Makalah Hukum Wakaf Produktif dalam Pengembangan Ekonomi Umat
Wakaf Produktif dalam Pengembangan Ekonomi Umat| Wakaf Produktif.cdr
WAKAF
MENURUT SYARIAT ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum
Wakaf
Kata
wakaf berasal dari bahasa Arab “waqf” yang berarti hal berdiri, berhenti atau diam di tempat.[1]
Dalam kitab-kitab mazhab Maliki, lebih banyak digunakan kata al-habs
yang memiliki arti sama dengan al-waqf.
Secara
istilah, para ulama fiqh mengemukakan pengertian wakaf yang berbeda-beda.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari definisi yang mereka kemukakan sebagai
berikut :
1. Menurut Abu Zahrah, wakaf adalah :
الوقف
هومنع التصرف في رقبة العين التى يمكن الانتفاع بهامع بقاءعينهاوجعل المنفعتة
الجهة من جهات الخيرابتداء ونتهاء[2]
2. Menurut Sayyid Sabiq, wakaf adalah :
3. Menurut Imam Muhammad Ibnu Ismail
al-Kahlani, wakaf adalah :
Dari
pengertian wakaf di atas, dapat dikatakan bahwa wakaf merupakan perbuatan
peralihan benda hak milik menjadi wakaf, walaupun yang menjadi objek dalam
perwakafan adalah benda itu sendiri, sehingga kekalnya benda wakaf seiring
dengan manfaat wakaf tersebut. Jadi rumusan mengenai batasan wakaf lebih
bersifat kontekstual.
Menurut
Azhar Basyir, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa
musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah (tidak dilarang Tuhan) serta
dimaksudkan untuk mendapatkan keridaan Allah SWT.[5]
T.M.
Hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya Pengantar Fiqh Muamalat memberikan
pengertian wakaf sebagai berikut :
Sedangkan
Sulaiman Rasyid memberikan pengertian wakaf sebagai menahan suatu benda yang
kekal zatnya, yang dapat diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.[7]
Dari
definisi-definisi tersebut dapat dipahami bahwa wakaf adalah menahan harta
benda milik yang tujuan manfaatnya digunakan untuk usaha-usaha kebaikan.
Adapun
pengertian wakaf menurut Undang- undang adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut
syariah.[8]
Pengertian wakaf menurut Undang-undang tersebut mengikuti pendapat mazhab
Hanafi, yakni pemilikan harta diwakafkan tidak harus lepas dari pemilikan wakif
dan dibenarkan bagi wakifnya kembali serta boleh menjualnya. Pendapat ini
bertentangan dengan Jumhur Fuqaha yang mengatakan bahwa harta wakaf tidak lagi
menjadi milik wakif melainkan secara hukum menjadi milik Allah atau dalam
terminologi sosiologis harta wakaf menjadi milik masyarakat umum. Maka wakif
tidak boleh menariknya kembali.[9]
Dari
penjelasan definisi-definisi wakaf di atas, benang merah yang dapat digaris
bawahi bahwa substansi wakaf adalah mempertahankan eksistensi materi wakaf
dengan pemanfaatannya untuk kepentingan umat.
Sedangkan dasar hukum wakaf adalah dari al-Qur’an dan
al-Hadis. Walaupun kata wakaf tidak ditemukan dalam al-Qur’an, akan tetapi
ayat-ayat yang memerintahkan orang berbuat kebaikan dapat
menjadi dasar umum amalan wakaf, sebab amalan wakaf termasuk salah satu macam
perbuatan yang diridai Allah. Diantara ayat-ayat
yang memerintahkan untuk berbuat kebaikan yaitu :
Diriwayatkan
bahwa seorang sahabat dari golongan Anshar bernama Abu Talhah yang terkenal
banyak kebunnya, setelah turun ayat tersebut langsung mewakafkan kebun yang
paling disayanginya di Bairaha, yang lokasinya berhadapan dengan masjid
Madinah. Kemudian perintah Tuhan agar manusia berbuat kebaikan sehingga
mendapatkan kebahagiaan di dalam hidupnya, yaitu :
Dalam
ayat lain, Allah memerintahkan manusia untuk membelanjakan (menafkahkan)
hartanya yang baik-baik dari hasil usahanya,
Ayat-ayat
al-Qur’an tersebut menurut pendapat para ulama dapat dipergunakan sebagai dasar
umum lembaga wakaf.
