Image1

Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman tentang Masyarakat Islam Modern

Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman

BAB II

BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN

 A.    Latar Belakang keluarga dan pendidikan

Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 M. ditengah-tengah keluarga Malak yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian dari Pakistan.[1] Ayahnya bernama Maulana Sihabuddin, Ia adalah lulusan dari perguruan India terkenal Darul Ulum Doeban.[2] Fazlur Rahman dibesarkan dikeluarga yang memegang tradisi mazhab Hanafi. Meskipun dibesarkan dikalangan tradisionalis Madzhab Hanafi, sebuah Madzhab Sunni yang bercorak Rasionalis. Namun Rahman mampu melepaskan diri dari lingkup pemikiran sempit di dalam Madzhab Sunni dan mengembangkan pemikirannya secara bebas.
Meskipun Fazlur Rahman tidak belajar di Darul Ulum, beliau menguasai kurikulum Darse-Nizami yang ditawarkan dilembaga tersebut dalam kajian privat dengan ayahnya. Namun ajaran ayahnya yang berakar tradisional itu tampaknya tidak begitu banyak mempengaruhi Rahman, sehingga Rahman mengembangkan dan mengartikulasikan secara sistematis sebuah gerakan aligarh kepada modernisme Islam di benua Indo-Pakistan dalam karya intelektualnya sendiri.

22
 

Ia melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam tradisoanal dengan perhatian khusus pada fikih, ilmu kalam, hadits, tafsir, mantik dan filsafat. Setelah menamatkan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan ke Punjab University di Lahore, Pakistan. Dari Institut ini, ia memperoleh gelar master dibidang sastra arab pada tahun 1942 M.[3]  Setelah beliau meraih gelar M.A. dan tengah belajar untuk program Ph.D di Lahore, Al-Maududi mengajak Rahman untuk bergabung dengan jamaat Islam dan meninggalkan studinya. Akan tetapi Rahman menolaknya dan tetap pada cita-citanya untuk melanjutkan studi.
Pada tahun 1946 M, Rahman melanjutkan studinya di Oxford University di Inggris, Ia mempunyai alasan karena mutu pendidikan Islam di India saat itu sangat rendah, meskipun bermunculan rasa kecemasan dan kekhawatiran. Apabila mereka belajar Islam di Barat, secara otomatis mempelajari serta menerapkan metode kritis dan analitis modern terhadap materi-materi keislaman, mereka akan dikucilkan dalam masyarakatnya sendiri bahakan akan mengalami penindasan.[4] Namun keputusan telah diambil, dan Rahman sudah siap menghadapi konsekuensinya. Akhirnya pada tahun 1951 M. Rahman menyelesaikan disertasinya tentang psikologi Ibnu Sina dibawah pengawasan Prof. Simon Van Den Bergh. Disertasi itu merupakan terjemahan, kritikan, dan komentar dari sebuah kitab An-Najt milik filosofi muslim kenamaan abad ke-7.
Setelah selesai di Oxford, ia mengajar bahasa Persia dan filsafat Islam di Universitas Durkham. Rahman meninggalkan Oxford untuk menjadi asisten Profesor dalam bidang Islamic Studies di Institute of Islamic Studies, Mc. Gill University, di Monteral Kanada.[5] Selama belajar belajar di Oxford University sealain mengambil dan mengikuti kuliah-kuliah formal, ia giat mempelajari bahasa-bahasa Barat. Fazlur Rahman menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Francis, Jerman, disamping bahasa Turki, Persia, Arab sera Urdu. Penguasaannya terhadap bahasa tersebut pada gilirannya sangat membantu memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya, khususnya dalam studi-studi Islam, melalui penelusuran terhadap literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dlm bahasa mereka.[6] Selain mengajar Rahman juga senantiasa menulis karya, ini berawal dari permasalahan kurangnya perhatian sarjana-sarjana modern dalam mengkaji pemikiran keagamaan, terutama masalah doktrin Nabi. Itulah sebabnya karya Rahman ini bertujuan memfokuskan perhatian pada area pemikiran religio-filosofis Islam.

B.     Sosial Politik

Setelah beberapa tahun meninggalkan Pakistan dan berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi. Akhirnya Rahman kembali ke Pakistan di awal tahun 60-an. Pendidikan formalnya di Barat serta pengalaman mengajarnya selama bertahun-tahun di sarang orientalisme, ditambah dengan latar belakang Liberalisme Indo Pakistan, tampaknya telah membuat ia untuk kembali ke negeri asalnya sebagai seorang sarjana dan pemikir modernis yang bebas dan sangat radikal.[7] Pada saat itu pemerintahan Pakistan dipimpin oleh Jendral Ayyub Khan mulai memperbaharui usahanya pada pembentukan negara. Dalam pandangan Khan, salah satu unsur untuk membangun kembali semangat nasionalisme adalah memperkenalkan perubahan politik dan hukum. Perubahan itu diaharapkan membawa negara kembali kepada Khittahnya, sebagai negara dengan visi dan ide Islam.
Antusiasme Fazlur Rahman sendiri terhadap keadaan Pakistan bisa dibuktikan dari kenyataan beliau meninggalkan karir akademisnya yang layak demi tantangan Pakistan. Pada tahun 1382 H/1962 M. Rahman diberi jabatan sebagai Direktur Lembaga Riset Islam[8] dan sebagai anggota Dewan Penasehat Council of Islamic Ideologi. Akan tetapi penunjukan Rahman sebagai Direktur Lembaga Riset ini tidak mendapat restu dari kalangan ulama, karena menurut mereka, jabatan tersebut seharusnya merupakan hak privilese eksekutif, seorang alim yang terdidik secara tradisional.[9]
Dengan demikian, kedua lembaga pemerintahan Pakistan ini memang sangat kondusif bagi pengembangan pemikiran keagamaan Rahman. Ia terlibat secara intens dalam usaha-usaha untuk menafsirkan kembali Islam guna menjawab tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masa kini. Setiap gagasan pembaharuan yang dikemukakan oleh Rahman selaku Direktur Lembaga Riset Islam dan sebagai anggota Dewan Penasehat Idiologi Islam yang mewakili sudut pandang kalangan tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan.
Kontoversi yang berkepanjangan akhirnya berujung pada aksi demontrasi massa yang cukup besar dibeberapa kota di Pakistan. Pada tahun 1968 M. yang menyatakan protes terhadap buku Rahman, jadi kontraversi memang lebih bersifat politis. Sebenarnya, aksi masa diseputar kontroversi ide ditunjukan untuk menentang Rahman, akan tetapi sebenarnya untuk menentang Ayyub Khan, presiden Pakistan. Akhirnya, karena menemukan dirinya tanpa dukungan, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada tanggal 5 September 1968 yang langsung dikabulkan oleh Ayyub Khan.[10]
Setelah mengundurkan diri dari lembaga tersebut Rahman masih tetap menempati kedudukan sebagai anggota Dewan Penasehat Idiologi Islam pemerintahan Pakistan. Tidak begitu lama akhirnya jabatan inipun dilepaskan pada tahun 1969 M. atmosfir di dalam lembaga tersebut, yang konservatif dan kadang reaksionis, tampaknya tidak disenangi Rahman.  Ia memutuskan untuk hijrah ke Chicago, dan sejak tahun 1970 M. menjabat sebagai guru besar kajian Islam dalam berbagai aspeknya pada Departement of Near Easten Languages and Civilization, University of Chicago.[11]
Kepindahan Rahman menimbulkan tanda tanya besar. Tampaknya oposisi dari kalangan tradisionalis dan fundamentalis Pakistan telah membuatnya berfikir bahwa negeri asalnya itu berlum siap menyediakan milieu (lingkungan) kebebasan intelektual yang bertanggung jawab. Rahman berpendapat:
“vitalitas kerja intelektual pada dasarnya bergantung pada milieu kebebasan intelektual, pemikiran bebas dan pemikuiran merupakan dua patah kata yang sinonim, dan seseorang tidak dapat berharap bahwa pemikiran akan bisa tetap hidup tanpa kebebasan…pemikiran Islam, sebagaimana halnya dengan sebuah pemikiran, juga suatu kebebasan yang menjamin perbedaan pendapat, konfrontasi pandangan, dan perdebatan antara gagasan tersebut.”[12]  

Karena di Barat Rahman telah memperoleh kebebasan intelektual, maka beliau tidak segan-segan hijrah kesana. Di Chicago selain memberikan kuliah dan kajian keislaman, Rahman aktif dalam kegiatan intelektual, seperti memimpin proyek penelitian universitas tersebut, mengikuti berbagai seminar internasional, memberikan ceramah diberbagai pusat studi terkemuka.
Pada tanggal 26 juli 1988 M. Rahman meninggal dunia di Chicago dalam usia 69 tahun, sebelum meninggal beliau mengalami sakit yang sangat komplek dan kronis. 

