Kedudukan Bunga Bank menurut Fatwa MUI
Kedudukan Bunga Bank Menurut Para Ulama | Kedudukan Bunga Bank dalam Islam |
BUNGA BANK DALAM
PERSPEKTIF FATWA MUI
A. Fatwa
1. Pengertian Fatwa
Fatwa (فتوى) menurut bahasa artinya adalah pendapat
resmi/formal[1]
selain itu fatwa juga berarti penjelasan dari para ulama (fuqa>ha>')
tentang hal yang berhubungan dengan ajaran / pelaksanaan hukum Islam.[2]
Menurut syara'
berdasarkan penjelasan dari Yu>suf al-Qara>d}a>wi,
fatwa merupakan penjelasan hukum syara' dari suatu persoalan sebagai jawaban
atas suatu pertanyaan baik si penanya itu jelas identitasnya ataupun tidak,
baik perseorangan maupun kolektif.[3]
Ahmad Rofiq
menjelaskan bahwa fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti berkaitan dengan
peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Fatwa memiliki sifat yang lebih khusus
daripada fiqh maupun ijtihad, sebab bisa jadi fatwa yang dikeluarkan oleh seorang
mufti sebenarnya sudah dirumuskan dalam fiqh, hanya saja hal tersebut belum
dipahami oleh si peminta fatwa.[4]
Pihak yang meminta
fatwa disebut al-Mustafi,
yang bisa berasal dari individu maupun
dari suatu kelompok. Sedangkan pihak pemberi fatwa disebut mufti. Mufti berbeda
dengan hakim, letak perbedaannya adalah
pada putusannya. Putusan hakim bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak
yang terhukum sedangkan putusan mufti bisa dilaksanakan bisa tidak.[5]
2. Kedudukan fatwa
Menurut Qara>d}a>wi>
kedudukan fatwa amat strategis dan penting, hal ini karena seorang mufti
pastilah seorang ulama, dimana ulama merupakan penerus tugas Rasulullah S.A.W.
sebagai khalifah dan ahli waris beliau.[6]
Pentingnya
kedudukan mufti adalah untuk menyampaikan hukum syar'i, memberi peringatan
kepada manusia agar sadar dan berhati-hati, serta yang utama adalah untuk
memutuskan hukum-hukum yang digali dari dalil-dalil hukum melalui analisis dan
ijtihadnya. Sehingga dari sisi inilah putusan mufti walaupun tidak mengikat,
dianjurkan untuk diikuti dan dilaksanakan. Namun demikian, tingginya kedudukan
fatwa tersebut tidak kemudian akan membuat fatwa tersebut menjadi mutlak
sifatnya, karena fatwa adalah produk hukum buatan manusia. Sehingga seorang
mufti dalam berijtihad untuk menetapkan suatu fatwa, harus berkomitmen dengan
prinsip mendengar pendapat dan teguran-teguran umum, memperhitungkan
kemaslahatan umum serta tuntutannya. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan
dialog dengan ahli ilmu lain dan para pemuka fiqh lainnya[7]
3. Persyaratan mufti
Melihat pentingnya
kedudukan mufti dalam memberikan fatwa, maka tidak bisa sembarangan orang yang
bisa memberikan fatwa. Menurut Qara>d}a>wi para
ulama salafuss}olih
amat berhati-hati dalam berfatwa, sebagai contoh: para Khulafa>urra>syidi>n jika
menghadapi masalah-masalah yang pelik akan mengajak ulama-ulama dan sahabat
untuk bermusyawarah dan meminta pendapat.[8]
Seorang yang akan
berfatwa harus berdasarkan ilmu yang kuat, harus memiliki pengetahuan yang luas
tentang Islam, menguasai dalil-dalil hukum Islam, mengerti bahasa Arab dan
ilmunya, paham tentang kehidupan manusia, memahami fiqh dan mempunyai kemampuan
melakukan istinba>t} (menggali
dan memutuskan hukum dari dalil-dalil dan kaidahnya). Para ulama menetapkan
bahwa barang siapa memberi fatwa, padahal sebenarnya tidak berkelayakan untuk
berfatwa maka orang tersebut berdosa dan
berbuat maksiat, demikian pula barang siapa dari kalangan penguasa yang
mengakuinya maka penguasa tersebut juga telah berbuat maksiat.[9]
Selain keluasan
ilmu yang dimiliki, ada kriteria lain yang ditetapkan oleh imam Ah}mad bin H}anbal,
sebagaimana dikutip oleh Qara>d}awi, kriteria tersebut
adalah:[10]
a. Dilakukan dengan niat yang benar,
sebab jika tidak berniat seperti itu mufti tersebut tidak akan mendapatkan nu>r (cahaya)
demikian pula perkataannya
b. Penyantun, berwibawa dan tenang.
c. Teguh pendirian dan kuat pengetahuan
d. Cukup ekonominya, karena jika tidak
begitu akan diremehkan
e. Mengenal orang-orang dan seluk beluk
masyarakat dengan memperhatikan realitas-realitas di masyarakat, sehingga
fatwanya memiliki keterkaitan dengan kehidupan manusia.
f. Mulia akhlaknya dan bertawakkal.
