Image1

Konsep Ulul Albab dalam al Quran sebagai Sosok Intelektual dalam Pendidikan

Konsep ulul albab dalam al quran | konsep ulul albab sebagai sosok intelektual | konsep ulul albab dalam pendidikan

KONSEP ULŪ AL-ALBĀB DALAM AL-QUR'ĀN 
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
(PENDEKATAN TAFSĪR MAUŪ‘IY-FILOSOFIS-CRITICAL PEDAGOGY)

A.     Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan aktivitas yang sengaja dilakukan untuk mengaktualisasikan segala potensi yang ada pada diri peserta didik, baik yang menyangkut ranah afektif (ruhiyah), kognitif (‘aqliyah) maupun psikomotorik (jasadiyah). Pendidikan yang merupakan usaha sadar untuk mengembangkan individu secara penuh tersebut, sarat akan norma dan nilai-nilai. Oleh karena itu, norma dan nilai-nilai menjadi penting dalam semua perencanaan pendidikan; baik itu norma sekularis, humanis, marxis maupun religius. Islam  memberikan sebuah norma obyektif untuk semua pelaksana pendidikan.[1]  Pendidikan dalam Islam  yang memberikan norma obyektif tersebut bersumber pada al-Qur'ān  dan al-a.
Al-Qur'ān sebagai sumber pedoman bagi umat Islam mengandung nilai-nilai yang membudayakan manusia. Begitu pula dengan nilai yang berkaitan dengan pendidikan, hampir dua pertiga ayat-ayat dalam al-Qur'ān mengandung motivasi kependidikan bagi umat manusia.[2]  Salah satu hal yang disebutkan dalam al-Qur'ān adalah tentang tujuan pendidikan Islam.
Tujuan akhir dari pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'ān surat Al-Anbiyā' (21) ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (107)
yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”[3] Ayat tersebut mengandung hakikat tentang misi Islam, yaitu membawa kesejahteraan manusia di dunia maupun di akhirat. Jika ayat tersebut dikaitkan dengan pendidikan, maka dapat dipahami bahwa pendidikan berorientasi untuk melahirkan generasi yang mampu melaksanakan misi ramatan li al-‘ālamīn dan menjadi agen perubahan sosial (agent of social change).
Kalau kita cermati bahwa salah satu ciri dari pendidikan Islam yaitu perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam, maka dengan kata lain, pendidikan Islam itu merupakan upaya sadar dalam rangka pembentukan kepribadian muslim.[4] Di sini dapat dipahami bahwa tugas pendidikan pada umumnya termasuk pendidikan Islam pada khususnya adalah untuk membantu peserta didik agar memiliki sifat-sifat kepribadian yang unggul dan kemampuan untuk mewujudkan diri menjadi sosok yang sampai pada puncak pramid manusia. Sosok manusia tersebut unggul dalam kehidupan material, sosial dan unggul pula dalam kehidupan spiritual berdasarkan ajaran agama Islam. Ketiga keunggulan tersebut bersifat saling menunjang, sehingga mampu mewujudkan kehidupan yang selamat, bahagia dan sejahtera dunia dan akhirat.[5] Dengan demikian, output ideal yang seharusnya dicapai oleh lembaga pendidikan adalah manusia-manusia yang mempunyai kesiapan untuk mencapai karakteristik cendekiawan atau intelektual.
Akan tetapi, realita yang terjadi saat ini, ternyata kejahatan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai, justru banyak dilakukan oleh penjahat kerah putih (white collar crime), yaitu kaum atau golongan yang notabenenya adalah kaum yang seharusnya memberikan teladan kepada masyarakat luas. Tindakan yang merugikan masyarakat luas ini merupakan kejahatan yang dilakukan oleh golongan yang terpelajar, terdidik, para pengusaha, para pejabat dalam menjalankan peran dan fungsinya. Bahkan kejahatan kerah putih ini lebih berbahaya daripada yang dilakukan oleh kaum kerah biru (blue collar crime), yang merupakan golongan yang menempati strata rendah, kaum kurang terdididik, kurang terpelajar.[6] Hal ini menunjukkan salah satu kegagalan pendidikan dalam menghasilkan output dan outcome yang berkualitas.
