Makalah Konsep Pendidikan Menurut Paulo Freire
Konsep Pendidikan Menurut Paulo Freire | Konsep pendidikan pembebasan paulo freire | Konsep pendidikan pembebasan menurut Paulo Freire |
Pada saat ini, dalam realita dewasa ini Pendidikan menjadi sangat urgen
dan penting serta fital bagi kelanjutan generasi penerus bangsa, didalam dunia Pendidika
,masalah pendidikan adalah problem kehidupan yang tidak lepas dari keberadaan
manusia itu sendidri, artinya berbicara pendidikan juga berbicara dalam
perkembangan yang dihadapi oleh manusia sebagai mahluk yang berpotensi untuk
memakai apa yang telah di lakukan terhadap dirinya sendiri.
Dari dulu hingga sekarang dalam pembelajaran telah banyak mengalami
banyak perubahan baik dari materi pembelajaran maupun dari metode – metode yang
digunakan dalam proses pembelajaran, walaupun saat ini telah banyak muncul konsep - konsep dan
metode-metode yang digunakan dalam proses pembelajaran tapi dalam realitas dan
kenyataanya masih banyak guru yang tidak menggunakan konsep baru yang ada saat
ini. Yaitu: konsep yang baru dan memanusiakan manusia. (humanis)[1]
Sekolah diciptakan untuk tempat para siswa belajar, dengan pengertian ini yang
perlu ditekan oleh para pendidik. Berbagai fasilitas pembelajaran yang lain
disediakan untuk membantu para siswa melaksanakan kegiatan belajarnya.
Dengan berbagai fasilitas yang tesedia disekolah guru harus berusaha
kreatif dan tidak terikat dengan fasilitas sekolah yang tersedia agar murid
tidak monoton dalam menerima pelajaran, sehingga nantinya membuat murid menjadi
aktif dan dalam pembelajaran akan menjadi menyenangkan serta tidak membelenggu
kebebasan peserta didik didalam kegiatan pembelajaran serta bisa mengembangkan
kreatifitas dan kemampuan yang di miliki peserta didik.
Dinamika dan pergeseran masyarakat yang melingkupi dunia pendidikan pada
akhirnya juga berimbas pada dunia pendidikan juga. Dunia sudah sangat berubah, sementara
dunia pendidikan tampaknya kalah gesit dengan laju perkembangan teknologi,
perubahan masyarakat. Hal itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang tidak aneh
karena juga berlaku untuk dunia hukum, dimana perangkat hukum senantiasa gagap dan
tertinggal menggikuti perkembangan zaman, jika diamati lebih jauh dunia
pendidikan juga tidak hanya berdiam diri. Berbagai macam konsep terus
bermunculan dan tumbuh antara lain:
1. Pendidikan Berbasis Kompetensi.
2 .Pendidikan untuk orang dewasa .
3 .Pendidikan yang membebaskan .
4. Quantum learning dan quantum teaching.[2]
Kuatnya pengaruh filsafat positifisme dalam pendidikan, dalam kenyataan
mempengaruhi pandangan pendidikan terhadap masyarakat. Metode yang di
kembangkan pendidikan mewarisi positifisme seperti obyektifitas, empiris, tidak
memihak, rasional dan bebas nilai. Hal ini juga mempengaruhi pemikiran tentang
pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan menjadi a-historis, yaitu mengelaborasi
model masyarakat dengan cara mengisolasi banyak fariabel dalam model tersebut.
Murid dididik untuk tunduk pada struktur yang ada serta mencari cara-cara
dimana peran, Norma, dan nilai – nilai serta lembaga yang dapat diintegrasikan
dalam rangka melanggengkan sistim tersebut. Asumsinya bahwa tidak ada masalah
dalam sistim yang ada, masalahnya terletak pada mentalitas anak, kreatifitas, motifasi,
keterampilan tehknis serta kecerdasan anak didik. Dari kerangka paradigma dan
pendekatan diatas maka di perlukan suatu usaha untuk meletakan pendidikan dan dalam
proses transformasi dalam keseluruhan sistim perubahan sosial. Setiap usaha
pendidikan dan perlu dilakukan analisis struktural dan menempatkan posisi di
mana sesungguhnya lokasi keberpihakan usaha pendidikan dalam struktur tersebut.
