Makalah Gerakan Ikhwanul Muslimin di Indonesia
Gerakan Ikhwanul muslimin |
IKHWANUL MUSLIMIN DAN USRAH
Imam syahid
Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin lahir pada
tanggal 17 oktober 1906 bertepatan dengan tahun 1323 H di desa Mahmudiyah
sebuah kawasan dekat Iskandariyah Mesir.[1] Di
wilayah Buhairah dengan ibu kotanya Damanhur .[2]
Imam syahid
tumbuh dibawah asuhan kedua orang tua
yang mulia dan memiliki kesungguhan dalam menanamkan akhlak yang mulia serta
sifat yang terpuji kepada putra-putrinya. Ayahnya bernama Syaikh Ahmad
Abdurrahman lebih terkenal dengan panggilan As-Sa’ati, karena pekerjaannya
sebagai tukang reparasi jam,[3]
juga dikenal sebagai seorang ulama hadits terkemuka di Mesir.[4]
Diantara buku karangan Syaikh Ahmad sendiri terdapat Bada-i ‘ul Musnad, fi
Jam’i wa Tartibi Musnadisy Syafi’i was Sunan (segi–segi keindahann musnad,
tentang himpunan dan pengurutan musnad Imam Syafi’i dan kitab-kitab sunan). Ia
juga menyunting satu bab dari musnad Ibn Hanball berjudul al Fat-hur
Rabbanni fi Tartibi Musnadil Imami Ahmad asy Syaibani (Pembukaan Ketuhanan,
Pengurutan Musnad Imam Ahmad asy Syaibani). Ditulisnya pula sebuah komentar
tentang musnad tersebut, berjudul Bulughul Amani, Asrarul Fat-hir Rabbani (Pencapaian
Idaman, Rahasia Pembukaan Ketuhanan).[5]
Imam Hasan
al-Banna dididik oleh orang tua yang ‘alim.
Bimbingan dan arahan orang tuanya telah memberikan pengaruh yang besar sekali
pada diri beliau, sehingga menghasilkaan
buah dan manfaat yang sangat baik serta melimpah. Sejak kecil ia sudah
ditempa ilmu agama dan sudah mulai menghafalkan Al Qur’an, karena ayahnya berkeinginan
putra-putranya menjadi hafidz-hafidz. Dirumah, ayahnya tak berhenti
mengawasinya dalam pelajaran agama, diserahkannya sebuah perpustakaan berisi buku-buku agama,
hukum, hadits, Ilmu Bahasa. Bahkan dibiarkannya sang putra mempergunakan buku
dan koleksi pribadinya.[6]
Hasan al-Banna
ketika menginjak usia 8 tahun disekolahkan di Madrasah Diniah ar Rasyad. Pada waktu itu, madrasah
tersebut merupakan madrasah unggulan dibidang materi maupun penerapan
metodologi pembelajarannya, selain mempelajari bidang studi yang ada
disekolah-sekolah pada umumnya. Di sana
juga diajarkan tentang hadits-hadits Nabi, imla’ (dikte), insya’(mengarang),
qawa’id (tata bahasa), tathbiq (praktek bahasa), adab (tata
krama) yang dituangkan dalam mahfudzat (hafalan) yang ditulis dalam
bentuk puisi atau prosa yang indah, serta hafalan Al Qur’an disertai pemahaman
secara menyeluruh terhadap kandungan isi Al Qur’an. Di madrasah inilah Hasan
al-Banna sangat berkesan dengan salah satu ustadznya, yaitu Syaikh Muhammad Zahran. Beliau adalah seorang
yang brillian, berilmu, bertakwa dan berwibawa. Ustadz Muhammad Zahran
menguasai teknik mengajar dan mendidik yang efektif dan membawa hasil, meskipun
ia tidak pernah belajar ilmu-ilmu pendidikan dan tidak pernah mendapatkan
kaidah-kaidah Ilmu Psikologi. Beliau lebih banyak bersandar pada kebersamaan
hati nurani antara dirinya dengan murid-muridnya.[7]
Hasan al-Banna
ketika belum menyelesaikan sekolahnya di Madrasah Diniyah, ustadz Zahran telah
pindah dari sekolahan tersebut, karena suatu urusan. Kepengurusan di madrasah
tersebut diserahkan kepada ustadz lain yang sudah barang tentu tidak sebanding
dengan kualitas keilmuan Syaikh Muhammad Zahran. Namun secara mengejutkan, ayah
Hasan al-Banna mengambil inisiatif untuk memindahkannya ke Madrasah I’dadiyah
(sekolah hafalan Al Qur’an). Hal ini lebih disebabkan karena Al-Banna belum
mampu memenuhi keinginan ayahnya untuk menghafal Al Qur’an secara keseluruhan.
Jenis madrasah ini sederajat dengan Madrasah Ibtida’iyah, hanya saja tanpa
pelajaran bahasa asing, Namun ada beberapa pelajaran tambahan tentang
undang-undang pertanahan dan perpajakan, serta sedikit tentang agrikultura,
disamping mendalami secara luas bahasa nasional (bahasa arab) dan ilmu agama.
Belum sepekan berselang, ia telah menjadi murid madrasah tersebut. Pada saat
itu umurnya menginjak 12 tahun. Untuk memenuhi keinginan ayahnya, beliau
meluangkan waktu menghafal Al Qur’an setelah sholat shubuh menjelang berangkat ke sekolah, sedangkan siang harinya
selepas pulang dari madrasah, beliau menggunakan waktunya untuk beraktifitas
dan pada malam harinya beliau pergunakann untuk mengulang pelajaran di
madrasah.[8]
Tanda-tanda
kesedihan dan keprihatinan sangat jelas terlihat pada raut mukanya, disebabkan
oleh sesuatu yang senantiasa bergejolak dalam hatinya tentang umat Islam dan
kondisinya. Maka terkadang karena rasa kecintaan yannng begitu dalam pada
agamanya (ghirohnya), dia terdorong untuk mengubah kemungkaran dengan
tangannya sendiri.[9] Atas dorongan
tersebut, beliau mulai aktif mengikuti
diskusi ilmiah mengenai persolan negeri dan ikut bergabung dalam barisan
demonstrasi pelajar dan mahasiswa serta aksi mogok massal sambil meneriakkan yel-yel
keadilan yang dimobilisasi oleh gerakan Nasionalisme Mesir yang
tergabung dalam partai Wafa’ al Mishry (berdiri pada 13 november 1918 ), dipimpin langsung
oleh Sa’ad Zaghlul.[10]
Di madrasah
ini pula beliau mengikuti orgnisasi yang pertama yang bernama Jam’iyatul
Akhlak al Adabiyah (perhimpunan akhlak mulia) yang memiliki misi menjaga
etika dan akhlak para pelajar dalam menggulirkan proses pemilihan dewan
kepengurusannya. Tata tertib perhimpunan ini telah menetapkan sanksi-sanksi
material yang bersifat simbolis bagi siapa saja yang menyalahi aturan organisasi,
juga menetapkan pelipatgandaan sanksi bila yang melakukan pelanggarran adalah
ketua atau salah seorang anggota Dewan
Kepengurusan Perhimpunan. Setelah Dewan
Kepengurusan Perhimpunan terbentuk, maka terpilihlah Hasan al-Banna sebagai
ketuanya. Perkumpulan itu telah memberi pengaruh yang sangat dalam pada diri Al-Banna dan
semua anggotanya, mengajar kepada mereka keberanian moral dan membuat mereka
mampu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.[11]
Nampaknya kegiatan internal di atas belum dapat memuaskan keinginan para siswa
dalam melakukan gerakan perbaikan. Maka berkumpulah antara lain ustadz Muhammad
Ali Badir, Labib Afandi Nawwas, Al Akh Abdul Muta’al Sankal Afandi, ustadz
Abdurrahman as Sa’ati dan ustadz Said Badir, memutuskan untuk membuat sebuah
asosiasi keislaman dengan nama Jam’iyah Man al Muharramat (asosiassi
anti haram). Aktifitas asosiasi ini adalah memberi teguran dengan tulisan
kepada pelaku-pelaku dosa. Dengan tanpa pandang bulu, tua maupun muda yang
diketahui telah melakukan tindakan dosa sudah pasti akan dikirimi kertas
teguran oleh asosiasi yang berisi larangan atas tindakan dosa tersebut.