Sedangkan
landasan hukum dari hadis adalah :
اصاب
عمرارضابخيبرفاتي النبىصلى الله عليه وسلم يستامره فيهافقال: يارسو ل الله انى
اصبت ارضابخيبرلم اصب مالاقط هوانفس عندى منه فماتامرنىبه قال : ان شئت حبست
اصلهاوتصد قت بها, قال: فتصد ق بهاعمرانه لا يباع اصلهاولايبتاع ولايورث ولايوهب
قال : فتصدق عمرفى الفقراءوفى القربى وفى الرقاب وفى سبيل الله وابن السبيل الضيف
لاجناح على من وليهاان ياكل منهابالمعروف اويطعم صد يقا غير متمول فيه. [13]
Dari
hadis di atas, diketahui bahwa harta yang diwakafkan tersebut tidak boleh
dijual, diwariskan atau dihibahkan. Apa yang dilakukan Umar tersebut merupakan
peristiwa perwakafan yang pertama dalam Islam dan merupakan dasar hukum khusus
wakaf harta tak bergerak
Dalam
hadis lain disebutkan bahwa :
اذا
ما ت الانسان انقطع عنه عمله الامن ثلاثة الامن صد قة جارية اوعلم ينتفع به اوولد
صالح يد ع له [14]
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan sedekah
jariyah dalam teks hadis tersebut addalah
amalan wakaf yang diberikannya di kala seseorang masih hidup. Ada juga hadis yang memperbolehkan wakaf
harta bergerak, yaitu wakaf kuda yang pada zaman Nabi merupakan satu-satunya
kendaraan yang mobilitasnya paling cepat dan Khalid bin Walid juga pernah
mewakafkan baju-baju perangnya dan peralatan perangnya di jalan Allah.[15]
Dari
beberapa hadis yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa harta wakaf
meliputi benda tetap dan benda bergerak. Hadis yang paling utama adalah hadis
yang berasal dari Ibnu Umar mengenai wakaf tanah yang dilakukan oleh Umar bin
Khattab itu. Hadis inilah yang biasanya dijadikan dasar hukum khusus lembaga
perwakafan.
Hadis
Ibnu Umar tentang tanahnya di Khaibar mengandung ketentuan-ketentuan wakaf
sebagai berikut :
1. Harta wakaf tidak boleh dipindah
tangankan kepada orang lain, baik dengan diperjual belikan, diwariskan atau
dihibahkan.
2. Harta wakaf terlepas dari milik
wakif (orang yang berwakaf).
3. Tujuan wakaf harus jelas dan
termasuk amal kebaikan menurut
pandangan Islam.
4. Harta wakaf dapat dikuasakan kepada
pengawas yang mempunyai hak untuk ikut menikmati hasil wakaf sekedar perlunya
dan tidak berlebihan.
5. Harta wakaf dapat berupa tanah dan
lain sebagainya yang tahan lama, tidak musnah seketika setelah dipergunakan.[16]
B. Rukun (Unsur) dan Syarat
Wakaf
1. Rukun (Unsur) Wakaf
Sempurna
atau tidaknya amalan wakaf sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada dalam
perbuatan wakaf tersebut. Masing-masing unsur tersebut harus saling menopang satu
dengan yang lainnya, keberadaan yang satu sangat menentukan keberadaan yang
lainnya. Para ulama sepakat bahwa pelaksanaan
wakaf harus memenuhi empat unsur pembentuknya yang juga merupakan rukun wakaf,
yaitu :
a. Wakif,
yakni pihak yang menyerahkan wakaf
b. Mauquf 'alaih, yakni pihak
yang diserahi wakaf
c. Mauquf bih,
yakni harta yang diwakafkan
d. Sigat
atau ikrar, yakni pernyataan penyerahan wakaf dari pihak wakif.[17]
Masing-masing
unsur wakaf tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Pihak yang menyerahkan wakaf (Wakif)
Seorang
wakif harus memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya, agar perbuatan
wakaf yang dilakukan menjadi sah secara hukum. Azhar Basyir mengatakan bahwa
untuk sahnya wakaf, wakif harus mempunyai kecakapan melakukan tindakan
tabarru, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbangan materiil. Seseorang
dikatakan mempunyai kecakapan bertabarru bila telah balig, berakal sehat dan
tidak terpaksa.[18]
Menurut
Abu Zahrah, orang yang berwakaf harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu
seorang yang ahli tabarru,artinya dianggap mampu melakukan perbuatan hukum dan
dewasa, berakal, merdeka, tidak sedang di bawah pengampuan serta tanpa ada
unsur paksaan dengan kata lain tidak cacat hukum.[19]
Muhammad
Daud Ali menambahkan bahwa selain kecakapan bertabarru, wakif juga telah dapat
mempertimbangkan baik buruknya perbuatan yang dilakukan dan benar-benar pemilik
harta yang diwakafkan itu.[20]
Seseorang dipandang cakap bertabarru atau tidak adalah adanya pertimbangan akal