Tanpa visi dan keberpihakan yang jelas, setiap usaha pendidikan sesungguhnya
menjadi institusi yang kritis menuju pada perubahan.
Usaha pendidikan juga perlu melakukan identifikasi isu-isu strategis dan
menetapkan visi dan mandat mereka sebagai gerakan pendidikan. Tanpa pemihakan, visi,
analisis dan mandat yang jelas maka proses pendidikan adalah bagian dari status
quo, dan melanggengkan ketidakadilan. Selain itu paradigma kritis juga
berimplikasi terhadap metodologi dan pendekatan pendidikan serta proses belajar
mengajar yang diterapkan. Pandangan kritis termasuk melakukan transformasi
hubungan guru dan murid dalam perspektif yang didominasi dan mendominasi. Dimana
guru menjadi subyek dan murid menjadi objek dalam pendidikan, perspektif kritis
adalah bagian dari problem dehumanisasi. Dengan kata lain paradigma pendidikan
kritis tidak saja ingin membebaskan dan mentransformasikan pendidikan dengan
struktur diluarnya saja, tapi juga bercita-cita mentranformasikan relasi knowledge / power dan dominasi hubungan yang
“mendidik”dan yang dididik didalam diri pendidikan itu sendiri.
Usaha pendidikan sesunguhnya secara struktural adalah bagian dari sistim
sosial, ekonomi dan politik yang ada oleh karena itu banyak orang yang pesimis
untuk berharap mereka sebagai badan untuk berdaya kritis. Penganut faham
“reproduksi”dalam pendidikan umumnya percaya bahwa pendidikan sulit di harapkan
untuk memerankan perubahan, melainkan mereka justru yang mereproduksi sistim yang
ada atau sistim hukum yang berlaku. Dalam perspektif kritis, Terutama aliran reproduksi
dalam pendidikan. Hal ini proses
pendidikan berarti harus memberi ruang untuk menyingkirkan segenap hal yang “tabu”
untuk mempertanyakan secara kritis sistim dan struktur yang ada serta hukum
yang berlaku.[3]
Namun juga harus diakui berbagai upaya tersebut terutama diindonesia
belum banyak menolong kegagalan - kegagalan yang ada. Kegagalan para guru tentu
banyak faktor dan sebab, salah satu alasan yang paling klasik adalah rendahnya
anggaran pendidikan dan tentunya rendahnya kesejahteraan guru.
Diluar alasan klasik diatas dan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh
dunia pendidikan antara lain Satu : Evaluasi terhadap paradigma keilmuan
serta metodologi ilmu pendidikan, untuk pendidikan yang lebih humanis. Kedua: Evaluasi Cara guru memandang
murid, maupun cara guru membayangkan / dan mengharapkan perilaku siswa terhadap
guru.
Ketiga: Evaluasi terhadap metode pengajaran dari berbicara kepada
“menjadi “berbicara” dengan. Dan dalam dunia pendidikan Islam juga telah banyak
mengalami berbagai perubahan dari metode-metode pengajaran yang dulunya
bersifat konfensional (tradisional) menuju pada metode-metode yang bisa
memerdekakan peserta didik (modern). Sehingga dunia pendidikan tidak mengalami
stagnan dalam pembelajaran, jadi terdapat variasi-variasi atau metode-metode
dalam pengajaran dan pembelajaran.
Untuk itu pendidikan pemerdekaan (humanis) yang menekankan pada
partisipatori terhadap peserta didik, menekankan pada relasi yang setara antara
guru dan murid atau pendidik (guru). Pendidik atau guru membebaskan peserta
didik untuk berpendapat dan menganalisa serta mengkritisi metode belajar,
materi yang diajarkan dan kalau perlu gurunya yang dikritik untuk bagaimana
cara mengajar yang memanusiakan manusia, dari caranya mengajar atau media yang
digunakan untuk mengajar kalau tidak sesuai dengan cara mengajar yang humanis.
