Makalah Muhammad Arkoun dan Pemikirannya
Muhammad Arkoun dan Pemikirannya| Makalah Muhammad Arkoun | Mmmad Arkoun
BIOGRAFI ARKOUN
DAN PEMIKIRANNYA
A. Kondisi Sosial dan
Intelektual
Mohammed Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia,
Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di
sebelah timur Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian
utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).
Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682 M0, pada masa ke
khalifahan Yazid bin Muawiyah, Dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk
Islam. Bahkan di antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan
Islam, seperti pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.
Gerakan Islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai
oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari Dinasti Almohad pada abad 12
menggabungkan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme
yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang sufi terkemuka di daerah ini,
Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang adalah Syaziliyah,
Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.
Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur
kepercayaan animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya,
konsep “manusia-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan
budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam
lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun
dibesarkan.[1]
Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan
faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara
intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa Kabilia
biasa dipakai dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa
sekolah dan urusan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan
komunikasi di masjid. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili
tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut
juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal
bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai
pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu
tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran
keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa
Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai
dan tradisi ilmiah Barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah
bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.[2]
B. Latar
Belakang Pendidikan dan Pengalaman
Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di
kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954
ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di
sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota
Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961
Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris. Ia menggondol
gelar Doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di
Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah
pemikiran Islam.[3]
Ia menjabat Direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica.
Ia juga memangku jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk
Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota Majelis Nasional
untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat
sebagai Direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas
Sorbonne Nouvelle (Paris III).[4]
Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di
luar Perancis, seperti University of California di Los Angeles, Princeton
University, Temple University di Philadelphia, Lembaga Kepausan untuk studi
Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia
juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam.[5]
C. Konteks
Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya
Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post)
strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi
ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post)
strukturalis Perancis.[6] Referensi
utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi Straus (antropologi), Lacan
(psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida
(grammatologi), filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan
Pierre Bourdieu.[7]
Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme untuk
kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus,
epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan
dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa
Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post)
strukturalisme. Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa
“menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu
sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan
analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas
kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini
semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci.
Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi
mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier).
Arkoun juga bisa “mencomot” konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak
pada titik paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda
terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa
bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa
disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan
tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi,
perkembangan kebudayaan atau peradaban).
Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan
bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk
menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara
sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan
data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis
filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur tentang
sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa
bertutur dalam sejarah.[8]
Sementara itu, karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang. Di sini hanya
disebutkan karya-karya yang berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan
metodologi “cara membaca Qur’an”nya pada khususnya: traduction francaise
avec introduction et notes du Tahdib Al-Akhlaq (tulisan tentang
etika/terjemahan Perancis dari kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La
pensee arabe (Pemikiran Arab), Essais sur La pensee islamique (esei-esei
tentang pemikiran Islam, Lecture du Coran (pembacaan-pembacaan
Al-Qur’an, pour une critique de la raison islamique (demi kritik nalar
islami), Discours coranique et pensee scintifique (Wacana Al-Qur’an dan
pemikiran ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis.[9]
D. Cara Membaca al-Qur’an
Mohammed Arkoun
Sebelum kita melihat bagaimana
Mohammed Arkoun dalam membaca al Qur’an, kita lihat terlebih dahulu apa itu
al-Qur’an dan apa tujuan membaca (Qira’ah) nya dalam pandangannya? Di antara
teks-teks keagamaan, tentunya teks kitab suci menduduki posisi paling sentral
karena di dalamnya terkandung pewahyuan ilahi kepada manusia. Lagi pula, proses
pewahyuan ini besifat unik, dalam pengertian sekali untuk selamanya dan tak
tergantikan. Nama-nama lain al-Qur’an sendiri seperti al-Furqon,
(al-Furqon:1), al-Kitab (al-Dukhon:1-2), Kalam (al-Taubah:6), Nur
(al-Nisa:174), Mau’idzah (Yunus:57), al-Shirat al-Mustaqim (al-An’am:153)[10] dan
lain-lain, mencerminkan pandangan kaum muslim mengenai status kitab sucinya
yang sangat dimuliakan dan disucikan.