C.    Pemikiran Fazlur Rahman Secara Umum

Pemikiran Fazlur Rahman secara umum terbagi atas dua bagian yang sangat penting yaitu:
1.  Neo-Modernisme
Istilah Neo-modernisme Islam muncul bukan dengan sendirinya melainkan hasil dari dialektika terhadap gerakan pembaharuan Islam yang ada sebelumnya.[13]  Sedangkan pada tahun 1970 an dalam sebuah artikel Rahman membagi dialektika perkembangan pembaharuan yang muncul di dunia Islam dibagi ke dalam empat gerakan yaitu:
a.       Revivalisme Pra-Modernis
Gerakan ini muncul pada abad ke-XVIII dan XIX di Arabia, India dan Afrika, ciri gerakan ini adalah:
a)       Keprihatinan yang mendalam terhadap degenerasi sosio-moral umat Islam dan usaha untuk mengubahnya.
b)       Himbauan untuk kembali kepada Islam sejati dan mengenyahkan tahayul-tahayul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab hukum serta berusaha untuk melaksanakan ijtihad.
c)       Himbauan untuk mengenyahkan bentuk predeterministik (hal bersifat takdir).
d)      Himbauan untuk melakukan pembaharuan lewat kekuatan bersenjata (jihad).
Yang menjadi latar belakang kelahiran gerakan ini adalah degenerasi sosial-moral umat yang jatuh dalam praktek tahayul. Kelemahannya adalah kurangnya pengetahuan tentang al-Qur’an, serta anti intelektual. Sedangkan tujuan dari gerakan ini memperbaharui spiritual dan moralitas Islam untuk memurnikannya. Gerakan ini mengambil jalan tengah dengan cara memperbanyak secara radikal tradisi yang didasarkan pada sumber-sumber Islam, yakni al-Qur’an dan contoh kehidupan Nabi Muhammad.[14]
b.      Modern Klasik
Gerakan ini muncul pada pertengahan abad ke-XIX dan awal abad ke-XX di bawah pengaruh ide-ide Barat. Yang baru dari gerakan ini adalah perluasannya terhadap isi ijtihad seperti hubungan antara akal dan wahyu, pembahruan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status wanita, serta pembaharuan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang representatif serta konstitusional lantaran letaknya dengan pemikiran dan masyarakat Barat.  Hakekat gerakan ini didasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah histori sebagaimana dibedakan dengan “Sunnah Teknis”. Mereka pada umumnya skeptis terhadap hadits, tetapi skeptisme ini tidak ditopang oleh kritis ilmiah.
c.       Neo-Revivalisme
Dalam gerakan ini mendukung gagasan demokrasi dan percaya serta mempraktekan bentuk pendidikan Islam yang relatif telah dimodernisasi.  Bahkan gerakan ketiga ini mendasari dirinya pada basis pemikiran modernis klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individu maupun kolektif.  Gerakan ini bentuk dari reaksi terhadapa modernisme Islam.  Mereka tidak menerima atau semangat modernisme klasik.  Mereka tidak mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya, selain berusaha membedakan dan barat.
d.      Neo-Modernisme.
Dibawah pengaruh Neo-revivalisme kemunculan Neo-modernisme menjadi tantangan bagi Rahman.  Meskipun modernisme klasik telah benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan mendasar yang menyebabkan timbul reaksi dalam bentuk Neo-revivalisme. Kelemahan pertama adalah tidak menguraikan secara tuntas metodenya yang secara semi implisit terletak memandang masalah khusus dan implikasinya dari prinsip-prinsip dasar. Mungkin karena perannya selaku reformis terhadap terhadap masyarakat muslim sekaligus sebagai kontroversial apologetik terhadap Barat. Sehingga Rahman tertantang untuk melakukan Interpretasi yang sistematis menyeluruh terhadap Islam. Kelemahan kedua adalah masalah-masalah ad.hoc yang dipilihnya merupakan agen-agen westernisasi.
Neo-modernisme harus mengembangkan sikap kritis terhadap Barat maupun terhadap warisan-warisan kesejarahannya. Harus mengkaji dunia Barat beserta gagasannya secara obyektif.  Demikian pula halnya dengan dengan gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran dalam sejarah keagamaannya sendiri.  Bila kedua hal ini tidak dikaji secara objektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi dunia modern merupakan suatu hal yang mustahil bahkan kelangsungan hidupnya sebagi Muslim pun akan sangat meragukan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa munculnya gerakan Neo-modernisme, yang lebih lengkapnya Fazlur Rahman menyebutkan dengan istilah Neo-modernisme Islam, tidak lain karena disebabkan tuntunan zaman yang semakin berkembang namun kurang diantisipasi oleh berbagai pemikiran keislaman yang mapan secara histori maupun metodologi Keislaman yang komprehensif dan rasional.
Diantara karakteristik pemikiran Neo-Modernisme yang dapat disebutkan disini adalah :
1.      Pemikirannya merupakan sintesis antara tradisionalis dan modernis.
Corak pemikiran Neo-Modernisme pada dasarnya merupakan bentuk pemikiran yang berupaya untuk menjembatani gap yang terjadi antara tradisional dan modernis.[15] Jika kaum tradisional menggaris bawahi perlunya melestarikan tradisi keilmuan Islam yang telah terbangun secara kokoh sejak berabad yang lalu.[16] maka kaum modernis menolak semua kemenangan dan otoritas dalam islam tradisional dengan menganjurkjan mencari jalan penyelesaian terhadap masalah yang timbil melalui ijtihad baru.[17] Dari dua kutub pemikiran yang saling bertentangan inilah kemudian Neo-Modernisme mempunyai pandangan yang cukup moderat. Menurut mereka baik unsur tradisi maupun modern mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya memahami ajaran Islam.
Dengan demikian dalam pandangan seorang Neo-Modernisme tradisi bukanlah suatu yang naif dan harus ditinggalkan, akan tetapi ia adalah khazanah yang sanagat berharga untuk berbuat dimasa yang akan datang. Tradisi bukan merupakan suatu yang kolot, tetapi sebagai pijakan untuk melangkah ke depan. Sedangkan modernitas akan diterima jika itu adalah positif dan konstruktif. Artinya modernitas bukanlah sesuatu yang harus ditolak ataupun diterima secara mutlak tetapi diterima secara selektif.
2.      Tradisi pemikiran keagamaan yang bersifat kritis, tidak sekedar taken for granted terhadap tradisi keilmuan Islam yang telah dibangun secara kokoh sejak berabad-abad yang lalu. Tradisi keilmuan Islam tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan sebagai produk zaman yang mengitarinya, maka tradisi itu dapat dibahas, dikupas, dikritik dan dianalisa sehingga tampak mana aspek normatif dan mana aspek historinya. Tradisi keagamaan apapun, bukan dogma agamanya, dapat saja ditelaah secara kritis. Jika tradisi tidak boleh dilihat secara kritis-historis, maka menurut pandangan dalam pemikiran ini, akan terjadi proses yang dalam istilah Rahman disebut sebagai Intellectual Suicide (bunuh diri intelektual). 
3.       Pemikiran yang menekankan substansi ajaran agama, bagi kaum Neo Modernisme yang lebih utama adalah substansi dari maksud dan tujuan sebuah peraturan hukum bukan ketentuan legal formalnya. Karenanya perubahan dan gugatan terhadap  bangunan keagamaan yang telah mapan terkadang menjadi sesuatu keniscayaan demi tercapainya peraturan hukum yang lebih sesuai dengan dengan tujuan hukum itu. Jadi yang menjadi sumber hukum Islam, dalam pandangan Neo- Modernisme Rahman adalah prinsip-prinsip, nilai-nilai atau tujuan moral Al Qur'an, bukan teks harfiahnya. Bersikeras dalam impelementasi harfiah dari aturan-aturan Al Qur'an, dan menutup mata terhadap perubahan sosial yang telah terjadi secara riil didepan mata, sama saja dengan mengabaikan tujuan moral sosialnya.[18]
4.      Pendekatan keagamaan yang digunakan adalah pendekatan ilmiah kontemporer seperti pendekatan sosiologis, sejarah dan filsafat. Model pendekatan seperti ini sangat kental sekali dalam alur pemikiran Neo Modernisme.
5.      Mampu mengembangkan metodologi yang cukup sistematis dan komprehensif yang dianggap mampu melakukan rekontruksi Islam secara total dan tuntas serat setia pada akar-akar spiritualnya dalam menjawab kebutuhan Islam kontemporer.[19]