Dalam penentuan
suatu fatwa sangat dianjurkan jika para mufti bermusyawarah dan berdiskusi
dengan para alim ulama lain, terutama untuk masalah-masalah yang berkaitan
dengan hajat hidup dan kemaslahatan banyak orang. Kemajuan zaman dan semakin
kompleksnya permasalahan yang dihadapi menuntut setiap orang berspesialisasi atas
pengetahuan tertentu, tidaklah mungkin seorang mufti mampu menguasai berbagai
ilmu kehidupan tersebut. Hal inilah yang membuat para ulama harus membuka mata
dan pikiran untuk berdiskusi dengan pihak lain yang mempunyai kaitan dengan
fatwa yang akan dikeluarkan. Menurut Taufi>q Asy-Sya>wi> ijtihad
dalam penetapan fatwa adalah suatu hal yang bisa didiskusikan dan tidak bisa
dimonopoli (oleh mujtahid-mujtahid/ mufti tertentu dengan pembentukan semacam
gereja/organisasi/sekte/kelas), bahkan pluralitas mazhab dan pendapat akan
senantiasa terbuka.[11]
B.
Bunga
dan Riba
1. Definisi Bunga
dan Riba
Riba(الربا) menurut hasil ijtima’ fatwa MUI adalah tambahan(زيادة)
tanpa imbalan (بلاعوض) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran dalam
pembayaran (زيارة الاجل) atau pertukaran dua barang yang sejenis (اتحاد الجنس) yang diperjanjikan sebelumnya(اشترط مقدّما).
Sedangkan definisi bunga menurut fatwa MUI adalah uang yang dihitungkan dari
pokok tanpa mempertimbangkan hasil dari pokok tersebut dan diperhitungkan
secara fixed di muka, MUI menganggap bahwa bunga adalah identik dengan
riba[12].
Afzalurrahman[13]
mengemukakan bahwa bunga mengandung tiga unsur
yaitu:
a. Kelebihan yang melebihi dari modal
yang dipinjamkan
b. Ketentuan besarnya kelebihan
tersebut tergantung pada periode waktu
c. Persetujuan terhadap syarat-syarat
pembayaran kelebihan telah ditentukan terlebih dahulu di awal perjanjian.
Menurut
Ibnu al-‘Arabi>
Al-Ma>liki> dalam Kita>b Ah}ka>m Al-Qur'a>n sebagaimana
yang dikutip oleh Syafii Antonio, yaitu :
عواض di sini maksudnya adalah transaksi bisnis atau
komersial yang membolehkan adanya penambahan tersebut secara adil, seperti
transaksi gadai, jual beli, sewa atau bagi hasil proyek.
Unsur ketidakadilan
muncul karena si peminjam diasumsikan akan selalu, harus dan pasti
untung, dalam penggunaan kesempatan (peminjaman uang) tersebut. Padahal dalam menjalankan suatu
usaha, unsur “ketidakpastian” terkadang
muncul, sehingga bisa saja untung atau rugi.
Menurut
M. Quraish Shihab dalam kitab Tafsi>r Al-Mis}ba>h}
disebutkan perbedaan antara riba dengan jual beli antara lain:
“Pada transaksi jual beli akan menguntungkan
kedua belah pihak, sedang riba akan merugikan salah satu pihak. Jual beli
menuntut aktivitas manusia, pada riba bisa berjalan tanpa aktivitas mereka,
transaksi jual beli ada kemungkinan untung atau rugi tergantung pada kepandaian
pengelola, kondisi dan situasi pasar pun ikut menentukan sedang jika riba
menjamin keuntungan dan tidak perlu kepandaian, serta kondisi pasar pun tak
terlalu menentukan.” [15]
2.
Jenis Riba
Menurut
Ibn H}ajar
Al-H}ais|ami> sebagaimana dikutip oleh M.
Syafii Antonio, jenis riba antara lain:
قال ابن حجر الهيثمي بعد ان ذكر آيات
الربا وهو ثلاثة انواع ربا لفضل وربا اليد وربا النساء وزاد المتولى نوعا رابعا
وهو ربا القرض الى ان قال : وقال : وكلّ هذه الأنواع الأربعة حرام بلأجماع بنص
الايات والاحاديث. [16]
Berdasarkan
hal tersebut Sya>fi'i>
membagi riba menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
adalah riba utang piutang yang terdiri dari riba> ja>hiliyyah dan
riba>
qard} sedangkan kelompok kedua yaitu riba
jual beli yang juga terbagi menjadi dua yaitu riba> fad}l dan riba> nasi>'ah.
a.
