Image1

Makalah Kecerdasan Spiritual dalam Islam

Makalah Kecerdasan Spiritual dalam Islam
KECERDASAN SPIRITUAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A.    Kecerdasan Spiritual Menurut Al-Qur’an dan Hadiss
Kecerdasan adalah sebuah kekuatan yang bersifat non material dan bukan spiritual. Kecerdasan sangat diperlukan oleh manusia dan sejumlah makhluk yang lain untuk dijadikan sebagai alat bantu di dalam kehidupannya di dunai.
Kecerdasan dapat terbentuk melalui penyentuhan, pemolesan dan kebiasaan dari diri manusia. Kecerdasan manusia merupakan potensi yang tersembunyi yang tersimpan pada diri manusia, seperti yang telah ditemukan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall.
 Serangkaian data ilmiah terbaru menunjukkan adanya kecerdasan jenis ketiga yaitu kecerdasan spiritual yang dipopulerkan oleh seorang psikolog dan fisikawan yaitu Danah Zohar dan Ian Marshall dan juga sebagai suami isteri ini menyebut kecerdasan spiritual sebagai puncak kecerdasan manusia.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan untuki menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lainnya, atau kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.[1]
Spiritualitas Adalah Kebutuhan Tertinggi Kita. Ahli jiwa termashur Abraham Maslow, dalam bukunya Hierarchy of Needs menggunakan istilah aktualisasi diri (self-actualization) sebagai kebutuhan dan pencapaian tertinggi seorang manusia. Maslow menemukan bahwa, tanpa memandang suku atau asal-usul seseorang, setiap manusia mengalami tahap-tahap peningkatan kebutuhan atau pencapaian dalam kehidupannya
Maslow mendefinisikan aktualisasi diri sebagai sebuah tahapan spiritualitas seseorang, di mana seseorang berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih, kedamaian, toleransi, kerendah-hatian, serta memiliki tujuan hidup yang jelas, dan misi untuk membantu orang lain mencapai tahap kecerdasan spiritual ini.
 Pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia serta merupakan peneguhan dari keberadaannya sebagai makhluk spiritual. Pengalaman spiritual merupakan kebutuhan tertinggi manusia. Bahkan Maslow menyatakan bahwa pengalaman spiritual telah melewati hierarki kebutuhan manusia
Banyak bukti ilmiah mengenai kecerdasan spiritual. Para ilmuwan telah melakukan penelitian dasar yang mengungkapkan adanya fondasi-fondasi saraf. Bagi kecerdasan spiritual dalam otak, namun dominasi paradigma IQ telah menutup penelitian lebih lanjut terhadap data-datanya, adapun pembuktian ilmiah tersebut, antara lain:
Pertama, riset ahli psikologi Michael Pessinger awal tahun 1990 dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf Ramachandran dan timnya dari Universitas California, yang menemukan eksistensi God-spot dalam otak manusia.Ini merupakan pusat spiritual yang terletak diantara jaringan syaraf dalam otak. Hanya saja, secara singkat adanya God-spot dalam riset Ramachandran dan timnya ini tidak untuk membuktikan keberadaan Tuhan, tetapi untuk menunjukan otak manusa telah berkembang kearah pencarian agena-agenda fundamentaldalam hidup ini, seperti rasa memiliki dan menggnakan makna dan nilai kehidupoan.
Kedua, penelitian neurology Austria Wolf singer di tahun 1990 atas the binding problem yang menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usha mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup.Suatu jaringan syaraf yang secara literal “ mengikat “ pengalaman kita secara bersama-sama untuk hidup lebih bermakna.[2] Jadi, kecerdasan spioritual mengarahkan hidup untuk salalu berhubungan dengan kebermaknaan hidup, agar hidup lebih bermakna.
Menurut kedua penemunya makna mencuat dari situasi transenden yang  ketika dilakukan akan memberikan hal istimewa tersendiri bagi pelakunya. Zohar dan Ian Marshall menyatakan bahwa transendensi merupakan sebuah pengalaman yang membawa kita keluar dunia fisik, keluar pengalaman kita yang biasa, keluar suka duka kita menuju ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi merupakan pengalaman spiritual untuk menemukan makna akhir yang bahagia.
Sebenarnya pengertian spiritualitas yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall ini tidak selalu mengkaitkan dengan masalah ketuhanan. Bagi mereka, kecerdasan spiritual lebih banyak terkait dengan masalah makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Kesemuanya tidak perlu berkait dengan masalah ketuhanan. Orang dapat menemukan makna hidup dengan bekerja, belajar, berkarya bahkan ketika menghadapi problematika dan penderitaan.
Danah Zohar dan Ian Marshall menekankan kecerdasan spiritual yang di temukan pada proses pemaknaan.Karena penekannya pada proses pemaknaan maka istilah kecerdasan spiritual tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Meskipun pula ditemukan God Spot dalam otak manusia sebagai sumber kecerdasan spiritual, tetapi tidak bertujuan untuk membuktikan eksisitensi Tuhan. Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak umat manusia untuk cerdas dalam memilih atau memeluk salah satu agama yang dianggap benar.Kecerdasan spiritual merupakan sebuah konsaep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai dan kualitas kualitas kehidupan spiritual. Kehidupan spiritual di sini meliputi hasrat untuk hidup bermakna yang memotivasi manusia untuk senantiasa mencari makna hidup dan mendambakan hidup bermakna.
Jadi kecerdasan spiritual berbeda dengan agama. Kalau agama merupakan aturan-aturan dari luar sedangkan kecerdasan spiritual adalah kemampuan internal, sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam. Zohar dan Marshall juga mengatakan bahwa orang dapat meningkatkan kecerdasan spiritual melalui jalan agama. Tetapi agama tidak menjamin kecerdasan spiritual tinggi. Banyak orang humanis dan atheis yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Sebaliknya banyak orang yang aktif beragama memiliki kecerdasan spiritual rendah. Jadi, agama hanya sebagai salah satu cara mendapatkan kecerdasan spiritual yang tinggi.[3]
Setiap agama di dunia ini mengajarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik untuk mencapai kecerdasan spiritual atau aktualisasi diri. Seringkali manusia justru menganggap ritual atau ibadah sebagai tujuan bukan sebagai cara. Ia melakukan ibadah sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan, dengan itu ia mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan  dan sebaliknya jika tidak dikerjakan maka, ia akan mendapatkan azab atau hukuman dari Tuhan.
Menjalankan ibadah agama dengan motivasi karena ketakutan  menunjukkan kecerdasan spiritual yang paling bawah, dilanjutkan dengan motivasi karena hadiah sebagai kecerdasan spiritual yang lebih baik. Tingkatan ketiga adalah motivasi karena memahami bahwa manusia lah yang membutuhkan untuk menjalankan ibadah agamanya, dan tingkatan kecerdasan spiritual tertinggi adalah ketika manusia menjalankan ibadah agama karena mengetahui keberadaan dirinya sebagai makhluk spiritual dan kebutuhannya untuk menyatu dengan Sang Pencipta berdasarkan kasih.
Adapun ciri-ciri kecerdasan spiritual yang telah berkembang dengan baik mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.      Kemampuan bersifat fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif ).
2.      Tingkat kesadaran diri yang tinggi.
3.      Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan.
4.      Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit.
5.      Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
6.      Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.
7.      Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik).
8.      Kecenderungan nyata untuk bertanya “mengapa?” atau “bagaimana jika?” untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.
9.      Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai “bidang mandiri“ yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.[4]

