Makalah Perkembangan Konsep Kecerdasan Manusia
Konsep Kecerdasan Manusia
PERKEMBANGAN
KONSEP KECERDASAN MANUSIA
Kecerdasan
adalah anugerah istimewa yang dimiliki oleh manusia. Makhluk lain memiliki kecerdasan
yang terbatas sedangkan manusia tidak. Kecerdasan memampukan manusia memahami
segala fenomena kehidupan secara mendalam. Dengan kecerdasan, manusia mampu mengetahui
suatu kejadian kemudian hikmah dan pelajaran darinya. Manusia menjadi lebih
beradab, manusia menjadi lebih bijak karena memiliki kecerdasan tersebut.
Menurut
Didi Purwodarsono bahwa kecerdasan dalam diri manusia ada lima dimensi yang
mudah dikenali keberadaannya. Kelima dimensi kecerdasan tersebut adalah:
Dimensi Nabatiah atau kecerdasan naluriah (reflektif quotient),
Dimensi Hayawaniah atau kecerdasan syahwat (Libido Quotient),
Dimensi Basyariah atau kecerdasan intelektual (IQ), Dimensi Nafsiah atau
kecerdasan emosional (EQ) dan Dimensi Ruhaniah atau kecerdasan spiritual (SQ). [1]
Uraian
di atas merupakan pengetahuan mengenai kecerdasan manusia, namun dalam bab ini
penulis hanya akan membahas jenis kecerdasan manusia yang akhir-akhir banyak
menjadi pembicaraan para ahli psikologi, yaitu kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
A. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan adalah anugerah istimewa yang dimiliki manusia.
Makhluk lain memiliki kecerdasan yang terbatas sedangkan manusia tidak.
Kecerdasan memampukan manusia memahami segala fenomena kehidupan secara
mendalam. Dengan kecerdasan tersebut manusia menjadi lebih beradab, lebih bijak
dalam menyikapi setiap permasalahan. Seiring dengan perkembangan zaman, maka
kecerdasan manusia juga bertambah maju.
Kecerdasan intelektual lahir dari adanya tes mental yang
dilakukan oleh para psikolog untuk memilah manusia atau mengukur, menentukan,
mengetahui dan membandingkan kecakapan atau kemampuan individu yang satu dengan
yang lainnya, kemudian mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman
dengan disertai beberapa eksperimen. Jadi tes mental merupakan pendorong dan
penopang berkembangnya tes inteligensi. Yang terkenal sebagai pelopor dalam
penyusunan tes inteligensi adalah Alfred Binet, seorang psikolog berkebangsaan
Prancis. Pada tahun 1890 tes inteligensinya dikenal dengan istilah tes
inteligensi Binet.[2]
Istilah Kecerdasan intelektual (IQ) diperkenalkan untuk
pertama kalinya, pada tahun 1912 oleh seorang ahli psikologi bernama William
Stern[3]. Pada
tahun 1916 istilah kecerdasan intelektual (IQ) baru digunakan secara resmi setelah
diterbitkan revisi Binet oleh seorang ahli psikologi bernama Lewis Madison.
Yaitu dengan membandingkan skor tes yang
diperoleh seorang anak dengan usia anak tersebut, dengan memakai rumusan :
IQ =
(MA/ CA)x 100
MA adalah singkatan dari Mental Age (usia mental ). Usia
mental merupakan suatu norma pembanding pada kelompok usia tertentu. Misalkan
pada kelompok anak-anak berusia 8 tahun sebagian besar diantara mereka mampu
menjawab dengan benar sebanyak 24 soal dalam tes, maka skor atau angka 24
tersebut dijadikan norma untuk kelompok anak usia 8 tahun dan kemudian disebut
usia mental 8 tahun.