yang sempurna pada orang yang telah mencapai umur dewasa. Fikih Islam
menentukan bahwa jika seseorang telah berumur 15 tahun, maka dipandang telah
mempunyai pertimbangan kehidupan, tetapi seringkali anak yang berumur 25 tahun
tersebut belun mempunyai pertimbangan akal yang sempurna. Oleh karena itu,
Islam membedakan dua istilah yang berbeda mengenai kecakapan bertindak, yaitu
balig dan rasyid. Balig lebih dititikberatkan umur dan rasyid lebih dititikberatkan
pada kematangan pertimbangan akal, yang dianggap telah ada pada remaja berusia
15 sampai 23 tahun.[21]
Agama
yang dianut seseorang tidak menjadi syarat bagi wakif. Seorang non
muslim pun dapat menjadi wakif, asal saja tujuan wakafnya itu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, bila seseorang beragama
Nasrani mewakafkan tanahnya untuk mendirikan rumah sakit, maka wakafnya
dipandang sah.[22]
Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyebutkan bahwa wakif meliputi
perseorangan, organisasi dan badan hukum. Wakif perseorangan hanya dapat
melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan dewasa, berakal sehat, tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum dan pemilik sah harta benda wakaf.[23]
Sedangkan wakif organisasi dan badan hukum hanya dapat melakukan wakaf
apabila memenuhi ketentuan organisasi dan badan hukum untuk mewakafkan harta
benda wakaf milik organisasi dan badan hukum sesuai dengan anggaran dasar
organisasi dan badan hukum yang bersangkutan.
2) Pihak yang diserahi wakaf (Mauquf
'alaih)
Mauquf
'alaih, dapat juga dikatakan tujuan wakaf,
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah. Tujuan wakaf harus
merupakan hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya,
sekurang-kurangnya merupakan hal-hal yang dibolehkan atau mubah menurut nilai
hukum Islam.[24]
Tidak diperbolehkannya seseorang mewakafkan sebagian hartanya untuk hal-hal
yang dilarang menurut hukum Islam, seperti perjudian, perzinaan, pabrik minuman
keras dan perbuatan maksiat lainnya adalah sesuai dengan firman Allah sebagai
berikut :
Selain
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, tujuan wakaf harus jelas
apakah untuk kepentingan umum, seperti untuk mendirikan masjid, sekolah, rumah
sakit dan amal-amal usaha lainnya atau untuk menolong fakir miskin dan
orang-orang terlantar dengan membangun panti asuhan dan atau untuk keperluan
anggota keluarga sendiri, walaupun anggota keluarga itu terdiri dari
orang-orang yang mampu. Namun yang lebih baik adalah kalau tujuan wakaf itu jelas
diperuntukkan untuk kepentingan umum, untuk kemaslahatan masyarakat.
Apabila
wakaf ditujukan untuk kelompok orang-orang tertentu, harus disebutkan nama
tujuan wakaf secara jelas agar harta wakaf segera dapat diterima setelah wakaf
diikrarkan.
3) Harta yang diwakafkan (Mauquf bih)
Harta
yang diwakafkan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Berwujud harta atau hak atas harta tertentu
b.
Dimiliki atau dikuasai sepenuhnya oleh wakif
c. Dapat memberikan manfaat (hasil yang
halal)
d.
Hartanya tetap utuh waktu diambil manfaatnya.[26]
Harta wakaf dapat berupa benda tetap seperti tanah dan
bangunan serta dapat berupa benda-benda
bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa
dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[27]
4) Pernyataan penyerahan wakaf dari pihak wakif (Sigat atau
ikrar wakaf)
Sigat adalah pernyataan kehendak dari wakif yang
dilahirkan dengan jelas tentang benda yang diwakafkan, kepada siapa diwakafkan
dan untuk apa dimanfaatkan.[28]
Apabila penerima wakaf adalah pihak tertentu, sebagian ulama berpendapat perlu
ada qabul (jawaban penerimaan). Tetapi kalau wakaf itu untuk umum, maka tidak
harus ada qabul.
Sigat yang dipakai adalah kata-kata yang menunjukkan adanya
wakaf walaupun tidak harus dengan redaksi wakaf. Yang paling diutamakan adalah
kata wakaf sehingga dengan mudah bisa ditangkap makna dari ikrar wakaf
tersebut. Ucapan wakaf ini ada yang jelas dan ada yang kinayah (tersembunyi).
