Makalah Metodologi Ijtihad dalam Menetapkan Hukum Islam
Metode Berijtihad | Contoh Metodologi Ijtihad | Metode ijtihad dalam menetapkan hukum islam |Metode Ijtihad dalam Islam | Metode Ijtihad dan Penjelasannya |
METODOLOGI IJTIHAD
A.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad, jika dilihat dari akar katanya berasal dari jahada, yang
kemudian dinominalkan (ism al-masdar) oleh kata al-jahd dan al-juhd,[1]
yang masing-masing berarti kesukaran atau kesulitan dan kekuatan, daya, atau
kemampuan.[2]
Kedua kata tersebut menunjukkan dua entitas yang saling berhubungan: sesuatu
yang sukar dan sulit membutuhkan kekuatan dan kemampuan. Karenanya,
asy-Syaukani mendefinisikan ijtihad sebagai pencurahan segala kemampuan untuk
mengerjakan hal yang berat sulit.[3]
Oleh karena itu ijtihad tidak dilakukan kecuali untuk menunjuk aktivitas yang
benar-benar membutuhkan pencurahan kemampuan secara optimal.[4]
Ibn Asir menambahkan, al-jahd juga berarti berlebih-lebihan,
tujuan, dan mengumpulkan. Sementara ijtahada dan j>ahada yang juga
turunan dari kata jahada, mengandung arti bersungguh-sungguh, kemudian
diperluas artinya menjadi sampai.[5]
Pengertian seperti ini dapat dilihat dalam al-Qur’an:
Adapun aj}hada
dan ja}hida memiliki arti
bersikeras dan bersegera.[7]
Dari semua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ijtihad menuntut
“ke-segera-an” atau respon yang cepat untuk mengumpulkam segala kekuatan dan
kemampuan semaksimal mungkin dengan kesungguhan tekad dalam menghadapi
kesukaran dan kesulitan agar sampai pada tujuan, yakni kemudahan.
Namun, seperti yang disebutkan di awal tadi, pengertian ini jika dilihat
dari efektivitasnya mengerucut pada dua entitas yang saling berkaitan: daya
atau kemampuan dan (obyek) yang sulit. Daya atau kemampuan dapat diaplikasikan
secara umum, yang meliputi daya fisik-material, mental-spritual, dan
intelektual. Akan tetapi, karena ijtihad lazimnya dipergunakan dalam istilah
keilmuan dan lebih bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad
lebih banyak mengacu pada pengerahan kemampuan intelektual dalam memecahkan
berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik pribadi maupun seluruh ummat.[8]
Adapun ijtihad menurut istilah juga memiliki banyak rumusan. Di antaranya
al-Gazali, yang mendefinisikan ijtihad sebagai upaya maksimal seorang mujtahid
dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syarak.[9]
Dalam rumusannya ini al-Gazali menuntut seorang mujtahid memiliki keberanian
dan kemampuan konseptual yang berlandaskan syari’at dalam memahami sesuatu yang
zanni serta mendahulukan apa yang harus didahulukan dan mengakhirkan apa
yang harus diakhirkan.[10]
Senada dengan al-Gazali, al-Amidi dalam karyanya al-Ihkām fī U}s>ul al-Ahk>am merumuskan
ijtihad dengan mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum syara’
yang bersifat zanni, sampai dirinya (mujtahid) tidak mampu mengupayakan
lebih dari itu.[11] Ia
menambahkan yang dimaksud dengan zanni adalah derivasi dari hukum yang
ideal atau pasti (yang bersandarkan pada nas-nas yang ada), dan dalam prosesnya
harus dapat diterima akal atau dimengerti, dan dihayati (diterima
kebenarannya).[12] Adapun
ijtihad dalam mazhab syi’ah, sebagaimana yang disebut Murtada Mutahhari adalah,
menarik hukum yang real (hukm waqi’i) dari sumber-sumber syari’at.[13]
Sebenarnya ijtihad tidak hanya terdapat dalam wilayah fiqih (hukum).
Secara umum ijtihad juga berlaku dalam wilayah keagamaan yang lainnya, seperti
tasawuf, kalam, filsafat, dan sebagainya. Asy-Syaukani dalam hal ini mengakui eksistensi ijtihad di kalangan ahli
kalam yang ia sebut sebagai ijtih>ad fī ta{hs>il al-‘ilm>i.[14]
Demikian juga Ibn Taimiyah, yang menilai upaya sungguh-sungguh yang dilakukan
kaum sufi dalam kepatuhan kepada Allah, merupakan bentuk ijtihad juga seperti
halnya mujtahid-mujtahid yang lain.[15]
Namun karena fiqih (hukum) lebih pada sebuah aturan yang sering dan dekat
dengan persoalan yang riil yang berhubungan langsung dengan masyarakat,
sehingga penggunaan istilah ijtihad lazim disematkan padanya. Di samping itu,
sejarah juga mencatat ijtihad berawal pada persoalan yang berkaitan dengan
aturan hukum.
Meski benih praktek ijtihad sudah ada sejak masa nabi (tasyri’)
melalui peristiwa-peristiwa yang dialami oleh sahabat,[16]
dan beberapa hadis[17]
yang mengindikasikan untuk melakukan ijtihad, namun pengertian dan kedudukannya
dalam pencapaian hukum belumlah dikenal.[18]
Hal ini disebabkan oleh, pertama, ketika umat Islam menghadapi persoalan
yang menuntut ketegasan dan ketetapan hukum, mereka tinggal mendatangi nabi dan
meminta jawabannya. Kedua, keputusan yang telah mereka ambil ketika
menghadapi persoalan, dihadapkan kepada nabi dengan dua bentuk jawaban:
korektif dan afirmatif, yang dalam istilah ulumul hadis dikategorikan sebagai sunnah
taqririyyah.[19]
Baru kemudian setelah nabi wafat–yang menandai berhentinya proses tasyri’,
mereka melakukan ijtihad secara mandiri ketika menghadapi persoalan-persoalan
yang pelik. Namun istilah ini juga belum dipakai. Ketika itu istilah yang
mengemuka dan mengawali kemusykilan persoalan ijtihad adalah ta’wil.[20]
Sebuah istilah yang dinisbatkan kepada tindakan Khalid ibn Walid terhadap Malik
ibn Nuwairah.[21] Bahkan
pada masa tabi’in dan imam mazhab, ijtihad disamakan dengan ra’yu, qiyas,
istihsan, dan sebagainya. Baru lah pada masa khalaf, masa di mana para
ulama mengikuti ketentuan usul yang dihasilkan oleh imam mazhab, memunculkan
pengertian ijtihad yang beragam jumlahnya, yang tentunya terdapat banyak
perbedaan.[22]
Penggunaan ta’wil yang biasa disandingkan dengan tafsir dalam
ilmu-ilmu al-Qur’an sebagai istilah awal yang berlaku untuk ijtihad dalam usaha
pencapaian dan penetapan hukum, berakibat pada bersinggungnya wilayah keilmuan
usul fiqh (hukum) dan tafsir (ulum al-Qur’an). Afinitas ini sebenarnya bukan
sebuah kebetulan yang mengherankan. Sebab, jika dilihat dari sejarah dan
prosesnya, ijtihad dan ta’wil sebenarnya adalah sebuah aktivitas yang
sama. Bahkan metode tafsir yang digunakan oleh ulama terdahulu adalah metode
yang diwariskan oleh asy-Syafi’i dalam pemikiran usul fiqh-nya yang terangkum
makna al-bayan.[23]
Kesamaan ini akan menjadi jelas jika melihat pengertian ta’wil (yang
mirip dengan pengertian ijtihad) yang dikemukakan oleh Abu Zayd. Menurutnya ta’wil
berarti menyertai sesuatu dengan tindakan pengaturan dan perbaikan agar sampai
pada maksud dan tujuan akhir.[24]
Berkaitan dengan tindakan pengaturan ini ditentukan mana yang ‘amm, khas,
mujmal, muqayyad, muhkam, mutasyabih, mafhum,
mantuq, dan sebagainya. Dalam hal ini ia mengutip penjelasan az-Zarkasyi
yang berkata:
“… bagian yang dikembalikan kepada ijtihad ulama, yang biasa disebut
dengan ta’wil, yaitu mengarahkan kata pada sasarannya. Mufassir merupakan
penukil, penta’wil adalah orang yang melakukan istinbat, yaitu mengistinbatkan
hukum, menjelaskan yang mujmal dan mentakhsis yang ‘amm.”[25]
Dengan ini jelas bahwa berijtihad dan melakukan ta’wil atas teks
tidak dibedakan dan tidak bisa dipisahkan, seperti halnya antara bidang fiqh
(hukum) dengan bidang-bidang lainnya, khususnya tafsir (ulum al-Qur’an). Sebab
keduanya, meminjam istilah Abu Zayd, berdasarkan gerak “akal” untuk menembus
kedalam teks.[26] Lebih
lanjut ia mengatakan, yang dimaksud dengan tafsirah adalah ilmu-ilmu
keagamaan dan kebahasaan yang dibutuhkan mufassir dalam menguak makna teks, dan
makna ini menjadi titik tolak sang pena’wil dalam menyelami kedalaman teks
melalui gerak “mental” atau ijtihad.[27]
Demikianlah, ketika istilah ta’wil menjadi istilah awal yang
digunakan dalam ijtihad, yakni usaha pencapaian dan penetapan hukum, yang
kemudian lebih banyak diulas dalam ilmu-ilmu al-Qur’an, pada hakekatnya adalah
usaha yang dilakukan sahabat dan tabi’in dalam memahami kandungan al-Qur’an
maupun Hadis. Usaha ini menjadi begitu signifikan ketika nabi tidak lagi
mendampingi mereka, sementara permasalahan yang dihadapi secara kongkret tidak
mereka temukan dalam nas.