2. Tentang Kesejarahan
Nilai kesejarahan merupakan bagian terpenting dlam melakukan pegkajian Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini Rahman memilki konsepsi sejarah yang tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan Khaldun. Hukum determinisme sejarah, dengan landasan ayat-ayat Allah SWT menjadi landasan pemikirannya. Sebagaimana dikutip
Sejarah manusia pada dasarnya terdiri atas suatu proses pembentukan dan pelurusan masyarakat dan peradaban-peradaban menurut norma-norma tertentu, yang pada intinya bersifat moralistik. Sumbernya bersifat transendental, tetapi penerapan sepenuhnya berada dalam eksistensi manusia secara kolektif.  Norma-norma ini disebut dengan sunatullah (praktek atau hukum bagi prihal kemanusiaan yang tidak berubah.
Munculnya suatu peradaban dan negara baru bukan berarti dibangun atas reruntuhan atau tradisi-tradisi peradaban negara terdahulu, kemudian dimodikfikasi tetapi secara simbolis kehadirannya benar-benar berdasarkan yang baru. Hidup menuju progres yang berarti. Sedangkan dalam persoalan pewarisan peradaban-peradaban bagi penggantinya, cenderung menimbulkan ketegangan antara dua kutub yang bertentangan. Sejarah peradaban bersifat komulatif dan evolusioner. Menurut Rahman bahwa gerakan sejarah, berbentuk spiral, walaupun berlingkar pergerakannya, namun memiliki progresivitas yang berarti dalam menuju ke satu titik kemajuan yang belum dicapai sebelumnya. Hal ini dialami dan berlangsung bagi setiap peradaban dunia. Proses ini terkait erat dengan kedinamisan manusianya, sehingga mamapu melakukan perubahan perubahan kearah kemajuan yang berarti.[20] Metedologi sejarah dalam metodologi Rahman ini pada dasarnya terdiri atas tiga langkah utama, yaitu:
 Pertama pendekatan historis untuk menemukan makna teks Al Qur’an dalam bentangan karir dan perjuangan nabi, kedua pembedaaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan Al Qur’an, ketiga pemahaman dan penetapan sasaran al-Qur’an dengan memperhatikan secara sepenuhnya latar belakang sosiologisnya.[21]
Maksud dari gerakan ganda tersebut adalah gerakan ganda pertama adalah untuk mengetahui isu histori atau problematika kesejarahannya dengan menelusuri latar belakang suatu peristiwa dan berbagai macam faktor yang ada maka gerakan ganda kedua digunakan membawa atau menghubungkan factor-faktor itu dengan problematika historis terkini untuk dapat dipecahkan dan dicari jawaban pemecahnnya.   
Fazlur Rahman tidak hanya berhenti menjadi seorang scholar yang memberlakukan Islam sebagai data sejarah, suatu tubuh yang mati, tetapi menjadikan studi keislamannya secara islami yang memiliki tujuan dan kretifitas. Rahman tampaknya lebih memposisikan dirinya sebagai pemikir. Sebagai pemikir ia mempunyai keberanian intelektual yang sangat mencengangkan: bukan saja ia takut kepada kontroversi, bahkan ia melihat kontroversi sebagian  dari konsekuensi kretifitas intelektual.
Kontroversi pertama ini terjadi pada masa pemerintahan Ayyub Khan di Pakistan. Rahman ditunjuk sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, pada tahun 1962 M. dan anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam pada tahun 1963 M. kalau lembaga pertama bertugas menafsirkan Islam dalam istilah-istilah rasional dan ilmiah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat modern yang progresif maka yang kedua bertugas meninjau seluruh hukum baik yang telah ada maupun yang akan dibuat, dengan maksud menyesuaikan dengan al-Qur’an dan Sunnah, serta mengajukan rekomendasi-rekomendasi pada pemerintah tentang bagaimana seharusnya kaum muslimin Pakistan menjadi Muslim yang baik.[22]
Isu yang ditangani oleh Rahman menimbulkan kontroversi dengan kalangan konservatif. Isu-isu itu, seperti yang dibeberkan dalam artikelnya yang berjudul “Same Islamic Issues in the Ayyub Khan Era 1979 ”. Meliputi isu Sunnah dan Hadits, KB (keluarga berencana), riba dan bunga bank, zakat dan penyembelihan binatang secara mekanis dan isu pewahyuan al-Qur’an yang paling krusial.
Salah satu persoalan penting yang mengusik pikiran Rahman adalah: bagaimana Islam sebagai warisan keagamaan, budaya, politik, dan etika berhadapan dengan dunia modern dan dunia yang cepat berubah? Di dunia Muslim modernitas dianggap sebagai fenomena wajah Janus (Dewa Romawi yang berwajah ganda yang mampu melihat dua arah yang berlawanan). Ia tentu saja membawa ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang bermanfaat bagi masyarakat Muslim, tetapi mempunyai konsekuensi yang luas bagi budaya dan nilai-nilai. Untuk mencegah akibat-akibat yang fantastik itu ia memulai suatu proyek untuk membangun kembali dasar-dasar intelektual Islam di zaman modern. Kebangkitan dan pembaharuan merupakan tema utama dalam skema pemikiran Fazlur Rahman. Kategori-kategori tajdid (pembaharuan) dan ijtihad (pemikiran bebas) berperan sebagai unsur kunci di bawah rublik memikirkan kembali Islam (rethinking Islam). Perhatian utamanya adalah mempersiapkan dasar-dasar bagi pemikiran ulang itu agar secara bertahap dapat direalisasikan melalui sarana pendidikan.[23]

D.    Karya-Karya Dan Aktivitas Fazlur Rahman

Berbicara masalah karya secara umum meliputi semua gerak manusia disegala bidang yang menghasilkan manfaat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Fazlur Rahman dikenal sebagai cendikiawan Muslim yang produktif dalam berkarya dan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang progresif sehingga mampu mengalihkan perhatian pada penafsiran kembali Islam sesuai dengan konteks zaman modern. Sehubungan dengan itu maka terlihatlah betapabanyak jasa Fazlur Rahman di dalam setiap bidang yang ditekuninya. Diantaranya adalah:
1.      Bidang Pers
Ketika gencar-gencarnya para ulama membanjiri parwez dengan fatwa tafsir, dua artikel Rahman tentang Sunnah dan Hadits muncul dalam Islamic Studies pada maret dan juni 1962, menjelang penunjukannya sebagai Direktur Lembaga Riset Islam. Rahman menegaskan dan memandang konsep Sunnah Nabi sebagai suatu konsep pengayom yang dinamis, dan tidak statis, Sunnah Nabi harus ditafsirkan secara situasional dan diadaptasikan ke dalam situasi dewasa ini.
2.      Bidang Pendidikan
Rahman adalah seorang sarjana Muslim kaliber dunia. Pada dirinya berkumpul ilmu seorang alim yang alim dan ilmu seorang orientalis yang beken. Mutu kesarjanaannya ditandai oleh cara berfikirnya yang analitis, sistematis, komunikatif, serius, jelas, dan berani dalam mencari pemecahan terhadap masalah Islam dan umat. Maka selain ia mengajar akademisnya Rahman pun mengajar dibeberapa Universitas sebagai pengabdian keilmuannya, diantaranya di Durkham University, Mc. Gill University, Universitas Chicago dan bahkan pernah memberikan kuliah di Universitas Connecticut di Storrs untuk memberi kuliah tentang sikap Islam terhadap agama Yahudi.
3.      Bidang Sosial Politik
Sebagaimana kalangan kaum modernis pada umumnya, Rahman menggariskan bahwa kaum muslimin harus melakukan penelitian ulang yang jujur terhadap sejarah serta menciptakan pranata-pranata yang memadai untuk memastikan, (i) Solidaritas dan stabilitas masyarakat serta negara. (ii) Partisipasi aktif masyrakat yang positif dan bertanggun jawab dalam pemerintahan dan negara. Rahman tidak senang format Islam yang berurat akar di masa lampau sehingga menafikan kemungkinannya untuk tumbuh dan berkembang.
Walaupun pemikiran beliau kurang diterima di negerinya. Akan tetapi karya-karya beliau sangat populer. Salah satu diantaranya:
a).    Islam, Chicago, University of Chicago Press, 1979. Dalam terjemahan (edisi Indonesia: Islam, Pustaka, Bandung).
Isi dari buku ini adalah berusaha menyuguhkan perkembangan umum Islam, buku ini bersifat informatif tetapi bertujuan untuk sejauh mungkin memberikan penuturan yang kohern (masuk akal) dan bermakna, dan bukan hanya sekedar penggalan-penggalan deskripsi mengenai fenomena-fenomena perkembangan Islam yang tampak terpisah-pisah maka tidak boleh tidak ia mesti bersifat interpretatif dan tidak bersifat informatif.
b).    Islam and Modernity: Transformation of an Intelektual Tradition, Chicago, University of Chicago Press, 1982. (edisi Indonesia: Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, Pustaka, Bandung).
Karya ini berusaha untuk membangun kembali kesadaran umat Islam akan tanggung jawab sejarahnya dengan pondassi moral yang kokoh. Pondasi ini hanyalah diciptakan bila al-Qur’an dipahami secara utuh dan padu. Sehingga mampu membangunkan umat Islam akan tanggung jawab intelektualnya untuk membumikan pesan Islam dalam konteks ruang dan waktu. Telaah kritis Rahman terhadap sejarah intelektual dan pendidikan Islam menurutnya, salah satu perkembangan paling menentukan sejarah Islam adalah sikap kaum Muslim yang kaku dan formal terhadap dua sumber pokok pemikiran dan praktek Islam yaitu: al-Qur’an dan Sunnah Nabi.  Oleh karena itu mereka harus kembali pada dua sumber Islam itu dan menafsirkan sebagai jawaban yang harus di generalisasi sebagi prinsip-prinsip moral yang mampu menjawab kondisi yang selalu berubah.
c).    Islamic methodologi in History, Karachi, Iqbal Academy,1965. (edisi Indonesia:Membuka Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung).
Buku ini berisikan kumpulan artikel-artikel yang Rahman tulis berdasarkan rencana yang telah disusun dengan tujuan untuk memperlihatkan  (a.) evolusi histori dari aplikasi keempat prinsip pokok pemikiran islam yang merupakan kerangka bagi pemikir islam yaitu: al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad, Ijma.(b). peran aktual dari prinsip tersebut: tujuannya adalah menghidupkan kembali hasrat mereka untuk melakukan ijtihad, satu-satunya pra-syarat untuk memperoleh tempat terhormat bagi umat Muslim diantara negara-negara yang progresif, dinamis dan hidup di atas dunia.
d).   Mayor Themes of The Quran, Chicago, Bibliothica Islamica,1980. (edisi Indonesia: Tema pokok al-Qur’an, Pustaka, Bandung).
Buku ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak yang memperkenalkan tema-tema pokok al-Qur’an.  Karena penulis - penulis Muslim banyak menerangkan kitab suci ayat demi ayat, disamping itu untuk membela pada sudut tertentu, penulisan itu sendiri tidak dapat mengemukakan pandangan al-Qur’an yang kohesif terhadap alam semesta dan kehidupan.  Dengan adanya buku ini mampu menyajikan bagi (pembaca untuk memperoleh apresiasi yang tepat mengenai al-Qur’an, perintah Tuhan pada umatnya).
e).    The Philosophy of Mulla Shadra, al-Bany, State University Of New York Press,1975, (edisi Indonesia: Filsafat Mulla Sadhra, Pustaka, Bandung).
Merupakan kajian historik Rahman terhadap pemikiran religio filosopis Shadar al-Syirrazi yang dikenal Mulla Sadra.
f).     Prophet in Islam: Philosophy and Ortodoxy, Chicago University of Chicago Press, 1979. (edisi Indonesia: Kenabian di dalam Islam, Pustaka, Bandung).
Himpunan risalah ini menyoroti suatu kawasan pemikiran religio filosopis Islam yang jelas terlihat tidak cukup banyak diperhatikan. Oleh para pengkaji pemikiran muslim, masalah utama dalam pertentangan antara pemikiran Islam dengan Yunani Tradisional.  Formulasi para filosof muslim dalam pengaruh kebudayaan Yunani, mengenai doktrin wahyu kenabian suatu masalah yang merupakan inti dogma dan penerimaan ortodoksi atas doktrin, maka dengan hadirnya karya ini dapat membantu memahami pengaruh Helenisme dalam pemikiran Islam.
g).    Avicenna’s  De Anima, New York, Oxford University Press, 1953.
Merupakan suntingan karya Ibnu Sina dalam kitab al-Nafs yang juga merupakan bagian dari kitab al -Syifa.
h).    Avicenna’s  Psychology, New York, Oxford University Press,1952.
Ini diambil dari kitab al-Najar karya Ibnu Sina. Kitab ini merupakan ringkasan Ibnu Sina sendiri terhadap karya agungnya yaitu kitab as-Syifa. Hasil karya berisi tentang kajian-kajian yang mendalam Ibnu Sina.
Dari karya-karya Rahman yang telah disebutkan di atas menunjukan bahawa Rahman terlibat secara intens dalam upaya-upaya untuk merumuskan kembali Islam dalam rangka menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer.  Rahman beranggapan bahwa Islam dewasa ini tengah menghadapi krisis yang sebagian akarnya terdapat dalam: Islam sejarah, serta pengaruh barat yang menampilkan dirinya dalam bentuk tantangan modernitas. Sehingga mampu mendorong Rahman untuk berupaya memberikan solusi-solusi Islam adalah dorongan keagamaan, rasa tanggung jawabnya terhadap Islam.  Umat dan masa depan mereka ditengah hiruk-pikuk modernitas dunia dewasa ini.
BAB III
PANDANGAN FAZLUR RAHMAN
TENTANG MASYARAKAT ISLAM MODERN