Pendidikan ini mengutamakan pemahaman akan realitas yang obyektif dengan segala
ketimpangan dan kontradiksi didalamnya.
Dengan model pendidikan yang di
cetuskan oleh paulo freire diharapkan taraf hidup pendidikan rakyat Brazil (studi
kasus) pada waktu itu, merdeka dan bebas dari keterikatan model pendidikan yang
tidak membebaskan (dehumanis).[4] Dalam
dunia pendidikan yang membebaskan harus dimulai dengan pemecahan masalah yang kontradiksi
guru-murid tersebut, dengan merujuk kutub-kutub dalam kontradiksi sehingga
kedua–duanya secara bersamaan, antara guru dan murid sama-sama sebagai
partisipatori pemecahan demikian tidak (dan tidak mungkin ) dijumpai dalam
konsep pendidikan “gaya bank” sebaliknya pendidikan gaya bank, memelihara dan
mempertajam kontradiksi itu melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan sebagai
berikut.[5]
1.
Guru Mengajar, murid diajar.
2
Guru mengetahui sesuatu, murid tidak tahu apa-apa .
3 Guru
Berfikir, murid dipikirkan.
4.
Guru bercerita, murid
mendengarkan
5.
Guru menentukan aturan, murid diatur
6.
Guru Memaksakan aturanya, murid patuh.
7.
Guru berbuat murid-murid meniru
perilakunya
8.
Guru Memilih mata pelajaran, murid
menyesuaikan pelajaran pilihan guru.
9.
Guru Mencampuradukan kewenangan
ilmu, dan kewenangan jabatan yang tujuanya menghambat kebebasan murud.
Dengan model pendidikan “gaya bank” ini telah
mematikan kreatifitas peserta didik karena peserta didik tidak diberikan
kewenangan atau kebebasan untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan bakat
dan minatnya, karena bakat dan minatnya telah tersekat oleh otoritas guru yang
telah menghegemoni proses dan model-model serta metode-metode pembelajaran.
Dengan melihat realitas saat ini kita masih melihat mungkin
masih merasakan bahwa pendidikan “gaya bank” (bangking konsep) seperti
diatas masih banyak di gunakan oleh sekolah-sekolah sehingga walaupun sekolah
yang telah maju masih menggunakan model pendidikan ”gaya bank” seperti diatas
jangan di harapkan akan menghasilkan peserta didik yang kompeten dalam dunia pendidikan.
Khususnya pendidikan Islam telah di nomor sekiankan
oleh sebagian masyarakat dan sekolah karena dinilai bahwa pendidikan agama
tidak memberikan konstribusi apa-apa sebagai bukti masih banyak remaja atau
pelajar yang masih banyak melakukan tawuran, mabuk-mabukan dan masih sering
pelajar melakukan tindakan-tindakan anarkis yang itu nantinya merusak citra
seorang pelajar. Dan itu sebagai bukti gagalnya pendidikan agama disekolah
sehingga perlu adanya perubahan setrategi dalam proses pembelajaran pendidikan
agama yang dulunya bersifat tradisional atau konfensional menuju metode yang
bertujuan membebaskan manusia, dalam artian peserta didik di tuntut untuk
mengembangkan kemampuan agamanya untuk di kembangkan dan di amalkan dalam
kehidupan keseharianya dan tidak hanya
sebatas teori belaka didalam kelas, oleh sebab itu peserta didik diberikan
kebebasan untuk mengaplikasikan pendidikan agamanya dari pelajaran yang di
dapatnya disekolah supaya tidak melakukan perbuatan yang melenceng dari agama
karena pendidikan agama diibaratkan sebagai kontrol.
Sehingga asumsi masyarakat tentang pendidikan agama Islam
yang
telah dikatakan gagal perlu di luruskan supaya tidak terjadi ketimpangan dan
dalam proses pembelajaran perlu diterapkanya metode-metode baru terhadap proses
pembelajaran pendidikan agama Islam. Agar nantinya hasil-hasil peserta didik
dengan metode lama dan dengan metode baru sehingga nanti hasilnya akan berbeda.