B.
Metode Ijtihad
Dalam berbagai literatur usul fiqh secara umum disebutkan
terdapat dua bentuk metode ijtihad. Yang pertama adalah metode bayani,
yaitu metode yang dipengaruhi dan ditentukan oleh aturan-aturan yang terdapat
dalam kerangka bahasa yakni lafaz dan makna. Yang menjadi pembahasan dalam
metode ini antara lain adalah bentuk-bentuk morfologis dan semantik teks
al-Qur’an, penanda (dalil) dan petandanya (dal>alah), serta
hubungan antara suatu kata (ayat) dengan lainnya dari sisi mana yang harus
digunakan. Sedangkan yang kedua adalah metode makna atau ar-ra’y di mana aktivitas
ijtihad lebih ditekankan pada sisi makna dan tujuan yang terkandung di balik
teks.[28]
Pada pembahasan metode kali ini, dihadirkan pula apa yang disebut dengan metode
sinkronik (ta’arudiyyah). Sebenarnya metode ini merupakan bagian dari
pembicaraan tentang nas, karena itu umumnya metode ini bagian dari metode teks.
Hanya saja dalam pembahasan ini metode tersebut sengaja dipisahkan, sebab meski
merupakan pembahasan tentang teks, namun pokok utama dan penyelesaiannya lebih
terletak pada posisi diantara dua teks atau lebih.
1.
Metode Tekstual (Lafziyah)
Metode teks adalah metode yang berdasarkan pada lafaz suatu
teks (nas), atau apa yang disebut dan tertera dalam teks (nas). Dalam ilmu usul
fiqh metode ini lebih dikenal dengan istilah t}uruq al-Laf}ziyyah atau qaw>a’id al-lugawiyyah, sebab
yang menjadi acuan dalam metode ini adalah kaidah-kaidah bahasa.[29]
Yang dipersoalkan dalam metode ini adalah status yang melekat
pada diri teks (lafaz) berkaitan dengan makna yang dimiliki, ditunjuki, atau
yang ditandai oleh teks (lafaz)–apakah dia ‘amm atau khas, mujmal
atau mufassar, dan sebagainya, sehingga diperoleh sebuah makna yang
dapat membimbing mujtahid pada sebuah kesimpulan (tujuan). Untuk itu dibutuhkan
beberapa aspek yang harus dikuasai yang berkaitan dengan status lafaz tersebut
yakni, makna (pengertian) dari
lafaz-lafaz nas serta konotasinya dari segi umum dan khusus, status dal>alah
nya–apakah menggunakan mantuq lafzi
ataukah termasuk dal>alah
yang menggunakan pendekatan mafhum yang diambil dari konteks kalimat,
batasan-batasan (qayyid) yang membatasi ibarah-ibarah (makna)
nas, dan pengertian yang dapat dipahami dari lafaz nas. Apakah berdasarkan ibarah
an-nas ataukah isyarah an-nas.[30]
Singkatnya, metode ini menitikberatkan pada relasi tekstual antara lafaz dan
makna.
Secara sistematis relasi ini–menurut klasifikasi hanafiyah–dirumuskan dalam empat bagian, pertama, berdasarkan
penciptaan atau cakupan lafaz bagi suatu
makna. Kedua, berdasarkan penggunaan lafaz bagi suatu makna. Ketiga, berdasarkan (tingkat) kejelasan dan kekuatan lafaz (kata) atas suatu makna. Dan keempat,
bagaimana penunjukan lafaz (kata) atas maknanya, atau pemahaman makna yang
dikehendaki oleh (petunjuk) lafaz.[31]
Untuk relasi pertama, yakni berdasarkan penciptaan atau cakupan
lafaz bagi suatu makna, yang menjadi topik pembahasannya adalah lafaz ‘amm,
khas, musytarak, mu’awwil, mutlaq, dan muqayyad. Yang dimaksud dengan lafaz
(kata) ‘amm adalah lafaz (kata) yang menunjukkan keumuman (banyaknya)
makna, dimana satuan-satuan makna yang dimilikinya berada dalam satu makna yang
berlaku.[32] Kata
“manusia” misalnya yang bisa berarti laki-laki, perempuan, tua, muda, dan semua
yang termasuk kategori “manusia”. Adapun betuk lafaz (kata) atau perangkat
kebahasaan yang dapat memunculkan keumuman makna di antaranya adalah, lafaz
(kata) yang bersifat jamak atau himpunan–seperti kata kullu, semua kata
sambung–seperti alla|z>i, dan kata istifham
baik sebagai kata tanya, kata syarat, maupun sebagai kata penghubung.[33]
Dilihat dari banyaknya makna yang dimiliki, lafaz ‘amm
juga meliputi lafaz musytarak,[34]
sebab sama-sama memiliki banyak makna. Hanya saja banyaknya makna dalam lafaz musytarak
berbeda-beda dan berdiri sendiri, dan dari sisi (konteks) struktur teks atau
penggunaan makna, menunjukkan pada satu arti (khusus).[35]
Misalnya kata al-‘ain yang
mempunyai arti mata (indera penglihat), mata air, esensi, emas, dan mata-mata.
Namun kesemua arti ini tidak bisa berdiri bersama-sama, artinya dalam sebuah
struktur kalimat, lafaz ini hanya memiliki satu makna atau bermakna khusus.
Lafaz musytarak ini setelah ditentukan mana makna yang berlaku dalam
konteks penggunaannya, disebut sebagai mu’awwal.[36]
Dari penjelasan di
atas dengan sendirinya dapat dipahami bahwa lafaz khas adalah lafaz yang
menunjukkan arti tunggal dan menggunakan bentuk mufrad (singular), baik
pengertian itu menunjukkan pada jenis atau macam kategori seperti insan
rajul (laki-laki), atau menunjukkan arti orang perorang seperti Muhammad,
Zaid, Ibrahim, dan sebagaiya.[37]
Seperti halnya
lafaz ‘amm, lafaz khas juga memiliki perangkat kebahasaan yang
menunjukkan bahwa lafaz tersebut adalah lafaz khas atau suatu mekanisme yang
mengubah keumuman menjadi kekhususan. Pertama, yakni kata yang bentuknya
umum, namun maknanya tidak mencakup semua bagian-bagian yang ditunjukkan kata
tersebut melainkan makna khusus. Makna khusus semacam ini dapat dipahami dari
konteks struktur teks, yang oleh ulama usul disebut sebagai “‘amm yang
dimaksudkan khas”.[38] Misalnya
ayat yang berbunyi sebagai berikut,
Yang dimaksud sujud dalam ayat ini adalah patuh, sebagaimana
yang ditunjukkan oleh konteks keseluruhan makna dari struktur ayat ini. Kedua,
perangkat yang disebut sebagai “‘amm yang di-takhsis-kan”.
Lafaz ini berbentuk ‘amm, namun
makna teks yang dimaksud didasarkan pada tanda-tanda bahasa yang kadang-kadang
berkaitan dengan teks yang bersangkutan, atau pada teks-teks lain yang terpisah
dari teks yang dimaksudkan.[40]
Tanda-tanda itulah yang mengkhususkan keumuman bentuknya menjadi makna yang
khusus.
