Makalah Biografi Fatima Mernissi dan Pemikirannya
Biografi Fatima Mernissi dan Pemikirannya | Profil Fatima Mernissi
A. Biografi dan Aktifitas Keilmuan Fatima Mernissi
Fatima termasuk murid yang
pintar, kreatif dan penuh gairah amat terguncang perasaannya mendengar hadist
yang menyudutkan kaumnya khususnya dirinya sendiri. Secara emosional, ia
berusaha menghilangkan ingatan tentang materi hadist dengan cara tidak
mengulangnya sama sekali, pada kenyataannya
justru kekritisan Fatima semakin
menonjol seiring dengan munculnya banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam
dirinya. Sosok Nabi Muhammad saw. yang dianggapnya penuh kasih sayang dan lemah
lembut, mana mungkin bersabda demikian sehingga menyakiti hatinya. Demikianlah
ketidakpercayaan Fatima terhadap kebenaran
hadist tersebut.
Surat
dalam al-Qur’an yang disebut dengan “kaum perempuan” (al-Nisa’) menjelaskan
dengan cara yang adil pembagian harta warisan yang harus diberikan kepada
masing-masing individu, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut surat tersebut, kaum
perempuan tidak hanya dibiarkan begitu saja menjadi sesuatu yang bisa
diwariskan seperti harta benda, tetapi kaum perempuan itu memiliki suatu hak
waris individu. ”laki-laki memiliki bagian warisan dari peninggalan orang tua
dan saudara-saudaranya; dan perempuan juga memiliki bagian warisan dari
peninggalan orang tua dan saudara-saudaranya; baik kecil maupun besar bagian
mereka tersebut, itu merupakan bagian mereka yang sah secara hukum.[34]
Sebagaimana firman Allah SWT.:
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN DAN FATIMA MERNISSI
A. Biografi dan Aktifitas Keilmuan Fatima Mernissi
Fatima Mernissi dilahirkan di Fez atau Qaawiyin pada tahun 1941, salah satu
wilayah di Maroko.[1] Adapun
perkembangan Fatima Mernissi dapat dikategorikan dalam empat fase, yaitu masa
kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa perkenalan dengan dunia Barat.
Perjalanan dan perkembangan hidup Fatima Mernissi
telah mengalami masa pergesekan sejak masa kanak-kanak, tarikan-tarikan
tersebut terjadi antara pendekatan keislaman. Visi keluarganya yang diwakili
bibinya dengan pendekatan keislaman melalui pendekatan formal. Pengalaman di
masa kecil yang kemudian mempengaruhi corak berfikir Fatima
ketika menginjak usia dewasa dan dalam nuansa pendidikan yang berbeda begitu
pula tampilan pemahamannya tentang Islam terutama tentang relasi laki-laki dan
perempuan dalam bidang sosial politik, sudah sangat berbeda dengan masa ketika
dia kanak-kanak. Kalau pada masa kanak-kanak nuansa emosional dan
subyektifitasnya sangat kelihatan, tetapi menginjak usia dewasa nuansa ilmiah
dan obyektifitasnya serta penguatan data-data sejarah semakin menonjol.[2]
Untuk mengekspresikan tarik menarik pada masa
kanak-kanaknya Fatima mengungkapkan :
“Selama masa kanak-kanak, saya
memiliki hubungan yang ambivalen dengan al-Qur’an. Di sekolah al-Qur’an, kami
diajar dengan cara yang keras. Namun bagi pikiran kanak-kanak saya hanya
keindahan rekaan Islam versi nenek saya yang buta huruf, Lalla Yasmina, yang
telah membuka pintu menuju suatu agama yang puitis.[3]”
Sekolah yang dimaksud Fatima
adalah sekolah tradisional yang didirikan oleh kaum nasionalis Maroko, di
sekolah inilah Fatima Mernissi mendapatkan pendidikan pertamanya. Fatima menggambarkan keterkekangannya dalam sekolah
Al-qur’an, setiap kali ada kesalahan dalam melafalkan ayat-ayat, maka paling
sedikit akan mendapat hukuman beserta bentakan. Al-qur’an harus dibaca persis
sama ketika kitab ini diturunkan dari syurga. Maka dalam setiap kesalahan
tertentu tak jarang disertai pukulan yang dilakukan oleh Muhammadiyah atau
pelajar yang lebih tua.
