Makalah Biografi Ali Syari'ati dan Pemikirannya
Biografi Ali Syari'ati | Makalah Pemikiran Ali Syari'ati |
BIOGAFI
ALI SYARI’ATI
A.
Keluarga Dan Pendidikan Ali
Syari’ati
Sebagaimana halnya banyak tokoh besar di bidang ilmu dan
agama, yang walaupun hidup di pedesaan, menyepi di gurun (Kavir) yang jauh dari
hingar-bingar kehidupan kota, Syari’ati sangat bangga dengan kultur
kehidupannya yang hidup bersama ulama terkemuka pada masa itu.[1] Dari
kehidupan sang kakek yang suci ini.
Syari’ati belajar banyak hal, terutama sifat mempertahankan jati diri sebagai manusia sejati, ketika segala macam kefasikan dan dekadensi merajalela. Ekspresi rasa bangga itu dapat dilihat dari ungkapannya:
Syari’ati belajar banyak hal, terutama sifat mempertahankan jati diri sebagai manusia sejati, ketika segala macam kefasikan dan dekadensi merajalela. Ekspresi rasa bangga itu dapat dilihat dari ungkapannya:
“Filosof
Akhun, kakek ayahku, acap kali aku dengar kisahnya. Dalam hikayat ini terdapat
sumber alamiah yang amat banyak bagi kesadaran yang tumbuh dalam jiwaku
semenjak delapan puluh lima tahun, dan sebelum kelahiranku di dunia ini, aku
sudah merasakan dalam perwujudan dirinya. Dan inilah aku, orang yang kini
memperoleh banyak hal dari apa yang dimiliki dan direalisasikannya.” [2]
Demikian juga dengan paman ayahnya, seorang murid pemikir dan sastrawan
Naisaburi terkemuka. Syari’ati sangat bangga terhadapnya. Sesudah mempelajari fiqih
sastra. Paman ayahnya itu kemudian dia mengikuti jejak kakeknya. Selain dari
paman ayahnya Syari’ati juga memiliki pancaran keilmuan dan nilai kemanusiaan,
peninggalan para leluhurnya. Menurut Syari’ati ruh para leluhurnya itu bahkan
terlihat dalam dirinya, ruh yang bersinar cemerlang yang menyinari gerak
jalannya.[3] Dari
sejak kecil Syari’ati sebenarnya sudah hidup ditengah suasana religius yang
diawasi oleh para leluhurnya, yakni tradisi Islam Syi’ah Revolusioner.[4] Bagi
keluarga Syari’ati Islam sebagai agama merupakan doktrin sosial dan filsafat
yang relevan sepanjang masa tanpa mengenal letak geografis. Islam bagi mereka
bukanlah satu keyakinan masa lalu yang hanya bersifat pemuasan individu
melainkan juga sangat concern terhadap semua persoalan hidup manusia.
Pandangan keluarganya tentang Islam itu sangat berpengaruh pada
kepribadian Syari’ati ketika memahami
Islam sebagai agama. Islam sebagai agama bagi Syari’ati merupakan pengajaran
Tauhid dan keselamatan untuk membawa manusia dari kerendahan bumi menuju
ketinggian surga. Dari perbudakan menuju pengabdian Tuhan, dan dari penindasan
agama menjadi ke arah keadilan Islam.[5] Kemudian
yang tidak kalah pentingnya peran ayahnya yang menjadi substansi memancarnya
kepribadian sang ayah Taqi muhammad Syari’ati. Syari’ati sempat mengatakan,
bahwa ayahnya adalah guru yang sesungguhnya, termasuk dalam hal spiritual.
Semangat pencarian dalam kebebasan diri ayahnya, cukup banyak diwarisi
kepada Syari’ati muda, bahkan dirinya sempat menyatakan ayahnya sebagai real (Rausyan
Fikr), berikut ungkapannya :
“Ayahku telah
membentuk dimensi pertama dari jiwaku. Dialah yang pertama mengajarkan kepadaku
seni berfikir dan seni manusia. segera setelah ibuku menyapihku dan memberiku
kelezatan, keilmuan, kebersihan rohani, dan kebebasan hati. Kemudian ayahku lah
yang telah memperkenalkan kepada bukunya dan menjadi sahabatku yang akrab dan
abadi sejak tahun pertama masa sekolahku.” [6]
1.
Dari Masyhad Ke Mazinan
Ali Syari’ati adalah seorang tokoh intelektual Iran
yang sangat berpengaruh di antara orang-orang Iran yang tidak puas dan anti
rezim Syah pada tahun 1960-an sampai dengan 1970-an. Ia lahir pada tanggal 24
november 1933 M/1312 H di Mazinan Iran Timur.[7] Ali
Syari’ati adalah seorang tokoh yang membantu perjuangan Imam Khomaeni dalam
menjatuhkan rezim Syah Iran yang lalim untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
menurut ajaran Islam. Doktor sastra lulusan Universitas Sorbone Prancis ini
berjuang tak kenal lelah dan takut. Selama hidupnya, ia mengabdikan dirinya
untuk membangun masyarakat Islam Iran dari belenggu kedzaliman.
Pikiran-pikirannya dapat dilihat dalam ceramahnya yang telah membuat para
pemuda Iran dan mahasiswa Iran tergugah semangatnya.[8] Ali Syari’ati adalah putera sulung dari
pasangan Sayid Taqi Syari’ati dan putri Zahrah. Ali Syari’ati adalah sebuah
nama yang dilekatkan untuk bayi laki-laki itu, tumbuh dan dibesarkan di sebuah
desa dekat Masyhad Timur laut Khurasan, negeri Iran. Orang tuannya adalah
seorang ulama yang sangat disegani ditengah-tengah masyarakat sebagai tokoh
spiritual yang senantiasa menjalankan ritual dan ritus keagamaan secara taat.
Taqi Syari’ati adalah seorang guru dan mujahid besar pendidik Markaz Nasyr al-Haqa’aiq
al-Islamiyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad.
Syari’ati banyak menyerap pancaran pribadi ayahnya yang dianggap sebagai
pembaharu dan pengabdi ilmu. Kebanggan dan kekagumannya terhadap ayahnya telah
mengantarkan kepada pemikiran Syari’ati, bahwa ayahnya telah membentuk
kejeniusan Syari’ati muda. Dalam beberapa kesempatan dia sering mengatakan
bahwa ayahnya adalah seorang tokoh yang telah mengajarkan bagaimana menjadi
seorang pribadi Syari’ati yang sejati, seperti ungkapannya sebagai berikut:
“Akan
halnya ayahku, dia adalah seorang yang menentang tradisi dan tidak mau kembali
ke desa. Setelah menyelesaikan pendidikannya, dia lebih memilih tinggal di kota
(Masyhad) dan bergelut dengan ilmu, cinta dan usahanya yang tak kenal lelah
untuk mempertahankan dirinya, dari kehidupan kota yang kacau balau…. Aku adalah
buah dari keputusannya untuk tinggal.”[9]
Pada tahun 1941 Syari’ati masuk sekolah pertama Ibnu
Yamin, di mana di sekolah itulah ayahnya menjadi seorang guru. Pada saat itu
Syari’ati dikenal memiliki dua sifat yang membedakan dengan temannya yang lain.
Disisi lain Syari’ati dikenal sebagai seorang pendiam dan tidak mau diatur,
sisi lainnya dia adalah seorang yang rajin. Yang menjadi keunikan Syari’ati
adalah tidak pernah mau membaca buku yang diwajibkan di sekolahnya, melainkan
lebih suka membaca buku-buku yang ada di perpustakaan ayahnya. Kemudian pada
tahun pertama di sekolah menengah atas Fewdrosi, Syari’ati telah banyak
menyenangi filsafat dan mistisme, yang telah menjadi ciri khas paradigma
berfikirnya. Di satu pihak Syari'ati dikenal sebagai seorang yang pendiam, suka
menyendiri, dan di lain pihak dia juga dikenal sebagai seorang yang ramah dan
suka menolong orang lain. Hal ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi
Syari’ati, dia sangat merasakan telah tumbuh jauh meninggalkan zaman, seolah ia
telah seratus langkah lebih jauh dibanding teman-temannya se-kelasnya, dan
sembilan puluh sembilan langkah telah mendahului guru-gurunya.
Kesendirian dan kesan menjauh Syari’ati didasarkan atas
keseriusannya dan perilaku filosofi yang tumbuh dalam jiwanya semenjak dia
menjadi dewasa. Dalam perjalanan perenungannya tentang kehidupannya, Syari’ati
sempat mengalami perenungan tentang makna-makna “Teologis”. Hingga pada
suatu saat Syari’ati sampai pada krisis kepribadiannya yang cukup serius antara
tahun 1946/1950. Ketika di Barat anak muda seusianya telah bebas dari beban
pikiran dan hidup hura-hura, di Iran pada masa itu. Yang ada dalam pikiran
Syari’ati seharusnya pemuda seusianya itu sedang bergelut dengan pelajaran yang
menguras otak, misalnya mempelajari sastra. Syari’ati adalah bagian tipe anak
muda semacam itu, pada saat itu dia telah membaca karya-karya seperti, Mawarce
Maeterlink, Arthur Schofen, Franz Kafka, dan Sadeq-e-hidayat. Dengan membaca
karya mereka inilah pikiran Syari’ati mulai terjebak dan masuk perangkap dalam
perenungannya, dan pencarian akan eksistensi Tuhan, Monotheisme (Tauhid)
yang dari sejak kecil telah menggoncangkan jiwanya sampai akarnya. Sehingga
Syari’ati pada suatu saat sampai pada titik kulminasi dan jalan buntu
filosofis, yang akibatnya, terpintas dalam pikiran Syari’ati jalan yang harus
dilakukannya adalah dengan bunuh diri atau gila. Karena krisis pemikirannya
tidak kunjung reda, pada suatu malam di sebuah tempat yang bernama Estakhr-e-
Kooshangi, sebuah tempat yang sangat romantis, di Masyhad, Syari’ati mau
melakukan bunuh diri. Namun belum sampai pada niatnya itu Syari’ati telah
berhasil menemukan obat penawarnya itu dari masnawinya Maulawi Jalaludin Rumi,
beliau adalah seorang tokoh spiritual Filsafat Timur.