Mekanisme ini mirip dengan apa yang disebut ulama usul dengan
hubungan mutlaq dan muqayyad. Sebagaimana yang diketahui, di
dalam nas terkadang terdapat sebagian lafaz (teks) yang memiliki makna umum,
dan menunjukkan pada hakekat lafaz tersebut apa adanya tanpa memandang jumlah
maupun sifatnya, yang disebut sebagai lafaz mutlaq. Namun sebagian lafaz
(teks) yang lain terkadang melakukan takhsis terhadap lafaz yang umum
atau mutlak tersebut dengan batasan-batasan yang berkaitan dengan lafaz yang
dimaksud, apakah itu berupa sifat, keadaan, maupun syarat-syarat tertentu.
Lafaz (teks) yang membatasi kemutlakan menjadi makna yang khusus dan terbatas
inilah yang disebut sebagai muqayyid. Hubungan antara mutlaq dan muqayyid
ini bisa terjadi dalam satu rangkaian teks maupun pada teks lain. Dengan kata
lain sesuatu yang muncul secara mutlak tetap berada dalam kemutlakan dan
keumumannya selama tidak ada teks lain yang melakukan pembatasan dan
pengkhususan terhadap kemutlakan dan keumuman tersebut.[41] Misalnya ayat yang berbunyi,
Ayat tersebut menunjukkan tuntutan untuk memerdekakan budak
secara mutlak (umum) tanpa mengetahui budak seperti apa yang dimaksud. Namun
setelah ditemukan “tanda” berupa lafaz “mu’minatin” pada ayat lain[43],
pengertian budak tersebut dibatasi atau dikhususkan pada budak yang beriman.
Pembicaraan antara ‘amm
dan khas pada akhirnya lebih mengarah pada perdebatan dalam menentukan
apakah lafaz ‘amm bersifat qat’i atau zanni. Dalam hal ini
ulama hanafiyah berpendapat bahwa penunjukan lafaz ‘amm terhadap satuan
yang termasuk dalam pengertiannya bersifat qat’i (aksiomatik). Sebab
sesuatu yang umum menunjukkan keumumannya, dan keumuman itu merupakan kelaziman
dan digunakan secara hakiki, sampai ada dalil yang mengkhususkannya dengan
syarat berdiri sendiri dalam hal struktur teks, bersamaan dalam hal masa, dan
sederajat sifatnya.[44]
Sedangkan ulama jumhur selain hanafiyah berpendapat bahwa lafaz ‘amm itu
tidak dapat menunjukkan semua cakupannya secara qat’i, namun sebaliknya,
ia menunjukkan secara zanni. Sebab dari segi lahiriah lafaz ‘amm
itu terdapat kemungkinan takhsis, dan tidak ada sesuatu yang umum
kecuali ada yang men-takhsis-nya, sebagaimana kebiasaan bahasa. Dengan kata
lain pen-takhsis-an itu banyak terjadi pada lafaz-lafaz yang umum.[45]
Perdebatan ini sesungguhnya dapat dipahami, sebab meski teks
dari segi prosesnya diturunkan dalam keadaan terpisah-pisah, tetapi dari segi
pembacaan merupakan teks yang utuh dan satu. Degan kata lain, meski nas
diturunkan dengan sebab-sebab khusus, namun dari segi maknanya ia melampaui
batas-batas sebab khusus itu.[46]
Pelampauan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa hukum
layak diterapkan pada beribu-ribu peristiwa yang serupa. Karenanya para ulama
memandang “peristiwa-peristiwa” parsial yang digambarkan asbab an-nuzul
hanya sebagai model bagi kondisi sosial kemanusiaan.[47]
Relasi–antara lafaz dan makna–yang kedua adalah berdasarkan penggunaan lafaz bagi
suatu makna, yakni lafaz apa yang digunakan dalam sebuah teks (nas) yang
dengannya makna teks dapat dicapai. Pada suatu teks, adakalanya sebuah kata
digunakan dalam makna yang sebenarnya (denotatif), adakalanya pula digunakan
dalam makna yang lain (konotatif). Untuk yang pertama disebut dengan lafaz
hakiki, di mana makna dipahami secara asli apa adanya (harfiyah). Umumnya jenis
lafaz (kata) ini terdapat dalam teks (yang memuat) hukum, sebab hukum menuntut
sebuah kejelasan dan ketegasan. Sehingga
maknanya dapat disimpulkan dari ungkapan atau teks itu sendiri. Adapun yang
kedua disebut sebagai lafaz majazi. Dalam lafaz (kata) ini makna suatu kata
bergeser dan meninggalkan maknanya yang asli kepada yang identik (mataforis).[48] Dan pemahamannya tidaklah sesederhana
seperti halnya memahami lafaz hakiki. Jenis lafaz ini banyak ditemukan pada teks-teks
sastrawi.
Yang menjadi
permasalahan adalah makna manakah yang digunakan bila dalam satu lafaz (kata)
memiliki makna harfiyah dan metaforis sekaligus? Mengenai hal ini ada beberapa
pendapat yang muncul. Pertama yang diwakili oleh ulama jumhur. Menurut mereka prioritas makna yang
digunakan tergantung pada makna mana yang lebih kuat dan dominan. Bila majaz
yang lebih kuat dan dominan, maka makna majzlah yang menjadi prioritas.
Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan kedua-keduanya memiliki bobot yang
sama.[49]
Dan pendapat yang lain mengatakan bahwa makna hakikatlah yang lebih kuat dan
diutamakan, sebab ia tidak membutuhkan indikasi (qarinah) yang dengannya
makna dapat dicapai.[50]
Baik Lafaz hakiki maupun majazi, jika secara jelas menyingkap
apa yang diinginkan pembicara disebut dengan sarih. Sebaliknya, bila ia
tidak jelas menyingkap maksud dari pembicara, disebut dengan kinayah.[51]
Dalam hal ini, yang paling tinggi tingkat kejelasannya adalah kombinasi antara sarih
dan hakiki. Ungkapan “Ahmad membeli sebuah rumah,” misalnya, merupakan ungkapan
yang secara jelas dan tegas menyingkap makna yang ingin disampaikan. Meskipun
demikian sarih juga dapat dikombinasikan dengan majazi, seperti ungkapan
“Saya makan dari pohon ini.” Demikian juga dengan kinayah, ia dapat pula
dikombinasikan baik dengan hakiki maupun majazi.
Pembicaraan kejelasan dan ketidakjelasan maksud yang
diinginkan syari’ dalam sebuah tanda (nas) menjadi begitu penting dengan
keberadaan ijtihad sebagai usaha penalaran dan pemahaman terhadap apa yang
terkandung dalam nas menuju sebuah keputusan hukum: apakah penandaannya dapat
dipahami dari bentuknya saja, ataukah di luar dirinya.
Pembicaraan ini kemudian akan membawa pada relasi yang ketiga
antara lafaz dan makna, yakni berdasarkan tingkat kejelasan (tanda) suatu lafaz
untuk suatu makna. Dalam relasi ini para ulama telah menghasilkan empat pola
tingkatan, baik itu berdasarkan kejelasan maupun kesamarannya.[52]
Pola pertama–berdasarkan kejelasannya–adalah zahir, yaitu penanda yang
mempunyai makna yang jelas, tetapi terbuka akan kemungkinan makna lain (ta’wil)
atau berpaling dari bentuk zahirnya, baik itu melalui taqyid, takhsis,
maupun nasakh.[53]
Kemungkinan ini, menurut hanafiyah dikarenakan penanda tersebut bukan
merupakan tema pokok dari keseluruhan teks.[54]
Sehingga bila terdapat penanda lain yang memiliki posisi utama dalam
keseluruhan teksnya, yang (maknanya) berlawanan dengan (makna) teks (zahir)
tersebut maka, “kemungkinan” adalah keniscayaan. Namun, selama tidak ada yang
mengunggulinya, ia (zahir) mengikat segala hal yang ditandainya.[55]
Pola yang kedua adalah nas, yaitu penanda yang
menunjuk pada makna yang (dari dirinya) tidak mengandung kemungkinan makna yang
lain.[56]
Hal ini menurut hanafiyah, dikarenakan ia sesuai dengan konteks kalimat dan
merupakan tema utama di dalamnya. Karenanya, jika terjadi pertentangan antara zahir
dan nas, maka yang disebut kedua harus didahulukan. Meski demikian nas
masih menerima kemungkinan adanya takhsis, ta’wil, atau nasakh.
