Makalah Haram Nikah karena Hubungan Persusuan
Haram Nikah Karena Hubungan Persusuan | Haramnya Nikah Karena Hubungan Persusuan | Hukum Nikah Sepersusuan | hukum persusuan dalam islam | hukum saudara sepersusuan
A.
Latar Belakang Masalah
Setiap manusia membutuhkan zat-zat makanan bagi
pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya, terlebih pada masa bayi. Atas kasih
sayang Tuhan, Dia menciptakan minuman sebagai makanan pokok bayi yang sangat
sesuai ukurannya bagi kesehatan dan pertumbuhannya, yaitu air susu ibu (ASI).[1]
ASI adalah gizi sempurna untuk bayi yang mengandung bahan gizi yang seimbang
bagi bayi. Air susu merupakan makanan pokok bagi setiap anak yang baru lahir.
Hampir tidak ada makanan lain yang dapat dimakan olehnya terutama pada
bulan-bulan pertama dari kelahirannya, karena itu air susu ikut menentukan
pertumbuhan dan perkembangan bayi tersebut.[2]
Pentingnya pemberian ASI bagi bayi secara
khusus sangat diperhatikan oleh Islam, dan pembahasannya tidak lepas dari
kajian fiqh munakahat. Hukum Islam memberikan penghormatan khusus pada
hubungan susuan dan mengangkatnya ke tingkat hubungan darah sejauh menyangkut
masalah pernikahan. Dalam fiqh munakahat, hubungan persusuan
disebut sebagai rad{a>’ah, yang menyebabkan seseorang tidak
diperbolehkan untuk menikah dengan orang lain karena adanya hubungan tersebut
Dalam menguraikan kategori-kategori perempuan yang haram untuk dinikahi oleh
seorang laki-laki, hukum Islam memandang ibu susuan mempunyai kedudukan yang
sama dengan ibu kandung.[3]
Menurut Al-Jurja>wi, hikmah di balik larangan menikahi ibu susuan ini karena
keduanya sama-sama memberikan ASI yang berperan dalam tumbuh kembang dan
kehidupan anak.[4]
Mengenai kriteria yang menjadi syarat bagi
penetapan hukum atas hubungan persusuan ini terdapat perbedaan pendapat ulama.
Kontroversi yang pertama muncul berkaitan dengan jumlah tegukan (kadar susuan)
yang diperlukan untuk menetapkan sifat rad{a>’ah yang mengharamkan
nikah. Pendapat mayoritas merinci lima atau lebih penyusuan yang mengenyangkan
yang akan cukup membantu pertumbuhan tulang dan daging. Batas usia penyusuan
juga telah diperdebatkan, dan mayoritas ulama menetapkan selama dua tahun. Masa
penyusuan dua tahun tersebut oleh al-Qur’an disebut sebagai masa menyusui
sempurna.
Perbedaan pendapat selanjutnya adalah berkaitan
dengan metode pemberian susu. Sebagian ulama tidak membedakan apakah bayi itu
mendapat ASI secara langsung dari as|-s|adyu, meminum susu dengan
sendok melalui mulut atau hidungnya, atau dengan cara lainnya. Menurut jumhur
ulama –termasuk tiga orang imam maz|hab, yaitu Imam Abu> H{ani>fah,
Ima>m Ma>lik, dan Imam asy-Sya>fi’i> -- segala cara yang
menyebabkan ASI masuk sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya,
seperti al-waju>r (menuangkan ASI lewat mulut ke kerongkongan), atau
dengan cara as-sa'u>t} (menuangkan ASI ke hidung), atau bahkan
melalui suntikan adalah termasuk kategori rad}a>’ah yang
mengharamkan.
Sedikit berbeda dengan pendapat jumhur, Ibn
H{azm berpendapat bahwa penyusuan yang menyebabkan keharaman nikah hanyalah
penyusuan dengan cara langsung dari as|-s|adyu.[6]
Sedangkan pemberian susu oleh seorang wanita dengan menggunakan bejana atau
dituangkan ke dalam mulut lantas ditelannya, atau dicampur dengan makanan lain,
atau dituangkan ke mulut, hidung, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu
sama sekali tidak menyebabkan keharaman nikah.