Kegagalan lain yang menimpa dunia pendidikan saat ini adalah persoalan inkonsistensi, irasionalitas, pragmatisme, suka mencari jalan pintas dan serba instant merupakan persoalan budaya dan mentalitas yang ditimbulkan oleh kesalahan mendidik, mendidik yang menindas murid; maka dari itu, produk pendidikan selama ini juga sering melakukan manipulasi, korupsi, dan menindas sesama.[7]  Adanya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pun menunjukkan sikap yang tidak toleran, saling mencurigai, terjadi pelecehan hokum dan masyarakat kehilangan rasa persatuan dan toleransi. Hal ini mencoreng wajah dunia pendidikan yang ternyata mengisolasikan manusia dari sesamanya, dari masyarakatnya; sehingga, menghasilkan output dan outcome yang tidak bertanggung jawab dan tidak berbudaya (not civilized).[8]
Bertolak dari realita tersebut, maka pendidikan secara umum dan khususnya pendidikan Islam seharusnya mampu menghasilkan output dan outcome yang mampu mengemban misi ramatan li al-‘ālamīn; mempunyai kesadaran transendental. Karakteristik cendekiwan muslim yang dianggap kompeten membangun masyarakat yang berperadaban tersebut dalam al-Qur'ān disebut sebagai ulū al-albāb. Menurut Dawam Rahardjo, kata yang paling tepat untuk dirujuk dalam konteks makna dan tugas cendekiwan muslim dewasa ini adalah ulū al-albāb, sebab dalam kata ulū al-albāb itulah kombinasi antara ulamā` dan pemikir itu terlihat dengan jelas. Kata ulū al-albāb merupakan sebuah konsep yang penting dalam al-Qur'ān berkaitan dengan hakikat sosial keberagamaan Islam.[9] Kata ini disebutkan sebanyak 16 kali di dalam al-Qur'ān.[10] Ulū al-albāb inilah yang nantinya menjadi sebuah tawaran output sekaligus outcome pendidikan, mengingat kegagalan-kegagalan pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Ulū al-albāb sementara ini dipahami sebagai seorang muslim yang beriman, memiliki wawasan keilmuan, mengamalkan ilmunya dan memperjuangkan gagasan-gagasannya sampai terwujud suatu tata sosial yang diridloi Allāh Swt.[11] Batasan ini nampak terlalu ideal, tetapi karakteristiik ulū al-albāb yang diharapkan menjadi output dan outcome ideal pendidikan memang demikianlah seharusnya. Secara sekilas, karakter ulū al-albāb ini dapat dipahami melalui ayat-ayat al-Qur'ān, antara lain QS. Ali ‘Imrān (3) ayat 190-191. Kemudian wawasan keilmuan yang dimaksud di sini sudah barang tentu yang Islami dan yang harus dicari secara berkesinambungan sambil diamalkan dan diperjuangkan, sehingga secara keseluruhan memiliki kesadaran sami’nā wa aa’nā kepada Allāh Swt. dalam proses tugas kecendekiawanannya. Jadi, target ideal yang harus dicapai oleh lembaga pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia yang mempunyai kesiapan untuk mencapai karakteristik ulū al-albāb seperti yang dimaksud. Output dan outcome pendidikan seperti inilah yang merupakan arah yang harus dituju  agar kelak mampu mewujudkan peradaban Islam alternatif.[12]
Menurut  Samuel P. Huntington, modernisasi dan perkembangan moral manusia merupakan  hasil dari tingginya tingkat modernisasi dan perkembangan  moral manusia merupakan hasil dari tingginya tingkat pendidikan, kesadaran dan pemahaman manusia  terhadap dirinya sendiri dan alam yang menggerakan suatu peradaban pada tingkatan yang lebih tinggi. Ketika suatu peradaban berkembang, ia semakin kokoh dan mampu mengembangkan berbagai teknologi dan keahlian yang menjadikannya semakin berperadaban (civilized).[13] Dengan demikian, idealnya keluaran pendidikan itu mampu menciptakan sebuah  budaya dan tradisi menuju terwujudnya  masyarakat   berperadaban (civilized society).