Yang jelas misalnya ucapan seseorang yang berkata: وقفت
وحبست وسبلت وابدت. Yang kinayah
seperti : تصد
قت , akan
tetapi berniat mewakafkan.[29]
Di samping dengan ucapan, sigat wakaf dapat
juga dilakukan dengan tulisan dan dengan suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya.
Cara isyarat ini dapat dilakukan oleh orang yang tidak dapat menggunakan cara
lisan atau tulisan. Pernyataan dengan isyarat harus sampai benar-benar
dimengerti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan di
kemudian hari.[30]
Dengan pernyataan itu, hilanglah hak wakif atas harta yang
diwakafkannya. Harta tersebut kembali menjadi hak milik mutlak Allah yang
dimanfaatkan oleh orang-orang yang disebut dalam ikrar wakaf tersebut.
Mengenai
masalah saksi dalam ikrar wakaf, tidak dibicarakan dalam kitab-kitab hukum Islam,
karena para ahli menggolongkan wakaf ke dalam akad tabarru, yakni janji untuk
melepaskan hak tanpa suatu imbalan kebendaan. Pelepasan hak itu ditujukan kepada
Allah dalam rangka beribadah untuk memperoleh keridaanNya. Namun, karena
masalah saksi termasuk dalam kategori maslahah mursalah, yakni untuk
kemaslahatan umum, maka soal kesaksian itu perlu juga diperhatikan. Pernyataan
wakif juga harus jelas, yaitu melepaskan haknya atas pemilikan harta yang
diwakafkan dan menentukan peruntukan harta itu, apakah untuk kepentingan
orang-orang tertentu atau untuk kepentingan masyarakat.[31]
2. Syarat-syarat Wakaf
Di
samping unsur-unsur wakaf dan syarat yang menyertainya, terdapat juga
syarat-syarat umum sahnya amalan wakaf. Azhar Basyir mengemukakan syarat-syarat
wakaf sebagai berikut :
a. Wakaf tidak dibatasi dengan waktu
tertentu, sebab amalan wakaf berlaku untuk selamanya. Pendapat Azhar Basyir ini
sesuai dengan Pasal 215 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa
wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum
yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.
Sedangkan dalam
Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, syarat itu berubah. Pasal 1
ayat (1) UU No. 41 tahun 2004 menyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut
syariah. Dalam penelitian ini lebih cenderung menggunakan ketentuan yang
terdapat dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, karena untuk wakaf benda
bergerak seperti uang dan saham, syarat keabadian harta wakaf sangat sulit
untuk dilakukan sehingga ketentuan wakaf sementara ini juga diperbolehkan
asalkan sesuai dengan kepentingannya.[32]
b. Tujuan wakaf harus jelas, maksudnya
hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang kepada siapa diwakafkan. Apabila seseorang
mewakafkan harta miliknya tanpa menyebutkan tujuan sama sekali, maka wakafnya
dipandang tidak sah. Amalan wakaf yang diserahkan kepada badan hukum, maka
badan hukum itu dapat dipandang sebagai tujuan wakaf, sehingga penggunaan harta
wakaf yang diserahkan kepadanyamenjadi wewenangnya pula untuk menentukannya.
c. Wakaf harus segera dilaksanakan
setelah ikrar wakaf yang dinyatakan oleh wakif, tanpa menggantungkan
pelaksanaannya pada suatu peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang,
sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik, seketika setelah wakif
menyatakan ikrar wakaf. Berbeda halnya dengan wakaf yang disandarkan pada
kematian wakaf, ketika hal ini terjadi, maka berlaku hukum wasiat.