Sikap kritis Fatima Mernissi telah muncul sejak masa remaja.
Hal ini tersirat dari kritiknya terhadap salah seorang guru di sekolah
pertamanya, yaitu Laila Faqiha yang lebih menekankan pelafalan dan penulisan
teks-teks tanpa memahami maknanya, sehingga metode pengajaran Islam semacam ini
justru memalingkan konsentrasi Fatima.
Menginjak usia dewasa, sistem dan materi pendidikan telah
mengalami perubahan. Musik al-qur’an yang selalu mengiringi hari-harinya di masa
remaja seolah meredup, di sekolah menengah, mulai diajarkan pelajaran sejarah
yang dimulai dengan pengenalan as-sunnah.[4] Di
sekolah inilah ia diperkenalkan dengan berbagai macam hadist-hadist Nabi
termasuk hadist tentang batalnya sholat seseorang apabila disela anjing,
keledai dan perempuan.
Sementara Fatima melihat berbeda dengan wanita Barat.
Menurutnya, meskipun agama Kristen atau Yahudi tidak memainkan peran dalam
menggalakkan persamaan hak antara jenis kelamin, namun jutaan wanita Yahudi dan
Kristen sekarang ini menikmati fasilitas ganda, yaitu hak asasi penuh. Di satu
pihak dan akses kepada tradisi keagamaan yang bersifat inspiratif di lain pihak
sebagai seorang wanita Arab yang secara khusus terpesona oleh cara di mana
orang-orang di dunia modern mengelola dan mengintegrasikan masa lampau mereka,
Fatima senantiasa memperoleh kejutan ketika mengunjungi Eropa dan Amerika yang
menjual diri mereka sebagai masyarakat supra modern, karena Fatima menemukan
betapa agama Yahudi dan Kristen bisa menemukan iklim budaya mereka.
Sesungguhnya mungkin mereka sendiri tidak menyadarinya tetapi bagi seorang
pengamat luar, Eropa dan Amerika secara khusus kaya dengan pengaruh, dongeng,
kisah serta tradisi keagamaan.[5]
Persentuhan Fatima dengan
dunia Barat ini yang akan mempengaruhi daya kritisnya terhadap teks-teks
klasik di era kontemporer. Daya kritis yang masih bersinggungan dengan cara
berfikir seorang politikus, yaitu adanya kepentingan kelompok tertentu di balik
interpretasinya terhadap teks, cara berfikir seperti ini adalah wajar bagi Fatima karena kondisi sosial dan pendidikan yang
diterimanya memberikan legitimasi. [6]
B.
Karya-karya Fatima Mernissi
Fatima Mernissi aktif menulis baik dalam bentuk buku
maupun artikel, di antara buku-bukunya adalah: 1) Beyond The Veil Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society, 2)
Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, 3) The Veil and The
Male Elite, 4) The Forgotten Queens of Islam, 5) Islam and Democracy Fear of
The Modern Wordl, 6) Doing Daily battle: Interviews With Moroccan Women, 7)
Women’s Rebellion & Islamic Memory.
Sedangkan yang berbentuk artikel antara lain: 1) Virginity and Patriarchy, yang disunting oleh Azizah al-Habri dalam
bukunya Women and Islam, 2) Zhor’s
World: A Moroccan Domestic Worker Speak Out, 3) Women and The Impact of
Capitalist Development in Marocco, 4) Le morocco Reconte par Ses Femmes
(Esposito, 1995: 94).
C.
Situasi Sosial-Politik Pada Masa
Fatima Mernissi
Tiga fase perkembangan karakter Fatima Mernissi tidak
bisa dilepaskan dari keadaan sosial dan politik bangsanya.[7]
Maroko tempat kelahiran Fatima Mernissi merupakan Negara bekas jajahan
Perancis.
Semasa remajanya, Fatima
sudah aktif dalam menentang kolonialisme tersebut, setidaknya suasana ini
memiliki relevansi dan kecenderungannya terhadap persoalan-persoalan politik.
Bahkan secara formal ia pernah memperoleh pendidikan di bidang sosial politik.
