Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman tentang Masyarakat Islam Modern
Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman
BAB II
BIOGRAFI FAZLUR
RAHMAN
Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 M.
ditengah-tengah keluarga Malak yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India , kini
merupakan bagian dari Pakistan .[1]
Ayahnya bernama Maulana Sihabuddin ,
Ia adalah lulusan dari perguruan India terkenal
Darul Ulum Doeban.[2] Fazlur
Rahman dibesarkan dikeluarga yang memegang tradisi mazhab Hanafi. Meskipun
dibesarkan dikalangan tradisionalis Madzhab Hanafi, sebuah Madzhab Sunni yang
bercorak Rasionalis. Namun Rahman mampu melepaskan diri dari lingkup pemikiran
sempit di dalam Madzhab Sunni dan mengembangkan pemikirannya secara bebas.
Meskipun
Fazlur Rahman tidak belajar di Darul Ulum, beliau menguasai kurikulum
Darse-Nizami yang ditawarkan dilembaga tersebut dalam kajian privat dengan
ayahnya. Namun ajaran ayahnya yang berakar tradisional itu tampaknya tidak
begitu banyak mempengaruhi Rahman, sehingga Rahman mengembangkan dan
mengartikulasikan secara sistematis sebuah gerakan aligarh kepada modernisme Islam di benua
Indo-Pakistan dalam karya intelektualnya sendiri.
|
Ia melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam
tradisoanal dengan perhatian khusus pada fikih, ilmu kalam, hadits, tafsir,
mantik dan filsafat. Setelah menamatkan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan
ke Punjab University di Lahore, Pakistan .
Dari Institut ini, ia memperoleh gelar master dibidang sastra arab pada tahun
1942 M.[3] Setelah beliau meraih gelar M.A. dan tengah
belajar untuk program Ph.D di Lahore, Al-Maududi mengajak Rahman untuk
bergabung dengan jamaat Islam dan meninggalkan studinya. Akan tetapi Rahman
menolaknya dan tetap pada cita-citanya untuk melanjutkan studi.
Pada
tahun 1946 M, Rahman melanjutkan studinya di Oxford University di Inggris, Ia
mempunyai alasan karena mutu pendidikan Islam di India saat itu sangat rendah,
meskipun bermunculan rasa kecemasan dan kekhawatiran. Apabila mereka belajar
Islam di Barat, secara otomatis mempelajari serta menerapkan metode kritis dan
analitis modern terhadap materi-materi keislaman, mereka akan dikucilkan dalam
masyarakatnya sendiri bahakan akan mengalami penindasan.[4]
Namun keputusan telah diambil, dan Rahman sudah siap menghadapi konsekuensinya.
Akhirnya pada tahun 1951 M. Rahman menyelesaikan disertasinya tentang psikologi
Ibnu Sina dibawah pengawasan Prof. Simon Van Den Bergh. Disertasi itu merupakan
terjemahan, kritikan, dan komentar dari sebuah kitab An-Najt milik
filosofi muslim kenamaan abad ke-7.
Setelah
selesai di Oxford , ia mengajar bahasa Persia dan
filsafat Islam di Universitas Durkham. Rahman meninggalkan Oxford untuk menjadi
asisten Profesor dalam bidang Islamic Studies di Institute of Islamic
Studies, Mc. Gill University, di Monteral Kanada.[5]
Selama belajar belajar di Oxford
University sealain
mengambil dan mengikuti kuliah-kuliah formal, ia giat mempelajari bahasa-bahasa
Barat. Fazlur Rahman menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Francis, Jerman,
disamping bahasa Turki , Persia , Arab sera Urdu.
Penguasaannya terhadap bahasa tersebut pada gilirannya sangat membantu
memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya, khususnya dalam studi-studi
Islam, melalui penelusuran terhadap literatur-literatur keislaman yang ditulis
oleh para orientalis dlm bahasa mereka.[6]
Selain mengajar Rahman juga senantiasa menulis karya, ini berawal dari
permasalahan kurangnya perhatian sarjana-sarjana modern dalam mengkaji
pemikiran keagamaan, terutama masalah doktrin Nabi. Itulah sebabnya karya
Rahman ini bertujuan memfokuskan perhatian pada area pemikiran religio-filosofis
Islam.
B.