A.    Latar Belakang Lahirnya Masyarakat Islam
Rahman mengelaborasikan terbentuknya masyarakat Muslim awal pada zaman nabi. masyarakat tersebut memang terbentuk nyata setelah nabi hijrah ke Madinah. Namun gagasan masyarakat Muslim tersebut dan usaha untuk mewujudkannya telah muncul pada saat nabi di Makkah. Sebagaimana Snouck Hurgranje menulis:
Pada awal mulanya Muhammad meyakini kepada orang-orang Arab bahwa ia menyampaikan (risalah) yang sama seperti yang diterima orang-orang Kristen dari Yesus, orang-orang Yahudi dari Musa, dan lain-lain sebagainya. Dan untuk menentang orang-orang Arab jahiliyah dengan begitu saja ia menyebutkan “ orang-orang berilmu…kepada siapa mereka harus bertanya untuk meyakini kebenaran ajaran-ajarannya di Madinah ia mengalami keleluasaan: “Ahli Kitab” tidak mau mengakuinya. Oleh karena itu ia mengusahakan otoritas untuk dirinya yang berada diluar pengendalian mereka, dan sekaligus tidak bertentangan dengan wahyu-wahyunya yang semula. Ia pun berpaling kepada nabi-nabi di zaman dahulu karena kaum-kaum para nabi ini tidak dapat membantahnya (kaum-kaum yang tak ada atau sudah tidak ada, seperti kaum-kaum Ibrahim, Nuh dan lain sebagainya).[21]

43
 
Pernyataan-pernyataan seperti ini merupakan formula klasik mengenai kelahiran masyarakat Muslim si Madinah yang merupakan entitas tersendiri dan terpisah dari masyarakat Yahudi dan Kristen. Teori ini menurut Rahman mengajak kita untuk menerima bahwa, pertama ketika orang-orang Yahudi dan Kristen madinah menolak untuk menerima Muhammad sebagai nabi, maka mulailah beliau menonjolkan Ibrahim yang dikatakannya bukan Yahudi maupun Kristen tetapi secara eksklusif adalah Islam secara langsung mempunyai hubungan dengan kaum Muslim; kedua ajaran-ajaran yang disampaikan nabi pada orang-orang sama dengan ajaran-ajaran yang disampaikan nabi terdahulu.

Dengan adanya landasan teori klasik tersebut memang tidak salah, akan tetapi menurut pendapat Rahman fakta-fakta tersebut tidak sepenuhnya relevan, karena dalam pemahaman mengalami distorsi. Al-Qur’an yakin bahwa risalahnya adalah sama dengan risalah-risalah yang diserukan oleh nabi-nabi zaman dahulu, tetapi tidaklah benar bahwa risalah-risalah al-Qur’an tertuju pada kaum mereka masing-masing.[22]
Dan keterangan-keterangan al-Qur’an kita dapat kita dapat mengetahui bahwa sebelum kedatangan Islam, sebagian penduduk Makkah sangat menginginkan adanya agama baru seperti Yahudi dan Kristen: walaupun biasanya berkata: seandainya kita memperoleh peringatan dari zaman dahulu niscaya kita telah menjadi hamba-hamba allah yang tulus tetapi mereka mengingkarinya (ketika peringatan itu datang) (Qs.37:168). Keadaan yang seperti ini sebagiannya adalah karena masuknya ide-ide Yahudi Kristen ke milleu Arab; keadaan ini menunjukkan adanya demam religius yang dialami oleh individu-individu atau mungkin pula, oleh kelompok-kelompok tertentu yang lebih banyak memperoleh keterangan.[23]

Walaupun demikian cukup jelas bahwa setidak-tidaknya diantara penduduk Makkah ada beberapa orang yang menginginkan sebuah agama baru dan sebuah kitab suci baru, sehingga mereka berbeda dengan kaum-kaum terdahulu dan bahwa mereka tidak suka menerima kitab-kitab suci yang terdahulu. Ketika ajaran-ajaran nabi bahwa Allah itu Esa, bahwa orang-orang miskin harus diberi kesempatan untuk maju, dan ajaran lain mulai mendapat tantangan. Walaupun ada kesamaan spiritual dengan nabi-nabi zaman dahulu melalui penerimaan wahyu itu, Muhammad benar-benar yakin mengenai keidentikan setiap risalah yang disampaikan oleh nabi-nabi.[24]

Kerangka Teoritik

Masyarakat secara definitif adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.[25]  Sedangkan menurut Agust Comte, masayarakat adalah sebagai keseluruhan organik yang kenyataannya lebih dari sekedar sejumlah bagian-bagian yang saling bergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa  suatu masyarakat sebagai suatu bagian dari seperti halnya gejala fisik.[26] Sebuah masyarakat tidak akan tercipta tanpa ada individu dan sebaliknya. Manusia tidak dapat hidup dan berkembang sebagai pribadi yang didalam isolasi atau keterasingan dari masyarakat. Ia menghayati kehidupan dan kebersaman yang sifatnya komunikatif.[27] Dengan adanya komunikasi dan kontak sosial sebuah masyarakat akan membentuk sebuah kebudayaan. Adapun fungsi dari kebudayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor pernah berkata:
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapatkan oleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
  