Riba> qard}
Yaitu manfaat
atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang
b.
Riba> ja>hiliyyah
Pembayaran
hutang lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya
pada waktu yang ditentukan.
c.
Riba> fad}l
Pertukaran
antara barang ribawi yang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda
d.
Riba> nasi>'ah
Penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis
barang ribawi lain. Riba ini muncul karena ada perbedaan, perubahan, atau
tambahan yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Sedangkan
menurut Adiwarman Karim pembayaran riba ada tiga yaitu:
a. Riba
nasi>'ah, contohnya: transaksi pembayaran
bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan/ deposito/ giro.
b. Riba>
fad}l, contohnya: transaksi valas yang
tidak secara tunai
Dari segi penundaan waktu
penyerahan, riba>
ja>hiliyyah tergolong riba> nasi>'ah,
dan dari segi kesamaan obyek yang dipertukarkan, tergolong riba> fad}l.
Berikut ini adalah tabel ikhtisar riba menurut Adiwarman:
Tabel
III
Ikhtisar
Riba
Tipe
|
Faktor
Penyebab
|
Cara
menghilangkan faktor penyebab
|
Riba> fad}l
|
Gharra>r
(Ketidakpastian pada kedua belah pihak)
|
Kedua
belah pihak harus memastikan faktor-faktor berikut :
1. Kuantitas
2. kualitas
3. harga
4. waktu penyerahan
|
Riba> nasi>'ah
|
Al-ghunmu bi la> ghurmi, al
kharaj bi la> z}aman (return tanpa resiko, pendapatan tanpa
biaya)
|
Kedua belah pihak
membuat kontrak yang merinci hak dan kewajiban masing-masing untuk menjamin
tidak adanya pihak manapun yang mendapatkan return tanpa menanggung biaya
|
Riba> ja>hiliyyah
|
Kullu qard}in jarra manfa’ah
fahuwa riba> (memberi pinjaman secara
komersil, karena setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba)
|
1.
Jangan
mengambil manfaat apapun dari akad transaksi kebaikan (tabarru')
2.
kalaupun
ingin mengambil manfaat, gunakanlah akad bisnis) tija>rah bukan
akad kebaikan.
|
3.
Tahapan Pelarangan Riba
a. Pelarangan riba berdasarkan Al-Qur'an
Konsep
riba dalam Al-Qur'an turun secara bertahap sebagaimana ayat-ayat yang melarang
konsumsi khamr. Hal ini terjadi karena budaya riba pun telah mendarah daging
pada masyarakat jahiliyah. Pelarangan
riba tidak bisa secara serta merta karena akan memberatkan masyarakat.
Berturut-
turut ayat yang turun adalah:
1) Tahap Pertama
Tahap ini
menolak asumsi bahwa pinjaman riba yang pada kenyataannya seolah-olah menolong
orang-orang yang membutuhkan, sebagai refleksi dari perbuatan mendekat pada
Allah SWT, namun, namun justru menjerat orang tersebut[18].
وما ءاتيتم من ربا
ليربو في أموال الناس فلا يربو عند الله وما ءاتيتم من زكاة تريدون وجه الله
فأولئك هم المضعفون(39)
[19]
2) Tahap kedua
Pada tahap
ini riba digambarkan sebagai suatu hal yang buruk, ancaman Allah sangat keras
bagi yang memakan riba. Ayat ini
merupakan satu rangkaian antara surat Ali Imra>n 153 sampai
170, Menurut Quraish Shihab[20]
setelah diterangkan secara umum tentang kedurhakaan orang Yahudi, berikutnya
diterangkan rincian sanksi yang akan mereka terima dikarenakan mereka berlaku
zalim salah satunya adalah menghalangi manusia menuju ke jalan Allah dan memakan riba.