Sosial Politik
Setelah beberapa tahun meninggalkan Pakistan dan
berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi. Akhirnya Rahman kembali ke
Pakistan di awal tahun 60-an. Pendidikan formalnya di Barat serta pengalaman
mengajarnya selama bertahun-tahun di sarang orientalisme, ditambah dengan latar
belakang Liberalisme Indo Pakistan, tampaknya telah membuat ia untuk kembali ke
negeri asalnya sebagai seorang sarjana dan pemikir modernis yang bebas dan
sangat radikal.[7] Pada
saat itu pemerintahan Pakistan
dipimpin oleh Jendral Ayyub Khan mulai memperbaharui usahanya pada pembentukan
negara. Dalam pandangan Khan, salah satu unsur untuk membangun kembali semangat
nasionalisme adalah memperkenalkan perubahan politik dan hukum. Perubahan itu
diaharapkan membawa negara kembali kepada Khittahnya, sebagai negara
dengan visi dan ide Islam.
Antusiasme Fazlur Rahman sendiri terhadap keadaan Pakistan bisa
dibuktikan dari kenyataan beliau meninggalkan karir akademisnya yang layak demi
tantangan Pakistan .
Pada tahun 1382 H/1962 M. Rahman diberi jabatan sebagai Direktur Lembaga Riset
Islam[8]
dan sebagai anggota Dewan Penasehat Council of Islamic Ideologi. Akan tetapi
penunjukan Rahman sebagai Direktur Lembaga Riset ini tidak mendapat restu dari
kalangan ulama, karena menurut mereka, jabatan tersebut seharusnya merupakan
hak privilese eksekutif, seorang alim yang terdidik secara tradisional.[9]
Dengan demikian, kedua lembaga pemerintahan Pakistan ini
memang sangat kondusif bagi pengembangan pemikiran keagamaan Rahman. Ia
terlibat secara intens dalam usaha-usaha untuk menafsirkan kembali Islam
guna menjawab tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masa kini. Setiap gagasan
pembaharuan yang dikemukakan oleh Rahman selaku Direktur Lembaga Riset Islam
dan sebagai anggota Dewan Penasehat Idiologi Islam yang mewakili sudut pandang
kalangan tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan .
Kontoversi yang berkepanjangan akhirnya berujung pada
aksi demontrasi massa
yang cukup besar dibeberapa kota
di Pakistan .
Pada tahun 1968 M. yang menyatakan protes terhadap buku Rahman, jadi
kontraversi memang lebih bersifat politis. Sebenarnya, aksi masa diseputar
kontroversi ide ditunjukan untuk menentang Rahman, akan tetapi sebenarnya untuk
menentang Ayyub Khan, presiden Pakistan .
Akhirnya, karena menemukan dirinya tanpa dukungan, Rahman pun mengajukan
pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada tanggal 5
September 1968 yang langsung dikabulkan oleh Ayyub Khan.[10]
Setelah mengundurkan diri dari lembaga tersebut Rahman
masih tetap menempati kedudukan sebagai anggota Dewan Penasehat Idiologi Islam
pemerintahan Pakistan .
Tidak begitu lama akhirnya jabatan inipun dilepaskan pada tahun 1969 M.
atmosfir di dalam lembaga tersebut, yang konservatif dan kadang reaksionis,
tampaknya tidak disenangi Rahman. Ia
memutuskan untuk hijrah ke Chicago, dan sejak tahun 1970 M. menjabat sebagai
guru besar kajian Islam dalam berbagai aspeknya pada Departement of Near Easten
Languages and Civilization, University of Chicago.[11]
Kepindahan Rahman menimbulkan tanda tanya besar. Tampaknya
oposisi dari kalangan tradisionalis dan fundamentalis Pakistan telah
membuatnya berfikir bahwa negeri asalnya itu berlum siap menyediakan milieu
(lingkungan) kebebasan intelektual yang bertanggung jawab. Rahman berpendapat:
“vitalitas kerja
intelektual pada dasarnya bergantung pada milieu kebebasan intelektual,
pemikiran bebas dan pemikuiran merupakan dua patah kata yang sinonim, dan
seseorang tidak dapat berharap bahwa pemikiran akan bisa tetap hidup tanpa
kebebasan…pemikiran Islam, sebagaimana halnya dengan sebuah pemikiran, juga
suatu kebebasan yang menjamin perbedaan pendapat, konfrontasi pandangan, dan
perdebatan antara gagasan tersebut.”[12]
Karena di Barat Rahman telah memperoleh kebebasan
intelektual, maka beliau tidak segan-segan hijrah kesana. Di Chicago selain
memberikan kuliah dan kajian keislaman, Rahman aktif dalam kegiatan
intelektual, seperti memimpin proyek penelitian universitas tersebut, mengikuti
berbagai seminar internasional, memberikan ceramah diberbagai pusat studi terkemuka.