d. Wakaf merupakan hal yang mesti
dilaksanakan tanpa syarat boleh khiyar, artinya tidak boleh membatalkan
atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan, sebab pernyataan wakaf berlaku
seketika dan untuk selamanya.[33]
Dalam
hubungannya dengan syarat-syarat wakaf ini, perlu dikemukakan syarat yang
diajukan oleh wakif mengenai harta yang diwakafkannya. Seorang wakif dapat
menentukan syarat-syarat mengenai hartanya itu. Syarat yang diajukan oleh wakif
harus dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[34]
Apabila syarat-syarat penggunaan harta wakaf bertentangan dengan ajaran Islam,
wakafnya dipandang sah tetapi syarat-syaratnya batal. Misalnya seseorang
mewakafkan tanah untuk mendirikan masjid dengan syarat hanya dipergunakan oleh
para anggota perkumpulan tertentu, maka wakafnya dipandang sah tetapi syarat-syaratnya
tidak perlu diperhatikan.[35]
B. Macam-macam Wakaf
Berdasarkan
tujuannya, wakaf terbagi menjadi dua macam, yaitu wakaf ahli (wakaf zurri)
dan wakaf khairi (wakaf umum). Wakaf ahli adalah wakaf yang ditujukan
untuk anak cucu atau kaum kerabat kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang
fakir. Sedangkan wakaf khairi adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kebajikan
semata-mata.[36]
1. Wakaf Ahli
Wakaf ahli atau wakaf keluarga
(disebut juga wakaf khusus) adalah wakaf yang hanya dimanfaatkan untuk
sekelompok orang-orang tertentu atau sekelompok kalangan tertentu atau kerabat
dari wakif.[37]
Wakaf ahli ini dapat dijumpai misalnya wakaf seorang kyai yang sehari-hari
bertugas mengajari santrinya di pondok pesantren atas dasar kepentingan Islam
secara umum, maka kyai sebagai penanggung jawab menyerahkan wakaf tanah
pertanian kepada anak-anaknya, mewakafkan kitab-kitabnya untuk anaknya yang
mampu menggunakannya dan kemudian diteruskan kepada cucu-cucunya dan
seterusnya.[38]
Wakaf semacam ini dipandang sah dan
yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah mereka yang telah ditunjuk dalam
pernyataan wakaf. Persoalan yang mungkin muncul adalah apabila anak keturunan
wakif tidak ada lagi yang mampu menjadi kyai atau tidak ada lagi yang mampu
menggunakan kitab-kitab tersebut.[39]
Azhar Basyir mengatakan apabila terjadi hal seperti ini, maka dikembalikan
kepada adanya syarat bahwa wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu.
Dengan demikian,meskipun anak keturunan wakif yang menjadi tujuan wakaf itu
sudah tidaka ada lagi, harta wakaf tersebut tetap menjadi harta wakaf yang
dipergunakan keluarga wakif yang lebih jauh atau dipergunakan untuk kepentingan
umum.[40]
Berkaitan dengan wakaf ahli ini,
Munzir Qahaf, ahli ekonomi Islam dari Damaskus, menyatakan bahwa pemerintah
harus memperhatikan pentingnya wakaf keluarga ini dan peranannya di jalan
kebaikan yang pada akhirnya juga akan menjadi wakaf umum, karena dalam wakaf
keluarga juga terdapat pokok harta hak atau manfaat yang sengaja ditahan untuk
tidak langsung dikonsumsi dan manfaatnya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf,
yaitu umumnya adalah anggota keluarga dan keturunan wakif. Jadi, dalam hal
wakaf keluarga juga terkandung makna pengembangan aset wakaf yang pada suatu
saat nanti manfaatnya bisa dirasakan oleh generasi yang akan datang, terutama
kalangan tertentu yang berhak atas wakaf tersebut.[41]
Di dalam sejarah perwakafan yang
telah terjadi di masa lampau, wakaf ahli pada akhirnya banyak menimbulkan
masalah, terutama kalau wakaf ahli itu berupa tanah pertanian. Masalah yang timbul
yaitu penyalahgunaan wakaf. Misalnya, menjadikan wakaf ahli sebagai alat untuk
menghindari pembagian kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah
wakif meninggal dunia. Kadang kala wakaf ahli juga dipergunakan sebagai alat
untuk mengelakkan tuntutan kreditor terhadap hutang-hutang yang dimiliki orang
yang mewakafkan tanahnya tersebut.[42] Hal itu menyebabkan praktek wakaf
ahli ini dibatasi dan bahkan dihapuskan dibeberapa negara, seperti di Suriah
dan Mesir.