CA adalah singkatan dari Chronological Age (usia
kronologis).Usia kronologis adalah usia anak sejak dilahirkan yang dapat
dinyatakan dalam sebuah satuan tahun atau dalam bulan. Misalkan, apabila
seorang anak yang berusia 8 tahun mampu menjawab dengan benar sebanyak 24 soal,
maka anak tersebut dikatakan memiliki usia mental 8 tahun dan IQ dihitung
sebagai berikut IQ = (8/8)x100=100.[4]
Semua jenis kecerdasan adalah suatu potensi yang ada pada
setiap orang, tetapi tinggi rendahnya
atau kuat lemahnya kecerdasan itu berbeda-beda. Demikian juga dengan kecerdasan
intelektual yang ada pada setiap orang juga tingkatannya berbeda-beda. Perbedaan
tingkat kecerdasan intelektual itu dapat dilihat dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh seorang ahli bernama Wechsler yang kemudian menghasilkan
klasifikasi inteligensi sebagai berikut:
IQ
130-ke atas adalah sangat
unggul
IQ
120-129 adalah
unggul
IQ
110-119 adalah cakap
normal
IQ 90-109 adalah
rata-rata
IQ 80-89 adalah
lamban normal
IQ 70-79 adalah
batas dungu
IQ 70-ke bawah adalah
cacat mental[5]
Berdasarkan prinsip-prinsip perhitungan IQ tersebut adalah
indikasi awal lahirnya konsep kecerdasan intelektual yang dinyatakan bahwa,
semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasan intelektualnya.
Inteligensi sebagai unsur kognitif dianggap memegang
peranan yang sangat krusial. Bahkan terkadang timbul image yang menempatkan
kecerdasan intelektual dalam peranan yang proporsi yang sebenarnya dan bahkan
menganggap bahwa inteligensi yang tinggi merupakan jaminan kesuksesan belajar
bahkan dalam menjalani kehidupan kelak[6].Dan
hal ini didukung oleh fakta bahwa lembaga-lembaga pendidikan lebih bersedia
menerima calon siswa yang mempunyai IQ tinggi.[7]
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
kecerdasan intelektual adalah :
1.
Penalaran
Penalaran adalah salah satu cara kerja dan karakteristik
kecerdasan intelektual. Orang dikatakan cerdas secara intelektual pasti akan
selalu melakukan penalaran dalam segala
hal. Dan untuk mengembangkan kecerdasan intelektualnya, maka harus selalu
melakukan penalaran.
2.Eksperimen
Di samping penalaran, eksperimen juga merupakan langkah
untuk mengembangkan kecerdasan. Hal tersebut sangat disenangi orang yang cerdas
secara intelektual dengan dorongan rasa ingin tahu yang tinggi.
3.Ingatan yang
kuat
Orang
yang cerdas secara intelektual pasti memiliki daya ingat yang bagus. Orang
tersebut memiliki kekuatan untuk mengingat segala sesuatu.
4.Rajin membaca
Salah
satu cirri orang yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi adalah rajin
membaca. Karena mereka mempunyai rasa
ingin tahu yang kuat. Dengan membaca, maka akan semakin memperkuat daya nalar,
eksperimen dan daya ingat yang baik.[8]
Sedangkan indikator orang yang dikatakan cerdas secara
intelektual adalah sebagai berikut:
1.Banyak bertanya
tentang cara kerja suatu hal
2.Suka bekerja
atau bermain dengan angka
3.Suka pelajaran
matematika atau senang berhitung dan melakukan hal-hal yang melibatkan angka
4.Menganggap game
matematika dan komputer sebagai suatu yang menarik
5.Suka
mengerjakan teka-teki logika dan senang mendengarkan percakapan yang serius
6.Menunjukkan
minat pada mata pelajaran yang berhubungan dengan sains[9]
Setiap ilmu apapun pasti memiliki kelebihan maupun
kelemahan. Begitu juga dengan kecerdasan intelektual (IQ) ini juga memiliki
kelebihan maupun kelemahan. Adapun kelebihan dari kecerdasan intelektual adalah
datanya akurat, tepat dan dapat dipercaya. Sedangkan kelemahannya adalah jenis
pemikiran ini sangat menaati serangkaian
aturan yang dimilikinya sehingga pemikiran seri ini akan berantakan jika
seseorang menggeser sasarannya. Kelemahan dari konsep kecerdasan intelektual
inilah yang menjadi munculnya konsep baru tentang kecerdasan yang dikenal
dengan konsep kecerdasan emosional (EQ).