  Proses modernisasi adalah sebagai usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga masyarakat mampu mengatasi dari ketertinggalan budaya (Cultural Lag). Modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial. Biasanya perubahan sosial yang terarah (Directed Change) yang didasarkan pada perencanaan. Modernisasi sebuah proses yang harus dihadapi oleh masyarakat.[28] Suatu masyarakat dinamakan primitif karena mereka statis kurang gerak, kurang pertumbuhan dan kreatifitas. Bahkan suatu masyarakat primitif tetaplah primitif kalau mereka menetap ditanahnya sendiri. Ali Syari’ati berpandangan bahwa suatu bangsa akan menjadi beradab dan akan menciptakan sebuah kebudayaan yang lebih tinggi apabila berpindah dari tanah tempat tinggalnya.[29]   
Setiap zaman pada hakekatnya selalu disebut modern, maju dan mundurnya suatu jaman kadang sulit dibuat batasannya yang pasti. Munculnya istilah kemodernan membawa kita pada sebuah keadaan yang serba baru dan memiliki karakteristik kekinian. Istilah modernisasi kadang dikacaukan dengan istilah liberalisasi. Modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi, yaitu adanya sebuah proses adanya proses perubahan pola piker dan tata kerja yang lam yang tidak rasional menjadi pola berpikir dan tata kerja yang baru yang rasional. Kegunaannya adalah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal.
Setiap zaman pada hakekatnya selalu disebut modern, maju dan mundurnya suatu zaman kadang sulit dibuat batasannya yang pasti.  Istilah modernisasi kadang dikacaukan dengan istilah liberalisme.  Modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi, adanya sebuah proses perubahan pola berpikir dan tata kerja yang lama yang tidak rasional menjadi pola berpikir dan tata kerja yang baru yang rasional. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal.  
Berbeda dengan Ali Syari’ati beliau mengkritik orang yang hanya meniru kebudayaan Barat tanpa kemampuan kritis sehingga menjadi budak konsumsi dari industri Eropa, manusia-manusia yang kehilangan latar belakang, terasing dari sejarah dan agamanya, asing terhadap apa yang telah dibangun oleh bangsanya, sejarah dan nenek moyangnya di dunia ini.[30] Adanya kelatahan umat dan keterpanaan terhadap keberhasilan materi dunia Barat. Peniruan model hidup Barat secara individual maupun sosial oleh kaum muslimin merupakan bahaya besar. Penyakit kultural ini berawal dari rasa frustasi kaum muslim yang melihat kekuatan dan kemajuan material Barat dan mengemukakan dengan kontrasnya terhadap masyarakat Islam sendiri. Sehingga banyak kaum muslim berkesimpulan bahwa sistem sosial dan ekonomi islam tidak dapat mengikuti tuntutan kemajuan. Oleh karenanya harus disesuaikan dengan garis-garis Barat. Mereka menunjukan bahwa ajaran-ajaran ulama pada zaman itu merupakan rintangan bagi kemajuan dan cita-cita. Dengan demikian peradaban barat muncul sebagai satu-satunya solusi dari bencana degradasi Islam.
Tantangan moderniatas yang muncul menurut Rahman hanyalah mungkin terjawab bila umat Islam tidak dipasung oleh parokialisme dalam memahami ajaran Islam. Islam bukanlah ajaran yang berorientasi ke masa lampau akan tetapi ajaran yang mampu mengantisipasi masa depan. Apa yang tidak diterima oleh Islam adalah mengidentikan sesuatu dengan yang modern sebagai sesuatu yang Barat, karena modernisasi tidak sama dengan westernisasi. Antara Islam dan modernitas bukanlah suatu hal yang perlu dipertentangkan, karena Islam sendiri merupakan agama yang modern.
Nilai-nilai kemodernan yang ada sekarang ini jelas, semuanya terkandung dalam ajaran Islam, karena Islam bukanlah agama yang beerorintasi kemasa lampau akan tetapi ajaran yang mampu mengantisipasi masa depan. Hubungan Islam dengan indikator-indikator kemodernan dapat ditunjukan sebagai berikut: Islam mengajarkan bekerja keras, menghargai waktu, Islam mengajarkan ekspertise, butuhnya pendidikan dan Islam mengajarkan sebuah demokrasi yang utuh. 
Modernisasi membawa konsekuensi terhadap terjadinya social displacement. Ada masyarakat yang mampu beradaptasi dengan kehidupan yang berubah dengan cepat dan ada pula yang tertinggal di belakang. Bagi masyarakat yang tertinggal dibelakang akan mengalami proses social displacement yang pada akhirnya dapat menciptakan frustasi dan keputusasaan yang sangat tinggi. Disinilah Islam sebagai alternatif dari apa yang terdapat di dunia Barat yang menganggap benda dan teknologi merupakan tujuan, bukan merupakan alat semata. Sehingga masyarakat Islam tidak lupa daratan seperti yang terdapat di Barat, yang mengakibatkan disorientasi dalam segala aspek kehidupan bangsa.
  Pengamat sejarah memandang Islam sebagai suatu masyarakat yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh – pengaruh formatif dari Barat.  Kegoyahan ini timbul akibat kesalahan-kesalahan dan penyerahan politis menjadikan kaum muslimin secara psikologis kurang mampu untuk secara konstruktif memikirkan kembali warisannya dan menjawab tantangan intelektualnya dari pemikiran modern.  Fazlur rahman memberikan pandangan bahwa tantangan sebenarnya yang dihadapi oleh masyarakat Islam adalah dalam bidang lembaga-lembaga dan etika-etika sosial.  Perlu adanya suatu sistem sosial yang sekarang perlu dimodifikasi dan disesuaikan.

Setiap kitab suci bersumber dan merupakan sebagian dari sumber tunggal atau pola dasar yang disebut “ibu semua kitab” dan “kitab yang tersembunyi”, oleh karena itu manusia harus mempercayai al-Qur’an, kebenaran sebuah kitab suci tidak menjadi berkurang karena diwahyukan di dalam suatu bahasa yang tertentu.
Jika Allah itu Esa dan risalahnya juga Esa serta pada dasarnya tidak dapat dipecah-pecah, maka umat manusia menjadi satu kaum. Karena diantara para penganut agama-agama terdahulu itu ada yang membenarkan misinya maka Muhammad ingin mempersatukan agama-agama tersebut ke dalam sebuah masyarakat, menurut ajaran-ajaran dan persyaratan-persyaratannya, tetapi begitu bertambah luas pengetahuannya mengenai perbedaan diantara agama-agama dan sekte-sekte tersebut, lambat laun iapun segera menyadari bahwa persatuan itu tak mungkin digalang.

Ide nabi Muhammad untuk menegakkan masyarakat seagama tidak tercetus di Madinah, tetapi sebenarnya sudah ada ketika di Makkah. Saat muhammad benar-benar yakin bahwa ia memiliki kedudukan yang sama seperti nabi-nabi di zaman dahulu, bahwa orang-orang Arab jahiliyah yang menyembah berhala itu berada dalam kesesatan, maka oleh al-Qur’an ia dijuluki sebagai seorang yang hanif, monoteisme sejati dan agamanya dinyatakan sebagai “ajaran lurus”, sedangkan paganisme dan sektarianisme dinyatakan sebagai penyimpangan-penyimpangan. Bahwa agama ini adalah monoteisme murni yang sangat memuji pada Ibrahim dan secara khusus dikembangkan untuk menentang pemujaan terhadap dewa-dewa jahiliyah.[31]
Perkembangan penting memang terjadi di Madinah tetapi al-Qur’an tak memandang Musa dan Isa sebagai milik orang-orang Yahudi dan Kristen semata-mata dan tidak menyatakan bahwa Ibrahim secara langsung dan eksklusif adalah milik kaum muslim. Jika demikian al-Qur’an menghancurkan keseluruhan ide mengenai garis lurus rangkaian para nabi sebagai hanifisme dan ketunggalan dasar agama-agama. Perkembangan penting kedua yang terjadi di Madinah ialah pengakuan terhadap adanya tiga kaum yang masing-masing berdiri sendiri: Yahudi, Kristen dan Muslim. Istilah-istilah Makkah ahzab dan syiya’ (sekte-sekte dan partai-partai) dengan pengertian sebagai kaum-kaum yang terdahulu, tidak dipergunakan lagi di Madinah istilah-istilah tersebut digantikan dengan istilah Ummah atau istilah kolektif dari Ahli-ahli kitab dan setiap ummah diakui mempunyai hukum-hukum sendiri. Al-Qur’an sana sekali tidak berpaling kepada Ibrahim untuk memberikan validitas kepada kaum muslim dengan cara tertentu ia mengakui validitas kaum Yahudi dan Kristen. Walaupun demikian kaum muslimin tetap dipandang sebagai Ummah (kaum) “Ideal” atau yang terbaik (Khair Ummatin), “Ummah penengah” (Ummah Wasat) yang tidak seperti Ummah-ummah yang lain yang suka berpihak adalah turunan Ibrahim yang sesungguhnya. Ummah wasat merupakan konsep yang muncul pada periode Madinah yaitu ketika konsep Ummah sebagai komunitas agamawi sudah semakin berkembang lebih lanjut. Jika pada masa lampau ummah itu menolak utusan-utusan allah, maka pada periode Madinah konsep ummah itu sudah berkembang menjadi lebih eksklusif, lebih sadar akan keistimewaannya untuk mencapai maksud Allah yang universal, yang dikenakan pada orang muslim sebagai ummah yang par excellence.[32] ummat wasath adalah saksi bagaimana dan nabi Muhammad adalah saksi bagi orang muslim. Jadi proses kesaksian itu mengalir dari Allah kepada Muhammad, kepada ummah dan diteruskan kepada seluruh manusia. Disamping nabi Muhammad sebagai pembawa amanat kepada ummah dan diteruskan kepada seluruh manusia, ummah yang percaya itu menghayati amanat dari itu di dalam ketaatannya, dan kemudian mengungkapkannya di dalam kehidupan agamawinya. Sedangkan pada periode Mekkah, konsep ummah yang benar adalah suatu komunitas agamawi yang secara ideal mempunyai kepercayaan yang satu dan sama. Ummah wahidah adalah menunjukkan kepada kemanusiaan sebagai suatu komunitas agamawi secara menyeluruh dan total. QS.11:118, akan tetapi juga menunjuk kepada suatu golongan yang khusus dan dalam hal ini adalah ahl al-kitab.[33]
Istilah ummah identik dengan community, dengan demikian jelas adanya hubungan antara ummah dengan community. Keduanya menunjuk kepada ahl al-kitab yang sudah memecah komunitas agamawi mereka dan telah meninggalkan solidaritas yang dikehendaki Tuhan, menurut R. Bell hal itu berarti they where all originally monotheist in religion, tetapi agaknya ayat itu menunjuk pada seluruh kemanusiaan, bahwa manusia itu sebenarnya satu. Pada periode Mekkah agaknya agama yang dimaksud belum menunjuk pada Islam secara khusus, tetapi masih menunjuk kepada agama secara umum. Sejauh ini Rahman mengemukakan tiga hal: pertama bahwa sebelum sudah ada hubungan diantara orang-orang Arab dengan ahli kitab, khususnya dengan orang-orang Yahudi. Hubungan-hubungan yang luas dan sistematis ini telah berjalan cukup lama sehingga orang-orang Mekkah dapat berkata bahwa mereka dan bapak-bapak mereka telah mengetahui tentang hari kiamat dan al-Qur’an dapat mengatakan kepada mereka bahwa dari kitab Musa mereka telah mengetahui hal-hal yang dimasa sebelumnya tidak diketahui oleh mereka dan bapak-bapak mereka. Kedua secara garis besar orang-orang Makkah menolak agama-agama semit yang terdahulu dan banyak diantara mereka yang mengharap agama baru, nabi baru dan kitab suci baru sehingga dapat mengungguli kedua kaum yang terdahulu; ketiga sejak perkembangan Islam ada orang Yahudi dan Kristen telah mendukung perjuangan nabi Muhammad.[34]