Pada awal tahun 1953, ketika Syari’ati menyelesaikan studinya di
pendidikan (Kolese) guru Masyhad, Syari’ati secara aktif terlibat dalam
aksi-aksi demonstrasi mendukung perdana menteri yang pemerintahannya waktu itu
dikudeta oleh Syah Muhammad Reza.[10] Akibat
dari aksinya itu Syari’ati ditahan oleh pemerintah selama Tujuh belas hari.
Atas tuduhan agitasi politik dan aksi-aksi pemberontakan. Setelah menyelesaikan
pendidikannya dalam bidang sastra pada bulan Juni 1954, dia kemudian meneruskan
studinya dengan masuk fakultas sastra, di Masyhad, yang baru diresmikan pada
tahun 1956. Karena kepintarannya Syari’ati mendapat beasiswa dari kampusnya
untuk melanjutkan kuliahnya di Paris, dan kuliahnya di Masyhad pun diselesaikan
dalam waktu yang singkat yaitu hanya dengan tiga tahun memperoleh gelar B.A,[11] dalam
bidang Sastra.[12]
Pada usianya yang menginjak umur 25 tahun tepatnya pada tanggal 15 juli 1958,
Syari’ati mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang putri dari haji Ali
Akbar, yang bernama Pouran-e Syari’ati Razavi.[13]
Kebahagiaan bersama sang istri semakin bertambah, dengan keberhasilannya
memperoleh gelar sarjana muda, lima bulan setelah pernikahannya. Sebagai
tesisnya, ia menerjemahkan Dar Naqd wa Adab (Kritik Sastra), karya
seorang penulis Mesir yang bernama Dr. Mandhur.[14]
2.
Masa Syari’ati di Paris
Ketika Syari’ati menginjakkan kakinya di Paris, masalah yang dihadapi
pertamanya adalah kondisi sosio kultural dan sepinya nilai moral dan religiusitas
penduduk sekitarnya. Apa yang dilihat Syari’ati adalah kultur masyarakat modern
yang jauh berbeda dengan kultur masyarakat, tradisional Iran. Namun demikian
Syari’ati adalah seorang pemikir yang tidak mudah terbawa arus oleh situasi dan
kondisi seperti itu khususnya perkembangan zaman yang dianggapnya semakin maju.
Dia telah membentengi dirinya dengan nilai-nilai religius dan akal yang Islami,
maka tidak mudah bagi seorang Syari’ati terjebak dalam gaya hidup bebas semacam
itu, Syari’ati mengakui ketika demokrasi
menjadi suatu hal yang tidak dapat terelakkan. Dalam studinya di Paris
Syari’ati mengambil jurusan bidang study Filologi, namun demikian dalam
kenyataannya dia lebih memilih banyak meluangkan waktunya dalam mempelajari
sosiologi khususnya karya-karya Sosiologi Prancis. Syari’ati kemudian
mengarahkan perhatiannya untuk mengkolaborasikan sebuah metode sosiologi
tersendiri yang dapat diterapkan dalam realitas masyarakat, yang memiliki
berbagai kultur, yang didasarkan dalam kerangka Islam.[15] Selama
di Paris, Syari’ati banyak berkenalan dengan para pemikir sekuler (barat), yang
mempengaruhi pola pikir Syari’ati pada waktu itu. Dari varian pemikir yang
diserapnya, dia memiliki prospektif yang sangat kritis terhadap masyarakat
Barat sendiri, dan juga mengetahui metodologi yang tepat untuk mengemukakan dan
mempertahankan teori mereka. Dengan
pendidikannya juga Syari’ati membuatnya dapat melihat karya-karya ilmiah dan
interpretasi non Syi’ah tentang syi’ah.[16]
Kesempatan selama empat tahun ini tidak disia-siakan oleh Syari’ati,
pertemuannya dengan tokoh-tokoh dunia, seperti para Fisiolog, Sosiolog,
Islamolog, Cendekiawan serta para penulis terkemuka, seperti Henry Bergson, Albert
Camus, Jean Paul Sarte, A.H.D Chandell, Franz Fanon, Gorge Gurwitsch, Jean
Berck, Jacques Schwartz, dan Louis Masignon. Selama di Paris Syari’ati juga
banyak mempelajari karya-karya Ilmuwan Eropa dan Barat, Syari’ati juga sibuk
menerjemahkan buku diantaranya : Be Koja Tkiye Kunim ? (Apa yang menjadi
dukungan kita) (1961), Guerrilla warfre karya Guevara, What is
Poetry? Karya Sartre, dan The Wretched of the earth karya Franz
Fanon. Selain aktif dalam menerjemahkan buku, aktifitas dalam gerakan politik pun
ia jalani, bersama Musthapa Chamran dan Ibrahim Yazdi dengan mendirikan gerakan
Kebebasan Iran (Nehzat-e Azadi-e Iran, Kharij Az Keshvar). Namun
aktivitas diluar negeri itu tidak berlanjut, karena Syari’ati harus kembali ke
negeri asalnya Iran. Setelah berhasil mendapat gelar doktoralnya (1963), dan ia
pun kembali ke Iran pada tahun (1964).
3.
Kembali ke Masyhad (Iran)
Syari'ati berfikir bahwa ia adalah seorang putera terbaik Iran, yang
telah siap untuk meneruskan perjuangannya dan mengabdi terhadap negerinya,
rakyatnya serta agama Islam yang dicintainya. Ia pulang bersama anak isterinya
dengan harapan dapat mencurahkan segala kemampuan dan pemikirannya kepada bangsa
dan negaranya. Namun yang terjadi ternyata di luar perkiraan Syari’ati. Begitu
sampai di Bazargan perbatasan Iran dan
Turki ia ditahan di depan isteri dan anaknya dan langsung dipenjarakan. Ia
dituduh melakukan aktivitas oposisi politik selama di Eropa. Selama dipenjara
ia tidak diperbolehkan bertemu keluarganya, bahkan dengan ayahnya sekalipun.
Beberapa saat kemudian ia dipindahkan ke penjara Qezel Qal’Eh dekat
Teheran, sebelum akhirnya dibebaskan.[17]
Syari’ati merasa selama di tanah airnya sendiri, seakan menjadi penjara
dengan segala bentuk keterasingan, penderitaan dan tekanan yang dialaminya.
tetapi hal ini justru lebih memantapkan perjuangannya. Setelah keluar penjara
mengajar di sekolah menengah atas. Dan pada tahun 1965, bekerja di sebuah Pusat
Penelitian Pendidikan di Teheran, dan pada tahun 1967, Syari’ati mengajar di
Universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya dengan mahasiswa-mahasiswa Iran,
Universitas Masyhad yang semenjak teduh, serempak jadi semarak dengan
kehadirannya, kelas Syari’ati tak lama kemudian menjadi kelas yang favorit.
Gaya orator Syari’ati yang memukau dan memikat
audiensi, memperkuat isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berfikir.
Sejak Juni 1971, Syari’ati meninggalkan pekerjaan mengajarnya, karena
kecemburuan, dan pandangan picik dihadapinya dari pihak Universitas. Ia
dipindahkan ke Teheran. Ia pun bekerja disana untuk menjadikan Hoesyeniyah
Ersyad menjadi sebuah “Universitas Islam” radikal yang modernis. Berbagai
peristiwa politik di Iran telah memainkan peranan penting dalam membentuk dan
mengarahkan orientasi serta aktivitas Hosaeniyeh Eryad yang semakin militan dan
akibatnya semakin terkenal dikalangan kaum muda. Namun sejarah mengatakan tepat
pada tanggal 19 November 1972, Hosseiniyeh Ersyad ditutup dan Syari’ati pun
dipenjarakan kembali selama kurang lebih 500 hari karena berbagai aktivitas
politiknya yang mengecam rezim Syah.[18] Namun
karena desakan organisasi-organisasi Internasional serta kalangan Intelektual
Paris dan al Jazair, pada 20 Maret 1975, Syari’ati pun dibebaskan oleh rezim
Syah Iran. Akan tetapi Syari’ati masih tetap menjalani penjara rumah dalam arti
dia tidak boleh menemui para mahasiswa dan menuangkan ide dan gagasannya.
Dengan kondisi yang sangat tertekan, sebagaimana ajaran Islam seperti yang tertuang
dalam al-Qur'an dan Sunnah, Syari’ati pun akhirnya hijrah ke Inggris (Mei
1977), akan tetapi, setelah sebulan meninggalkan tanah kelahirannya, tepatnya
pada tanggal 19 Juni 1977, Syari’ati meninggal Dunia dengan misterius, di negeri
pengasingan di rumah kerabatnya.
Sesuai harapan dan keinginannya yang sering diucapkan ketika dia masih
hidup, Ali Syari’ati kemudian dimakamkan di Damaskus, Syiria, dekat makam Sayyidah Zenab, saudari Husein tokoh
yang menyaksikan tragedi Karbala dengan berani menyiarkan kesaksian pandangan
matanya tentang gugurnya Syuhada bersama
Husein, Syahidusy Syuhada, Penghulu para Syuhada.[19]
B.
Kondisi Sosial Ekonomi,
Politik Dan Budaya Iran.
Sebelum Syari’ati lahir, kondisi politik Iran sebenarnya sudah sangat
otoriter dan represif. Pada tahun 1928, pemerintahan Syah Iran
mengeluarkan aturan busana, membatasi
dikenakannya pakaian keagamaan serta
mewajibkan dikenakannya pakaian barat untuk kaum pria. Di tahun 1934,
pemerintah Syah pun mengontrol sumbangan keagamaan. Hal ini kemudian berlanjut dengan dilarangnya
pemakaian cadar bagi kaum hawa,
pada1935.[20]
Tidak hanya itu, setiap aktivitas keagamaan dan politik juga semakin
terlarang. Situasi dan kondisi seperti ini terus berlangsung hingga tahun 1941,
ketika Reza Syah dipaksa turun dari tahtanya. Klimaks dari krisis
kepemimpinan setelah runtuhnya kekuasaan Raja Syah ini berlangsung pada
tahun 1951 semakin memuncak di mana dirinya sebagai kepala negara yang tidak
lagi memerintah sesuai konstitusi. Pada
tahun itu juga seorang tokoh yang bernama Mosaddeq ditunjuk sebagai perdana
menteri, dengan segera ia mengambil alih kekuasaan Inggris dalam bidang
perminyakan. Dengan munculnya nasionalis
Mosddeq di Iran, baru kemudian kondisi sosial politik negara tersebut menjadi
kondusif, bagi munculnya kelompok agamawan dan gerakan politik.[21] Partai
Tudeh yang berbau komunis guna menghimpun kaum intelektual yang cenderung
Marxis pun lahir, sedangkan kaum agamawan cenderung reaksioner. Pada tahun yang
sama keilmuan segar pun lahir dengan munculnya tokoh yakni Muhammad Taqi
Syari’ati yang memulai dakwahnya guna
menyebarkan semangat Islam yang progresif, yang sebelumnya dilarang. Pada tahun
1944, lahir pula lah Pusat Dakwah Islam.[22] (Kanaun-e
Nashr Haqayeq-e Islami) di Masyhad. Sasaran utamanya membendung dan menolak
pengaruh atheisme yang dipropagandakan oleh komunis, serta merangkul kembali
intelektual muslim yang jatuh kepelukan kaum Kasravi akibat ketidaksukaan mereka
terhadap obskurantisme ulama, dan karena menerima dogma ulama begitu saja.