Apabila dicermati, gambaran output dan outcome pendidikan yang ditawarkan oleh al-Qur'ān, yang diharapkan mampu memunculkan peradaban Islām   alternatif tersebut, selaras dengan apa yang telah dicanangkan oleh UNESCO tentang empat pilar pendidikan yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk mengerjakan), learning to be (belajar untuk menjadi) dan learning to live together (belajar untuk bisa hidup bersama dalam masyarakat). Menurut UNESCO, keluaran dari proses pendidikan  merupakan pribadi utuh dengan keunggulan secara berimbang  dalam aspek spiritual, sosial, intelektual, emosional dan fisikal. Di samping itu, juga pendidikan yang  mempersiapkan peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan hidup secara seimbang antara  kehidupan dunia dan akhirat, antara kehidupan pribadi dengan kehidupan bersama (sosial).[14]
Akan tetapi, realitanya jika ditelusuri secara teliti, kiprah  ulū al-albāb (cendekiawan muslim) dewasa ini di berbagai belahan dunia, ideal cendekiawan tersebut baru terwujud dalam jumlah yang sangat kecil, tidak sebanding dengan jumlah umat dan lembaga pendidikan Islam yang ada. Biasanya mereka yang segelintir tersebut, memiliki keprihatinan yang mendalam mengenai keadaan umat yang semakin tidak menentu ini. Pernyataan terakhir merupakan pembeda utama eksistensi cendekiawan muslim dengan cendekiawan di luar mereka, yang cenderung meninggalkan umat karena menjadi pengabsah agung terhadap politik tertentu, berakrab-akrab dengan budaya barat sampai lebur identitas kemuslimannya.[15]
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa ulū al-albāb merupakan sebuah output/outcome ideal yang harus dicapai oleh pendidikan Islām. Namun kenyataannya, kian hari umat Islām semakin tertinggal jauh dari tuntutan zaman. Dengan kata lain, pendidikan belum berhasil menciptakan output dengan karakteristik ulū al-albāb, ulamā` dan pemikir, karena kurang adanya kejelasan orientasi/ tujuan pendidikan. Selain itu, keluaran pendidikan dipahami hanya sebagai output, tidak sampai menyentuh wilayah outcome pendidikan. Padahal, tantangan pendidikan Islām di era post-modern ini sangatlah berat.
Dengan demikian, apakah konsep ulū al-albāb yang menjadi tawaran konseptual pendidikan tersebut perlu mendapatkan penafsiran yang lebih luas dan lebih jelas dalam dunia pendidikan. Kemudian, apakah ke depan pendidikan mampu mencetak output dan outcome tersebut; maka dari itu, perangkat seperti apa sajakah yang diperlukan untuk melahirkan generasi yang mampu melakukan transformasi sosial dan menciptakan civil society serta melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan yang lain dalam rangka melaksanakan misi ramatan li al-‘ālamīn.
Untuk menjawab berbagai persoalan pendidikan di atas, maka penelitian tentang konsep ulū al-albāb dalam al-Qur'ān dan implikasinya terhadap pendidikan Islam (pendekatan tafsīr  mauū‘iy-filosofis-critical pedagogy) ini, memfokuskan pembahasan pada pengkajian secara tematik (mauū‘iy) terhadap teks-teks al-Qur'ān yang mengandung kata ulū al-albāb dengan melakukan penggalian kepada sumber data primer dan data sekunder, untuk mengetahui makna term ulū al-albāb tersebut sesuai dengan konteks turunnya ayat. Langkah selanjutnya, dilakukan analisa secara sintetik-analitik terhadap datum-datum tersebut melalui pendekatan filosofis, yaitu dengan menggunakan metode hermeneutik untuk melihat teks ayat tersebut dan bagaimana konteks sekarang. Akhirnya, untuk melihat bagaimana implikasi konsep tersebut terhadap pendidikan Islām saat ini, pembahasan akan dibingkai dalam kerangka pendidikan (critical pedagogy). Sehingga diharapkan dari penelitian ini, akan ditemukan adanya desain format pendidikan Qur'āni yang mampu menghasilkan output dan outcome pendidikan yang unggul dan berkualitas.
Perlu dipahami, bahwa konsep adalah rancangan yang telah ada dalam fikiran; ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; gambaran mental dari obyek; proses atau apa pun di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.[16]  Menurut Zamroni, konsep dibangun dari definisi. Suatu definisi adalah sistem terminologi, seperti kalimat, simbol atau rumus matematika yang menunjukkan fenomena sebagaimana dimaksud oleh konsep.[17]  Konsep yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah konsep ulū al-albāb yang digali dari paradigma al-Qur'ān dan dari konsep tersebut akan didesain format sebuah pendidikan Islam berorientasi ulū al-albāb.      
