Makalah Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak dalam Pandangan Islam
KEKERASAN ORANG TUA TERHADAP ANAK
PERSPEKTIF ISLAM
Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam yang menghendaki
kebahagiaan dalam setiap kehidupan di dunia maupun di akhirat termasuk di
dalamnya kebahagiaan dalam keluarga. Keluarga yang dibangun atas dasar hukum
yang hakiki akan menghasilkan keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah wa
rahmah.[1]
Sehingga dengan demikian akan terbentuklah suatu masyarakat yang adil dan
makmur serta sejahtera sebagaimana disyari’atkannya perkawinan[2]
yang pada akhirnya akan terwujud suatu negara yang adil dan makmur.
Untuk menciptakan sebuah keluarga yang demikian bukanlah
pekerjaan yang mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga memerlukan
kerjasama yang baik dari setiap anggota keluarga. Oleh karena itu Islam
mengatur tentang hak dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh seluruh anggota
keluarga termasuk di dalamnya orang tua dan anak. Jika orang tua berhak untuk
mendapatkan penghargaan dan kasih sayang dari anaknya maka begitu pula
sebaliknya. Orang tua berkewajiban untuk menyayangi dan berlaku baik terhadap
anak-anaknya.
Orang tua sebagai pengemban amanah dari Allah berkewajiban
melakukan pemeliharaan terhadap anak-anaknya yang masih kecil maupun sudah
besar tapi belum tamyiz tanpa
membedakan jenis kelamin sang anak, memenuhi segala sesuatu yang menjadi
kebutuhan anak serta apa yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangannya,
menjaganya dari sesuatu yang dapat menyakiti dan membahayakan kesehatannya,
mendidiknya baik jasmani maupun rohani serta akalnya agar dapat mandiri dalam
mengarungi kehidupan dan memikul beban tanggung jawab. Inilah konsep ideal
dalam pemeliharaan anak yang ditawarkan oleh Sayyid Sabiq.[3]
Oleh karena itu orang
tua tidak boleh melakukan perbuatan yang dapat merugikan dan membahayakan jiwa
sang anak baik secara fisik maupun psikologis sekalipun itu bertujuan untuk
menyelesaikan persoalan, karena kekerasan bukanlah solusi terbaik dalam
menyeselaikan suatu permasalahan. Setiap persoalan harus disikapi secara arif
dan bijaksana serta diselesaikan dengan musyawarah.[4]
Islam sangat menjunjung tinggi hak setiap individu yang harus dijaga dan
dipelihara oleh masing-masing dan apabila mengabaikan hak tersebut berarti
telah melakukan pertentangan dengan tujuan hukum Islam yang bermaksud menjaga
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[5] Secara konsepsional pelaksanaan hak-hak
tersebut ditempuh dalam rangka untuk mewujudkan dan menegakkan kesejahteraan
bagi seluruh umat manusia dan menghilangkan segala sesuatu yang dapat merusak.
Oleh sebab itulah Islam
sangat menghindari tindak kekerasan yang dapat merugikan dan membahayakan
keselamatan orang lain dalam keadaan apapun bahkan dalam keadaan perang
sekalipun. Jalan kekerasan sedapat mungkin harus dihindarkan walaupun memang
dalam beberapa hal kekerasan tidak dapat dihindarkan, tetapi itupun dilakukan
atas dasar pertimbangan etika moral dan dengan alasan yang dapat dibenarkan
syar’i.[6]
Dalam hukum Islam,
tindak kekerasan fisik termasuk perbuatan jarimah,
yaitu perbuatan yang melanggar hukum dimana pelakunya mendapat sanksi atau
hukuman. Kekerasan yang dilakukan orang tua ini selain berimplikasi pada
diberlakukannya hukum qisas atas
orang tua, orang tua juga bisa dicabut kekuasaannya karena telah melalaikan
tanggung jawabnya sebagai orang tua yang seharusnya mendidik, menjaga dan
memeliharanya dari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan jiwanya.
Dengan demikian hukum
harus ditegakkan, artinya adalah bahwa hukum berlaku bagi siapapun tanpa
pandang bulu. Orang tua yang berjasa dalam kehidupan anak sekalipun tidak luput
dari jeratan hukum, yaitu apabila orang tua melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat membahayakan serta dapat mengakibatkan kerugian yang akan menimpa diri
sang anak. Sehingga hukum tetap bermakna bagi setiap orang dan keadilanpun
dapat terjamin.