Sayangnya, kondisi ini tidak berlangsung panjang. Pada tahun1953,
pemerintah Nasionalis Mosaddeq menjadi hancur akibat dikudeta oleh M. Reza
Pahlevi yang didalangi Amerika serikat. Semenjak peristiwa itu pergerakan yang
dilakukan mahasiswa semakin terjepit.
Hal ini pun dirasakan oleh berbagai kalangan, diantaranya gerakan anti
imperialisme dan anti nasionalis kaum muda. Dan segala bentuk perlawanan mereka
dibungkam oleh kekuasaan Syah. Perpolitikan Iran semenjak itu berimbas pada
aktivitas politik Syari’ati, dan itu sangat dirasakan sekali sebagai suatu
pukulan berat bagi Syari’ati. Karena merasa gagal melakukan perlawanan terhadap otoritarisme
rezim Syah. Dan dampak semua itu sangat dirasakan oleh semua masyarakat muda
Iran sampai 1970, mereka menganggap Pahlevi sangat Desposif dan represif.
Demikian halnya dengan ketergantungan
pemerintahan Syah terhadap negara barat, bahkan ketika menjalankan program
modernisasi sosial ekonomi ala Barat yang ambisius, revolusi putih (1963-1977)
pemerintahan Syah sempat meminta perlindungan dari militer dan polisi barat
yang dilatih oleh Israel. Revolusi yang dilakukan Syah pada Januari 1963 itu
meliputi : 6 faktor utama diantaranya :
1. Land Form,[23] 2.
Nasionalisasi hutan dan padang rumput, 3. penjualan umum pabrik-pabrik milik
negara untuk membiayai Landform, 4. Pembagian antara pemilik pabrik dan pekerja
Industri, 5. Reformasi Undang-Undang kepemilikan dan memberikan hak-hak kepada
kaum wanita, 6. pembentukan suatu badan dalam pemberantasan buta huruf.[24] Selain
faktor ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Syah, pengaruh westernisasi
pun sangat dirasakan masyarakat Iran. Pemerintahan Syah berupaya untuk
menetapkan pola kebudayaan dan ras hidup
yang sama baiknya yang dimiliki oleh pemerintahan Barat, Amerika Serikat dan
negara Eropa Barat. Pemerintah Syah memang membuat langkah yang akan ditempuh
untuk melahirkan kembali unsur kebudayaan asli, dan untuk membangkitkan
Nasionalisme rakyat Iran. Namun langkah yang dibuatnya itu tidak disukai oleh
rakyat Iran, terutama para pemimpin agama. Karena apa yang dilakukan Syah tidak lebih dari keinginannya untuk
memisahkan antara Iran dengan Islam.[25]
Jika sebelum masa pemerintah Syah di berbagai bidang sangat kuat terutama
pendukungnya mencapai 98 % menganut Islam. Namun sejak pengaruh kebudayaan
barat mulai masuk ke Iran di bawah kekuasaan Reza Syah (1925-1941), pengaruh
tersebut bertambah besar ketika Pahlevi menggantikan ayahnya. (1941-1978).
Pembebasan yang pernah dilakukan dimasa pemerintah ayahnya Syah, dibidang hukum,
dan sumbangan keagamaan, kemudian di tahun 1960-an pemerintah Syah menyertai
pula pembaruan dibidang pertahanan, yakni membatasi kekayaan, penghasilan, dan
kekuasaan para ulama. Inilah imbas dari kekuasaan yang berpusat di tangan Syah
dan kelompok yang berkiblat ke Barat. Fenomena seperti ini kemudian membuat
para ulama bersekutu dengan pedagang tradisional (bazaari) yang akhirnya
melibatkan diri dalam isyu Sosial Ekonomi, politik dan birokrasi negara.[26]
C.
Tokoh-Tokoh yang
Mempengaruhi Pemikiran Ali Syari’ati
Sejauh pengamatan penyusun sebenarnya tidak terlalu banyak literatur,
yang mengkaji secara khusus mengenai siapa saja tokoh yang mempengaruhi
pemikiran Syari'ati, oleh sebab itu pembahasan dalam poin ini hanya sebagian
garis besarnya saja yang penyusun temukan. Yang paling utama dalam mendominasi
pemikiran Syari’ati itu tidak mutlak sebagai seorang mahasiswa dengan program
studinya yang konvensional. Melainkan karena kegemaran dalam belajar dan
berfikir serta kreativitas serta tanggung jawabnya yang berlandaskan pada
keyakinan keislaman yang kuat yang mengakar dalam hatinya. Pusat Dakwah Islam di
Masyhad, yang selama 30 tahun menjadi pusat kegiatan intelektualnya itu, telah
banyak memberikan jasa kepadanya terutama dalam pembentukan jati dirinya
sebagai intelektual yang mumpuni.[27]
Syari’ati memang seorang yang pandai dan rajin, lebih-lebih karena faktor
pendidikan yang cukup tinggi. Namun peran ayahnya lah yang menjadikan tumbuhnya
ruh-ruh idealisme dalam pemikiran Syari’ati, seperti yang diakuinya, sebagai
mana yang dikutip dari judul buku (Kavir) bagian muqadimah, suatu sketsa
biografi, dalam Syari’ati," Tentang Sosiologi Islam," Ia berkata
bahwa :
“Ayahkulah
yang telah mengajarkannya seni berfikir dan seni menjadi manusia, yang memperkenalkan
buku-bukunya pada masa lampau sebagai kenangan yang manis, indah namun jauh.”[28]
Minat dan keinginannya yang kuat menjadikan Syari’ati seorang yang
berbakat semenjak dia masih remaja. Ini terbukti dengan kemampuannya dalam
menerjemahkan buku-buku Abu Dzar ke dalam
bahasa Persia. Abu Dzar adalah seorang tokoh yang dikaguminya dan diidolakannya
dari kecil, sampai dia berhasil menjadi seorang tokoh intelektual Islam yang
handal. Kekagumannya terhadap tokoh ini merupakan barometer dan tolak ukur
mengenai bagaimana menjadi seorang tokoh yang ideal dan menjadi seorang pemimpin.[29] Tahap
kemampuannya dalam metodologi diperolehnya ketika dia belajar di Paris di mana
pada waktu itu dia melakukan eksperimen dengan mempelajari para pemikir Eropa secara
langsung, yang mempunyai beragam disipliner ilmu.[30] Tokoh
yang mempunyai pengaruh cukup besar pada pola pikir Syari’ati adalah Franz
Fanon, seorang tokoh sosial yang berasal dari Martinique, Aljazair. Pengaruhnya
ini dibuktikan Syari’ati dengan menerjemahkan sebuah buku yang berjudul, “Yang
Terkutuk di Bumi Dan Tahun Kelima Aljazair,” maupun ungkapannya yang sangat
berani dalam menentang Eropa, seperti berikut :
”Kawan-kawan
mari kita tinggal Eropa, mari kita hentikan sikap meniru-niru Eropa, mari kita
tinggalkan Eropa yang sok-sok berbicara tentang kemanusiaan, tetapi mereka kerjanya
membinasakan manusia.”
Tokoh pembela revolusi pun ikut serta
mempengaruhi pemikiran Syari’ati, salah satunya bernama Umar Uzgan, seorang
penulis buku yang berjudul Perjuangan utama (Afdhal el Jihad). Demikian
juga tokoh Islam yang lainnya, seperti Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan
Muhammad Iqbal. Mereka adalah tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran Syari’ati
dalam hal gagasan mereka dalam mengupayakan pembebasan dari kekuasaan
Imperialisme dari zamannya masing-masing.
D.
Karya-Karya dan Pemikiran
Ali Syari’ati
Syari’ati dikenal sebagai seorang pemikir yang produktif menulis.
Tulisan-tulisannya kebanyakan dalam bentuk artikel dan juga naskah yang
disampaikan ketika di Husainiyah Irsyad. Keaktifan menulisnya dimulai
ketika dia masih muda, dan kebanyakan tulisan-tulisannya berawal dengan terjemahan
bahasa Persia, antara lain : Abu Dzar al ghifari, karya Abdul Hamid
Judah al Sahar, karya Louis Masignon berjudul Salman al Farisi, disamping itu
Syari’ati juga menulis beberapa diktat kuliahnya yang filosofis, seperti : al-Khilafah
wa al-wilayah, fi al-Qur’an wa as-Sunah, al-wahyu wa an-Nubuwat, al-iqtisad wa
al-Islami dan at-Tafsir al-Jadid, Ali ar-Risalah mau’ud al-Umam Faidal
Iqtida.
Syari’ati telah berhasil, menghadirkan ide-ide yang filosofis di dalam
pembahasan Ilmiahnya, dan sosiologi yang sangat rumit, yang dipadukan dengan
gagasan Tauhid. Ia berpendapat: “Bahwa berfikir benar akan membawa manusia kepada pengetahuan yang benar, sedangkan
pengetahuan yang benar akan mengantar kepada Iman,” dalam kategori praktis
maupun teoritis. Untuk mendapatkan tentang Islam dan filsafat dengan
mengungkapkan kenyataan dalam masyarakat, Syari’ati berhasil membahasnya dalam
“Sosiolog Syirk”. Ia membahas
berbagai kelompok dan strata masyarakat, terutama golongan Intelektualnya,
aneka ideologisnya, aliran pemikirannya, dan peradaban serta kebudayaan yang
menurutnya tidak berlandaskan kepada Tauhid.