Asosiasi tersebut melaksanakan tugasnya selama lebih dari enam bulan.[12]
Dengan adanya kebijakan kegiatan pemerintah tentang penghapusan sistem
Madrasah I’dadiyah daan diganti dengan sistem Madrasah Ibtida’iyah oleh
Dewan Teritorial kota Buhairah, tidak
ada alternatif lain bagi al-Banna kecuali harus memilih: mendaftarkan diri ke
Al Ma’had ad Diny di Iskandaria agar kelak menjadi “azhari” (gelar bagi
alumnus Al Azhar) atau ke Madrasah al Muallimin al Awwaliyah di Damanhur untuk
menyingkat waktu, sebab setelah tiga
tahun menempuh pelajaran di sini akan menjadi seorang guru. Akhirnya pilihan
kedua inilah yang beliau pilih. Pada saat itu umur beliau baru tiga belas
setengah tahun dan beliau masih menyisakan
seperempat hafalan Al Qur’annya. Hal inilah yang menjadi kendala pada
saat penerimaan siswa baru, dimana umur empat belas tahun dan hafal Al Qur’an menjadi syarat mutlak
diterimanya seseorang menjadi pelajar di madrasah ini. Akan tetapi berkat
kemurahan, ketulusan, kebesaran hati Ustadz Basyir ad Dasuqi Musa (kepala
sekolah pada saat itu), serta kecerdasan Al-Banna akhirnya beliau dapat lulus dengan catatan beliau harus
meyempurnakan hafalan Al Qur’annya hingga 30 juz.[13]
Pribadi Hasan al-Banna adalah pribadi yang senantiassa cenderung pada
kebaikan. Di luar sekolahnya beliau aktif mengikuti kajian kelompok, Tarekat
Al Hasyafiyah yang dipimpin oleh syaikh Al Hasyafi (didirikan oleh Syaikh
Hasanain al Hasyafiyah) serta pengajian yang diadakan oleh syaikh zahran di
semua masjid kecil antara maghrib hingga menjelang sholat isya’, hal ini tidak
lain disebabkan oleh keterikatannya terhadap bentuk halaqoh (perkumpulan
kecil) dengan aktifitas dzikir secara teratur, nasyid (senandung
islami), dan semangat ruhiyahnya yang menggelora dan sangat berkesan di hati beliau. Keakraban beliau dengan
tarekat ini menjadikannya senantiasa
secara tekun mengamalkan wirid
al wazhifah al zuruqiyah pada pagi dan sore hari. Wazhifah (wirid)
ini tidak lebih dari ayat-ayat Al Qur’an
al Karim dan hadits-hadits nabi mengenai doa-doa pagi dan petang
yang ditulis dalam kitab-kitab sunnah (buku hadits). Hingga pada suatu saat,
beliau bersama rekan-rekannya yang sepaham mendirikan asosiasi yang bervisi ishlah
(perbaikan) yakni “Jam’iyyah al Hasyajiyah al Khairiyah”, yang
dipimpin oleh Ahmad Affandi Asy-Syukri, sedangkan beliau menjabat sebagai
sekretarisnya. Sekali lagi asosiasi ini juga bergerak dalam gesekan moral untuk
berakhlak mulia serta membendung arus gerakan missionaris. Tarekat
inilah yang pada akhirnya sangat mempengaruhi pada keistiqomahan beliau dalam
beramal ibadah serta membentuk kepribadian beliau menjadi hamba Allah yang
saleh.[14]
Hari-hari Al-Banna di Damanhur,
merupakan hari-hari yang tenggelam dalam nuansa tasawuf dan ibadah. Usia
Hasan al-Banna saat itu mencapai empat belas tahun kurang beberapa bulan dan
sudah bersinggungan dengan Revolusi Mesir, yaitu tahun 1920-1923. beliau juga
merasakan kedekatan dengan fikrah
hashafiyah. Syaikh Sayyid Hasanain al Hashafi, syaikh pertama tarekat
tersebut dimakamkan dikota tersebut. Tidak disangsikan lagi bahwasanya tasawuf
dan tarekat menjadi salah satu faktor penting dalam penyebaran Islam dan
merupakan metode yang baik dalam pembinaan suluk (perilaku) dalam jiwa
mutarobbi (orang yang dibimbing). Satu hal yang menjadi keprihatinan beliau
di tengah-tengah ramainya penyebaran ilmu tasawuf, yakni pemberian
kekuasaan terhadap dzauq (cita rasa nafsu) dan wajd (intuisi),
seta pencampuradukan tasawuf dengan ilmu filsafat, manthiq
(logika) dan warisan cara berfikir umat terdahulu. Hal itu menyebabkan
terbukanya celah bagi masuknya perilaku zindiq, atheis, atau orang yang
rusak pendapat maupun aqidahnya dengan atas nama tasawuf dan zuhud.
Fenomena tersebut memotifasi dirinya untuk melakukan kajian ilmiah dan amaliah
(teoritis dan aplikatif), terhadap para syaikh tarekat, lalu kemudian beliau
menulis buku mengenai pemecahan masalah tersebut, namun sangat disayangkan
proyek besar ini belum sempurna dan terhenti disebabkan keterbatasan umur
beliau.[15]
Hasan al-Banna melanjutkan studinya ke Universitas Darul Ulum di Kairo
dan ketika itu umur beliau menginjak 17 tahun. Setelah melakukan berbagai macam
tes termasuk juga tes medis di Al Azhar, Kairo, akhirnya beliau lulus dan
diterima di Kuliyatul Adab (Fakultas Sastra) jurusan Bahasa Arab. Pada
masa itu Darul Ulum boleh dikatakan miniatur Al Azhar, dimana universitas ini
dilengkapi dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti : agama, politik,
psikologi, filsafat, sosial, bahasa dan Ilmu Pemgetahuan Alam dengan cara lebih
modern.[16]
Sebelum memasuki tahun pertamanya di Darul Ulum beliau ditunjuk oleh Dewan
Pimpinan wilayah Buhairah untuk menjadi staff pengajar di Madrasah Awwaliyah
(setingkat dengan SD/MI), akan tetapi beliau akhirnya memutuskan untuk lebih
mengutamakan melanjutkan belajar. Selama kuliah di Darul Ulum beliau menekuni
betul perkuliahan ini, beliau merupakan mahasiswa yang paling berprestasi, dan
pada saat ujian akhir beliau telah hafal 18.000 bait syair dan kata-kata
hikmah. Beliau menamatkan kuliah dengan yudisium terbaik (coumlaude)
pertama tingkat universitas Darul Ulum dengan gelar License (lc),
tepatnya pada tahun 1927.
Akhirnya, setelah lulus dari Darul Ulum, Hasan al Banna ditempatkan di
Ismailia (tempat berdirinya Ikhwanul Muslimin ) untuk mengajar di sebuah
sekolah dasar. Sedangkan sahabat beliau, Ahmad Affandi as Sukri mengemban
tugasnya di Mahmudia.[17]
Itulah perjalanan pendidikan dan pengalaman Hasan al-Banna dalam
mendalami dan mengamalkan ilmu agama. Hasan al-Banna menggambarkan sosok
pribadi yang teguh dalam memegang prinsip dan ber amar ma’ruf nahi munkar.
Dari perjalanan pendidikan yang beliau lalui tersebut, Hasan al-Banna
memiliki teman-teman dan sahabat-sahabat yang merupakan anak-anak muda yang
agamis. Beliau berkenalan dengan mereka di pengajian-pengajian Ikhwan
Hashafiyah. Madrasah Diniyah al Rasyad, Madrasah Muallimin Damanhur,
Madrasah Darul Ulum Kairo, dan sebaginya. Sejak kecil Al-Banna telah membentuk
berbagai organisasi bersama kawan-kawannya, terkadang melalui pengarahan dari
sedagian gurunya hingga lulus dari Darul Ulum. Diantara organisasi tersebut
adalah: organisasi akhlak dan budi pekerti sewaktu beliau masih sekolah di
Madrasah I’dadiyah, organisasi anti kemungkaran, organisasi sosial Hashafiyah
yang didirikan bersama Ahmad Sukri. Hasan al-Banna sebagai sekretarisnya.
Ia bergerak dalam dua bidang, pertama: menyebarkan seruan kepada akhlak
mulia dan mencegah kemunkaran, kedua membendung gerakan kristenisasi di
Mahmudiah.
Kemudian sebagai reaksi
terhadap fenomena kebebasan dan kebodohan masyarakat di Kairo, beliau membentuk
Asosiasi Mahasiswa Al-Azhar dan Darul Ulum untuk berlatih memberikan nasehat
dan wejangan di warung-warung kopi, masjid-masjid, dan forum-forum umum.
Pada bulan
Dzul-Qa’dah tahun 1347 H bertepatan dengan bulan Maret 1928, Hasan al-Banna
bersama dengan enam saudara seperjuangannya yaitu: Hafidz Abdul Hamid (tukang
kayu), Ahmad Al Khushari (tukang cukur), Fuad Ibrahim (penarik pajak),
Abdurrahman Hasbullah (sopir), Ismail Izz (tukang kebun), Zaki Al Maghribi
(tukang gerobak), mendirikan Ikhwan Al-Muslimun di kota Ismailiyyah (260 km
dari Kairo) dengan menjadikan Qur’an dan Hadits sebagai ideologi umat Islam.[18]
Makna secara bahasa dari kata “Al-Ikhwan Al-Muslimin” atau “Al-Ikhwanul
Muslimun” adalah saudara-saudara yang sama-sama muslim. Inilah nama sebenarnya
dari jamaah yang didirikan oleh Hasan al-Banna. Struktur kalimatnya berbentuk
na’at (Al-Muslimun) dan man’ut (Al-Ikhwan), yang artinya sebagaimana di atas.
Dalam perkembangannya, khususnya di Indonesia ia popular dengan sebutan
“Ikhwanul Muslimin”, dengan struktur mudhaf (Ikhwan) dan mudhaf Ilaih
(Muslimin), yang maknanya secara bahasa adalah “saudara-saudaranya kaum
muslimin”.[19]
Hasan al-Banna dan
sahabat-sahabatnya memilih Ismailia sebagai tempat berdirinya Ikhwanul
Muslimin, sebab lulus dari Darul Ulum, Hasan al Banna ditempatkan di Ismailia
(tempat berdirinya Ikhwanul Muslimin ) untuk mengajar di sebuah sekolah dasar.[20]
Perjalanan pendidikan dan pengalaman Hasan al-Banna dalam berorganisasi
telah memberikan pengaruh dan pembentukan intelektual, manajemen dan
keorganisasian, selain memberinya pengalaman praktis dalam memenej dan
membentuk jama’ah di berbagai tingkatan, serta pengalaman langsung dalam
berinteraksi dengan orang lain dan mengetahui kemampuan mereka. Semua itu telah
memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk dan mengorganisasi Jama’ah
Ikhwanul Muslimin, dengan bentuk struktur yang sempurna dan dengan metode yang
tepat untuk membina seluruh anggota.[21]
B.
Sejarah Berdirinya Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin adalah
sebuah gerakan revivalis Islam yang tentunya berdiri karena suatu kondisi yang
menjadi sebab akan berdirinya. Beberapa hal yang telah menjadi penyebab
munculnya Ikhwanul Muslimin, diantaranya adalah: Latar belakang sosial ekonomi,
latar belakang kultural (Westernisasi), dan juga latar belakang Politik.