Orang yang kecerdasan spiritualnya tinggi tidak picik dan fanatik atau penuh prasangka dalam beragama.  Artinya, ekspresi keberagamaanya tidak monolitik dan eksklusif yang sering berakibat pada korban konflik atas nama agama dan Tuhan. Tapi sebaliknya, mengalir dengan penuh keadaan yaitu ekspresi keberagamaannya menjadi terbuka, inklusif, bahkan pluralis. Maka, jelaslah bahwa dari ekspresi keberagamaanya, seseorang dapat dilihat cerdas secara spiritual atau sebaliknya, tidak cerdas secara spiritual.
Menjadi cerdas spiritual berarti mampu melampaui batasan atau sekat-sekat tersebut dan menemukan siapa dirinya yang sebenarnya, serta tujuan kehidupannya.  Menjadi cerdas spiritual berarti lebih memahami dirinya sebagai makhluk spiritual yang murni, penuh kasih, suci, dan memiliki semua sifat-sifat ilahi. Termasuk memiliki kemampuan sebagai pencipta realitas kehidupan yang berkualitas dan berkelimpahan.
Bagi umat Islam ditemukannya kecerdasan spiritual setidak-tidaknya mampu memperkaya khazanah berpikir dan memberikan motivasi untuk mengaktualisasikan ajaran Islam secara nyata. Di sisi lain hal ini juga merupakan pintu pembuka  kesadaran umat beragama, Islam khususnya. Banyak di antara pemeluk agama hanya terpesona pada masalah ritual agama dan kurang mempraktikannya dalam kehidupan keseharian.Beragama hanya sebatas pada pengetahuan, bukan penghayatan apalagi pengamalan, sehingga keberagamaannya tidak membawanya kepada kecerdasan spiritual dan ruhaniyah.[5]
Memang kemunculan konsep kecerdasan spiritual dapat memberi pelajaran bagi umat beragama, khususnya Islam. Hal ini bukan berarti bahwa kecerdasan spiritual menjadi agama baru bagi manusia modern. Untuk menelaah hal tersebut maka yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana agama itu dapat dipahami dalam konsep kecerdasan spiritual.
Dengan kecerdasan spiritual tersebut akan merangsang umat beragama untuk meningkatkan pengamalan dan penghayatan agamanya dalam mencapai batiniahnya. Dalam Islam orang yang dikatakan cerdas secara spiritual pasti memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi. Hal tersebut selalu menunjukkan hubungan transenden antara manusia dengan Tuhan.
Dilihat dari segi transformasinya, sebetulnya terdapat kemiripan antara konsep kecerdasan spiritual yang ditawarkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dengan spiritualitas Islam, yaitu keduanya mengakui adanya proses peningkatan kesadaran manusia menuju kesadaran puncak yang dengan kesadarannya tersebut manusia mampu bersikap dan memaknai kehidupannya dengan lebih berarti, sehingga melampaui sesuatu yang diharapkan.
Akan tetapi terdapat perbedaan jelas antara keduanya, yaitu Zohar membatasi pada masalah kajian psikologi yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, sedangkan spiritualitas Islam lebih bersifat teologis yang mengharuskan adanya agama. Pandangan yang berbeda ini mempengaruhi kedua pola pemikiran tersebut dalam memahami manusia. Zohar memandang manusia sebagai makhluk psikologis yang terus-menerus akan mengalami penyempurnaan diri secara alami. Sedangkan Islam memandang manusia adalah ciptaan Allah yang diciptakan untuk mengemban amanahNya dan juga memiliki jiwa yang harus disempurnakan kualitasnya, sehingga menjadi manusia yang cerdas secara spiritual.  
Sebetulnya bahasan mengenai kecerdasan spiritual merupakan bagian dari khazanah lama dalam Islam yang sudah lama terpendam. Masalah spiritualitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Hal-hal spiritualitas tesebut banyak diungkap oleh al-Qur’an maupun Hadis. Bentuk pengungkapan kecerdasan spiritual dalam Islam dapat diterjemahkan dalam konsep Islam, iman dan ihsan.[6] 
Al-Qur’an adalah dokumen dari Tuhan untuk umat manusia. Al-Qur’an bukanlah dokumen yang berisikan kalimat-kalimat verbal yang sunyi dari arti, tetapi, al-Qur’an merupakan untaian kalimat yang mengandung nilai-nilai hudan (petunjuk), syifa’ (obat), nur (cahaya).
Al-Qur’an merupakan salah satu petunjuk bagi manusia untuk menapaki kehidupan. Dalam hal apapun, al-Qur’an selalu digunakan untuk pijakan manusia dalam melangkah. Kitab ini memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengatur hidupnya menuju kebahagiaan dan kecermelangan lahir batin di atas landasan iman dan bingkai moral yang kukuh dan abadi.[7] Al-Qur’an membicarakan tentang Tuhan, manusia dan alam. Dimana, apabila ketiga bahasan tersebut dapat dipahami dengan baik dan benar, serta dapat dilaksanakan akan tercipta kehidupan yang lebih spiritual.
Secara global, ada dua kandungan jiwa atau makna strategis al-Qur’an, yaitu: makna intrinsik dan makna instrumental.
  1. Makna intrinsik atau personal, sebagai komitmen pribadi yang bertujuan mendidik dan membersihkan jiwa, mengangkat kekelaman batin dan menyinari dengan sinar-sinar malaikat (ketuhanan), menumbuhkan potensi dalam ruh serta menyiapkan untuk menerima rangkaian tajalli ilahi (pengejawantahan Tuhan) dan pancaran nur kerinduan kepada Yang Maha Haq.
  2. Makna instrumental atau sosial sebagai sarana pendidikan kearah nilai-nilai luhur.[8]
Dalam al-Qur’an struktur manusia terdiri dari ruhaniah, nafsiah dan jismiah. Aspek ruhaniah terdiri dari ar-ruh dan al-fitrah, aspek nafsiah terdiri dari al-nafsu, al-‘aql dan al-qalbu, sedangkan aspek jismiah adalah seluruh organ fisik-biologis yang ada pada diri manusia. Dengan struktur yang demikian itu manusia mempunyai potensi-potensi spiritual untuk menjalin hubungan dengan Tuhannya, melalui peningkatan dan penyempurnaan. Dalam hal ini, Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa ruh adalah bagian yang paling terang, dan jasad atau tubuh adalah bagian yang paling gelap, sedangkan jiwa adalah jembatan yang menghubungkan jasad dan ruh. Ruh mempunyai peran yang sangat signifikan bagi manusia. Ia merupakan pimpinan dalam membimbing manusia untuk mengarahkan kepada kebenaran yang bekerja secara spiritual.[9]
Salah satu penjelasan yang khas bahwa ruh yang terdapat di dalam diri manusia merupakan ruh ilahi. Hanya manusialah makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh ilahi dan memiliki daya untuk menarik dan mendorong dimensi-dimensi yang lain untuk mewujudkan sifat-sifat Tuhan. Dengan adanya ruh tersebut manusia memiliki potensi-potensi ketuhanan dalam dirinya. Dalam diri manusia melekat sifat-sifat atau potensi-potensi dasar sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah. Kalau Allah memiliki sifat al-rahman (sayang terhadap semua makhluk), manusia pun memiliki rasa sayang terhadap semua makhluk. Kalau Allah memiliki sifat al-Qahhar (yang perkasa ), manusia pun memiliki potensi-potensi keperkasaan.[10]
 Setiap manusia mempunyai jiwa yang berbeda-beda. Ada jiwa yang lebih dekat dengan ruh, dan ada jiwa yang sangat jauh dari ruh. Pada sebagian manusia, jiwa bersinar dan bergerak naik menuju wujud yang hakiki, yaitu Tuhan. Pada sebagian manusia lagi jiwa sangat gelap dan bergerak turun menjauhi Tuhan, menuju ketiadaan.[11]
Jiwa manusia merupakan sesuatu yang dianggap bertanggungjawab terhadap segala aktifitas manusia dan yang akan mendapat pahala ataupun hukuman di akherat. Jiwalah yang mendapat penyucian, dan penyuciannya tersebut dilakukan dengan mengasah hati. Karena hati merupakan potensi rasa dari jiwa. Dialah yang mampu menangkap pancaran sinar-sinar illahi. Allah menempatkan hati sebagai kesadaran manusia, sehingga Allah sendiri tidak mempedulikan tindakan yang kasat mata, bahkan Allah memaafkan kesalahan yang tidak dengan sengaja disuarakan oleh hati nuraninya.[12]
Manusia adalah makhluk multidimensional  yang secara psikologis memiliki akal, hati, nafsu dan ruh, sehingga apabila keempat aspek tersebut dapat disatukan akan menghasilkan manusia yang cerdas secara spiritual. Keempat aspek tersebut saling bersangkutan antara satu dengan yang lain dan tidak bisa dipisahkan karena merupakan bagian inhern dalam jiwa. Berkaitan dengan hal tersebut di atas Hanna Djumhana  Bustaman menggambarkan manusia menurut al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Manusia diciptakan dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya (S. 95:4), dan rupa yang seindah-indahnya (S. 64 : 3), serta dilengkapi dengan berbagai organ fisik yang istimewa seperti panca indera dan hati (S. 16 : 78), agar manusia bersyukur kepada Tuhan yang telah menganugerahkan keistimewaan-keistimewaan itu. Ia pun diberi kemampuan berfikir untuk memahami alam semesta (S. 13: 3) dan dirinya sendiri (S. 30: 20-21) sebagai ciptaan Tuhan untuk kemudian meningkatkan keimanan kepada Sang Pencipta. Selain itu ia memiliki akal untuk memahami tanda-tanda keagunganNya (S. 22 : 46), kalbu untuk mendapatkan cahaya iman, nafsu yang paling rendah (S. 12 : 53), sampai yang teringgi (S. 89 : 27-30), dan ryh yang kepadanya Allah Swt mengambil kesakian manusia mengenai keesaan ilahi (S. 7 : 172-174). Bahkan kepadanya ditawarkan pula agama sebagai tuntunan agar hidupnya selamat di dunia dan akherat (S. 3 : 85)
Manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi (S. 2 : 30) dan diciptakan Tuhan bukan secara main-main (S. 23 : 115), melainkan untuk mengemban amanah (S. 33 : 72), dan untuk beribadah kepadaNya (S. 51 : 56) serta selalu menegakan kebajikan sekaligus menghilangkan keburukan (S. 3 : 110) dengan segenap tanggung jawab (S. 75 : 36). Keistimewaan lain manusia adalah memiliki kebebasan luas untuk mengembangkan diri setinggi-tingginya atau serendah-rendahnya (S. 91 : 7-10), bahkan agama pun tidak dipaksa kepadanya (S. 2 : 256).
Dalam pandangan Al- Qur’an manusia pada dasrnya baik. Fitrah manusia adalah suci dan beriman (S. 7 : 72). Kecenderungan kepada agama merupakan sifat dasar manusia (S. 30 : 30), dan sadar atau tak sadar manusia selalu merindukan Tuhan (S. 39 : 8; 39 : 49), taat, khusyuk, tawakkal dan tidak ingkar (S. 17 : 66-69). Sehingga dari hal itu semua akan mewujudkan manusia yang sempurna yaitu insan kamil (S. 24 : 5).
Keterangan al-Qur’an sebagaimana yang dikutip diatas menggambarkan manusia sebagai makhluk multidimensional.[13]