Syari’ati menghimbau bahwa manusia yang tidak mempunyai tauhid maka akan
melahirkan masyarakat yang mengalami
aliansi, seperti ilmu tanpa hati nurani akan menjadi neoskolatisme, dan
mereka yang sombong dan pura-pura akan menggeser kedudukan intelektualitasnya
yang sejati. Tulisan Syari’ati yang lain pun terdapat dalam tema yang landasan
pemikirannya sama seperti di atas, yang berjudul al Ilmu wa al Madaris al
Jadidah , (Ilmu pengetahuan dan Ilmu Modern), al hadarah wa al Tajdid (Peradaban
dan Modernisasi) al Insan al gharib an Nafsih (Manusia yang tidak
Mengenal dirinya sendiri), wa al Musakffah wa mas uliyyluh fi al-Mujtama (Tanggung
jawab Kaum Cendikiawan di Masyarakat) dan al-wujudiyyah wa Firgu al-Fikr
(Exsistensialisme dan Kekosongan Pikiran).[31]
Kemudian pada periode antara (1964-1967), Syari'ati berusaha menuangkan
perasaan dan kontemplasinya dalam sebuah karya yang berjudul Kavir (Gurun). Buku
ini adalah autobiografi Syari’ati yang menuturkan perjuangan mentalnya untuk berzakat
dengan diri sejatinya dalam membina
hubungannya dengan Tuhan. Kavir ini merupakan penilaian psikologis, filosofis
dan personal yang jujur dan berani dengan dirinya sendiri. Ia lebih dari
sekedar refleksi perjalanan hidup secara obyektif, ia merupakan dokumen penting
yang memusatkan keyakinan bahwa dirinya adalah juru selamat abad 20, zaman
imperialisme dan kolonialisme. Kavir adalah sumber kekuatan mistis spiritual
Syari’ati yang mengabsahkan misi revolusionernya sekaligus keyakinannya akan
mencapai kemenangan. Pada tahun1969, ia menerbitkan karya monumentalnya yaitu,”
Islamology” (Eslamshenasi), berisi gagasan Syari’ati yang secara garis
besar menyatakan penentangan terhadap intelektual terbaratkan. Eslamshenasi
ini memiliki tiga maksud dan tujuan yaitu, mengemukakan Islam modern, egaliter
dan demokrasi sebagai bentuk ideal dan asli Islam.
Menurut Syari’ati, dua buah karya yang disebutkan terakhir di atas (Kavir
dan Eslamshenasi) merupakan karya yang paling monumental. Bahkan ia pernah
menuturkan seandainya saya diminta untuk memilih dari sekian banyak karya favorit
nya, ia akan memilih Kavir untuk dirinya dan Eslamshenasi untuk masyarakat.[32]
Sementara itu sejauh pengamatan penyusun karya-karya Syari’ati yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bahkan sudah dicetak ulang, serta
menjadi bahan rujukan oleh penyusun antara lain sebagai berikut :
1.
Tentang Sosiologi Islam,
terjemah, Saefullah Mahyudin (Yogyakarta,
Ananda,1982)
2.
Islam Agama Protes, terjemah,
Satrio Pinandito (Bandung Pustaka Hidayah 1996)
3.
Islam Mazhab Pemikiran Dan
Aksi, terjemah, Nasrullah dan Afif Muhammad (Bandung Mizan 1995)
4.
Humanisme antara Islam dan
Mazhab Barat terjemah, Afif Muhammad (Bandung Pustaka Hidayah 1996)
5.
Ideologi Kaum Intelektual,
suatu wawasan Islam, terjemah Syafi’i Basri dan Haedar Baqir ( Bandung
Mizan 1992)
6.
Ummah dan Imamah, Tinjauan
sosiologi Islam, terjemah, Afif Muhammad (Bandung Pustaka Hidayah1995)
7.
Agama versus Agama terjemah,
Afif Muhammad (Bandung Pustaka Hidayah 1994)
8.
Haji (Bandung Pustaka
Hidayah 1995)
9.
Tugas Cendikiawan Muslim
terjemah, Amin Rais (Jakarta Rajawali 1994)
10. Membangun Masa Depan Islam terjemah Rahmani Astuti (Bandung
Mizan 1984)
11. Kritik Islam Atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat, terjemah
Husin Anis al Habsyi (Bandung Mizan 1989)
12. Panji Syuhada, Tafsir Baru Islam Sebuah Pandangan sosiologis,
terjemah, Tim Sholahudin (Yogyakarta Shpolahudin Press 1986)
13. Sekali Lagi Abu Dzar,
terjemah Afif Muhammad, (Bandar Lampung Yapi 1987).
14. Tipologi, Sebuah Pendekatan Untuk Memahami Islam terjemah,
Rahmani Astuti (Jakarta, GrafikaTama 1993)
15. Peranan Cendikiawan Muslim, Mencari Masa Depan Kemanusiaan,
Sebuah Wawasan Sosiologi, terjemah, Tim Jama’ah Sholahudin, (Yogyakarta
Sholahudin Press 1985)
16. Rasulullah Sejak Hijrah Hingga Wafat, Tinjauan Kritis Sejarah
Nabi Periode Madinah terjemah Nasrullah (Bandung Pustaka Hidayah 1996)
17. Do’a Sejak Ali Zenal Hingga Alexis Carrel terjemah, Anis Al
Habsyi (Bandung Pustaka Hidayah 1995)
18. Fatimah Citra Muslimah Sejati, terjemah Tim Sholahudin (Yogyakarta
Sholahudin Press)
19. Abu Dzar suara Parau Penentang Penindasan,terjemah Afif
Muhammad (Bandung Munthohari Paperback)
20. Pemimpin Mustad’afin, Sejarah Panjang Perjuangan Melawan
Penindasan Dan Kedzaliman
Dari berbagai judul buku dan dari sekian banyak karangan-karangan dan
terjemahan Syari’ati khususnya terjemahan dalam bahasa Indonesia, terdapat
terjemahan yang sama ataupun secara utuh dengan judul yang berbeda antara buku
yang satu dengan buku yang lainnya, bahkan hampir terdapat kesamaan, atau
terdapat pengulangan kata, ini dikarenakan kebanyakan karya Syari’ati yang
diterjemahkan di Indonesia ini umumnya dari kumpulan ceramah-ceramah, artikel-artikel,
sehingga terdapat persamaan isi antara lain adalah terdapat dalam buku Islam
Mazhab Pemikiran Dan Aksi dengan judul buku Makna do’a, didalamnya
ada beberapa poin yang sama, diantaranya apendik puisinya, falsafah do’a, dan sejarah
tokohnya yaitu Imam Ali Zaenal Al Abidin, selain itu terdapat
pengulangan bahasa antara buku yang satu dengan yang lainnya. Kemudian judul
buku Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya, di dalam buku ini, perbedaannya
hanya terletak pada penambahan bagian pembahasan., maka tidak menutup
kemungkinan terdapat pengulangan kata bahkan terdapat tumpang tindih pembahasan
isinya.
Bagi Syari’ati, Islam sejati adalah Islam yang bersifat revolusioner, sebuah
ideologi revolusioner yang dapat membangkitkan ide-ide yang mampu
mentransformasikan sistem lingkungan, dan relasi sosial. Karena itu diperlukan
bagi orang yang mampu memahami dan bukan hanya Islam secara baik, tetapi juga
dunia kontemporer.[33]
Di dalam Husein pewaris Adam, Syari’ati menjelaskan dengan analisa
historis dan simbolis tentang Islam sebagai ideologi manusia yang tidak hanya
terbatas oleh ruang waktu tertentu saja. Ia menggambarkan bahwa ideologi itu
ibarat sebuah sungai yang mengalir yang tidak hentinya sepanjang zaman, yang
hulunya di gunung, melalui bebatuan, yang muaranya di laut. Pada saat itulah
para Nabi dan pengikutnya hadir untuk memperderas arus sungai tersebut. Ia
menambahkan bahwa sejarah manusia selalu penuh tantangan antara kebaikan dan
keburukan, antara yang hak dengan yang batil, yang disimbolkan dengan sejarah
Habil dan Qabil. Qabil mewakili kelompok penguasa, yang hidup dalam kemewahan,
(dimanifestasikan dengan harta), serba kuasa dengan tipu muslihat (kependetaan
atau Mala), sedangkan Habil melalui kelompok yang dikuasai, dan sebagai
kaum tertindas, Habil berbeda dengan Qabil dia tidak memiliki status
keningratan.[34]
Sebagai refleksi pemikiran kritisnya, Ia juga menerjemahkan judul buku Khoda
Parast-e Sosialist: Abu Ddhar-e hifari (Abu Dzar: Sosialis Penyembah Tuhan)
karya Hamed Judat al Sahar, ke dalam bahasa Persia, dan Niyayesh (La
Priere), sebuah buku berbahasa Perancis yang berisi tentang Do’a karya Alexis Carrel
(1960), keduanya merupakan kenangan-kenangan masa Pra Universitasnya. Syari’ati
membuktikan keluasan pikirannya dimasa itu, terjemahan tentang Abu Dzar dan
makna Do’a yang kecil tetapi bernasib itu, telah menariknya kepada sumber-sumber
Islam yang murni lagi suci serta merupakan tafsir sosialnya yang pertama
tentang kehidupan Rasul maupun tokoh Islam lainnya.[35] Ide dan
gagasan dalam makna do’a adalah merupakan karya terfavoritnya. Kegairahannya
dalam mengupas tentang do’a ini bermula ketika ia berada di Eropa, di mana sempat
akrab dengan karya-karya Carrel (1873-1944). Alexis adalah seorang Ilmuwan dan
Filosof Perancis yang pernah mendapat penghargaan dua nobel sekaligus, namun dedikasinya itu bukan diperuntukkan
dalam keahliannya sebagai filosof, sastrawan, sejarah dan humaniora (Ilmu yang
mempelajari tentang manusia). Penghargaan ini dia dapatkan sebagai seorang sains,
keberhasilannya dalam menemukan metode fisioterapi. Nobel keduanya Ia peroleh
karena keberhasilannya menyimpan jantung burung pipit selama kurang lebih 35
tahun tapi masih tetap hidup. Penemuan buku karya Carrel inilah yang telah
menyibukkan Syari’ati waktu di Paris, sebenarnya Ia telah mengenal karya Carrel
itu sewaktu masih di Iran melalui dua buku
yang berjudul : Man The Unknown (1935) dan Reflexions sur la
Conduite de la Vie (1952) dari terjemahan bahasa Persianya. Buku tentang
do’a itu pemberian temannya Kazhim Akhmad Zadeh.