Sehingga akan timbul generasi yang kompeten dalam hal ilmu agama serta bisa
mengaplikasikan dalam kehidupan keseharianya baik sosial maupun personal. sehingga
akan tercipta manusia yang beriman dan bertakwa serta berkompeten dalam ilmu
agama. Karena dalam proses pembelajaran telah menggunakan cara-cara baru yang
kompeten dan memanusikan manusia (humanis).[7]
Penyadaran adalah hal pertama yang harus dilakukan
untuk membuka tabir-tabir keterasingan dan penindasan yang menyelimuti manusia.
kesadaran sosial dalam proses pemerdekaan dalam pembelajaran manusia begitu
penting, karena hanya kesadaran dalam mentalitas yang tercerahkan, jernih dalam
melihat realitas dan wawasan kemanusiaan yang luhur manusia akan menjadi
penentu atas terciptanya proses pembelajaran yang humanis dan emansipatoris
serta partisipatoris dan memerdekakan manusia.[8]
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah di atas dapat kita rumuskan masalahnya
sebagai berikut:
1.Bagaimana konsep pemikiran paulo freire tentang pendidikan humanis.
2.Bagaimana relevansi pendidikan humanisnya Paulo
freire, kedalam pendidikan Islam.
Dalam pembelajaran, terlebih pembelajaran pendidikan agama seharusnya mempertimbangkan
perlunya meng-insert civic values dalam segala pembelajaran sehingga mampu
mencetak out - put yang mempunyai kesadaran kritis untuk di terapkan dalam
kehidupan sehari - hari untuk mewujudkan hal tersebut berbagai komponen yang terlibat
dalam proses pendidikan, perlu di rencanakan sedemikian rupa sehingga mendukung
terwujudkanya gagasan tersebut. Dalam hal ini yang perlu mendapat perhatian
adalah faktor kurikulum, pendidik, dan setrategi pembelajaran yang digunakan
pendidik. Untuk proses Pembelajaran, sosok seorang pendidik yang ber - paradigma
multicultural dan kritis juga perlu ditekankan dalam proses pembelajaran agama
disekolah sebab sebaik apapun materi yang di programkan dalam kurikulum, jika
tidak difahami dan di sampaikan oleh pendidik yang kompeten, maka tidak akan
fungsional. Untuk itu persiapan tenaga Kependidikan. Dalam hal ini guru, khususnya guru pendidikan
agama yang harus mempunyai paradigma pendidikan multikulturalisme dan humanisme
harus dilakukan dalam kurikulum 2004 (KBK). Peran guru semakin penting
mengingat guru harus mampu menjabarkan kompetensi minimal yang di tetapkan oleh
pemerintah pusat ke dalam bentuk silabus atau satuan pelajaran dan materi
pelajaran agar nantinya proses pembelajaran menjadi teratur dan tersetruktur
dengan baik, jadi dalam proses pembelajaran tidak hanya asal mengajar dan
berbicara didepan tapi harus menggunakan metode yang baik yang bisa memberikan
peserta didik menjadi merdeka dalam kegiatan pembelajaran.
Humanis dalam
pendidikan islam
Bagi freire, pendidikan adalah praktik pembebasan bukan sekedar pengalihan penyebaran ilmu pengetahuan semata.
Pendidikan bukan juga merupakan perluasan pengetahuan teknis dan tindakan
menanamkan laporan teknis atau fakta ke dalam peserta didik. Tetapi humanis
dalam pendidikan islam adalah yaitu memperhatikan aspek-aspek yang ada dalam
peserta didik jadi tidak terjadi penindasn dalam kelas.