Dengan akalnya manusia dapat mengikat hawa nafsu yang ada pada dirinya, sehingga mampu mengendalikan dorongan nafsu dan dapat mengendalikan kebenaran agama. Akal dalam hubungannya dengan jiwa adalah, akal merupakan instrumen jiwa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, akal manusia dapat menemukan, mengembangkan dan menemukan ilmu pengetahuan dan akal mampu mengendalikan dorongan nafsu yang ada pada diri manusia. Sedangkan, hati merupakan dimensi jiwa yang mempunyai kemampuan untuk memahami realitas spiritual yang ada pada diri manusia, tempat terbitnya ma’rifat kepada Allah, tempat terbitnya tauhid, tempat munculnya kecintaan terhadap sesama makhluk.  Selain itu hati (qalb) juga dapat menampung penyakit-penyakit jiwa manusia.[14] Jadi sangat tepat apabila hati menjadi penentu dalam kapasitas kebaikan dan keburukan. Hati merupakan alat yang mengendalikan semua anggota tubuh. Melalui hatilah manusia mengambil teladan baik ketaatan maupun kemunkaran. Hati bagaikan raja , segala perintah yang datang darinya harus dilaksanakan oleh anggota tubuh.
Pemberdayaan hati dengan benar akan mampu membersihkan kotoran-kotoran penyakit, kekerasan, kesesatan yang ditimbulkan oleh nafsu sehingga dapat di masuki cahaya kebaikan dari Allah. Hati membutuhkan makanan, yaitu dzikir kepada Allah. Dzikir tersebut akan selalu memberikan semangat kepada hati manusia apabila akan terseasat kepada nafsu.  
Dimensi ruh merupakan sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat ilahiah dan mempunyai daya untuk menarik dan mendorong dimensi lainnya dalam mewujudkan sifat-sifat Tuhan dalan dirinya. Dengan potensi ini manusia memerlukan aktualisasi untuk peningkatan jiwa spiritual. Yang terakhir adalah dimensi nafsu yang apabila dapat dikendalikan, maka dapat menjadi pendorong bagi manusia untuk berusaha menikmati kehidupan. Dalam hal ini nafsu manusia terbagi menjadi tiga yaitu nafsu ammarah, nafsu lawwamah dan nafsu muthmainah.[15]
Nafsu ammarah adalah nafsu biologis yang mendorong manusia untuk melakukan pemuasan kebutuhan biologisnya. Pada aspek ini manusia sama persis seperti binatang.  Nafsu ini selalu berdampingan dengan setan, sehingga manusia selau diajak untuk melakukan kebathilan dan kemaksiatan.
Nafsu lawwamah adalah nafsu yang telah menganjurkan untuk berbuat baik dan menyadari segala kekurangannya. Pada aspek ini manusia lebih rasional dalam memahami kehidupan.
Nafsu muthmainah adalah nafsu yang tenang dan terhindar dari keraguan dan perbuatan jahat. Pada aspek ini manusia lebih tinggi keberadaannya dan penuh dengan lautan cinta illahi..
Kesucian ruh dan hati sangat membutuhkan makanan ruhani yang berupa riyadhah, mujahadah dan doa kepada Allah. Targetnya adalah pembersihan ruh dan hati dari segala hal yang menyebabkan menjadi kotor. Makanan pokok bagi akal adalah pengetahuan dan kecerdasan. Dengan kedua makanan yang diberikan tersebut manusia merupakan makhluk yang sempurna dan berakal. Sedangkan bagi nafsu makanan pokoknya adalah kesenangan dan kebagaiaan. Akan tetapi, apabila nafsu tidak ada yang mengontrol, maka akan selalu menuju hal yang buruk. Dari hal itulah masing-masing makanan pokok tersebut harus diarahkan pada pencapaian kesucian jiwa, bukan pemuasan jiwa yang cenderung menuju kekotoran.
Jiwa yang sempurna adalah jiwa yang mampu mengawal akal, hati dan nafsu untuk menjaga kesucian ruh. Sebaliknya, jiwa yang tidak sempurna adalah jiwa yang hati, akal dan nafsunya selalu cenderung kepada jasad atau tubuh. Jiwa yang bersih adalah jiwa yang selalu mengawal agar ruh senantiasa pada jalur kesucian sehingga dapat dikatakan sebagai jiwa yang cerdas. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang bisa menyatukan antara akal, hati dan nafsu ke dalam lautan kasih dan cinta kepada Allah.
Manusia adalah makhluk Allah yang memiliki bentuk fisik dan biologis yang paling sempurna. Secara biologis manusia memiliki akal, hati, nafsu dan jiwa sehingga, manusia dapat membedakan mana yang baik bagi dirinya dan mana yang buruk baginya. Secara fisik manusia memiliki panca indera. Maka, dengan kelebihan fisik tersebut manusia harus mampu membawa amanah bagi umat yang lainnya, sebagaimana yang disebutkan dalam QS At-tiin ayat 4:
 لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.[16]

Dari ayat tersebut di atas mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan dengan makhluk yang lainnya.      Manusia diberikan skelebihan, baik fisik maupun biologis. Sehingga dalam hal tersebut menjadikan manusia harus selalu dapat menjadi yang terbaik diantara umat yang lainnya. Gelar sebagai umat yang terbaik tersebut harus selalu diasah supaya tidak melupakan sang Penciptanya yaitu Tuhan. Sampai kapanpun manusia tidak akan terlepas dari pandangan Tuhan.
 Masalah ketuhanan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sadar atau tidak semua manusia pasti bertuhan dan melakukan penyembahan terhadap Tuhan tersebut. Untuk dapat mengenal Tuhan lebih dekat adanya, maka kenalilah diri sendiri dahulu. Bahkan sang penyair sufi yang ternama Jalaluddin Rumi, menulis sebuah syair:
Kita laksana mangkuk yang mengapung di permukaan air. Gerakan mangkuk di permukaan air dikendalikan bukan oleh mangkuk itu, melainkan oleh air. Demikian pula, sumber perbuatan seseorang bukanlah orang itu, melainkan Tuhan.

Syair tersebut sangat mengisyaratkan bahwa segala sesuatu terjadi karena adanya Tuhan. Untuk menyadari kesatuan dengan Tuhan, manusia harus dapat menyerahkan segala sesuatu hanya kepada Allah.[17] Dalam Islam pengakuan tentang adanya Tuhan sudah ada pada diri manusia semenjak dia belum dilahirkan. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-A’raf ayat 172:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِي

Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”.( kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”[18]

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa sejak dalam alam rahim, sebelum ruh ditiupkan ke dalam tubuh, manusia sudah mengakui Allah sebagai Tuhannya. Dan inilah ruh Tuhan yang suci dan mulia. Disitulah telah terjadi kesepakatan antara manusia dengan Tuhan mengenai keberadaanNya. Kesepakatan itulah yang dimaknai sebagai tadzkir (peringatan) bagi kita, sehingga manusia jangan sampai melupakan kesepakatan dengan Allah sewaktu dalam kandungan, yaitu untuk mengesakanNya. Dengan mengesakanNya berarti manusia harus siap untuk melaksanakan apa yang diperintahNya dan meninggalkan apa yang telah dilarangNya. Sehingga manusia tidak akan melakukan pelanggaran ketika teringat dengan kesepakatannya tersebut.[19]
Dari gambaran  di atas sudah tampak jelas bahwa dalam diri manusia terdapat kesiapan alamiah untuk mengenal Allah dan MengesakanNya. Pengakuan terhadap kedudukan Allah sebagai Tuhan sudah tertanam kuat dalam diri manusia.[20] Sehingga manusia tidak bisa memungkiri bahwa dirinya merupakan makhluk yang benar.
Manusia yang baru lahir adalah suci secara spiritual karena telah mengalami proses pembentukan dan perkembangan dalam rahim ibunya yang bervisi illahi.  Jiwanya suci karena terdominasi oleh ruh ketuhanan. Selama  kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari, ia telah tercerahkan jiwanya secara langsung melalui “tangan” Tuhan. Dunianya adalah dunia Tuhan, bernafas dengan nafas Tuhan dan mendengar dengan pendengaran Tuhan.[21]
Jiwa yang telah terbungkus oleh ruh ketuhanan tersebut sesungguhnya bisa menjadi proyek percontohan bagi manusia dalam upaya mendekati dan berada dekat dengan Allah. Keajaiban-keajaiban yang telah diperlihatkan bayi seperti pasrah, kejujuran, ketenangan, kelembutan, kesucian, kesabaran, ketabahan dan keindahan itulah sifat-sifat yang harus dimiliki bagi manusia dalam mencapai tingkat kesadaran spiritual.
Hal tersebut diatas merupakan amanat yang harus dilaksanakan oleh para Rasul Allah untuk dapat menjaga manusia dari pengingkaran persaksian manusia di hadapan Tuhannya.
إنّ ربّي أمرني أن أعلّمكم ماجهلتم ممّا علّمني يومي هذا كل مال نحلته عبدا حلال وأنّي خلقت عبادي حنفاء كلّهم وإنّهم أتتهم الشياطين فاجتالتهم عن دينهم وحرّمت عليهم ما أحللت لهم وأمرتهم أن يشركوا بي مالم أنزل به شلطانا...(الحديث)