Syari’ati menuturkan bahwa selama setahun lebih, Carrel disibukan dengan
mempelajari dan meneliti pengaruh do’a tersebut, dan hasil risetnya itu
dikumpulkannya dalam sebuah monografi yang berjudul: (La Priere)
Renungan-renungan Tentang Kunjungan ke My Lourdes My Meditation Upon The
Pilmirage to Loudres.[36]
Selain menemukan karya Carrel, Syari’ati juga menemukan do’a yang tidak
kalah menarik terhadap pola pikirnya, yaitu kumpulan do’a-do’a Imam Sajjad,
yang bernama (Ash Shhifah as Sajjdiyah), menurut Syari’ati kumpulan do’a
Imam Sajjad adalah kitab Jihad (perjuangan) dalam kesendirian, berbicara dalam
diam, menyerang dalam kegagalan, menangis dalam ketercekikan, mengajar dengan
bibir terbungkam dan tangan kosong yang dilucuti. Do’a seperti kata Carrel
sebagaimana yang diungkapkan Syari’ati, adalah merupakan manifestasi cinta dan kefakiran. Sama halnya dengan konteks Islam juga
menambahkan dengan kalimat “Kesadaran” pada kedua unsur di atas. Dalam mazhab
pemikiran Imam Sajjad, do’a memiliki dimensi keempat yang merupakan peran
sosial khusus ”dan Peristirahatan” para pecinta kebenaran, pencari keadilan
yang tanggung jawab dan para pejuang yang sadar diri. Inilah orang yang tidak
diberi kemungkinan untuk menegakkan Iman, membela kebenaran dan berjuang
melawan kekuasaan palsu, orang-orang yang kehilangan segala sarana guna
mewujudkan tanggung jawab ideologis dan sosial mereka. Hal serupa juga berlaku
atas para Nabi. Sesungguhnya, ada falsafah yang dalam dibalik ciri-ciri dan
kekhasan ini. Sekalipun para Imam Syi’ah memiliki jalan, mazhab dan tujuan yang
sama, masing-masing dari mereka harus menentukan bentuk dan metode tertentu
guna memenuhi misi mereka yang sama, mereka harus konsisten dalam memimpin masa
dan melakukan perjuangan (jihad). Karena itu wajar saja kalau Imam Sajjad yang
digelari Zayn- Al-Abidin (hiasan para ahli ibadah) mengalami perasaan
yang paling halus dan suasana spiritual paling lembut dalam ibadah dan
do’a-do’anya dibawah kepedihan dengan merefleksikan karakteristik spiritual
dalam kata-kata dan perbuatannya.[37]
Ketertarikan Syari’ati dalam do’a menurutnya karena dia melihat
keutamaan komposisi didalamnya antara
lain:
Komposisi Pertama: Ia
terhimpun dalam bahasa yang lugas dan elok. Teks do’a Islami merupakan karya
kesusasteraan yang paling indah yang pernah ada. Ia adalah model bacaan terbaik
bagi para mahasiswa sastra berkenaan dengan kefasihan, kelugasan, dan
keindahannya.
Komposisi yang kedua: terdapat komponen-komponen musikalnya, dan
secara Islami tergabung dalam diksi-diksi. Maka ketika kita melantunkannya
dengan serasi maka akan menjadi sebuah lagu yang indah, karena setiap diksinya
terdapat huruf yang bernada musikal. Secara keseluruhan do’a itu laksana sebuah
orkestra musik simponis. Huruf-hurufnya dan masing-masing artinya seakan menari
bersama mengikuti melodi secara lincah dan khidmat. Ucapan yang berbentuk do’a
itu akan sangat berkesan pada jiwa manusia. Impresi yang menyongsong kecintaan, kekuatan serta pengaruh do’anya.
Komposisi ketiga adalah: saripati ideologisnya, seperti yang
terdapat dalam Ash-Shafifah as-Sajjadiyah, Syari’ati mengungkapkan
dengan kekagumannya, bahwa kumpulan do’a itu mengandung tema teologis, manusia,
etika, dan masyarakat. Bahkan dalam do’a-do’a Islam terdapat aspek latar
belakang sosial politiknya.[38]
Menurut Syari’ati dengan mengacu pada landasan dasar pentingnya do’a
dalam hidup manusia, bahwa problematika manusia adalah merupakan problematika
hidup yang paling penting dari segala masalah. Peradaban dewasa ini telah
mendasarkan pondasi agamanya pada humanisme martabat manusia, dan pemujaan
manusia yang menjadi alasan pokok mengapa Humanisme memajukan kultus pada
manusia, hanya karena agama terdahulu merendahkan martabat manusia, meremehkan
posisinya di atas dunia ini, dan mengorbankan dirinya dihadapan para dewa atau
Tuhannya. Agama terdahulu memaksa manusia untuk memandang kemauan sendiri
sepenuhnya dengan tak berdaya, jika dihadapkan pada kemauan Ilahi, dengan
manusia kepadanya harus dengan merendahkan diri dan menyerah dengan metoda
shalat dan berdo’a. Pendegradasian seperti ini diakibatkan oleh keyakinan lama
yang mau tidak mau tidak mau membangkitkan humanisme di Zaman renaisance. Waktu
itu Humanisme di pandang sebagai suatu faham modern, tujuan utamanya adalah
mengagungkan manusia itu sendiri serta eksistensialitasnya di alam ini sebagai
suatu elemen penting dimasa Renaisance yang diabaikan oleh agama-agama di zaman
pertengahan. Akar humanisme berasal dari Athena, namun sebagai suatu faham
universal, ia telah menjadi pondasi peradaban Modern Barat. Pada hakekatnya
Humanisme merupakan reaksi keras terhadap filsafat skolastik dan agama Kristen
zaman pertengahan.[39]
Syari’ati mengambil contoh tradisi masyarakat Roma, sebuah masyarakat yang mengabaikan
akan pentingnya do’a. Roma adalah bangsa yang sangat agung namun karena mereka lalai
dan mengabaikan nilai ibadah (baca: do’a kepada Allah), maka mereka adalah
masyarakat yang berada dalam ambang kehancuran dan kemunduran, secepat mereka
meninggalkan ibadah (do’a), secepat itu pula kehinaan dan kelemahan menimpa
mereka.[40]
Syari’ati sendiri berkata bahwa dia sangat merasakan sentuhan betapa
dahsyatnya sebuah do’a yang supranatural dalam kehidupan spiritual.
Bahkan dalam bukunya yang berjudul Al Fulat (Persia: Kavir) bagian
peribadatan Syari’ati mengemukakan sebuah do’a berikut uraiannya:
“Jika suatu kali kita mendapatkan sesuatu diluar jangkauan kita, diluar jangkauan
pengolahan manusiawi, kita dapat segera
menyatukan semua kekuatan rohani kita yang terletak dalam relung bathin yang
paling dalam. Setelah itu kita akan mengubah keberadaan kita menjadi sebuah kehendak
dan harapan yang integral. Dan ketika semua itu kita kerahkan , dengan segenap
kejujuran dan percaya akan harapan, sekonyong-konyong harapan kita akan
terwujud.”
“Iman menjadikan manusia menjadi tegar. Jika suatu ketika menghadapi
jalan buntu yang tak terpecahkan oleh akal dan kiat, maka kita harus terus
menguras kekuatan, cinta, keyakinan dan keikhlasan yang sebanding dengan
keganasan masalah yang kita hadapi, maka
pasti segala macam jalan buntu akan dapat dibobol. Manakala cinta telah angkat
suara untuk memerintah, maka kemustahilan akan menurut dengan patuh.”
Manakala qalbu hanya berisi cinta murni, maka cinta itu pastilah
tulus, suci dan sejati. Kehidupan dan
wujud merupakan suatu simbol bagi berbagai kemukzijatan Allah. Sebagian orang
memandang bahwa do'a hanya dipandang pada kisaran intelektualitas (kecerdasan
berfikir). Dengan meminjam ungkapan Carrel, Syari'ati menuturkan bahwa do'a dan
munajat merupakan cerminan cinta dan pantulan hasrat spiritual manusia. Apa itu
cinta? Apa itu kebutuhan dan hasrat?. Kita harus menyadari bahwa nilai manusia
tidak hanya diukur berdasarkan kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh. Derajat
kesempurnaan manusia sebanding dan berhubungan secara simetris dengan jenis
kebutuhannya. Kadar martabat
manusia tergantung pada apa yang
diminatinya, ketika minat dan hajat itu adalah sesuatu yang sempurna, luhur,
suci, maka nilai do'a pun demikian. Dari sini kita memahami sebuah pepatah, "Orang
yang paling kaya adalah orang yang banyak kebutuhan dan hajatnya, tandas
Syari'ati. Jiwa besar adalah jiwa yang mampu menerawang jalan makhluk kepada kesempurnaan dan pesona, dan bentangan jalan yang jauh;
kepada puncak kemutlakan menuju hamparan
akan wujud Allah serta merasakan ketersimaan, ketakutan, dan ekstase (keadaan
diluar kesadaran). Jiwa semacam itulah yang tidak mudah gentar, tahan banting,
tenang, tidak bergetar sedikitpun, karena dia berada dihadapan wujud Allah
yang Maha agung. Semuanya itu tidak akan
terlihat dan dipahami hakekatnya kecuali dengan qalbu yang basyirah
(cemerlang). Qalbu seperti inilah yang mampu menyelami ke dalam wujud
dan terbang ke titik terjauh dari tirai-tirai gaib-Nya. Sebagaimana halal dalam
sebuah permohonan Nabi dengan do'anya. Nabi berharap, "Tuhan, limpahkanlah
kepadaku keterpesonaan, sesungguhnya keterpesonaan itu adalah ledakan makrifat."
Adapun kegusaran dan was-was adalah
cermin kebodohan. Ketakutan adalah pertanda kesadaran diri akan
keagungan. Seorang yang pengecut adalah mereka yang membuat minta dan sesat.
Roh-roh yang kerdil dan sempit, penglihatannya hanya sebatas hidungnya saja.