Pendapat Ibn H{azm yang berbeda dengan jumhur
ini terkait dengan metode istinba>t} hukum yang beliau gunakan. Ibn
H{azm yang dalam wacana hukum Islam disebut-sebut dan dikelompokkan sebagai
pendukung dan pengembang maz|hab Z{a>hiriyah, dalam menetapkan hukum
berhenti pada petunjuk nas}. Nas} menurut beliau kesemuanya adalah
ta’abbudi, tidak boleh keluar dari z{ahirnya.[7]
Ibn H{azm tidak membenarkan penggunaan ra’yu
dalam menetapkan hukum agama. Namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa
beliau tidak berpegang kepada akal sama sekali. Ibn H{azm menjadikan akal
sebagai sendi dalam mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah
Islam.[8]
Titik perbedaan antar fiqh ahlu z}a>hir dan fiqh jumhur adalah jumhur
fuqaha berpendapat bahwa nas}-nas} syara’ adalah ma’qu>lah
al-ma’na>, disyariatkan untuk beberapa maksud yang diperlukan dalam
masyarakat. Ibn H{azm meyakini bahwa keseluruhan ayat al-Qur’an satu dengan
lainnya saling melengkapi. Jadi ketika ada ayat yang tidak memuat makna yang
langsung berkaitan dengan suatu masalah yang dijumpai, tentu ada ayat lain yang
melengkapi dan menjelaskan langsung apa yang tidak secara langsung dapat
dipahami dari ayat lain.
Mencermati metode istinba>t} yang
digunakan oleh Ibn H{azm di atas, permasalahan yang muncul kemudian adalah
bagaimana Ibn H{azm menjawab tantangan persoalan-persoalan hukum yang tidak
tersurat dalam nas} dan banyak muncul seiring dengan perubahan sosial
yang terjadi?
Berkembangnya arus modernisasi dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di sebagian besar negara-negara
yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, mengakibatkan munculnya berbagai
perubahan baik secara struktural maupun kultural. Salah satu aspek kultural
yang turut mengalami tuntutan perubahan adalah bidang hukum Islam. Secara
sosiologis diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan
suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada pada
masyarakat itu.[9]
Semakin maju cara berpikirnya, suatu masyarakat akan semakin terbuka untuk
menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagi umat beragama, dalam hal
ini umat Islam, kenyataan ini dapat menimbulkan masalah, terutama apabila
kegiatan itu dihubungkan dengan norma-norma agama. Akibatnya, pemecahan masalah
tersebut diperlukan, sehingga syariat Islam dapat dibuktikan tidak bertentangan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkaitan dengan permasalahan rad{a>’ah,
seiring dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan manfaat ASI, semakin
besar pula keinginan para ibu untuk memberikan yang terbaik bagi
putera-puterinya. Namun bagi para ibu yang sibuk, apalagi para wanita karier,
pemberian ASI langsung dari dirinya menimbulkan masalah tersendiri, karena
dianggap akan menyita waktu mereka.[10]
Apabila kebutuhan akan ASI semakin meningkat, maka tidak mustahil akan muncul
cara-cara baru dalam pemberian ASI, misalnya saja yayasan atau lembaga
penyusuan dan Bank ASI.
B. Haramnya Nikah Karena Hubungan Persusuan
Perkawinan adalah suatu cara yang ditentukan
Allah sebagai jalan bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Namun
demikian, perkawinan dalam ajaran Islam tidak menitikberatkan pada kebutuhan
biologis semata, akan tetapi perkawinan adalah suatu ibadah dan berarti
pelaksanaan perintah Allah sebagai refleksi ketaatan makhluk kepada Khaliknya.[1]
Persoalan perkawinan telah diatur sedemikian rapi oleh Islam, karena perkawinan
merupakan institusi suci yang mutlak harus diikuti dan dipelihara. Perkawinan
mempunyai rukun dan syarat tertentu yang harus dipenuhi. Syarat-syarat
perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.[2]
Salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu wanita yang akan dinikahi oleh
seorang laki-laki adalah wanita yang halal untuk dinikahi.
Berkaitan dengan masalah rad{a>’ah,
hubungan persusuan merupakan salah satu sebab haramnya seorang laki-laki
menikah dengan seorang wanita. Selain hubungan rad{a>’ah, larangan
nikah juga berlaku karena adanya hubungan nasab dan hubungan mus}aharah.[3]
Rad{a>’ah dalam wacana fiqh munakahat mempunyai
kedudukan yang sangat penting, karena menentukan boleh tidaknya menikahi seseorang.