B.     Rumusan Masalah
Berpijak pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan yang akan dibahas. Adapun rumusan masalah tersebut adalah:
1.       Bagaimana konsep ulū al-albāb dalam al-Qur'ān?
2.       Bagaimana implikasi konsep ulū al-albāb terhadap pendidikan Islam?

C.     Kajian Pustaka (Prior Reseach on Topic)
Kajian pustaka memuat dua bagian pokok, yaitu mengkaji hasil penelitian yang relevan dan landasan teori.
1.       Penelitian terdahulu (Prior Research on Topic)
Pembahasan tentang ulū al-albāb dipandang sangat perlu dan relevan untuk mempersiapkan generasi berkualitas dan menghasilkan output pendidikan yang mampu melakukan sebuah transformasi sosial. Tetapi cukup disayangkan, penelitian ilmiah tentang masalah ini belum  banyak dilakukan. Beberapa kajian yang telah terdahulu, dirasakan peneliti masih kurang begitu mendalam, apalagi tidak sampai menyentuh pada wilayah implikasi kependidikan.
Setelah mengadakan penelitian kepustakaan, sejauh pengamatan dan penelusuran penyusun terhadap karya-karya ilmiah baik skripsi maupun tesis di perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, judul “Konsep Ulū al-Albāb dalam Al-Qur'ān dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam (Pendekatan Tafsīr  Mauū‘iy - Filosofis – Critical Pedagogy)” belum ada. Meskipun demikian, penulis menemukan beberapa tulisan yang telah membahas tentang ulū al-albāb  ataupun tentang intelektual muslim dalam al-Qur'ān .
Adapun judul buku yang membahas tentang ulū al-albāb,  sebatas yang penulis ketahui antara lain:
a.       Buku karya M. Quraish Shihab yang berjudul "Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (2003), pada bagian kedua, bab IV  membahas tentang peran dan tanggung jawab intelektual muslim. Dalam bab IV buku tersebut, dibahas tentang siapakakah intelektual muslim yang dibahas dalam QS. Alī-‘Imrān ayat 190-195, bagaimana peran dan tanggung jawabnya dari sisi ketahanan di bidang ideologi, ketahanan di bidang politik, ketahanan di bidang ekonomi serta ketahanan di bidang budaya. Menurut Quraish Shihab, Ulū al-albāb didefinisikan dengan orang yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[18]
1)      Berdzikir atau mengingat Allāh Swt. dalam segala situasi dan kondisi,
2)      Memikirkan atau memperhatikan fenomena alam raya, yang pada saatnya memberi manfaat ganda,
3)      Berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata, khususnya dalam kaitan hasil-hasil yang diperoleh dari pemikiran dan perhatian tersebut.
Dari ciri-ciri tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran ulū al-albāb tidak hanya sebatas pada perumusan dan pengarahan kepada tujuan-tujuan, tetapi sekaligus harus memberikan contoh pelaksanaan serta sosialisasinya di tengah masyarakat.
Akan tetapi, ada yang terasa kurang, yaitu tulisan tersebut tidak menyebutkan dan membahas semua ayat tentang ulū al-albāb, hanya beberapa ayat saja yang dikaji. Sehingga, dalam pembahasan tersebut analisanya dianggap kurang menyeluruh dan kurang mencakup makna "intelektual muslim" yang dimaksudkan oleh al-Qur'ān. Di samping itu, tampaknya Quraish Shihab juga tidak menggunakan al-adī untuk menjelaskan ayat tentang ulū al-albāb.
b.       Ensiklopedi Al-Qur'an karya M. Dawam Rahardjo, yang berjudul: "Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci" (1996), dalam entri ulū al-albāb. Dalam entri tersebut, Dawam Rahardjo menelusuri makna kata ulū al-albāb dengan sepenuhnya merujuk kepada al-Qur'ān dan tinjauan sosiologis..
Dawam Rahardjo mengutip pendapatnya Hanna E. Kassis dalam a Concordance of the Qur'an (1993), menyebutkan arti kata ulū al-albāb sebagai:
1)      Orang yang mempunyai pemikiran (mind) yang luas atau mendalam,
2)      Orang yang mempunyai perasaan (heart) yang peka, sensitif atau yang halus perasaannya,
3)      Orang yang memiliki daya pikir (intellect) yang tajam atau kuat,
4)      Orang yang memiliki pandangan dalam atau wawasan (insight) yang luas, dan mendalam,
5)      Orang yang memiliki pengertian (understanding) yang akurat, tepat atau luas, dan
6)      Orang yang memiliki kebijakan (wisdom), yakni mampu mendekati kebenaran, dengan pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan adil.
