Image1

Makalah Biografi Ahmad Azhar Basyir dan Pemikirannya

Biografi Ahmad Azhar Basyir | Pemikiran Ahmad Azhar Basyir | Profil kh Ahmad Azhar Basyir | Biografi Haji KH Ahmad Azhar Basyir|
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN AHMAD AZHAR BASYIR
 A.    Riwayat Hidup Ahmad Azhar Basyir  
Ahmad Azhar Basyir lahir pada tanggal 21 November 1928 di Kauman, sebuah perkampungan Islam di Yogyakarta. Letak geografis Kauman tak terlampau jauh dari Keraton Yogyakarta yang ketika itu menjadi simbol kebudayaan warga Yogyakarta. Di Kauman juga berdiri Masjid Agung Yogyakarta, yang mengindikasikan bahwa tradisi Islam sangat kuat mewarnai lingkungan di mana Azhar Basyir dibesarkan. Beliau adalah anak prtama dari empat bersaudara pasangan K.H. Muhammad Basyir Mahfudz dan Siti Djilalah, yang kebetulan keduanya berasal dari kota yang sama, Yogyakarta. Kehidupan Azhar Basyir kecil tidak terlalu jauh berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Mereka sama-sama merasakan ketidakbebasan dibesarkan di lingkungan yang diwarnai peperangan fisik dari penjajah kolonial Belanda. Kondisi ekonomi Indonesia yang fluktuatif, labil dan kurang terkendali akibat perang banyak dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk keluarga besar K.H. Muhammad Basyir Mahfudz. Perekonomian Indonesia yang tersendat perkembangannya tidak menyurutkan semangat hidup K.H. Muhammad Basyir Mahfudz, justru melecutnya untuk lebih giat bekerja. Selain mengajar agama di beberapa tempat, ayahanda Azhar Basyir juga berdagang. Hasil dagangan beliau yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak membuatnya memanjakan anak-anaknya dan Azhar Basyir sebagai anak tertua sering dibebani tanggung jawab untuk mengasuh dan memperhatikan keperluan adik-adiknya.[1]
Dalam keluarga Azhar Basyir, pendidikan agama sangat diperhatikan dan ditekankan. Azhar Basyir mulai menghapal al-Qur'an seperti kebiasaan ayahnya yang rutin bertadarus dengan metode saling menyimak. Usaha menghapal al-Qur'an tidak dilanjutkan, karena Azhar basyir harus berkonsentrasi untuk mengejar karir di bidang pendidikan formal. Secara informal, Azhar Basyir menghabiskan waktunya untuk berdiskusi dengan ayahnya tentang berbagai macam masalah, sedangkan secara formal pendidikannya diawali dengan masuk ke Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah di Yogyakarta dan lulus tahun 1940. Setamat dari Sekolah Rakyat, Azhar Basyir yang memiliki antusias terhadap ilmu keislaman dikirim oleh ayahnya memperdalam ilmu agama di Madrasah Salafiyah Pondok Pasantren Termas, Pacitan, Jawa Timur selama satu tahun (1942-1943).[2]
Pada tahun 1944, Azhar Basyir berhasil tamat dari Madrasah al-Falah, Kauman, Yogyakarta, kemudian mengantongi ijazah Madrasah Mubalighin III (Tabligh School) Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1945. Bulan Oktober 1946, Azhar Basyir masuk ke Madrasah Menegah Tinggi (MMT) Yogyakarta. Namun, karena situasi pada waktu itu tidak terlalu kondusif untuk belajar, Azhar Basyir tidak melanjutkan sekolahnya untuk sementara waktu. Bersama rekan-rekannya, ia ikut membantu perjuangan revolusi merebut kedaulatan bangsa. Azhar Basyir ikut mengangkat senjata melawan penjajah dan bergabung dalam kesatuan TNI Hizbullah Bataliyon 36 Yogyakarta. Azhar Basyir tidak selamanya ikut bergabung dalam pasukan TNI Hizbullah, mengingat masih ada tugas yang belum diselesaikan, yaitu sekolahnya di MMT Yogyakarta. Ia kembali ke MMT dan menyelesaikan studinya pada tahun 1952. Lulus dari MMT, Azhar Basyir melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta- sekarang Universitas Islam Negeri Yogyakarta- hingga menyelesaikan Doktoral I tahun 1956. Pada bulan Oktober 1957, ia meneruskan pendidikannya ke Fakultas Adab (Sastra) jurusan Sastra Arab Universitas Baghdad, Irak selama setahun. Kemudian pada bulan September 1958, melanjutkan ke Universiras al- Azhar Kairo, Mesir hingga meraih gelar Magister tahun 1965 dalam bidang Dirasat Islamiyah (Islamic Studies) dengan judul tesis " Nizam al-Miras fi Indonesia, Baina Urf wa asy-Syari'ah al-Islamiyah", (Sistem Warisan di Indonesia Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam).[3]
Setelah menyelesaikan jenjang magisternya, Azhar Basyir kembali ke tanah air dan langsung diangkat menjadi staf pengajar di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta, mengampu mata kuliah Pendidikan Agama Islam, Hukum Islam dan Filsafat Islam. Pada tahun 1971-1972, Azhar Basyir mengikuti pendidikan purna sarjana pada Universitas Gajah Mada. Dengan potensi keilmuannya yang mendalam, beliau kemudian diangkat sebagai staf pengajar tidak tetap di beberapa universitas, antara lain Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Muhammadiyah Malang, Program S-1 dan S-2 IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan mata kuliah Hukum Islam dan Filsafat Islam serta di Pasca Sarjana Universitas Indonesia Jakarta dengan mata kuliah Hukum Islam dan Aliran-aliran Pikiran Islam.[4]                            
Di samping mengajar, Azhar Basyir juga aktif di organisasi. Azhar Basyir hidup dan dibesarkan dalam lingkungan yang sangat kental dengan organisasi gerakan dakwah, yaitu Muhammadiyah. Sehingga dapat dikatakan bahwa Azhar Basyir merupakan saksi dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi ini. Azhar Basyir juga terlibat aktif dalam berbagai perumusan konsep-konsep mendasar Muhammadiyah, baik mengenai landasan gerak kegiatan Muhammadiyah maupun filosofi gerakan itu sendiri.[5] Hal ini tidak mengherankan, sebab sejak remaja Azhar Basyir sudah aktif membantu Majelis Tabligh Muhammadiyah. Ia merintis karirnya sebagai kurir surat, yang bertugas mengetik dan mengantarnya ke bagian sekretaris majelis. Ketika pertama kali Organisasi Pemuda Muhammadiyah berdiri pada tahun 1954, Azhar Basyir ditunjuk oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah untuk menjadi ketua dan dikukuhkan melalui Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Palembang pada tahun 1956. Jabatan ini hanya dipegangnya secara resmi selama satu tahun, mengingat ia mendapat beasiswa belajar ke Timur Tengah. Tahun 1957, jabatan itu diserahkan kepada Fachrurradji.