Sesungguhnya Tuhanku memerintahkan untuk mengejarkan kepada kalian apa yang tidak kalian ketahui, yaitu apa yang  Dia ajarkan padaku hari ini: Setiap harta yang kuberikan kepada hamba Ku adalah halal. Dan Aku menciptakan hamba-hamba Ku dalam keadaan hanif (lurus) semua. Sesungguhnya mereka didatangi oleh setan-setan yang menyebabkan mereka tersesat dari agama meraka dan mengharamkan apa yang telah Kuhalalkan bagi mereka serta memerintahkan mereka untuk menyekutukan-Ku, yakni sesuatu yang aku tidak menurunkan hujjah atasnya. (HR. Muslim)

Dalam hadis Rasulullah tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia semuanya di atas agama yang hanif. Artinya , Allah menciptakan manusia dengan memiliki kesiapan fitrah untuk mengenal beriman, bertauhid dan beribadah kepada Allah. Namun setan mempengaruhi dan menjauhkan mereka dari jalan yang benar yang ditunjukkan dengan fitrah yang suci. Setan juga menyesatkan mereka dengan syirik kepada Allah, menghalalkan apa yang diharamkan Allah.
Dengan modal kehanifan ruhani yang diberikan kepada manusia tersebut, akan memotivasi manusia untuk berlomba-lomba dalam bertakwa kepada Allah dan meghambakan diri kepadaNya dengan beribadah dan beramal sholeh.
Bukti adanya perjanjian tersebut menurut Muhammad Abduh, ialah adanya fitrah iman di dalam jiwa manusia. Sedangkan menurut Driyarkara, ialah adanya suara hati manusia. Suara hati tersebut adalah suara Tuhan yang terekam di dalam jiwa manusia.[22]
 Kemudian hadis di atas penulis hubungkan dengan QS. Ar-Rum ayat 30 :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ( yang bena ),  fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”[23].

Fitrah bertuhan yang dibawa manusia sejak sebelum lahir merupakan potensi dasar yang harus dipelihara dan dikembangkan. Sehingga, hal tersebut tidak salah dalam penyalurannya. Dalam perspektif  Islam manusia telah didesain jiwanya untuk beragama yang benar dan menghambakan dirinya kepada Allah. Akan tetapi ada kalanya suara hati manusia itu tertutup. Manusia sering mengabaikan pengakuan ini, yang justru mengakibatkan diri manusia terjerumus ke dalam kejahatan, kecurangan, kekerasan dan sebagainya yang pada akhirnya mengakibatkan kegagalan sehingga, tidak  maksimal dalam usaha.
Hanna Djumhana Bastaman secara singkat menerangkan bahwa fitrah adalah suci dan beriman, yaitu sadar ataupun tak sadar manusia selalu merindukan Tuhan. Sedangkan Djamaludin Ancok menerangkan bahwa fitrah adalah mempercayai dan mengakui Allah sebagai Tuhannya. [24] seperti yang tertuang juga dalam hadis Nabi:
“Tidak ada orang yang dilahirkan (di dunia) kecuali dalam keadaan fitrah. Maka orang tualah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak yang telah melahirkan anak-anaknya, apakah engkau membersihkan unta yang termasuk binatang ternak?” Kemudian Abu Hurairah RA mengatakan, “ Bacalah jika kalian semua menghendaki;(tetaplah atas) fitrah Allah SWT yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (HR Bukhari Muslim; Abu Dawud dan Tirmidzi)

Menurut ajaran Islam, pada mulanya manusia menghirup udara kehidupan dunia dalam keadaan suci tanpa dosa. Konsep yang demikian sesuai dengan akal pikiran yang sehat. Seorang bayi dikatakan tidak berdosa karena dia memang belum bisa berbuat kesalahan, karena dia belum bisa berpikir. Oleh karena itu seiap orang tua mempunyai peranan penting dalam menentukan arah anaknya untuk meyakini agama Yahudi, Nasrani atau Majusi.[25]
 Dengan kekuatan ruh kelahiran seorang manusia disebut dalam keadan fitrah. Kekuatan fitrahlah yang membuat manusia cenderung kepada kebenaran, memiliki kesiapan untuk berbuat baik dan menolak semua jenis keburukan. Untuk itu, kekuatan fitrah sebagai kekuatan potensial manusia untuk dapat tumbuh dan berkembang kearah yang benar.
Manusia ketika dilahirkan dalam kondisi tidak memiliki dosa sama sekali atau dosa turunan, selain itu ia memiliki kecenderungan kepada kebenaran hakiki dan bertauhid. Oleh karena itu, manusia mempunyai potensi untuk naik menempati kedudukan malaikat dan bisa jatuh lebih rendah dari kedudukan hewan. Manusia diciptakan dari perpaduan sifat-sifat materi dan ruh, antara sifat binatang dengan sifat malaikat untuk mencapai kesempurnan manusia.
Jadi secara esensi, tidak ada seorangpun yang tidak bertuhan. Yang ada hanyalah memper-tuhankan sesuatu yang bukan sebenarnya, yaitu Allah[26]. Tanpa bimbingan wahyu yang diturunkan Allah, fitrah bertuhan tersebut akan disalurkan oleh manusia sesuai dengan pengalaman dan perkembangan akal pikirannya. Setelah manusia lahir, ia akan terlepas dari sentuhan Tuhan. Ia akan bertanggungjawab terhadap pribadinya sendiri, dari segala kebaikan dan keburukan. Manusia terbentuk sesuai dengan apa yang melatarbelakangi kehidupannya. Misalnya, pada lingkungan yang baik manusia juga akan dapat ikut terhadap kebaikannya, dan sebaliknya pada lingkungan yang buruk ia juga akan dapat ikut kepada keburukannya.
Manusia yang beriman dengan sesungguhnya adalah berkeyakinan dalam hati, diucapkan dalam lisan dan dibuktikan dengan pengamalannya. Iman adalah cahaya yang mampu menyinari segenap isi jiwa, menerangi akal pikiran, menghidupkan insting, menggerakkan perasaan, mendorong kemauan dan melahirkan perbuatan  yang nyata yaitu amal shalih.
Keimanan memiliki arti penting bagi keberlangsungan hidup manusia, karena keimanan dapat dijadikan sebagai kekuatan petunjuk, kekuatan pendorong, dan sebagai sumber ketenangan. Sebagai kekuatan petunjuk, keimanan mampu mengarahkan arah hidup manusia. Sehingga manusia dapat hidup dalam naungan Allah dan berjalan sesuai dengan tuntunannya. Keimanan sebagai kekuatan pendorong akan memberikan stimulus terhadap manusia untuk berlomba-lomba dalam hal kebajikan. Fungsi yang lainnya adalah sebagai pengontrol, yang mana dengan kekuatan tersebut mampu menjadi pengawas bagi siapa saja dalam menjalani kehidupan.Yang terakhir adalah keimanan sebagai sumber ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup, karena dengan keimanan tersebut akan memberikan ketenangan jiwa baik lahir maupun batin.[27]
Substansi dari keimanan tersebut adalah tauhid atau mengesakan Allah. Tauhid merupakan sentral semua ajaran yang di dalamnya selalu mengajak manusia untuk hanya menyembah Allah. Secara  formal kalimat tauhid telah tercermin dalam susunan kalimat “pengakuan” kaum muslimin yaitu la> ila>ha illalla>h (Tidak ada Tuhan melainkan Allah). Maka manusia yang dikatakan cerdas secara spiritual harus mempunyai fondasi yaitu kalimat tauhid.[28]
Esensi Islam adalah tauhid dan tidak ada satupun perintah dalam Islam yang bisa dilepaskan dari tauhid. Tauhid merupakan intisari Islam yang kesemuanya selalu dilandasi dengan kepercayaan dengan Allah.
Kalimat tauhid sangat penting bagi kehidupan manusia di dunia , karena di dalamnya mengandung sifat-sifat:
1.      Sebagai sumber dan motivator perbuatan kebajikan dan keutamaan.
2.      Membimbing manusia ke jalan yang benar, sekaligus mendorong manusia untuk beribadat dengan penuh keikhlasan.
3.      Mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan, kekacauan dan kegoncangan hidup yang dapat menyesatkan.
  1. Mengantarkan umat manusia kepada kesempurnaan lahir dan batin[29]
Nilai ketauhidan yang telah tertanam dalam jiwa manusia akan menjadi suatu kekuatan jiwa dan batin yang tangguh. Kekuatan jiwa yang telah tertanam tersebut akan memberikan sikap positif dan kreatif  bagi manusia dalam menghadapi realitas kehidupan. Manusia tidak takut terhadap apa dan siapapun kecuali hanya kepada Allah dan yakin bahwa Allah selalu bersamanya.
Manusia yang cerdas secara spiritual adalah manusia yang memiliki keimanan dan ketauhidan yang baik. Yaitu dengan mengembangkan kecerdasan spiritualnya tersebut sesuai dengan syariat Islam. Yang mana harus memenuhi lima komponen:
  1. Kecerdasan meyakini Tuhan sebagai  penguasa, penentu, pelindung, pemaaf serta meyakini kehadiranNya. Yaitu dengan selalu memegang erat semua rukun iman, karena hal tersebut merupakan dasar Islam dalam melangkah.
  2. Kemampuan untuk bekerja keras mencari ridho Allah. Yaitu dengan melakukan dan meyakini bahwa setiap pekerjaan adalah ibadah yang mempunyai nilai tersendiri. Meskipun orang lain memandang sebelah mata apa yang menjadi pekerjaan kita,  karena semua aktifitas yang di kerjakan adalah mengandung nilai penghambaan kepada Allah.
  3. Kemampuan untuk kokoh melakukan ibadah secara disiplin. Yaitu dengan melakukan ibadah ritual yang dilakukan sebagai media komunikasi dengan Allah. Sehingga tidak ada keterputusan hubungan antara manusia dengan Sang penciptaNya yaitu Allah. Ibadah tersebut tidak semata-mata sebagai kewajiban, akan tetapi merupakan sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi dengan melakukan penggalian makna dan hikmah dari apa yang dilakukan supaya merasakan kedekatan dengan Allah.
  4. Kemampuan untuk selalu berikhtiyar dengan penuh kesabaran dan ketahanan supaya tidak putus asa. Yaitu selalu memiliki sikap optimis dalam menghadapi kehidupan, karena Allah selalu membantu hambaNya apabila ia mau untuk bersabar dan berusaha.
  5. Kemampuan untuk menerima keputusan terakhir dari Tuhan. Dengan sikap ini manusia akan tenang, ridha da legawa terhadap keputusan Alah. Semua keputusan yang diberikan oleh Allah adalah keadaan yang terbaik bagi dirinya, karena Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hambaNya.[30]

