Image1

Makalah Halal Haram Jual Beli Menurut Hukum Islam

Jual Beli dalam Islam | Pengertian Jual Beli | Hukum Jual Beli dalam Islam | Macam-macam Jual Beli menurut Hukum Islam | Macam-macam Jual Beli | Jual beli dilihat dari segi sifatnya | Jual beli dilihat dari segi harganya |
JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM
Pengertian | Sumber Hukum Jual Beli| Rukun dan Syarat| Kedukan dan Fungsi AKad | Macam-macam Jual Beli

A.    Pengertian Jual Beli

Perkataan jual beli dalam bahasa Arab disebut al-bai' ( البيع ) yang merupakan bentuk ma}sdar dari    باع   -  يبيع   -  بيعا   yang artinya menjual.[1] Sedangkan kata beli dalam bahasa Arab dikenal dengan    شراءyaitu ma}sdar dari kata شرى  -  يشري  -  شراء artinya membeli.[2] Namun pada umumnya kataبيع    sudah mencakup keduanya, dengan demikian kata بيع berarti jual tetapi sekaligus berarti beli.[3]
Sedangkan pengertian jual beli dikemukakan oleh para ulama dengan berbagai macam. Imam Taqiyuddin mengungkapkan jual beli dengan  
مقابلة مال بمال قابلين للتصرف باجاب وقبول على وجه الماذون فيه [4]

Maksudnya bahwa tukar menukar harta tersebut harus dapat dimanfaatkan dengan sesuai syara', di samping itu harus disertai dengan adanya ijab dan qab>ul.
As-Sayyid S>abiq, memberikan definisi jual beli dengan:
مقابلة مال بمال على سبيل التراضي او نقل ملك بعوض على الوجه الماذون فيه [5]

Maksudnya adalah melepaskan harta dengan mendapat harta lain berdasarkan kerelaan atau memindahkan milik dengan mendapatkan benda lain sebagai gantinya secara sukarela dan tidak bertentangan dengan syara'.
Sedangkan Hasbi as-S\iddi eqy mendefinisikan jual (menjual sesuatu) adalah memilikkan pada seseorang sesuatu barang dengan menerima dari padanya harta (harga) atas dasar kerelaan dari pihak penjual dan pihak pembeli.[6]
Dari beberapa pengertian di atas, Abdul Mujieb merumuskan definisi "al-bay", sebagai pelaksanaan akad untuk penyerahan kepemilikan suatu barang dengan menerima harta atau atas saling ridha, atau ijab dan qab>ul atas dua jenis harta yang tidak berarti berderma, atau menukar harta dengan harta bukan atas dasar tabarru'.[7]
Dengan memahami beberapa arti di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jual beli itu dapat terjadi dengan cara:
  1. Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela, dan
  2. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang diatur sah dalam lalu lintas perdagangan.[8]
Dalam cara pertama, yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela ini dapat dikatakan jual beli dalam bentuk barter (dalam pasar tradisional). Sedangkan dalam cara yang kedua, berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan. Adapun yang dimaksud dengan ganti rugi yang dapat dibenarkan berarti milik atau harta tersebut dipertukarkan dengan alat pembayaran yang sah dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan lain sebagainya.[9]

 B.     Sumber Hukum Jual Beli

Ditetapkannya jual beli sebagai salah satu cara untuk memiliki hak milik atas suatu harta kekayaan oleh seseorang adalah sesuai dengan hikmah ditetapkannya syari'at. Karena manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak hanya mengandalkan kemampuan dirinya sendiri tanpa peduli atas manusia sekitarnya, tetapi juga tergantung atas bantuan dan jasa orang lain. Di samping itu, Allah SWT menciptakan alam semesta ini dengan kesempurnaan aturan-aturan hukum yang terbaik di dalamnya, dan aturan itu tidak sempurna kecuali dengan adanya jual beli di antara mereka.[10] Beberapa ayat dan hadis dengan jelas menjelaskan kebolehan dan keabsahan jual beli sebagai salah satu cara memiliki harta secara sah dan benar, antara lain:
واحل الله البيع وحرم الربوا [11]    
واشهد وا اذا تبايعتم [12] 
يا ايها الذين امنوا لا تأكلوا ا موالكم بينكم بالباطل إلا ا ن تكون تجارة عن ترا ض منكم [13] 