Contoh untuk kedua pola ini terdapat pada ayat berikut,
الذين
يأكلون الربا لايقومون الا كما يقوم الذين يتخبته الشيطان من المسّ ذلك بأنهم قالو
انما لبيع مثل الربا واحلّ الله البيع وحرّم الربا [57]
Nas atau tema utama ayat tersebut adalah penegasan
perbedaan antara jual beli dan riba. Sedangkan zahir atau tema sekundernya
adalah diperbolehkannya jual beli dan diharamkannya riba.[58]
Pola yang ketiga adalah mufassar, yaitu penanda yang
memiliki makna yang jelas (sesuai dengan konteksnya), sehingga menutup
kemungkinan untuk makna yang lain.[59]
Bahkan kejelasannya semakin kuat dengan adanya keterangan dari dalil lain yang
memiliki makna yang sama dengannya. Terkadang ia (awalnya) merupakan lafaz mujmal,[60]
namun setelah ada keterangan dari dalil lain ia menjadi mufassar.[61]
Tidak seperti zahir dan nas, mufassar hanya menerima
kemungkinan untuk di-nasakh.
Dan yang terakhir adalah muhkam, yaitu penanda yang
menunjukkan maknanya dengan jelas, dan memang dihadirkan sebagai tanda untuk
makna tersebut. Karenanya tidak lagi menerima adanya ta’wil maupun takhsis. Bahkan adakalanya disertai
lafaz (tanda) yang tidak menerima adanya nasakh.[62]
Diantara sekian bentuk kejelasan di atas, muhkam memiliki dal>alah hukum yang
lebih kuat dibanding yang lain. Karenanya jika ada pertentangan dengan yang
lain, maka ia harus didahulukan.
Adapun pola kesamarannya adalah pertama, khafi yaitu
kata yang maknanya samar pada sebagian pengertian yang ditunjukinya, bukan
karena bentuk ungkapannya. Menurut al-Bazdawi khafi adalah lafaz yang
maknanya tidak jelas, dan apa yang dikehendaki pun menjadi samar karena ada
faktor di luar shigat yang tidak ditemukan kecuali harus dicari.[63]
Ini berarti bahwa khafi sebenarnya dari satu sisi merupakan penanda yang
jelas, namun reprensentasi apa saja yang ditandainya membutuhkan penelitian
yang akurat dan cermat.[64]
Contoh yang paling sering dimunculkan adalah lafaz (kata) Sariq
(pencuri) pada surat al-Maidah (5): 28, apakah ia juga termasuk pencopet,
korupsi, dan segala bentuk pengambilan milik orang lain dengan cara sembunyi
atau tidak diketahui.
Pola yang kedua adalah musykil, yaitu kata yang
maknanya samar karena suatu sebab yang ada pada dirinya sendiri, dan apa yang
diimaksud dari kata tersebut menjadi tidak jelas. Untuk itu diperlukan indikasi
(dalil) dari luar yang dapat menjelaskan kesamarannya. [65]
Penyebab kesamarannya itu biasanya berupa ragamnya makna yang dapat dihasilkan
namun tidak saling bertemu dalam pemahaman kecuali sebuah penanda yang sama.[66]
Dalam hal ini musykil meliputi lafaz musytarak, seperti yang
tampak pada lafaz (kata) ‘ain, yang menunjukkan banyak makna yaitu mata,
mata air, mata-mata (intel), dan esensi (zat). Namun semua makna ini tidak bias bertemu dalam satu pemahaman. Seperti yang
sudah disebut di atas, penentuan di antara sekian makna yang di miliki hanya
dapat dilakukan dengan melihat indikasi dari luar, atau dari dalam, berupa
struktur (konteks) kalimatnya.
Pola yang ketiga adalah mujmal, yaitu
bentuk ungkapan (penanda) yang dalam maknanya tersimpan banyak ketentuan dan
keadaan yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui pernyatan lain
yang menjelaskan (mubayyin).[67] Menurut al-Bazdawi mujmal adalah
ungkapan yang didalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang di
maksud diantara makna- makna tersebut tidak jelas (kabur).[68] Perbedaan antara mujmal dengan musykil
adalah bahwa penjelasan atau interpretasi atas mujmal tidak menghasilkan
makna yang saling bertentangan, sementara makna yang dihasilkan dari musykil
saling bertentangan.[69] Perintah sholat misalnya, yang dalam
al-qur’an diungkap dalam bentuk mujmal, maka dengan adanya sunnah nabi
perintah tersebut menjadi jelas (mufassar) seperti yang terdapat dalam
hadis,
صلّو
كما رأيتموني اصلّي
Menurut kebanyakan
ulama, setelah datangnya penjelasan (mubayyin) pada mujmal, maka
tidak boleh lagi menerapkan ta’wil atau takhsis. Sebagian lagi
berpendapat, keberadaan penjelas (mubayyin) tidak membuat mujmal
secara otomatis menjadi jelas (mufassar), sebab adakalnya ia menjadi zahir,
nas, bahkan musykil seperti kasus hadis yang menjelaskan
persoalan riba.[70])
Pola yang terakhir
adalah mutasyabih, yakni kata yang samar maknanya, dan tak terjangkau
oleh nalar, sementara dalam al-Qur’an maupun hadis tidak ada penjelasannya,
baik itu bersifat qat’i maupun zanni.[71] Kesamaran tersebut bukan terletak pada
pengertian (makna) apa saja yang ditunjukinya, atau ragam maknanya yang saling
bertentangan, atau konsep makna (petanda) seperti apa yang dinginkan oleh kata
(tanda) tersebut, seperti halnya persoalan yang terdapat pada tiga bentuk
kesamaran sebelumnya, melainkan pada sisi “kemisterianya”,[72] seperti yang terdapat pada
potongan-potongan huruf pada awal beberapa surat.[73]
Meski beberapa
ulama telah menggapai (menjelaskan) makna ayat mutasyabih–misalnya ayat
yang seakan-akan menyerupakan Allah dengan makhluk, namun pencapaian tersebut
bukan berkaitan dengan hukum (taklif). Dengan kata lain ayat ayat yang
memuat ketentuan-ketentuan hukum tidak satupun yang berbentuk mutasyabih.[74]
Demikianlah
pembahasan lafaz (tanda) berdasarkan kejelasan dan kesamarannya. Namun
ketentuan dan penetapan hukum tidak saja berdasarkan maknanya yang jelas,
melainkan juga dengan makna-makna yang dicakupnya dan petunjuk-petunjuk serta
inferensi-inferensi yang bersifat tidak langsung yang dapat ditarik darinya.[75] Pembahasan ini membawa pada relasi yang
terakhir antara lafaz dan makna, yakni berdasarkan pemahaman makna yang
dikehendaki oleh (petunjuk) lafaz. Menurut hanafiyah, ada empat bagian
yang dibahas dalam relasi ini, yakni ‘ibarah an-nas, isyarah an-nas,
dal>alah an-nas, dan iqtida’ an-nas. Namun ulama jumhur
menambah satu pembahasan lagi, yakni mafhum mukhalafah. [76]
‘Ibarah an-nas atau makna eksplisit adalah makna yang langsung
dipahami dari kata-kata dan ungkapannya baik berupa zahir maupun nas,
muhkam ataupun tidak.[77] Yang dimaksud dengan bentuk ungkapan
adalah hubungan kalimat atau struktur kalimat yang dimiliki oleh sebuah teks.[78] Makna eksplisit mewakili tema pokok ataupun
tujuan suatu nas, meski dalam nas tersebut terdapat tema-tema atau makna-makna
sukunder. Dalam kapasitasnya sebagai makna yang jelas dan dominan, ibarah
an-nas selalu diberi prioritas di atas tema-tema atau makna-makna sekunder
yang ada.[79]
Selanjutnya adalah
isyarah an-nas (makna impilsit), yaitu makna yang tidak secara langsung
dipahami dari bentuk ungkapan (struktur kalimat), melainkan makna dibalik
sebuah ungkapan.[80] Pemahamannya hadir sebagai konsekuensi
logis dari makna eksplisit dari suatu teks. Dengan kata lain ia adalah
makna tersirat dari sebuah teks. Meski bukan sebagai makna utama, keberadaannya
tetap diperlukan untuk memperkaya inferensi.[81]
Contoh untuk kedua pemahaman di atas dapat dilihat pada firman Allah sebagai
berikut,
وان
خفتم ألاتقسطو في اليتمى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلث و الربع فإن خفتم
ألا تعدلوا فواحدة اوماملكت أيمنكم. [82]
Ibarah an-nas (makna eksplisit) ayat tersebut
menunjukkan legalitas perkawinan, pembatasan poligami, dan ketetapan monogami
jika dalam poligami tidak mampu berlaku adil. Namun isyarah nas (makna
implisit) dari ayat menunjukkan bahwa berbuat adil terhadap istri adalah wajib
secara mutlak, baik dalam hal poligami maupun monogami. Sebaliknya berbuat
aniaya terhadap istri adalah haram.[83]
Sedangkan dal>alah
an-nas adalah penandaan teks (lafaz) tentang berlakunya hukum yang
disebutkan di dalamnya (teks) bagi (masalah) yang tidak disebutkan di dalamnya,
karena secara bahasa keduanya memiliki kesamaan ‘illat, baik ketika
masalah yang tidak disebutkan dalam teks, seimbang posisi hukumnya dengan yang
ada dalam teks, maupun lebih utama
(karena kuatnya ‘illat yang dimilikinya).[84]
Dengan kata lain, makna dari penandaan ini diperoleh dari semangat dan alasan syar’i,
sekalipun secara eksplisit makna tersebut tidak disebutkan.[85]
Dengan demikian dal>alah
an-nas ini mirip dengan qiyas,[86].