Meskipun telah beberapa tahun belajar di luar negeri, ia tidak meninggalkan kebiasaannya berorganisasi. Hal ini terbukti dengan konsistensinya terhadap Muhammadiyah, ketika ia menjadi orang pilihan di organisasi ini. Puncak karirnya di organisasi ini ketika Muktamar Muhammadiyah di adakan di Yogyakarta. Azhar Basyir terpilih menjadi ketua PP Muhammadiyah untuk periode 1990-1995. Saat itu terdapat pandangan umum yang bersifat dikotomis di antara peserta muktamar, sebab Azhar Basyir sering ditunjuk sebagai representasi figur ulama, walaupun tokoh ini diakui pula sebagai seorang cendekiawan muslim.[6]
Kepengurusan Muhammadiyah periode 1990-1995 merupakan era dominasi kaum intelektual produk Muhammadiyah. Azhar basyir merupakan sosok perpaduan ulama dan intelektual.[7] Beliau memiliki beberapa persyaratan formal untuk dapat disebut sebagai ulama dalam pengertian konvensional, karena latar belakang pendidikan pesantren dan keahliannya dalam hukum Islam serta kekayaan kepustakaan kitab-kitab klasik. Sementara tugasnya sebagai pengajar di Fakultas Filsafat UGM menjadikan Azhar Basyir sering berhubungan dengan teks modern. Kedua keahlian referensial tersebut membedakannya dari generasi sebelum dan sesudahnya. Oleh karena itu, era kepemimpinan Azhar Basyir yang singkat itu dapat disebut sebagai transisi era intelektualisme.[8]
Jabatan mulia sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi dan ketua PP Muhammadiyah, ternyata belum cukup untuk menggambarkan pribadi Azhar Basyir, karena masih banyak jabatan lain yang dipengangnya. Beliau terdaftar sebagai anggota tetap Akademi Fikih Islam OKI (wakil Indonesia) yang berkedudukan di Jeddah, sebagai salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat masa bakti 1990-1995, anggota Dewan Pengurus Syari'ah Bank Muamalat Indonesia, anggota MPR RI periode 1993-1998, anggota Tim Pengkajan Hukum Bidang Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan juga anggota Kelompok Pemikir Masalah-masalah Agama Islam Departemen Agama RI.[9]
Azhar Basyir juga aktif mengikuti seminar-seminar hukum Islam dalam rangka pembinaan hukum nasional dan pembinaan pendidikan hukum Islam pada perguruan-perguruan tinggi di Indonesia serta yang lebih mengejutkan adalah bahwa beliau sedang dalam taraf penyelesaian disertasi doktor di bawah bimbingan Prof.Dr.H.M.Rasyidi, yang dikerjakannya sejak tahun 1970-an. Namun, naskah-naskah tersebut masih terbengkalai karena kesibukan tugas-tugasnya. M. Amien Rais (ketua PP Muhammadiyah periode 1995-2000) menuturkan bahwa disertasi itu baru selesai sekitar 60% (enam puluh persen) dan masalah yang dibahas adalah seputar hukum yang menyangkut kesejahteraan umat (hukum ekonomi Islam). Hal ini menunjukkan bahwa Azhar Basyir merupakan tokoh ulama yang tidak hanya mempunyai dedikasi yang tinggi terhadap ilmu agama, tetapi juga serius mempelajari ilmu ekonomi, yang menyangkut kesejahteraan umat. Hampir di seluruh ruang rumahnya adalah perpustakaan pribadinya yang sebagian besar terdiri dari buku-buku fikih, ushul fikih dan buku-buku tentang pembangunan ekonomi masyarakat.[10]
Keikhlasannya mengabdi pada bangsa dan negara, organisasi, masyarakat lingkungan dan keluarga, mengantarkannya pada sebutan teladan. Dalam masa hidupnya, Azhar Basyir pernah menerima penghargaan dari Presiden Mesir Husni Mubarak dalam bidang syari'ah dan menerima Bintang Veteran dari Departemen Pertahanan dan Keamanan RI.[11]
Azhar Basyir meninggal dunia pada hari Selasa, tanggal 28 Junu 1994, pukul 04.30 WIB di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta. Sebelum meninggal, beliau sempat dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta sejak tanggal 3 Juni 1994, setelah sakit sepulang dari perjalanan ibadah haji ke tanah suci. Beliau melaksanakan ibadah haji karena ditunjuk oleh pemerintah sebagai wakil amirul haj bagi jamaah haji Indonesia. Upacara pemakamannya dihadiri oleh orang-orang penting bangsa ini, yakni DR.H. Tarmizi Taher (waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Agama RI), Prof. K.H. Alie Yafie (mantan wakil ketua MUI), ketua DPP PPP saat itu H. Ismail Hasan Metareum, K.H. AR. Fachruddin (mantan ketua PP Muhammadiyah) dan Muspida Propinsi DIY. Jenazah Allahu yarham dishalatkan di Masjid Agung Kauman Yogyakarta dengan imam DR.H. Tarmizi Taher, kemudian disemayamkan di pemakaman Karang Kajen, tempat di mana K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Ahmad Baidawi dimakamkan. Prosesi pemakaman yang berlangsung hidmat ini dipimpin oleh K.H. Alie Yafie. Masyarakat yang bertakziah berasal dari berbagai wilayah Indonesia sampai berhari-hari masih terus berdatangan. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh yang meninggal merupakan pemimpin umat yang tidak mudah dicari gantinya.[12]
Beliau wafat sebelum paripurna mengemban amanat sebagai ketua PP Muhammadiyah periode 1990-1995 dengan meninggalkan seorang istri, satu putera dan dua puteri.