فبظلم من الذين هادوا
حرمنا عليهم طيبات أحلت لهم وبصدهم عن سبيل الله كثيرا(160)وأخذهم الربا وقد نهوا
عنه وأكلهم أموال الناس بالباطل وأعتدنا للكافرين منهم عذابا أليما(161) [21]
3) Tahap ketiga
Pengharaman
riba yang terkait dengan tambahan yang berlipat ganda. Menurut Quraish Shihab
ada suatu peristiwa yang oleh sementara ulama dijadikan sebab turunnya ayat
yaitu :
"Bahwa
Amr ibn Uqaisy melakukan transaksi riba, dan dia enggan masuk Islam sebelum dia
memungut riba itu. Tetapi ketika terjadi perang Uh}ud, dia menanyakan
tentang anak-anak pamannya dan beberapa temannya. Setelah disampaikan bahwa
mereka berada di Uh}ud,
segera dia menunggangi kudanya dan pergi menemui mereka , ketika kaum muslimin
melihat nya mereka menyuruhnya pulang, tetapi dia telah menyatakan dirinya
beriman. Dia aktif dalam pertempuran tersebut dan mengalami luka berat. Di
rumahnya dia ditanya sebab keterlibatannya dalam perang, apakah ingin membela
keluarganya atau demi karena Allah. Dan dia menjawab bahwa dia berperang demi
Allah dan Rasul-Nya. Tidak lama kemudian dia gugur karena lukanya. Rasulullah
SAW menyatakan bahwa dia adalah penghuni surga, padahal dia tidak sekalipun
sholat. Melalui ayat ini Quraish Shihab memaknai penyeruan kepada orang-orang
yang beriman agar jangan berbuat seperti Amr ibn Uqaisy yang
menunda keislamannya karena ingin memungut riba, namun bersegeralah beriman dan
bertakwa kepada Allah agar mereka tidak celaka dan memperoleh keuntungan.
[22]
4) Tahap keempat
Tahap
terakhir yang memberikan ketegasan mengenai pengharaman riba
الذين يأكلون الربا
لا يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع
مثل الربا وأحل الله البيع وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف
وأمره إلى الله ومن عاد فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون(275)يمحق الله الربا
ويربي الصدقات والله لا يحب كل كفار أثيم(276). الذين ءامنوا وعملوا الصالحات وأقاموا
الصلاة وءاتوا الزكاة لهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون(277)ياأيها
الذين ءامنوا اتقوا الله وذروا ما بقي من الربا إن كنتم مؤمنين(278)فإن لم تفعلوا
فأذنوا بحرب من الله ورسوله وإن تبتم فلكم رءوس أموالكم لا تظلمون ولا تظلمون(279) [24]
b. Pelarangan riba berdasarkan hadits
Banyak
hadits-hadits yang melarang adanya riba, sesuai dengan fungsinya hadits-hadits
tersebut memaparkan secara lebih terperinci dari ayat-ayat Al-Qur'an tentang
riba. Hadits–hadits tersebut diantaranya
:
عن سعيد الخدري قال
قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم الذهب بالذهب والفضة بالفضّة والبرّ بالبرّ
والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد فمن زاد او ستزاد
فقد أربى الأخذ والمعطى فيه سواء
[25]
حدثنا قتيبة, حدثنا
ابو عوانة عن سماك بن حرب, عن عبد الرحمن
بن عبد الله بن مسعود, عن ابن مسعود ,قال : لعن رسول الله صلّى الله عليه
وسلّم آكل الربا ومو كله وشاهدية وكاتبه. [26]
4. Sebab
Diharamkannya Riba
Sesuatu
hal yang telah diharamkan oleh Allah untuk kita lakukan pastilah ada yang bisa
diambil dari pelarangan tersebut. Berikut adalah sebab-sebab diharamkannya riba
menurut Ah}mad
I<sa> Asyur :
1. Riba adalah mengambil harta orang
lain tanpa memakai ganti
2. Riba menyebabkan malas bekerja
3. Riba menghilangkan jiwa tolong
menolong antar sesama umat.
4. Biasanya orang yang memberi pinjaman
adalah orang yang mampu, sedang orang yang meminjam tidak mampu. Jika riba
dibolehkan terbukalah peluang bagi si kaya untuk melecehkan si miskin, sehingga
orang miskin menjadi tawanan bagi kebutuhannya sendiri.
5. Haramnya riba telah diterangkan
dalam Al-Qur'an, maka wajib bagi kita
untuk memastikan bahwa riba itu haram hukumnya .[27]
C.
Fatwa
Majelis Ulama Indonesia
1. Sejarah dan Pedoman Dasar Majelis
Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia
(untuk selanjutnya akan disebut MUI), adalah wadah musyawarah para ulama, zuama>
dan cendekiawan muslim yang didirikan tanggal 17 Rajab 1395 H, bertepatan
dengan 26 Juli 1975 M. pada saat Musyawarah Nasional (Munas) I Majelis Ulama
se-Indonesia di Jakarta.
Pada masa awal
pendiriannya MUI berada dalam dilema yang rumit berkaitan dengan pergumulan
eksistensial yang menyangkut pola hubungan antara MUI dengan pemerintah, dan
antara MUI dengan umat, yang sekaligus harus memerankan diri dalam misi
profetik sebagai pewaris Nabi.[28]
Seiring berjalannya waktu, kekuatan politik orde baru yang turut berpengaruh
dalam tubuh MUI pun telah runtuh, sehingga independensi MUI saat ini lebih
terjaga.