B.     Pandangan Fazlur Rahman Tentang Masyarakat Islam Modern

Tidak dapat diragukan lagi bahwa tujuan utama al-Qur’an adalah menegakkan sebuah tata masyarakat yang adil, berdasarkan etika dapat bertahan di muka bumi ini.[35] baik individu maupun masyarakat merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, tidak ada individu yang hidup tanpa masyarakat. Hubungan antara masyarakat dan anggota-anggotanya bersifat resiprok atau timbal balik. Masyarakat adalah rahim yang melahirkan individu, sebaliknya masyarakat muncul sebagai akibat dari interaksi antara anggota-anggotanya. Masyarakat berfungsi sebagai keseluruhan yang menyatukan dan menstimulasi kreatifitasnya dengan bebas dan bertanggung jawab, sehingga mereka bisa menyumbangkan prestasi pada masyarakat.[36]
Prestasi yang cukup gemilang adalah munculnya modernitas dipermukaan bumi. Perhatian utamanya terpusat pada persoalan kekinian dan kedisinian, modernitas ingin membebaskan manusia dari kegamangan kehidupan, melepaskannya dari segala beban dan dapat merintanginya untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia. Modernitas adalah buah dari gerakan Renaissanse di Eropa pada abad ke-16.[37] Salah satu ciri masyarakat modern yang paling menonjol ialah sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan (progres). Didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Berporos pada rasionalitas mampu menghantarkan manusia pada berbagai prestasi kehidupan yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Paradigma "the idea of progress" (gagasan tentang kemajuan) masih sangat dominan dalam alam pikiran masyarakat modern.
Proyek modernisme yang menekankan individualitas dan rasionalitas empiris diakui telah memacu perkembangan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Namun pada akhirnya individualitas yang beralih menjadi indivudualisme ekstrem telah memacu munculnya rasionalitas instrumental yang cenderung solidaritas kemanusiaan, dan dalam waktu yang sama bersikap destruktif eksploitatif terhadap lingkungan. Keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya sebatas absah secara metodologis, tetapi miskin dari segi moral dan prestasi iptek telah meminggirkan dimensi transendental. Akibatnya masyarakat modern menjadi kehilangan salah satu aspek yang paling fundamental yaitu aspek spiritual.[38]
Islam menekankan perlunya keamanan ontologis (ontologis security) bagi sebuah masyarakat dan peradaban dimana prinsip moral transendental menjadi asas yang utama. Tanpa asas moral yang kukuh jangan diharapkan bahwa keadilan yang menjadi cit-cita abadi umat manusia dapat terwujud. Konsep masyarakat mekanistik (a mechanistic conception of society) tidak memberi peluang kepada kita untuk menjadikan manusia penuh dan bebas.[39] Dengan adanya tata sosial moral ini tentu akan menghilangkan "fasad fi'il ardh" penyelewengan diatas bumi dan melakukan reformasi terhadap dunia. Untuk itulah al-Qur’an menyerukan jihad dan untuk tujuan itu pulalah setiap orang yang berpandangan tajam dan yang pandangannya tidak tertuju kepada dirinya sendiri, memberikan dukungannnya, sekalipun melalui kata-kata belaka. Jihad adalah perjuangan yang bersifat total. Dengan harta benda dan jiwa kalian, seperti yang seringkali dinyatakan dalam al-Qur’an untuk tujuan Allah.
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah, yang demikian adalah baik bagimu jika kamu mengetahui.[40]
Jihad mutlak diperlukan, meskipun sangat disayangkan bahwa propaganda Kristen telah mengaburkan keseluruhan masalah jihad ini dengan mempopulerkan slogan " Islam dikembangkan dengan pedang" atau Islam adalah agama pedang yang dikembangkan dengan pedang bukanlah agama Islam akan tetapi domain politik Islam sehingga Islam dapat menciptakan tata dunia yang di cita-citakan al-Qur’an tersebut.
Dengan adanya reformasi-reformasi sosial yang lebih bersifat spesifik, al-Qur’an bertujuan untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang lemah. Menekankan persamaan manusia yang esensial karena diantara semua mahluk hidup, manusia sajalah yang memiliki keunikan. Kita semua adalah anak-anak Adam sedangkan Adam diciptakan dari debu, bahwa di dalam kegelapan manusia tidak ada perbedaan diantara manusia, dan bahwa perbedaan tersebut hanya ada dalam pandangan Allah berdasarkan takwa. Setiap manusia mempunyai kebebasan atau hak asasi manusia yaitu kebebasan untuk hidup, beragama, mencari nafkah dan memiliki harta kekayaan dan harga diri. Dari keempat kemerdekaan ini harus dilindungi, karena sebuah masyarakat yang bertolak dari pemahaman hak-hak dengan pengertian dibolehkan dan dibebaskan dari hukum pasti akan menemui kehancuran.
Tujuan esensial Al-Qur’an adalah mencegah orang-orang melakukan bencana diatas bumi dengan tenggelam ke dalam cara-cara dekadensi. Melemahnya moral sering dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai sebuah proses yang alamiah. Pembaruan hati nurani sangat diperlukan dalam suatu kaum yang hendak melakukan kewajibannya. Bahkan dalam hal awal mula yang baru harus dilakukan dan generasi yang baru biasanya harus membangun kembali sebuah kebudayaan baru yang bersih. Allah lebih suka membuat awal yang sama sekali yang sama sekali baru dari pada menerima adanya simbiosis diantara kebudayaan yang mengalami keruntuhan tersebut dengan yang kuat. Sehingga komunitas muslim adalah suatu kaum yang ditegakkan diatas sendi-sendi moral iman, islam dan takwa yang dipahami secara padu, utuh dan benar. Ini adalah suatu komunitas yang tidak eksklusif, karena ia berfungsi sebagai komunitas teladan ditengah-tengah arus kehidupan yang penuh dinamika, tantangan dan pilihan-pilihan yang sangat dilematis.[41]
Berbeda dengan konsep ummah yang dikemukakan oleh Ali Syari'ati, menurutnya ummah berasal dari kata 'amm artinya bermaksud dan berniat keras. Pengertian ini terdiri atas tiga arti yakni gerakan, tujuan dan ketepatan hati yang sadar. Pada mulanya kata 'amm mencakup arti kemajuan maka tentunya ia memperlihatkan diri sebagai kata yang terdiri atas empat arti itu: usaha, gerakan, kemajuan dan tujuan. Dia mengatakan bahwa istilah ummah secara prinsip tetap berarti jalan yang terang. Artinya suatu kelompok yang manusia yang menuju ke jalan tertentu. Sedangkan kepemimpinan dan keteladanan, jalan dan tempat yang dilalui, tercakup pula dalam istilah ummah ini.
Menurut Syari'ati, ummah merupakan kumpulan orang-orang yang berpindah. Istilah ini mengandung konsep-konsep; pertama kebersamaan dalam arah dan tujuan, kedua gerakan menuju arah dan tujuan tersebut dan ketiga keharusan adanya pemimpin dan petunjuk kolektif.[42] Dalam pandangan Syari'ati istilah ummah yang dipilihnya memiliki arti gerakan yang dinamis sebagaimana thawaf yaitu gerakan terus menerus, tanpa henti, tanpa simpangan, tanpa regresi dan bergerak pada poros yang tetap. Hal ini terdapat pada ibadah haji yang merupakan petunjuk atau jalan menuju suatu tempat dan berarti hijrah.[43] Dalam bukunya yang berjudul "haji", Syari'ati menganalogikan ummah seperti halnya thawaf, yaitu sebuah persamaan dari seluruh dunia, yang kemudian membentuk sebuah sistem yang berdasarkan ide monoteisme (tauhid) yang mencakup sebuah partikel (manusia) Syari'ati mengatakan bahwa:
Allah adalah pusat eksistensi; dia adalah titik dari dunia fana ini, sebaliknya engkau adalah sebuah partikel yang bergerak dengan mengubah posisimu sebagai manusia seperti yang sekarang kepada posisimu seperti yang seharusnya. Tetapi disetiap posisi itu dan setiap saat diantara engkau dan Ka’bah atau Allah senantiasa ada jarak dan jarak ini tergantung kepada jalan yang telah engkau pilih di dalam sistem ini.
Pada akhirnya Syari’ati berpandangan bahwa ummah adalah manisfestasi dari sekumpulan orang yang individu-individunya merasa ada ikatan darah dalam hidupnya bergabung dibawah kepemimpinan agung dan tertinggi; yang memikul terhadap kemajuan dan kesempurnaan individu dan masyarakatnya, serta meyakini adanya keharusan bahwa yang namanya kehidupan itu bukanlah sekedar eksis melainkan pertama, perjalanan tanpa henti menuju kesempurnaan mutlak dan kesadaran terhadap jati diri yang mutlak.