B.     Sikap Hidup Ahmad Azhar Basyir

Ahmad Azhar Basyir merupakan seorang pribadi yang populis dan bisa diterima oleh semua pihak. Ia bisa menempatkan diri sebagai sosok yang memiliki integritas keilmuan yang tinggi sekaligus membuktikan konsep-konsep kehidupan Islami dalam praktek kehidupan sehari-hari. Beliau merupakan sosok yang sederhana dan memiliki obsesi menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sosial, sebagaimana kesan Abdurrahman Wahid (mantan Ketua Umum PB NU) terhadap Azhar Basyir sebagai pribadi yang senantiasa ingin menampilkan akhlak Nabi Muhammad SAW. Tidak mengherankan jika penampilan Azhar Basyir begitu sejuk, hati-hati dan rendah hati.[13]
Muhammad Syamsuddin, mengutip Harian Umum Republika, menyatakan kesannya terhadap Azhar Basyir sebagai berikut :
Ketokohan Azhar Basyir sulit dicari bandingannya di Indonesia. Hanya karena lantaran sikapnya yang low profil, maka sosok Azhar Basyir kurang begitu dikenal secara  luas. Padahal dari segi penguasaannya terhadap ilmu agama dan suri tauladan dari sikap hidupnya, Azhar Basyir ibarat sumur yang tidak pernah habis ditimba. Tanpa harus mengucapkannya secara verbal, Azhar Basyir sudah memberikan teladan yang konkrit.[14]

Azhar Basyir juga menjadi sosok ulama yang mempunyai pendirian yang teguh, baik dalam menjaga kemurnian akidah maupun kemurnian ajaran Islam secara keseluruhan. Sebagai contoh, Azhar Basyir menolak dengan tegas segala bentuk tindakan aborsi, baik ketika menjadi ketua menjadi Majelis Tarjih PP Muhammadiyah maupun saat menjadi ketua umum PP Muhammadiyah hingga wafatnya. Bahkan Azhar Basyir sempat menolak program Keluarga Berencana (KB), tetapi dalam perkembangannya pakar fikih Islam ini dapat menerima hal itu.[15]
Pengalaman Azhar Basyir bergabung dalam TNI Hizbullah Bataliyon 36 Yogyakarta, memberikan bekal kedisiplinan yang tinggi. Demikian pula ilmu hukum Islam yang sejak lama ditekuni. Oleh karena itu dalam banyak hal, narasi pikirannya sangat hati-hati sebagaimana gaya hidup dan kepemimpinannya. Sikap seperti ini ditunjukkan ketika Sidang Tanwir Surabaya 1993 hendak mengambil keputusan mengenai pokok–pokok pikiran yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan nasional. Tanpa memakai pengeras suara, ia membisikkan sesuatu kepada Amien Rais, kemudian Amien Rais dengan arif dan bijak menarik pandangannya justru pada saat sedang berlangsung perdebatan dalam proses pengambilan keputusan Sidang Tanwir tersebut.[16]
Berkaitan dengan Muhammadiyah, Azhar Basyir menyampaikan beberapa hal yang menjadi keprihatinannya. Azhar basyir sangat memprihatinkan soal niat keterlibatan seseorang dalam Muhammadiyah. Keprihatinan itu didasarkan pada kenyataan bahwa Muhammadiyah sejak lahir sampai kini penuh dengan tantangan dan ujian. Oleh karena itu, niat ikhlas mencari keridaan Allah semata-mata, harus benar-benar ada pada tiap warga dan pemimpin Muhammadiyah. Selanjutnya Azhar Basyir juga memprihatinkan kesediaan warga Muhammadiyah dalam berinfak. Beliau sangat mengharapkan agar warga Muhammadiyah bersedia meningkatkan infak fi sabilillah sesuai dengan kadar kemampuannya. Keprihatinan berikutnya adalah dalam hal waktu sidang atau rapat-rapat belum dimanfaatkan secara efisien. Beliau mengharapkan agar percakapan yang tidak ada sangkut pautnya dengan rapat untuk dikurangi.[17]
Azhar Basyir merupakan sosok pemimpin yang sangat peduli dengan tradisi silaturahmi, terutama ukhuwahnya dengan organisasi masyarakat Islam lain. K.H. Alie Yafie, mantan ketua MUI Pusat dan Rais 'Am NU mengatakan:
          Gaya pendekatan Pak Azhar kepada umat itu luwes dan sangat manusiawi. Dalam hubungan dengan organisasi Islam yang lain, Pak Azhar itu sangat rasional. Pendekatannya senantiasa berada dalam pola ukhuwah Islamiyah. Tentu Pak Azhar dalam Muhammadiyah semasa hidupnya senantiasa memprioritaskan organisasi yang beliau pimpin, tapi tidak pernah mendiskreditkan organisasi lain.[18]


DR. H. Tarmizi Taher menilai bahwa Azhar Basyir adalah orang yang sangat gigih mengupayakan ukhuwah antara ormas Islam. Selaku pribadi maupun pemimpin, Azhar Basyir telah mampu menumbuhkan ukhuwah bukan hanya di Indonesia tapi juga pada tingkat ASEAN, bahkan magister dalam Dirasat Islamiyah lulusan Universitas Kairo ini diakui secara internasional sebagai ahli fikih yang disegani. Pernyataan ini dibuktikan dengan diterimanya Azhar Basyir di Lembaga Fikih Islam Organisasi Islam Internasional yang memiliki persyaratan ketat.[19]
Selain sebagai pakar dalam bidang hukum Islam, Azhar Basyir juga menguasai ilmu filsafat. Kualitas dan cara berpikirnya dikenal tajam, selalu disertai analisa yang matang dan jelas. Selama aktifitasnya sebagai pengajar di Fakultas Filsafat UGM, yang mengenalkannya dengan pemikiran kritis, mengantarkan Azhar Basyir sampai pada upaya membuka keterjebakan umat dalam tradisi nenek moyang. Ia menyatakan bahwa keyakinan kepada adanya Tuhan harus didasarkan atas kesadaran akal, bukan sekedar bersifat tradisional, yaitu melestarikan warisan nenek moyang betapapun corak dan konsepnya.[20]
Perhatiannya yang serius terhadap umat juga diiringi akan kesetiaannya kepada keluarga. Azhar Basyir selalu konsisten memberi pendidikan agama sejak dini kepada keluarganya. Ia menyekolahkan kedua puterinya di Madrasah Muallimat Muhammadiyah yang kemudian melanjutkan ke UGM Yogyakarta. Sementara puteranya yang terakhir disekolahkan di Madrasah Muallimin dan MAN Khusus yang kemudian melanjutkan ke IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sikap ini berbeda dengan tokoh Muhammadiyah lainnya yang bangga tidak menyekolahkan putera-puterinya ke Madrasah Muallimin/ Muallimat.