sebab sama-sama menggunakan ‘illat sebagai landasannya. Hanya saja
dalam dal>alah
an-nas ‘illat-nya dapat diketahui melalui pemahaman bahasa,
sementara ‘illat pada qiyas harus ditemukan melalui penelitian
dan penalaran yang mendalam.[87]
Contoh yang sering digunakan sebagai ilustrasi adalah firman Allah sebagai
berikut,
Apa yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah bahwa seorang
anak tidak boleh membentak dan berkata “heh” kepada kedua orang tuanya. Bila
membentak dan berkata “heh” saja dilarang, tentu memukul dan mencerca serta
segala perkataan dan perbuatan yang menyakitkan hati kedua orang tua–yang tidak
disebutkan dalam teks–juga dilarang. Sebab pelarangan terhadap yang terakhir
karena memiliki kesamaan ‘illat dengan membentak dan perkataan “heh”,
dan kesamaan tersebut dapat dipahami secara bahasa melalui tanda yang terdapat
dalam teks, yakni menyakiti kedua orang tua.[89]
Dari ilustrasi ini dapat dipahami pula bahwa dal>alah an-nas
merupakan perluasan makna teks.[90]
Penandaan selanjutnya adalah iqtida’ an-nas, yaitu
penandaan teks tentang makna yang disisipkan yang hadir sebagai keharusan logis
bagi sebuah teks. Sebagaimana makna dalam dal>alah an-nas, makna yang hadir ini
tidak tersebutkan dalam teks.[91]
Misalnya seperti yang terdapat dalam ayat berikut,
Ayat di atas tidak menyebut kata “mengawini”, namun harus
dihadirkan dan dibaca demikian untuk melengkapi maknanya agar teks dapat
dipahami secara logis.[93]
Bunyi ayat dia atas menyebutkan halalnya bagi seorang yang
merdeka menikahi seorang budak dengan batasan (alasan) tidak mampu–secara
materi–menikahi wanita yang merdeka. Maka kebalikan dari pemahaman tersebut
adalah diharamkannya seorang yang mampu menikahi seorang budak.[97]
Dengan demikian konsekuensi dari penandaan ini adalah adanya dua (makna) hukum
yang berlawanan yang dikandung oleh sebuah teks, yakni makna yang disebut oleh
teks–apakah itu haram atau halal, dan
makna sebaliknya yang tentunya tidak disebutkan oleh teks.
2.
Metode makna (Ma‘nawiyyah)
Yang dimaksud sebagai metode makna adalah metode penetapan
hukum yang tidak menggunakan teks sebagai landasannya. Sebaliknya, metode ini
mengesampingkan teks sebagai acuan dengan berpegang pada makna (esensi) dan
tujuan yang terkandung di balik teks.[98]
Setidaknya ada dua alasan digunakannya metode ini, pertama, teks tidak secara
jelas dan tegas memuat ketentuan-ketentuan (hukum) yang sedang dihadapi. Kedua,
penerapan secara apa adanya yang tersebut dalam teks, tidak sejalan dengan
tujuan syar’i itu sendiri. Dengan demikian metode ini mengacu pada maqasid
asy-syar’iyyah (tujuan hukum Islam) sebagai landasannya. Di antaranya
adalah qiyas, istihsan, istislah, dan istishab.[99]
Qiyas,
menurut ulama usul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nasnya dengan cara
membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nas.
Kemudian menyamakan sesuatu yang diperbandingkan tersebut dengan alasan adanya
persamaan ‘illat hukum.[100]
Dengan demikian inferensi ini berdasarkan prinsip yang telah dijadikan
preseden, dan bahwa suatu kasus baru berada dibawah prinsip tersebut atau mirip
dengan preseden ini, berdasarkan kuatnya alasan (‘illat).[101]
Seperti yang telah disebutkan penggunaan metode ini
dikarenakan tidak adanya teks (nas) yang secara eksplisit menyebutkan
permasalahan (hukum) yang sedang dihadapi. Untuk itu diperlukan beberapa unsur
pendukung, yakni: al-asl, yaitu sumber hukum yang berupa teks (nas) yang
menjelaskn tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum; al-far’,
yaitu sesuatu yang tidak ada ketentuan nasnya; al-hukm, yaitu hukum yang
digunakan qiyas untuk memperluas hukum dari asal ke permasalahan yang sedang
dihadapi (al-far’); ‘illat, yaitu alasan hukum yang serupa antara
asal dan permasalahan yang sedang dihadapi (far’).
Dengan demikian qiyas adalah metode yang menggunakan
penalaran analogi. Meski terdapat penolakan terhadap metode ini–karena
mendasarkan syari’ah lebih kepada akal manusia daripada wahyu Tuhan, mayoritas
ulama mengakuinya sebagai teknik atau metode yang independen yang membuat
kemungkinan- kemungkinan terhadap kasus-kasus baru.[102]
Selanjutnya adalah istihsan yang sering disebut
sebagai metode atau teknik penyimpangan. Tepatnya menyimpang dari ketetapan
hukum yang diterapkan pada masalah-masalah serupa, karena ada alasan yang lebih
kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.[103]
Ia juga adalah “konstruksi yang menguntungkan” karena digunakan untuk
menghindari penggunaan qiyas yang kaku.[104]
Penyimpangan yang menjadi “ciri” metode ini terjadi karena
ada faktor lain yang mendorong agar keluar dari keterikatannya dengan kaedah
itu, yang dipandang justru akan lebih dekat pada tujuan syara’. Sehingga
statusnya lebih kuat dari dalil (metode) lain.[105]
Istihsan juga dilakukan karena dalil yang ada berlawanan dengan dalil
yang lain pada kasus-kasus tertentu. Dengan kata lain ia terbatas pada masalah juziyyah
(partikular). Oleh imam Malik metode ini disebut sebagai sembilan persepuluh
ilmu. Karenanya pengunaan metode ini diibaratkan sebagai pembuat hukum. Umumnya
metode ini banyak digunakan oleh fuqaha’ Hanafi dan Maliki.
Istislah atau maslahah adalah metode yang
berdasarkan kemaslahatan umum, dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus
baik bersifat melegitimasi atau membatalkan maslahat tersebut. Al-Gazali
merumuskan maslahah sebagai pertimbangan bagi agenda kemanusiaan dalam hukum dengan mengambil
manfaat dan menolak mudarat dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.[106]
Dengan demikian, meski tanpa ditopang oleh dalil, bukan berarti maslahah
harus mengikuti keinginan manusia, sebaliknya maslahah harus
sejalan dengan tujuan syara’, yakni,
pemeliharaan agama, jiwa atau kehidupan, akal atau pikiran, keturunan, dan
harta.[107]
Dalam perumusan maslahah, ulama Maliki dan Hambali
menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni, maslahah itu
harus sejalan dengan kehendak syara’; bersifat rasional dan pasti, bukan haya
perkiraan; dan menyangkut kepentingan orang banyak, bukan pribadi. Al-Gazali
menambahkan, bahwa maslahah itu termasuk dalam kategori darurat, baik pribadi
maupun orang banyak.[108]
Lebih jauh lagi, at-Tufi menyebut beberapa prinsip yang berkaitan dengan maslahah,
yakni, akal bebas menentukan maslahah dan mafsadah, namun hanya
dalam bidang mu’amalah dan adat kebiasaan. Selanjutnya, maslahah
merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum, dan merupakan dalil syara’ yang
paling kuat.[109]
Adapun istishab, seperti yang dikemukakan Syaukani
adalah dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada sesuatu
yang mengubahnya.[110]
Yang dimaksud dengan sesuatu adalah nas yang menetapkan apakah perkara tersebut
halal atau haram. Dengan pengertin ini berarti, istishab memapankan ketetapan
di masa lampau dengan berdasarkan hukum asal, dan tetap berlaku untuk masa
sekarang dan masa mendatang, sampai ada ketentuan (hukum) baru yang
mengubahnya. Dengan penegertian yang sedikit berbeda, Ibn Qoyyim menyebut istishab
sebagai melestarikan yang sudah positif dan menegaskan yang negatif.[111]
Dalam hal ini tidak diperlukan adanya dalil yang melegitimasi.