Mereka cukup merasakan hanya dengan mengenakan cincin akik, jenggot yang
panjang, pernah berziarah ke makam salah seorang wali, dan memberi makan orang
miskin dan membaca lembaran-lembaran (Mafatih al Jinan).[41] Mereka
tak sedikitpun merasakan kerinduan dan dahaga akan Sang Maha Ghaib yang tak
dikenal (majhul) dan tak bisa
merasa ragu. Seperti halnya sebuah kutipan dalam khotbahnya Imam Ali berikut
ini: "Sebaliknya manusia penasaran yang dadanya dipenuhi visi dan
kecerdasan, sehingga lebih mengenal jalan-jalan langit ketimbang jalan-jalan
bumi." [42]
Selain do'a adalah manifestasi roh, ia tidak mengurung pada realisme,
vulgar, keterkungkungan dalam objek empiris atau pelecehan eksistensial. Namun
menurut Dyari'ati bahwa di dalam do'a sesungguhnya terdapat kebutuhan-kebutuhan
immaterial dan tidak dapat di genggam melalui materi. Do'a merupakan proses
transendensi, meskipun do'a dapat menjangkau kesendirian dan keterasingan alam,
yang merupakan roh Barat, do'a juga percaya akan hal itu. Dalam artian muatan
kebutuhan, guncangan, dan kerinduan tidak hanya mengarah pada satu jiwa. Tetapi
do'a seharusnya diperuntukkan dirinya
bagi jiwa dan roh yang sarat akan rindu dan cinta. Carrel mengungkapkan dengan
begitu indah dengan bahasanya yang lugas, bahwa do'a adalah komposisi
kekuatan-kekuatan yang merindukan keterpisahan dari kondisinya yang sekarang
untuk melambung ke ketinggian dan kesempurnaan. Dan sesungguhnya do'a ialah tinggal landasannya jiwa manusia dalam citra alam Agung melalui
perjalanan spiritual.[43]
Syari’ati juga menjelaskan bahwa do’a adalah merupakan simbol kebutuhan
dan cinta. Dalam situasi seperti apa pun
seorang yang berdo’a akan mencapai kesucian, ketenangan dari hidup penuh cemar
dan dualisme kehinaan dan kelemahan yang tak urung menajamkan cermin jiwa yang
tidak memantulkan kecuali impresi Yang Maha Besar dan Transendent dalam
guratan-guratan cita-cita dan rindu, kebutuhan, kecenderungan manusiawi yang sublim
(mulia), namun telah terburamkan oleh pasir material. Hari demi hari jiwa
manusia akan menyembul keluar dari bunderan-bunderan kusut untuk bergabung
dengan keabadian dan kekekalan serta keluar dari lingkup inderawi dan empiris.
Manusia memiliki jiwa tersebut, seketika terikat, melalui kekuatan kehendak
yang superior, dengan cinta yang murni dalam mercusuar Wujud yang melambungkannya
kepada ketinggian koordinat yang tak terhingga. Hingga jiwa manusia berada pada
momentum” pengalaman mendaki.[44]
Membaca tulisan Syari’ati kita akan dihadapkan pada sebuah kenyataan
bahwa pemikirannya terbentuk dari dua aspek yaitu, doktrin Islam
Syi’ah ortodok yang diinterpetasikannya kembali dan metode berfikir Barat yang dia
dapatkan ketika kuliah di Paris Prancis, dan berkenalan dengan para pemikir
Barat terutama para pakar sosiologi. Karena pemahamannya sangat kental serta
mengandung unsur sosiologi terhadap Islam dan dimasukannya tema-tema atau konsep
asing. Maka tulisannya pun menjadi sasaran kritik para ulama konservatif.[45]
E.
Filsafat Gerakan Islam
Revolusioner
Adapun titik tolak pemikiran Syari’ati terletak pada pandangannya tentang
dunia tauhid. Tauhid bagi Syari’ati
tidak hanya terbatas pada ke Esaan Allah semata, sebagaimana yang telah diyakini
oleh semua agama monotheisme, tetapi harus menjadikannya cara pandang hidup
semua agama dalam segala aspek kehidupannya.[46] Pandangan
Syari’ati terhadap konteks ini mengandung misi pembebasan dan kemanusiaan. Semua
yang ada di alam semesta ini menurut Syari’ati pada hakikatnya menyatu, baik
antara alam dengan meta alam, manusia dengan alam, manusia dengan manusia,
maupun antara manusia dengan Allah. Dalam hal ini pandangan Tauhid Syari’ati
menafsirkan dan memandang bahwa Tauhid merupakan satu kesatuan imperium.[47] Bahkan
dalam pemikiran Syari’ati tidak menerima adanya disharmoni legal, sosial,
politik, rasial, rasional, teritorial, genetika atau secara ekonom sekalipun
menolak pandangan pantheisme, politeisme, trnitarianisme, atau pandangan hidup
yang bersifat universal dan absolut.[48]
Walaupun jika dilihat antara kesesuaian antara materi dan ruh,
bertentangan dengan celaan al-Qur'an terhadap kehidupan duniawi
(6.32.47.36.57.20). Menurut Hamed Enayat, pandangan dunia Tauhid Syari’ati
sangat mempecundangi partisan-partisan
materialisme dialektik yang menunujukkan bahwa Islam mengajarkan tentang
keselamatan manusia baik dibidang
material maupun spiritual, dan itu hanya sebagai hasil dari dialektika, yakni
pergumulan batin yang terus berlanjut hingga tercapainya kemenangan prinsip
tauhid, menyatukan kembali bagian terpisah yang bertentangan bagi keberadaan manusia di dalam satu sketsa alam dan memulihkan
keesaan mutlak sebagai kondisi kehidupan yang sempurna.[49]
Sedangkan manusia dalam pandangan tauhid Syari’ati, merupakan suatu kehidupan
yang memiliki kehendak, kesadaran diri, daya tanggap, cit-cita, dan tujuan.[50]
Dengan segala potensi yang telah dianugerahkan Allah, selama tidak
menyalahi apa yang ditegaskan-Nya, manusia bebas untuk melakukan apa saja.
Ketika segala bentuk kesulitan, penindasan, atau kejahatan, yang dialami
manusia dalam menjalani hidupnya. Maka sebagai hamba Allah yang bebas dan
mulia, manusia harus merebut kembali hak-hak alamiahnya. Intinya, pandangan
Syari’ati telah memberikan manusia dengan kebebasan dan kemuliaan yang hakiki.
Dengan mengarahkan diri kepada Allah sebagai norma teragung dari segalanya yang
telah membuat manusia terhadap semua kekuatan dusta dan mematahkan segenap
belenggu dan kerakusan nista.[51] Di samping
mencakup misi pembebasan pandangan Dunia Tauhid, Syari’ati juga sarat dengan
nilai-nilai Pluralitas, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Muhammad,
Syari’ati berkata :
“Nabi
Muhammad diutus untuk mengukuhkan pandangan Universal Tauhid, bahkan
mengantarkannya ke dalam sejarah manusia, kepada semua ras, bangsa, kelompok,
keluarga, dan kelas sosial, serta mengikis habis pertentangan kemerdekaan.
Sebelum kaum intelek, cendikiawan, terdidik dan filosuf menyadarinya. Karena
itulah kelompok yang mengelilingi
Muhammad di Makkah, berasal dari golongan masyarakat yang lemah, hina, dan rendah, Rasulullah
dihina oleh musuh-musuhnya karena Beliau
dikelilingi oleh ampas manusia. Tetapi bukankah ini aspek paling mengagungkan
dari gerakan ini, sementara kita menyaksikan betapa banyak agama Budha adalah
kaum terhormat dan kaum aristokrasi Cina dan India, kini nilai-nilai-sudah
berubah.”[52]
Menyimak argumen Syari’ati di atas maka jelas sudah bahwa Tauhid adalah
sesuatu yang jauh melebihi dari sekedar tentang ke Esaan Tuhan semata, tetapi
juga merupakan sebuah pandangan dunia yang dipenuhi dengan nilai kebebasan,
egalitarian, pluralisme dan sebagainya. Untuk lebih lanjut mengenal, jenis,
asal-usul, konsep atau sifat dalam Islam umatnya harus lebih jauh mengenal
kitab sucinya yakni al-Qur'an dan maknanya. Al-Qur'an Al- Karim dimulai dengan
surat al Fatikhah dengan bismillah dan mengakhiri seluruh isi al-Qur'an
dengan kata an-Nas. Kemudian menguraikan pengertian alhamdulillah dengan
pengertian pengakuan terhadap Allah SWT, yang wajib disembah, tempat meminta
pertolongan serta perlindungan. Demikian jelas sudah bahwa al-Qur'an menurut
Syari’ati membentangkan jalannya dari
satu ujung menuju pada manusia dan ujung yang satunya kepada Allah.[53] Begitu
juga dengan surat terakhir al Qur'an, disana Allah menjelaskan tentang hubungan
khususnya dengan manusia, Rabb manusia, artinya bahwa Tuhanlah pemilik manusia,
Malik manusia, artinya Tuhanlah yang menjadi penguasa dan hakim bagi manusia. Dengan
begitu, menurut Syari’ati al-Qur'an menafikan tiga bentuk kekuasaan secara
keliru diberlakukan atas manusia, kekuasaan ekonom, politik dan spiritual.[54] Berpijak
pada kalimat an-Nas, tanpa memperhatikan ras, suku, jasad, maupun kelas, disana
al-Qur'an tidak menggunakan kata Insan.[55]
F.
Tradisi Islam Syi’ah
Revolusioner
Semua budaya menurut Syari’ati memiliki 2 sifat umum, yang pertama: semua
budaya menganggap mereka memiliki zaman keemasan (Golden age), dimasa
lalu keadilan ketenangan tumbuh subur. Namun karena kerusakan, kedzaliman
manusia sendiri, zaman keemasan tersebut pun berakhir. Kedua, mereka percaya
dengan revolusi besar yang membebaskan masa depan kembalinya zaman keemasan
sebelumnya yang diwarnai keadilan, persamaan dan persaudaraan.[56]
Berangkat dari komitmen dan kepercayaan besar terhadap tradisi Islam
revolusioner, menurut Syari’ati dalam kondisi keterpurukan, akibat
ketidakadilan penindasan, dan segala bentuk penyelewengan kekuasaan, masyarakat
Iran seharusnya bangga terhadap tradisi tersebut, dengan menjadikannya sistem
nilai yang melingkupi tatanan sosial masyarakat yang akan dibangun. Di mana
Islam seharusnya benar-benar menjadi gerakan Intelektual yang progresif, serta
kekuatan sosial yang militan dan mazhab revolusioner.