Berdasarkan Pedoman Dasar MUI hasil Munas ke
VI tahun 2000 pada BAB III mengenai sifat dan fungsi MUI disebutkan pada pasal
3 mengenai sifat MUI: "Majelis Ulama Indonesia bersifat keagamaan,
kemasyarakatan dan independen dalam arti tidak terikat atau menjadi bagian dari
pemerintah atau kelompok manapun".[29]
Pada pasal 4 mengenai fungsi Majelis Ulama
Indonesia disebutkan bahwa Majelis Ulama Indonesia berfungsi:
a.
Sebagai wadah musyawarah para
ulama, zuama>' dan cendekiawan muslim
dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami, demokratis,
akomodatif dan aspiratif.
b.
Sebagai wadah silaturahmi para
ulama, zuama>'
dan cendekiawan muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam
dan menggalang ukhuwah Islamiyah
c.
Sebagai wadah yang mewakili umat Islam
dalam hubungan dan konsultasi antara umat beragama sebagai pemberi fatwa kepada
umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.[30]
Berkaitan hal tersebut
dapat dicermati bahwa fungsi MUI amatlah penting bagi umat Islam, sebagai
pengayom umat, tempat bertanya mengenai suatu hukum-hukum tertentu (meminta
fatwa) dan untuk menggalang ukhuwah Islamiyah serta wakil bagi umat Islam dalam
hubungannya dengan umat agama lain di Indonesia. Berkaitan dengan fungsi MUI
sebagai tempat meminta fatwa, di zaman modern dengan berbagai kemajuan IPTEK di
dalamnya, terkadang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru dalam pemikiran
hukum Islam, apakah perkembangan dan perubahan itu dibenarkan atau tidak.
Berpijak pada hal tersebut umat Islam sangat memerlukan majelis ini untuk
membimbing umat mengetahui hukum-hukum
agama. Di majelis inilah para cendekiawan dan ulama yang berkompeten berkumpul
untuk berdiskusi dan bermusyawarah dalam ijtihad suatu masalah.
Pada pasal 6 mengenai
usaha MUI disebutkan bahwa untuk mencapai tujuannya Majelis Ulama Indonesia
melaksanakan usaha:
1) Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam
mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridloi Allah SWT.
2) Memberikan nasehat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada pemerintah dan masyarakat.
3) Meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan
kerukunan antar umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
4) Menjadi penghubung antara ulama dan umara>' (pemerintah) dan penterjemah timbal
balik antara pemerintah dan umat guna mencapai masyarakat madani yang diridhoi
Allah SWT. (baldatun t}ayyibatun
wa rabbun ghafu>run).
5) Meningkatkan hubungan serta kerjasama antara organisasi lembaga Islam
dan cendekiawan muslim, serta menciptakan program-program bersama untuk
kepentingan umat.
6) Usaha lainnya yang sesuai dengan tujuan organisasi
(mengembangkan usaha-usaha / kegiatan lain yang bersifat rintisan yang sesuai
dengan tujuan organisasi).
2.
Dinamika dan Implementasi Fatwa
Hingga laporan penelitian ini ditulis,
penulis baru menemukan dua hasil penelitian yang membahas mengenai fatwa
Majelis Ulama Indonesia secara umum yaitu hasil penelitian Atho Mudzhar yang
membahas fatwa MUI pada periode tahun 1975 - 1988[31] dan
penelitian Syarifuddin yang membahas fatwa MUI periode tahun 1975-1993 Periodisasi
yang diambil oleh kedua penelitian itu amat menentukan hasil / kesimpulan
penelitian. Pada dua periode tersebut kekuasaan orde baru amat kuat di segala
lini, termasuk MUI yang seharusnya netral dari pengaruh apapun.
Pada penelitian pertama kesimpulan adalah
sebagai berikut:[32]
a.
Dalam perumusan fatwa terkadang
MUI tidak mengikuti prosedur metodologi yang seharusnya berlaku, yaitu meng-istinba>t}-kan
hukum berdasarkan al-Qur'an, hadis, ijma>'
dan qiya>s.
b.
Perumusan fatwa: MUI juga
terkadang terikat oleh beberapa faktor yang sebagiannya bersifat politis
beberapa fatwa hanya terikat pada satu faktor, namun ada pula yang terkait
dengan beberapa faktor, hal tersebut membuat sulit untuk menganalisis faktor
mana yang berpengaruh.
c.
Tidak semua fatwa yang diteliti
terpengaruh oleh kepentingan politik, beberapa fatwa ada yang diputuskan
sebagai jawaban dari tantangan perkembangan zaman, dan memiliki alasan yang
kuat dari segi agama.
d.