Kekerasan dapat terjadi
apabila potensi mental pada diri seseorang tidak sesuai dengan realisasi
aktualnya.[7]
Hal ini berarti bahwa ada orang lain yang mempengaruhi dan ada cara untuk
mempengaruhinya, jadi ada subyek dan obyek yang dalam hal ini adalah manusia
serta adanya tindakan.[8]
Kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun dan dalam kondidi apapun, tanpa
terkecuali kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Hal ini
menurut Erich Fromm tidak bisa terlepas dari situasi dan kondisi lingkungan
orang tua semasa kecilnya, seperti pendidikan, teladan-teladan buruk dan
tatanan sosial yang dapat mempengaruhi terjadinya tindakan yang bersifat
destruktif.[9]
Keluarga merupakan salah
satu bagian dari struktur masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari proses
interaksi dengan bagian yang lainnya, seperti sosial, politik, ekonomi,
pendidikan, agama dan lain sebagainya. Dalam interaksinya tersebut, keluarga
berfungsi untuk memelihara keseimbangan dalam masyarakat sehingga terciptanya
ketertiban sosial. Ketertiban sosial akan terwujud manakala dalam keluarga
terdapat sistem yang jelas sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
yang majemuk.
Struktur dalam sebuah
masyarakat terbentuk karena adanya keberagaman. Sehingga keberagaman dalam
fungsi harus disesuaikan dengan posisi seseorang dalam struktur dalam sebuah
sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan
anak ( keluarga inti ) sudah barang tentu memiliki status masing-masing yang
akan mempengaruhi fungsinya dalam keluarga dan akan berbeda-beda. Akan tetapi
perbedaan tersebut bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi, melainkan untuk
memenuhi kepentingan umum ( keluarga ) sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Struktur dan fungsi ini tidak terlepas dari pengaruh budaya, norma
dan nilai-nilai yang menjadi dasar sistem masyarakat yang bersangkutan.[10]
Keluarga dengan
pendekatan seperti itulah yang oleh Randall Cillins dianggap sangat rentan
terhadap terjadinya konflik berkepanjangan atau tindak kekerasan. Keluarga yang
ideal menurut Randall Cillins adalah yang berlandaskan companionship, yang hubungannya bersifat horizontal.[11]
Tetapi menurut Ratna tidak semuanya keluarga dengan struktur demikian akan
selalu menimbulkan tindakan yang represif tetapi sebaliknya akan menjadi
opensif, yaitu penuh dengan kasih sayang. Dan ini sangat tergantung pada
kualitas pribadi setiap individu.[12]
Teori-teori di ataslah yang akan digunakan sebagai landasan
berpikir dalam melihat fenomena tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tua
terhadap anak yang terjadi dalam rumah tangga. Sedangkan prinsip dasar yang
digunakan sebagai ruh atas kerangka teori di atas akan diambil dari al Qur’an,
as Sunnah dan kaidah-kaidah fiqhiyah sebagaimana akan disebutkan berikut ini:
Firman Allah dalam
surat al Qasas yang berbunyi:
وابتغ
فيما اتك الله الدار الاخرة ولا تنس نصيبك من الد نيا واحسن كما احسن الله اليك
ولا تبغ الفساد فى الارض ان الله لا يحب المفسد ين [13]
Ayat ini memberikan pemahaman bahwa manusia dilarang membuat
kerusakan di muka bumi ini. Kerusakan adalah segala sesuatu yang dapat membuat
kerugian bagi pihak lain, sehingga sangat Allah membenci para pelaku kerusakan.
Tindakan pengrusakan ini sendiri dapat menimpa apa saja dan siapa saja serta
dalam bentuk apapun juga, seperti pembunuhan, penganiayaan dan perbuatan keji lainnya
yang semacam itu diharamkan oleh Allah SWT.