1.
Latar belakang Sosial Ekonomi
Kondisi sosial Mesir yang
menjadi penyebab lahirnya Ikhwanul Muslimin adalah munculnya sistem kelas dan
tidak adanya keadilan sosial. Sistem kelas yang muncul pada waktu itu adalah
golongan tuan tanah yang menguasai sebagian basar tanah pertanian yang hasilnya
hanya untuk menambah kekayaan mereka dan golongan mayoritas rakyat kecil yang
terdiri dari kaum tani, buruh pertanian, pekerja kasar yang hanya menguasai
sebagian kecil lahan menjadi semakin mengalami berbagai kesengsaraan hidup,
penyakit, tidak memperoleh pendidikan, dan hanya dieksploitasi. [22]
Kondisi sosial tersebut
berpengaruh langsung terhadap tujuan, pemikiran, dan gerakan jama’ah Ikhwan.
Karena itu salah satu tujuannya adalah mewujudkan keadilan sosial bagi setiap
warga negara, memberantas kebodohan, penyakit dan kemiskinan, dan seterusnya.
Adapun kondisi sosial yang
ikut melatarbelakangi berdirinya Ikhwan adalah gerakan kristenisasi yang
membonceng imperialis, perempuan-perempuan yang tidak berkerudung dan berbaur
dengan laki-laki, munculnya dekadensi moral dan degradasi sosial dengan semakin
menjamurnya tempat-tempat prostitusi terbuka, dance hall, perang, bahkan
berontak terhadap tradisi-tradisi yang berasal dari agama, maraknya propaganda
agar seluruh penampilan masyarakat Mesir seperti Eropa, propaganda
permisifisme.[23]
Kondisi itu juga ikut
mempengaruhi aktivitas dan tujuan Ikhwanul Muslimin. Secara intelektual, mereka
memperhatikan problematika perempuan, maka didirikanlah Divisi Akhwat Muslimah,
untuk memberikan perhatian terhadap problem mereka di samping untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan pendidikan mereka. Mereka berusaha melawan kristenisasi
dengan berbagai cara, mendirikan Divisi Sosial dan Pelayanan untuk menyantuni
kaum fakir miskin, mendirikan kamp-kamp pengungsian, memberikan perhtian
terhadap pendidikan moral, dan seterusnya.[24]
Secara khusus kondisi moral
Mesir waktu itu sangat mempengaruhi terhadap aktivitas Ikhwanul Muslimin pada
pembinaan para anggotanya. Dimana dalam pembinaan tersebut menjadikan Usrah sebagai pilar utamanya.
Latar belakang kondisi
sosial yang terjadi di Mesir dibarengi dengan kondisi perkonomian Mesir yang
cukup mengkhawatirkan bagi bangsa Mesir pada waktu itu. Di mana kondisi
perekonomian pada waktu itu adalah tetap berlangsungnya monopoli Perusahaan
Asing, keterikatan ekonomi Mesir dengan ekonomi Inggris, ketergantungan
perekonomian Mesir kepada pertanian yang hanya mengandalkan kapas, penjajahan
ekonomi, keterbelakangan ekonomi bagi para pekerja.[25]
Kondisi ekonomi Mesir pada
waktu itulah yang memberikan pengaruh langsung bagi pertumbuhan, perkembangan,
dan aktivitas Ikhwan. Dengan kondisi seperti itu memberikan pengaruh yang
sangat kuat dalam diri Hasan al-Banna dan dakwahnya, sehingga gerakan Ikhwan
masuk juga pada sektor ekonomi dan berpartisipasi dalam kebangkitan ekonomi
Mesir. Selain itu Ikhwan membahas juga masalah kemerdekaan dan kebangkitan
ekonomi untuk menghadpi kondisi tersebut. Tujuan mereka adalah mendirikan
sistem ekonomi yang independen.
2.
Latar belakang Kultural
Latar belakang kultural di
Mesir tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan kultural, yang mencakup: arus
reformasi keagamaan, arus westernisasi liberal, arus regional, arus
Nasionalisme Arab dan arus westernisasi Komunis. Berikut akan dijelaskan satu
persatu.
a.
Arus reformasi keagamaan
Arus
reformasi keagamaan mulai bangkit sejak permulaan aabad ke 19 yang lalu.
Gerbong kebangkitan Islam modern dimotori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang
mempunyai gerakan yang erat dengan fundamentalisme Islam seperti tokoh-tokoh fuqaha’ salaf sebelumnya yaitu Ahmad Ibn
Hanbal, Ibn Taimiyah, dan Ibn Qayyim. Wahhab berjuang memurnikan ajaran Tauhid
dari segala noda yang berbau syirik.[26]
Setelah masa wahabi jatuh, muncullah sosok
Jamaluddin Al- Afghani yang merefleksikannya pada dunia Islam modern dibarengi
dengan perlawanan terhadap pengaruh-pengaruh asing yang mulai merebak waktu
itu. Kemudian selanjutnya adalah masa Muhammad Abduh yang memindahkan gerakan
kembali kepada Islam melalui sebuah aktivitas politik dengan memulai pada
perubahan individu. Sebelum munculnya Ikhwan, arus gerakan ini telah
mengkristal pada murid-murid Abduh yang tetap aktif di tengah masyarakat Mesir.
Akan tetapi bersamaan itu pula pengaruh westernisasi melalui imperialisme
Inggris mulai merebak. Saat reformasi keagamaan mulai melemah itulah Hasan
al-Banna muncul dengan mempelajari aktifitas politik Jamaluddin, dan melihat
perhatiaan Muhammad Abduh pada pembinaan. Akhirnya Jamaah Ikhwan membawa besar
pengaruh arus reformasi keagaamaaan tersebut.[27]
b.
Arus westernisasi Liberal
Gelombang westernisasi yang terjadi di Mesir
mencakup westernisasi pemikiran, budaya dan sosial diistilahkan oleh Hasan
al-Banna sebagai “hegemoni Patriotisme”.[28]
Hasan al-Banna mengemukakan bahwa bangsa-bangsa Eropa bekerja keras untuk
memasarkan paham materialismenya dengan penyakit-penyakitnya kepada seluruh
negeri Muslim yang mereka kuasai dengan keinginan kuat untuk melecuti
bangsa-bangsa Muslim hingga tak berdaya. Misi-misi mereka diantaranya adalah
mengubah dasar-dasar sistem pemerintahan, peradilan, dan pendidikan dengan
sistem Barat materialistik sekuler.[29]
Pengaruh
Barat yang masuk ke dalamnya, peradaban materialisme, di negeri-negeri Islam
yang salah satunya adalah di Mesir banyak memberikan pengaruh pada pembinaan
Islam, idiologinya, sehingga menyebabkan terjadinya distorsi tentang Islam.
Para pembenci Islam tersebut telah mengelabui kaum Muslimin dan mempesentasikan
Islam secara tidak utuh, hanya terbats pada keimanan, ibadah ritual, dan moral
di samping sejumlah perayaan ritual, kepercayaan-kepercayaan khurafat serta fenomena-fenomena yang
sebenrnya kering dari makna agama. Distosi tentang Islam ini ditmbah dengan
faktor kebodohan kaum Muslim tentang hakikat ajaran agama mereka sehingga
banyak yang tidak mempermsalahkan terhadap penyempitan makna agama ini. Maka
cukup kesulitan untuk memahamkan mereka bahwa Islam adalah sistem hidup yang
komprehensif yang mencakup setiap bidang kehidupan.[30]
Melihat
fenomena tersebut, tidak mengherankan jika Ikhwan mengusung purifikasi agama
dalam setiap gerak dan aktivitas pembinaannya. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap materi-materi yang disampaikan dalam pembinaan. Pengokohan aqidah
seorang Muslim merupakan materi pokok dalam sistem pembinaannya. Hal inipun
tidak terlepas dari tujuannya yang ingin membentuk individu Muslim dalam
pemikiran aqidah, akhlak dan sentimen atau citarasanya, perbuatan dan tingkah
lakunya.[31]
c.
Arus regionalisme (propaganda
menuju Mesirisme)
Arus
regionalisme ini penuh dengan propaganda arus westernisasi pada dataran
pemikiran. Jamaah Ikhwan menentang arus ini dengan menegaskan afiliasi Arab dan
Islam bagi Mesir, dan menjadikan konsepsi nasionalisme Mesir sebagai prinsip
yang khas.[32]
d.
Arus Nasionalisme Arab
Pemikiran
nasionalisme Arab ini mulai tampak jelas di Mesir dari tahun 1933 yang dalam
banyak hal berbaur dengan pemikiran Islam. Arus pemikiran ini mendapatkan gema
yang menonjol pada Jamaah Ikhwan. Mereka menyatakan bahwa kesatuan Arab
merupakan sesuatu yang harus ada, wajib dibela dan diusahakan untuk
mewujudkannya.[33]
e.