MUI Juga membuka peluang ijtihad
dari berbagai mazhab dan metode pemikiran baru, tidak seperti sebelumnya yang
hanya didominasi oleh ajaran Sya>fi'i>
dan empat maz|hab
sunni yang berlaku.
e.
Berkaitan dengan hubungan antara
agama, MUI berlaku lebih tegas sebagai contoh adalah pengeluaran fatwa mengenai
pelarangan umat Islam untuk menghadiri perayaan natal. Dengan keluarnya fatwa,
MUI berani mengambil resiko untuk tidak bersepakat dengan pemerintah demi
menghadapi ancaman kristenisasi.
f.
Figur pemimpin dalam komisi fatwa
MUI juga berpengaruh dalam pemutusan fatwa.
Secara khusus hasil
penelitian tentang implementasi penerapan fatwa keharaman bunga, penulis
memperoleh hasil penelitian dari Wira Novi Adiawati, dengan kesimpulan sebagai
berikut: Penilaian responden atas fatwa MUI menunjukkan bahwa 56% responden berperilaku
positif dan 44% masih berpenilaian negatif. Penilaian ini dalam lingkup kecil
(masyarakat Kauman Yogyakarta) sehingga sulit untuk menggeneralisasikan
hasilnya.
3.
Metode penetapan fatwa
MUI sebagai tempat pembuatan keputusan
ijtihad pada suatu fatwa memiliki pedoman tersendiri untuk meng-istinba>t}-kan
hukum atas suatu masalah tertentu. Pedoman ini terkadang akan ditinjau ulang
jika akan memutuskan suatu fatwa. Pedoman dan prosedur penetapan fatwa MUI yang
disepakati pada tanggal 21 – 22 Syawal 1424 H menetapkan sebagai berikut:
BAB II
Dasar Umum dan Sifat Fatwa
1)
Penetapan fatwa didasarkan pada
al-Qur'an, sunnah (Hadis), ijma>'
dan Qiya>s dan
dalil-dalil yang muhtal
2)
Aktivitas penetapan fatwa
dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan komisi fatwa.
Bab III
Metode dan
Penetapan Fatwa
1) Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah
ditinjau lebih dahulu pendapat para imam mazhab tentang masalah-masalah yang
akan difatwakan tersebut secara seksama berikut dalil-dalil yang mu`tabar.
2) Masalah yang telah hukumnya (al-ahka>m al-qat}'iyyah)
hendaklah disampaikan sebagaimana adanya.
3) Dalam masalah yang terjadi khila>fiyah di
kalangan mazhab / ulama, maka :
a) Penetapan fatwa didasarkan pada
hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat mazhab melalui
metode al-Jam'u
wa al-taufi>q.
b) Jika usaha penemuan titik temu tidak
berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode
muqa>ranah.
4) Dalam masalah yang tidak ditemukan
pendapat hukumnya di kalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil
ijtihad Jama'i (kolektif) melalui metode baya>ni>, ta'li>li> (qiya>si>, istih}sa>ni>,
ilh}a>qi>) ist}is}la>>hi> dan sadd al-z|ari>'ah.
5) Penetapan fatwa harus senantiasa
memperhatikan kemaslahatan umum (mas}a>lih ama>nah)
dan maqa>s}id al-Syari>'ah. [33]
Menurut Ma'ruf Amin dalam
penjelasannya pada sistem dan prosedur penetapan fatwa, memaparkan bahwa ada 3
pendekatan yang digunakan untuk menetapkan fatwa yaitu:[34]
a. Pendekatan nas} qat}'i
yang digunakan untuk menetapkan suatu masalah yang telah jelas terdapat dalam nas} al-Qur'an
dan hadis.
b. Pendekatan qauli> digunakan
jika jawaban telah dicukupi oleh pendapat dalam kutub al-Mu'tabarah dan
hanya terdapat satu pendapat (qaul) kecuali jika qaul yang ada
dianggap tidak lagi sesuai untuk dijadikan landasan karena ta'as|ur atau ta'az|ur al-'amal atau
s}u'u>bah
al-'amal atau karena 'illatnya berubah,
sehingga perlu dilakukan telaah ulang.
c. Pendekatan manhaji, dipakai
jika jawaban tidak dapat dicukupi oleh nas} qat}' dan
pendapat yang ada dalam kutub al-Mu'tabarah. Pendekatan ini melalui ijtiha>d jama'i> dengan
menggunakan metode al-jam'u
wat taufi>q, tarji>h}i>, ilh}a>qi>, dan istinba>t}i>.
Pada bab IV
membahas mengenai prosedur rapat:
1) Rapat harus dihadiri oleh para
anggota komisi yang jumlahnya dianggap cukup memadai oleh pemimpin rapat.
2) Dalam hal-hal tertentu, rapat dapat
menghadirkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.