Dalam kontek pendidikan agama seorang guru selain harus memahami agama
yang dianutnya guru juga di tuntut memahami fungsi agama bagi dirinya sendiri
dan masyarakat, selain itu dalam proses pembelajaran juga harus bisa menerapkan
metode-metode yang humanis dalam proses pembelajaran agama. Jadi belajar agama
tidak terkesan monoton, antara iptek dan imtak harus saling terkait. Dan
menggunakan metode yang humanis yang bisa mengaktifkan peserta didik sehingga
terdapat variasi dalam proses pembelajaran. Dan Paulo freire sendiri menggaris
bawahi bahwa pendidikan terdapat tiga unsur fundamental : yaitu Peserta didik,
pendidik dan realitas dunia, hubungan antara unsur pertama dengan
unsur yang kedua seperti halnya teman saling melengkapi, dalam proses
pembelajaran keduanya tidak berfungsi secara struktur formal yang nantinya akan
memisahkan keduanya, bahkan paulo freire sendiri juga menenggarai bahwa
hubungan antara pengajar dan peserta didik yang bersifat struktural formal
hanya akan melahirkan pendidikan Gaya bank (banking konsep), jadi antara
pendidik dan peserta didik merupakan hubungan kontradiksi yang saling menekan.
Sehingga paulo freire menekankan antara pendidik dan peserta didik itu sebagai
patnership dalam belajar untuk menghindari antagonisme dalam proses pembelajaran
yang bisa menimbulkan bentuk penindasan serta dikotomi antara pendidik dan
peserta didik.
Oleh sebab itu dalam proses pembelajaran Dengan
Gaya atau model patnership atau partisipatori akan melahirkan peserta didik
yang kompeten.
Dalam proses pembelajaran dengan model humanis
akan menghindarkan dehumanisasi dalam pendidikan. Dengan pola pembelajaran yang
tidak humanisme paling jauh hanya akan mampu merubah penafsiran - penafsiran
seseorang terhadap situasi yang di hadapinya, namun tidak akan mampu merubah
realita dirinya sendiri. Karena manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta. Sehingga mudah di fahami,
mengapa suatu revolusioner yang paling revolusioner sekalipun, Pada awal
mulanya banyak digerakan oleh orang-orang yang mendapat sistim pendidikan yang
terstruktur. Akhirnya Paulo freire sendiri sampai pada formulasi filsafat
pendidikan yang di namakan sebagai pendidikan kaum tertindas, sebuah sistim yang di bangun kembali “ bersama dengan
“ bukan “di peruntukan bagi “ kaum penindas. Kata Paulo Freire sistim
pendidikan ini untuk pembebasan bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan
harus menjadi proses pemerdekaan bukan penjinakan. Bagi Paulo Freire pendidikan
adalah praktik pembebasan, bukan sekedar pengalihan atau penyebaran ilmu
pengetahuan atau kebudayaan pendidikan bukan juga suatu pendidikan teknis dan
tindakan menanamkan laporan teknis atau fakta kedalam diri peserta didik yang
menindas.[9]
Pada level global, sekarang muncul kesadaran baru tentang pentingnya
pendidikan yang memberikan kepedulian pada ekologi. Kesadaran ini di dasari
oleh sebuah fakta, bahwa kemajuan ilmu pengetahan yang bersifat positif, yang
muncul terutama pada abad 20, dinilai ternyata telah membawa implikasi yang
sangat serius, berupa kehancuran ekosistem, baik lingkungan alam maupun sosial.
Melihat kenyataan itu dunia pendidikan harus memberikan perhatian pada aspek
kultural dan ekologi. Dalam dunia manajemen muncul istilah baru yang disebut "brainware
menagemen". Salah satunya adalah bagaimana kita mengoptimalkan fungsi "Mind"
dan "Brain" untuk meraih prestasi peradaban secara cepat dan
efektif. Ada beberapa istilah serupa yang sejalan dengan gagasan ini antara
lain "Quantum Learning", "Akselerasi Learning "dan
"Learning revolusion"[10]
Pengertian Pendidikan
Islam
Terdapat banyak ragam dan definisi pendidikan Islam (PI), yang
dilontarkan oleh para cendekiawan muslim, diantaranya adalah : Naquip Al attas,
berpendapat bahwa (PI) sebagai pengenalan yang berangsur – angsur ditanamkan ke
dalam diri manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam
tatanan penciptaan yang sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbingnya kearah
pengenalan tuhan.