ولا تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها الى الحكام لتأكلوا فريقا من اموا ل الناس بالاثم وانتم تعُلمون [14]

Beberapa hadis Nabi juga menjelaskan hal yang sama:
ان النبي صلى الله عليه وسلم سئل اي الكسب ا طيب ؟ قال عمل الرجل بيده وكل بيع المبرور[15]

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم انما البيع عن تراض[16]
التاجر الصدوق الامين مع النبيين والصديقين والشهداء فى الجنة [17]
البيعان كل واحد منهما بالخيار على صاحبه مالم يتفرقا [18]

Secara rasio dikatakan bahwa adanya pergantian atau tukar menukar yang ada dalam perjanjian jual beli itu merupakan bentuk mu'amalah yang terbaik. Karena jual beli ini dapat memelihara kepentingan orang lain dari beban mental dan pemberian secara gratis oleh orang lain. Dengan cara jual beli, maka antara pihak penjual dan pembeli atau pemberi dan penerima barang, berada dalam posisi yang sama, yaitu saling membutuhkan.
Di samping itu, kemaslahatan akan adanya jual beli itu meliputi kemaslahatan manusia sebagai individu juga kemaslahatan negara, misalnya stabilitas ekonomi dan politik negara dan tingkat kehidupan penduduknya akan semakin membaik, serta menolak timbulnya kerusakan, dalam hal ini, pihak penjual memberikan barang dagangannya kepada pihak lain (pembeli) dengan maksud mencari keuntungan (penghasilan), dan pihak pembeli bisa memenuhi kebutuhannya, sehingga kelangsungan roda pemerintahan negara dan tujuan-tujuan manusia dapat dicapai.[19]

C.    Rukun dan Syarat Jual Beli

Sebagai suatu akad, jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara'.
Dalam menentukan rukun jual beli ini, terdapat perbedaan pendapat ulama }Hanafiyah dengan ulama Jumhur. Menurut ulama }Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan q>abul yang menunjukkan adanya tukar menukar atau yang serupa dengannya dalam bentuk saling memberikan (at-}t>a'ati).[20] Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanya kerelaan kedua belah pihak untuk berjual beli.
Sedangkan rukun jual beli menurut ulama Jumhur terdiri dari:
  1. Adanya pihak-pihak yang berakad.
  2. Adanya uang dan barang.
  3. Adanya sigat akad. [21]
Di samping harus memenuhi rukun-rukun tersebut di atas, dalam transaksi jual beli juga harus memenuhi syarat-syarat yang menentukan sah dan tidaknya perjanjian jual beli tersebut. Syarat-syaratnya terdapat dalam ketiga rukun di atas yang antara lain yaitu: [22]
  1. Tentang pihak-pihak yang berakad, syarat-syaratnya:
a.       Para pihak (penjual dan pembeli) berakal
Bagi setiap orang yang hendak melakukan kegiatan tukar menukar sebagai penjual atau pembeli hendaknya memiliki pikiran yang sehat. Dengan berpikiran sehat dirinya dapat menimbang kesesuaian antara permintaan dan penawaran yang dapat menghasilkan persamaan pendapat. Maksud berakal di sini yaitu dapat membedakan atau memilih yang terbaik bagi dirinya, dan apabila salah satu pihak tidak berakal maka jual beli tersebut tidak sah.
b.      Atas kehendak sendiri
Niat penuh kerelaan yang ada bagi setiap pihak untuk melepaskan hak miliknya dan memperoleh ganti hak milik orang lain harus diciptakan dalam kondisi suka sama suka. Maksudnya adalah bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan terhadap pihak lainnya, sehingga apabila terjadi transaksi jual beli bukan atas kehendak sendiri tetapi disebabkan oleh adanya unsur paksaan, maka transaksi jual beli tersebut tidak sah.  Hal ini ditegaskan dalam ayat:
الا ان تكون تجارة عن تراض [23]
c.       Bukan pemboros (muba}zir)
Maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah orang yang pemboros, karena orang yang pemboros dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak hukum, artinya ia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri. Orang pemboros dalam perbuatan hukumnya berada dalam pengawasan walinya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT: 
ولا تؤ توا ا لسفهاء اموا لكم التى جعل الله لكم قيما وارزقوهم فيها واكسوهم وقولوا لهم قولا معروفا [24]