Meskipun Azhar Basyir merupakan pemimpin organisasi besar di Indonesia, dalam kesehariannya beliau tetap berpenampilan sederhana, jujur dan rendah hati. Di rumah ia senantiasa memakai sarung dan menerima tamunya dengan begitu hangat dan dengan bahasa Jawa yang halus.

C.    Karya-karya Ahmad Azhar Basyir

Azhar Basyir dikenal sebagai seorang ulama syari'ah yang sangat mencintai dunia keilmuan, yang tercermin dalam agenda kegiatan intelektualnya. Waktunya banyak tersita di luar rumah karena harus memenuhi tuntutan profesi sebagai tenaga edukatif. Selain itu jabatan struktural di beberapa lembaga swasta dan organisasi keagamaan yang dipegangnya juga sangat membutuhkan banyak perhatian. Keluasan wawasannya dan penguasaannya terhadap hukum Islam terlihat dari sekian banyak karya tulis yang dihasilkannya.
Azhar Basyir merupakan salah seorang penulis buku yang produktif. Bahkan menjelang pensiunnya sebagai pegawai negeri di lingkungan UGM Yogyakarta sebagai staf pengajar di Fakultas Filsafat, ia telah meluncurkan karya terbarunya berjudul "Refleksi Atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi", dalam suatu upacara sederhana di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tanggal 15 November 1993.[21]
Karya-karya Azhar Basyir tidak hanya terbatas pada hukum Islam saja, tetapi mencakup kepada bidang-bidang yang lain, seperti ekonomi, politik, filsafat, sosial budaya dan keluarga. Azhar Basyir memang merupakan penulis buku yang produktif, tetapi tidak dalam bentuk buku secara sistematis, seperti beberapa jilid atau beberapa volume, melainkan berupa bahan-bahan perkuliahan atau tulisan lepas berbagai macam pertemuan ilmiah yang kemudian dijadikan buku oleh penerbit.[22] Karya-karya pemikirannya tersebut, baik dalam bentuk buku atau bukan, cukup untuk membuktikan integritas intelektualitasnya.
Menurut Muhammad Zahrul Anam, putera bungsunya, karya-karya Azhar Basyir yang terkemas dalam bentuk buku mencapai 32 (tiga puluh dua) buah, di samping karya-karya lain dalam format makalah maupun naskah-naskah lepas berbentuk essai ataupun konsep pidato yang belum sempat dibukukan.
Untuk lebih mengenal Azhar Basyir, berikut ini disebutkan pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam beberapa karyanya, berdasarkan bidangnya masing-masing, yaitu :
  1. Bidang Ekonomi dan Keuangan Islam
a.       Garis Besar Sistem Ekonomi Islam (1987)
b.      Keuangan Negara dan Hisbah dalam Islam (1990)
c.       Prinsip-prinsip Ekonomi Islam (1992)
d.      Pemerataan Pendapatan dalam Konsep Islam (1983)
e.       Etika Ekonomi Islam (t.t.)
  1. Bidang Hukum Islam
a.       Hukum Zakat (1987)
b.      Kawin Campur, Adopsi dan Wasiat Menurut Islam (1972)
c.       Hukum Islam tentang Riba, Utang Piutang dan Gadai (1975)
d.      Hukum Waris Islam (1985)
e.       Hukum Perkawinan Islam (1989)
f.       Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam) tahun 1988
g.      Ikhtisar Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam) tahun1982
h.      Ajaran Islam tentang Pendidikan Seks, Hidup Berumah Tangga dan     Pendidikan Anak (1986)                                        
i.        Hukum Adat Bagi Umat Islam (1983)
j.        Ikhtisar Hukum Internasional (1985)
k.      Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah (1987)
l.        Fungsi Harta Benda dan Wakaf Menurut Islam (1990)
m.    Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi (1994)
n.      Corak Lokal dalam Hukum Positif Islam di Indonesia (Sebuah Tinjauan Filosofis) tahun 1994
o.      Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan (1988)
p.      Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam Melalui Pendidikan (1993)
q.      Dimensi Moral dalam Hukum Islam (1992)
r.        Imam Syafi'i: Mujaddid Pembela as-Sunnah (19910
s.       Zakat Mutlak Diperlukan dalam Kehidupan Muslim (1993)
t.        Kedudukan Anak laki-laki dan Anak Perempuan dalam Hukum Islam (1988)
u.      Beberapa Masalah Hukum Faraidh dan Penerapannya di Indonesia (Pembahasan terhadap Makalah K.H. Ali Darakah) tahun 1987
v.      Pelajaran Fiqh: Matan Taqrib (Kitab Djinayat Kitab 'Itq) Jilid III tahun 1960/ terjemahan
w.    Pakaian Perempuan Muslimat Menurut al-Qur'an dan as-Sunnah (1992)
x.      Masalah Perbudakan dalam Islam (1950)
y.      Mekanisme Ijtihad di Kalangan Muhammadiyah (t.t.)