B. Konsep Kecerdasan Emosional
Sebelum memasuki pembahasan tentang kecerdasan emosional,
maka terlebih dulu penulis menjelaskan istilah emosi. Bahwa akar kata emosi
adalah movere, kata kerja bahasa latin yang berarti “menggerakkan,
bergerak. "Emosi" juga berarti setiap kegiatan atau pergolakan
pikiran, perasaan, nafsu.[10].
Daniel Goleman juga merumuskan emosi sebagai perasaan dan
pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis atau psikologis serta serangkaian
kecenderungan untuk bertindak. Emosi dikelompokkan baik dari segi positif
maupun dari negatif yaitu: cinta, kenikmatan, malu, rasa takut, kesedihan,
marah, jengkel, terkejut. Maka dimensi yang positif harus ditingkatkan dan
dimensi yang negative harus diminimalisir sehingga seseorang memiliki kecerdasan
emosional yang bagus.
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada
tahun 1990 oleh seorang psikolog Peter Salovey dari Harvard University
dan John Mayer dari University Of New Hampshire , dengan menyebutkan kecerdasan
emosional berupa :
Kemampuan
untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu
pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara
mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.[11]
Selanjutnya Peter Salovey dan John Mayer menjelaskan
kualifikasi-kualifikasi emosi yang penting bagi keberhasilan manusia antara
lain:
1.Empati
2.Mengungkapkan
dan memahami perasaan
3.Mengendalikan
amarah
4.Kemandirian
5.Kemampuan untuk
menyesuaikan diri
6.Disukai
7.Kemampuan memecahkan
masalah antar pribadi
8.Ketekunan
9.Kesetiakawanan
10. Keramahan
Kemudian istilah kecerdasan emosional ini dipopulerkan
kembali oleh Daniel Goleman pada tahun 1995, lewat karyanya Emotional
Intelligence (EI) dengan hasil temuan risetnya yang telah dilakukan selama 10
tahun. Goleman berkesimpulan bahwa kecerdasan intelektual bukan faktor dominan
dalam keberhasilan seseorang, tetapi kecerdasan emosional memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan.[13]
Beberapa hasil survey menunjukkan bahwa keberhasilan sebuah
usaha tidak ditentukan oleh kemampuan teknikal, tetapi lebih pada kemampuan
dasar untuk belajar dalam usaha tersebut, seperti kemampuan mendengarkan dan
berkomunikasi lisan, adaptasi, kreativitas, kepercayaan diri dan ketahanan
mental menghadapi kegagalan.[14]
Kecerdasan emosional
mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi, dengan
kecerdasan akademik. Meskipun kecerdasan intelektual tinggi, tetapi kecerdasan
emosionalnya rendah tidak akan membantu ketika hidup di masyarakat. Banyak
orang cerdas, dalam artian terpelajar, tetapi apabila tidak memiliki kecerdasan
emosional, ternyata dalam bekerja menjadi bawahan orang yang mempunyai
kecerdasan intelektual yang rendah tetapi unggul dalam ketrampilan kecerdasan
emosional.[15]
Kecerdasan emosional dalam pengertian Goleman lebih
ditujukan pada upaya mengenali, memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi yang
lebih tepat. Selain itu hal yang sangat penting dalam kecerdasan emosional
adalah upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dimanfaatkan untuk
memecahkan problem kehidupan, terutama yang berhubungan dengan manusia.[16]
Kemampuan seseorang untuk mengenal, memahami diri sendiri
dan orang lain tidaklah mudah, apabila dalam diri seseorang tidak dilatih sejak
dini. Karena kecerdasan emosional tidak akan berkembang secara alami, tetapi
melalui proses pembelajaran, pelatihan serta pengasuhan yang telah ditawarkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Kecerdasan emosional sangat berperan penting mendukung
keberhasilan ketika berada di tempat kerja, keluarga dan masyarakat. Yang mana
Kecerdasan emosional dapat membuat manusia bersikap pro aktif dalam berhadapan
dengan siapapun. Dengan kecerdasan emosional yang dimiliki akan dapat menikmati
kehidupan yang lebih bermakna serta bahagia dengan saling berbagi dan
mencintai.