  1. Tentang keadaan obyek atau benda yang ditransaksikan, syarat-syaratnya adalah : [25]
a.       طهارة العين (suci barangnya)
Artinya adalah barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang dikategorikan barang najis atau diharamkan oleh syara', seperti minuman keras dan kulit binatang sebelum disamak. Larangan ini dimaksudkan untuk menghilangkan sifat materialistis manusia bahwa setiap benda bisa diperjual belikan.
b.      الا نتفاع به (dapat dimanfaatkan)
Maksudnya adalah setiap benda yang akan diperjualbelikan sifatnya dibutuhkan untuk kehidupan manusia pada umumnya. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan dilarang untuk diperjualbelikan atau ditukarkan dengan benda yang lain, karena termasuk dalam arti perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT yaitu menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, pengertian barang yang dapat dimanfaatkan ini sangat relatif, sebab pada hakekatnya seluruh barang yang dijadikan sebagai obyek jual beli adalah barang yang dapat dimanfaatkan, baik untuk dikonsumsi secara langsung ataupun tidak. Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin canggih, banyak barang yang semula dikatakan tidak bermanfaat kemudian dinilai bermanfaat, seperti sampah plastik yang didaur ulang.
c.       ملكية العاقد له  (milik orang yang melakukan akad)
Maksudnya adalah bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah dari barang tersebut atau orang yang telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut. Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah, dipandang sebagai jual beli yang batal.
d.      القدرة على ثسليمه  (dapat diserahkan)
Maksudnya adalah bahwa barang yang ditransaksikan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada saat yang telah ditentukan obyek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar ada di bawah kekuasaan pihak yang bersangkutan. Hal ini dinyatakan dalam hadis.
ولا تشتروا السمك في الماء فانه غرر [26]
e.       العلم به (dapat diketahui barangnya)
Maksudnya keberadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli, yaitu mengenai bentuk, takaran, sifat dan kualitas barang. Apabila dalam suatu transaksi keadaan barang dan jumlah harganya tidak diketahui, maka perjanjian jual beli tersebut tidak sah karena perjanjian tersebut mengandung unsur penipuan (garar). Hal ini sangat perlu untuk menghindari timbulnya peristiwa hukum lain setelah terjadi perikatan. Misalnya dari akad yang terjadi kemungkinan timbul kerugian di pihak pembeli atau adanya cacat yang tersembunyi dari barang yang dibelinya.
f.        كون المبيع مقبوضا (barang yang ditransaksikan ada di tangan)
Maksudnya bahwa obyek akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan. Penjualan atas barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana diperjanjikan.[27]
  1. Tentang Sigat Akad (ijab dan qab>ul)
Ijab dan qabul merupakan bentuk pernyataan (serah terima) dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Dalam hal ini Ahmad Azhar Basyir telah menetapkan kriteria yang terdapat dalam ijab dan qabul, yaitu:
a.       Ijab dan qab>ul harus dinyatakan oleh orang yang sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz, yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, sehingga ucapannya itu benar-benar merupakan pernyataan isi hatinya. Dengan kata lain, ijab dan qab>ul harus keluar dari orang yang cukup melakukan tindakan hukum.
b.      Ijab dan qab>ul harus tertuju pada suatu obyek yang merupakan obyek akad.
c.       Ijab dan qab>ul harus berhubungan langsung dalam suatu majlis, apabila kedua belah pihak sama-sama hadir atau sekurang-kurangnya dalam majelis diketahui ada ijab oleh pihak yang tidak hadir. [28]
Ijab dan qab>ul (sigat akad) dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu:
a.       Secara lisan, yaitu dengan menggunakan bahasa atau perkataan apapun asalkan dapat dimengerti oleh masing-masing pihak yang berakad.
b.      Dengan tulisan, yaitu akad yang dilakukan dengan tulisan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila orang yang berakad tidak berada dalam satu majlis atau orang yang berakad salah satu dari keduanya tidak dapat berbicara.
c.       Dengan isyarat, yaitu suatu akad yang dilakukan dengan bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak yang berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila salah satu atau kedua belah pihak yang berakad tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis. [29]
Mengingat posisi akad demikian pentingnya, maka unsur yang paling asasi dalam akad adalah adanya suka sama suka atau kerelaan. Sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT :
يا ايها الذين امنوا لا تأكلوا ا موالكم بينكم بالباطل إلا ا ن تكون تجارة عن ترا ض منكم [30]