Dengan semua hal tersebut akan terpancar ketakwaan pada diri manusia yang dikatakan cerdas secara spiritual. Ketakwaan tersebut akan memberikan tanggungjawab terhadap diri manusia yang muslim dalam memegang amanah. Amanah mempunyai peranan penting bagi eksistensi orang beriman  dalam setiap aspek kehidupannya. Dengan amanah yang telah diberikan tersebut akan menambah manusia untuk selalu mengingat Sang PenciptaNya. Manusia yang mendapat amanah berarti ia harus dapat mempertanggungjawabkan kewajiban apapun terhadap Sang penciptanya. Hal tersebut akan mendorong manusia untuk selalu memperbaiki dirinya serta mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya. Semua itu berupaya dapat melaksanakan tugas dengan  sebaik mungkin.
Menjadi muslim yang cerdas secara spiritual diperlukan adanya visi dan persepsi yang jelas bahwa hidup merupakan amanat dan merupakan jembatan emas menuju keridhaan Allah.  Kesadaran bahwa manusia adalah milik Allah dan akan kembali lagi kepada Allah perlu ditanamkan dalam sanubari yang paling dalam. Dengan kesadaran ini manusia akan merasakan kehadiran Allah, merindukan perjumpaan dengan Allah serta berbuat, bersikap dan bernafas karena Allah semata.
Selain memiliki visi dan persepsi yang jelas, manusia harus juga memiliki misi dalam hidup. Misi hidup bagi manusia yang cerdas secara spiritrual adalah melaksanakan hidupnya yang sesuai dengan fitrah sebagai manusia, supaya hati manusia terselamatkan dari penyakit pikiran. Sehingga hati manusia dapat selamat dan dapat melihat dan merakan akan adanya Tuhan.
Dengan merujuk pada visi dan misi manusia tersebut, maka manusia ditunjuk oleh Allah sebagai khalifah di bumi. Seperti tertera di dalam QS Al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ.

Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:” Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”.Mereka berkata: “ Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Enkau dan mensucikan Engkau?” Tuha berfirman: “ Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Sesuai dengan ayat tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa posisi manusia di dunia ini sangat penting. Hal ini ditandai dengan predikat yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai khalifah Allah, sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Predikat ini memberikan gambaran kepada kita bahwa seolah-olah Tuhan mempercayakan kekuasaanNya kepada manusia untuk mengatur dunia ini.[31] Hal tersebut mengisyaratka bahwa Allah memberikan amanatnya tersebut kepada umat yang tepat yaitu manusia.
Manusia menurut al-Qur’an adalah besar pada satu dimensi, dan kecil pada dimensi yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dikatakan besar apabila dihubungkan dengan sesama ciptaan Allah di muka bumi ini yaitu sebagai khalifah. Sedangkan manusia dikatakan kecil ketika manusia dihubungkan dengan sang penciptaNya yaitu sebagai hamba Allah[32]
Untuk meneguhkan perannya sebagai abdullah dan sebagai khalifah manusia harus melakukan lima macam relasi. Relasi-relasi yang dijalani manusia adalah wujud dari amanat yang diemban. Amanat yang dibebankan kepada manusia sangan berat dan komplek. Manusia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini, maka manusia harus dapat mengoptimalkan peran kelima relasi tersebut. Kelima relasi tersebut adalah:
  1. Relasi dengan Allah
Relasi dengan Allah. Artinya,  manusia harus memenuhi kewajiban beribadah kepada Allah. Ketika kewajiban relasi manusia dengan Allah  sudah terlaksana dengan baik, maka hubungan manusia dengan Allah akan berjalan dengan baik dan lancar; sehingga Allah akan berkenan memberikan apa yang menjadi kebutuhan manusia. Akan tetapi, apabila relasi tersebut tidak berjalan dengan baik, maka hubungan manusia dengan Allah akan semakin jauh dan Allah melimpahkan laknat-Nya.
  1. Relasi dengan Diri
Relasi dengan diri sendiri,  manusia memperoleh kesadaran tentang diri serta memilih hal-hal yang terbaik untuk dirinya sendiri. Apabila manusia memperhatikan panggilan-panggilan kebenaran dari dalam diri dan hati nuraninya, maka relasi akan berjalan secara positif dengan sendirinya, dan apabila manusia mengumbar nafsu dan membiarkan hati nuraninya sakit, hal tersebut akan menyebabkan manusia memilih yang negatif dalam melakukan segala sesuatunya.
  1. Relasi dengan Sesama Manusia
Relasi dengan sesama manusia akan dapat membina hubungan silahturahmi dan beramar ma’ruf nahi munkar. Akan tetapi, disisi yang lain akan dapat memutuskan tali silahturahmi dan berbuat dzalim terhadap orang lain. Manusia dalam melakukan relasi dengan positif, maka hubungan dengan sesama manusia akan terjalin dengan dekat dan saling menopang. Apabila relasi berjalan dengan negatif, maka hubungan antar sesama manusia adalah saling iri, dengki dan benci.
  1. Relasi dengan Alam
Relasi dengan alam, manusia harus memanfaatkan dan melestarikan alam dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, alam semesta akan terpelihara dengan baik dan dapat menopang kesejahteraan hidup manusia. Jika manusia merusak ekosistem alam, maka alam akan rusak dan menyebabkan bencana bagi manusia.
  1. Relasi dengan Alam Ghaib
Salah satu relasi manusia yang bersifat pasif adalah relasi dengan makhluk ghaib. Manusia apabila melakukan relasi dengan aktif, maka akan terjebak oleh rayuan jin untuk melakukan kejahatan.[33]

Dalam rangka menjalankan tugas dan kekhalifahan yang sangat berat dan komplek, maka Allah melimpahkan potensi-potensi ilahiyah bersama kehadiran nur dan ruh yang bersifat fitri di dalam diri seorang insan yang jadi pilihan. Adapun potensi-potensi yang ada dalam diri manusia adalah potensi nur ilahiyah. Dengan nur ilahiyah tersebut manusia harus dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang telah dibebankan kepadanya. Sedangkan tugas dan tanggungjawab manusia adalah tugas dan tanggungjawab uluhiyah yaitu yang berhubungan dengan Tuhan dan rububiyah yang berhubungan dengan makhluk-Nya  [34]
Manusia yang dapat melaksanakan tanggung jawab dan amanah dalam melaksanakan tugasnya adalah manusia yang cerdas secara spiritual. Manusia yang cerdas secara spiritual tersebut akan terpancar pada diri mereka sebagai umat terbaik pilihan Allah. Sebagaimana yang tersebut di dalam Qs Ali-Imran ayat 110:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Artinya:
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah".