Kunci suksesnya adalah kemampuan untuk mampu memahami emosi
diri dan emosi-emosi orang lain yang ada disekitar kita dan memanfaatkan
interaksi emosi untuk tujuan-tujuan yang lebih positif dalam pencapaian bersama.
Karena itu emosi memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan.[17]
Ada banyak
keuntungan bila seseorang memiliki kecerdasan emosional yang bagus.
1.
Kecerdasan emosional mampu menjadi
alat untuk pengendalian diri, sehingga seseorang tidak akan terjerumus dalam
tindakan-tindakan bodoh yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
2.
Kecerdasan emosional bisa
diimplementasikan sebagai cara yang sangat baik untuk membesarkan suatu ide,
konsep atau bahkan sebuah produk.
3.
Kecerdasan emosional adalah modal
penting bagi seseorang untuk mengembangkan bakat kepemimpinan dalam bidang
apapun juga.[18]
Untuk mengukur Kecerdasan emosional seseorang adalah dengan
menggunakan parameter kerangka kerja kecerdasan emosi yang dirancang oleh
Daniel Goleman yang terdiri dari lima
kategori utama yaitu :
1.
Kesadaran diri
Mengetahui apa yang kita rasakan
pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan sendiri
serta memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan
diri yang kuat.
2.
Pengaturan diri
Menangani
emosi kita sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap
kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran
serta mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
3.
Motivasi
Menggunakan
hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju
sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta
untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
4.
Empati
Merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami
perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri
dengan bermacam-macam orang.
5.
Ketrampilan sosial
Menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat
membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar serta
menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan
menyelesaikan perselisihan dan bekerja dengan tim.
Sedangkan menurut Salovey membaginya dalam wilayah utama juga, yaitu: mengendalikan emosi
diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain,
membina hubungan.
- Mengenali emosi diri
Kesadaran
diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar
kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari
waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri.
Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada
dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya
yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.
- Mengelola emosi
Mengelola
emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat,
hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi
dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa
kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit
kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya
dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau
melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.
- Memotivasi diri
Kemampuan
seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut : a)
cara mengendalikan dorongan hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap
unjuk kerja seseorang; c) kekuatan berfikir positif; d) optimisme; dan e)
keadaan flow (mengikuti aliran),
yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang
sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan
memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki
pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.
- Mengenali emosi orang lain
Empati
atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika
seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan
terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu
menghormati perasaan orang lain.
- Membina hubungan dengan orang lain
Seni
dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan ketrampilan sosial yang
mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki ketrampilan
seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena
tidak dimilikinya ketrampilan-ketrampilan semacam inilah yang menyebabkan seseorang
seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan.[19]
Maka, dengan kecerdasan emosional orang lebih bisa menata
dan menempatkan dirinya sendiri dalam mengelola emosinya serta akan lebih mudah
untuk berinteraksi dengan orang lain dan aikan menjadikan hidup penuh dengan
kebersamaan, saling menghargai dan saling menghormati antar sesama manusia.
Sehingga dapat mengembangkan kecerdasan emosional untuk membuka pintu kemajuan,
kecakapan manusia yang lebih substansial yaitu kecerdasan spiritual
C.