  1. Bidang Filsafat
a.       Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam (1984)
b.      Ushul Fiqh I (1970)
c.       Perbandingan Antara Etika Ibnu Miskawaih dan Etika Pancasila (1990)
d.      Falsafah Ibadah dalam Islam (1990)
e.       Ringkasan Sejarah Filsafat Islam (1981)
f.       Peranan Filsafat dalam Memahami Ajaran Islam (1984)
g.      Reaktualisasi Pemikiran Filsafat Islam (1988)
h.      Pemikiran Filosofis dalam Islam (1988)
  1. Bidang Politik
a.       Negara dan Pemerintahan dalam Islam (1981)
b.      Masalah Imamah dalam Filsafat Politik (1992)
  1. Bidang Ilmu Keislaman Umum
a.       Asas-asas Akidah Islam (1983)
b.      Berpuasa Untuk Meningkatkan Takwa (1987)
c.       Al-Islam I (1984)
d.      Manusia, Kenegaraan Agama dan Toleransi (1974)
e.       Idul Adha Membentuk Sumber Daya Manusia Berkualitas (1993).
f.       Ikhtisar Ilmu Musthalah Hadis (1985)            
g.      Paham Akhlak dalam Islam (1987)
h.      Citra Masyarakat Muslim (1984)
i.        Citra Manusia Muslim (1982)
j.        Refleksi Atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan      Ekonomi.[23]

D.    Pemikiran Ahmad Azhar Basyir tentang Wakaf Produktif

Konsep wakaf produktif yang ditawarkan Azhar Basyir didasarkan atas pertimbangan keprihatinannya terhadap harta-harta wakaf yang tidak dikelola dengan baik. Fungsi wakaf sebagai salah satu lembaga pembelanjaan harta yang amat dianjurkan dalam Islam dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum dimanfaatkan secara optimal. Selama ini, umat Islam di Indonesia merasa lebih mantap bila amalan wakaf itu tertuju kepada pendirian tempat-tempat ibadah, rumah sakit dan sekolah yang merupakan barang-barang pakai sehingga memerlukan pembiayaan untuk mengurusnya. Sangat jarang amalan wakaf yang berupa barang-barang menghasilkan, seperti tanah pertanian, gedung-gedung yang disewakan, uang, saham, alat-alat pertanian, alat-alat transportasi dan sebagainya.[24]
Muhammad Syamsuddin mengutip pandangan Azhar Basyir mengenai wakaf dalam suatu seminar "Masalah Tanah dan Stabilitas Politik Masa Depan", di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebagai berikut :
          Jika jiwa wakaf Umar itu kita pahami, maka adalah sangat besar artinya bagi pemerataan pendapatan, wakaf bisa dilakukan berupa barang-barang produktif di samping yang konsumtif. Mengumpulkan modal yang berkedudukan sebagai harta untuk dikembangkan dalam usaha-usaha ekonomis akan besar artinya bagi kesejahteraan hidup masyarakat.[25]
           
Sebagai seorang ahli hukum Islam dan sekaligus peminat studi filsafat, ia telah menunjukkan problematika, kendala dan arah pengembangan persoalan-persoalan di atas. Masalahnya sekarang adalah bagaimana merekonstruksi pemikiran tersebut yang sampai saat ini dianggap sebagai sebuah pemikiran yang mapan menjadi pemikiran yang lebih mapan lagi, sehingga menjadi jelas kerangka metodologisnya, sekaligus menjadikannya sebagai seperangkat pemikiran yang inspiratif dan memiliki landasan yang kokoh dari al-Qur'an dan as-Sunnah serta relevan dalam konteks ruang dan waktu.
Berikut ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran yang telah dikemukakan oleh Azhar Basyir berkaitan dengan masalah wakaf dalam Islam, yakni menukar dan menjual harta wakaf, wakaf uang dan wakaf saham pada perusahaan-perusahaan dagang. 
1.      Menukar dan Menjual Harta Wakaf
            Penukaran harta wakaf dilakukan dengan cara menjual harta wakaf semua atau sebagiannya, kemudian dengan uang penjualan itu digunakan untuk tujuan yang sama, dengan tetap menjaga semua syarat yang ditetapkan oleh wakif.[26] Pemindahtanganan harta wakaf seperti ini dilakukan ketika suatu harta wakaf sudah tidak lagi memenuhi fungsi sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam banyak kasus, harta wakaf sering dipindahtangankan. Masalahnya adalah boleh tidaknya harta wakaf dipindahtangankan. Sebagaimana diketahui bahwa itu hanya manfaatnya yang diambil dan harta asalnya tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh dihibahkan kepada orang lain. Jadi, pokok asal harta wakaf tersebut kekal.[27]
Dalil dari ketentuan tersebut adalah hadis Ibnu Umar mengenai tanah yang diperoleh Khalifah Umar bin Khattab di Khaibar, yang menyatakan bahwa :
ان شئت حبست اصلهاوتصد قت بهافتصد ق عمرانه لايباع اصلهاولايوهب ولايورث [28]

            Para ulama berbeda pendapat dalam memahami maksud hadis tersebut. Di antara mereka ada yang cenderung memahaminya secara harfiah dan ada pula yang lebih berorientasi pada hal-hal yang bersifat substansial. Sebagian pengikut Imam Malik dan sebagian pengikut Imam Syafi'i adalah yang termasuk dalam kelompok pertama. Mereka berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh diperjual belikan atau ditukarkan dan dirubah. Menurut pendapat ini, masjid atau peralatan masjid dari harta wakaf yang sudah tidak dapat digunakan, tidak boleh dijual atau ditukarkan. Menukar atau menjual harta wakaf berarti memutuskan pahala wakaf. Wakif hanya mendapat aliran pahala wakaf dari harta yang diwakafkannya, bukan dari harta lain hasil penukarannya. Oleh sebab itu, batu tembok reruntuhan dinding masjid yang dibongkar, bila tidak dapat lagi digunakan sebagai dinding, bisa difungsikan untuk kepentingan yang lain dari keperluan masjid itu dan bukan dijual.[29]
            Sebagian ulama pengikut Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa harta wakaf yang sudah tua dan hampir atau tidak dapat dimanfaatkan lagi sesuai dengan fungsinya, maka harta wakaf tersebut hendaknya dijual saja kemudian uang hasil penjualannya dibelikan barang lain yang akan mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan tujuan wakaf dan barang yang dibeli itu berkedudukan sebagai harta wakaf seperti semula. Jadi mereka berpendapat bahwa larangan menjual harta wakaf dalam hadis Umar tersebut hanyalah bagi harta wakaf yang masih dapat dimanfaatkan tanpa suatu kebutuhan.[30]
            Azhar Basyir lebih memilih pendapat yang memperbolehkan memindahtangankan harta wakaf. Beliau mengatakan bahwa amalan wakaf amat tergantung kepada dapat atau tidaknya harta wakaf dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Amalan wakaf akan bernilai ibadah bila harta wakaf benar-benar dapat memenuhi fungsi yang dituju.[31]
            Dalam hal harta wakaf mengalami berkurang, rusak atau tidak dapat memenuhi fungsinya sebagaimana dituju, maka harus dicarikan jalan keluar bagaimana agar harta wakaf itu berfungsi. Apabila untuk memenuhi fungsinya adalah dengan cara ditukar dengan harta lain, seharusnya tidak ada halangan untuk menjual harta wakaf yang sudah tidak berfungsi itu, kemudian ditukarkan dengan harta lain yang memenuhi tujuan wakaf. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
وقال موسى لاخيه هرون اخلفنى في قومى واصلح ولاتتبع سبيل المفسد ين  [32]
Ayat al-Qur'an yang tersebut di atas menyatakan bahwa membiarkan sesuatu terbengkalai tanpa tindakan pencegahan maupun perbaikan adalah sangat tidak terpuji.