Kesimpulan Dawam Rahardjo, Ulū al-albāb adalah seorang yang mempunyai otak yang berlapis-lapis dan sekaligus, memiliki perasaan yang peka terhadap sekitarnya. Kata “cendekiawan” adalah padanan katanya, yaitu sekelompok orang yang memiliki misi dan komitmen terhadap prubahan sosial dan mempunyai keberanian moral untuk membela dan mempertahankan kebenaran dan keadilan.
Dalam ensiklopedi tersebut telah banyak dibahas ayat-ayat yang berkaitan dengan ulū al-albāb. Ulū al-albāb telah dikupas dan diulas dengan tajam. Namun demikian,  tidak semua ayat yang mengandung kata itu diulasnya, hanya sebagian besar saja. Di samping itu, dalam uraiannya, Dawam Rahardjo tidak menggunakan satu adi  pun untuk memperjelas konsep ulū al-albāb itu sendiri. Pembahasan pun masih terkesan singkat serta  belum ada pembahasan dari sisi implikasi konsep tersebut  terhadap pendidikan Islam.
Berpijak dari uraian di atas, maka penelitian ini lebih memfokuskan pembahasan pada implikasi konsep ulū al-albāb terhadap pendidikan Islam dengan sebelumnya mengkaji konsep ulū al-albāb  dalam al-Qur'ān  dengan metode mauū‘iy.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian dan pengkajian terdahulu (prior research on topic) tentang konsep ulū al-albāb ini adalah: pertama, dalam penelitian ini metode mauū‘iy yang diterapkan, menggunakan al-adi untuk menemukan makna ulū al-albāb; berbeda dengan penelitian terdahulu di atas. Maka dari itu, diharapkan makna konsep yang ditemukan lebih utuh dan luas. Kedua, dalam menganalisa data hasil penelitian, digunakanlah pola berpikir sintetik-analitik (konteks à teks à konteks). Ketiga, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi mauū‘iy  (tematik), filosofis dan critical pedagogis, sehingga pembahasannya sampai menyentuh pada wilayah implikasi kependidikan. Ketiga hal inilah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu. Asumsi yang dibangun, dengan adanya ketiga perbedaan ini, akan sangat memperjelas hasil penelitian ini dan membedakan dengan hasil penelitian terdahulu (clear and distinc).
2.       Landasan Teori dan Konsep
Pada bagian ini, diuraikan tentang teori-teori yang dianggap relevan dengan konsep ulū al-albāb dan implikasi konsep tersebut terhadap pendidikan. Landasan teori di sini dijadikan sebagai alat untuk menganalisis data yang ditemukan. Setelah mengetahui kesimpulan sementara dari para peneliti terdahulu tentang konsep ulū al-albāb, maka beberapa teori dalam kerangka pendidikan  yang dapat digunakan untuk menganalisa konsep ulū al-albāb dalam penelitian ini antara lain:
a.       Teori Multiple Intelligence
Dr. Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind, tahun 1983, menampilkan Theory of Multiple Intelligence yang terdiri atas tujuh kecerdasan yang meliputi:[19]
1)      Linguistic intelligence (kecerdasan linguistik), merupakan kemampuan untuk berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks.
2)      Logical-mathematical intelligence (kecerdasan logika-matematika), merupakan kemampuan dalam menghitung, mengukur, dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis, serta menyelesaikan operasi-operasi matematis.
3)      Spatial intelligence (kecerdasan spasial), membangkitkan kapasitas untuk berfikir dalam tiga cara dimensi. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang untuk merasakan bayangan eksternal dan internal, melukiskan kembali, merubah, atau memodifikasi bayangan.
4)      Bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestetik-tubuh), memungkinkan seseorang untuk menggerakkan objek dan ketrampilan-ketrampilan fisik yang halus.
5)      Musical Intelligence (kecerdasan musik), jelas kelihatan pada seseorang yang memiliki sensitivitas pada pola titinada, ritme, melodi dan nada.
6)      Interpersonal Intelligence (kecerdasan interpersonal) merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif.