Konsep Kecerdasan Spiritual
Belum sempat kita mencerna secara konsep dan aplikasi EQ
yang dipopulerkan pada awal abad 20 oleh Daniel Goleman, saat ini, serangkaian
data ilmiah terbaru menunjukkan adanya kecerdasan jenis ketiga yaitu kecerdasan
spiritual yang dipopulerkan oleh seorang psikolog dan fisikawan yaitu Danah
Zohar dan Ian Marshall dan juga sebagai suami isteri ini menyebut kecerdasan
spiritual sebagai puncak kecerdasan manusia.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lainnya, atau kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga
untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.[20])
Menurut Jalaluddin Rakhmat ada beberapa teknik untuk
mengungkapkan makna, diantaranya adalah:
- Makna
kita temukan ketika kita menemukan diri kita.
- Makna
muncul ketika kita menemukan pilihan.
- Makna
ditemukan ketika kita merasa istimewa.
- Makna
memberi tanggung jawab.
- Makna
muncul dalam situasi transendensi.
Pengalaman transendensi tersebut akan membuat manusia
melihat dirinya ketika membuat pilihan, merasa istimewa dan ketika menegaskan
tanggung jawab[21].
Sedangkan Dr. H. Arief Rachman M.pd, menggambarkan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan yang
terdiri dari lima
komponen.
1.
Kecerdasan yang meyakini Tuhan
sebagi penguasa, pelindung dan pemaaf dan manusia percaya kehadiran Yang Maha
Kuasa.
2.
Di dalam kecerdasan spiritual ada
yang di sebut kemampuan untuk kerja keras, kemampuan untuk mencari ridha Allah.
3.
Kecerdasan spiritual adalah
kemampuan untuk kokoh melakukan ibadah secara disiplin.
4.
Kecerdasan spiritual diisi dengan
kesabaran, ketahanan, kemampuan untuk melihat bahwa orang harus selalu
berikhtiyar supaya tidak putus asa.
5.
Kecerdasan spiritual berarti
menerima keputusan terakhir dari Allah SWT.
Dengan kelima komponen tersebut akan terbentuk manusia yang
bermental khalifah, senantiasa bekerja keras dan tidak mudah putus asa dalam
menghadapi tantangan, namun tetap menempatkan diri dalam posisi sebagai hamba
yang tunduk dan patuh kepada Allah SWT. [22]
Gambaran diatas,
kecerdasan spiritual sebagai habluminnallah, yaitu hubungan manusia
dengan Allah. Yang mana semua aktivitas yang dilakukan adalah sebagai wujud
pengabdian kepada Allah. Dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah
seseorang akan bisa memaknai apa yang akan dilakukan dan kesemuanya itu hanya
mengharapkan ridha dari Allah.
Marsha Sinetar dan Khalili Khavari menyampaikan definisi
kecerdasan spiritual yang lebih sesuai dengan perkembangan psikologi mutakhir.
Menurut Sinetar, kecerdasan spiritual adalah pikiran yang mendapat inspirasi,
dorongan, efektifitas yang terinspirasi dan penghayatan ketuhanan yang di
dalamnya kita semua menjadi bagian.
Sedangkan menurut Khalili Khavari, kecerdasan spiritual
adalah fakultas dari dimensi nonmaterial ruh manusia. Inilah intan yang belum
terasah dan kita semua memilikinya.
Banyak bukti ilmiah mengenai kecerdasan spiritual. Para
ilmuwan telah melakukan penelitian dasar yang mengungkapkan adanya
fondasi-fondasi saraf. Bagi kecerdasan spiritual dalam otak, namun dominasi
paradigma IQ telah menutup penelitian lebih lanjut terhadap data-datanya,
adapun pembuktian ilmiah tersebut, antara lain:
- Riset
ahli psikologi Michael Pessinger awal tahun 1990 dan lebih mutakhir lagi
tahun 1997 oleh ahli syaraf Ramachandran dan timnya dari Universitas
California, yang menemukan eksistensi God-spot dalam otak manusia.Ini
merupakan pusat spiritual yang terletak diantara jaringan syaraf dalam
otak. Hanya saja, secara singkat adanya God-spot dalam riset Ramachandran
dan timnya ini tidak untuk membuktikan keberadaan Tuhan, tetapi untuk menunjukkan
otak manusia telah berkembang ke arah pencarian agenda-agenda fundamental dalam
hidup ini, seperti rasa memiliki dan menggunakan makna dan nilai kehidupan.