Arus Westernisasi Komunis
Pada intinya kaum komunis yang ada di Mesir mulai merebak dan
menjadi musuh dari Ikwan. Al-Banna menyeru kelompok-kelompok komunis agar memahami Islam yang mengandung
dasar-dasar reformasi yang jauh lebih tinggi dari maadzab Komunis.[34]
Gelombang
westernisasi yang terjadi di Mesir mencakup westernisasi pemikiran, budaya dan
sosial diistilahkan oleh Hasan al-Banna sebagai “hegemoni Patriotisme”. Hasan
al-Banna mengemukakan bahwa bangsa-bangsa Eropa bekerja keras untuk memasarkan
paham materialismenya dengan penyakit-penyakitnya kepada seluruh negeri Muslim
yang mereka kuasai dengan keinginan kuat untuk melecuti bangsa-bangsa Muslim
hingga tak berdaya. Misi-misi mereka diantaranya adalah mengubah dasar-dasar
sistem pemerintahan, peradilan, dan pendidikan dengan sistem Barat
materialistik sekuler.[35]
Pengaruh
Barat yang masuk ke dalamnya, peradaban materialisme, di negeri-negeri Islam
yang salah satunya adalah di Mesir banyak memberikan pengaruh pada pembinaan
Islam, idiologinya, sehingga menyebabkan terjadinya distorsi tentang Islam. Para pembenci Islam tersebut telah mengelabui kaum
Muslimin dan mmpesentasikan Islam secara tidak utuh, hanya terbats pad
keimanan, ibadah ritual, dan moral disamping sejumlah perayaan ritual,
keprcyaan-kepercayaan khurafat serta fenomena-fenomena yang sebenrnya kering
dari makna agama. Distosi tentang Islam ini ditmbah dengan faktor kebodohan
kaum Muslim tentang hakikat ajaran agama mereka sehingga banyak yang tidak
mempermsalahkan terhadap penyempitan makna agama ini. Maka cukup kesulitan
untuk memahamkan mereka bahwa Islam adalah sistem hidup yang komprehensif yang
mencakup setiap bidang kehidupan.[36]
Melihat
fenomena tersebut, tidak mengherankan jika Ikhwan mengusung purifikasi agama
dalam setiap gerak dan aktivitas pembinaannya. Hal ini sangat brpengaruh
terhadap materi-materi yang disampaikan dalam pembinaan. Pengokohan aqidah
seorang Muslim merupakan materi pokok dalam sistem pembinaannya. Hal inipun
tidak terlepas dari tujuannya yang ingin membentuk individu Muslim dalam
pemikiran aqidah, akhlak dan sentimen atau citarasanya, perbuatan dan tingkah
lakunya.[37]
3.Latar belakang
Politik
Masalah politik yang
menonjol pada waktu itu adalah pembebasan dari imperilisme, pemerintahan Islam
dan kebebasan. Ikhwan benar-benar ingin independen dalm segala hal tanpa campur
tangan Barat dan hanya ingin mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam berbagai
bidang kehidupan. Kondisi politik Mesir pada waktu itu benar-benar sangt
berpengaruh dalam perkembangan, tujuan, dan pemikiran Ikhwan.[38]
Adapun tujuan Ikhwan yang sangat
terpengaruh oleh masalah politik di Mesir pada waktu itu adalah:[39]
a.
Membebaskan negeri Muslim dari
kekuasaan Asing. Yang demikian merupakan hak alamiah bagi setiap orang yang
tidak dapat dipungkiri oleh siapapun.
b.
Mendirikan sebuah negara Islam di
negeri yang merdeka ini yang melaksanakan hukum-hukum Islam, yang menerapka
sistem sosialnya, yang memproklamirkan prinsip-prinsipnya yang kokoh, yang
menyampaikan dakwah Islam kepada umat manusia.
Dari tujuan
politik Ikhwan tersebut tergambar bahwa Ikhwan benar-banar menginginkan sebuah
negara yang bisa menerapkan Islam dalam berbagai aspek kehidupannya. Namun
Ikhwan menyadari bahwa semua itu tidak akan terwujud tanpa adanya pembinaan
yang matang serta membutuhkan waktu yang sangat lama.
C. Aktivitas Ikhwan
Segala aktivitas Ikhwan
tidak terlepas dari perubahan sosial yang hendak mereka raih. Perubahan sosial
yang dimaksud di sini adalah: Perubahan menyeluruh yang terjadi di masyarakat
sebagai jalinan hubungan dengan tatanan sosial, dari satu kondisi peradaban
yang lain, disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor sarana produksi, faktor
tantangan dan respon, faktor geografis alamiah, faktor kejiwaan dan wawasan,
dan seterusnya.
Dalam hal ini Ikhwan berpendapat bahwa suatu
bangsa dalam keadaan kuat dan bangkit, apabila memenuhi syarat-syarat kejiwaan
pada individu-individunya. Yaitu keyakinan bersama kepada tujuan dan idelisme,
kehendak bersama untuk bangkit, konsep tertentu untuk mencapai tujuan, serta
perencanaan dalam rangka merealisasikan konsep tersebut meski memerlukan
pengorbanan. Sebaliknya, suatu bangsa akan berada dalam kondisi lemah sosial apabila
melupakan tujuan dan idealismenya, lemah kemauannya, lebih tenggelam pada
kemewahan, dan tersesat dari cara pandangnya yang benar.[40]
Berangkat dari hal tersebut
di atas, Ikhwan mengagendakan aktivitsnya untuk menuju pada sebuah perubahan
yang besar, yaitu; aktivitas bidang sosial ekonomi, bidang politik, dan bidang
pembinaan (tarbiyah).
1.
Aktivitas Bidang Sosial Budaya
Berangkat dari kondisi
sosial ekonomi Mesir, Ikhwan banyak melakukan aktivitas sosial dan budaya diantaranya
adalah, pertama, Ikhwan mendirikan
sekolah-sekolah khusus untuk perempuan seperti
Madrasah Ummahatul Mukminin di
Ismailia dan Dar At-Tarbiyah
Al-Islamiyah Li Al-Fatat di Kairo, membentuk Divisi Akhawat Muslimah di Ismailia dan Kairo untuk membentuk
pribadi-pribadi perempuan yang terdidik. Selain itu Ikhwan juga mendirikan
Yayasan-yayasan Sosial, sekolah-sekolah, kajian-kajian keilmuan,
ceramah-ceramah, penerbitan jurnal, membentuk usrah-usrah yang khusus akhawat dan penyiapan training-training untuk
kaderisasi para naqibah (pemimpin)nya.[41]
Aktivitas khusus yang
didirikan Ikhwan untuk perempuan ini karena Ikhwan menganggap bahwa perempuan
merupakan unsur utama dalam pembentukan generasi. Lebih daripada itu pada saat
itu banyak muslimah yang menanggalkan jilbabnya, adanya pencampurbauran antara
laki-laki dan perempuan, pendidikan yang mendeskreditkan kaum perempuan.
Kedua, pada bidang sosial, Ikhwan
mendirikan berbagai forum, klub rihlah, yang kelak menjadi kelompok kepanduan,
klub-klub olahraga, dan panti-panti
asuhan di hampir setiap cabang.[42]
Diantara
kelompok yang didirikan Ikhwan adalah kelompok olahraga. Hal ini menunjukkan
betapa besar perhatian Ikhwan pada masalah fisik dan Ikhwan memahami benar
bahwa seorang mukmin yang kuat lebih baik daripada mukmin yang lemah. Di mana
pelaksanaan ibadah, baik itu shalat, puasa, haji, mencari nafkah untuk keluarga
dan zakat tidak akan terlaksana dengan baik jikalau tidak didukung dengan fisik
yang prima. Oleh karena itu Al-Ikhwan membentuk klub-klub olahraga untuk
menjaga stamina tubuh tetap prima dan produktif (menjuarai berbagai bidang olah
raga).[43]
2. Aktifitas bidang Ekonomi
Di bidang ekonomi, pertama, Ikhwan berusaha mendidik
anggota jama’ah untuk berpegang teguh kepada sejumlah moralitas dan etika
ekonomi, yaitu:
a.
Hendaklah menekuni satu pekerjaan ekonomi,
sekalipun ia orang kaya. Hendaklah ia mendahulukan pekerjaan yang tidak
terikat, sekalipun kecil hasilnya.
b.
Hendaklah anggota Ikhwan membantu
perkembangan ekonomi Islam dengan mendorong pemakaian produksi dalam negeri,
jangan sampai uangnya jatuh ke tangan orang non Muslim. Jangan berpakaian dan
makan kecuali dari hasil produksi dalam negeri.
c.
Hendaklah ia menabung sebagai
incomnya sekalipun sedikit, dan jangan larut dalam pengkonsumsian barang-barang
mewah.
d.
Sejak tahun 1945, mereka
menyerukan untuk pemboikotan komoditas dan perusahaan-perusahaan Inggris sama
sekali .
Kedua, membangun
beberapa proyek ekonomi, diantaranya adalah:[44]
a.
Persahaan Al-Mu’amalat Al-Islamiyah (mengolah tembaga, lalu membuat ubin dan
semen.
b.
Perusahaan Al-‘Arabiyah li Al-Manajim wa Al-Mahajir (untuk memproduksi semen,
ubin, peralatan masak gas, dst).
c. Perusahaan Al-I’lanat
Al-‘Arabiyah.
d.
Perusahaan Al-Ikhwan Al-Muslimun untuk pintal dan tenun.
e.
Perusahaan Perdagangan dan
Konstruksi (untuk memproduksi bahan-bahan bangunan dan mendidik para pekerja
untuk menggeluti profesi pemipaan, pelistrikan, dan pertukangan).
f.
Perusahaan At-Taukilat At-Tijariyah di Suez.
g.
Perusahaan Dagang di Mahallah
(memproduksi kain tenun, perabot rumah tangga, peralatan kantor, peralatan
sekolah, dan peralatan listrik).
Ketiga, selain aktivitas-aktivitas di atas, Ikhwan juga memiliki
aktivitas ekonomi melalui pendidikan dengan membentuk sebuah sekolah untuk
penyuluhan keorganisasian bagi para buruh, diantaranya adalah:
a.
Memahamkan para pekerja atas
hak-hak mereka dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat untuk
memperolahnya.
b.
Koordinasi aktivitas
keorganisasian
c.
Ajakan kepada para buruh untuk
bergabung bersama organisasi-organisasi mereka
d.
Pemberantasan buta huruf
e.
Pengembangan wawasan umum (baik
sosial, politik, nasional, kesehatan, dsb) kepada para buruh.
f.
Kajian ide-ide perindustrian dan
metode-metode produksi modern hingga buruh Muslim memilki kualitas tehnik
industri yang tidak lebih rendah dari pekerja setingkatnya di kalangan
bangsa-bangsa lain.