d.      Menurut Ahmad Azhar Basyir, adanya beberapa hal yang dipandang dapat merusakkan akad, yaitu adanya paksaan, adanya penipuan atau pemalsuan, adanya kekeliruan dan adanya tipu muslihat.[31]
Suatu akad jual beli dapat dikatakan mengandung unsur penipuan apabila penjual menyembunyikan aib terhadap barang dagangannya agar tidak tampak seperti sebenarnya, atau dengan maksud untuk memperoleh keuntungan harga yang lebih besar. Penipuan itu dapat terjadi dengan dua macam cara, yaitu penipuan yang dilakukan dalam suatu harga atau disebut dengan penipuan yang bersifat ucapan dan penipuan yang terdapat dalam sifat suatu barang atau disebut dengan penipuan yang bersifat perbuatan.
e.       Kejujuran dan kebenaran dalam jual beli merupakan nilai yang terpenting. Sehubungan dengan ini, maka sikap mengeksploitasi orang lain dan menjahili atau membuat pernyataan palsu merupakan perbuatan yang dilarang.[32] Hadis Nabi Saw:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الحصاة و عن بيع الغرر[33]

Hadis di atas memberi pengertian bahwa segala bentuk jual beli yang mengandung unsur adanya tipuan, maka hukumnya dilarang, karena dalam jual beli tersebut tidak berterus terang tentang kondisi barang yang terkena cacat. Apabila penjual mengetahui bahwa dalam barang dagangannya tersebut mengandung cacat, maka harus menjelaskan sifat-sifat tersebut kepada pembeli.
Hadis Nabi Saw:

االمسلم اخوا المسلم ولا يحل لمسلم باع من اخيه بيعا فيه عيب الا بينه له [34]

 D.    Kedudukan dan Fungsi Akad

Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qab>ul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya.[35] Akad yang dilakukan antara penjual dan pembeli dengan jalan suka sama suka  dapat menimbulkan suatu kewajiban di antara masing-masing pihak yang berakad. Pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan barangnya dan bagi pembeli berhak menerima barang yang telah dibelinya. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan adanya suka sama suka antara kedua belah pihak yang bertransaksi .
Pada dasarnya akad merupakan persetujuan terjadinya perikatan. Hal ini juga mencakup segala tindakan orang yang melakukan dengan niat dan keinginan yang kuat, meskipun hanya merupakan tindakan yang dilaksanakan oleh salah satu pihak, misalnya wakaf, hibah dan sebagainya.
Jika akad telah berlangsung dan terpenuhi segala rukun dan persyaratannya, maka akibat dari adanya akad tersebut adalah pemilik barang (penjual) memindahkan barangnya kepada pihak pembeli dan pembeli menyerahkan uangnya kepada penjual dengan ketentuan harga yang telah disepakati. 
Dengan demikian kedudukan akad adalah sebagai syarat sahnya jual beli dan berfungsi sebagai pemindahan hak milik dari satu pihak ke pihak yang lain.