Menilik apa yang disebut al-Gazali tentang istishab,
maka kemampuan akal dituntut dalam menetapkan (hukum) sesuatu, selama tidak ada
dalil (nas) yang menyatakannya.[112]
Dengan demikian ada dua segi yang berkaitan dengan keasalan dan kebaruan dalam istishab, yakni, ketetapan
syara’ (teks) dan kemampun akal.
Konsekuensinya, segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia–baik itu
berdasarkan syara’ (nas) akal, maupun kesepakatan bersama, adalah boleh sampai
ada dalil menunjukkan pelarangan.[113])
3.
Metode Sinkronik (Ta’a>rud}iyyah)
Yang dipahami sebagai
metode sinkronik adalah metode yang digunakan ketika terjadi kontradiksi
atau pertentangan antar teks (dalil). Meski sebenarnya, jika dilihat dari
tujuan syar’i tidak terjadi pertentangan antar teks (dalil)–selama dasar dan
pemahaman teks (dalil), serta cara menggali hukumnya dilakukan secara
benar–namun kenyataannya kontradiksi itu dapat ditemukan.[114])
Metode ini bisa juga disebut dengan falsifikasi, dengan melihat sejauh mana
teks- teks yang kontradiktif benar (rajih) setelah dapat dinyatakan
salah. Seperti yang diketahui dalam falsifikasi, bahwa suatu hipotesa–dalam hal
ini teks (dalil)–falsiabel apabila
terdapat suatu keterangan-observasi atau suatu perangkat keterangan-observasi
yang tidak konsisten denganya, yakni apabila ia dinyatakan sebagai benar maka
ia (yang datang kemudian) akan memfalsifikasikan hipotesa (dalil) itu.[115])
Setidaknya ada tiga permasalahan yang memungkinkan mengapa
kontradiksi itu terjadi. Pertama, dari segi lahiriyahnya, teks- teks
tersebut memang tampak bertentangan, (sehingga) kedua, teks-teks yang
tampak bertentangan tersebut terasa sulit untuk dikompromikan. Dan ketiga,
adanya kesalahan anggapan terhadap satu dalil yang sesungguhnya bukan dalil.[116]
Dalam menghadapi teks yang kontrdiktif ini, ada dua teknik yang digunakan,
yakni tarjih (menilai mana yang lebih unggul) dan naskh (penghapusan
atau penggantian).
Dalam melakukan tarjih–bertolak dari permasalahan yang memungkinkan
terjadinya kontradiksi–dibutuhkan kejelasan dan kecermatan sebagai standar
kebenarannya. Sebab, seringkali teks (dalil) yang (tampak) kontradiktif
tersebut membicarakan obyek atau permasalahan yang sesungguhnya berbeda satu
sama lainnya.[117] Di
samping itu, adakalanya teks yang bertentangan itu memiliki status yang
berbeda, di mana yang satu lebih unggul dari yang lain dari segi
periwayatannya, baik itu berupa mutta}sil
terhadap mursal, maupun mutawatir terhadap ahad atau }da’if. Artinya,
suatu teks yang sudah cacat sebagai sumber informasi tidak mungkin dan harus
ditolak jika dihadapkan dengan teks yang lebih mapan.[118]
Dengan demikian tarjih berkaitan denga kondisi internal atau struktur
sebuah teks, dimana penilaiannya berupa pembacaan dekat.[119]
Sebaliknya naskh berkaitan dengan kondisi eksternal
teks, yaitu hubungan antara teks (wahyu) dengan realitas. Sebab, naskh
merupakan upaya membatalkan dan tidak memberlakukan hukum, baik pembatalan
tersebut berkaitan dengan penghapusan hukum dan melepaskannya dari pembacaan
atau membiarkan teks itu tetap ada sebagai petunjuk akan adanya “hukum” yang
di-mansukh.[120]
Dengan adanya realitas sebagai sebuah hubungan, maka kondisi realitas harus
dipertimbangkan. Oleh karena itu naskh sangat berkaitan dengan asbab
an-nuzul, di mana suatu pentahapan yang dapat dikatakan, bahwa ayat-ayat
akhir menurut tertib turunnya me-naskh hukum yang ada dalam ayat-ayat
yang mendahuluinya. Dengan kata lain naskh berdasarkan pada pengetahuan
kesejarahan yang cermat terhadap asbab an-nuzul dan kronologi turunnya ayat.[121]
Konsekuensi dari naskh adalah tidak berlakunya teks
(nas) yang hadir terdahulu (terutama) ketika berhadapan dengan teks yang
kemudian, dan naskh hanya berlaku pada masa nabi dengan alasan al-Qur’an
dan sunnah tidak lagi diturunkan setelah beliau wafat.[122]
Namun menurut Mahmud Toha yang kemudian dikembangkan oleh an-Na’im teks yang
terhapus itu masih dapat diberlakukan–bukan hanya sebagai petunjuk akan adanya
hukum yang di-mansukh–meski bertentangan dengan teks yang kemudian,
bahkan dapat me-nasakh kembali teks yang kemudian tersebut, dengan
mempertimbangkan relitas obyektif – ayat yang lebih dekat dengan pemahaman
masyarakat dan lebih sesuai dan pantas dengan situasi sebagai faktor
diberlakukannya sebuah teks.[123]
Dengan demikian naskh dapat juga diberlakukan masa kini demi
“menghasilkan hukum Islam modern yang murni dan otentik” sebagaimana yang telah
digunakan pada masa lalu (era Madinah).[124]
Demikianlah penyelesaian dari metode sinkronis (ta’>aru}diyyah) dimana tarjih
lebih menekankan pada pembacaan dekat terhadap internal atau struktur sebuah
teks, sebab problem yang dihadapi adalah formalitas sebuah teks – apakah itu
periwayatan ataupun “makna obyektif”,
sehingga teks yang dimenangkan adalah teks yang kuat. Sementara naskh
lebih menekankan pada aspek historis sebuah teks, yakni asbab an-nuz>ul dan relitas
obyektif yang berkaitan dengan kesiapan dan pemahaman pembaca terhadap teks.
Sehingga teks yang digunakan adalah teks yang “siap dan tepat”. Dengan kata
lain naskh berdasarkan tuntutan maslahat dan perubahan zaman.[125]
[1] Al-Juhd
melahirkan kata jih>ad,
yang berarti kesanggupan untuk berusaha mendapatkan kebenaran dan
menegakkannya. Walaupun memiliki akar kata yang sama, ijtihad dan jih>ad memiliki
wilayah penerapan yang berbeda. Kata ijtihad bergerak dalam wilayah pemikiran
dan penelitian, sedangkan kata jih>ad
bergerak dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku. Lihat Asjmuni
Abdurrahman, Sorotan Terhadap Beberapa
Masalah sekitar Ijtih>ad, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 25
Mei 1996, hlm. 2.
[2]
Jamaluddin Muhammad Ibn Munzir, Lis>an
al-‘Arab>i,
cet.III (Beirut: D>ar S>adir, 1992), III: 133-135; Majd ad-D>in Muhammad Ibn
Ya’kub al-Fairuza Abadi, al-Q>am>us al-Mu}h>i}t (Beirut D>ar al-Fikr, 1995),
hlm. 249-250.
[3]
Asy-Syaukani, Irsy>ad
al-Fu{h>ul il>a Ta{hqīq al-{Haqq
min ‘Ilm al-U}s>ul (Beirut: D>ar al-Fikr, t.t.), hlm. 250.
[8] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad asy-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia. (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 3.