Mengikuti analisis semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di
tengah-tengah kita adalah hasil tindakan pengujaran (enonciation).
Dengan kata lain, teks ini berasal dari bahasa lisan yang kemudian
ditranskripsi ke dalam bentuk teks. Tidak terkecuali teks-teks kitab suci,
termasuk al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diterima dan disampaikan
Nabi Muhammad kepada umat manusia selama tidak kurang dari dua dasawarsa.
Terhadap keyakinannya ini, dalam berbagai kesempatan Arkoun selalu
menegaskannya: baik yang bersifat spontan dari keimanannya sebagai muslim
maupun dari pernyataan-pernyataannya yang ingin “membuktikan” keniscayaan
petanda terakhir (signifie dernier).
Akan tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini baru kemudian dibukukan
setelah memasuki masa Utsman, sekitar satu setengah periode setelah Nabi
Muhammad saw. wafat. Jauh sebelum Arkoun, buku-buku pegangan (teksbook)
sebenarnya telah banyak memberikan informasi mengenai penulisan dan pembakuan
wahyu menjadi mushaf Utmani ini. Hanya saja, Arkoun melihat bahwa
informasi-informasi tersebut belum dipertimbangkan secara serius bagi
penjelajahan makna al-Qur’an. Untuk mempertimbangkan data historis ini
semaksimal mungkin, Arkoun kembali pada rujukan linguistik mengenai: (1)
peralihan dari bahasa lisan ke bahasa tulisan; dan (2) perubahan dari kalam
kenabian yang bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam, yang
membicarakan situasi akhir batas eksistensial manusia: cinta, hidup, dan mati;
menjadi wacana pengajaran yang mengerikan menurut anggitan kaku dan karenanya
cenderung tertutup.[11]
Tampaknya, bagi Arkoun, proses yang kedua (perubahan kalam kenabian) dengan
yang pertama (peralihan bahasa lisan ke tulisan) berlangsung seiring dan
berjalan secara simultan.
Menerapkan proses linguistis di atas kepada proses gerakan tanzil
(turunnya) wahyu, Arkoun memilah-milah tahap-tahap kalam Allah (KL), Wacana
Qur’ani (WQ), Korpus Resmi Tertutup (KRT) dan Korpus Tertafsir (KT). Anggitan
Kalam Allah atau merujuk pada Logos atau sabda Allah yang tak terbatas dalam
pengertian yang dipakai al-Qur’an (31:27):
Demikian juga
dalam pengertian orang-orang kristen yang mengatakan, “ Isa adalah Sabda
Allah”.
Maka, wahyu-wahyu yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan para
rasul hanyalah penggalan dari Kalam Allah yang tak terbatas, suatu Kalam yang
tak tertulis yang didefinisikan dalam teologi klasik sebagai bersamaan dengan
Allah dalam keabadian-Nya.
Penggalan-penggalan dari kalam Allah secara linguistis telah
diartikulasikan dalam bahasa Ibrani (Al-kitab), bahasa Aramea (Isa, meski
demikian ajarannya dilaporkan dalam bahasa Yunani), dan bahasa Arab (Qur’an).
Tahap pengujaran lisan sejajar dengan atau sesuai dengan tahap wacana
(yakni wacana dalam pengertian linguistik yang diartikan sebagai pengujaran
yang mengandaikan adanya seorang pembicara dan pendengar dengan niat dari yang
pertama untuk menyampaikan kepada yang kedua suatu pesan dan kemungkinan bagi
yang kedua untuk bereaksi secara langsung) Alkitab, Injil dan Qur’an. Hubungan
komunikasi antara Tuhan dan Nabi selalu terkait dengan situasi wacana atau
lingkuangan semiologis ketika pelepasan dan penangkapan pesan
berlangsung, yang terjadi sekali untuk selamanya dan tidak bisa diulang. Inilah
tahap semio-linguis yang pertama.
