi warisanmu
Berpuasalah sebanyak-banyaknya
Jadikan kematian sebagai hari besarmu
Mengenai diriku
Meski Allah telah melimpahkan kekayaan
Sebanyak yang telah dilimpahkan-Nya padaku
Atau berlipat ganda dari itu
Aku sama sekali tidak akan bahagia, meninggalkan
Zikir kepada Allah, walau hanya sekejap.[113]
Aku mencintaimu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa
mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu
Adalah keadaan-Mu menyingkapkan tabir hingga engkau
kulihat
Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.[114]
Tuhanku,
Selagi Engkau tidak murka padaku
Aku tak akan memperdulikan segala coba dan derita
Walau bagaimanapun
Pertolongan-Mu pasti lebih luas untukku
Aku berlindung dengan Nur wajah-Mu
Yang menerangi tujuh lapis langit
Dan yang menyinari kegelapan
Aku berlindung dari kemurkaan dan kebencian-Mu
Engkaulah yang berhak memurkaiku
Dan tiada daya dan upaya selain kekuatan
Kecuali atas pertolongan-Mu.[115]
Tuhan, kini malamku telah
pergi
Berganti siang, semakin
mengembang
Engkau terimakah ibadahku,
munajatku semalam?
Jika Engkau menerimanya, aku
sangat bahagia
Jika Engkau menolaknya aku akan
bersabar
Aku akan terus bersungguh-sungguh
Menghadapkan diri kepada-Mu
Selagi Engkau masih memberi hidup
buatku
Aku, akan mendatangi-Mu
Dan selalu berusaha agar aku
Sampai di depan pintu-Mu
Sekiranya Engkau mengusir dan
menghalauku
Aku tetap tidak akan
meninggalkan-Mu
Karena aku sangat mencintai-Mu, Ya Allah ![116]
Ketenangan ku ada dalam tapaku, kekasihku selamanya bersamaku
Aku tak pernah cinta pada selain-Nya, dan cinta kepada
manusia
Itulah ujianku, dimanapun berada, aku melihat
keindahannya,
Itulah mihrab dan kiblatku. Jika aku mati karena
cinta,
Dia akan meridhoiku .
Mustikah aku menanggung derita karena manusia ?
Alangkah naif dan menyedihkannya ! Wahai penawar hati
Yang mengabulkan segala pinta dan cinta,
Perbaikilah
hubunganku dengan-Mu supaya jiwaku terobati
Ku tinggalkan segalanya semata mengharap keridhoan-Mu.
Mungkinkah harap, pinta, dan cinta ini akan terwujud.[117]
[4] Margaret Smith, Rabi’ah
Pergulatan Spiritual Perempuan, (Surabaya : Risalah Gusti, 1997), hlm. 107.
[8] Leo F. Baccoglia, Love,
alih bahasa Anton Adiwiyanto, (Jakarta: Mutiara, 1992), cet III, hlm. 79.
[11] Said Hawwa, alih bahasa Ainur
Rafiq, dkk, Mensucikan Jiwa, (Jakarta :
Rabbani Press, 2003), cet VI, hlm. 335.
[12] Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya
Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafika Persada, 1997), cet II, hlm. 84.
[15] Abu Al-Wafa Al-Ghanimi
Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm.
87.
[16]
Margareth Smith, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1997), hlm. 114.
[19]
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Depag, 1985),
hlm. 41.
[21] Ibid.
[22] Departemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Depag, 1985), hlm. 260.
[23] Chatib
Quzwain, Mengenal Allah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 104.
[34] Asfari dan Sukatno CR
(ed), Ahmad Norma, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah (Yogyakarta:
Bentang, 1997) cet I, hlm. 41.
[39] Asfari
dan Sukatno CR (ed), Ahmad Norma, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta:
Bentang, 1997), cet I, hlm. 44.
[41] Harun Nasution, Islam
Rasional: Gagasan dan Pemikiran (ed) Syaiful Muzani, (Bandung: Mizan,
1995), hlm. 36.
[42] Harun Nasution, Filsafat
dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet IX, hlm.
63.
[43] Asfari dan Sukatno CR (ed),
Ahmad Norma, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta: Bentang,
1997), cet I, hlm. 67.
[48] Fawzi Sanaqrati, Tadarrub
Menggapai Pertolongan Allah, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1994), hlm.