Gambaran ayat tersebut sangat jelas sekali bahwa manusia dilahirkan ke dunia ini untuk selalu menghambakan dirinya kepada Allah dengan segala konsekunsinya yang diberikan kepada dirinya. Konsekuensi tersebut adalah manusia harus dapat menjadi umat yang dapat menjadi contoh bagi umat yang lainnya dengan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Apabila hal tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka manusia tersebut adalah umat terbaik pilihan Allah.
Kuntowijoyo merumuskan umat terbaik adalah umat yang harus melakukan: Humanisasi, liberasi dan transendensi yang dalam bahasa agamanya adalah amar ma’ruf, nahi munkar dan beriman kepada Allah. Sehingga manusia yang dikatakan sebagai umat yang terbaik harus dapat melaksanakan hal tersebut.[35]
Dengan amar ma’ruf manusia dituntut dapat menjadi pemimpin dan diharuskan untuk selalu memberikan contoh yang baik dan mengajak kepada umat yang lainnya untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar. Nahi munkar mengharuskan manusia mengajak kepada umat yang lain untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan tercela. Transendensi mengharuskan manusia untuk selalu beriman kepada Allah dan menghambakan diri hanya kepada Allah semata.[36]
Manusia sebagai umat yang terbaik harus memiliki sifat seperti yang dimiliki oleh Rasulullah, yaitu: Siddiq, Amanah, Tabliq dan Fathonah. Siddiq merupakan nilai kejujuran dan mahkotanya kepribadian pada diri manusia. Kejujuran adalah komponen ruhani yang dapat memberikan sikap yang terpuji. Dengan kejujuran tersebut akan memberikan berkah bagi kehidupan umat manusia, karena dapat terbebas dari segala kepalsuan dan penipuan dan hatinya terbuka dan selalu bertindak lurus. Kejujuran merupakan bisikan hati nurani yang selalu memberikan ajarakan moral terhadap manusia sehingga dapat percikan cinta ilahi. Kejujuran bukan merupakan keterpaksaan melainkan sebuah panggilan dari dari dalam dan sebuah keterikatan. Perilaku yang jujur adalah perilaku yang selalu diikuti dengan sikap tanggungjawab atas apa yang diperbuatnya, sehingga manusia siap untuk menghadapi risiko dan seluruh akibat dengan suka cita. Kejujuran dan rasa tanggungjawab yang memancar dari qalbu merupakan sikap sejati manusia, yang apabila selalu melekat pada diri setiap manusia akan tercipta kejujuran terhadap diri sendiri, orang lain dan pada Allah.
Amanah adalah sifat Rasullah yang kedua, yaitu selalu menampilkan sikap yang dapat dipercaya, menghormati dan dihormati. Amanah merupakan dasar dari rasa tanggung jawab. Sifat amanah mempunyai peranan penting bagi eksistensi orang beriman dalam setiap aspek kehidupan. Manusia yang mempunyai sifat amanah, akan mendapat kepercayaan dari semua orang.
Tablig (menyampaikan) merupakan sifat yang ada pada diri Rasulullah, yaitu dalam setiap kehadirannya tersebut dapat memberikan makna bagi orang lain. Disilah peranan tabliq yang merupakan sifat akhlaqul karimah yang dicontohkan oleh Rasullah yaitu menyampaikan kebenaran melalui suri teladan dan perasaan cinta yang mendalam.
Fathonah (cerdas) merupakan sifat yang keempat dari Rasullah.[37] Dengan kecerdasannya tersebut Rasullah dapat mengubah bangsa Arab yang jahilliyah menjadi umat Islam yang taat dan rajin dalam beribadah.
Keempat sifat Rasullah tersebut merupakan cerminan dari kecerdasan intelaktual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Selain dari hal yang tersebut yang di atas, manusia yang cerdas secara spiritual merupakan cerminan dari 6 rukun iman dan 5 rukun Islam. 6 Rukun Iman tersebut adalah Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Iman kepada Rasul, Iman kepada Kitab, Iman kepada Hari Akhir dan iman kepada Qadha dan Qadar. Keenam asas tersebut berfungsi untuk menjaga fitrah agar tetap utuh dan terpelihara. Karakteristik dari kenam asas tersebut adalah sesuai dengan sifat dasar manusia yang sejalan dengan kehendak hati nurani, kehendak alam dan kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Menurut Ary Ginanjar, untuk membangun mental yang hanif adalah dengan 6 prinsip. Prinsip-prinsip itu adalah:
  1. Prinsip Bintang (Iman kepada Allah)
99 sifat Allah merupakan sifat yang terdapat dalam al-Qur’an dan sebagai sumber dari segala suara hati manusia. Memahami sifat Allah tersebut, harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan menyeluruh. Sifat-sifat Allah tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Beriman kepada Allah akan memberikan kebahagiaan hidup baik di dunia dan di akherat.[38]
Kebahagiaan dunia tersebut adalah manusia dapat hidup tenang dan tentram dengan selalu dalam limpahan Allah. Jiwa manusia akan damai dan hidup dalam suasana yang dicita-citakan olehnya.
Beriman kepada Allah akan memberikan kepercayaan diri manusia dalam menjalani kehidupan yang ditunjang dengan integritas yang kuat dan motivasi yang tinggi sehingga dapat menjadikan manusia yang bilaksana.[39]
  1. Prinsip Malaikat (Iman kepada Malaikat)
Malaikat adalah makhluk mulia yang sangat dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala perintahNya dan tidak pernah melanggar laranganNya. Mempercayai sifat yang patuh dan taat yang dimiliki oleh Malaikat tersebut, maka akan memberikan pengaruh terhadap ketenangan jiwa manusia dan manusia harus mencontohnya.
Beriman kepada Malaikat harus menghayati dan memahami sifat-sifat Malaikat tersebut sehingga manusia mempunyai jiwa yang sangat mulia.Tugas Malaikat adalah mendoakan bagi orang mukmin, menjaga dan menulis segala amalan  manusia, memotivasi insan yang beriman dan mencabut nyawa manusia. [40]
Banyak sekali tugas malaikat yang jika kita pahami akan memberikan ketenangan dan ketentraman jiwa manusia sehingga akan menjadikan manusia dapat hidup damai dan bahagia baik di dunia dan akherat. Manusia yang berprinsip seperti  Malaikat pasti memiliki loyalitas yang tinggi , komitmen yang kuat, suka menolong dan memiliki sikap saling percaya.
  1. Prinsip Kepemimpinan (Iman kepada Rasul)
Tingkat keberhasilan seseorang sangat ditentukan pada seberapa tinggi tingkat kepemimpinannya. Tingkat kepemimipinan seseorang juga menentukan seberapa besar dan seberapa jauh tingkat pengaruhnya. Begitu banyak pemimpin-pemimpin kaliber dunia yang dilahirkan di muka bumi ini, tetapi pengaruhnya hanya beberapa waktu saja dan pengaruhnya hilang seperti ditelan bumi. Sebut saja Winston Churchill, Ronald Ragen, Kaisar Hirihito, Yosef Bros Tito, Che Guevara dan masih manyak lagi, semuanya hanya tingal kenangan saja dan boleh dikatakan bahwa pengaruhnya hampir hilang ditelan masa. Para pemimpin yang diturunkan oleh Tuhan sebut saja Nabi Muhammad mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat sehingga sampai detik ini pengaruhnya tidak lekang ditelan jaman. Rasulullah merupakan suri tauladan sebagai seorang pemimpin yang mampu mengayomi bagi semua makhluk yang ada di muka bumi. Kehadirannya membawa rahmat bagi seluruh alam. Rasulullah adalah pemimpin yang dicintai, pemimipin yang dipercaya, pembimbing, pemimipin yang berkepribadian dan pemimpin yang abadi.
Pemimpin yang dicintai karena Rasulullah sangat dekat dengan umatnya dan selalu mengerti apa yang menjadi kebutuhan bagi para pengikutnya dan selalu bersikap rahman dan rahim. Sikap rahman dan rahim sangat berpengaruh dalam membangun suatu pengaruh. Rasulullah memiliki keindahan baik dalam bertutur kata maupun dalam bertingkah laku , sehingga umatnya sangat tentram ketika berada di dekatnya.
Pemimpin yang dipercaya karena Rasullah selalu menyampaikan segala sesuatu yang benar dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Beliau adalah seorang yang jujur, sehingga memang patut apabila beliau dijuluki al-Amin atau orang yang sangat dipercaya.
Seorang pemimpin juga harus dapat menjadi pembimbing bagi umatnya. Keberhasilan seorang pemimpin bukanlah karena kekuasaan, akan tetapi karena kemampuannya memberikan motivasi dan kekuatan kepada orang lain. Dengan kekuatan yang ada dalam diri Rasulullah tersebut sehingga beliau selalu membimbing umatnya untuk selalu beriman kepada Allah.
Pemimpin yang berkepribadian sangat melekat pada diri Rasulullah. Kepribadian yang ada pada dirinya seperti siddiq, amanah, tabliq dan fathonah merupakan sifat yang ada pada diri Rasulullah sejak kecil. Hal tersebut yang menjadikan Rasululah menjadi manusia yang sempurna diantara yang lainnya.
Rasululah merupakan pemimpin yang abadi sampai saat ini, dirinya selalu diingat baik perilakunya maupun ajaran-ajarannya. [41]
  1. Prinsip Pembelajaran (Iman kepada Kitab)
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dan sumber ilmu pengetahuan bagi manusia. Al-Qur’an memuat segala aspek kehidupan manusia. Semua yang ada di alam semesta ini dapat dijawab oleh al-Qur’an apabila manusia mau untuk mempelajarinya.
Al-Qur’an adalah pembimbing menuju suatu kebahagiaan dan ketenangan dalam menjalani kehidupan. Al-Qur’an memberikan prinsip dasar yang dijadkan pegangan untuk mencapai suatu keberhasilan dan kesejahteraan baik lahir maupun batin. Selain hal tersebut di atas, al-Qur’an akan memberikan motivasi dan rasa kepercayaan diri yang kuat terhadap diri manusia. Langkah-langkah pembangunan hati agar tercapai apa yang diinginkan adalah dengan melakukan pembangunan alam pikir yang dinamakan dengan iman, petunjuk pelaksanaannya adalah Islam dan langkah penyempurnaanya dengan ihsan.
  1. Prinsip Masa Depan (Iman kepada Hari Kemudian)
Manusia dalam menjalani kehidupan ini pasti ada tujuan akhirnya. Tujuan akhir dari apa yang diinginkan manusia adalah bisa hidup di surga. Untuk mencapai hal itu, manusia harus selalu menghambakan diri kepada Allah, melaksanakan apa yang dipentah dan meninggalkan yang dilarang. Langkah-langkah tersebut harus dilakukan dengan optimal dan sungguh-sungguh agar apa yang menjadi cita-cita yaitu agar  tenang menghadapi hari kemudian dapat tercapai.
Manusia yang beriman kepada hari kemudian akan diberikan kepastian dalam menghadapi masa depan dan mempunyai ketenangan batin yang tinggi sehinga tercipta keyakinan pada diri manusia akan adanya hari pembalasan.
  1. Prinsip Keteraturan (Iman kepada Qadha dan Qadhar)
Setiap proses kehiupan yang akan kita hadapi dan yang telah kita lalui pasti terdapat takdir atau ketetapan Allah dan kita berhak untuk memilih setiap langkah kehidupan yang akan kita hadapi.
Meyakini adanya takdir atau ketetapan Allah berarti manusia adalah mempunyai prinsip keteraturan yaitu memiliki kesadaran, ketenangan dan keyakinan dalam berusaha untuk memahami arti pentignya sebuah proses yang harus dilalui.[42]