Sementara menurut Abdurahman An
nahlawi, makna pendidikan Islam adalah penataan individual dan sosial yang
dapat menyebakan seseorang tunduk taat pada Islam dan menerapkanya secara
sempurna didalam kehidupan individu maupun sosial (masyarakat).
Secara terperinci Yusuf Qardawi
memberikan pengertian, bahwa Pendidikan Islam, adalah pendidikan manusia
seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya ahlak dan keterampilanya.
Oleh karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam
keadaan baik maupun buruk dan menyiapkanya untuk menghadapi masyarakat dengan
segala kebaikan dan kejahatanya, baik manis maupun pahit.[11]
Sementara menurut azyumardi azra
mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu usaha untuk membentuk pribadi
yang bernafaskan Islam atau ajaran Islam sehingga pribadi yang terbentuk itu
tidak lepas dari nilai-nilai agama.[12]
Dari keempat rumusan tersebut di
atas, terlihat penekanan pendidikan Islam pada “bimbingan”,bukan”pengajaran
yang mengandung konotasi otoritas fihak pelaksana pendidikan (guru) dengan
bimbingan sesuai dengan ajaran Islam, maka anak didik akan mempunyai ruang yang
cukup luas untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Dan
pendidik hanya berfungsi sebagai fasilitator, alat penunjuk arah penggalian
potensi anak didik.dengan demikian.guru bukanlah segala-galanya, sehingga
menganggap anak didik sebagai manusia yang kosong yang perlu di isi.dengan kerangka
dasar ini, maka guru menghormati anak didik yang memiliki potensi. Sehingga
bisa di hindari apa itu yang bernama “banking concept”dalam pendidikan
yang banyak di kritik dewasa ini.
[1] Siti murti ningsih, pendidikan alat perlawanan,
pengantar (yokyakarta, pustaka pelajar, 2002) hal xx.
[4] “Dehumanisasi”,
yang berarti tidak memanusiakan manusia, dalam hal apapun tidak terkecuali
dalam dunia pendidikan yang berarti disini menindas peserta didik, yang
menganggap peserta didik sebagai objek yang bisa di kendalikan oleh guru, apapun
alasanya karena itu adalah perbuatan yang tidak manusiawi dan tidak sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan yaitu sesuatu yang menafikan harkat dan martabat
manusia.(di sampaikan dalam diskusi forum stadi freire oleh IMM komfak
tarbiyah).
[6] “Antagonisme”
di atas adalah suatu bentuk dari pendidikan yang menindas yang akhirnya
direformasi total oleh Paulo freire dengan tujun agar peserta didik dalam
kegiatan pembelajaran tidak hanya mengekor guru, jadi muridlah yang harus aktf
dan guru hanya sebagai fasilitator yang bersifat emansipatori terhadap peserta
didik. (lihat bukunya Paulo freire pendidikan kaum tertindas). hal, 52.
[7]“Humanisasi”
dalam bahasa Latin disebut humanitas yang berarti “makhluk, manusia”, kondisi
menjadi manusia, jadi humanisme berarti memanusiakan manusia. humanisasi yang
di pakai oleh Paulo freire dalam hal pendidikan, bahwa pendidikan itu untuk
memanusiakan manusia oleh karena itu, Paulo freire tidak sepakat dengan adanya
segala bentuk penindasan (Di sampaikan dalam diskusi rutin Forum Stadi Freire
yang diselenggarakan oleh IMM komfak Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Pada Tanggal 8 Oktober 2003.
[9] Ibid,hal,86.
[10]
Mel Silbermen, Aktif Learning (101
Setrategi Pembelajaran Aktif), Yogyakarta :YAPPENDIS,
2002), hal.xiii. (bagn pengantar ).
[11]
Ibid, hal, 95.
0 Response to "Makalah Konsep Pendidikan Menurut Paulo Freire"
Post a Comment