Maroko merupakan Negara yang didominasi oleh Islam,
terhitung sejak awal tahun 1920-an, kelompok orang-orang Maroko setuju perlunya
menggiatkan kembali kehidupan agama Islam untuk memperbaiki kehidupan agama
Islam untuk memperbaiki kehidupan masyarakat mereka sebagai satu kesatuan
sehingga didirikanlah sekolah gratis di Fez, Rabat , dan Tetouan. Sekolah ini mengalami
kemajuan yang pesat yang diilhami oleh cita-cita salafiah dan semangat kejayaan
Islam masa silam.[8] Sekolah
inilah yang akhirnya menjadi kekuatan bagi kebangkitan tradisi Islam di Maroko
baik dalam proses sosial maupun politik.
Dominasi umat Islam dalam percaturan politik Maroko
setidaknya didasari oleh tiga faktor: pertama, setelah Maroko memperoleh
kemerdekaan dan kedaulatannya sangat tentram, karena hanya Islam ideologi yang
bisa menjembatani adanya gap Arab dan Barbar. Kedua, secara geografis,
letak Maroko di dunia Islam jauh dari pengaruh Barat. Artinya, konsep jihad
merupakan kekuatan yang mendasar dalam memperjuangkan kepentingan Negara.
Ketiga, karakter keagamaan dalam Negara yang berbentuk kerajaan selalu
diidentifikasikan dengan Islam. Hal in terjadi sejak dinasti Idris sebagai
dinasti Islam pertama. Kerajaan selalu menjadikan agama sebagai legitimasi
kerajaan.[9]
Di Maroko terdapat pembagian–pembagian kelas dan
inflasi yang terus menerus, laki-laki yang menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk membahas masalah-masalah ekonomi yang benar-benar tidak terpecahkan.[10]
Gambaran tentang kejantanan, keperkasaan patriarkhal memaksanya untuk memandang
dirinya bertanggung jawab untuk menyadarkan kebutuhan-kebutuhannya sendiri,
istri-istri dan anak-anaknya, pada sisi lain sebagaian besar laki-laki tidak
pernah berhasil menemukan pekerjaan tetap dan mantap, sehingga yang terjadi
adalah para perempuan terpaksa mencari pekerjaan sambilan di luar rumah jika
mereka tetap ingin survive.[11]
Dengan demikian tercipta kesenjangan antara kenyataan hidup sehari-hari dengan
pandangan-pandangan dan gambaran-gambaran yang telah menjadi asumsi dalam benak
dan pikiran mereka. Ini adalah sebuah anomi merupakan sebuah kebingungan yang
lebih dari sekedar tidak adanya norma-norma. Anomi terjadi jika sistem moral
yang telah berlaku selama berabad-abad terguncang dan gagal menjawab
kondisi-kondisi baru dalam kehidupan manusia, disertai tidak adanya suatu sitem
baru yang terbentuk untuk menggantikan sistem sebelumnya.[12]
Sistem pendidikan yang diwarnai oleh gerakan salafi
telah mempengaruhi sistem sosial di Maroko. Di mana masyarakat Maroko dengan
ketundukannya terhadap teks-teks keagamaan secara tekstual sangat menonjol,
sebagaimana terlihat ketika Fatima Mernissi bertanya dan berdialog dengan
seorang pedagang sayur tentang apakah bisa seorang perempuan menjadi pemimpin
kaum Muslimin”Na’udzu billahi min dzalik” jawab pedagang sayur dengan
kagetnya.[13]
Begitu pula, perempuan sekelilingnya menampakkan
kejijikan dan ketidaksetujuannya atas anggapan tersebut, hal ini terjadi karena
memang ada landasan normatifnya, sebuah hadist Nabi yang sempat dipakai untuk
menyerang Fatima Mernissi yang berbunyi “suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada seorang perempuan tidak akan memperoleh kemakmuran.[14]
Di Maroko dialog ini merupakan barometer opini masyarakat tentang perempuan
dalam struktur sosial.[15]
D. Pandangan Fatima Mernissi Tentang Kedudukan Perempuan dalam
Islam
1. Kedudukan Perempuan Di
Wilayah Publik
a.