E.     Macam-macam Jual Beli

Selagi manusia itu masih hidup dan bermasyarakat serta masih berhubungan dengan orang lain akan selalu mengadakan transaksi jual beli dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya. Seiring dengan kebutuhan manusia yang bermacam–macam, baik kecil maupun besar, bersifat rutin maupun insidental, maka jual beli juga bermacam-macam :
1.      Jual beli dilihat dari segi sifatnya :
a.       Jual beli yang sah
Yaitu jual beli yang dibenarkan oleh syara’ dan telah memenuhi segala rukun dan syaratnya, baik yang berkaitan dengan orang yang mengadakan transaksi, obyek transaksi serta ijab dan qab>ul.
b.      Jual beli yang batal
Yaitu jual beli yang seluruh atau salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli yang menurut asalnya tidak dibenarkan oleh syara’, seperti transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil atau jual beli barang haram. Termasuk dalam jual beli yang batal ini, antara lain :
§  Jual beli sesuatu yang tidak ada pada penjual
§  Memperjualbelikan suatu barang yang tidak dapat  diserahterimakan dari penjual kepada pembeli
§  Menjual benda-benda yang hilang, seperti lepas dari peliharaan
§  Jual beli yang mengandung unsur penipuan
§  Jual beli benda najis, seperti jual beli babi, khamr, bangkai, anjing dan lain sebagainya
§  Jual beli yang menjadi milik umum seperti, air sungai, danau dan laut.
c.       Jual beli yang fasid.
Ulama }Hanafiah membedakan antara  jual beli yang fasid dan jual beli yang batal. Apabila dalam jual beli tersebut terkait dengan barang yang diperjualbelikan, maka hukumnya batil, seperti jual beli barang-barang yang haram diperjual belikan. Tetapi jika kerusakan tersebut terkait dengan harga barang dan bisa diperbaiki, maka hukumnya jual beli fasid.
Di samping beberapa bentuk jual beli yang telah disebut di atas terdapat juga pembagian jual beli yang lain, yaitu:[36] 
a.       Jual beli yang sah tetapi dilarang
Yaitu jual beli yang tidak diijinkan oleh syariat Islam karena ada alasan-alasan tertentu, seperti:
§  Menyakiti kepada salah satu pihak atau orang lain yang terlibat dalam jual beli tertentu.
§  Menyempitkan gerakan pasaran
§  Merusak ketentraman umum
b.      Jual beli yang boleh tapi terlarang, antara lain:
§  Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar, padahal si pembeli tidak menginginkan barang tersebut, tetapi semata-mata bertujuan supaya orang lain tidak membeli barang tersebut.
§  Membeli barang yang sudah dibeli orang lain atau sudah ditawar orang lain yang masih dalam masa khiyar.
§  Membeli barang dari orang yang datang dari luar kota sebelum sampai di pasar dan mereka belum mengetahui harga yang ada di pasar.
§  Membeli barang untuk ditahan dan dijual kembali pada saat-saat tertentu dengan harga yang lebih mahal, padahal masyarakat umum berhajat terhadap barang tersebut.
§  Jual beli yang sifatnya membohongi, yakni jual beli yang mengandung unsur kebohongan, baik di pihak penjual maupun pembeli, yang terdapat dalam barang dan ukurannya
2.      Jual beli dilihat dari segi harganya
a.       Jual beli musamah, yaitu jual beli yang sepadan antara barang dan harganya
b.      Jual beli tauliyah, yaitu jual beli yang langsung terlaksana yaitu jual beli ada uang ada barang.
c.       Jual beli mur>aba}ha}h, yaitu jual beli yang dilakukan dengan menyebut barang dan yang dilakukan dengan mengambil sedikit keuntungan.
d.      Jual beli wad>i’ah, yaitu jual beli barang yang harganya lebih rendah dibandingkan dengan harga pembelian barang tersebut.[37]