Dalam al-Qur’an disebutkan larangan untuk menikahi ibu susuan dan saudara
sepersusuan:
Ayat di atas masih bersifat ‘amm dan tidak ditemukan takhs}is} pada ayat berikutnya. Dari
sinilah kemudian timbul perbedaan pendapat para ulama dalam berbagai hal yang
berkaitan dengan rad{a>’ah. Perbedaan tersebut antara lain dalam
menentukan kadar atau jumlah ASI yang diminum oleh seorang anak, batas usia
anak yang menyusu, metode pemberian ASI, ibu yang menyusui, dan status dari
suami ibu susuan. Dalam upaya memahami nas} ‘amm, para ulama us}u>l telah memberikan sejumlah
pengertian yang pada dasarnya mengandung maksud yang sama. Berkaitan dengan
nas} ‘amm, Ibn H{azm mengakui bahwa
keumuman ayat al-Qur'an dapat di-takhs}is} oleh ayat al-Qur'an dan juga
oleh hadis. Apabila ayat yang di-takhs}is} dengan yang men-takhs}is} diturunkan
dalam waktu yang bersamaan, maka itu disebut takhs}is}.[5]
Masing-masing dari mereka mendasarkan pendapatnya kepada hadis yang digunakan
untuk men-takhs}is} ayat di atas. Ibn H{azm adalah tokoh yang sangat
selektif dalam melihat sanad, sehingga menurutnya hanya hadis yang s{ahihlah
yang bisa dijadikan h}ujjah.
Mengenai pengamalan hukum ‘amm, ulama us}u>l berbeda pendapat antara satu dengan
yang lain. Namun, jumhur ulama menyatakan bahwa tidak dapat secara langsung
mengamalkan lafaz{ ‘amm, tetapi
harus mencari dalil yang men-takhs}is-}kannya sebelum mengamalkan lafaz{
‘amm tersebut.
Dalam menanggapi nas{ 'amm, Ibn H{azm
berpendapat sebagaimana yang dikemukakannya dalam al-Ih}ka>m bahwa
wajib menetapkan segala lafaz{ pada makna umumnya dan segala yang
dikehendaki oleh namanya tanpa ragu-ragu dan tidak perlu mengadakan
penyelidikan. Akan tetapi, jika datang suatu dalil yang mengharuskan untuk
mengeluarkan dari umumnya sebagian yang dikehendaki oleh lafaz{-nya,
maka harus dilakukan yang demikian. Pendapat ini juga dipegangi oleh sebagian
ulama H{anafiyah dan Ma>likiyah.[6]
Pendapat yang demikian berimplikasi pada
ketentuan amr dan nahyi yang terdapat dalam al-Qur’an dan
as-sunnah. Bentuk amr dan nahyi bersifat netral, dalam artian
harus diambil makna z{ahirnya, tanpa ada ta’wil kecuali ada nas} lain yang
menerangkan bahwa yang dimaksud adalah bukan yang z{ahir.[7]
Ibn H{azm mengelompokkan lafaz} 'amm ke dalam tiga macam, yaitu:
1.
Lafaz} yang berbentuk khusus dan memang dimaksudkan
khusus. Contohnya kata Zaid, Amar, dan sebagainya.
2.
Lafaz} yang berbentuk umum dan memang dimaksudkan
umum. Diantara lafaz} yang berbentuk seperti ini adalah:
a.
Lafaz} yang berbentuk isim li al-jinsi yang di
dalamnya mencakup berbagai jenisnya. Contohnya;
b.
Isim li
an-nau’
c.
Sifat bagi isim li an-nau’.
3.
Lafaz{ yang berbentuk umum yang dimaksudkan khusus
dengan petunjuk dari nas} al-Qur'an dan as –Sunnah.[11]
Ayat rad}a>’ah di atas hanya menyebutkan
ibu dan saudara sepersusuan yang diharamkan. Para ulama sepakat menyatakan
bahwa siapapun yang haram nikah karena nasab haram pula nikah karena susuan.
Hal ini didasarkan pada hadis dari 'Aisyah bahwasanya Nabi SAW bersabda
Kalau diperinci, hubungan susuan yang
diharamkan adalah:
1.
Ibu
susuan
2.
Nenek
susuan
3.
Bibi
susuan
4.
Kemenakan
susuan
5.