Pada tanggal 26 juli 1988 M. Rahman meninggal dunia di Chicago dalam usia 69
tahun, sebelum meninggal beliau mengalami sakit yang sangat komplek dan
kronis.
C.
Pemikiran Fazlur Rahman Secara
Umum
Pemikiran Fazlur Rahman secara umum terbagi atas dua bagian
yang sangat penting yaitu:
1. Neo-Modernisme
Istilah Neo-modernisme Islam muncul bukan
dengan sendirinya melainkan hasil dari dialektika terhadap gerakan pembaharuan
Islam yang ada sebelumnya.[13] Sedangkan pada tahun 1970 an dalam sebuah
artikel Rahman membagi dialektika perkembangan pembaharuan yang muncul di dunia
Islam dibagi ke dalam empat gerakan yaitu:
a.
Revivalisme Pra-Modernis
Gerakan
ini muncul pada abad ke-XVIII dan XIX di
Arabia , India
dan Afrika, ciri gerakan ini adalah:
a)
Keprihatinan yang mendalam
terhadap degenerasi sosio-moral umat Islam dan usaha untuk mengubahnya.
b)
Himbauan untuk kembali kepada
Islam sejati dan mengenyahkan tahayul-tahayul yang ditanamkan oleh
bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas
mazhab hukum serta berusaha untuk melaksanakan ijtihad.
c)
Himbauan untuk mengenyahkan bentuk
predeterministik (hal bersifat takdir).
d)
Himbauan untuk melakukan
pembaharuan lewat kekuatan bersenjata (jihad).
Yang
menjadi latar belakang kelahiran gerakan ini adalah degenerasi sosial-moral
umat yang jatuh dalam praktek tahayul. Kelemahannya adalah kurangnya
pengetahuan tentang al-Qur’an, serta anti intelektual. Sedangkan tujuan dari
gerakan ini memperbaharui spiritual dan moralitas Islam untuk memurnikannya.
Gerakan ini mengambil jalan tengah dengan cara memperbanyak secara radikal
tradisi yang didasarkan pada sumber-sumber Islam, yakni al-Qur’an dan contoh
kehidupan Nabi Muhammad.[14]
b.
Modern Klasik
Gerakan
ini muncul pada pertengahan abad ke-XIX dan awal abad ke-XX di bawah pengaruh
ide-ide Barat. Yang baru dari gerakan ini adalah perluasannya terhadap isi
ijtihad seperti hubungan antara akal dan wahyu, pembahruan sosial, khususnya
dalam bidang pendidikan dan status wanita, serta pembaharuan politik dan bentuk-bentuk
pemerintahan yang representatif serta konstitusional lantaran
letaknya dengan pemikiran dan masyarakat Barat.
Hakekat gerakan ini didasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah histori
sebagaimana dibedakan dengan “Sunnah Teknis”. Mereka pada umumnya skeptis
terhadap hadits, tetapi skeptisme ini tidak ditopang oleh kritis ilmiah.
c.
Neo-Revivalisme
Dalam gerakan ini mendukung gagasan demokrasi dan
percaya serta mempraktekan bentuk pendidikan Islam yang relatif telah
dimodernisasi. Bahkan gerakan ketiga ini
mendasari dirinya pada basis pemikiran modernis klasik bahwa Islam itu mencakup
segala aspek kehidupan manusia, baik individu maupun kolektif. Gerakan ini bentuk dari reaksi terhadapa
modernisme Islam. Mereka tidak menerima
atau semangat modernisme klasik. Mereka
tidak mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya, selain
berusaha membedakan dan barat.
d.
Neo-Modernisme.
Dibawah pengaruh Neo-revivalisme kemunculan
Neo-modernisme menjadi tantangan bagi Rahman.