            Hukum Islam mengenal prinsip maslahah (memelihara maksud syara', yaitu memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang merugikan) yang dapat menjadi pertimbangan, daripada harta wakaf dipertahankan tidak boleh dijual  tetapi berakibat harta itu tidak dapat berfungsi, maka maksud syara' akan lebih terjaga bila harta wakaf itu boleh dijual atau digantikan harta lain yang lebih mendapatkan manfaat dan kemudian harta pengganti itu dijadikan sebagai harta wakaf pengganti.[33]
2.      Wakaf Uang
Wakaf uang (wakaf tunai) sebagai aplikasi dari wakaf produktif, saat ini sudah mulai dikembangkan banyak kalangan. Pengkajian tentang wakaf uang ini tidak hanya terjadi di Universitas-universitas Islam, tetapi juga di Harvard University. Di Indonesia sendiri, wakaf uang cukup mendapat perhatian para ilmuwan dan para praktisi, yang dibuktikan dengan adanya berbagai diskusi, seminar, lokakarya dan berbagai penelitian ilmiah.[34]
Meskipun wakaf uang telah menjadi pembicara sejak lama, namun perbedaan pendapat masih terjadi di kalangan ulama mengenai keabsahan wakaf uang tersebut. Sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama, bahwa keabadian harta yang diwakafkan adalah salah satu poin yang harus dipenuhi dalam wakaf atau paling tidak harta itu dapat  bertahan lama. Menurut Mazhab Hanbali, wakaf uang tidak sah dengan alasan bahwa uang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya.[35] Al- Bakry, sebagaimana dikutip oleh Prof. Ahmad Rofiq memandang bahwa wakaf uang tidak boleh, karena dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya.[36] Pendapat seperti itu tidak berlaku untuk masa sekarang, karena uang dapat dijadikan sebagai modal usaha sehingga keutuhan nilai uang itu tidak berubah, sebagaimana yayasan usaha bagi hasil yang menggunakan uang orang lain, begitu juga dengan lembaga keuangan pemberi pinjaman uang tanpa bunga.
Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa cara mewakafkan uang menurut mazhab Hanafi adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha dengan sistem mudarabah (bagi hasil) yang keuntungannya disedekahkan kepada pihak tujuan wakaf.[37] Uang yang telah diwakafkan tersebut dapat dianggap sebagai harta bergerak yang berhubungan dengan asset tetap, sehingga bisa dikembangkan dan diambil profitnya saja untuk dibagikan atau difungsikan sebagai harta wakaf. Meskipun uang aslinya sudah berpindah, namun ganti dari uang tersebut dapat disejajarkan dengan kekalnya harta wakaf.[38]
Azhar Basyir lebih menekankan pada syarat harta yang diwakafkan itu merupakan harta yang bernilai, milik wakif dan tahan lama dipergunakan. Ia menyatakan bahwa harta wakaf dapat berupa uang yang dijadikan sebagai modal untuk usaha perdagangan, sehingga mendapatkan keuntungan. Keuntungan inilah yang disedekahkan kepada tujuan wakaf. Uang yang diwakafkan itu juga dapat digunakan untuk memberikan modal usaha kepada orang lain dan keuntungan yang didapat dibagi. Keuntungan yang menjadi bagian pemilik modal inilah yang dibagikan kepada mereka yang berhak atas harta wakaf sesuai dengan amanat wakif.
Selanjutnya Azhar Basyir mengingatkan bahwa dalam hal wakaf yang berupa modal, keamanan modal itu sendiri jangan sampai dijalankan terlalu spekulatif sehingga memungkinkan mudah habis, tetapi diperhitungkan sedemikian rupa bahwa modal itu akan berkembang mendatangkan keuntungan yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan wakaf. Dalam hal menjalankan modal yang merupakan harta wakaf itu haris diperhatikan pula ketentuan-ketentuan hukum Islam, agar jangan sampai modal itu dikembangkan dengan jalan yang bertentangan dengan hukum Islam.[39] Dalam hal wakaf, yang terpenting untuk diperhatikan adalah bahwa harta yang diwakafkan dapat dipakai dan tidak sekali pakai habis atau rusak. Uang dapat dipertahankan nilainya dan hasil dari usaha itulah yang memiliki manfaat untuk mewujudkan tujuan wakaf.
3.      Wakaf Saham Pada Perusahaan Dagang
Saham adalah surat berharga yang diperdagangkan (seperti sertifikat atau obligasi) sebagai bukti bahwa pemegangnya turut serta dalam kepemilikan modal di suatu perusahaan.[40] Saham pada hakekatnya merupakan modifikasi sistem patungan (persekutuan) modal dan kekayaan yang dalam hukum Islam dikenal dengan nama syirkah.