[11] Syaifuddin Abi Hasan al-Amidi, al-Ihk>am f>i U}s>ul al-Ahk>am (Beirut: D>ar al-Fikr, 1996), IV: 309.
[13] Jalaluddin Rahmat, “Ijtihad: Sulit
Dilakukan, Tetapi Perlu”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (Ed), Ijtihad
dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 189.
[16]
Diantaranya ijtihad yang dilakukan sahabat pada peristiwa perang Ahzab
(khandaq). Ketika itu Nabi menyuruh mereka untuk melaksanakan shalat ashar di
Bani Quraizah. Namun, sebelum sampai di sana, waktu shalat telah tiba. Lalu
sebagian sahabat berinisiatif (berijtihad) untuk melaksanakan di tengah perjalanan.
Sebab mereka khawatir ketika sampai di Bani Quraizah waktu shalat telah habis,
di samping mereka tidak ingin mengakhirkan waktu shalat. Sedangkan sebagian
sahabat yang lain berkeyakinan untuk tetap melaksanakan shalat di Bani Quraizah
sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi. Terhadap dua inisiatif ini Nabi
membiarkannya (tidak melarang). Lihat Ibn Qoyyim, I’l>am al- Muwaqqi’>in., I: 244.
[17]
Diantaranya adalah hadis yang berkaitan dengan Mu’az ketika ia diutus untuk
menjadi hakim di negeri Yaman. Untuk kejelasan hadis ini, lihat Abu Dawud, Sunan Abu Daud (Beirut: D>ar
al-Fikr, 1994), III: 295.
[18]
Dalam hal ini terdapat dua pandangan apakah nabi melakukan ijtihad atau tidak.
Untuk yang pertama ada yang mengatakan bahwa nabi juga melakukan ijtihad secara
independen, bahkan beliau dapat disebut sebagai ahli usul fiqh pertama. Namun
adapula yang mengatakan bahwa ijtihad nabi masih didukung wahyu. Artinya,
ijtihad yang dilakukan nabi bukan merupakan sumber hukum tersendiri, melainkan
tidak lebih Dari sebuah respon terhadap persoalan-persoalan yang keabsahannya
tetap berada dalam otoritas wahyu, sehingga wahyu lah yang menjadi sumber
hukum. Sementara yang kedua mengatkan bahwa nabi tidak melakukan ijtihad,
melainkan berasal dari wahyu. Lihat,
A. Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam,
cet. 2 (Jakarta: Bulan Bintang,1977), hlm. 186; Abd. Wahhab Khallaf, Sejarah Legislasi Islam (Perkembangan Hukum
Islam), terj. A. S. Djamaluddin, cet. I (Surabaya: al-Ikhlas, 1994), hlm.
27; Amir Abd al-Aziz, U{s>ul Fiqh al-Islam, cet.I (ttp.: D>ar as-Salam, 1997), 753-758.
[20]
Jalaluddin Rahmat, Ijtihad., hlm. 173-174.
[21]
Mengenai peristiwa ini, lihat Ibn As\ir,
al-K>amil fī at- T>arikh
(Beirut: D>ar {Sadir,
1965 M/1385 H), II: 357-360.
[22]
Jalaluddin Rahmat, Ijtihad., hlm.181.
[23] Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi., hal 21-22.
[24] Abu
Zayd, Tekstualitas., hlm. 313.
[26]
Sebuah contoh yang baik dalam hal ini adalah ijtihad Umar yang tidak membagikan
ganimah seperti yang biasa dilakukan oleh Rasulullah. Keputusan Umar ini
sesungguhnya tidak lepas dari pemahamannya akan harta yang disinggung dalam nas
dan fungsi (harta) ganimah dalam keuangan negara.Disamping ganimah
penafsirannya akan nas yang berkaitan dengan ijtihadnya adalah masalah kharraj
(pajak), zakat untuk mu’allaf, dan
talak. Lihat I. Zaenal Abidin, “Problematika ijtihad”, dalam Haidar Bagir dan
Syafiq Basri, Ijtihad., hlm. 88-89.
[27])
Abu Zayd, Tekstualitas., hlm. 323-325.
[29] Ibid., hlm. 201.
[30]
Muhammad Abu Zahrah, Usul. Fiqh, terj. Saefullah M’shum, dkk, cet. VI
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 166.
[31]
Wahbah Zuhaili, U}s>ul Fiqh al-Isl<ami (Damaskus: D<ar al-Fikr, 1986
M/1406 H), I: 202-203: Ali Hasballah, U}s>ul Tasyri’., hlm.209.
[33] Selengkapnya lihat Abu
Zayd, Tekstualitas., hlm. 269-273.
[34]
Karenanya ulama Syafi’iyah memasukkannya dalam kategori lafaz ‘amm. Abu Zahrah, Usūl., hlm. 252,
254.
[35] Ibid.,
hlm. 236, 254. Lihat juga Zuhaili, U}s>ul Fiqh., I: 283
dan Abu Zayd, Tekstualitas., hlm. 278.
[37] Ibid.,
hlm. 204; Abu Zahrah, Usul., hlm. 236-237.
[38] Abu
Zayd, Tekstualitas., hlm278.
[39] Q. S. Ar-Ra’d (13): 15.
[40] Abu
Zayd, Tekstualitas., hlm278.
[41] Ibid.,
hlm. 291. lihat juga Zuhaili, U}s>ul Fiqh., I:
208-209; Abu Zahrah, Usul., hlm. 255-257.
[42] Al-Mujadalah (58): 3.
[44] Abu
Zayd, Imam Syafi’i., hlm. 42-43. Lihat juga Abu Zahrah, Usul.,
hlm. 237-239,
244; Zuhaili, U}s>ul Fiqh., I:
250-251.
[45] Abu
Zahrah, Usul., hlm. 238. Lihat juga Zuhaili, U}s>ul Fiqh., I:
250-251; Abu Zayd, Imam Syafi’i., hlm. 24-25.
[46] Abu
Zayd, Tekstualitas., hlm. 263.
[47] Ibid.,
hlm.264.
[48]
Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Trori-Teori Hukum Islam (U}s>ul al-Fiqh),
terj. Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 147. Lihat juga
Zuhaili, U}s>ul Fiqh., I:
292,296.
[49] Ibid.,
hlm. 149.
[51]
Kamali., hlm. 150.
[52]
Kejelasan tanda (al-wadih ad- dal>alah)
adalah pananda yang dapat dipahami dengan tidak keluar dari bentuknya.
Kesamaran tanda (gair al-wadih ad- dal>alah)
adalah penandaan yang dapat dipahami dengan keluar dari bentuknya. Lihat ‘Abd
al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm al- U}s>ul al-Fiqh,
cet.XII (Quwait: D>ar
al-‘Ilm, 1398 H/ 1978 M), hlm. 161, 169.
[53] Ibid.,
hlm. 162, 163. Lihat juga Abu Zahrah, Usul., hlm. 170, 171; Zuhaili, U}s>ul Fiqh., I: 313.
[54]
Sebagian ulama berpendapat, “kemungkinan” itu dikarenakan lafaz tersebut secara
potensial terbuka pada makna lain (lebih dari satu makna), sehingga ada yang
mengkategorikannya sebagai lafaz ‘amm. Lihat Abu Zahrah, Usul.,
hlm. 171. bandingkan dengan Abu Zayd., Tekstualitas., hlm. 240.
[55] Ibid.,
hlm. 173.
[56] Abu
Zayd, Tekstualitas., hlm.237. Lihat juga Ibid., hlm. 170, 173;
Zuhaili, U}s>ul Fiqh.., I:
313, 318, 319; Kamali, Prinsip., hlm 116.
[57] Q. S. Al-Baqarah (2):
275.
[59] Ibid.,
hlm. 176; Ibid., hlm. 120. Bandingkan dengan Khallaf, ‘Ilm., hlm.166.
[60]
Ibid. Lihat juga Khallaf, ‘Ilm., hlm. 167; Abu Zayd, Tekstualitas., hlm.
240.
[61] Mufassar
yang kejelasannya di jelaskan nas lain disebut mufassar bi gairih,
sedangkan yang jelas karena dirinya disebut mufassar bi z>atih. Lihat
Kamali, Prinsip., hlm. 120.
[62] Abu
Zahrah, Usul., hlm. 178; Khallaf, ‘Ilm., 168.
[63]
Lihat as-Sarakhsi, U}s>ul Sarakhsi
(Beirut: D>ar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H/1993 H), I: 167.