Meskipun modernisme klasik telah benar dalam semangatnya, namun ia
memiliki dua kelemahan mendasar yang menyebabkan timbul reaksi dalam bentuk
Neo-revivalisme. Kelemahan pertama adalah tidak menguraikan secara tuntas
metodenya yang secara semi implisit terletak memandang masalah khusus
dan implikasinya dari prinsip-prinsip dasar. Mungkin karena perannya
selaku reformis terhadap terhadap masyarakat muslim sekaligus sebagai kontroversial
apologetik terhadap Barat. Sehingga Rahman tertantang untuk melakukan Interpretasi
yang sistematis menyeluruh terhadap Islam. Kelemahan kedua adalah
masalah-masalah ad.hoc yang dipilihnya merupakan agen-agen westernisasi.
Neo-modernisme harus mengembangkan sikap kritis
terhadap Barat maupun terhadap warisan-warisan kesejarahannya. Harus mengkaji
dunia Barat beserta gagasannya secara obyektif.
Demikian pula halnya dengan dengan gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran
dalam sejarah keagamaannya sendiri. Bila
kedua hal ini tidak dikaji secara objektif, maka keberhasilannya dalam
menghadapi dunia modern merupakan suatu hal yang mustahil bahkan kelangsungan
hidupnya sebagi Muslim pun akan sangat meragukan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa munculnya gerakan Neo-modernisme, yang lebih lengkapnya Fazlur Rahman
menyebutkan dengan istilah Neo-modernisme Islam, tidak lain karena disebabkan
tuntunan zaman yang semakin berkembang namun kurang diantisipasi oleh berbagai
pemikiran keislaman yang mapan secara histori maupun metodologi Keislaman yang komprehensif
dan rasional.
Diantara karakteristik pemikiran Neo-Modernisme yang
dapat disebutkan disini adalah :
1.
Pemikirannya merupakan sintesis
antara tradisionalis dan modernis.
Corak pemikiran Neo-Modernisme
pada dasarnya merupakan bentuk pemikiran yang berupaya untuk menjembatani gap
yang terjadi antara tradisional dan modernis.[15] Jika
kaum tradisional menggaris bawahi perlunya melestarikan tradisi keilmuan Islam
yang telah terbangun secara kokoh sejak berabad yang lalu.[16]
maka kaum modernis menolak semua kemenangan dan otoritas dalam islam
tradisional dengan menganjurkjan mencari jalan penyelesaian terhadap masalah
yang timbil melalui ijtihad baru.[17]
Dari dua kutub pemikiran yang saling bertentangan inilah kemudian
Neo-Modernisme mempunyai pandangan yang cukup moderat. Menurut mereka baik
unsur tradisi maupun modern mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya
memahami ajaran Islam.
Dengan demikian
dalam pandangan seorang Neo-Modernisme tradisi bukanlah suatu yang naif dan
harus ditinggalkan, akan tetapi ia adalah khazanah yang sanagat berharga untuk
berbuat dimasa yang akan datang. Tradisi bukan merupakan suatu yang kolot,
tetapi sebagai pijakan untuk melangkah ke depan. Sedangkan modernitas akan
diterima jika itu adalah positif dan konstruktif. Artinya modernitas bukanlah
sesuatu yang harus ditolak ataupun diterima secara mutlak tetapi diterima
secara selektif.
2.
Tradisi pemikiran keagamaan yang
bersifat kritis, tidak sekedar taken for granted terhadap tradisi
keilmuan Islam yang telah dibangun secara kokoh sejak berabad-abad yang lalu.
Tradisi keilmuan Islam tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan sebagai
produk zaman yang mengitarinya, maka tradisi itu dapat dibahas, dikupas,
dikritik dan dianalisa sehingga tampak mana aspek normatif dan mana aspek
historinya. Tradisi keagamaan apapun, bukan dogma agamanya, dapat saja ditelaah
secara kritis. Jika tradisi tidak boleh dilihat secara kritis-historis, maka
menurut pandangan dalam pemikiran ini, akan terjadi proses yang dalam istilah
Rahman disebut sebagai Intellectual Suicide (bunuh diri intelektual).
3.
Pemikiran yang menekankan substansi ajaran
agama, bagi kaum Neo Modernisme yang lebih utama adalah substansi dari maksud
dan tujuan sebuah peraturan hukum bukan ketentuan legal formalnya. Karenanya
perubahan dan gugatan terhadap bangunan
keagamaan yang telah mapan terkadang menjadi sesuatu keniscayaan demi
tercapainya peraturan hukum yang lebih sesuai dengan dengan tujuan hukum itu.