3.
Aktivitas di bidang Politik
Aktivitas Ikhwan di bidang
politik bertitik tolak pada pemikiran Ustadz Hasan al-Banna yang menegaskan
tentang hakekat eksistensi Muslim yang politikus dari titik tolak Islam. Beliau
menyampaikan:[45]
Seorang Muslim tidak sempurna keislamanya kecuali jika ia
seorang politikus, berwawasan luas dalam memandang persoalan umatnya, dan penuh
perhatian kepadanya. Bisa juga saya katakan bahwa batasan itu sebenarnya bukan
batasan yang ditetapkan Islam, namun semua organisasi Islam hendaknya
meletakkannya di poin-poin awal prinsip pemikirannya, agar memberi perhatian
penuh kepada umatnya dalam urusan politik. Jika tidak, ia sendiri membutuhkan
pemahaman tentang makna Islam secara benar.
Hasan al Banna juga
menyampaikan bahwa agama dan sistem kehidupan yang utuh sekaligus memuat di
dalamnya aspek politik. Ia berkata: [46]
Negara merupakan representasi dari fikrah,
tegak dalam rangka memeliharnya, bertanggungjawab mewujudkan cita-citanya dalam
masyarakat Negara merupakan representasi dari fikrah, tegak dalam rangka
khusus, dan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia… Negara Islam adalah
negara merdeka yang tegak di atas syariat Islam, bekerja dalam rangka menerapkan
sistem sosialnya, memproklamasikan prinsip-prinsipnya yang lurus, dan
menyampaikan dakwahnya yang bijak ke segenap umat manusia.
Pada fase ini
yang dilakukan Ikhwan adalah: penanaman kebencian terhadap kekuasaan
orang-orang asing, menanamkan mentalitas harga diri di kalangan kaum buruh,
perlawanan terhadap kristenisasi, kritik politik Ataturk yang memisahkan negara
dari agama, dan statemen Al-Banna bahwa dakwah merupakan kewajiban pemerintah
dan parlemen dan bahwa pemerintah harus memiliki kepedulian terhadap pengajaran
agama, pelarangan pornografi dan tempat-tempat hiburan.[47]
Dalam hal ini
Ikhwan juga lebih mengarahkan sifat gerakannya secara universal. Hasan al-Banna
mengingatkan akan urgensi universalitas gerakan, setelah universalitas fikrah,
dimana universalitas fikrah memiliki peranan terbatas perencanaan batas-batas
visi dan gagasan, sedangkan universalitas gerakan lebih mengarah pada teknik
operasional suatu ide. Sebagaimana yang terdapat dalam Risalah Muktamar kelima,
Hasan al-Banna mendeklarasikan bahwasannya pergerakan al-Ikhwan mencakup semua
makna reformasi dan semua bidang positif yang dibutuhkan oleh umat,
direpresentasikannya semua unsur dari pemikiran gerakan lainnya dan merangkul
semua golongan atau kelompok yang berbeda-beda. Sehingga semua reformis yang
tulus dan mempunyai ghirah (semangat)
ke sana
menemukan obsesinya, yaitu cita-cita reformasi yang memahami dan mengerti
tujuan bertemunya Al-Ikhwan.[48]
Di bidang
politik, Ikhwan juga menuntut kebaikan dari dalam terhadap hukum
pemerintahan untuk meluruskan persepsi yang terkait dengan hubungan umat Islam
terhadap bangsa-bangsa lain di luar negeri, men-tarbiyah bangsa agar
memiliki izzah (kemuliaan) dan
menjaga identitasnya.[49]
Adapun
tahapan-tahapan kerja politik yang dilakukan Ikhwan, meliputi,[50] pertama, Ta’rif (pengenalan), agar
masyarakat mengenal baik dengan fikrah dan muatannya. Sebagian dari aksi dalam
tahapan ini adalah:
-
Menjelaskan pemikiran secara benar
kepada orang.
-
Mengenalkan secara detail hakikat
Jama’ah.
-
Revitalisasi peran ulama dalam
politik.
-
Meletakkan politik sebagai
pengendali aktivitas dalam tahapan ini.
Kedua, tahapan Takwin
(Pembentukan), yakni dengan memilih unsur-unsur yang efektif dan membangun
lembaga-lembaga. Aksi yang harus dilakukan dalam tahapan ini, antara lain:
-
Membentuk panitia konstitusi.
-
Membentuk tim perumus
undang-undang.
-
Mempersiapkan program perbaikan
yang integral.
-
Menganlisis secar sistematis
realitas yang ada.
Ketiga, tahapan Tanfidz (pelaksanaan), yaitu perjuangan dakwah meletakkan
program-program yang dapat diaplikasikan. Beberapa aksi dalam tahapan ini,
antara lain:
-
Berusaha untuk masuk dalam majelis
parlemen.
-
Mobilisasi massa .
-
Meningkatkan tuntutan.
Secara praktis kegiatan politik Ikhwan mencakup:
-
Kegiatan Jurnalistik intensif
-
Menasihati pemimpin.
-
Menjalin hubungan dengan
orang-orang di lembaga konstitusi dan memberi masukan kepadanya.
-
Mempersiapkan program-program
perbaikan kemudian mengajukannya ke bagian penanggungjawaban, dst.
4. Aktivitas bidang Pembinaan (Tarbiyah)
Dari pemaparan di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa inti dari semua aktivitas Ikhwan ada pada
pembinaan (tarbiyah) individu. Hal
ini juga salah satu dari ciri khas jama’ah Ikhwanul Muslimin. Ikhwan sendiri
memiliki pemikiran bahwa suatu hal yang sulit dilakukan ketika mengharapkan
perubahan yang besar tanpa dimulai dari yang kecil.
Al-Banna
memandang bahwa proses penyadaran secara umum tidaklah cukup untuk memperbaiki
umat dan mengubah nasibnya dan tidak ada jalan lain meliankan melalui proses
mobilisasi, pembinaan dan pembangunan untuk mencapai tujuan yang
dicita-citakan, yaitu dengan jalan mengikuti manhaj (metode) Rasulullah SAW
yang berusaha secara keras membina generasi Rabbani
dan eksponen Qur’ani pertama melalui interaksi terus-menerus, pergaulan
intensif dan pemantauan positif. Maka Darul Arqam di Makkah pada saat itu
menjadi lembaga pendidikan utama yang paling terkenal dan menghasilkan generasi
Islam pertama yang paling baik dengan julukan,”Ruhban al-Laili wa Fursan
an-Nahar.” (rahib di malam hari dan prajurut kavaleri di siang hari).[51]
Deskripsi paling agung adalah sebagaimana yang disinyalir dalam Al Quran yang
berbunyi:
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ
اللهِ قلى وَالَّذِيْنَ مَعَه أَشِدَّآءُ عَلَى اْلكُفَّارِ رُحَمَاءُ
بَيْنَهُمْ تَرهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُوْنَ فَضْلاً مِنَ اللهِ
وَرِضْوَانًاصلى سِمَاهُمْ فِى وُجُوْدِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُوْدِقلى
ذلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرـةِصلى وَمَثَلُهُمْ فِى اْلإِنْجِيْلِج
كَزَرْعٍ اَحْرَجَ شَطْاَه فَأَزَرَه فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلى سُوْقِه
يُعْجِبُ الزُّرَاعِ لِيَغِيْظَ بِهِمُ اْلكُفَّارَقلى وَعَدَ اللهُ
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيْمًا
Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.
Kamu lihat mereka ruku’ dan bersujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.
Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu besarlah ia dan tegak lurus di atas batangnya. Tanaman yang
mengeluarkan hati para penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang Mukmin). Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh di antara mereka
ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath:29)[52]
Aktivitas pembinaan
(tarbiyah) itu sendiri bagi Ikhwan merupakan suatu proses yang membutuhkan
konsep yang sistematis. Ikhwan mengelompokkan konsep tarbiyah dalam tiga hal,
yaitu: input tarbiyah, proses tarbiyah, dan output tarbiyah. Bagi Ikhwan ketiga hal tersebut merupakan bangun Tarbiyah, dimana ketiga-tiganya saling
berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya serta tidak bisa
dipisah-pisahkan. Input yang baik tanpa proses yang baik maka tidak akan bisa
menghasilkan output seperti yang diharapkan.
Input, bagi Ikhwan adalah sasaran dakwah yang akan diproses dalam
sistem pembinaan Ikhwan. Ikhwan mengadakan penyaringan dan memberikan
klasifikasi terhadap orang-orang yang dipandang Ikhwan siap untuk berproses dan
akan dipersiapkan untuk memikul tugas dakwah. Diantaranya adalah, aktivis
(individu yang dinamis), pemikir (individu yang memberdayakan daya pikir dan
nalarnya), pemberani (individu siap melawan dan berkorban), produktif (individu
yang mampu mewujudkan penyelesaian dan keberhasilan).[53]
Setelah menyaring dan
mengklasifikasikan input tarbiyah,
maka yang selanjutnya adalah memproses input tersebut menuju output yang
diharapkan. Dua hal yang sangat urgen dalam proses tarbiyah adalah murabi
dan sarana tarbiyah. Murabi adalah sebagai seorang pembimbing
yang telah memiliki kualifikasi sebagai murabi
yang tentunya adalah menurut Ikhwan. Kualifikasi yang dimaksaud misalnya
adalah, intelek (berwawasan ilmu syariat, humanisme, dan gerakan), siap pakai
(dengan kesiapan ruhani, intelektualitas, dan juga materi), terampil (dalam living skill dan dalam mempergunakan
segala perangkat yang diperlukan dengan baik), serta diharapkan ia adalah
seorang spesialis dalam hal-hal tertentu yang ingin berkhidmat di dalamnya.[54]
Adapun sarana tarbiyah yang
akan digunakan dalam proses tarbiyah Ikhwan, meliputi:
1.