Di
Indonesia, untuk sementara waktu, lembaga wakaf ahli ini dapat diambil sebagai
jalan keluar untuk mempertemukan ketentuan-ketentuan hukum adat dengan
ketentuan-ketentuan hukum Islam, yaitu mengenai macam-macam harta yang menurut
hukum dipertahankan menjadi harta keluarga secara kolektif, tidak diwariskan kepada keturunan secara
individual, karena telah diperuntukkan bagi kepentingan keluarga, memenuhi
kebutuhan, baik dalam keadaan biasa apalagi dalam keadaan yang tidak
disangka-sangka (darurat).[43]
2. Wakaf
Khairi
Wakaf
khairi atau wakaf umum adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk
kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu.Wakaf umum
merupakan wakaf yang tujuannya mencakup semua orang yang berada dalam tujuan
wakaf, baik cakupan ini untuk seluruh manusia atau kaum muslimin atau
orang-orang yang berada di daerah mereka. Jika wakaf tujuannya umum untuk fakir
miskin, maka harus diperjelas mencakup orang-orang miskin dari kalangan muslim
dan non muslim atau orang-oramg miskin dari kalangan muslim saja, atau umat
Kristen saja, atau orang-orang miskin dari kalangan muslim yang berada di suatu
daerah tapi bukan untuk daerah lain.[44]
Wakaf
khairi inilah yang sejalan benar dengan jiwa amalan wakaf dan sebagai realisasi
perintah Allah kepada umat manusia untuk berbuat kebajikan dengan menafkahkan
sebagian hartanya untuk orang lain, sebagaimana firmannya:
ꗬÁ䀵Ёደ¿ 욧
橢橢㋏㋏Љ푂墭墭滇ྫ‑ɔɔɔŎä҆҆҆ Қ⃢⃢⃢8ℚ|↖tҚ쭫ƀ∖∖"∸∸∸∸∸∸쨒[1]쨔쨔쨔쨔쨔쨔$쳫ɒ켽V쨸í҆╬∸∸╬╬쨸al, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan keagamaan.
橢橢㋏㋏Љ푂墭墭滇ྫ‑ɔɔɔŎä҆҆҆ Қ⃢⃢⃢8ℚ|↖tҚ쭫ƀ∖∖"∸∸∸∸∸∸쨒[1]쨔쨔쨔쨔쨔쨔$쳫ɒ켽V쨸í҆╬∸∸╬╬쨸al, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan keagamaan.
Sepanjang
sejarah, cukup banyak program yang didanai dari hasil wakaf, seperti
pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat,
rehabilitasi orang cacat, membantu proyek penciptaan lapangan kerja, asrama
mahasiswa, sarana dan prasarana mahasiswa melakukan riset dan menyelesaikan
studi, penulisan buku, penerjemahan, kegiatan-kegiatan ilmiah dalam berbagai
bidang, termasuk bidang kesehatan dan lain-lain.[46]
C. Pengelolaan
dan Pengembangan Harta Wakaf
Dalam pengelolaan harta wakaf, peran nazir sangat
esensial. Berfungsi atau tidaknya harta wakaf sangat tergantung pada kualitas
nazir. Nazir adalah orang aau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara
dan mengurus hata wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya. Pada
dasarnya, siapa saja dapat menjadi nazir asalkan ia berhak melakukan tindakan
hukum. Namun demikian, jika nazir adalah perorangan, para ulama menentukan
beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu dewasa, berakal sehat, dapat
dipercaya dan mampu menyelenggarakan segala urusan yang berkenaan dengan harta
wakaf.[47]
K.H. MA. Sahal Mahfudz, seperti yang
dikutup oleh Ahmad Rofiq menyarankan supaya ada dua nazir wakaf, yaitu nazir
syar'i dan nazir wad'i. Nazir syar'i bersifat perorangan, badan hukum atau lembaga yang secara sah ditunjuk oleh wakif. Sementara
nazir wad'i adalah perorangan, badan hukum atau lembaga yang secara sah
ditunjuk dalam aturan formal yang ada.[48]
Nazir wakaf berwenang melakukan segala tindakan yang
mendatangkan kebaikan terhadap harta wakaf yang bersangkutan dengan senantiasa
memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan oleh wakif. Apabila harta itu
berupa tanah, nazir berhak menanaminya dengan tanaman yang baik dan memberi
hasil. Nazir berhak juga menyewakan tanah wakaf kepada orang lain dan
memberikan hasil yang diperoleh kepada orang yang berhak menerimanya. Namun
demikian, nazir tidak berhak menggadaikan tanah wakaf itu atau menjadikannya
sebagai jaminan hutang, baik untuk kepentingan harta wakaf itu sendiri maupun
untuk menjadi jaminan hutang seseorang atau orang-orang yang berhak menerima
hasil wakaf yang dimaksud. Seandainya nazir wakaf dibenarkan melakukan tindakan
demikian, dikhawatirkan amalan wakaf itu akan berhenti karena harta wakaf harus
dijual atau disita untuk melunasi hutang-hutang tersebut.[49]
Nazir mempunyai hak untuk mendapatkan imbalan
dari jerih payahnya, mempertimbangkan
tugas dan kewajiban nazir yang cukup berat. Undang-undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf Pasal 11 ayat (1) menjelaskan bahwa tugas nazir adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan
pengadministrasian harta benda wakaf;
2. Mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya;
3. Mengawasi dan
melindungi harta benda wakaf;
4. Melaporkan
pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 12 ayat (1) Undang-undang tentang Wakaf juga
menentukan bahwa nazir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10
% (sepuluh persen). Besarnya upah ini
disesuaikan dengan ketentuan wakif atau hakim.