Tahap semio-linguis kedua adalah proses pencatatannya secara tertulis
dalam mushaf Utsmani (Korpus Resmi Tertutup).[12] Dengan
ungkapan Corpus officiel clos, Korpus resmi tertutup, Arkoun ingin
menekankan aspek historis dari mushaf, yang, suka atau tidak, tidak bisa
diabaikan. Arkoun mengatakan:
This is extremely important: it refer to many historical fact depending
on social and political agent, not on God. Let us elaborate it more clearly.[13]
Tahap semio-linguis ketiga adalah penafsiran dari Korpus Resmi Tertutup
itu. Secara linguistis adalah mutlak sehubungan dengan penjelajahan makna-makna
al-Qur’an itu, pemahaman bahwa selalu teks tertulislah yang ditafsirkan
dan bukan lagi wacana pertama. Arkoun mengajukan argumentasi:
Sesungguhnya kita tahu bahwa suatu teks tidak ditulis selama saya
belum membacanya: artinya setiap pembaca menulis teks itu lagi sesuai
dengan kisi-kisi persepsinya dan prinsip-prinsip penafsirannya. Kisi-kisi dan
prinsip-prinsip sendiri tidak hanya berkaitan dengan tradisi kebudayaan
yangdipakiai setiap pembaca sebagai sandaran, namun juga dengan paksaan
ideologis dari keolompok dan masanya.[14]
Dengan demikian, dapat dilihat secara mencolok bahwa Arkoun mengaitkan
(menarik korelasi positif) proses pembekuan tafsir al-Quran tersebut yang
tercermin dari berbagai tumpukan literatur, dengan proses penetapan al-Qur’an
secara tertulis dan dengan perubahan dari wacana kenabian menjadi wacana
pengajaran, sebagaimana disinggung di atas. Pendirian Arkoun ini bukannya
melenggang tanpa kritik. Van Koningsveld, dalam kritiknya terhadap Arkoun,
mengatakan bahwa Arkoun melebih-lebihkan pentingnya pencatatan teks Qur’an
secara tertulis sebagai faktor pembakuan penafsirannya.[15]
Merujuk pada Hjemselv, bahwa pendekatan semiotis yang memandang suatu
teks sebagai keseluruhan dan sebagai sesuatu sistem dari hubungan-hubungan
intern, dan mendekati suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau
pra anggapan lain, tampaknya Arkoun melihat al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan
teks yang terkait secara koheren dan utuh satu sama lain. Karena itu juga,
Arkoun ingin memandang al-Qur’an sebagaimana al-Qur’an itu sendiri berbicara
dan memandang dirinya sendiri.[16]
Dari semua proses historis di atas, Arkoun tampaknya ingin menegaskan
bahwa telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala
dimensinya. Firman kenabian (prophetique) di reduksi menjadi firman yang
berorientasi pada pengajaran (professoral), yakni berorientasi pada
abstraksi tanpa memperhitungkan secara serius pihak yang mula-mula dituju oleh
firman itu. Dalam ungkapan bahasa semiotika, teks Qur’an sebagai parole
di desak oleh teks langue.[17]
Mengenai langue bahasa arab sebagai lokus turunnya al-Qur’an ini, Arkoun
mengatakan:
Pada kenyataannya, wacana Qur’an adalah suatu orkestrasi musikal
sekaligus simantis dari anggitan-anggitan kunci yang ditimba dari kosa kata
arab biasa yang telah mengalami transformasi radikal selama berabad-abad.
Di atas segalanya, Arkoun berpendapat bahwa meskipun Qur’an sekarang
lebih berfungsi sebagai teks tertulis, Qur’an kini tetap merupakan parole
bagi para mukmin.
Adapun tujuan membaca al-Qur’an (qira’at) bagi Arkoun adalah untuk
mengerti (comprendre) komunikasi kenabian yang disampaikan lewat teks
tertulis. Dengan kata lain, qira’at dimaksudkan untuk melakukan semacam
“napak tilas” proses pengujaran (enonciation) Al-Qur’an dari berbagai
segi dan dimensinya, sebagaimana waktu pertama kali di ungkapkan dalam suasana semiologis
yang masih kaya dan segar. Artinya, tujuan qira’at bukan semata-mata
untuk mengerti teks, melainkan untuk mendapatkan teks. Secara metodologis,
“napak tilas” ini sebenarnya tidak mungkin karena proses pengujaran hanya
terjadi satu kali, unik, dan karenanya tak akan pernah terulang lagi. Yang
paling mungkin dilakukan hanyalah menjulurkan tangan secara asimtotis[18] kepada
suatu pendekatan yang makin lama makin akrab dengan wacana itu, dengan cara
mengembalikan (dengan segala keterbatasannya) teks Qur’an sebagai langue
menjadi parole bagi orang-orang yang hidup pada zaman sekarang ini.