7)      Intrapersonal Intelligence (kecerdasan intrapersonal), merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang.
b.       Teori Sosial Kritis (Mazhab Frankfurt)
Merupakan teori yang mempengaruhi dan mempunyai kesamaan orientasi dengan pedagogik kritis. Menurut para pemikir kritis, krisis masyarakat yang disebabkan oleh rasionalisme dan positivisme, hanya dapat diatasi melalui proses kesadaran (self conscious) terhadap peranan akal. Kesadaran diri (self consciousness) melahirkan dua bentuk sikap, yaitu sikap kritis dan kemauan manusia untuk bertindak mengubah keadaan. Menurut Mazhab Frankfurt, rasio bukan lagi digunakan untuk melakukan berpikir kritis, tetapi rasio dijadikan sebagai pusat berpikir dan berbuat dalam rangka pemerdekaan masyarakat. [20]
Salah satu tokoh teori kritis sosial ini adalah Jurgen Habermas. Menurutnya ada tiga wawasan atau domain kelanggengan hidup, yaitu reproduksi budaya, integrasi sosial, dan proses sosialisasi.[21] Masing-masing domain tersebut mempunyai strukturnya.
c.       Konsep Critical Pedagogy Paulo Freire
Hal ini berawal dari filsafat pendidikan Freire, yaitu keadaan keadaan manusia menjadi sangat penting untuk mengubah realitas sosial. Konsepnya tentang pedagogik yaitu: pertama, pedagogik yang dikemukakan haruslah bersifat pendidikan yang membebaskan. Kedua, pedagogik yang otentik adalah tindakan kultural yang politis. Ketiga, pendidikan tradisional menerapkan metode bank. Keempat, pendidikan dialogis adalah pendidikan yang menantang masalah-masalah. Dengan demikian, pendidikan haruslah memberikan kesadaran atau membangkitkan konsiensia.[22] Prinsip-prinsip pendidikan kritis yaitu: pertama, manusia di dalam keberadaannya selalu berdialog dengan subyek yang laindan dengan dunianya. Kedua, pengetahuan yang diperoleh dalam lingkungan sekolah selalu terikat dengan suatu interest, ilmu adalah konstruksi sosial. Ketiga, adanya kelas-kelas sosial membatasi individual. Keempat, pemaksaan kebudayaan melalui kekuasaan telah membatasi kemerdekaan dan perkembangan individual untuk mengambil keputusan-keputusannya. Kelima, hegemoni atau sistem kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari ideology. Keenam, pendidikan kritis yang menghasilkan tindakan dan pengetahuan haruslah diarahkan mengeliminasi penindasan, tetapi dalam keadaan yang sama dalam mencapai keadilan dan kemerdekaan. Ketujuh, adanya kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Kedelapan, lembaga sosial yang berkaitan dengan struktur kekuasaan cenderung merupakan lembaga untuk reproduksi sosial; apabila lembaga sekolah telah berfungsi sebagai lembaga yang mematikan kesadaran dan kebebasan manusia, maka tidak mengkin diharapkan sekolah menjadi agen perubahan.[23]


[1] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Firdaus, 1996), hal. 23.
[2] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 33.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur'ān dan Terjemahnya (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2000), hal. 264.
[4] Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam  (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 28.
[5] Hadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hal. 329.
[6] Soerjono Soekanto, Sosiologi  Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 409-411.
[7] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan (Yogyakarta: LKiS, 2005), hal.
[8] H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2002), hal. xxxvi.
[9] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur'ān: Tafsīr Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 550.
[10] Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981), hal. 644.

[11] Muslih Usa, (ed), Pendidikan Islam di Indonesia: antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal 111.
[12] Ibid, hal. 112.
[13] Samuel P. Huntington, Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, penerjemah: M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Qalam, 2003), hal. 621.
[14] Abdul Madjid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal 1-2.
[15] Muslih Usa, (ed), Pendidikan Islam..., hal. 112.
[16] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hal. 456.
[17] Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hal. 95.
[18] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2004), hal. 389.
[19] Linda Campbell, dkk., Multiple Intelligences: Metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan, penerjemah: Tim Inisiasi (Jakarta: Inisiasi Press, 2002), hal. 2-3.
[20] H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan…..,  hal.245-246.
[21] Ibid,  hal. 221-224.
[22] Ibid, hal. 235-236.
[23] Ibid, 236-242.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Konsep Ulul Albab dalam al Quran sebagai Sosok Intelektual dalam Pendidikan"

Post a Comment