Jadi yang menjadi sumber hukum Islam, dalam pandangan Neo- Modernisme Rahman
adalah prinsip-prinsip, nilai-nilai atau tujuan moral Al Qur'an, bukan teks
harfiahnya. Bersikeras dalam impelementasi harfiah dari aturan-aturan Al
Qur'an, dan menutup mata terhadap perubahan sosial yang telah terjadi secara
riil didepan mata, sama saja dengan mengabaikan tujuan moral sosialnya.[18]
4.
Pendekatan keagamaan yang
digunakan adalah pendekatan ilmiah kontemporer seperti pendekatan sosiologis,
sejarah dan filsafat. Model pendekatan seperti ini sangat kental sekali dalam
alur pemikiran Neo Modernisme.
5.
Mampu mengembangkan metodologi
yang cukup sistematis dan komprehensif yang dianggap mampu melakukan
rekontruksi Islam secara total dan tuntas serat setia pada akar-akar
spiritualnya dalam menjawab kebutuhan Islam kontemporer.[19]
2. Tentang
Kesejarahan
Nilai kesejarahan merupakan bagian terpenting dlam melakukan
pegkajian Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini Rahman memilki konsepsi
sejarah yang tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan Khaldun. Hukum determinisme sejarah, dengan landasan
ayat-ayat Allah SWT menjadi landasan pemikirannya. Sebagaimana dikutip
Sejarah manusia pada dasarnya terdiri atas suatu
proses pembentukan dan pelurusan masyarakat dan peradaban-peradaban menurut
norma-norma tertentu, yang pada intinya bersifat moralistik. Sumbernya bersifat
transendental, tetapi penerapan sepenuhnya berada dalam eksistensi manusia
secara kolektif. Norma-norma ini disebut
dengan sunatullah (praktek atau hukum
bagi prihal kemanusiaan yang tidak berubah.
Munculnya suatu peradaban dan negara baru bukan
berarti dibangun atas reruntuhan atau tradisi-tradisi peradaban negara
terdahulu, kemudian dimodikfikasi tetapi secara simbolis kehadirannya
benar-benar berdasarkan yang baru. Hidup menuju progres yang berarti. Sedangkan
dalam persoalan pewarisan peradaban-peradaban bagi penggantinya, cenderung
menimbulkan ketegangan antara dua kutub yang bertentangan. Sejarah peradaban
bersifat komulatif dan evolusioner. Menurut Rahman bahwa
gerakan sejarah, berbentuk spiral, walaupun berlingkar pergerakannya, namun
memiliki progresivitas yang berarti dalam menuju ke satu titik kemajuan yang
belum dicapai sebelumnya. Hal ini dialami dan berlangsung bagi setiap peradaban
dunia. Proses ini terkait erat dengan kedinamisan manusianya, sehingga mamapu
melakukan perubahan perubahan kearah kemajuan yang berarti.[20]
Metedologi sejarah dalam metodologi Rahman ini pada dasarnya terdiri atas tiga
langkah utama, yaitu:
Pertama
pendekatan historis untuk menemukan makna teks Al Qur’an dalam bentangan karir
dan perjuangan nabi, kedua pembedaaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan
tujuan Al Qur’an, ketiga pemahaman dan penetapan sasaran al-Qur’an dengan
memperhatikan secara sepenuhnya latar belakang sosiologisnya.[21]
Maksud dari gerakan ganda tersebut adalah gerakan
ganda pertama adalah untuk mengetahui isu histori atau problematika kesejarahannya
dengan menelusuri latar belakang suatu peristiwa dan berbagai macam faktor yang
ada maka gerakan ganda kedua digunakan membawa atau menghubungkan factor-faktor
itu dengan problematika historis terkini untuk dapat dipecahkan dan dicari
jawaban pemecahnnya.
Fazlur Rahman tidak hanya berhenti menjadi seorang
scholar yang memberlakukan Islam sebagai data sejarah, suatu tubuh yang mati,
tetapi menjadikan studi keislamannya secara islami yang memiliki tujuan dan
kretifitas. Rahman tampaknya lebih memposisikan dirinya sebagai pemikir.
Sebagai pemikir ia mempunyai keberanian intelektual yang sangat mencengangkan:
bukan saja ia takut kepada kontroversi, bahkan ia melihat kontroversi
sebagian dari konsekuensi kretifitas
intelektual.