Bagi Arkoun, Qira’at juga dimaksudkan untuk memproduksi
makna-makna yang berada di balik teks harfiah, dengan cara mengungkap struktur
bahasa mitis Al-Qur’an dan melepaskannya dari jebakan bahasa logis dan
logosentris.
Tampaknya, bagi Arkoun, qira’at juga berarti menangkap pesan
universal dan asas paling primordial yang berada di balik semua al-Kitab (seluruh
kitab suci yang diturunkan Allah kepada umat manusia lewat perantaraan para
rasul-Nya), dengan melakukan semacam ziarah spiritual vertikal melalui
gerak-balik menaiki tangga gerakan linear tanzil al-Qur’an yang
dikemukakannya, sampai pada Sabda atau Kalam Allah yang tak terhingga, guna
mendamaikan perang teologis yang terjadi di antara masyarakat kitab. Karena
itu, Arkoun menginginkan tafsirnya mampu mengatasi masalah ketegangan klaim
teologis ini:
Keinginan kami adalah membuat mungkin suatu penanganan yang solider
terhadap kitab-kitab suci oleh orang-orang “ahlu kitab” Untuk itu kami mengajak
pembaca untuk membaca al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat
diterapkan kepada semua teks doktrinal besar.[19]
Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada al-Quran
(termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa: Pertama,
mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrina
dalam Islam dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang
sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua litaeratur
yang ada kaitannya dengan al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada
suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan,
untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-kesalahan,
penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah
kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku; kedua, Menetapkan suatu kriteriologi[20]
yang di dalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh
kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan
konsepsi-konsepsi yang dipelajari.
Dalam mengangkat makna dari al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi
oleh Arkoun adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari al-Qur’an.
Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna al-Qur’an dengan cara tertentu,
kecuali menghadirkan—sebisa mungkin—aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan
mencakup tiga saat (moment): pertama, suatu saat linguistis
yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan
yang tampak. Kedua, Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an
bahasanya yang bersusunan mitis. Ketiga, Suatu saat historis yang di
dalamnya akan akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir
logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari
ini dicoba oleh kaum muslim.[21]
1. Moment Linguistis Kritis
Pembacaan linguistik dimulai dengan pengumpulan data-data linguistis dari
al-Qur’an sebagaimana tertulis. Dalam tahap ini, misalnya, Arkoun memeriksa
tanda-tanda bahasa (modalisateur du dicours). Karena “kanon resmi tertutup”
ditulis dalam bahasa Arab, maka tanda-tanda bahasa yang harus diperhatikan
adalah tanda-tanda (bahasa) bahasa Arab. Menurut Arkoun, semakin kita
menegaskan modalisateur du discours, kita semakin memahami maksud (intention)
dari locuteur (qo’il atau penutur).
Untuk memasuki proses pengujaran, di antara unsur-unsur linguistik yang
diperiksa biasanya adalah determinan (ism ma’rifah), kata ganti
orang (pronomina, dlomir), kata kerja (fi’il), sistem kata benda
(ism dan musamma), struktur sintaksis dan lain-lain. Pemeriksaan
terhadap unsur-unsur linguistis ini dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan
(actants), yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam teks
atau narasi. Dengan kategori aktan, ujaran (Perancis enonce/Inggris utterance)
dipandang sebagai suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya.