Dalam ayat lain Allah berfirman yang bunyinya:
Ayat ini menjelaskan bahwa orang tua harus memperlakukan
anak-anak mereka dengan baik, orang tua dilarang membunuh anak-anaknya. Dari
sini dapat dipahami bahwa orang tua dilarang membunuh kreatifitasnya, perasaannya,
potensi serta ruang geraknya. Karena anak akan berkembang secara tidak wajar
dan akan menjadi musuh bagi orang tua akibat dari ketidakhati-hatian orang tua
dalam mendidik anaknya.[15]
Adapun kaidah fiqh yang akan digunakan dalam teori ini antara
lain adalah sebagai berikut: الضرر يزال
[16]
Kaidah ini berarti bahwa kemudlorotan harus dihilangkan,
artinya segala bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain harus
dihilangkan. Kaidah lain yang berkaitan dengan kaidah ini adalah:
د رءالمفــا
سد مقد م على جلب المصـــا لح
Sikap antisipatif ditawarkan oleh kaidah ini, bagaimanapun
juga menoleh kemadlorotan harus lebih didahulukan dari pada mendatangkan
kemaslahatan. Kemudian pertimbangan untuk bersikap arif dan bijaksana dalam
menghadapi persoalan juga sangat ditekankan oleh para ‘alim ulama, sebagaimana
tersirat dalam kaidah berikut:
Di samping itu juga terdapat teori tentang kekuasan yang
dirumuskan oleh Max weber. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk
mengontrol tindakan dari orang lain. Dalam sosiologi, kekuasaan itu sering
diartikan dengan wewenang dan pengaruh (influence) yang keduanya
merupakan unsure dari kekuasaan. Dia mengatakan bahwa seseorang yang mempunya
kekuasaan atau wewenang berhak untuk menentukan kebijakan-kebijakan terhadap
orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasaannya dengan sekaligus
menerapkan sesuatu (misalnya sanksi) terhadap tindakan perlawanan dari pihak
lain.[18]
Kekuasaan atau wewenang merupakan suatu hak yang didasarkan
pada suatu pengaturan sosial yang berfungsi untuk menetapkan kebijakan dan
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Kekuasaan ini muncul atau timbul dari
adanya jabatan atau kedudukanyang sah untuk memerintahkan orang lain untuk
melakukan sesuatu. Dengan demikian, seseorang dengan wewenang atau kekuasaan
yang dimilikinya dapat mempengaruhi aktifitas orang lain.
Begitu juga dengan orang tua yang memiliki wewenang dan
bertanggung jawab terhadap perkembangan dan pertumbuhan anggota keluarganya.
Dengan kekuasaan atau wewenang yang dimilikinya, orang tua berhak untuk
melakukan apapun terhadap anaknya (selama tidak melampau batas kewajaran) dalam
rangka melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai orang tua. Namun
sangat disayangkan bahwa dengan dalih melkasanakan tanggung jawab dan kewajiban
tersebut banyak orang tua yang menghalalkan segala cara dalam melaksanakan
kewajibannya tersebut.
Dari uraian-uraian yang terdiri dari pemikiran para
intelektual, kaidah fiqhiyah, al Qur’an dan as Sunnah nampaknya sudah mencukupi
untuk dijadikan sebagai kerangka teoritik guna mendapatkan analisis yang kritis
terhadap tindak kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak dalam
keluarga.
[1] Ar-
Rum ( 30 ) : 21
[2] Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam
Tentang Perkawinan, Cet I (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) hlm. 22
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih
bahasa Moh. Tholib, Cet XIV (Bandung: Al Ma’arif, 1998 ) VIII:166
[5] Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum
Islam, Cet I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 125
[6] Ashgar Ali Engineer,
Islam dan Teologi Pembebasan, alih bahasa Agus Pihartono, Cet I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm.
125
[7] Yayah Kisbiyah (et.al), Melawan Kekerasan Tanpa
Kekerasan, Cet I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hlm. 3
[8] I. Marsana Windu, Kekuasaan dan
kekerasan Menurut Johan Galtung, Cet VI (Yogyakarta: Kanisius, 2001) hlm.
67-68
[9] Erich Fromm, Akar Kekerasan: Analisis
Sosio-Psikologis Atas Watak Manusia, Cet I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000) hlm. 34
[10] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?
Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 85
[15] M. Anies, Anak., hlm. 3
[16]
Asjmuni Abdurrahman, Qai’dah
Fiqih (Qawa’id al Fiqhiyah) Cet I (Jakarta: Bulan Bintang,1976) hlm. 85
[18]
D.A Wila Huky, Pengantar Sosiologi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986),
hlm. 183
0 Response to "Makalah Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak dalam Pandangan Islam"
Post a Comment