- Penelitian
neurology Austria Wolf singer di tahun 1990 atas the binding problem yang
menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi
pada usaha mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup. Suatu
jaringan syaraf yang secara literal “mengikat“ pengalaman kita secara
bersama-sama untuk hidup lebih bermakna.[23]
Jadi, kecerdasan spiritual mengarahkan hidup untuk selalu berhubungan
dengan kebermaknaan hidup, agar hidup lebih bermakna.[24]
Sebenarnya pengertian spiritualitas yang dikemukakan oleh
Zohar dan Marshall
ini tidak selalu mengkaitkan dengan masalah ketuhanan. Bagi mereka, kecerdasan
spiritual lebih banyak terkait dengan masalah makna hidup, nilai-nilai dan
keutuhan diri. Kesemuanya tidak perlu berkait dengan masalah ketuhanan. Orang
dapat menemukan makna hidup dengan bekerja, belajar, berkarya bahkan ketika
menghadapi problematika dan penderitaan.
Jadi kecerdasan spiritual berbeda dengan agama. Kalau agama
merupakan aturan-aturan dari luar sedangkan kecerdasan spiritual adalah
kemampuan internal, Sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam.
Zohar dan Marshall
juga mengatakan bahwa orang dapat meningkatkan kecerdasan spiritual melalui
jalan agama. Tetapi agama tidak menjamin kecerdasan spiritual tinggi. Banyak
orang humanis dan atheis yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi.
Sebaliknya banyak orang yang aktif beragama memiliki kecerdasan spiritual
rendah. Jadi, agama hanya sebagai salah satu cara mendapatkan kecerdasan
spiritual yang tinggi.[25]
Setiap agama di dunia ini mengajarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik untuk
mencapai kecerdasan spiritual atau aktualisasi diri. Seringkali kita justru
menganggap ritual atau ibadah sebagai tujuan bukan sebagai cara. Kita melakukan
ibadah sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan, karena jika tidak kita
takut akan menerima hukuman dari Tuhan (azab dan neraka), dan jika kita lakukan
kita akan menerima pahala dan surga.
Menjalankan ibadah agama dengan
motivasi karena ketakutan menunjukkan
kecerdasan spiritual yang paling bawah, dilanjutkan dengan motivasi karena
hadiah sebagai kecerdasan spiritual yang lebih baik. Tingkatan ketiga adalah
motivasi karena memahami bahwa kitalah yang membutuhkan untuk menjalankan
ibadah agama kita, dan tingkatan kecerdasan spiritual tertinggi adalah ketika
kita menjalankan ibadah agama karena kita mengetahui keberadaan diri kita
sebagai makhluk spiritual dan kebutuhan kita untuk menyatu dengan Sang Pencipta
berdasarkan kasih.
Paling tidak ada lima hal yang
diajarkan oleh agama untuk membantu kita meningkatkan kecerdasan spiritual
kita, yaitu:
- Iman atau keyakinan. Dalam Islam hal ini adalah Syahadat. Kita
harus menyadari dan meyakini bahwa kita adalah ciptaan Tuhan dan memiliki
potensi yang luar biasa untuk menjadi dan memiliki apa pun yang kita
harapkan. Potensi dan peluang yang tidak terbatas inilah yang harus kita
eksplorasi dan kembangkan dalam rangka mewujudkan impian-impian kita serta
misi hidup kita bagi sesama dan dunia pada umumnya.