Manusia yang dikatakan cerdas secara spiritual selain memiliki sifat seperti Rasulullah dan 6 Rukun Iman, juga harus memiliki 5 Rukun Islam. Adapun 5 Rukun Islam tersebut adalah: Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji.
Untuk lebh memperjelas akan penulis uraikan satu persatu 5 Rukun Islam tersebut.
  1. Penetapan Misi (Syahadat)
Misi manusia yang sebenar-benarnya dalam kehidupan adalah kalimat syahadat. Kalimat syahadat akan memberikan keyakinan dan optimisme hati untuk dapat mencapai tujuan hidup. Keyakinan bersyahadat apabila telah tertanam kuat di dalam hati, maka akan membentuk kekuatan yang dahsyat untuk mendorong setiap jiwa manusia bergerak mencapai visinya. Dorongan pikiran untuk mengikrarkan dalam bentuk kalimat syahadat, akan memberikan tekad dan komitmen yang bulat berupa perjanjian yang mengikat antar manusia dengan Tuhan Penciptanya. Perjanjian yang mengikat tersebut akan memunculkan keberanian, keyakinan, optimisme dan ketenangan batin bagi manusia.
Doktrin kalimat tauhid “ Laa Ilaaha Illallah” merupakan syahadat serta proklamasi kemerdekaan martabat manusia bagi pribadi muslim yang nilainya jauh melampaui makna “ Declaration Of Independence and Human Right “ yang diagung-agungkan di negeri Barat. Penghayatan dalam mengucapkan kalimat tauhid “ Laa Ilaha Illallah “ dengan penuh hikmat, akan memberikan getaran energi pada jiwa manusia dan mampu mendorong pikiran, hati dan tindakan untuk selalu mengingat Allah.
Doktrin kalimat tauhid “ Laa Ilaha Illallah “ merupakan kunci bagi kebebasan manusia dari bentuk penghambaan serta keyakinan sehingga akan terbentuk manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
Sejarah telah mencatat bagaimana kalimat syahadat telah menghasilkan generasi manusia yang telah menggetarkan dunia dengan kualitas akhlak yang mulia dan agung. Orang-orang Barat pun mengakui bahwa Nabi Muhammad merupakan generasi terbaik dalam sejarah perjalanan umat manusia. Nabi Muhammad telah memperlihatkan integritas, komitmen dan kepercayaan dirinya dalam menjalankan misinya sehingga menjadi pemimpin kelas satu dunia yang sangat disegani, dihormati dan sangat berpengaruh.
Pengakuan kepada Allah berupa pengucapan ikrar kalimat syahadat merupakan pernyataan pengakuan resmi dalam pembangunan mental berdasarkan atas Rukun Iman. Syahadat kepada Allah adalah berjanji untuk patuh dan taat kepada seluruh perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Berikrar kepada Allah melalui syahadat adalah komitmen total manusia untuk patuh dan taat[43]
  1. Pembangunan Karakter (Sholat)
Pembangunan karakter tidaklah cukup apabila hanya di mulai dan diakhiri dengan penetapan misi. Hal tersebut harus dilanjutkan dengan proses yang berlangsung sepanjang hidup yaitu melalui sholat. Shalat akan menjadikan pikiran manusia menjadi rileks sehingga dapat berpikir dengan jernih. Sholat memiliki pengaruh yang sangat besar dan sangat efektif dalam menyembuhkan manusia dari duka cita dan gelisah. Sholat yang dilakukan dengan sangat khusyuk , berserah diri dan pengosongan diri dari segala kesibukan dan permasalahan hidup dapat menimbulkan perasaan tenang dan damai dalam jiwa. Dengan shalat manusia dapat merasakan hubungan kedekatannya dengan Allah, merasakan nikmatnya berdzikir dan memberikan kekuatan yang kokoh terhadap jiwa manusia. Sholat merupakan penolong terbesar dalam mencapai kemaslahatan dunia dan akherat.[44]
Gerakan-gerakan sholat adalah sebagai bentuk relaksasi manusia dalam mengendorkan otot-ototnya yang sudah tegang. Gerakan sholat akan mengingatkan kita akan kematian. Sikap berdiri mengisyaratkan bahwa manusia tidak selama muda, berjaya dan berdiri kuat, kemudian ruku’ mengisyaratkan bahwa manusia ada saatnya mulai rapuh dan kemudian sujud menandakan bahwa manusia akan mengakhiri hidupnya dengan salam yaitu keadaan hati damai dan tenang.[45]  Ada 4 aspek terapi yang terdapat dalah gerakan sholat, yaitu olahraga, meditasi, auto sugesti dan aspek kebersamaan.
Sholat dikatakan sebagai olah raga karena sholat adalah proses yang menuntut suatu aktifitas fisik. Semua gerakan sholat mulai dari takbiratul ihram sampai sujud merupakan olahraga yang dapat memberikan kesehatan bagi pelakunya, baik sehat jasmani maupun rohani. Sholat tersebut dapat mengurangi kecemasan jiwa, maka semakin rajin manusia melakukan sholat, semakin rendah tingkat kecemasannya.
Aspek Meditasi. Sholat adalah proses yang menuntut manusia dalam melakukannya harus konsentrasi yang dalam dan sungguh-sungguh. Setiap muslim diharuskan untuk melakukan hal tersebut, karena kekhusukan di dalam sholat adalah merupakan sebuah meditasi yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya.
Aspek Auto sugesti. Bacaan dalam melaksanakan sholat adalah ucapan untuk memanjatkan doa terhadap Allah. Selain berisikan doa, bacaan shalat juga berisi pujian kepada Allah dan permohonan kepada Allah. Sholat adalah proses terapi melalui doa dan pujian kepada Allah sehingga akan menyugesti diri kita sendiri.
Aspek kebersamaan. Dalam menjalankan sholat sangat disarankan untuk melakukannya secara bersama-sama atau berjamaah. Hal tersebut akan memberikan pahala yang lebih besar daripada sholat sendirian.[46] Laksanakan shalat tersebut dengan sungguh dan buka karena suatu formalitas saja.
  1. Pengendalian Diri (Puasa)
Tujuan akhir dari pengendalian diri yang dilambangkan dengan puasa adalah untuk mencapai sebuah keberhasilan dalam mengendalikan pikiran, hati dan jiwa manusia. Puasa adalah alat untuk menahan diri dari belenggu nafsu duniawi maupun batiniyah yang tidak terkendali dan tidak seimbang. Dalam melakukan puasa tersebut harus atas dasar keyakinan kepada Allah bukan karena maksud yang lain.
Puasa dapat memberikan kesehatan baik jasmani maupun ruhani manusia  dan juga dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan. Seseorang yang dapat melaksanakan puasa dengan baik, akan dapat mengendalikan suasana hatinya.[47] Puasa merupakan latihan bagi manusia dalam menanggung kondisi prihatin dan berupaya bersabar, sehinga manusia mempunyai kesiapan diri dalam menanggung beragam kondisi prihatin yang akan terjadi di dalam kehidupannya. Manusia akan merasakan pahitnya penderitaan yang  diderita oleh fakir miskin. Selain hal tersebut ternyata puasa dapat mengatasi kegelisahan-kegelisahan yang dirasakan oleh manusia.[48]
  1. Ketangguhan Sosial (Zakat)
Zakat adalah sebuah bentuk aplikasi dari rukun iman, yang berprinsip memberi. Memberi kepada lingkungan sosial adalah salah satu modal awal untuk membentuk ketangguhan sosial manusia. Zakat merupakan langkah nyata manusia dalam membangun suatu landasan yang kokoh dalam masyarakat. Hal itu mencerminkan bahwa kita bukanlah makhluk individu yang selalu memikirkan diri sendiari akan tetapi kita adalah makhluk sosial yang harus saling membantu bagi orang yang membutuhkan. Zakat memberikan kekuatan mengikat antara manusia yang satu dengan yang lain, antara si miskin dengan si kaya dalam satu kesatuan yang bernuansa ruhaniah. Sehingga akan tercipta sebuah masyarakat yang selalu mengagung-agungkan suatu kasih sayang antar sesama manusia.[49]  
  1. Aplikasi Total (Haj )
Haji merupakan puncak dari segala yang puncak bagi manusia dalam kehidupan. Haji merupakan langkah penyelarasan yang nyata antara alam pikiran dengan praktek. Haji merupakan simbol praktek kehidupan yang sempurna.[50] Haji mengajarkan manusia untuk mampu menanggung kesulitan dan melatih melawan nafsu. Haji menyembuhkan penyakit-penyakit yang bersarang di dalam diri manusia yaitu ruhaninya.[51]
Untaian pelaksanaan haji mulai dari Thawaf, Sa’i, Wukuf sampai lontar Jumrah merupakan alikasi total diri manusia untuk menghadap kepada penciptanya. Thawaf mengartikan bahwa manusia harus menyerahkan secara total dirinya hanya kepada Allah. Sa’i menandakan bahwa manusia mempunyai konsistensi untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Wukuf mengisyaratkan bahwa manusia harus selalu mengevaluasi diri terhadap segala hal yang dilakukan di dunia dan mengembalikan dirinya untuk kembali fitrah. Melontar Jumrah memberikan arti bahwa manusia harus memiliki kekuatan baik fisik maupun mental untuk menghadapi berbagai tantangan masa depan yang telah menunggu di depan mata.[52] 