Dalam kalangan Syi'ah otoritas dan kekuasaan merupakan milik Nabi
Muhammad dan keturunannya. Otoritas yang memiliki dimensi spiritual sekaligus
pertalian darah (decent line), dimanifestasikan dengan figur imam yang hanya
keturunan Nabi. Setelah Rasul wafat menurut pengikut Syi’ah, Ali bin Abi Thalib
lah, Imam pertama sesudah nabi sebagai penggantinya, karena pengikut Syi’ah
menolak ketiga khalifah sebelumnya.[57]
Tidak hanya sampai disitu, dalam aqidah Islam Syi’ah, posisi Imamah
bahkan termasuk bagian dari aqidah tauhid, yaitu termasuk dalam salah satu rukun
iman, barang siapa yang tidak mempercayainya diancam akan masuk neraka jahanam
dan dinyatakan kafir.[58]
Layaknya seorang guru yang meninggalkan kelasnya, kata Jalaludin Rumi
menurut kaum Syi’ah, Nabi tidak akan menyerahkan pengganti dirinya kepada
muridnya, tetapi menunjuk orang yang menurutnya memenuhi kualifikasi guru
ruhani sekaligus pemimpin umat. Sementara itu menurut faham Syi’ah, pilihan
nabi itu jatuh kepada Ali bin Abi
Thalib.
Kemudian karya yang lahir tentang peranan Husein dalam rentangan sejarah
umat Islam memang banyak. Namun untuk benar-benar mengetahui apa yang dilakukan
Husein menurut Syari’ati, perlu pemahaman kembali tentang makna sejati
syahadahnya. Makna dari pengorbanan Husein ini sangat jarang disentuh. Padahal
dibalik sinaran kebesaran kepribadian Husein, tersembunyi sesuatu yang lebih
besar lagi. Karena sulitnya mengungkap makna syahadah Husein tersebut,
maka semua itu menurut Syari’ati harus mencarinya dalam sela-sela sejarah, dari
beberapa kaum yang tertindas, kepayahan, sebuah sejarah yang paling bertekuk
lutut dihadapan istana Sultan yang megah, di medan pertempuran, serta di ambang
pintu dewa-dewa kekerasan.[59] Untuk
dapat memahami makna syahadah dengan benar, dari mana diangkat mazhab
ideologi serta nilai-nilainya, bagi Syari’ati hal itu harus diungkap terlebih
dahulu. Syahadah dalam Islam berbeda pengertian dengan martyr di negeri Barat
atau martyrdom yang berasal dari kata mortal, berarti maut atau
mati, yaitu seseorang mati karena membela keyakinan melawan musuhnya dan salah satu jalan yang
harus ditempuhnya dengan mati. Dalam kultur Islam kata "syuhada"
menurut Syari’ati bermakna bangkit dan
beraksi. Kadang juga dipakai untuk menamakan seseorang yang telah menetapkan
kematian sebagai pilihan, tetapi berbeda dalam istilah mortyir dalam
bahasa Barat. Demikian juga dengan martyr yang bermakna maut, syahadah
itu tidak sama dengannya. Sebab pada hakikatnya syahadah memiliki arti
sebagai kehidupan, bakti, membutuhkan atau menegaskan.[60]
Masalah kesedihan atau berkorban demi agama atau mati Syahid, erat
hubungannya dengan konsep jihad (berjuang untuk menegakkan ajaran Allah).
Adapun dasar konsep itu keyakinan, bahwa dirinya ini merupakan penjara bagi
kaum mukmin (beriman). Manusia berasal dari Allah dan kembali kepadanya.
Kehidupan di akhirat nanti merupakan kehidupan yang lebih mulia. Karenanya umat
Islam tidak perlu takut untuk mati Syahid.[61] Mati
dalam menegakkan kalimatillah adalah suatu kebaikan yang tidak ada lagi
kebaikan di atasnya. Begitu juga sebaliknya hidup mewah dengan menempatkan
Syari’at merupakan puncak dari kehinaan. Prinsip hidup inilah yang menurut
Syari’ati yang dimiliki oleh Husein, sebagaimana ungkapan dalam sebuah
khotbahnya, Husein mengatakan,” Aku tidak melihat kematian selain
kebahagiaan, dan aku tidak melihat kehidupan bersama orang-orang zhalim selain
kehinaan.”
Kondisi masyarakat di masa Husein
memang sangat menyedihkan, kekuasaan berada di tangan penindasan. Demikian juga
halnya dengan nilai moral masyarakat, semuanya tumbuh dengan keangkuhan
penguasa dan anteknya. Peristiwa Husein dan Karbala sangat berpengaruh pada
diri Syari’ati. Dia bahkan sempat berkata, "Husein ahli waris Adam,
telah memberi kehidupan kepada umat manusia. Jika pewaris Rasul yang memberi
perjalanan umat manusia dengan hidup di dunia ini, kini Husein telah datang
memberi pelajaran kepada umat manusia beragama sejati.
Figur Imam Husein bagi Syari’ati adalah contoh muslim sejati yang tidak
pernah gentar menentang segala bentuk penindasan, kendati pun sendirian paling
tidak perlawanan tersebut dapat mempermalukan musuh, kepada seluruh umat Islam,
Syari’ati menyerukan seperti ini :
“Lihatlah
Husein, Ia melepaskan hidupnya meninggalkan khotbahnya dan bangkit untuk mati,
karena tidak mempunyai senjata bagi perjuangan demi mengutuk dan mempermalukan
musuhnya. Dipikulnya itu untuk menyingkap kedok yang menyelubungi wajah-wajah buruk
dan rezim penguasa. Kalau dengan jalan ini tidak dapat mengalahkan musuhnya,
maka paling tidak ia dapat menyuntiknya dengan darah segar maupun kepercayaan
terhadap jihad ke dalam tubuh-tubuh mati demi generasi kedua revolusi yang
dibangkitkan oleh Rasulullah.”[62]
[1] Ali
Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terjemah Saefullah Mahyudin,
cet I (Yogyakarta: CV Ananda, 1982), hlm. 5
[2] .Ali
Syari’ati, Humanisme….. hlm. 12
[3] ibid.,
hlm. 23
[4]
Perkataan Syi’ah acap kali diartikan pengikut, firgah, terutama pengikut dan
pecinta Ali Bin Abi Thalib, serta ahlul bait rasulullah. Dalam kamus
Tajuh Arus perakataan Syi’ah diartikan suatu golongan yang mempunyai
keyakinan faham syi’ah, dalam bantu
membantu antara satu sama lain. Begitu
juga dalam kamus besar Lisanul arab. Dalam Azhari diterangkan bahwa arti Syi’ah
itu adalah satu aliran yang mencintai keturunan Nabi Muhammad dan mentaati
pimpinan yang diangkat dari pada keluarga dan keturunannya. Prinsip agama atau Ushuluddin,
dalam Syi’ah ada lima pengertian :
kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa,
kenabian, kehidupan akhirat, Imamah, yakni percaya akan imam sebagai pengganti nabi, atau adil (Keadilan Ilahi). Dalam tiga
prinsip dasar Nubuwat, tauhid dan ma’qaid Suni dan Syi’ah mereka
bersepakat, hanya pada dua prinsip dasar mereka berbeda. Dalam masalah Imamah,
tekanan pada fungsi bathin Imamahlah yang membedakan pandangan syi’ah dan
sunni, dalam masalah keadilan maka masalah yang ditetapkan pada sifat ini sebagai
suatu kualitas intrinsik dari sifat
Ilahi hanya ada dalam islam Syi’ah. Lihat Alamah M.H Thabibi, Islam Syi’ah
Dan Asal-Usul Perkembangannya, terjemah, Djohan Efendi, (Jakarta: Pustaka
Utama Graiti, 1989) cet I hlm. 10. Bagi
Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner dan Syi’ah sejati adalah jenis khusus Islam revolusioner. Di Iran,
Syi’ah merah, Ali’ sepupu dan mantu nabi, telah kembali menjadi Syi’ah hitam”
kaum Safawi. Pengelompokan Syi’ah ke dalam dua
kategori yang dimaksud Syari’ati adalah pesan utama syi’ah telah
dicemarkan dimata rakyat oleh dinasti
Safawi, (orang yang berkuasa di Iran pada periode 1501-1722) yakni merubah
Syi’ah menjadi agama Negara dan memanfaatkanya untuk memabukkan rakyat., Lihat
Ali Syari’ati dalam Robert De Lee,
Mencari Islam Otentik: Dari nalar Kritis Arkound, terjemah Akhmad Baequni, (Bandung:
Mizan, 2000), hlm. 140.
[5]
Syari’ati, Kritik Islam Atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya,
terjemah, Husein Anis al Habsyi, (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 77. Islam bagi
Syari’ati tidak hanya agama ibadah (ritual) dalam arti yang sempit,
atau yang paling jauh sebagai agama hukum (Din Fiqhi).
Dalam artian terbatas melainkan juga sebagai agama pemikir (Dinul Albab).
agama keadilan (dinul adalah) dan dengan sendirinya menjadi agama
kesejahteraan, oleh karena itu Islam adalah agama yang secara kewahyuan berkaitan dengan pemikiran manusia agar adil, kesejahteraan dapat diwujudkan.
Lihat Abdurrahman Wahid, ”Pengantar Dalam Hasan Hanafi, (Ideologi dan
Pembangunan, terjemah, Sunhaji Sholeh ( Jakarta: P3M, 1999), hlm. vii.
[6] Lihat
Kiki Perdiyansyah , Tugas Rausyan Fikr Untuk Aksi Perubahan Sosial,”
Dalam Sosialisme Religius, Suatu Jalan ke Empat ( Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2000),
hlm., 208.
[7] Ali
syari’ati, Tipologi, Sebuah Pendekatan Untuk Memahami Islam,
terjemah, Irwan Nurdaya Djafar, (Bandar Lampung: Grafika Tama Jaya, 1993), hlm.
96.
[8] Ali
Syari’ati, Makna Do’a, terjemah Muza Al Khazem, (Jakarta: Pustaka
Zahra, 2002), hlm. 11.
[9] Ali
Syari’ati, Sosialisme Islam, terjemah Eko Supriyadi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar 2003), hlm. 29.
[10] Ervand
Abrahamaen ,” Radikal Islam,……hlm. 106
[11]
Terdapat dua versi mengenai gelar sarjana
mudanya Syari'ati. Ada yang mengatakan
memperoleh dalam bidang sastra Persia. Ali Rahmena (ed), Para Perintis.