Usrah (inkubasi bina hubungan ukhuwah).
2.
Katibah (forum tarbiyah ruhiyah).
3.
Rihlah (inkubasi bina hubungan sosial).
4.
Daurah (markas pelatihan)
5.
Mukhayam (forum tarbiyah jasadiyah).
6.
Muktamar (forum tarbiyah operasional dan pemikiran)
Dalam hal ini usrah
menempati posisi sebagai pilar utama atau sebagai batu bata pertama.
Output yang diharapkan dari
sistem tarbiyah Ikhwan adalah lahirnya personal-personal yang menjadi
representator bagi sejumlah nilai yang mereka hidup dengan dan untuknya.
Sepuluh konsep sebagai pembentukan diri dari proses tarbiyah adalah:[55]
1.
Hendaknya ia berbadan kuat
2.
Hendaknya ia berakhlak yang kukuh
3.
Hendaknya ia berwawasan luas
4.
Hendaknya ia mampu mencari penghidupan
5.
Hendaknya ia lurus akidahnya
6.
Hendaknya ia benar ibadahnya
7.
Hendaknya ia memperjuangkan diri
sendiri
8.
Hendaknya ia perhatian kepada
waktunya
9.
Hendaknya ia pandai mengatur
urusannya
10. Hendaknya ia bermanfaat bagi orang lain
Bangun tarbiyah diatas
merupakan representasi dari perhatian Ikhwan terhadap pembentukan kepribadian
integral bagi para anggotanya. Untuk itu Ikhwan memusatkan pembinaannya pda
tiga hal, yaitu pembinaan intelektual, pembangkitan ruhani, dan membangun
keterikatan persaudaraan.
Pembinaan intelektual
merupakan wujud perhatian Ikhwan pada pendidikan nalar dan pencerahan akal.
Sebab Ikhwan menyadari Allah menciptakan akal agar manusia berfikir secara
ilmiah dan meninggalkan akal mitos, nafsu dan perasaan pada posisi yang hanya
membutuhkan realitas obyektif.[56]
Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
وَمَا لَهُمْ بِهِ
مِنْ عِلْمٍقلى إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ
لاَيُغْنِىْ مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
ِArtinya: “Dan mereka tidak mempunyai sesuatu
pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
sedang sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran.” (An-Najm: 28)[57]
Penalaran akal ilmiah adalah yang
menolak taklid buta baik pada nenek moyang maupun orang tua. Diantara
pembentukan individu muslim, sebagaimana yang dikemukakan Al-Banna dalam Risalah
Ta’lim adalah menjadi manusia yang terdidik akalnya, lurus akidahnya, benar
ibadahnya, kokoh kepribadiannya, kuat fisiknya dan mulia akhlaknya. Sedangkan
dalam Risalah Dakwatuna fi Thaur al-Jadid, Al-Banna berbicara tentang
individu muslim yang dicita-citakan, lalu mnyebutkan bahwa Islam menghendaki ia
memiliki pemahaman yang benar sehingga dapat membedakan yang benar dari yang
salah. Memiliki cita rasa yang dapat merasakan perbedaan antara yang baik
dengan yang buruk dan tekad yang kuat di hadapan kebenaran.[58]
Al-Banna
juga berbicara tentang metafisik dan akal materiil sensual, ia mengatakan bahwa
persepsi yang meyakini hal-hal ghaib (metafisik) mempunyai wilayah (domain)
yang tersendiri dan persepsi inderawi (sensual), juga memilih domain tersendiri.
Keduanya diwakili oleh seorang Muslim secara seimbang.
Pembangkitan ruhani dalam
pembinaan Ikhwan menitikberatkan pada pembaruan Iman kepada Allah Ta’ala,
keyakinan pada hari akhir, memperkokoh nilai Rabbaniyah dalam hati yang
tawakkal dan kepasrahan bulat kepada-Nya, ikhlas kepada-Nya, cinta kepada-Nya
dan kepada para kekasih-Nya, menguatkan harpan pada rahmat dan pertolongan-Nya,
takut pada siksa-Nya dst. Ikhwan berusaha untuk melatih hal itu secara teus
menerus melalui program-program pembinaannya. [59]
Kesemua hal
diatas tidak mungkin terwujud kecuali dalam suasana yang kondusif di mana
terdapat pembimbing yang mengarah kepada Allah serta adanya lingkungan yang
sehat dan mendukung untuk menciptakan kebaikan, seperti adanya Muslim yang shalih,
teman sejalan, pembawa wewangi hidayah yang menuntun dengan tutur katanya
kepada Allah, yang keadaannya mengajak mengingat hari akhir, perilaku yang
menarik untuk berbuat baik. Inilah apa yang dicita-citakan Al-Banna, baik
perkataan maupun perbuatan, teori maupun praktek. Ia memproklamirkan bahwa
Ikhwan disamping dakwah salafi, paham sunni, organisasi politik, ia juga
realitas sufi.
Sementara itu membangun
keterikatan persaudaraan juga termasuk dalam proses pembentukan kepribadian
pada jama’ah Ikhwan. Persaudaraan yang dibangun Ikhwan adalah persaudaraan
semata-mata karena Allah. Ikhwan memusatkan pada makna persaudaraan dan
mengikatnya dengan aspek rabbaniyah di mana persaudaraan itu dilandasi cinta
karena Allah dan untuk Allah. Sebab ikatan yang pa;ing kokoh adalah ikatan
akidah dan iman. Dalam hal inilah konsep usrah
banyak berperan dalam membangun rasa persaudaraan.[60]
Pengaruh konsep tesebut ternyata sangat kuat dalam
mempengaruhi pembinaan kepribadian anggota Ikhwanul Muslimin. Tepat sekali
ketika Al-Banna menempatkan usrah sebagai batu bata pertama dalam
pembentukan kepribadian anggotanya. Sebenarnya ide awal Al-Banna tersebut
banyak dipengaruhi kondisi umat Islam yang banyak mengalami penyerangan dari
orang Barat di berbagai sisi kehidupannya yang membangkitkan keprihatinan
Al-Banna.
Dalam hal ini
Hasan al-Banna memberikan perhatian serius sejak berdirinya Ikhwan, bahkan nama
yang dipilih untuk kelompok ini mengandung pengertian ini dengan jelas. Yaitu
kandungan dua makna besar; Islam dan persaudaraan (al-Ikhwan al-Muslimun)
yang berarti saudara sesama pemeluk agama Islam. Ia memusatkan pada makna
persaudaraan dan mengikatnya dalam aspek rabbaniyah, dimana persaudaran
ini dilandasi cinta karena Allah dan untuk Allah. Sebab ikatan yang paling
kokoh adalah ikatan akidah dan Iman, cinta karena Allah dan benci karena Allah.
Persaudaraan
dalam Risalah at-Ta’lim dijadikan sebagai salah satu rukun baiat. Dalam
penjelasannya, Hasan al-Banna menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
persaudaraan adalah ikatan hati dan jiwa dengan akidah. Sebab akidah merupakan
ikatan terkuat dan paling mahal. Persaudaraan adalah saudara Iman sedangkan
perpecahan adalah saudara kekufuran. Kekuatan pertama adalah kekuatan persatuan
dan tidak ada arti persaudaraan tanpa cinta. Cinta yang paling kecil adalah
keselamatan dada (yakni dari dengki, benci dan iri) sedangkan cinta paling
tinggi mendahulukan saudara seagama.
Rasulullah pun
mencontohkan betapa setiap Muslim itu adalah saudara. Ibarat sebuah keluarga
yang hidup untuk saling menyayangi dan mencintai. Kehidupan Rasulullah adalah
teladan bagi setiap muslim. Ketika pertama kali Rasulullah hijrah ke Madinah,
hal pertama yang beliau lakukan adalah mempersaudarakan dan mengikatkan kaum
Muhajirin dan Anshar dalam ikatan kekeluargaan. Pada kesempatan yang lain,
Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِى حَمْزَةَ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتّى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. (رواه
البخارى ومسلم)
Artinya: “Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik, pembantu Rasulullah, Dari Nabi
yang bersabda: “Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga ia
mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya.” (HR. Bukhari
dan Islam)[61]
Hasan
al-Banna, mengaitkan juga antara ilmu dan amal, idealisme dengan gerakan, teori
dan praktek. Untuk itu ia meletakkan aturan usrah, yaitu satu aturan
unik. Yang diambil dari pengalaman sufistiknya, dari bacaan ilmiah dan dari
pengalaman empirik. Tujuan sistem usrah ini adalah mengangkat tingkat
persaudaraan di kalangan Al-Ikhwan dari kata-kata dan teori ke perbuatan dan
amal konkret.
D. Usrah di Indonesia
Usrah merupakan tonggak dari pembinaan
yang dilakukan Jamaah Ikhwanul Muslimin. Di Indonesia sendiri istilah usrah diidentikkan dengan gerakan
pengajian di kampus-kampus umum seperti ITB, UI, dan kampus-kampus lainnya yang
terdiri dari kelompok kecil sekitar 10-15 orang.[62]
Sejak kapan usrah masuk di Idonesia
dan siapa yang membawanya?
Gerakan
usrah di Indonesia banyak lahir dari aktivis
PII (Pelajar Islam Indonesia )
dan sebagian HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). PII merupakan kumpulan anak-anak
muda Islam yang memilki jalur geneologis dengan Masyumi (wadah politik kelompok
pemurnian pasca keluarnya NU, Perti dan SI dari Masyumi) dan juga HMI. Hanya
saja kalau anggota HMI masih ada yang dari NU, sedangkan PII adalah lebih
banyak mengkhususkan diri sebagai anak didik Masyumi secara ideologis, bisa
dari Muhammadiyah atau Persis. Oleh karena itu, kedekatan emosional kelompok usrah ini adalah dengan kelompok
pemurnian,, khususnya yang dari Persis, dan khususnya lagi dari DDII (Dewan
Dakwah Islam Indonesia )
yang menjadi pewaris Masyumi.[63]
1
Gerakan Usrah Dekade 80-an
HMI dan PII adalah dua organisasi kaum muda
yang mempunyai catatan sejarah tersendiri bagi pergerakan Islam di Indonesia.