Kontroversi pertama ini terjadi pada masa pemerintahan
Ayyub Khan di Pakistan. Rahman ditunjuk sebagai Direktur Lembaga Riset Islam,
pada tahun 1962 M. dan anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam pada tahun 1963
M. kalau lembaga pertama bertugas menafsirkan Islam dalam istilah-istilah
rasional dan ilmiah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat modern
yang progresif maka yang kedua bertugas meninjau seluruh hukum baik yang telah
ada maupun yang akan dibuat, dengan maksud menyesuaikan dengan al-Qur’an dan
Sunnah, serta mengajukan rekomendasi-rekomendasi pada pemerintah tentang
bagaimana seharusnya kaum muslimin Pakistan menjadi Muslim yang baik.[22]
Isu yang ditangani oleh Rahman menimbulkan kontroversi
dengan kalangan konservatif. Isu-isu itu, seperti yang dibeberkan dalam
artikelnya yang berjudul “Same Islamic Issues in the Ayyub Khan Era 1979 ”.
Meliputi isu Sunnah dan Hadits, KB (keluarga berencana), riba dan bunga bank,
zakat dan penyembelihan binatang secara mekanis dan isu pewahyuan al-Qur’an
yang paling krusial.
Salah satu persoalan penting yang mengusik pikiran
Rahman adalah: bagaimana Islam sebagai warisan keagamaan, budaya, politik, dan
etika berhadapan dengan dunia modern dan dunia yang cepat berubah? Di dunia
Muslim modernitas dianggap sebagai fenomena wajah Janus (Dewa Romawi yang
berwajah ganda yang mampu melihat dua arah yang berlawanan). Ia tentu saja
membawa ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang bermanfaat bagi masyarakat Muslim,
tetapi mempunyai konsekuensi yang luas bagi budaya dan nilai-nilai. Untuk mencegah
akibat-akibat yang fantastik itu ia memulai suatu proyek untuk membangun
kembali dasar-dasar intelektual Islam di zaman modern. Kebangkitan dan
pembaharuan merupakan tema utama dalam skema pemikiran Fazlur Rahman.
Kategori-kategori tajdid (pembaharuan) dan ijtihad (pemikiran
bebas) berperan sebagai unsur kunci di bawah rublik memikirkan kembali Islam (rethinking
Islam). Perhatian utamanya adalah mempersiapkan dasar-dasar bagi pemikiran
ulang itu agar secara bertahap dapat direalisasikan melalui sarana pendidikan.[23]
D.
Karya-Karya Dan Aktivitas Fazlur
Rahman
Berbicara masalah karya secara umum meliputi semua gerak
manusia disegala bidang yang menghasilkan manfaat baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain. Fazlur Rahman dikenal sebagai cendikiawan Muslim yang
produktif dalam berkarya dan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang progresif
sehingga mampu mengalihkan perhatian pada penafsiran kembali Islam sesuai
dengan konteks zaman modern. Sehubungan dengan itu maka terlihatlah
betapabanyak jasa Fazlur Rahman di dalam setiap bidang yang ditekuninya.
Diantaranya adalah:
1.
Bidang Pers
Ketika gencar-gencarnya para ulama membanjiri parwez dengan
fatwa tafsir, dua artikel Rahman tentang Sunnah dan Hadits muncul dalam Islamic
Studies pada maret dan juni 1962, menjelang penunjukannya sebagai Direktur
Lembaga Riset Islam. Rahman menegaskan dan memandang konsep Sunnah Nabi sebagai
suatu konsep pengayom yang dinamis, dan tidak statis, Sunnah Nabi harus
ditafsirkan secara situasional dan diadaptasikan ke dalam situasi dewasa ini.
2.
Bidang Pendidikan
Rahman
adalah seorang sarjana Muslim kaliber dunia. Pada dirinya berkumpul ilmu
seorang alim yang alim dan ilmu seorang orientalis yang beken. Mutu
kesarjanaannya ditandai oleh cara berfikirnya yang analitis, sistematis, komunikatif,
serius, jelas, dan berani dalam mencari pemecahan terhadap masalah Islam dan
umat. Maka selain ia mengajar akademisnya Rahman pun mengajar dibeberapa
Universitas sebagai pengabdian keilmuannya, diantaranya di Durkham University,
Mc. Gill University, Universitas Chicago dan bahkan pernah memberikan kuliah di
Universitas Connecticut di Storrs untuk memberi kuliah tentang sikap Islam
terhadap agama Yahudi.