C.    Unsur-unsur Masyarakat Islam

Unsur-unsur masyarakat Islam dalam pandangan Fazlur Rahman adalah sebagaimana yang termuat dalam prinsip moral dan etika al-Qur’an. Komunitas muslim merupakan suatu tata sosial yang didasarkan pada iman, Islam, dan takwa. Rahman menekankan bahwa prinsip moral merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upaya membangun warisan (legacy) dan masa depan (prospect) Islam, bahkan juga seluruh manusia pada umumnya. Dengan adanya tensi moral dan faktor psikologis itulah yang membangkitkan kerangka pemikiran yang benar untuk segala tindakan. Ketiga istilah tersebut membentuk pondasi etika al-Qur’an dan memberi kan etos yang khas. Tidak ada cara lain yang lebih memadai untuk dapat memahami konsep etika al-Qur’an kecuali dengan cara memahami ketiga istilah tersebut dengan baik.
1.      Iman
Menurut Rahman, akar kata iman, yakni amn memiliki banyak makna. Misalnya “kedamaian”, percaya. A – M- N juga berarti “merasa aman dalam diri seseorang” atau seseorang merasa tidak ada gangguan dalam dirinya. Makna lain menurut Rahman adalah “telah beriman atau percaya” kepada obyek utama kepercayaan, yakni Allah Swt. obyek keimanan yang lain dalam al-Qur’an adalah para nabi, kitab, malaikat an hari penghabisan. Karena iman juga bermakna “merasa damai”, seseorang yang mengakui Tuhan atau tidak memiliki keimanan terhadap-Nya dan terhadap hal-hal lain yang dialami dari keimanan terhadap Tuhan pun tidak mungkin merasa aman, damai, integral, dan lain sebagainya. Jadi iman merupakan aktifitas (fi’il) hati, pergerakan diri seseorang yang tegas kepada Tuhan dan risalahnya, yang karenanya memperoleh kedamaian.[44]
Menurut Rahman ada dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan iman. Pertama, ia secara sederhana bukan hanya tidak sama dengan pengetahuan intelektual atau rasional, tetapi juga bahkan tidak membutuhkan pengetahuan semacam itu, iman bukanlah “simpul” sebagaimana yang dinyatakan oleh para teologi muslim yang mengikat pikiran atau pasak; ia merupakan sesuatu yang nyata dan tidak tergoyahkan, tetapi ia juga memiliki basis nyata dalam pengetahuan itu sama dan diakui bahwa iman bertambah dengan pengetahuan.
“Dapatkah dipersamakan antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang tidak mengetahui? Dapatkah disamakan antara orang yang mati dan orang yang hidup tidak mungkin sama.[45]
Dengan demikian, iman sangat membutuhkan kognisi, kedua iman merupakan masalah hati nurani atau hati dan pikiran, tetapi ia harus bermuara dalam tindakan. Pemisahan iman dan tindakan, bagi al-Qur’an merupakan suatu keadaan yang secara total tidak dapat dipertahankan dan absurd. Sebaliknya, amal baik yang tidak berakar di dalam iman menjadi tidak bermakna, bahkan dalam kenyataan dapat menimbulkan bahaya.   
2.      Islam
Akar kata Islam adalah salama yang berarti “merasa aman, utuh dan integral. Selain itu kata Islam juga bermakna “menyerahkan diri”. Ide moralnya adalah bahwa seorang memperoleh dan melindungi, bahkan mengembangkan kebutuhan dirinya, integritasnya dengan menyerahkan diri kepada Tuhan. Ada dua hal yang amat penting untuk disimak berkaitan dengan istilah Islam; pertama, bahwa Islam integral dengan iman “penyerahan” diri kepada Tuhan dalam karakteristiknya yang hakiki adalah mustahil tanpa iman, keduanya adalah etika keagamaan yang amat penting dalam al-Qur’an. Kedua, makna iman menunjuk kepada kepercayaan, sedangkan makna Islam menunjuk kepada tindakan kalimat pertama yang terdiri dari syahadat, shalat, zakat, puasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji. Islam merupakan eksternalisasi atau konkretisasi iman. Konkritisasi itu tercermin dalam lima ritus yang telah disebutkan diatas, yang kemudian sering disebut dengan rukun Islam. Rukun Islam ini tidak saja mencerminkan kesalehan ritual, tetapi juga kesalehan sosial; bukan saja berdimensi ritus eskatologi, melainkan juga berdimensi moral. Terekspresikannya iman melalui Islam dan kesimpulannya melalui rukun Islam akan meningkatkan tata komunitas yang bermoral atau istilah Rahman, sebagai komunitas muslim.
3.      Takwa
Menurut Rahman konsep etika al-Qur’an yang ketiga merupakan paling sentral. Sebab dalam takwa etika sosial al-Qur’an menunjukkan bentuk konkrit disamping etika ritualnya. Akar kata waqo dalam bahasa Arab bermakna melindungi, menyelamatkan diri dari kehancuran dan menjaga. Pengertian standar kata ini dalam al-Qur’an adalah suatu pengertian moral atau melindungi diri seseorang dari hukum Tuhan, yang dapat berupa disintegrasi dan permusuhan antara bangsa-bangsa hingga penghukuman individu-individu di hari kemudian. Makna takut untuk kata takwa tersebut  adalah takut terhadap tanggung jawab dan juga bermakna “kebajikan”.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan mengenai takwa; pertama, jika iman berkaitan dengan kehidupan batin, Islam terutama berkaitan dengan perilaku lahiriah, maka takwa merupakan totalitas diantara keduanya. Kedua, ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an mendukung pandangan bahwa takwa merupakan suatu dambaan ideal yang harus dituju. Bahkan takwa sebagai pakaian terbaik yang dapat dipakai seseorang dan sebagai bekal terbaik yang dapat digunakan seseorang untuk masa depan.
Sementara itu, fungsi takwa yang paling penting dan mendasar adalah memungkinkan manusia melihat dirinya secara tepat dan membedakan antara yang benar dari yang salah sehingga mencapai pencerahan diri melalui sinar-sinar moral. Akhirnya, iapun akan mampu melindungi dirinya dari perilaku-perilaku destruktif bagi dirinya dan mencapai kesalehannya.
Berbeda dengan unsur-unsur masyarakat Islam yang dikemukakan oleh Syari’ati. Sebagaimana adanya interaksi-interaksi sosial yang terjadi dalam suatu kehidupan. Kehidupan di dunia ini sebagai manifestasi perubahan dan penyempurnaan hubungan antar manusia yang dimulai sejak umat manusia di sepanjang sejarahnya,[46] telah mencapai penyempurnaan dalam kehidupannya dimuka bumi ini dalam berbagai bentuk. Unsur-unsur masyarakat Islam yang paling essensial, menurut Syari’ati adalah adanya kesamaan ideologi dan keyakinan, yang merupakan ikatan paling tinggi dan sakral. Dia menganalogikan sebuah bentuk interaksi dengan ummah dengan istilah ta’ashub, menurut Syari’ati ta’ashub adalah interaksi antara anak-anak manusia dalam bentuknya yang lebih tinggi ketimbang interaksi yang didasarkan atas kesamaan ideologi dan kemiripan dalam keyakinan. Dia menyatakan bahwa:
Saya menyadari bahwa orang yang paling dekat dengan diri saya adalah orang-orang yang mempunyai jalan pikir seperti saya dan memiliki keimanan seperti saya yakini.[47]
Lebih jauh lagi Syari’ati mengatakan bahwa pemikiran dan keimanan yang sama, maka tetap dianggap sebagai suatu yang belum berarti apa-apa. Artinya beliau ada pengaruhnya sedikit pun terhadap kehidupan individu, dan tidak pula bakal memberikan pengaruhnya terhadap kehidupan umat manusia. Dan disaat kesatuan kalbu, keimanan, dan penderitaan tersebut sudah menyatu dengan amal, niscaya ia akan muncul dalam kenyataan, itu sebabnya maka para ulama mendefinisikan iman dengan pengakuan lisan dan pengetahuan dengan anggota tubuh.
Bagi Syari’ati unsur-unsur yang essensial dalam masyarakat Islam adalah ideologi dan budaya tidak hanya mencakup tanggung jawab, keyakinan, keterlibatan dan komitmen. Sehingga melahirkan revolusi dalam sejarah. Karena ideologi-ideologi yang senantiasa memberikan insprirasi, mengarahkan dan mengorganisir pemberontakan-pemberontakan yang menakjubkan perang salib dan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah kemanusiaan.
Menurut Syari’ati, ada tiga tahapan pada sebuah ideologi, tahap pertama adalah cara kita melihat dan menangkap alam semesta, eksistensi dan manusia. Kedua terdiri cara khusus dalam kita memahami dan menilai suatu gagasan atau ide yang membentuk lingkaran sosial dan mental kita. Tahap ketiga menyangkut usulan-usulan, metode-metode, berbagai pendekatan dan keinginan yang kita manfaatkan untuk mengubah status quo yang kita tidak puas. Sehingga memberikan pada pendukungnya pengarahan, tujuan dan cita-cita serta rencana praktis sebagai dasar perubahan dan kemajuan kondisi sosial yang diharapkan.[48] Ideologi dan budaya merupakan jawaban terhadap kelestarian, kesejahteraan umat tidak terusik dan integritas dalam ummah dapat terjaga. Sebab ideologi dan budaya merupakan salah satu wujud persatuan dan persaudaraan sebuah komunitas dalam ummah dibawah panji monotheisme (tauhid).[49]