Menjadi manusia yang cerdas secara spiritual harus dapat melakukan perjalanan spiritual sehingga dapat menyatu dengan  misteri kehidupan dan kematian dan menyatu dengan Tuhan. Untuk dapat menyatu dan mengenal dekat Tuhan, manusia harus dapat mengenal diri sendiri dahulu. Penyair Sufi Jalalludin Rumi menulis sebuah syair, yang tersebut:
Aku bukan seorang Kristiani, bukan Yahudi, bukan pula Majusi,
Aku bahkan bukan seorang Muslim.
Aku tidak dimiliki oleh tanah, atau lautan yang dikenal atau tak dikenal.
Alam tidak dapat memiliki atau mengakui aku sebagai miliknya, demikian pula langit.
Tidak pula India, Cina, Bulgaria,
Tempat kelahiranku tidak ada dimana pun,
Tandakau tidak memiliki dan tidak memberi tanda.
Kau katakan melihat mulut, mata, dan hidungku mereka bukan milikku.
Aku adalah kucing itu, batu ini, tidak satupun.
Aku telah melempat dualitas seperti kain lap yang usang.
Aku melihat dan mengenal seluruh waktu dan semua dunia,
Sebagai satu, satu, dan selalu satu.
Maka apa yang mesti kulakukan agar kau mengakui siapa yang berbicara?
Akuilah itu dan ubahlah segalanya!
Ini adalah suarau sendiri yang menggemakan dinding-dinding Tuhan.[53]

Manusia yang cerdas secara spiritual, menurut penyair tersebut adalah manusia yang dapat menyuarakan dinding-dinding Tuhan.
Menjadi pribadi muslim yang cerdas secara spiritual harus dapat menyeimbangkan antara kebutuhan fisik maupun biologis, jasmani maupun ruhani dengan selalu berlandaskan pada religiusitas pada dirinya sehingga dapat menikmati jiwa yang sehat. Manusia yang mempunyai keseimbangan hidup adalah manusia yang mempunyai kehidupan sesuai dengan fitrah yang telah diciptakan Allah, yaitu akidah tauhid. Keseimbangan hidup tersebutlah yang dapat menghindarkan individu dari penyakit hati maupun jiwa, sehingga akan tercipta ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup. Ketenangan jiwa itu adalah kemampuan seseorang menyesuaikan diri dari dalam menghadapi setiap masalah dan kegoncangan dalam kehidupan sehingga dapat hidup damai dan tenang.
Jiwa yang seimbang dan harmonis tersebut, tercermin di dalam diri Rasulullah sebagai umat terbaik yang telah mengabdikan dirinya untuk umatnya. Kepribadian yang terdapat pada diri Rasulullah merupakan kepribadian yang seimbang dan yang paling sempurna.Allah mengambarkan sosok diri Rasullulah dalam QS. Al Qalam ayat 4

“Dan sesunggunya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
Dari ayat yang tersebut diatas htersirat bahwa Rasulullah merupakan umat yang sebaik-baik umat yang memiliki keluhuran budi pekerti yang terpancar dari setiap gerak dan tingkah lakunya. Rasulullah merupakan al-Qur’an berjalan bagi umat islam dalam menapaki kehidupan.
 Pribadi Rasulullah merupakan kepribadian insan kamil yang terwujud dari sifat-sifatnya yang terpuji. Hal tersebut digambarkan dalam firman Allah dalam QS. An-Nur ayat 35:
اللهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لاَ شَرْقِيَّةٍ وَلاَ غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللهُ الأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya:
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di alam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang meinyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahayaNya siapa saja yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".[54]



[1] Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, ( Bandung : Mizan, 2002), hal 4
[2] Ibid, Hal 10
[3] Ibid, hal 12
[4] Ibid, hal 14
[5] Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniyah (Transendental Intelligence) Membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional dan Berakhlak  (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. xii-xiii.
[6] Sachiko Murata dan William C. Chittick, Trilogi Islam,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),  hlm. 14.
[7] Ahmad Syafii Ma’arif,  Membumikan Alquran  ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995),  hal. 20.
[8] Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu, (Jakarta: Kompas, 2001), hal. 46.
[9] Musa Asy’ary, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an  ( Yogyakarta: Lesfi, 1992 ),  hal. 96.
[10] Fuad Nashori, Potensi-potensi Manusia ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 ), hal. 24.
[11] Jalaluddin Rahmat, Insan Kamil: Manusia Seimbang, sebuah Pengantar  (Jakarta: Penerbit Lentera, 1993), hal. xi.
[12] Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah.,  hal. 46.
[13] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997),  hal. 55-56.
[14] Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi ( Yogyakarta: Fajar Pustaka baru, 1998),  hal. 188.
[15] Baharudin, Paradigma Psikologi Islam Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an    (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),  hal. 113-115.
[16] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta, 1989),  hal. 1076.
[17] Timothy Freke, Hari-hari Bersama Rumi Ajaran-ajaran  Sang Maestro Sufi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003),  hal. 20.
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an, hal 250.
[19] Muhammad Muhyidin, Engakau Hanya Jibril, akulah  Muhammad, (Yogyakarta: Kata Hati,  2004),  hal.  116.
[20] Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2000),  hal.160.
[21] Ibid.,  hal. 118.
[22] Ary Ginanjar Agustian, ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2001),  hal. 11.

[23] Departemen Agama RI, al-Qur’an.,  hal. 645.
[24] Fuad Nashori, Potensi.,  hal 52
[25] Muhammad Utsman Najati,  Psikologi  dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2004), hal.17
[26] Majalah Tabliq april 2004 
[27] “Iman Warga Muhammadiyah” Dalam Suara Muhammadiyah, Edisi Mei, hal. 27.
[28] Rusli Amin, Menjadi Remaja Cerdas,  hal 34.
[29] “Tauhid dan Etos Kerja dalam Islam” Dalam Risalah Jum’at, Edisi 21 November 1997.
[30] Inayati dan Dwi, Majalah Ummi, “Kecerdasan Spiritual”, Edisi Spesial 4 Tahun, 2002
.[31] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu   Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Jakarta: Teraju, 2004),  hal. 124.
[32] Achmad Mubarok, Konseling Agama Teori dan Kasus  (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2000),  hal. 26.
[33] Fuad Nashori, Potensi-Potensi.,  hal 39-41.
[34] Hamdani Bakran, Konseling dan Psikoterapi Islam Penerapan Metode Sufistik, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 66.
[35] Yaitu melakukan amar ma’ruf, nahi munkar dan beriman kepada Allah.

[36]  Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu., hal. 127.
[37] Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah,. Hal 189-191
[38]Ary Ginanjar Agustian, ESQ Berdasarkan, hal. 69.
[39] Muhammad Isa Selamat, Penawar Jiwa dan Pikiran (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hal. 76.
[40] Ary Ginanjar Agustian, ESQ Berdasarkan, hal. 85
[41] Ibid, hal. 97.
[42] Muhammad Isa Selamat, Penawar, hal 113
[43] Ary Ginanjar Agustian, ESQ Berdasarkan, hal 181
[44] Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunah Nabi (Bandung: Hikmah, 2002), hal. 109.
[45] Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah,  hal. 82.
[46] Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori, Psikologi Islami Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),  hal.  98-99 .
[47] Ibid.,  hal. 56-57 .

[48]Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ,  hal. 111 .
[49] Muhammad Djarot Sensa, Quranic Quotient Kecerdasan-Kecerdasan Bentukan al-Qur’an  (Bandung: Hikmah, 2004),  hal. 298.
[50] Ary Ginanjar Agustian, ESQ Berdasarkan, hal. 282.
[51] Utsman Najati, Belajar EQ da SQ,  hal. 113.

[52] Ary Ginanjar Agustian, ESQ berdasarkan, hal. 282.
[53] Timothy Freke, Hari-hari Bersama,  hal. 174.
[54]  Departemen Agama RI, al-Qur’an dan,  hal. 550.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Kecerdasan Spiritual dalam Islam"

Post a Comment