Saudara
susuan[13]
Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh
al-Isla>mi wa Adillatuhu membahas permasalahan seputar rad{a>’ah
secara sistematis dan mengambil beberapa pendapat ulama, serta membahas tentang
hak-hak anak untuk mendapatkan air susu ibunya, yang mencakup beberapa
permasalahan; ibukah yang wajib menyusui, hak-hak ibu atas upah menyusui, waktu
dan kadar upahnya, dan banyak lagi dalam permasalahan tentang hak-hak dan
kewajiban ibu dalam menyusui bayinya.[14]
Sehubungan dengan larangan nikah karena sebab
hubungan rad{a>’ah ini, para ulama berbeda pendapat mengenai syarat
dan sebab rad{a>’ah yang menyebabkan dilarangnya untuk melakukan
pernikahan. Perbedaan tersebut timbul karena perbedaan metode dalam menetapkan
hukum. Ibn H{azm mempunyai metode istinbat} hukum yang berbeda dari
imam-imam maz|hab yang lain. Apabila hendak memutuskan suatu hukum yang tidak
beliau dapati nas} yang jelas dari al-Qur’an dan as-Sunnah atau ijma’,
maka beliau menggunakan dali>l, yang merupakan cara keempat dalam
menetapkan hukum. Dali>l dalam pengertian Ibn H{azm adalah berbeda
dari qiya>s, karena pada dasarnya dali>l itu diambil dari
ijma’ atau nas} atau sesuatu yang diambil dari nas} atau ijma’
sendiri, bukan mempertautkan kepada nas} seperti halnya qiyas. Nas{ al-Qur’an dan hadis harus
dituruti karena z|atnya sendiri bukan karena ‘illat-‘illat-nya.
Penggunaan qiya>s dalam menanggapi hukum berarti berlawanan dengan
prinsip-prinsip itu.
Ciri khas yang menonjol dari Ibn H{azm sebagai
tokoh maz|hab Z{a>hiri adalah beliau selalu berpegang kepada z{ahir nas,
dalam artian beliau memahami nas} secara tekstual. Menurutnya, nas} itu
jelas maksudnya dan harus dipahami menurut z{ahir lafaz{nya saja.[15]
Menurut Ibn H{azm, tidak ada ra’yu dalam agama. Tidak seorangpun berhak
berijtihad dengan ra’yu-nya dan mengklaim bahwa produk ijtihadnya adalah
hukum Allah. Sebenarnya beliau sependapat dengan jumhur ulama bahwa maksud dan
tujuan syar’i musti dicari, namun pencarian itu hanya melewati lahirnya nas}
dan hanya dapat dipahami dari apa yang nampak dari z{ahir nas}.
Ulama sepakat bahwa tujuan syar’i dalam
pembentukan hukumnya adalah merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin
kebutuhan pokok dan memenuhi kebutuhan pelengkap yaitu sesuatu yang dituntut
oleh norma dan tatanan hidup serta perilaku menurut jalan yang lurus.[16]
Namun, mereka berselisih pendapat mengenai keterkaitan antara hukum Islam
dengan mas{lahat.[17]
Berkaitan dengan perbedaan pendapat tersebut,
para ulama dapat dikategorikan ke dalam tiga golongan, yaitu:
Pertama, golongan yang menolak bahwa hukum
Islam terkait dengan mas{lahat. Meskipun mereka juga meyakini bahwa
hukum disyariatkan untuk kemaslahatan manusia, namun Allah tidak layak untuk
ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya. Termasuk ke dalam golongan ini adalah
maz|hab Asy’ariyah dan Z{a>hiriyah.
Kedua, sebagian maz|hab Sya>fi’i> dan
sebagian maz|hab H{anafi berpendapat bahwa mas{lahat patut menjadi ‘illat
bagi hukum, sebatas sebagai tanda bagi hukum, bukan sebagai penggerak yang
mendorong Allah dalam menetapkan hukum. Dengan demikian, tidak terjadi
pertentangan dengan firman Allah:
Ketiga, golongan yang menegaskan bahwa semua
hukum Islam dapat di-ta’lil (terkait) dengan mas{lahat, karena
Allah telah menjanjikan menolak mafsadah dan menghilangkan kesulitan
dari hamba-Nya. Hukum-hukum yang terdapat pada nas} mempunyai ‘illat
berupa mas{lahat, tanpa dikaitkan dengan iradat Allah, selama ta’lil
itu tidak mengakibatkan gugurnya nas}. Jika substansi mas{lahat
tidak dapat dipahami oleh akal, maka dapat dilakukan rasionalisasi sendiri dan
menghindarkan nas} dari kemungkinan adanya anggapan bahwa nas}
tersebut tidak mengandung mas{lahat. Termasuk ke dalam golongan ini
adalah fuqaha Mu’tazilah, Maturidiyah, sebagian Maz|hab H{anbali dan
Ma>liki.