- Ketenangan dan keheningan, yaitu suatu upaya ritual untuk
menurunkan frekuensi gelombang otak kita sehingga mencapai alpha (relaks)
sampai tahap meditatif pada keheningan yang dalam. Semua agama mengajarkan
cara untuk bersembahyang dan meditasi. Dalam Islam adalah Shalat, yang
sebenarnya merupakan tahap di mana otak kita membutuhkan istirahat untuk
mencapai kejernihan dan ketenangan. Sembahyang lima waktu merupakan
kebutuhan kita untuk memasuki frekuensi gelombang otak yang rendah, untuk
mencapai kecerdasan yang lebih tinggi, kreativitas, intuisi dan tuntunan
Ilahi. Pada frekuensi rendah juga terjadi peremajaan sel-sel tubuh
(rejuvenation) sehingga kita menjadi lebih sehat dan awet muda.
- Pembersihan diri, berupa detoksifikasi yaitu
pembuangan racun-racun. Semua agama mengenal puasa. Karena puasa merupakan
sebuah proses bagi kita untuk membersihkan tubuh dari segala racun-racun
dan sisa pembuangan metabolisme tubuh, serta memberi waktu bagi tubuh kita
untuk beristirahat. Jadi terlihat jelas bahwa berpuasa adalah kebutuhan
mutlak seseorang untuk memelihara kesehatannya, selain bahwa puasa
membantu kita untuk mencapai ketenangan (frekuensi gelombang otak yang rendah)
sehingga kita dapat mencapai kesadaran tertinggi (super consciousness).
Oleh karena itu dalam Islam dikenal sebagai lailatul qadar. Suatu
tahapan meditatif ketika seseorang mencapai supra-sadar. Ketika tahap
pembersihan diri tercapai, maka umat Islam merayakannya sebagai Idul Fitri
atau kembali ke fitrah (sebagai makhluk spiritual yang suci dan murni).
- Beramal dan mengucap syukur (Charity and Gratitude).
Beramal bukan untuk kebutuhan orang lain semata. Justru kita butuh untuk
melakukan amal karena terbukti dalam penelitian bahwa rasa iba dan kasih
saying menstimulasi pembentukan hormon yang meningkatkan daya tahan tubuh
dan kesehatan kita. Beramal dan mengucap syukur adalah sebuah pernapasan rohani,
yang jika tidak kita lakukan maka kita akan mati secara spiritual dalam
arti kita semakin tidak dapat mencapai tahapan aktualisasi diri atau
pemenuhan diri yang sempurna. Dalam Islam dikenal sebagai zakat. Beramal
atau berbuat baik pada sesama merupakan ciri kecerdasan spiritual
seseorang atau aktualisasi diri menurut istilah Maslow, di mana kita
memiliki misi untuk menolong sesama kita.
- Penyerahan diri secara total. Ini adalah tahapan
tertinggi dalam perjalanan spiritualitas seseorang, yaitu ketika dia sudah
tidak punya rasa kuatir akan apa yang akan terjadi. Dia memiliki rasa
pasrah secara total kepada Tuhan, karena sebagai makhluk spiritual, dia
telah mencapai penyatuan dengan sang Pencipta. Dalam Rukun selain keempat
hal di atas, hal kelima dikenal dengan ibadah Haji. Saya dulu selalu
bertanya, mengapa orang naik Haji diberangkatkan dengan doa seperti orang
mendoakan mereka yang meninggal. Selain mungkin bahwa ada resiko meninggal
dalam menjalankan ibadah haji, hal tersebut bermakna bahwa ketika seseorang
berangkat haji, berarti dia sudah menyerahkan hidupnya sepenuhnya kepada
Sang Pencipta[26]
Adapun ciri-ciri kecerdasan spiritual yang telah berkembang
dengan baik mencakup hal-hal berikut:
- Kemampuan
bersifat fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif )
- Tingkat
kesadaran diri yang tinggi
- Kemampuan
untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
- Kemampuan
untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
- Kualitas
hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
- Keengganan
untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
- Kecenderungan
untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistic)
- Kecenderungan
nyata untuk bertanya “ mengapa ?” atau “bagaimana jika?” untuk mencari
jawaban-jawaban yang mendasar
- Menjadi
apa yang disebut oleh para psikolog sebagai “ bidang mandiri “ yaitu
memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.[27]
Orang yang kecerdasan spiritualnya tinggi tidak picik dan
fanatik atau penuh prasangka dalam beragama artinya ekspresi keberagamaanya
tidak monolitik dan eksklusif yang sering berakibat pada korban konflik atas
nama agama dan tuhan. Tapi sebaliknya, mengalir dengan penuh keadaan yaitu
ekspresi keberagamaannya menjadi terbuka, inklusif, bahkan pluralis. Maka
jelaslah bahwa dari ekspresi keberagamaanya, seseorang dapat dilihat cerdas secara
spiritual atau sebaliknya tidak cerdas secara spiritual.