41.
[49] Asfari dan Sukatno CR
(ed), Ahmad Norma, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta:
Bentang, 1997) cet I, hlm. 71.
[51] Muh Atiyah Khamis, Penyair
Wanita Sufi Rabi'ah Al-Adawiyah, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000), cet VI, hlm. 31.
[53] Asfari dan Sukatno CR
(ed), Ahmad Norma, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta:
Bentang, 1997), cet I, hlm. 77.
[57] Hamzah Ya'qub, Tingkat
Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin, (Jakarta: Atisa, 1992),, cet IV, hlm.
239.
[64] Syaikh Syihabuddin Umar
Suhrawardi, 'Awarif Al-Ma'arif, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm.
163.
[65] Allamah Sayyid Abdullah
Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, (Bandung: Mizan, 1998), cet X, hlm.
258.
[66] Hamzah Ya'qub, Tingkat
Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin, (Jakarta: Atisa, 1992), cet IV. hlm.
287.
[67] Ibnu Mahalli Abdullah
Umar, Cinta Suci Perawan Suci, (Yogyakarta :
Kreasi Wacana, 2002), hlm. 171.
[68] Abdul Mun'im Qandil, (ed)
Muhiddin M Dahlan, Cinta Mistik Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta :
Mujadalah, 2003), cet II, hlm. 168.
[75] Asfari dan Sukatno CR
(ed), Ahmad Norma, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta:
Bentang, 1997), cet I, hlm. 85.
[77] Abdul Mun'im Qandil,
(ed) Muhiddin M Dahlan, Cinta Mistik Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta : Mujadalah, 2003), cet II, hlm. 168.
[78] Asfari dan Sukatno CR
(ed), Ahmad Norma, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta: Bentang,
1997) cet I, hlm. 86.
[82] Abdul Mun'im Qandil, (ed) Muhiddin M
Dahlan, Cinta Mistik Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta :
Mujadalah, 2003), cet II, hlm. 218.
[83] Asfari dan Sukatno CR
(ed), Ahmad Norma, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta:
Bentang, 1997) cet I, hlm. 86.
[84] Harun Nasution, Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet IX, hlm.
67.
[85] Asfari dan Sukatno CR
(ed), Ahmad Norma, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta:
Bentang, 1997) cet I, hlm. 90.
[86] Imam Al-Ghazali, Raudhah
Taman Jiwa kaum Sufi, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1995), cet II, hlm. 147.
[88] Muh Atiyah Khamis, Penyair
Wanita Sufi Rabi'ah Al-Adawiyah, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000), cet VI, hlm. 61-62.
[89] Abdul Mun'im Qandil, (ed)
Muhiddin M Dahlan, Cinta Mistik Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta :
Mujadalah, 2003), cet II, hlm. 219-220.
[93]
Al-Kalabadzi, Ajaran Kaun Sufi, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 121.
[94] Imam Al-Ghazali, Raudhah
Taman Jiwa kaum Sufi, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1995), cet II, hlm. 131.
[98] Asfari dan Sukatno CR
(ed), Ahmad Norma, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta:
Bentang, 1997), cet I, hlm. 90.
[99] Ibid.
[100] Muh Atiyah Khamis, Penyair
Wanita Sufi Rabi'ah Al-Adawiyah, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000), cet VI, hlm. 68.
[102] Muh. Muhdi Al-Shifly,
Muatan Cinta Ilahi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), cet. III, hlm. 31.
[105] Asfari dan Sukatno CR
(ed), Ahmad Norma, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta:
Bentang, 1997), cet I, hlm. 90.
[108] Abdul Mun'im Qandil,
(ed) Muhiddin M Dahlan, Cinta Mistik Rabi'ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta : Mujadalah, 2003), cet II, hlm. 282-283.
[111] Asfari dan Sukatno (ed)
Ahmad Norman, Mahabbah Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah (Yogyakarta: Bentang,
1997), hlm. 113.
[115] Abdul Mun'im Qandil
(ed) Muhiddin M Dahlan, Cinta Mistik Rabi'ah Al-Adawiyah (Yogyakarta : Mujadalah, 2003), hlm. 53.
0 Response to "Munajat Cinta Rabiah al Adawiyah dalam Dimensi Sufi"
Post a Comment