3.
Bidang Sosial Politik
Sebagaimana
kalangan kaum modernis pada umumnya, Rahman menggariskan bahwa kaum muslimin
harus melakukan penelitian ulang yang jujur terhadap sejarah serta menciptakan
pranata-pranata yang memadai untuk memastikan, (i) Solidaritas dan stabilitas
masyarakat serta negara. (ii) Partisipasi aktif masyrakat yang positif dan
bertanggun jawab dalam pemerintahan dan negara. Rahman tidak senang format
Islam yang berurat akar di masa lampau sehingga menafikan kemungkinannya untuk
tumbuh dan berkembang.
Walaupun
pemikiran beliau kurang diterima di negerinya. Akan tetapi karya-karya beliau sangat
populer. Salah satu diantaranya:
a). Islam, Chicago, University
of Chicago Press, 1979.
Dalam terjemahan (edisi Indonesia :
Islam, Pustaka, Bandung ).
Isi dari buku ini adalah berusaha menyuguhkan perkembangan umum Islam,
buku ini bersifat informatif tetapi bertujuan untuk sejauh mungkin memberikan
penuturan yang kohern (masuk akal) dan bermakna, dan bukan hanya sekedar
penggalan-penggalan deskripsi mengenai fenomena-fenomena perkembangan Islam
yang tampak terpisah-pisah maka tidak boleh tidak ia mesti bersifat interpretatif
dan tidak bersifat informatif.
b). Islam and Modernity: Transformation of an Intelektual Tradition,
Chicago, University
of Chicago Press, 1982.
(edisi Indonesia :
Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, Pustaka, Bandung ).
Karya ini berusaha untuk membangun kembali kesadaran umat Islam akan
tanggung jawab sejarahnya dengan pondassi moral yang kokoh. Pondasi ini
hanyalah diciptakan bila al-Qur’an dipahami secara utuh dan padu. Sehingga
mampu membangunkan umat Islam akan tanggung jawab intelektualnya untuk
membumikan pesan Islam dalam konteks ruang dan waktu. Telaah kritis Rahman
terhadap sejarah intelektual dan pendidikan Islam menurutnya, salah satu
perkembangan paling menentukan sejarah Islam adalah sikap kaum Muslim yang kaku
dan formal terhadap dua sumber pokok pemikiran dan praktek Islam yaitu:
al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Oleh karena
itu mereka harus kembali pada dua sumber Islam itu dan menafsirkan sebagai
jawaban yang harus di generalisasi sebagi prinsip-prinsip moral yang mampu
menjawab kondisi yang selalu berubah.
c). Islamic methodologi in History, Karachi , Iqbal Academy ,1965.
(edisi Indonesia :Membuka
Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung ).
Buku ini berisikan kumpulan artikel-artikel yang Rahman tulis berdasarkan
rencana yang telah disusun dengan tujuan untuk memperlihatkan (a.) evolusi histori dari aplikasi keempat
prinsip pokok pemikiran islam yang merupakan kerangka bagi pemikir islam yaitu:
al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad, Ijma.(b). peran aktual dari prinsip tersebut:
tujuannya adalah menghidupkan kembali hasrat mereka untuk melakukan ijtihad,
satu-satunya pra-syarat untuk memperoleh tempat terhormat bagi umat Muslim
diantara negara-negara yang progresif, dinamis dan hidup di atas dunia.
d). Mayor Themes of The Quran, Chicago, Bibliothica Islamica,1980.
(edisi Indonesia :
Tema pokok al-Qur’an, Pustaka, Bandung ).
Buku ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak yang
memperkenalkan tema-tema pokok al-Qur’an.
Karena penulis - penulis Muslim banyak menerangkan kitab suci ayat demi ayat,
disamping itu untuk membela pada sudut tertentu, penulisan itu sendiri tidak
dapat mengemukakan pandangan al-Qur’an yang kohesif terhadap alam
semesta dan kehidupan. Dengan adanya
buku ini mampu menyajikan bagi (pembaca untuk memperoleh apresiasi yang tepat
mengenai al-Qur’an, perintah Tuhan pada umatnya).
e). The Philosophy of Mulla Shadra, al-Bany, State University Of New
York Press,1975, (edisi Indonesia :
Filsafat Mulla Sadhra, Pustaka, Bandung ).