Peran Perempuan Dalam Politik
Dalam pandangan sejarawan Muslim kontemporer sejarah
abad pertengahan selalu diklaim sebagai model dan landasan pengabsah bagi
segala kehendak politik. Kaum wanita dipandang sebagai kelompok pasif secara
politik dan dikucilkan dari masyarakat di mana mereka hidup. Dalam hal ini
terjadi dua aliran pemikiran, di satu pihak mengakui hak politik perempuan dan
pihak lain menolaknya. Namun secara empiris, sejarah kaum Muslim telah
membuktikan kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa terdapat wanita yang
menjadi pemimpin di berbagai Negara Muslim, dan khutbah dibacakan atas namanya.
Pernah juga uang logam dicetak dan bergambar diri dan gelar mereka.[16]
Pada tahun 1988, setelah sebelas tahun berada dibawah
rezim dictatorial, pemilihan umum diadakan. Hasilnya, seorang perempuan,
Benazir Bhutto, terpilih menjadi perdana menteri. Peristiwa ini memaksa dunia Muslim
untuk menggelar perdebatan tentang isu kontroversial yang oleh kebanyakan
penguasa agama lebih suka untuk dibiarkan mengambang.[17]
Satu-satunya hal baru dalam perdebatan yang berdebatan yang berlangsung sejak
januari 1989 itu adalah, hak perempuan untuk memegang jabatan publik, termasuk
di dalamnya sebagai kepala pemerintahan, telah dibela oleh seorang pemuka agama,
syeikh Ghazali.[18] Menurut
Fatima, tokoh inilah yang memporak-porandakan konservatisme dunia muslim segera
setelah bukunya As-Sunna an Nabawiyya
(Tradisi Nabi) terbit .Buku itu menyentak karena dewasa ini jarang sekali kita
saksikan sesuatu kelaziman yang dianggap sebagai tradisi di awal kebangkitan
Islam, bahwa para pemuka agama merupakan tokoh-tokoh yang sibuk menentang
ketidakadilan dan kelaliman.[19]
Al-Ghazali telah mendukung hak-hak perempuan untuk
berkiprah dalam masyarakat dengan memberikan kritik hebat terhadap hadist yang
melarang kaum perempuan untuk menduduki kepemimpinan negara.
Al-Ghazali melandasi argumentasinya dengan ayat ke 23 surat ke-27 yang
menguraikan tentang Ratu Shaba ;[20]
Al-Qur’an adalah kitab suci yang didasarkan pada wahyu,
oleh karenanya lebih superior (tinggi tingkatannya) jika dibandingkan dengan
hadist yang merupakan kata-kata manusia biasa. Yakni, pelaporan para sahabat
nabi yang dianggap mengetahui perbuatan-perbuatan dan kata-kata Nabi dengan
sebaik-baiknya kekuasaan yang telah ia pegang untuk membimbing rakyatnya agar
patuh kepada raja Sulaiman. Oleh karena
itu, ia merupakan model peranan yang amat positif dari seorang perempuan
menjadi kepala negara. Selanjutnya al-Ghazali menyatakan bahwa al-qur’an
sebagai kalam ilahi lebih tinggi derajatnya dari hadist yang manapun. Oleh
karenanya setiap pertentangan antara keduanya harus diselesaikan dengan
memprioritaskan kepada tingkat kesakralan yang lebih tinggi. Akibatnya, seperti
dalam kasus ini, setiap hadist yang menentang hak-hak perempuan untuk berkuasa
dianggap usang oleh Serangkaian ayat yang menguraikan tentang kebijaksanaan Ratu
Shaba .”saya
berulang kali menyatakan bahwa saya bukan seorang penggemar (fans) yang memberikan
kedudukan istimewa kepada perempuan. Apa yang memprihatinkan dalam hal ini
adalah penjelasan mengenai suatu hadist yang masuk dalam kumpulan hadist tapi
kontradiksi total dengan al-Qur’an”[22]
b.