Nazir wakaf adalah pihak yang memegang amanat untuk
memelihara dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai wujud dan tujuannya. Sebagai
pemegang amanat, nazir tidak dibebani resiko apapun atas kerusakan-kerusakan
yang terjadi pada harta wakaf, kecuali apabila kerusakan itu terjadi karena
kelalaian atau kesengajaan nazir. Untuk menentukan bahwa kerusakan itu akibat
kelalaian atau kesengajaan nazir atau tidak, harus dilakukan oleh pengadilan
atau penguasa lainnya. Apabila nazir tidak dapat lagi mekaksanakan tugasnya
atau karena telah meninggal dunia, maka tugas itu diserahkan kembali kepada wakif.
Dan jika wakif telah tidak ada lagi, maka tugas nazir tersebut
diserahkan kepada badan wakaf (instansi yang berwenang).[50]
Pengelolaan dan pengembangan harta wakaf dilakukan secara
produktif, antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal,
produksi, kemitraan, perdagangan, agribisnis, pertambangan,perindustrian,
pengembangan teknologi, pembangunan gedung apartemen, rumah susun, pasar
swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan
danusaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.[51]
Dalam mengelola dan mengembangkanharta wakaf, nazir dilarang melakukan
perubahan peruntukan harta wakaf kecuali atas dasar ijin tertulis dari Badan
Wakaf Indonesia. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen yang bertugas
mengembangkan perwakafan di Indonesia.
Sementara itu, Zuhdi Yakan berpendapat bahwa
perubahan bentuk maupun materi wakaf dianggap sah, jika :
1.
Ada perjanjian dari wakif sebelumnya (dalam
akad) bahwa sewaktu-waktu materi wakaf dapat diubah;
2. Ada
kepentingan yang lebih besar untuk diadakannya perubahan materi wakaf;
3.
Pada waktu tertentu, nilai materi wakaf tersebut tidak
berkurang dengan adanya perubahan materi atau letak materi wakaf berada;
4.
Adanya persepsi bahwa lebih besarnya efektifitas
kemanfaatan dari materi wakaf tersebut jika ada perubahan.[52]
Sedangkan Ibnu Taimiyyah, seperti yang dikutip oleh
Sayyid Sabiq, berpendapat bahwa mengganti apa yang dinazarkan dan diwakafkan
dengan yang lebih baik darinya, seperti dalam penggantian hadiah, maka yang
demikian ini ada dua macam, yaitu :
1. Penggantian
karena kebutuhan. Misalnya karena macet, maka harta wakaf dijual dan harganya
digunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya. Seperti kuda yang
diwakafkan untuk perang, bila tidak mungkin lagi dimanfaatkan dalam peperangan,
maka kuda itu dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa yang bisa
menggantikannya. Hal ini diperbolehkan, karena bila yang pokok tidak dapat
untuk mencapai tujuan, maka digantikan oleh yang lainnya.
2. Penggantian
karena kepentingan yang lebih besar. Misalnya, menggantikan hadiah dengan apa
yang lebih baik darinya. Sebuah masjid bila dibangun masjid lain sebagai
gantinya yang lebih banyak lagi penduduk kampung, maka masjid yang pertama itu
dijual. Hal ini dan yang seperti ini diperbolehkan.[53]
Dalam
upaya mengembangkan harta wakaf, Mundzir Qahaf membedakan antara makna
mengembangkan dan mempekerjakan. Pengembangan dimaksudkan untuk menambah jumlah
harta yang diinvestasikan atau modal wakaf. Misalnya ada wakaf tanah pemukiman
yang terhenti fungsinya, maka perlu menginvestasikannya dengan cara
membangunnya dan pembangunan ini memerlukan tambahan investasi baru yang
diambahkan ke modal wakaf itu sendiri.[54]
Sedangkan mempekerjakan wakaf adalah upaya mengaktifkan penggunaan wakaf dalam
mencapai tujuannya. Oleh karena itu, wakaf yang dipekerjakan memerlukan
persiapan dalam melaksanakannya. Seperti untuk mengaktifkan sekolah, diperlukan
dana untuk menggaji guru-guru yang akan mengajar, keperluan alat tulis yang
layak, alat peraga dan peralatan lainnya yang diperlukan. Demikian juga masjid
dan rumah sakit yang ingin diaktifkan fungsinya, atau bangunan tempat tinggal
yang akan disewakan atau pabrik yang diwakafkan untuk memproduksi barang
tertentu dan hasil bersihnya diberikan sesuai dengan tujuan wakaf.[55]
Pengelolaan dan
pengembangan harta wakaf harus dilakukan secara profesional, yaitu dengan
mengembangkan wakaf tunai dalam menyediakan dana yang diperlukan untuk
pengembangan harta wakaf, rekonsepsi fikih wakaf, penyiapan nazir wakaf yang
profesional dan UU untuk mengatur pengelolaan wakaf.