Perbedaan pendapat ulama di atas sesungguhnya
sebatas pada dataran teoritis, sebab semua fuqaha mengakui bahwa hukum-hukum
syara’ menampung mas{lahat yang bersifat hakiki,[19]
yang tercakup dalam lima hal pokok, yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta.[20]
[1] Djamaan Nur, Fiqh Munakahat,
(Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 3.
[2] Sayyid Sa>biq, Fiqh
Sunnah, alih bahasa Moh. Thalib,
cet.14, (Bandung: al-Ma’arif, 1997), VI: 78.
[3]
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet. 3,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 45.
[4] An-Nisa’ (4): 23.
[5] Muhammad Abu> Zahra>h, Ta>rikh
al-Maz|a>hib al-Isla>miyyah, (Kairo:
Mat}ba'ah al-Madani>, t.t), hlm. 422.
[6] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m
fi> Us{u>l al-Ah{ka>m (Beirut :
Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t.), III: 361.
[7] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok.,
II: 109.
[8] Al-Anbiya’ (21): 30.
[9] An-Nah{l (16): 8.
[10] Al-Anfa>l (8): 41.
[11] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., III:
388-389.
[12] Abu> Da>wud, Sunan
Abu> Da>wud, "Kita>b an-Nika>h," "Ba>b
Yahrumu min ar-Rad{}a>'ah Ma> Yahrumu min an-Nasab," cet.1,
(Ttp.: Da>r al-Fikr, t.t.), II: 221. Hadis nomor 2055, menceritakan kepada
kami ‘Abdullah bin Maslamah, dari
Ma>lik, dari ‘Abdullah bin Dinar, dari Sulaiman bin Yasa>r, dari ‘Urwah.
[13] Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, hlm. 52. Lihat juga
Sayyid Sa>biq, Fiqh Sunnah, VI: 100.
[14] az-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Isla>mi wa Adillatuh (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), VII: 698-704.
[15] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m, III:
310.
[16] Abdul Wahhab Khala>f, Ilmu
Us{u>l al-Fiqh, cet. 8, (Ttp.:Da>r
al-Qala>m, 1978), hlm. 198.
[17] Muhammad Abu> Zahrah, Ushul
Fiqh, alih bahasa Saefullah Ma’shum dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),
hlm. 552.
[18] Al-Anbiya’ (21): 23
[20] Ibid., hlm. 548.
[1] ASI adalah singkatan dari
Air Susu Ibu. Lihat Kamus Umum Bahasa Indonesia , edisi 1, hlm. 83,
artikel "ASI".
[2] Zakiah Daradjat (et.al), Ilmu
Fiqh, cet.1 (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), II, hlm.153.
[3] Hassan Hathout, Revolusi
Seksual Perempuan: Obstetri dan Ginekologi dalam Tinjauan Hukum Islam (Bandung:
Mizan, 1994), hlm. 49.
[4] Syeikh ‘Ali Ahmad Jurja>wi, Falsafah
dan Hikmah Hukum Islam, alih bahasa Hadi Mulyo dan Shobahussurur (Semarang:
Asy-Syifa’, 1992), hlm. 364.
[5]Al-Baqarah (2): 233.
[6] Ibn H{azm, al-Muh{alla>.
(Mesir: Maktabah al-Jumhu>riyyah al-‘Arabiyyah,
1968), X: 7.
[7] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok
Pegangan Imam-imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam, cet. 1,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 360.
[8] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok.,
hlm. 361.
[9] Fathurrahman Djamil, Filsafat
Hukum Islam, cet. 1,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 40.
[10] Noorwahidah, “Radha’ah dan
Problemanya di Dunia Modern” dalam Chuzaimah T.Yanggo dan Hafiz Anshary AZ ,
Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 36.
0 Response to "Makalah Haram Nikah karena Hubungan Persusuan"
Post a Comment