Atau, dalam kaca mata linguistik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari dari
kategori hubungan antar aktan. Dilihat dari kategori ini, ada tiga poros
hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang terpenting adalah poros
subyek-obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan “apa”. Poros kedua
adalah poros pengirim-penerima yang menjawab persoalan siapa melakukan dan
untuk siapa dilakukan. Sedangkan poros ketiga dimaksudkan untuk mencari aktan
yang mendukung dan menentang subyek, yang berada dalam poros
“pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca untuk
mengidentifikasi aktan dan kedudukannya. Aktan tidak selalu harus berupa orang
atau pribadi, tapi juga bisa berupa nilai.[22]
Dengan kategori poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkoun
mengatakan bahwa Allah adalah aktan pengirim-penerima; manusia sebagai pengujar
adalah aktan penerima-pengirim. Dalam kebanyakan surat al-Qur’an, Allah adalah
aktan pengirim (destinateur) pesan, sementara manusia adalah aktan
penerima (destinaire) pesan. Akan tetapi hal sebaliknya juga bisa
berlaku: manusia juga menjadi “pengirim” dan Allah menjadi “penerima”. Analisis
aktansial ini tidak saja diterapkan pada tingkat sintaksis tapi juga terhadap
seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh narasi.
Hasil dari kritik linguistik di atas sebenarnya sudah banyak dipikirkan
oleh para mufassir klasik. Mereka mementingkan—dan sudah terbiasa dengan
analisis sintaksis. Tetapi bagi Arkoun lebih dari itu: pentingnya analisis
linguistis kritis ini terletak pada kemungkinan “mengungkapkan tatanan yang
mendalam” yang berada di balik penampakan teks yang seolah-olah tidak teratur.
2. Moment Antropologis: Analisis Mitis
Professor linguistik dari Swis, J. Starobinski, mengartikan hubungan
kritis sebagai “a transcoding, a free transcription of various data
presented in the ‘interior’ of the ‘text’”. Keberhasilan suatu kritik teks
bukan terletak pada kemampuannya untuk mengupas. Keberhasilannya harus
diarahkan kepada hubungan-hubungan yang ada pada teks yang tidak lain adalah “the
driving force behind the text”
Asumsi Starobinski ini terutama berlaku bagi penafsiran teks-teks
keagamaan. Karena analisis linguistis memberikan kesan yang determisnistis dan
tidak mempunyai piranti khusus bagi teks keagamaan. Arkoun telah berusaha
melampaui keterbatasan linguistik tersebut. Dalam hal ini, Starobinski telah memberikan
andil besar dalam usaha Arkoun untuk memberikan pertanggungjawaban metodologis.
Arkoun meninggalkan aras kritis dan analitis menuju aras relasional. Pada aras
ini, qira’at diarahbidikkan kepada signifie dernier, petanda
terakhir. Dalam rangka mencari petanda terakhir inilah Arkoun beranjak pada
tahap (moment) antropologis di mana ia memakai analisis mitis. Bila pada
tahap linguistis-kritis data linguistis pertama-tama dianggap sebagai “kata
sebagai tanda” (mot-signe), maka pada tahap antropologis data linguistik
kemudian dianggap sebagai “kata sebagai simbol” (mot-symbole).[23]
Menurut Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis
dalam al-kitab dan Perjanjian Baru terdapat juga dalam al-Qur’an. Gaya bahasa al-Qur’an
itu adalah:(1) benar, karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran
manusia yang belum digalakkan oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai
perspektif yang sebanding;(2) efektif, karena gaya bahasa itu
menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan karena gaya itu sendiri memulai
suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian Muhammad dan para sahabat
yang solih (as-salaf as-solih);(3) sepontan, karena gaya bahasa
itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-kepastian yang tidak
bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada keseuaian yang mendasar dengan
semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;(4) simbolis, bisa
dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan
bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai
anggur dan madu”.
Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, al-Qur’an membanjiri hati
nurani manusia. Hingga hari ini bangunan simbolis luas itu tak henti-hentinya
memberikan ilham kepada orang-orang beriman untuk berpikir dan bertindak. Dalam
al-Qur’an unsur-unsur bangunan simbolis itu adalah: a) “simbolisme
kesadaran akan kesalahan” yang oleh refleksi teologi, yuridis dan
moral akan disederhanakan dalam peraturan formal dan kaku; b) “simbolisme
cakrawala eskatologis” yang menugasi sejarah dengan satu makna, yakni
pengarahan dan pemaknaan. Orang-orang masuk Islam, dengan demikian, mendapatkan
dirinya termasuk dalam Sejarah Sakral dari umat Tuhan; sebagai agen-agen
ungkapan terakhir Kehendak Sakral—Muhammad telah menutup dengan pasti
rangkaian para Rasul—mereka menjadi umat terpilih yang mesti menunjukkan
cakrawala keselamatan kepada orang-orang lain; c)”simbolisme umat” yang
menerjemahkan apa yang telah lalu dan menerima proyeksi sejarah konkret di
Madinah pada tahun 1H/622 M.;d)”simbolisme hidup dan mati”.
Simbolisme-simbolisme yang berbeda-beda di atas ini saling mengisi, saling
memperkuat untuk membangun suatu visi dari dunia yang benar, yakni suatu visi
fungsional yang disesuaikan secara sempurna dengan pencarian keselamatan kita.
Untuk sekadar mengambil contoh, simbolisme menyangkut kesadaran akan kejahatan
tampak misalnya pada surat al-Fatihah dalam ungkapan iyyaka na’budu...,
sirat mustaqim, magdlubi alaihim, dlaallin dan lain-lain. Maka, dalam
Islam khususnya, visi imajinatif transhistoris akan mengalahkan visi metavisis
yang merasionalkan.[24]
Analisis simbolis ini memungkinkan bahasa keagamaan dapat menjadi bahasa
performatif atau bahasa yang mempunyai kekuatan kreatif (force effectuante).
Ciri performatif ini, yang memang merupakan ciri yang paling mencolok dalam
bahasa keagamaan, juga berlaku pada al-Qur’an. Baginya, “wacana” performatif”
adalah “parole yang ‘mengatakan’ apa yang saya buat dan pada waktu yang
bersamaan merupakan parole yang membuat saya menyempurnakan atau menyelesaikan
tindakan saya”. Dengan demikian, wacana performatif bukanlah wacana tentang
“tindakan”, melainkan wacana yang diucapkan bersamaan dengan dilakukannya
“tindakan”. Segi performatif inilah yang memungkin al-Qur’an menjadi parole
bagi siapa saja yang mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi parole nabi
Muhammad saw. Ketika kita membaca “ar rahman ar rahim, misalnya,
kita tidak hanya mengatakan-- atau membuat konstatasi tentang--suatu tindakan,
melainkan juga sedang menciptakan tindakan, entah itu pengharapan (mohon
pengampunan dari ar rahman ar rahim), pengakuan, penyerahan diri,
permintaan kepada-Nya dan seterusnya.[25]
[1] Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan
Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 11-13.
[2] Johan H. Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern:
Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor
4 Vol. 1 V 1993, hlm. 94.
[3] Ibid.
[4] Suadi
Putro, Mohammed Arkoun tentang, hlm. 18.
[5] Ibid.,
hlm. 17.
[6] Luthfi Asysyaukani, “Tipologi Pemikiran dan Wacana
Arab Kontemporer”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Vol. I Nomor 1,
Juli-Desember 1998., hlm. 62-63.
[7] Johan H.
Meuleman, Nalar Islam dan Nalar Modern, hlm. 12-13.
[8] Ibid, lihat juga Wawancara antara Hashem
Shaleh dengan Mohammed Arkoun, “Metode ‘Kritik Akal Islam’ dalam Jurnal Ulumul
Qur’an, Edisi Khusus No. 5 & 6, Vol. V. Tahun 1994, hlm. 158-159.
[9] Suadi Putro, Mohammed
Arkoun tentang, hlm. 18-19. Lihat juga Johan H. Meuleman, Nalar Islam
dan Nalar Modern, hlm. 94. Untuk lebih dapat dibaca dalam daftar pustaka.
[10] Tentang arti dan tafsir nama-nama di atas, lihat
Badruddin Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fii Ulumil Qur’an,
(Beirut: Darul Fikr, 1988), hlm. 343-353.
[11] Johan Hendrik Meuleman, “Riwayat Hidup dan Latar
Belakang Mohammed Arkoun”, dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islami, hlm.