[1]Ahmad
Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet. ke-14 (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1576.
[2]Muhammad
Abu Zahrah, Muhadarat Fi al-Waqf (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi,
1971), II: 4
[4]Al-Imam Muhammad bin Isma'il
al-Kahlani, Subul al-Salam ((Mesir: Mustafa al-Arabi, t.t.), III: 87.
[6]
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), hlm. 118.
[7]Sulaiman
Rasyid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), cet. ke-27 (Bandung: PT Sinar
Baru Algensindo, 1994), hlm. 339.
[8]Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1 ayat (1).
[9]Ghufran
A.Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, cet, ke-1 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 12.
[10]
Ali Imran (3) : 92.
[11]
Al-Hajj (22) : 77.
[12]
Al-Baqarah (2) : 267.
[13]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Wasiyat,"Bab al-Waqf,"(Saudi Arabia :
Dahlan, t.t.), II: 14, Hadis dari Yahya al-Tamimi diriwayatkan oleh Salim bin
Akhdar dari Ibnu 'Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar.
[14]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Wasiyat,"Bab Ma Yulhaq
al-Insan min Sawab Ba'da Wafatuh (Saudi Arabia : Dahlan, t.t.), II:
14, Hadis Riwayat Muslim dari Abu Hurairah.
[15]
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunah (Beirut: Dar al-Fikr, 1971), III: 380.
[16]Azhar
Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, hlm. 6-7.
[17]Juhaya
S. Praja, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya (Bandung: Yayasan Piara, 1995), hlm.27.
[18]Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, hlm. 9.
[19]Muhammad
Abu Zahrah, Muhadarat Fi al-Waqf, hlm. 116.
[20]Muhammad
Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press,
1988), hlm. 85.
[21]Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, hlm. 9.
[22]Ibid.,
hlm. 10.
[23]Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 7 ayat (1).
[24]Abdul
Ghafur Anshari, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta : Pilar Media, 2005), hlm. 27.
[26]Pembahasan Ilmiah, Peningkatan Peranan Wakaf dan Penggunaannya dalam
Pembangunan (Medan: IAIN Sumatera Utara, 1976), hlm. 20.
[27]Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 16 ayat (3).
[28]Adijani
al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, cet.
ke-1 (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm. 31.
[29]Sayyid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 381.
[30]Abdul
Ghafur Anshari, Hukum dan Praktek Perwakafan, hlm. 28.
[31]Muhammad
Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, hlm. 88.
[32]Abdul
Ghafur Anshari, Hukum dan Praktek Perwakafan, hlm. 30.
[33]Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, hlm. 12.
[34]Muhammad
Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, hlm. 89.
[35]Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, hlm. 16.
[36]Sayyid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 378.
[37]Mundzir
Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, alih bahasa Muhyiddin Mas Rida (Jakarta : Khalifa, 2004),
hlm.111.
[38]Abdul
Ghafur Anshari, Hukum dan Praktek Perwakafan, hlm. 32.
[39]Ibid.
[40]Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, hlm. 13.
[41]Mundzir
Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, hlm. 111.
[42]Uswatun
Hasanah,"Agar Wakaf Tidak Disalahgunakan," MODAL, Vol. 1:4
(Pebruari, 2003), hlm. 46.
[43]Muhammad
Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, hlm. 90.
[44]Mundzir
Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, hlm. 24.
[45]
Ali Imran (3): 92.
[46]Uswatun
Hasanah,"Agar Wakaf Tidak Disalahgunakan," MODAL, Vol.1: 4
(Pebruari, 2003), hlm. 46.
[47]Muhammad
Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, hlm. 92..
[48]Ahmad
Rofiq, Fiqh Kontekstual: Dari Pemahaman Normatif ke Pemaknaan Sosial (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm.336.
[49]Muhammad
Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, hlm.92.
[50]Pembahasan
Ilmiah, Peningkatan Peranan Wakaf, hlm. 18.
[51]Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Penjelasan Pasal 43 ayat (2).
[53]Sayyid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 386.
[54]Mundzir
Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, hlm. 223.
[55]Ibid.,
hlm.224.
0 Response to "Makalah Hukum Wakaf Produktif dalam Pengembangan Ekonomi Umat"
Post a Comment