Pendekatan Contextual Teaching and learning (CTL) dalam Pembelajaran Kimia
pendekatan ctl artinya | pendekatan ctl dalam pembelajaran | contoh pendekatan ctl |pendekatan belajar ct l| pendekatan contextual teaching and learning (ctl)| pendekatan kontekstual ctl | karakteristik pendekatan ctl | kelebihan pendekatan ctl| komponen pendekatan ctl| konsep pendekatan ctl| keunggulan pendekatan ctl| perbedaan pendekatan ctl dan konvensional| penerapan pendekatan ctl di kelas|
Pendekatan Contextual Teaching and learning (CTL) dalam Pembelajaran
1. Definisi dan Tujuan CTL
Elaine
B. Johnson, Ph.d. dalam bukunya yang berjudul contextual Teaching and learning,
mendefinisikan pendekatan CTL sebagai "sebuah proses pendidikan yang
bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami makna dari materi akademis yang
mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek akademis tersebut dengan
konteks yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik itu yang berhubungan
dengan diri mereka sendiri, masyarakat-sosial, maupun adat istiadat yang ada
disekitarnya".[1]
Definisi
lain dari CTL adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.[2]
Berdasarkan
kedua definisi tersebut, tampak ada beberapa hal yang mendasar tentang
pendekatan CTL, yaitu CTL mengharuskan adanya kontekstualisasi materi pelajaran
yang didapat oleh siswa-siswa di ruang-ruang kelas dengan kondisi nyata yang
terjadi disekitar mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan
seperti ini, seperti yang diungkapkan Dave Meier dalam bukunya The Accelerated
Learning adalah pendekatan yang harus banyak dikembangkan. Karena orang akan
dapat belajar paling baik dalam konteks. Fakta dan ketrampilan yang dipelajari
secara terpisah sulit diserap dan cenderung cepat "menguap". Belajar
yang paling baik bias dilakukan dengan mengerjakan pekerjaan itu sendiri dalam
proses penyelaman kedunia nyata. Sekarang ini harus dipikirkan agar anak-anak
akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih
bermakna jika anak "mengalami" apa yang dipelajarinya, bukan
"mengetahuinya"[3]
Menurut
Rusgiyanto, Tujuan CTL pada dasarnya adalah membekali sisiwa dengan pengetahuan
yang secara Fleksibel dapat di terapkan dari satu permasalahan ke permasalah
yang lain, dari satu konteks ke konteks yang lain. Selain itu pendekatan CTL
memungkinkan para pelajar untuk menghubungkan konten dari subyek akademik yang
di pelajari dengan konteks yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari,
sehingga mereka lebih mudah untuk menemukan makna dari materi yang di pelajari.
CTL
dengan demikian secara umum bertujuan untuk mencoba menghubungkan berbagai
teori yang telah diajarkan oleh guru di ruang kelas dengan kenyataan yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari
sehingga siswa akan lebih mudah memaknai setiap materi yang didapatkan
di kelas, lebih penting dari hal itu, CTL diharapkan mampu meningkatkan ketiga
aspek yang harus di kembangkan dalam dunia pendidikan, yaitu aspek kognitif,
psikomotorik, dan afektif. Artinya, pendekatan CTL tidak hanya diharapkan mampu
untuk meningkatkan prestasi siswa secara kognitif berupa keberhasilan mereka
dalam mengikuti ujian, melainkan juga aspek psikomotorik dan sekaligus efektif
selama mengikuti proses pembelajaran.
2. Perbedaan Pola
Pembelajaran Kontekstual dan Konvensional
Pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan CTL pada dasarnya berbeda dengan pembelajaran
yang menggunakan pendekatan konvensional. Perbedaan tersebut menurut
Rusgiyanto, dapat ditunjukkan pada Tabel berikut:
Tabel 2.1. Perbedaan Pendekatan
Kontekstual dan Konvensional
Konvensional
|
kontekstual
|
Menyandarkan pada hafalan
|
Menyandarkan pada memori spesial
|
Pemilihan informasi oleh guru
|
Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan
siswa
|
Cenderung terfokus pada satu bidang(disiplin)
tertentu
|
Cenderung mengintregasikan beberapa bidang
(disiplin)
|
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa
sampai pada saatnya diperlukan
|
Selalu mengaitkan informasi dengan
pengetahuan awal yang real di miliki siswa
|
Penilaian hasil belajar hanya melalui
kegiatan akademik berupa ujian/ulangan
|
Menerapkan penilaian autentik melalui
penerapan praktis dalam pemecahan masalah.