Pada era 80-an, pemerintah Orde Baru memaksakan idiologi berupa Pancasila
sebagai azas tunggal, melalui UU No. 5 tahun 1985. Keputusan tersebut mendapat
reaksi yang bermacam-macam dari kaum Muslim, sebagian menerima tanpa banyak
persoalan, sebagiam menerima tetapi menunggu UU formal yang dibuat oleh
pemerintah, sebagian lagi bersikap apatis, dan sebagian lagi menolak sama
sekali kebijakan tersebut. Sikap terakhir inilah yang diwakili oleh PII dan HMI
MPO. Karena penolakan tersebut, akhoirnysa PII dibubarkan dan dianggap
terlarang. Namun PII masih terus melakukan gerakan bawah tanah membuat training
dan pembinaan bagi pemuda-pemuda Islam.[64]
Seiring dengan hal tersebut, muncullah
sebuah trend gerakan keagamaan yang muncul di kampus-kampus umum, yaitu yang
disebit sebagai gerakan usrah. Beberapa hal yang menjadi penyebab munculnya gerakan dakwah kampus yang biasa
disebut usrah itu adalah yang pertama,
adanya kebijakan Orde Baru yang menerapka NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus)
dan BKK ( Badan Koordinasi Kampus). Dengan program ini pemerintah berusaha
membatasi ruang gerak aktivis Mahasiswa dengan mengontrol sepenuhnya aktivitas
Mahasiswa tersebut melalui birokrasi kampus. Kondisi itulah yang mendorong
Mahasiswa untuk melakukan aktivitas agar tidak terkekang daya intelektualitas
dan daya kreatifitasnya melalui kegiatan diskusi dan bentuk-bentuk kajian yang
berpusat di mushalla-mushalla atau Masjid-Masjid. Dari sini nampaklah bahwa
pijakan pertama lembaga dakwah kampus merupakan munculnya kelompok anak muda
yang memiliki semangat tinggi dalam mempelajari dan mengamalkan Islam sebagai
respon dari tekanan politik yang dilakukan pemerintah Orde Baru.[65]
Kedua,
adanya persentuhan dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin yang bermula dari Masjid
salman ITB. Usrah yang pertama kali dikenal di ITB adalah dibawa oleh seorang
aktivis HMI yang bernama Imaduddin yang mengalami persentuhan dengan kelompok
ABIM di Malaysia. Kelompok ABIM menggunakan usrah sebagai sistem kaderisasinya.
Mereka juga banyak menterjemahkan buku-buku karangan tokoh-tokoh Ikhwanul
Muslimin, seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dan lain sebagainya.
Imaduddinlah yang membawa buku-buku terjemahan itu ke Indonesia dan
melalui Masjid Salman, ia mengembangkan sistem usrah tersebut sebagai sistem
kaderisasinya.
Dari uraian itulah nampak bahwa usrah masuk ke Indonesia salah
satunya karena seorang aktivis muda yang mengalami persentuhan dengan ide-ide
dari Ikhwanul Muslimin.
Ketiga
dari sebab munculnya usrah di Indonesia
adalah kembalinya sarjana-sarjana dari Timur Tengah. Kembalinya sarjana-sarjana
dari Timur Tengah ini bersamaan dengan dibwanya sistem dan manhaj yang dipakai
Ikhwanul Muslimn, lebih di sebabkan karena persentuhan langsung mereka dengan
pemikiran Ikhwan di Mesir. Mereka banyak menteerjemahkan buku yang dikarang
oleh tokoh-tokoh Ikhwan, bahkan mereka sampai mendirikan percetakan yang khusus
menerbitkan buku-buku Ikhwan.
Selain identik dengan Gerakan Dakwah Kampus,
usrah di Indonesia juga diidentikkan dengan
gerakan radikal dan fundamentalisme. Hal ini terjadi pada era 80-an. Karenanya
kebanyakan masyarakat memandang usrah
ini dalam stereotype yang cenderung
negatif. Apalagi ketika terjadi kasus yang melibatkan kelompok usrah ini muncul sebagai kasus-kasus
terorisme, seperti kasus pembajakan pesawat Garuda di Woyla , Thailand ,
yang dilakukan kelompok usrahnya
Imron.[66]
Kasus usrah
juga terjadi di Jawa Tengah ketika terjadi penangkapan terhadap aktivis usrah dan dijatuhi hukuman 6 tahun
penjara karena aktif mengikuti kegiatan usrah.
Sedangkan kasus yang lain adalah karena terperangkapnya kelompok usrah pada idiologi Darul Islam yang
menginginkan adanya Negara Islam..
Sebagaimanaa
pemaparan di atas diketahui bahwa usrah mulai di kenal di Indonesia adalah pada
tahun 80-an. Apa saja bentuk-bentuk usrah
pada perkembangan selanjutnya?
Bentuk lembaga-lembaga yang didirikan aktivis
gerakan usrah diantaranya adalah
lembaga pendidikan dan pengkajian. Lembaga pendidikan itu diantaranya adaalah
lembaga Bimbingan Belajar Nurul Fikri yang memberikan bimbingan bagi pelajar
yang akan mengikuti UMPTN. Dalam bimbingan balajar itu mereka juga memperbanyak
materi-materi keagamaan dan sangat menekankan pada nilai-nilai keagamaan,
seperti memisahkan antara peserta laki-laki dan perempuan. Selain mendirikan bimbingan
belajar mereka juga mendirikan Lembaga Pendidikan Islam (Ma’had) Al Hikmah yang memgarahkan sasaran pada Mahasiswa dari
perguruan tinggi umum. Sejalur dengan pendidikan mereka mendirikan lembaga
pengkajian SIDIK (Studi dan Informasi Dunia Islam Kontemporer) yang mefokuskan
kegiatan pada seminar, diskusi, pelatihan, penerbitan, dan lain-lain.[67]
Pada bidang penerbitan, para aktivis ini banyak
mendirikan penerbitan buku, diantaranyaGema Insani Press, Penerbit Al Ishlahy
Press, Pustaka Al-Kautsar, Penerbit Sabili dan lain-lain. Kebanyakan dari
penerbit itu menerbitkan buku-buku Ihkwanul Muslimin yang ada di Mesir.
Selain tampil di tengah-tengah publik dengan
mendirikan berbagai lembaga, mereka juga banyak menguasai lembaga-lembaga
formal kemahasiswaan. Para aktivis yang lahir
di sana
kebanyakan adalah mereka yang saleh, pinter, prestasinya bagus, Indeks
Prestasinya tinggi, serta aktif dalam kegiatan sosial dan organisasi. Oleh
karena itu merekapun banyak mendapatkan simpati dari berbagi kalangan baik dari
luar maupun dari dalam kampus.
Pertumbuhan aktivis kampus semakin lama semakin
besar dan persoalan yang dihadapinyapun semakin kompleks. Dengan melihat
fenomena krisis nasional yang melanda Indonesia dan didorong oleh
tanggung jawab moral terhadap penderitaan rakyat, akhirnya mereka mendirikan
KAMMI. Melalui KAMMI mereka menuntut reformasi di segala bidang seperti kolusi,
korupsi dan nepotisme. KAMMI banyak melakukan aksi-aksi menuntut perubahan yang
mendasar di Indonesia .
Dalam setiap aksinya KAMMI tercatat mampu mengkonsolidasi massa dengan jumlah yang banyak. Hal ini bisa
dimaklumi karena KAMMI lahir dari Lembaga Dakwah Kampus yang telah memilki
jaringan yang kuat, sehingga merekapun tidak kesulitan dalam memobilisasi massa .[68]
Sebuah transformasi dari aktivis gerakan usrah ini semakin lama semakin
membutuhkan wadah yang mampu menampung aspirasi dakwah. Dengan adanya gelombang
reformasi dan dengan adanya sistem multipartai, para aktivis yang selalu
bergelut dengan dunia kampus ini mencoba melakukan politik praktis dengan
mendirikan Partai Keadilan.[69]
Dari berbagai bentuk transformasi yang
dilakukan gerakan usrah ini nampaklah
bahwa misi utama mereka tetap pada perubahan tingkah laku atau pembinaan diri
tiap individu. Tidak mengherankan jika dalam setiap bentuk dari
transformasinya, mereka tidak lupa mananamkan nilai-nilai Islam dan berusaha
untuk mengaplikasikan dalam kehidupan.
Ikatan atau jaringan yang kuat sebagai wujud dari pembinaan dengan metode usrah,
mengakibatkan mereka memiliki ikatan yang kuat, sehingga dalam bentuk
apapun mereka bertransformasi, tidak kesulitan dalam mencari massa . Hal ini terbukti dengan mudahnya KAMMI
memobilisasi massa
sampai mencapai 20.000 massa .
Begitu juga ketika mereka berjuang melalui partai, merekapun memiliki massa yang tidak sedikit.
Bisa dipahami bahwa sitem kaderiasasi yang mereka miliki sistem usrah
yang sangat mengutamakan persaudaraan yang kuat antara anggota jamaah. Hal ini
juga yang mungkin menyebabkan dalam beberapa dasawarsa ini mereka tampil dengan
ciri-ciri yang ekslusif yang berbeda dengan model-model gerakan yang lain.
2.
Usrah diantara Pergerakan Islam Indonesia Pasca Orde Baru
Pergerakan Usrah
dan transformasinya selalu berkembang seiring dengan perubahan-perubahan yang
terjadi di Indonesia .
Pada masa Orde Baru, kalangan Islam cukup mendapat tekanan-tekanan dari
pemerintah. Hal ini yang menyebabkan sifat gerakan Islam cenderung radikal.