Saham dapat terbagi menjadi dua macam, yaitu saham yang melalui pasar modal dan saham yang tanpa melalui pasar modal. Saham yang tanpa melalui pasar modal inilah yang dipandang lebih islami dan tidak bertentangan dengan syari'ah karena nilai saham akan realistis di samping biayanya murah dan tidak berbelit-belit. Nilai penawaran saham tidak akan terjadi kelipatan harga yang ditawarkan secara berlipat ganda.[41] Sedangkan saham yang melalui pasar modal dipandang banyak mengandung aspek-aspek negatif yang ternyata sulit untuk diatasi, betapapun sejumlah peraturan telah diberlakukan. Saham di pasar modal sudah menjadi alat spekulasi dan mengandung unsur-unsur judi. Praktek-praktek usaha semacam ini bertentangan dengan prinsip Islam dan dikategorikan sebagai praktek gharar (penipuan) yang dilarang dalam hukum Islam.[42] Saham yang dapat diwakafkan adalah bentuk saham yang tidak diperdagangkan dalam pasar modal, karena sebagai amal kebajikan, salah satu syarat harta yang diwakafkan adalah memberikan kemanfaatan dari hasil yang halal dan terbebas dari unsur spekulasi dan penipuan.
Azhar Basyir mengatakan bahwa saham-saham pada perusahaan dagang dan industri dapat dijadikan sebagai harta wakaf. Keuntungan dari saham-saham tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai sumber tetap untuk membiayai harta wakaf lain yang berupa barang-barang pakai, seperti masjid, sekolah, rumah sakit dan juga untuk membiayai berbagai macam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan yang amat ruang lingkupnya.[43] Yang harus diperhatikan dalam wakaf saham ini menurut Azhar Basyir adalah bahwa perusahaan yang memegang saham itu harus dikelola secara terbuka dan tidak memproduksi barang-barang haram, seperti untuk usaha perjudian, minuman keras, perzinaan dan sebagainya.
Wakaf saham di perusahaan tersebut harus dipertimbangkan sedemikian rupa dan melewati persyaratan yang ketat. Perusahaan tidak boleh mengelola uang secara asal-asalan, karena merupakan uang umat, bahkan wakaf itu sebenarnya merupakan hak Allah. Artinya tidak boleh ada orang yang mengambil hak dari harta wakaf itu untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, wakaf harus diinvestasikan pada perusahaan yang benar, perusahaan yang berkembang dan mendatangkan keuntungan sehingga dapat dimanfaatkan untuk tujuan wakaf.[44]
Lembaga penjamin mempunyai peran yang cukup besar dalam pengembangan saham, seperti PT Danareksa yang dikelola oleh pemerintah. Perbankan syariah juga dapat ditunjuk sebagai lembaga penjamin dan berusaha untuk mencari perusahaan sebagai tempat investasi wakaf. Bank syari'ah lebih mengetahui perusahaan yang layak untuk investasi, kemudian bank ini juga menjadi jaminan uang yang diinvestasikan sehingga terhindar dari resiko kerugian.
4.      Badan Wakaf Indonesia
Di negara-negara yang telah melaksanakan wakaf secara produktif, pada umumnya memiliki badan khusus yang mengelola wakaf secara nasional. Di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Syria, Qatar, Kuwait dan Yordania, praktek perwakafan sudah berkembang luas karena didukung oleh badan wakaf yang mengelolanya. Pemanfaatannya jelas dan dalam sistem pemerintahannya diadakan suatu lembaga yang secara khusus menangani persoalan wakaf.[45]
Di Mesir, perwakafan telah diatur dengan Undang-undang dan segala persoalan yang menyangkut wakaf diselenggarakan oleh suatu kementerian sendiri, yaitu Kementerian Urusan Wakaf (Wizaratul Auqaf) sehingga telah dapat menghasilkan dana yang amat besar, yang dipergunakan untuk mengembangkan berbagai macam sektor usaha yang menyangkut kesejahteraan masyarakat.[46] Pada tahun 1971, pemerintah Mesir membentuk badan wakaf yang bertugas melakukan kerja sama dalam memeriksa tujuan peraturan-peraturan dan program-program pengembangan wakaf. Lembaga ini juga bertugas mengusut dan melaksanakan pendistribusian wakaf serta semua kegiatan perwakafan agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Badan Wakaf juga menguasai pengelolaan wakaf dan berwenang membelanjakan hasil harta wakaf dengan sebaik-baiknya.[47]
Badan Wakaf juga menitipkan harta wakaf di bank-bank Islam. Bahkan badan wakaf turut berpartisipasi mendirikan bank-bank Islam, bekerjasama dengan sejumlah perusahaan, membeli saham dan obligasi perusahaan penting dan memanfaatkan lahan kosong dari harta wakaf agar produktif. Hasil pengembangan wakaf dimanfaatkan untuk membantu kehidupan masyarakat miskin, anak yatim, mengangkat pedagang kecil dan kaum du'afa, meningkatkan kesehatan masyarakat, mendirikan rumah sakit serta menyediakan obat-obatan bagi masyarakat. Dana hasil pengembangan wakaf juga digunakan untuk mendirikan dan memelihara masjid, sekolah dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.[48]
Melihat perkembangan wakaf yang telah dikelola secara produktif seperti di Mesir tersebut, Azhar Basyir mengemukakan semangatnya untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia. Beliau mengusulkan agar Departemen Agama dapat memikirkan dibentuknya suatu Direktorat Urusan Wakaf yang akan mengelola harta wakaf sehingga benar-benar dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, jika menyangkut kepentingan sosial ekonomis.[49] Terlihat jelas bahwa wakaf dapat berkembang dengan baik dan produktif di Mesir adalah karena dikelola secara profesional oleh Badan Wakaf bentukan pemerintah. Badan Wakaf tersebut dihuni oleh orang-orang profesional dan didukung juga oleh Undang-undang.