26.
[12]
Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, (Jakarta: INIS, 1997), hlm.
4-6.
[13] St. Sunardi, “Membaca Qur’an bersama…, dalam Johan H.
Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan
Pemikiran Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LKiS, 1996), hlm. 64.
[14]
Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan, hlm. 6.
[15] Johan H. Meuleman, “Riwayat Hidup dan…”,dalam
Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan, hlm. 26.
[16] Ibid.
[17] Itilah parole dan langue dipinjam dari Bapak perintis
semiotika dari Swis (1857-1713). Dalam seluruh gejala kebahasaan—ia menyebutnya
langage—perlu dibedakan dua segi: sistem kebahasaan yang disebutnya sebagai
langue dan pemakaian bahasa dalam ungkapan-ungkapan nyata yang disebutnya
sebagai parole. Dengan kata lain, parole adalah penggunaan bahasa secara
individual. Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur dari “kamus” umum (langue)
tersebut. Menurut St. sunardi, secara implisit dapat ditangkap bahwa langue dan
parole beroposisi, tetapi sekaligus juga salingttergantung. Itu berarti bahwa
tidak ada yang lebih utama. Di satu pihak sistem yang berlaku dalam langue
adalah hasil produksi dari kegiatan parole, dan di lain pihak pemahaman parole
serta pengungkapannya hanya mungkin lewat dan dalam langue sebagai sistem.
Lihat St. Sunardi, “Membaca Qur’an..” dalam Johan H. Meuleman, Tradisi,
Kemodernan dan Metamodernisme, hlm. 65., dan Johan H. Meuleman, “Riwayat
Hidup…” dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern, hlm. 14.
[18] Asimptotis (asymtotique) adalah semakin mendekati,
tetapi tidak pernah mencapai seluruhnya. Istilah in di ambil dari kosa kata
matematika. Lihat Mohammad Arkoun, Berbagai Pembacaan, hlm. 244.
[19] Ibid.,
hlm. 50.
[20] Kriteriologi (kriteriologi) adalah himpunan
dari berbagai kriteria atau ukuran (critere); Arkoun mengatakan
misalnya, semua teks Arab dari abad pertengahan mematuhi kriteriologi yang
ketat, yaitu himpunan keyakinan yang membentuk berbagai pra anggapan dari
setiap tindak pemahaman pada periode tersebut. Lihat Ibid., hlm. 248.
[21] Ibid.,
hlm. 51.
[22] St. Sunardi, “Membaca Qur’an” , hlm. 72-73.
[23] Untuk menghindari terjadinya kebingungan dan
kerancuan mengenai alur pemikiran Arkoun, di sini perlu diuraikan secara
singkat pengertian mengenai tanda (sign), simbol (symbol) dan
mitos (myth). Tanda adalah segala sesuatu yang menunjuk di luar dirinya.
Lima huruf r, u, m, a, dan h adalah tanda yang bisa menunjuk (designare)
sesuatu di luar dirinya, yaitu rumah dalam realitasnya. Simbol juga semacam
tanda. Setiap simbol adalah tanda,tetapi tidak setiap tanda simbol. Sebab,
simbol mempunyai ciri khas: rujukan ganda. Merah misalnya, tidak saja berarti
merah buat darah, tapi juga untuk simbol keberanian. Maka. Merah menjadi simbol
karena memiliki rujukan ganda. Mitos adalah mirip simbol. Mitos adalah sejenis
simbol yang diungkapkan dalam kisah atau cerita, yang terjadi dalam waktu dan
tempat. Mitos adalah wahana orang untuk bisa cerita tentang kehidupan
eksistensial dirinya sendiri, masyarakat, alam yang mendalam dan rumit. Karenanya,
struktur cerita mitis sangat kental dan sublim. Lihat St. Sunardi, “Membaca
Qur’an”, hlm. 81-82.
[24]
Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan, hlm. 57-60.
[25] St.
Sunardi, “Membaca Qur’an”, hlm. 87-88.
0 Response to "Makalah Muhammad Arkoun dan Pemikirannya"
Post a Comment