Pada awal abad ke-20, dalam peningkatan semangat
nasionalisme dan deprivasi ekonomi yang kian parah di kalangan pribumi,
radikalisme muslim diambil alih oleh kelompok-kelompok Sarekat Islam (SI)
lokal. Seperti diperlihatkan sejarawan Sartono Kartodirdjo dan Kuntowijoyo
dalam beberapa kajiannya, radikalisme SI lokal menunjukkan amalgamasi
“ideologi” revivalisme Islam, Mahdisisme atau Ratu Adil, dan antikolonialisme.[70]
Eskatologisme gerakan radikal Muslim kelihataan makin
surut pada masa-masa selanjutnya, untuk digantikan ideologi politik Islam. Hal
inilah yang bisa dilihat dalam gerakan Darul Islam di beberapa daerah, seperti
di Jawa Barat (Kartosuwiryo) dan Aceh (Daud Beureuh) pada masa
pascakemerdekaan. Pada masa Soeharto 1980-an juga dikenal dengan adanya
kelompok-kelompok Muslim garis keras, seperti kelompok Imron, Salman Hafidz,
dan Warsidi, yang biasa disebut secara keseluruhan oleh aparatur keamanan
sebagai “Komando Jihad”. [71]
Fenomena gerakan Islam radikal di Idonesia mulai marak
sejak jatuhnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya penguasanya pada Mei
1998. Sejak saat itu mulai bermunculan gerakan-gerakan yang mengatasnamakan
menegakkan Sunnah Rasulullah seiring dengan berubahnya peta Politik di
Indonesia yang memberlakukan sistem multi partai. Seiring dengan hal itu juga
menumbuhkan ormas-ormas Islam yang berhaluan radikal, militan, dan bahkan
fundamentaalis. Kelompok-kelompok tersebut semakin menunjukkan momentumnya
untuk melakukan gerakan memperjuangkan Islam secara radikal. Diantara
ormas-ormas Islam itu adalah Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah (FKASW).
Ikhwanul Muslimin, HAMAS, Hizbut Tahrir dan Majelis Mujahidin dan ormas lain
yang terus menunjukkan eksistensinya adalah Front Pembela Islam (FPI), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia
Islam (KISDI), dan Persatuaan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI).[72]
Gerakan radikal Islam saat ini diwarnai dengan
aktivitas yang terkadang sangat literal dan radikal, bahkan dengan semangat
jihadnya melakukan aktivitas yang tanpa kompromi. FPI misalnya sering
menggunakaan metode kekerasan daalam merealisasikan gerakan antimaksiat di Jakarta . Laskar Jihad
menurunkan pasukannya untuk membantu umat Islam di Ambon secara fisik.[73]
Gerakan radikal Islam yang ada saat ini ada kemiripan
dengan gerakan radikal yang terjadi pada masa dekade-80. Namun di sisi lain
gerakan usrah pada dekade 80-an juga identik dengan gerakan dakwah
kampus yang dimotori oleh mahasiswa kampus umum. Pada akhirnya gerakan usrah sebagai
gerakan dakwah kampus tersebut bertransformasi menjadi Partai Keadilan. Namun
ketika pemilu 1999, ternyata tidak mendapat suara yang cukup signifikan,
sehingga harus berganti nama menjadi PK Sejahtera.[74]
Itulah gambaran usrah di Indonesia , yang
mana usrah di Indonesia
diidentikkan sebagai gerakan radikal dan fundamentalis dan juga diidentikkan sebagai
Gerakan Dakwah Kampus yang saat ini telah berkembang menjadi sebuah partai.
Refferensi
[1]
Al-Imam Hasan Al-Banna, Majmu’atur
ar-Rasail, (Iskandaria: Daru ad-Dakwah, t.t),p.5
[2]
Muhammad Sayyid al Wakil, Pergerakan
Islam Terbesar abad ke 14: Studi Analisis Terhadap Manhaj Gerakan Ikhwanul
Muslimin, penterj. Fachruddin (Bandung :
Asy Syamil Press & Grafika, 2001), p. 19.
[3]
Ishak Musa Al Husaini, Ikhwanul
Muslimin, (Jakarta: Grafiti Press, 1983), p. 35.
[4]
Farid Nu’man, Al-Ikhwan Al Muslimun:
Anugerah Allah Yang Terdzalimi, (Depok: Pustaka Nauka, 2003), p. 75
[5]
Ishak Mussa Al-Husaini, op.cit.,
p. 36.
[6] Ibid, p. 36.
[7]
Hasan al-Banna, Memoar Hasan al-Banna: Untuk Dakwah dan Para
Da’inya, penterj. Hamim Murtadho & Salafuddin (Solo: Era Intermedia, 2000), p. 27.
[8] Ibid, p. 29.
[9]
Fathi Yakan, Revolusi Hasan al-Banna:
Gerakan Ikhwanul Muslimin dari Sayyid Quthub sampai Rasyid Al-Ghannusyi,
penterj. Fauzan Jamal & Alimin (Jakarta Selatan: Harakah,
2002), p. 3.
[10]
Ali Abdul Halim Mahmud, Ikhwanul
Muslimin, Konsep Gerakan Terpadu I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),
p. 34.
[11]
Muhammad Sayyid al-Wakil, op. cit.,
p. 26.
[12]
Hasan al-Banna, op.cit,
p. 337.
[13] Ibid, p. 34.
[14] Ibid, p. 35.
[15] Ibid, p. 45.
[16]
Ishak Musa Al-Husaini, Op. Cit.
p. 36
[17]
Hasan al-Banna, op. cit, p.
104.
[18]
Seno Joko Suyono & Zuhaid el-Qudsy, op
cit. 70.
[19]
Hasan al-Banna, op. cit.,
p. 125.
[20]
Hasan al-Banna, op. cit, p.
104.
[21]
Utsman Abdul Muiz Ruslan, Tarbiyah
Siyasiyah Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin: Studi Analisis Evaluatif
terhadap Proses Pendidikan Politik “IKHWAN” untuk Para
Anggotanya Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928
hingga 1954, penterj. Salafuddin Abu Sayyid et al. (Solo: Era Intermedia, 2000), p. 182
[23] Ibid,
p. 153
[24] Ibid,
p. 153
[25] Ibid, p. 155
[26]
Hassan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, penterj. Kamran As’ad
Irsyady, dan Muflika Wijayanti (Yogyakarta :
Islamika, 2003), p. 121
[27] Utsman
Abdul Mu’iz Ruslan, op. cit.,p. 158
[30] Ibid,
p. 23
[31] Ibid, p. 82
[32]
Ruslan Abdul Mu’iz, op. cit., 161
[33] Ibid,
p. 161
[34] Ibid, p. 164
[35] Yusuf Al-Qaradhawi.
70 Tahun Al-Ikhwanul
Al-Muslimun: Kilas Balik Dakwah Tarbiyah & Jihad, penterj. Mustofa
Maufur & Abdurahman Husain.
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), p. 22
[36] Ibid,
p. 23
[37] Ibid,
p. 82
[38]
Ruslan Abdul Mu’iz, op. cit., p. 82
[39]
Yusuf Al-Qaradhawi, op.cit., p. 85
[40]
Ruslan Abdul Mu’iz, op. cit., p. 246
[41] Ibid, p. 260
[42]
Utsman Abdul Muiz Ruslan, op. cit, p. 188.
[43]
Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I, penterj. Anis Matta et
al. (Solo: Era Intermedia,2001), p. 274.
[44] Ibid,
p. 278
[45]
Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta
Pemikiran Hasan al_Banna, penterj. Wahid Ahmadi dan Jasiman (Solo: Era
Intermedia, 2001), p. 188
[46] Ibid, p. 189
[47] Ibid.
[48]
Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan
Ikhhwanul Muslimin, Risalah Muktamar kelima, penterj. Anis Matta
et al. (Solo: Intermedia, 1997), p. 261.
[49] Ibid, p. 273
[50] Ibid, p. 206
[51] Ibid,
[52]
Dep. Ag. RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT Tanjung Mas, 1995), p.
843
[53]
Abdul Hamid Al- Ghazali, op. cit., p. 173
[54] Ibid,
p. 174
[55] Ibid,
p. 176
[56]
Yusuf Al-Qardhawi, 70 Tahun Al-Ikhwan Al-Muslimun, op. cit., p.164
[57]
Dep. Ag. RI. Op.cit., p
[58]
Yusuf Qardhawi, op. cit. p. 164
[59] Ibid, p. 169
[60] Ibid, p. 176
[61] Al-Imam Yahya bin Syarafudin An-Nawawi, Syarah
Hadits Arba’in (41 Hadits tentang Kaidah-kaidah Agung Agama Islam serta
Penjelasannya. Penterj. Hawim Murtadho & Salafuddin (Solo:
Al-Qowam, 2001), p. 117
[62]
Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di
Indonesia (Jakarta :
Teraju, 2002), p.43
[63]
Nur khalik Ridwan, Santri Baru: Pemetaan, Wacana Ideoligi dan Kritik
(Jogjakarta :
Gerigi, 2004), p. &^
[64]
Ali Said Damanik, op. cit., p. 54
[65] Ibid,
p. 63
[66] Ibid, p. 88
[67]
Ali Said Damanik, op. cit., pp.
155-170
[68] Ibid, p. 191
[69] Ibid, p. 192
[70]
Khamami Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia
( Bandung :
Teraju, 2002), p. 90
[71] Ibid.
[72]
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia
(Bandung :
Teraju, 2002), p. 77
[73] Ibid, p. 77
[74]
Aay Muhammad Furkon, Partai Keadilan Sejahteraa: Ideologi dan
Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer (Bandung :
Teraju,2004), p.162
0 Response to "Makalah Gerakan Ikhwanul Muslimin di Indonesia"
Post a Comment