Menjadi cerdas spiritual berarti
mampu melalui batasan atau sekat-sekat tersebut dan menemukan siapa diri kita
yang sebenarnya serta tujuan kehidupan kita. Menjadi cerdas spiritual berarti
kita lebih memahami diri kita sebagai makhluk spiritual yang murni, penuh
kasih, suci, dan memiliki semua sifat-sifat ilahi. Termasuk memiliki kemampuan
sebagai pencipta realitas kehidupan yang berkualitas dan berkelimpahan.
[1]
Didi Purwodarsono, Memahami Alur Kehidupan Pandangan Hidup Muslim, (Yogyakarta : Pustaka Salma. 2004), hal.18.
[2]
Rusli Amin, Menjadi Remaja CERDAS Panduan Melejitkan Potensi Diri, (Jakarta : Al-Mawardi
Prima, 2003), Hal 67
[3]
Sefudin Azwar, Pengantar Psikologi Intelligensi, ( Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996) hal 52
[4] Ibid.,
hal. 53.
[5]
Rusli Amin, Menjadi Remaja CERDAS., hal. 68.
[6]Khairul
Ummah Dkk, SEPIA: Kecerdasan Milyuner, Warisan yang Mencerahkan Keturunan
anda, (Bandung :
Ahaa, 2003 ), hal. 161.
[7] Rusli Amin, Menjadi Remaja Cerdas.,
hal. 84.
[8] Ibid.,
hal. 70-74.
[9] Ibid.,
hal. 80.
[10] Ibid.,
hal. 47.
[11]
Steven J Stein dan Howard E. Book, Ledakan EQ 15 Prinsip Dasar Kecerdasan
Emosional Meraih Sukses (Bandung :
Kaifa, 2002), hal. 30.
[12]
Lawrence Shapiro, Mengajar EQ pada anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1998), hal 5
[13]
Komaruddin Hidayat, “ Jabatan Tinggi, EQ Rendah”,Kompas, Rabu 23 Januari
2005, hal 5
[15]
Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2000), hal 512
[16]
Lawrwnce Shapiro, Mengajar EQ pada Anak., hal 5
[17] ESQ
Alat telkom Gapai Masa Depan, Kompas, Kamis 10 Maret 2005, hal 53
[19]
Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi., hal. 617
[20]
Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam
Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, ( Bandung : Mizan, 2002),
hal 8-9
[21] Muchammad Agung, Suara Muhammadiyah, Makna
Hidup, Januari 2005
[22]
Inayati dan Dwi Septiawati, Kecerdasan Spiritual, Ummi, edisi special 4 tahun,
2002, hal 24
[23]
Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan., hal 10
[24]
Ari Ginanjar Agustian, ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (
Jakarta: Arga, 2001), hal. xxxix
[25]
Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan., hal 10
[26] Ary Ginanjar Agustian, ESQ Berdasarkan 6
Rukun., hal 284
[27]
Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan., hal 14
Thanks For Sharing, Interesting Article ^_^
ReplyDeleteVisit >>> Website