|
3. Komponen CTL
Sebagaimana
yang diungkapkan oleh The Washington State Consorsium For Contextual
Teaching ang Learning, seperti yang dikutip Depdiknas[4],
setelah mengidentifikasi tujuh komponen kunci CTL, yaitu penemuan (inquiry),
bertanya (question), kontruktivisme, masyarakat belajar (learning community)
pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian autentik (authentic
assessment). Berikut penjelasan atas tiap-tiap komponen yang ada dalam CTL
tersebut:
a. Penemuan (Inquiry)
Penemuan
merupakan salah satu asas utama dalam CTL. Pembelajaran akan lebih bermakna
apabila informasi yang diterima berupa fakta yang dapat dimengerti oleh siswa,
kemudian dari fakta tersebut siswa dapat mengaitkan dengan apa yang real
dimiliki untuk menemukan model, menemukan keterkaitan pengetahuan yang baru
saja dipelajari dengan pengetahuan lain[5].
Masih
menurut Rusgiyanto, melalui pembelajaran penemuan, siswa dapat diarahkan kepada
cara berpikir penemuan melalui tahapan-tahapan observasi, bertanya, jawaban
sementara (hipotesa), pengumpulan data dan pembuatan kesimpulan (konklusi).
b. Bertanya (Question)
"Bertanya"
di dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual sangat besar
manfaatnya. Siswa perlu memperoleh kesempatan untuk mengajukan pertanyaan
tentang apa-apa yang tidak mereka ketahui dari penjelasan guru. Apabila siswa
tidak diberi kesempatan untuk bertanya, pada akhirnya akan banyak menumpuk
ketidaktahuan pada diri siswa yang akan menyebabkan timbulnya rasa tidak aman
dalam diri siswa kepada materi yang diajarkan.
Pertanyaan,
menurut Rusgiyanto dapat timbul dari siswa kepada guru, guru kepada siswa,
antara siswa dengan siswa dan mungkin terjadi antara siswa dengan Narasumber
yang khusus didatangkan untuk membantu
guru dalam memberikan motivasi belajar kepada siswa.[6]
c. Konstruktivisme (Construktivisme)
Konstruktivisme
merupakan dasar filosofis yang digunakan dalam pendekatan CTL. Informasi yang
diterima siswa masuk ke dalam benaknya sedikit demi sedikit, dan informasi
tersebut akan diolah di dalam alam pemikirannya, disesuaikan
informasi-informasi terdahulu yang telah diterima, di dalam pikirannya ada
informasi yang memperkuat informasi terdahulu yang telah disimpan dan ada pula
informasi yang justru melemahkan informasi yang telah ada. Kumpulan informasi
tersebut akan diolah dalam alam pikirannya untuk kemudian akan dikonstruksi
menjadi suatu pengetahuan. Pengetahuan tersebut akan bermakna apabila selalu
siap untuk digunakan dalam penyelesaian masalah kehidupan nyata
d. Masyarakat Belajar
(Learning Community)
Masyarakat
belajar terbentuk apabila terjadi komunikasi dua arah, adanya pesan yang di
sampaikan oleh seseorang yang "tahu" kepada yang "tidak
tahu" melalui komunikasi dua arah.
Masyarakat
belajar disarankan perlu diciptakan dalam pendekatan CTL, disarankan agar siswa
terbagi dalam kelompok-kelompok belajar, usahakan kelompok memiliki anggota
yang heterogen, sebagai salah satu usaha untuk membiasakan siswa yang lain,
bagi siswa yang memiliki kelebihan akan membantu siswa yang lain, membiasakan
tenggang rasa yang tinggi antar anggota kelompok.
e. Pemodelan (Modelling)
Dalam
hal ini, diharapkan siswa mampu menemukan sendiri model belajar yang sesuai
untuk dirinya dengan arahan dari guru. Dengan demikian konsep benar-benar dapat
di fahami oleh siswa, agar siswa dengan mudah dan cepat dapat memunculkan
kembali melalui penelusuran pengetahuan yang di miliki. Selain itu, siswa
diharapkan mampu untuk menyusun model-model materi yang sedang di pelajari yang merupakan hubungan
antara fakta yang diperoleh
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi
dalam bentuk renungan kembali tentang apa yang baru dipelajari dengan apa yang
telah dimiliki sejak lama. Seperti diungkapkan di muka, bahwa informasi baru
dapat mendukung atau memantapkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, dan
sebaliknya informasi baru juga dapat menggugurkan atau menggoyahkan pengetahuan
yang telah dimilikinya siswa, dan sebaliknya informasi baru juga dapat
menggugurkan atau menggoyahkan pengetahuan yang telah dimilikinya. Pada
dasarnya siswa diharapkan dapat mendapatkan pengetahuanyang baru saja diterima
sebagai miliknya, endapan ini dapat merupakan pengayaan atau merevisi
pengetahuan sebelumnya.