3) Rapat diadakan jika ada:
b) Permintaan atau pertanyaan dari
masyarakat yang oleh Dewan Pimpinan dianggap perlu dibahas dan diberikan
fatwanya.
c) Permintaan atau pertanyaan dari
pemerintah, lembaga/ organisasi sosial atau MUI sendiri.
d) Perkembangan dan temuan
masalah-masalah keagamaan yang muncul akibat perubahan masyarakat dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
4) Rapat dipimpin oleh ketua atau wakil
ketua komisi atas persetujuan ketua komisi didampingi oleh sekretaris dan atau
wakil sekretaris komisi
5) Jika ketua dan wakil ketua komisi
berhalangan hadir, rapat dipimpin oleh salah seorang anggota komisi yang disetujui.
6) Selama proses rapat, sekretaris dan
atau wakil sekretaris komisi mencatat usulan, saran, dan pendapat anggota
komisi untuk dijadikan Risalah Rapat dan bahan keputusan fatwa komisi.
7) Setelah melakukan pembahasan secara
mendalam dan komprehensif serta memperhatikan pendapat dan pandangan yang
berkembang, rapat menetapkan keputusan fatwa.
8) Keputusan komisi sesegera mungkin
dilaporkan kepada Dewan Pimpinan untuk dipermaklumkan kepada masyarakat atau
pihak-pihak yang bersangkutan. [35]
4. Proses Penetapan Fatwa MUI Tentang
Keharaman Bunga
MUI mengeluarkan
fatwa tentang keharaman bunga pada
tanggal 16 Desember 2003 , sebelum mengeluarkan fatwa tersebut MUI telah
melakukan pembicaraan dengan pihak perbankan dan Bank Indonesia. Tidak ada
dukungan sponsorship dari pihak perbankan syariah, maupun faktor-faktor politis
lain dalam proses pengeluaran fatwa tersebut[36].
Pada tanggal 22 Desember 2003 dilakukan uji shahih terhadap fatwa untuk dilihat
kelayakan penetapan fatwa tersebut, sebelum dikeluarkan keputusan resminya. Uji ini dilakukan melalui
pengkajian Dewan Pimpinan Harian MUI dengan
proses dialog dan tanya jawab bersama para ahli terkait dan pimpinan
ormas-ormas Islam lainnya. Menurut Ali Mustafa Yakub ada kemungkinan suatu
fatwa yang telah dibuat dibatalkan namun
berdasarkan sejarah pembuatan fatwa MUI
belum pernah ada keputusan fatwa yang dibatalkan, karena hampir semua
elemen ormas Islam turut terlibat dalam keputusan fatwa yang dikeluarkan
ijtima' ulama komisi fatwa dari seluruh
propinsi di Indonesia. tersebut [37].
Pada tanggal 23 Desember 2004 seharusnya fatwa tersebut sudah harus ditetapkan
namun karena ada banyak tanggapan dan reaksi dalam fatwa tersebut maka
penetapannya terpaksa ditunda[38],
baru pada tanggal 6 Januari Fatwa Keharaman Bunga dikukuhkan penetapannya[39]
5. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Mengenai Keharaman Bunga
Majelis Ulama
Indonesia mengeluarkan fatwa keharaman bunga pada tanggal 16 Desember 2003,
bersamaan dengan fatwa tentang terorisme dan penetapan awal ramadhan, Syawal
dan Dzulhijjah. Menurut Ma'ruf Amin, keputusan tentang fatwa bunga bank
merupakan keputusan MUI yang ketiga kalinya, sehingga fatwa yang ketiga ini
harus lebih maju daripada fatwa sebelumnya.[40]
Dalam penetapan fatwa ini tidak ada desakan apapun dari bank syari'ah maupun
pihak-pihak lain sehingga MUI telah melakukan fungsinya dengan sebaik-baiknya
secara independen.
Berdasarkan hasil
keputusan Ijtima' Ulama komisi fatwa MUI mengenai keharaman bunga, pengertian
Riba dan Bunga(Interest) yaitu Tambahan (زيادة) tanpa imbalan (بلا
عوض) yang terjadi karena penangguhan dalam
pembayaran (زيادة الأجل)
atau pertukaran dua barang yang sejenis (اتحاد
الجنس) yang diperjanjikan sebelumnya (اشترط
مقدّما) sedangkan mengenai pengertian bunga
adalah Uang yang dibayarkan sebagai
kompensasi dari pinjaman uang yang dihitung dari pokok tanpa mempertimbangkan
hasil dari pokok tersebut dan diperhitungkan secara fixed dimuka.
Mengenai hukum
bunga(interest), MUI menyatakan haram karena bunga
bank identik dengan riba yang diharamkan dalam al-Quran.