Peran Perempuan Dalam Mencari
Nafkah
Murtadho Muthahari membagi nafkah menjadi tiga jenis,
jenis yang pertama ialah nafkah yang harus dikeluarkan oleh si pemilik atas apa
yang dimilikinya. Pembelanjaan yang dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki
hewan termasuk dalam golongan ini.[23]
Jenis nafkah yang kedua adalah pemberian nafkah oleh
seorang suami kepada anak-anaknya ketika anak-anak itu belum dewasa dan belum
mempunyai penghasilan, atau nafkah yang dikeluarkan oleh seseorang untuk ayah
dan ibunya ketika mereka membutuhkannya. Nafkah ini tergantung kepada ketidakmampuan
orang yang wajib dinafkahi.[24]
Jenis nafkah yang ketiga adalah nafkah yang diberikan
seorang pria (suami) kepada isterinya. Adalah kewajiban suami untuk menyediakan
belanja pribadi isterinya, dan si isteri tidak berkewajiban akan hal itu.
Murtdha Muthahari mengatakan bahwa nafkah merupakan salah satu keuntungan
finansial yang dimiliki seorang perempuan (isteri). [25]
Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja dan
memiliki profesi di luar rumah sepanjang pekerjaannya di luar rumah tersebut
tidak mengganggu tugas-tugas rumah tangganya atau menurunkan martabatnya.
Sebaliknya, Islam malah memberikan hak kepada perempuan untuk memegang sebuah
profesi dan melibatkan diri secara aktif dalam perniagaan dan perdagangan.[26]
Bekerja bagi perempuan yang menjadi istri dalam rumah
tangga adalah dalam rangka saling membantu, terutama saling menghidupi anak
ketika salah satu meninggal dunia terlebih dahulu.[27]
Secara global, Islam mengakui eksistensi perempuan.
Kaitannya dengan pengakuan tersebut, Islam mengangkat derajat dan martabat
perempuan dengan memberikan kebebasan dan mengakui karakteristik perempuan
serta menghormati hak-haknya.[28]
2. Kedudukan Perempuan Di
Wilayah Domestik
a.
Kedudukan Perempuan Sebagai Isteri
Dalam budaya patrialkal, perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dipandang sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin. Tugas
perempuan di dapur, berhias untuk suami dan mengasuh anak serta pekerjaan
domestik lainnya merupakan konsekuensi dari jenis kelamin. Sehingga tugas
perempuan tersebut bersifat abadi sebagaimana keabadian identitas jenis kelamin
yang melekat pada dirinya. Pemahaman ini berawal dari kerancuan paradigma tentang gender difference dan sex
differences. Sesungguhnya gender dan seks itu berbeda, gender digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari aspek sosial dan
budaya. Sementara perbedaan seks digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
antara laki-laki dan perempuan secara anatomis atau biologis. [29]
Seorang isteri digambarkan oleh Al-Qur’an sebagai
busana bagi suami, dan begitu juga sebaliknya suami digambarkan sebagai busana
untuk sang isteri.[30] Allah
berfirman:
Hal
ini mengindikasikan bahwa suami dan isteri memiliki hubungan yang sangat dekat.
Masing-masing dari keduanya harus sama-sama memberikan dorongan yang
positif untuk menciptakan suasana rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Al-Qur’an juga memerintahkan untuk
memperlakukan wanita dengan baik. [32]
b.
Kedudukan Perempuan Dalam Hukum
Waris
Islam menunjukkan pentingnya kesejahteraan bagi
perempuan sehingga mereka berhak untuk mendapat waris. Hal ini merupakan
perubahan yang mendasar pada masa sebelum Islam, karena waktu itu perempuan
tidak berhak menerima warisan.[33]
ولكم نصف ما ترك
أزواجكم إن لم يكن لهن ولد فإن كان لهن ولد فلكم الربع مما تركن من بعد وصية يوصين
بها أو دين ولهن الربع مما تركتم إن لم يكن لكم ولد فإن كان لكم ولد فلهن الثمن
مما تركتم من بعد وصية توصون بها أو دين وإن كان رجل يورث كلالة أو امرأة وله أخ
أو أخت فلكل واحد منهما السدس فإن كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء في الثلث من بعد
وصية يوصى بها أو دين غير مضار وصية من الله والله عليم حليم[35]
Ayat tentang pembagian warisan harus dibaca sebagai
proses awal menuju kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, sehingga pada
saat yang telah memungkinkan, bukan suatu hal yang bertentangan dengan nash
jika perempuan diberikan bagian lebih dari setengah bagian laki-laki.[36]
0 Response to "Makalah Biografi Fatima Mernissi dan Pemikirannya"
Post a Comment