Op.cit, hlm. 25. Ada juga yang mengatakan diperolehnya dalam bahasa Arab dan
Prancis, lihat A. Kadin Hadi (peny) Garis Besar Riwayat Hidup Dr. Ali
Syaria'ti, "dalam Syari'ati,"Islam Agam Protes,
terjemah, Satrio Pinandito, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), cet I hlm. 7.
lihat juga," Riwayat Hidup
Syari'ati Dr. Ali Syari'ati dalam, "Syari'ati, "Membangun Masa
Depan," op.cit. hlm. 19
[12] Ibid.,
hlm. 217.
[13] Pouran
–e Kazavi adalah mahasiswi satu fakultas
dengan Syari'ati bidang (Sastra) selama
kuliah di Masyhad.
[14] Ali
Syari’ati, Sosialisme Islam, op.cit, hlm. 34.
[15] Abdul
Aziz Sahedina, ”Ali Syari’ati”, Ideologi Of The Iranian Revolution, dalam
Jhon L. Esposito, voices of resirgnt, Islam (New York: Oxford University Press,
1983), hlm. 194.
[16] . Ali
Rahnema, op.cit, hlm. 220.
[17] Ali Syari’ati,
Sosialisme Islam, op.cit hlm. 38-39.
[18] Ali
Syari’ati, Makna Do’a, terjemah Muza al Khazem (Jakarta: Pustaka
Azahra, 2002), hlm. .13
[19] .Ali
Syari'ati, Sosialisme Islam, op.cit. hlm. 41.
[20] Jhon L.
Esposito, dan Jhon O voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, Problem
Dan Prospek terjemah, Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan, 1999), hlm. 69.
[21] Majalah
Tempo, 10 Februari 1979, hlm. II
[22] Paling
tidak ada enam belas Nasionalis Modernis Islam muda yang memiliki hubungan erat
dengan Pusat Dakwah Islam Taqi dan bergabung dengan gerakan sosialis pengubah
faham, diantaranya yaitu: Kazem Semi, Medi Momken, Kazem Ahmad Zadeh, dan
Ibrahim Hati. Adapun gerakan penyembah Tuhan adalah gerakan yang memadukan
Islam dengan sosialisme Ilmiyah berpendapat bahwa sistem sosio ekonomi Islam
adalah suatu sistem sosialisme
ilmiyah yang didasarkan pada tauhid
(Monotheisme) untuk mencapai tujuan tersebut menerbitkan sebuah koran yang
mengkritik Feodalisme dan Kapitalisme dan menggambarkan nabi Muhammad, dan Ali
bin Abu Thalib sebagai figurnya.
[23] Riza
Sihbudi, Dinamika Revolusi Islam Iran Dari Jatuhnya Syah Hingga Wafatnya
Khomaini, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1989), hlm. 23. Land reform adalah
membatasi kepemilikan tanah yang di
bebaskan kepada petani dan mengorganisir para petani dalam membantu
mereka mengerjakan lahan pertanian dengan efisien.
[24]
Persekongkolan menjatuhkan pemerintahan
Mossadeq yang disusun awal
Agustus 1953, ikut dimotivasi oleh saudara kembar Syah Pahlevi yang bernama
Asyhraf, seorang wanita yang bersemangat, terkenal tidak gampang mundur, dan
agak angkuh. Suatu saat pernah ditanya, yang kurang dicintai rakyat Iran, dan
ia menjawab, dicintai?, apakah Raja Cyrus dan Presiden IBM, harus dicintai……
[25].Lihat
Reza Sihbudi, Latar Belakang dan Perkembangan Revolusi Islam Iran dalam Revolusi,
op cit, hlm. 30.
[26] Jhon L.
Esposito dan Jhon o. Voll, Demokrasi op.cit, hlm. 70. di Iran sebagai mana
telah ditentukan agama sendiri, penyumbang terbesar untuk kehidupan agama (demikian
juga bagi kaum agamawan yang berjihad di jalan Allah) adalah kaum Bazaari.
Mereka adalah kaum saudagar yang hidup bertoko di lorong kuno yang eksotis,
namun berkaitan dengan nadi perekonomian masyarakat Iran. Dua ahli ekonomi Iran
yang di Paris, yaitu Berous Mo ntazami dan
Koshrow Narghi, menyerukan dalam tulisannya untuk Lemonde
Diplomatique, sudah sejak tahun 60-an kaum Bazaari terpojok. dan tahun60-an
pintu pun ditutup bagi nya dalam urusan politik hingga zaman Mosddeq, pintu itu
baru terbuka kembali. ini diperparah dengan hasil minyak Iran, yang oleh Syah
diintegrasikan kembali ke dalam perekonomian Internasional. Uang yang mengalir,
dan datangnya modal asing, dan timbulnya industri barang impor itu semua melahirkan gelombang perdagangan yang
terlampau besar buat kapasitas organisasi ekonomi Bazaari saudagar tradisional
tersisih. Ini dikarenakan Syah Iran semenjak 1977, memotong sumbangan untuk Ayatullah,
dari 80 juta yad menjadi 50 juta yad. Lihat Tempo Kaum Bazaari, dalam Tempo 27
Januari 1979, hlm. 12-13.
[27].Ali
Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terjemah, Saefullah Mahyudin,
cet ke I (Yogyakarta: Cv Ananda, 1982), hlm. 11-12.
[28] Ibid,
hlm. 19.
[29] .Ali
Syari’ati , Islam Mazhab Pemikiran Dan Aksi, terjemah, Nasrullah
Ms dan Afif Muhammad, cet. Ke-II
(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 2-4.
[30] Ibid.
hlm..17.
[31].
AbasThawasuli, Tentang Syari’ati, Dalam
Syari’ati, Humanisme Islam, hlm. 80.
[32]Ali
Syari’ati, Sosialisme Islam op.cit, hlm..54-55.
[33] Robert
De Lee, Mencari Islam Autentik, dari Nalar Puitis Iqbal ke
Nalar Puitis Arkound, terjemah,
Akhmad Baequni cet ke I ( Bandung, Mizan 2000), hlm. 140.
[34] Kiki
Ferdiyansyah Wijaya, Dialektika Sosiologis, Peran Intelektual,
dan Perubahan Sosial dalam Muhidin M. Dahlan (ed) Sosialisme Religius Suatu
Jalan ke Empat, edisi revisi cet. ke I, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm.
211-212.
[35] Ali
Syari’ati, Sosialisme Islam, terjemah, Eko Supriyadi, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), hlm. 33.
[36] Ali
Syari’ati, Makna Do’a, terjemah Muza al Kazem, (Jakarta: Pustaka
Zahra, 2002), cet. I, hlm. 26.
[37]Ali
Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran Dan Aksi, op. cit, hlm.
117-118.
[38] Ali
Syari’ati, Makna Do’a, op.cit, hlm..51
[39] Ali
Syari’ati, Tugas Cedikiawan Muslim, terjemah Inggris, Ghulam M.
Fayez,terjemah Inonesia, M. Amin Rais, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 ),
hlm. 1.
[40] Ali
Syari’ati, Makna Do’a, op.cit,
hlm. 27.
[41]. Lihat
Syari'ati dalam Makna do'a,. Mafatih
al Jinan (kunci surga) adalah kumpulan amalan do'a karya Syekh Imam Abas
Qummy (peny). Hlm. 33
[42] Dikutip
dari khotbahnya Imam ali yang lengkapnya sebagai berikut, "Wahai manusia sekalian, tanyakan apa saja kepadaku sebelum
kalian kehilangan aku. Aku lebih mengena jalan-jalan langit ketimbang
jalan-jalan bumi. Jalan-jalan langit bermakna transendental (ghaib) dan
ketuhanan yang berada di atas perkara-perkara indrawi dan duniawi .
[43] Ali
Syari'ati, Makna Do'a op.cit hlm. 46-47.
[44] Ibid,
hlm. 68-69.
[45] Ghulam
Abas Thawasuli, “SepintasTentang Syari’ati,” dalam, Syari’ati
Humanisme hlm. 27, Hamed Enayat, Realitas Politik Sunni dan Syi’ah. Pemikiran
Islam Modern Menghadapi Abad ke 20. alih Bahasa, Asef Hikmat, cet. I (Bandung:
Pustaka, 1998).
[46] .Ali
Syari’ati, Islam Agama, Protes, terjemah Satrio Pinandito,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm.
84.
[47] .
ibid, hlm. 85-86
[48] Ali Syari’ati,
Tentang Sosiologi Islam, op. cit, hlm. 103.
[49] Hamed
Enayat, Politik Sunni dan Syi’ah, Pemikiran Politik Islam Moderen
Abad ke 20, terjemah Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1982), hlm. 243
[50] Ali
Syari’ati, Agama Versus Agama, terjemah, Afif Muhammad, (Bandung:
Pustaka Hidayah, tt), hlm.. 30
[51] Ali
Syari'ati, Tentang Sosiologi Islam, Op.cit. Hlm.
111.
[52] Ali
Syri’ati, Pemimpin Mustad’afin, Sejarah Perjuangan
Menentang Pemimpin Mustad’afin, terjemah, Ali Rahmani Astuti, cet. I, (Bandung:
Paperback, 2001), hlm. 20.
[53]Ali
Syari’ati, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologi, terjemah,
Afif Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hlm. 38-39.
[54] Ibid,
hlm. 40.
[55] Ali
Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran Dan Aksi, terjemah, Nasrullah
dan Afif Muhammad, cet. I, (Bandung:
Mizan, 1992), hlm. 18-19.
[56] Riza Sihbudi , Posisi Syari'ati Dalam
Revolusi islam, dalam M. Deden
Ridwan (ed), Melawan Hegemoni Barat, (Bandung: Lentera, 1999), hlm.
109-110.
[57] Ali
Syari’ati, Pemimpin Mustad’afin, Sejarah Panjang Perjuangan Perlawanan
dan Penindasan, terjemah Rahmani Astuti, (Bandung: Muthahari Paperback, 2001), hlm.
27.
[58] Ali
Syari’ati, Syuhada, op.cit, hlm.. 90-91.
[59].Hertining Ichlas, Peristiwa Karbala dalam Buletin Jejak
[60] Riza
Syihbudi, Dinamika Revolusi Islam, Dari Runtuhnya Syah hingga
Wafatnya Ayatullah Khomaeni, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1989), hlm..44.
[61] Lihat
Jalaludin Rakhmat.M.s.c, Panji Syahadah Imam Husein as, dalam
buletin jejak no. I/IV April/01, (Yogyakarta: Yayasan Rausyan Fikr, 2001)
[62] ibid,
hlm.56.
0 Response to "Makalah Biografi Ali Syari'ati dan Pemikirannya"
Post a Comment