Referensi



[1] A.W. Munawir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet. XIV (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 124.
[2] Ibid.
[3] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 1996), hlm. 827.
[4] Taqiyuddin Abu Bakar al-H{usaini, Kif>ayatul Akhy>ar (Semarang, Toha Putra, t.t), hlm. 239.
[5]  As-Sayyid S>abiq, Fiqh as-Sunnah, cet.  IV  (Beirut: D>ar al-Fikri, 1983), III: 126.
[6] Hasbi as-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1952),         hlm. 360.
[7]  M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh, cet. II (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),   hlm. 34.
[8] Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta:  Sinar Grafika, 1994), hlm. 33.
[9]   Ibid., hlm. 34.
[10] Kamil Musa, A}hkam Mu'amalah, cet. III (Beirut: Mu'assasah ar-Ris>alah, 1994), hlm. 234.
[11]Al-Baqarah (2) : 188.
[12]Al-Baqarah (2) : 275.
[13] An-Nis>a' (4) : 29.
[14] Al-Baqarah (2) : 282.
[15] As-San'ani, Subul as-Sal>am:  Kitab al-Buyu’, (Beirut: D>ar al-Kutub al-Ilmiah, tt.),       III: 4.
[16] Ibn M>ajah, Sunan ibn M>ajah, (Beirut, D>ar al-Fikr, t.t. ), hlm. 15, H.R, Ibn Majah dari Abdul Aziz bin Mu}hammad dari Daud bin Salih al-Madani.
[17]At-Tirmi}zi, al-Jami' as-}Sa}h>i}h: Kitabul Buyu', (Beirut: D>ar al-Fikr, t.t. ), hlm. 515, H.R. at-Tirmidzi dari Abu Said.
[18] As-San'ani, Subul as-Salam, hlm. 33, H.R. Muslim dari Ibnu Umar.
[19]  Kamil Musa, A}hkam Mu'amalah…, hlm. 238.
[20]  Wahbah az- Zuhaili, al-Fiqh al-Isl>am wa Adillatuhu, (ttp.: D>ar al-Fikr, t.t), IV:347. 
[21]  Ibid.
[22] R. Abdul Djamil, Hukum Islam: Asas-asas Hukum Islam, cet. I (Bandung: Mandar Maju,1992), hlm. 141-142.
[23]   An-Nis>a (4) : 29.
[24]  An-Nis>a (4): 5..
[25] As-Sayid S>abiq, Fiqh as-Sunnah,  hlm. 129.
[26] at-Tirmi}zi, al-Jami’ as-}Sa}}h>i}h, kitab al-Buyu (Beirut: D>ar al-Fikr, tt.), III: 125. hadis riwayat at-Tirmizi dari Abu Said al-Khudri. 
[27] Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian, hlm. 37-40.
[28]   Ahmad Zahar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, hlm. 43. 
[29]Ibid., hlm. 66.   
[30] An-Nis>a (4) : 29. 
[31] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah,  hlm. 66.             
[32] Muhammad Nejatullah Abu Bakar, Kegiatan Ekonomi dalam Islam, Alih Bahasa Anas Sidiq, (Jakarta:  Bumi Aksara, 1991), hlm. 56.
[33] Imam Muslim, }Sa}h>i}h Muslim, Kitab al-Buyu’ (Beirut: D>ar al-Fikr, 1992), II: 4. Hadis dari Abu Bakar Ibn Abi Syaibah.   
[34] Ibn Majah, Sunan Ibn M>ajah, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakauhu, t.t.), VI: 755. hadis dari Muhammad bin Basyar dari Wa}hab bin Jarir.
[35] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah,  hlm.43.
[36] Nazar Bakri, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, cet. I (Jakarta:Raja Grafindo,1994), hlm.62.
[37] Ali Khafif, A}hkam al-Mu'amalah asy-Syar’iyyah, t.t, hlm.174.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Halal Haram Jual Beli Menurut Hukum Islam"

Post a Comment