Terkait dengan masih belum meratanya jaringan bank syari'ah
di seluruh wilayah Indonesia, MUI menetapkan dua keputusan mengenai kebolehan
atau ketidakbolehan bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional dimana untuk
wilayah yang sudah ada kantor/ jaringan bank syari'ah, tidak diperkenankan
melakukan transaksi dengan Bank konvensional sedangkan wilayah yang belum ada
kantor atau jaringan bank syari'ah diperbolehkan bertransaksi di bank
konvensional berdasarkan prinsip dlarurat (hasil selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran).
[1] Atabik Ali dan Ahmad
Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum, Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak), hlm.1376.
[3] Yu>suf al-Qara>d}a>wi,
Fatwa Ulama Ketelitian dan Kecerobohan, alih bahasa As'ad Yasin, cet.
ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1997). hlm 5.
[5] Wira Novi Adiawati,
"Analisis Sikap Masyarakat Terhadap Fatwa MUI Tentang Haramnya
Bunga Bank, (Studi Kasus Pada Masyarakat Kauman Yogyakarta)",
skripsi tidak diterbitkan, STIS Yogyakarta (2004), hlm. 22.
[7] Taufiq
Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, alih bahasa Jamaluddin Z.S ( Jakarta,
Gema Insani Press, 1997) hlm.306
[11] Taufi>q Asy-Sya>wi>,
Syura Bukan Demokrasi, alih bahasa Djamaluddin Z.S (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), hlm. 285.
[12] Hasil
Ijtihad Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
[13]
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan
Nastangin, Jilid 3, (Yogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf,1996), hlm 86.
[14] M.
Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek,
cet. ke-3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 38.
[15] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:
Lentera Hati, 2000), I: 554.
[16] M
Syafii Antonio, Bank Syariah.... hlm.
42.
[17]
Adiwarman Karim, "Workshop On
Islamic Banking", makalah
disampaikan pada Workshop Perbankan Islam Shari’a Economic Days,
auditorium FE UI Depok, Februari 2003
[26] Sunan At-Tirmiz|i>, Al-Jami'u
S}ah}i>h}, edisi, M. Fua>d Abd' al-Baqi, (Makkah al-Mukarramah: al-Maktabah at-Tija>riyah
), III: 512, hadis nomor 1206 "Kitab al- Buyu>'", "Ba>b سس
[27] Ah}mad I<sa> Asyur, Fiqh Islam Praktis Bab: Muamalah, Alih
bahasa : A. Hamid Zahwan, (Solo : Pustaka Mantiq, 1995). hlm. 25.
[28] Pengaruh politis
pemerintah kepada MUI bisa dilihat lebih jelas pada hasil penelitian Atha'
Mudzhar, Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Suatu Kajian Pemikiran Hukum Islam
Di Indonesia, 1975 – 1988, (Jakarta: INIS, 1993), lihat juga hasil
penelitian Syarifuddin, "Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (Telaah
Perkembangan Politik dalam Pemikiran Hukum Islam)", Skripsi Fakultas
Syari'ah, IAIN Sunan Kalijaga, 1997.
[29] Pedoman Organisasi
Majelis Ulama Indonesia, Hasil Munas VI Jakarta pada 25 – 29 Juli 2000,
Sekretariat MUI Daerah Istimewa Yogyakarta, 2000, hlm. 4.
[31] Atho Mudzhar,
Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan
Praktek, cet. ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1998).
[33]
Keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Tentang Sistem Dan prosedur
Penetapan Fatwa MUI tgl 14-16 Desember 2004/20-22 Syawal 1424 H
[34] Ma'ruf Amin, "Penjelasan
Atas Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa", makalah disampaikan dalam Forum Ijtima' Ulama
Komisi Fatwa MUI se-Indonesia pada 14 – 16 Desember 2003 di Hotel Indonesia,
Jakarta.
[35]
Keputusan Ijtima' Ulama…
[36] "Fatwa MUI Tentang Bunga Bank Haram Tidak Mengikat", http://www.lin.go.id/detail.asp?idartcl=20120364NT0001&by=topic
akses 2 Mei 2005.
[37] Amal Ihsan, Tempo
News Room, "Fatwa MUI Ditetapkan Besok", http://www.
tempointeraktif.com/hg/ekbis/2003/12/22/brk,20031222-62,id.html, akses 2 Mei
2005
[38] Tempo interaktif,
"Asbisindo Sesalkan Penundaan Fatwa Bunga Bank", http://www.tempointeractive.com/hg/ekbis/200312/26/brk,20031226-19,id.html
[39] Ester Dwi Maghfiroh,
"Prospek Perbankan Syariah Pasca Fatwa MUI" http://www.solusihukum.com/artikel/artikel33.php
0 Response to "Kedudukan Bunga Bank menurut Fatwa MUI"
Post a Comment