Di Indonesia dengan dikeluarkannya UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, maka praktek perwakafan  telah memiliki landasan hukum. Dalam Undang-undang tersebut, terdapat aturan mengenai dibentuknya badan baru yaitu Badan Wakaf Indonesia. Ketentuan mengenai Badan Wakaf Indonesia diatur dalam Bab VI Pasal 47 sampai dengan Pasal 61. Badan Wakaf Indonesia merupakan sebuah lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah dengan tugas memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. Dengan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia, diharapkan agar pengelolaan dan pengembangan wakaf bisa menjadi lebih baik, karena BWI adalah badan yang memang secara khusus dibentuk untuk mengurusi harta wakaf.[50]                                 




[1]Muhammad Zahrul Anam,”Pemikiran Ahmad Azhar Basyir dalam Hukum Islam Kontemporer di Indonesia,” skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1999), hlm. 51-52.
[2]Ibid., hlm. 53.
[3]Muhammad Syamsuddin, Manusia dalam Pandangan K.H.Ahmad Azhar Basyir, MA, cet. ke-1 (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm.14.
[4]Ibid., hlm. 15.
[5]Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir (Yogyakarta: Sipress, 1996), hlm.1.
[6]Siti Awaliya Yuniarti,”Pemikiran Ahmad Azhar Basyir tentang Pemerataan Pendapatan,”skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2000), hlm. 38.  
[7]Tim Wartawan Kompas,”Para Pembawa Kendali Muhammadiyah,” dalam Nur Ahmad dan Pramono U.Tantowi (ed.), Muhammadiyah “Digugat” : Reposisi di Tengah Indonesia yang Berubah (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 204.  
[8]Abdul Munir Mulkhan,”Kepemimpinan Intelektual Muhammadiyah,” dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed.), Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru (Bandung: Mizan, 1995), hlm.65. 
[9] Muhammad Syamsuddin, Manusia dalam Pandangan, hlm. 15. 
[10]M.Abdurrahman,”Campur Tangan Negara dalam Menentukan Upah Kerja (Studi Atas Pandangan Ahmad Azhar Basyir),”skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002), hlm.29.
[11]Muhammad Syamsuddin, Manusia dalam Pandangan, hlm.16.
[12]“Setelah Pak Azhar,” Suara Muhammadiyah, Nomor 14/ 79 Tahun 1994, hlm. 6.
[13]“Mengenang Pribadi yang Mengesankan,” Suara Muhammadiyah, Nomor 15/ 79, Tahun 1994, hlm. 15.
[14]Muhammad Syamsuddin, Manusia dalam Pandangan, hlm. 18.
[15]Ibid.
[16]Abdul Munir Mulkhan,”Kepemimpinan Intelektual Muhammadiyah,” hlm. 66. 
[17]“Guru yang Diakui,” Suara Muhammadiyah, Nomor 15/ 79 Tahun 1994, hlm.15.
[18]Kita Semua Merasa Kehilangan,” Suara Muhammadiyah, Nomor 15/ 79 Tahun 1994, hlm. 19.
[19]Tim Wartawan Kompas,”Para Pembawa Kendali Muhammadiyah,” hlm. 204.
[20]Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, hlm. 11.
[21]Tim Wartawan Kompas,”Para Pembawa Kendali Muhammadiyah,” hlm. 204. 
[22]Muhammad Syamsuddin, Manusia dalam Pandangan, hlm. 18.
[23]M. Zahrul Anam,”Pemikiran Ahmad Azhar Basyir dalam Hukum Islam Kontemporer di Indonesia,” hlm.60. 
[24]Ahmad Azhar Basyir, Fungsi Harta Benda dan Wakaf Menurut Islam (Yogyakarta: Majelis Tabligh PDM, 1990), hlm. 19.
[25]Muhammad Syamsuddin, Manusia dalam Pandangan, hlm.23.
[26]Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, alih bahasa Muhyiddin Mas Rida (Jakarta: Khalifa, 2004), hlm. 255.
[27]Abdul Ghafur Anshari, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 36. 
[28] Al-Sayyid al-Imam Muhammad bin Isma'il al-Kahlani, Subul al-Salam,"Bab al-Waqf," (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1959 M/ 1182 H), II: 88, Muttafaq 'alaih, dengan lafal dari Muslim, Hadis dari Ibnu Umar.
[29]Satria Effendi Zein,"Analisis Yurisprudensi: Tentang Sengketa Tanah Wakaf," dalam Mimbar Hukum, Nomor 15 Tahun ke-5 (Jakarta: PT Internusa,1994), hlm. 71.
[30]Ibid.
[31]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, hlm. 18.
[32] Al-A'raf (7): 142.
[33]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, hlm. 18. 
[34]Uswatun Hasanah,"Uang dan Hukumnya," MODAL, Vol.1:3 (Januari, 2003), hlm. 46.
[35]Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, hlm.166. 
[36]Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: Dari Pemahaman Normatif ke Pemaknaan Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.329.  
[37]Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), X: 761.
[38]Rafieq Yunus el-Masry," Waqf Tunai (Cash Waqf) Menuju Pengembangan Wakaf Produktif," Jurnal al-Ibrah (Studi-studi Ilmu Islam), Vol.1: 1 (Medan: Pesantren al-Raudhatul Hazaña, 2003), hlm.18
[39]Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, hlm. 10.
[40]Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah  (Jakarta: CV Haji Masagung, 1994), hlm. 133.
[41]Muhammad Hasyim,"Bursa Efek dalam Konteks Pemikiran Fiqh," dalam Chuzaimah T.Yanggo dan Hafiz Anshary (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer III (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 14.
[42]Ibid., hlm. 15.
[43]Ahmad Azhar Basyir, Fungsi Harta Benda dan Wakaf Menurut Islam (Yogyakarta: Majelis Tabligh PDM, 1990), hlm. 18. 
[44]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, hlm. 10.
[45]Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, hlm.330.
[46]Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi (Bandung: Mizan, 1994), hlm.188.
[47]"Investasi Melalui Pasar Modal Sosial," MODAL, Vol. 1: 4 (Pebruari, 2003), hlm. 45.
[48]Ibid.
[49]Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, hlm.188.
[50]Ahmad Azhar Basyir, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, hlm. 56. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Biografi Ahmad Azhar Basyir dan Pemikirannya"

Post a Comment