[64]
Bandingkan Khallaf, ‘Ilm., hlm.170.
[65] Abu
Zahrah, Usul., hlm. 185. lihat juga ibid., hlm 171.
[66] Ibid.,
hlm. 172.
[67] Ibid.,
hlm. 190.
[68] Ibid.,
hlm. 191. Ketidakjelasan ini hanya dapat diatasi dengan penafsiran yang
menjelaskan makna mana yang dikehendaki. Lihat Sarakhsi, U}s>ul., I: 168.
[69] Abu
Zayd, Tekstualitas., hlm. 245; Khallaf, ‘Ilm., hlm. 173. Dari
segi cakupan makna yang dimiliki, mujmal
memiliki kesamaan dengan ‘amm. Hanya saja ‘amm lebih valid
dibanding mujmal sebagai landasan hukum, sedangkan ‘amm boleh.
Lihat al-Isnawi, al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ‘al>a al-U}s>ul, cet. IV
(Beirut: Mu’asasah ar-Risalah, 1407 H / 1987 M), hlm. 429.
[70] Abu
Zahrah, Usul, hlm. 192,193.
[71] Ibid.,
hlm. 196; Khallaf, ‘Ilm., hlm. 175.
[73]
Selain pada awal beberapa surat, mutasyabih juga terletak pada beberapa
ayat yang seakan-akan menyerupakan Allah dengan makhluk, serta beberapa ayat
yang memuat sumpah Allah. Lihat Abu Zahrah, Usul., hlm. 197.
[74] Ibid.
[75]
Kamali, Prinsip., hlm. 159.
[76] Abu
Zahrah, Usul., 203-204.
[77]
Ibid., hlm. 204; Kamali, Prinsip., hlm. 160.
[78] Khallaf, ‘Ilm.,
hlm.144.
[79]
Kamali, Prinsip., hlm. 160.
[80] Khallaf, ‘Ilm.,
hlm. 145; Abu Zahrah, Usul., hlm. 205.
[81] Ibid., hlm. 161.
[83] Khallaf, ‘Ilm.,
hlm. 144, 145; Abu Zahrah, Usul., hlm. 205, 206.
[84] Zuhaili, U}s>ul Fiqh., I: 353.
lihat juga Ali Hasballah, U}s>ul Tasyrī’., 275;
Khallaf, ‘Ilm., hlm. 148.
[85] Kamali, Prinsip.,
hlm. 163. Lihat juga Khallaf, ‘Ilm., hlm. 148.
[86] Dal>alah ini sering
juga disebut dengan al-qiyas al-aula, al-qiyas al-jali, dan al-qiyas
fi ma’na an-nas. Terkadang juga disebut dengan dal>alah al-aula, mafhum
muwafaqah, fahwa al-khitab, ruh al-khitab, dan lahn
al-khitab. Lihat Khallaf, ‘Ilm., hlm. 150,; Abu Zahrah, Usul., hlm. 208.
[89] Abu Zahrah, Usul.,
hlm. 209.
[91] Abu Zahrah, Usul.,
hlm. 210,211; Kamali, Prinsip., hlm. 164.
[93] Kamali, Prinsip.,
hlm. 164.
[94] Batasan-batasan tersebut
adalah bentuk ungkapan linguistik apa saja yang dapat diterapkan dalam metode
ini. Demikianlah, ulama jumhur telah menentukan bentuk-bentuk ungkapan tersebut
sebagai berikut, 1) mafhum al- sifah (implikasi sifat), yakni
berdasarkan kualitas atau sifat yang tersebut dalam teks, 2) mafhum al-syart
(implikasi syarat), yakni ketentuan berupa syarat yang tersebut dalam teks, 3) mafhum
al-gayah (implikasi lingkup nas), yakni ruang lingkup yang menjadi batasan
berlakunya (makna) teks, 4) mafhum al-‘adad (implikasi jumlah), yakni
jumlah atau bilangan tertentu yang dijadikan batasan oleh teks dalam
pemaknaannya, 5) mafhum al-laqab (implikasi sebutan, jenis, atau macam), yakni
ketentuan yang dibatasi oleh sebutan, jenis, atau macam yang tersebut dalam
teks. Lihat Khallaf, ‘Ilm., 153-155; Abu Zahrah, Usul.,
228-235.
[95] Seperti yang sudah
disebutkan, konsep seperti ini hanya disepakati oleh ulama jumhur, sedangkan hanafiyyah
menolaknya. Lihat Abu Zahrah, Usul., hlm. 220-224.
[97] Abu Zahrah, Usul.,
hlm. 220.
[98] Metode ini juga disebut
dengan metode syar’i (qaw>a’id
syar’iyyah). Lihat misalnya Ali Hasbullah, U}s>ul Tasyri’., hlm.
201. Dalam tarikh tasyri’, khalifah Umar disebut sebagai orang yang kerap
mengesampingkan teks dalam menetapkan sebuah kepeutusan hukum. Contoh yang
sering dimunculkan adalah kebijakannya yang tidak memberikan zakat pada mu’allaf,
padahal dalam al-Qur’an secara jelas menyebutkan golongan ini sebagai yang
berhak diberi zakat.
[99] Dalam pembahasan ini,
kami hanya membatasi pada empat metode tersebut, sedangkan yang lainnya seperti
‘urf dan zari’ah tidak kami sertakan dengan asumsi bahwa ‘urf
dan zari’ah secara metodik kurang familiar dan sering digunakan baik
sebagai alasan maupun teknis dalam
metode istislah.
[100] Abu
Zahrah, Usul., hlm. 336.
[101]
Rahman, Islam., hlm. 94.
[102]
Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj. A. Suaedy dan Amiruddin. A, cet.II (Yogyakarta: LkiS,
1997), hlm. 49 - 50.
[103] Abu
Zahrah, Usul., hlm.401.
[104]
Istilah ini merupakan terjemahan Dari bahasa inggris (favorable construction)
yang dikutip oleh Na’im Dari Fitzgerald Vesey dalam Encyglopedia of Islam.
Disebut juga dengan pilhan hukum dan qiyas khafi karena lebih suka
memilih jalan keluar yang lain Dari pada qiyas jali. Selanjutnya lihat
An-Na’im, Dekonstruksi., hlm. 50; Khallaf, ‘Ilm., hlm. 80.
[105] Abu
Zahrah, Usul., hlm. 401, 402.
[107] Ibid.,
hlm.; Lihat juga Asy-Syatibi, al-Muwaffaq>at f>i U}s>ul al-Ahk>am (Kairo:
Maktabah wa Ma}tba’ah Muhammad ‘Ali Sab>ih wa Aul>aduh, t.t.),
II: 4 - 6.
[108]
Dahlan (ed),”Maslahah”, dalam Ensiklopedi., IV: 1147.
[109] Ibid.
[111] Abu
Zahrah, Usul., hlm. 451.
[112]
Lihat al-Gazali, al-Musytasfā., II: 217-218.
[113]
Dahlan (ed), ” Istishab” dalam Ensiklopedi., III: 776.
[114] Abu
Zahrah, Usul., hlm. 470.
[115]
Falsiabel adalah dapat dinyatakan sebagai tidak benar atau salah. Selanjutnya
lihat A.F. Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?, terj. Joesoef Isak
(ed), edisi baru (Jakarta: Hasta Mitra, 1983), hlm. 39-42.
[116] Abu
Zahrah, Usul., hlm. 470. bandingkan dengan, Muhhammad al-Hasyimi, Ta’>aru}d al-Adillah
asy-Syar’iyyah, cet. I (Beirut: D>ar
al-Kutub al-Libn>ani,
1975), hlm. 14.
[117] Ibid.,
hlm. 471-474. Mengenai apa yang sebenarnya dibicarakan oleh teks, dapat dilihat
pada pembahasan metode tekstual.
[118] Ibid.,
hlm. 475, 476. Bandingkan dengan A.F. Chalmers, Apa Itu., hlm. 44,45.
[119]
Pembacaan dekat adalah sebuah istilah yang lazim digunakan sebagai salah satu
pembacaan teks sastra.
[120] Abu
Zayd, Tekstualitas., hlm. 153.
[121] Ibid.,
hlm. 159.
[122]
Kamali, Prinsip., hlm. 196.
[123]
An-Na’im, Dekonstruksi., hlm. 103,104, 111-117.
[124] Ibid.,
hlm. 97.
0 Response to "Makalah Metodologi Ijtihad dalam Menetapkan Hukum Islam "
Post a Comment