g. Penilaian Autentik
(Authentic Assesment)
Penilaian
autentik adalah pengumpulan data untuk mengevaluasi keberhasilan proses
pembelajaran. Keberhasilan proses pembelajaran yang benar tidak hanya sekedar
mengetahui seberapa besar skor pencapaian hasil belajar pada akhir pembelajaran
(tes akhir), tetapi harus secara integrative, yang memberikan gambaran secara
menyeluruh proses pembelajaran dari awal hingga akhir.
Penilaian
terhadap proses pembelajaran dengan demikian sudah selurusnya dilaksanakan
bukan sekedar penilaian akhir[7].
Penilaian
autentik menurut Rosnawati (2002 : 2) bertujuan untuk menyediakan informasi
yang absah dan akurat mengenai apa yang benar-benar diketahui dan dapat
dilakukan oleh siswa. Hal ini penting untuk melihat sejauh mana pengetahuan dan
ketrampilan dipelajari dengan baik, termasuk pemanfaatannya di dalam suatu
konteks kehidupan nyata yang bermakna.
4. CTL dan Teori Pembelajaran
Konstruktivisme
Salah
satu landasan teoritik pendidikan IPA modern termasuk CTL adalah teori
pembelajaran konstruktivis. Pendekatan ini pada dasarnya menekankan pentingnya
siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif dalam
proses belajar mengajar.
Adapun
prinsip umum dan paling esensial yang dapat diturunkan dari konstruktivisme
ialah, bahwa siswa telah banyak memperoleh pengetahuan di luar sekolah, dan
pendidikan seharusnya memperhatikan hal itu dan menunjang proses alamiah ini.
Berdasarkan uraian di atas bahwa pendekatan CTL dalam pembelajaran
Kimia adalah sebagai berikut :
1.
Penerapan
pendekatan Contextual Teaching and Learning dengan penekanan pada komponen
konstruktivisme dapat dilaksanakan diantaranya dengan tiga cara yaitu dengan
demonstrasi di depan kelas, metode eksperimen dalam kelompok kecil dan metode
eksperimen dalam kelompok besar dalam pelaksanaannya, metode demonstrasi dalam
kelompok kecil lebih mencapai hasil yang diharapkan karena dapat menambah
semangat dan prestasi belajar siswa.
2.
Kendala-kendala
yang dihadapi dalam pelaksanaan pendekatan CTL antara lain waktu yang digunakan
cukup lama dan melebihi waktu pembelajaran yang ditetapkan, membutuhkan
peralatan praktikum yang banyak karena semakin banyak kelompok maka semakin
banyak pula bahan dan alat yang diperlukan, kemampuan seorang guru dalam
mengawasi dan memperhatikan semua kelompok sangat terbatas, sehingga sering
terjadi kesalahan dalam praktikum. Dan yang paling terlihat bahwa semua siswa
sudah terbiasa dengan metode ceramah sehingga mereka masih sering menunggu guru
memberitahu maksud dari eksperimen yang dilakukan.
3.
Kelebihan
dari metode Contextual Teaching and Learning adalah :
-
Materi
pelajaran lebih mudah dipahami dan dimengerti
-
Siswa
dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran
-
Suasana
proses pembelajaran jadi lebih menarik dan tidak membosankan
-
Siswa
jadi terbiasa diskusi dan mengeluarkan pendapatnya
-
Guru
bisa obyektif dalam memberikan penilaian kepada siswa.
4.
Kekurangan
dari metode Contextual Teaching and Learning adalah :
-
Membutuhkan
waktu yang cukup banyak
-
Suasana
kelas jadi ramai dan ribut
-
Keterbatasan
alat dan bahan sangat berpengaruh
-
Ketergantungan
siswa dengan siswa yang lain sangat kelihatan
Referensi :
[2] Depdiknas, Pendekatan Kontextual (Contextual
Teaching and Learning), (Jakarta
: Depdiknas, 2002), hal. 1
[4] Rusgiyanto, HS., Contextual
Teaching and Learning, (Yogyakarta : UNY,
2002), hal. 3
[6] Depdiknas, Pendekatan Kontextual (Contextual
Teaching and Learning), (Jakarta
: Depdiknas, 2002), hal. 5
0 Response to "Pendekatan Contextual Teaching and learning (CTL) dalam Pembelajaran Kimia"
Post a Comment