D.    Ciri-ciri masyarakat Islam

Ide tentang satu tuhan dan satu kemanusiaan yang begitu sentral dalam al-Qur’an telah memberikan keamanan ontologis bagi bangunan sebuah masyarakat dan peradaban yang hendak kita tawarkan. Diatas landasan ontologis yang kuat, maka masyarakat yang hendak dibangun haruslah terbuka, demokratis, toleran dan damai. Keempat ciri utama inilah yang harus dijadikan acuan bagi semua gerakan pembaharuan moral dan pembaruan masyarakat Islam dimuka bumi. Dalam masyarakat ini nilai-nilai pluralis dan nilai-nilai budaya tidak boleh dijadikan penghambat untuk mencapai cita-cita Islam.
  1. Keterbukaan
Keterbukaan berawal sifat al-Qur’an sebagai kitab suci yang terbuka. Ia terbuka untuk diterima maupun ditolak. Islam menerima hakekat pluralisme agama dan budaya. Sikap yang dikembangkan bukan monopoli kebenaran, tetapi sikap sebagai menghargai dan menghormati. Keterbukaan adalah watak dari sebuah perbedaan yang percaya diri. Keterbukaan kepada hal-hal yang sangat baru sebenarnya mengandung dimensi disposisi psikologis, bukan sekedar kelatahan, artinya individu secara sadar menerima sesuatu yang sifatnya baru. Dan siap menerima perubahan sosial, menerima kenyataan akan adanya perubahan yang menyeluruh. Kesadaran bahwa Islam merupakan agama yang terbuka dan karenanya umat Islam harus menjadi golongan yang terbuka, akan melahirkan rasa percaya diri, penuh keyakinan dan mampu bersikap arif dalam menyikapi berbagai perkembangan yang ada. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada, bukan berarti suatu hal yang ditolak, akan tetapi sesuatu yang harus dipelajari dan diambil jika itu memang bermanfaat dengan membuang yang tidak baik. Kalau saja sikap itu dimiliki oleh umat Islam, maka bagi mereka tidak perlu ada keraguan untuk berinteraksi dengan siapapun dimuka bumi.    
  1. Demokratis
Melalui sistem demokrasilah anggota masyarakat dapat mengembangkan potensi dirinya, secara kreatif dan bebas sampai batas-batas yang jauh untuk menjadi manusia penuh. Sistem demokrasi yang diinginkan Islam, nilai-nilai intelektual dan nilai-nilai spiritual harus saling menopang dan saling melengkapi. Demokrasi mesti mempunyai nilai-nilai moral. Demokrasi spiritual menjadi tujuan tertinggi tujuan Islam.
Menjalankan demokrasi sebagai wujud dari mekanisme pengawasan sosial atau kontrol sosial dalam konteks Islam. Sesungguhnya memiliki akar tradisi dan hubungan organik dengan ajaran al-Qur’an itu sendiri. Dengan pengertian tersebut, maka tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak demokrasi.
  1. Toleransi
Tanpa toleransi sosial manusia tidak mungkin hidup aman dan damai. Dalam demokrasi spiritual, tidak ada ruang untuk saling menjegal dan menggunting dalam lipatan, sebab akan menghancurkan prinsip-prinsip moral yang merupakan manifestasi iman dalam kehidupan masyarakat. Kemudian untuk menjadikan umat Islam sebagai komunitas ilmu tidak ada pilihan lain kecuali budaya toleransi internal yang diwujudkan secara mantap sebagai kemestian sejarah.
  1. Damai
Ciri terpenting dari sebuah masyarakat adalah pancaran wajah damai selaras dengan the very root dari perkataan Islam itu yang bermakna damai, sejahtera, selamat. Perdamaian sesungguhnya bukan semata-mata persoalan sosial, dimana perdamaian ini diperlukan untuk mengatasi konflik yang terjadi dan menciptakan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Islam perdamaian merupakan persoalan nuansa teologis yang kental. Perdamaian itu merupakan sebuah kondisi yang harus menjadi kenyataan objektif. Perdamaian pada hakekatnya adalah norma an etika. Perdamaian adalah sebuah nilai yang bersumber pada keesaan dan universalitas Tuhan.[50]
Maksud dari, sistem keyakinan dalam Islam sesungguhnya merupakan sebuah sistem nilai, sebuah manifestasi dari keesaan Tuhan ke dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Menurut Hasan Hanafi ada dua syarat untuk mencapai perdamaian sesungguhnya.[51] pertama, manusia harus mampu menciptakan perdamaian internal atau perdamaian dalam jiwa. Dalam hal ini setiap orang harus menciptakan rasa aman dan rendah hati dengan tunduk kepada kitab suci. Perdamaian dalam jiwa inilah yang nanti dapat memanifestasikan keimanan, kesalehan, kejujuran, ketulusan, kerendah hatian dan kesabaran. Kedua, dengan perdamaian jiwa ini akan tercipta perdamaian eksternal. Perdamaian bukanlah bertujuan meneguhkan kekuatan atau kekuasaan, melainkan untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan kesetaraan.



[21] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al qur’an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1980), hlm.194.
[22] Ibid., hlm.195.
[23] Ibid., hlm. 196.
[24] Ibid., hlm.200.
[25] Depdikbud, op. cit., hlm.564.

[26] Doyle Paul Jonhson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994) hlm.84.

[27] P. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 116.

[28] Soerjono Soekanto, Sosoilogi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1990),hlm.284.

[29] Ali Syari’ati, TIPOLOGI, Terj. Iwan  Nur, (Yogyakarta: PT Grafika Atmajaya,1993), hlm.37.
[30] Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, (Bandung: Mizan,1985), hlm.25.
[31] Ibid., hlm.207.
[32] Djaka Soetapa, Ummah: komunitas Religius, Sosial dan Politis dalam Al qur’an, (Yogyakarta: Mitra Gama, 1991), hlm.38.
[33] Ibid., hlm.34.
[34] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al qur’an, op. cit., hlm.223.
[35] Ibid., hlm.54.
[36] Ahmad Charis Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan, (yogyakarta: LESFI, 2001), hlm.12.
[37] Ahmad Syafi’I Maarif, Membumikan Islam, (Bandung: Pustaka,1993), hlm.94.
[38] Komaruddin Hidayat, Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern, dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Media Cita, 2000), hlm.97-101.
[39] Syafi’I Ma’arif, Membumikan Islam, op.cit.,hlm.64.
[40] Khaldin Al Haramain, Al qur’an dan Terjemahnya, hlm.14 
[41] Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam, op. cit., hlm.101.
[42] Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, Terj. Afif Muhamad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hlm.46-48.
[43] Ibid.,hlm.49.
[44] Tafsir dkk, Moralitas Al qur’an dan Tantangan Modernitas, (yogyakarta: Gama Media,2002), hlm.116-117.
[45] QS: 39.9
[46] Yang Syari’ati maksudkan disini bukan arti istilah, yakni asal adanya hingga sekarang. Sebab sejarah memiliki dua pengertian pertama, sejak munulnya awal kejadian dan yang keduasejak adanya manusia. Dan yang sama maksudnya disini adalah pengertian masa pra sejarah.
[47] Ali Syari’ati, ummah dan Imamah…, op.cit., hlm.81.
[48] Ali Syari’ati, Tugas Cendikiawan Muslim, Terj. Amien  Rais, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.160-161.
[49] Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj.Syafiq Basri dan Haidar Baqir, (Bandung: Mizan,1985), hlm.48.
[50] Ahmad Baidowi, Landasan Teologi Islam bagi Perdamaian, dalam Dialog, edisi I Th. 2003, hlm.46-47.
[51] Hasan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, terj. Ahmad Najib, (yogyakarta: Jendela,2002), hlm.140-145.

a[1] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 1.

[2]  Madrasah ini didirikan oleh Muhammad Qosim Nanotawi pada tahun 1867.

[3]  Hery  Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam, (Jakarta: Hikmah, 2003), hlm. 312.

[4] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernits, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 81.
[5] Fazlur Rahman, Neo Modernisme Islam, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 13.

[6] Fazlur Rahman, Beberapa Pendekatan Dlm Kajian Atas Islam: Suatu Tinjauan Kritis, Ulumul Qur’an, no. 2 (1992), hlm. 34.

[7] Opcit., Islam…, hlm. 84.

[8]  Amin Sukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 122.

[9] Ibid., hlm. 84.

[10] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, hlm.16.

[11] Ibid., hlm. 15.

[12] Ibid., hlm. 17.

[13] Secara umum Harun Nasution membagi Islam menjadi tiga periode yaitu: 1. Periode Klasik (650 – 1250 M), 2. Periode Pertengahan (1250 – 1800 M), 3. Periode Modern (1800 – sekarang). Berbeda dengan pendapat M. Hasbi Amiruddin membagi dialektika perkembangan pembaharuan Islam dalam lima kategori yaitu: 1. Tradisionalis, 2. Revivalis, 3. Modernis, 4. Neo-Revivalis, 5. Neo-Modernis.
[14] Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam,hlm.249
[15] Ahmad Buyan Wahib, "Menyimak Neo-Modernisme Pemikiran Hukum Islam di Indonesia", Dalam Sosio-Religia, Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial, Vol.I, no.1, Nov 2001, hlm. 60-61.
[16] Amin Abdullah, Falsafah Kalam,……..hlm.31
[17] M. Hazbi Amiruddin, Konsep Negara ,…..hlm.4
[18] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Terj. Ahsin Mohammad, (Bandung : Pustaka, 2000), hlm.21.
[19] Ahmad Buyan Wahib, Menyimak Neomodernisme, Sosio-Religia, hlm.60.
[20] Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam, (yogyakarta: Ar Ruzz,2002), hlm.96.
[21] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan,1996), hlm.192.
[22] Jurnal Hikmah, Edisi November – Desember 1988, Fazlur Rahman: Neo Modernisme Islam, hlm. 26.
[23] Fazlur Rahman, Kebangkitan dan Pembaharuan di dalam Islam (…….), hlm. 7.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman tentang Masyarakat Islam Modern"

Post a Comment