Merupakan kajian historik Rahman terhadap pemikiran religio filosopis
Shadar al-Syirrazi yang dikenal Mulla Sadra.
f). Prophet in Islam: Philosophy and Ortodoxy, Chicago University
of Chicago
Press, 1979. (edisi Indonesia :
Kenabian di dalam Islam, Pustaka, Bandung ).
Himpunan risalah ini menyoroti suatu kawasan pemikiran religio
filosopis Islam yang jelas terlihat tidak cukup banyak diperhatikan. Oleh
para pengkaji pemikiran muslim, masalah utama dalam pertentangan antara
pemikiran Islam dengan Yunani Tradisional.
Formulasi para filosof muslim dalam pengaruh kebudayaan Yunani, mengenai
doktrin wahyu kenabian suatu masalah yang merupakan inti dogma dan penerimaan
ortodoksi atas doktrin, maka dengan hadirnya karya ini dapat membantu memahami
pengaruh Helenisme dalam pemikiran Islam.
g). Avicenna’s De Anima , New
York , Oxford University Press, 1953.
Merupakan suntingan karya Ibnu Sina dalam kitab al-Nafs yang juga
merupakan bagian dari kitab al -Syifa.
h). Avicenna’s Psychology, New York , Oxford
University Press,1952.
Ini diambil dari kitab al-Najar karya Ibnu Sina. Kitab ini merupakan
ringkasan Ibnu Sina sendiri terhadap karya agungnya yaitu kitab as-Syifa. Hasil
karya berisi tentang kajian-kajian yang mendalam Ibnu Sina.
Dari
karya-karya Rahman yang telah disebutkan di atas menunjukan bahawa Rahman
terlibat secara intens dalam upaya-upaya untuk merumuskan kembali Islam
dalam rangka menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat Muslim
kontemporer. Rahman beranggapan bahwa
Islam dewasa ini tengah menghadapi krisis yang sebagian akarnya terdapat dalam:
Islam sejarah, serta pengaruh barat yang menampilkan dirinya dalam bentuk
tantangan modernitas. Sehingga mampu mendorong Rahman untuk berupaya memberikan
solusi-solusi Islam adalah dorongan keagamaan, rasa tanggung jawabnya terhadap
Islam. Umat dan masa depan mereka
ditengah hiruk-pikuk modernitas dunia dewasa ini.
BAB III
PANDANGAN FAZLUR RAHMAN
TENTANG MASYARAKAT ISLAM MODERN
A.
Latar Belakang Lahirnya
Masyarakat Islam
Rahman mengelaborasikan terbentuknya masyarakat Muslim awal pada zaman
nabi. masyarakat tersebut memang terbentuk nyata setelah nabi hijrah ke
Madinah. Namun gagasan masyarakat Muslim tersebut dan usaha untuk mewujudkannya
telah muncul pada saat nabi di Makkah. Sebagaimana Snouck Hurgranje menulis:
Pada awal
mulanya Muhammad meyakini kepada orang-orang Arab bahwa ia menyampaikan
(risalah) yang sama seperti yang diterima orang-orang Kristen dari Yesus,
orang-orang Yahudi dari Musa, dan lain-lain sebagainya. Dan untuk menentang
orang-orang Arab jahiliyah dengan begitu saja ia menyebutkan “ orang-orang
berilmu…kepada siapa mereka harus bertanya untuk meyakini kebenaran
ajaran-ajarannya di Madinah ia mengalami keleluasaan: “Ahli Kitab” tidak mau
mengakuinya. Oleh karena itu ia mengusahakan otoritas untuk dirinya yang berada
diluar pengendalian mereka, dan sekaligus tidak bertentangan dengan
wahyu-wahyunya yang semula. Ia pun berpaling kepada nabi-nabi di zaman dahulu
karena kaum-kaum para nabi ini tidak dapat membantahnya (kaum-kaum yang tak ada
atau sudah tidak ada, seperti kaum-kaum Ibrahim, Nuh dan lain sebagainya).[21]
|
Pernyataan-pernyataan seperti ini merupakan formula klasik
mengenai kelahiran masyarakat Muslim si Madinah yang merupakan entitas tersendiri
dan terpisah dari masyarakat Yahudi dan Kristen. Teori ini menurut Rahman
mengajak kita untuk menerima bahwa, pertama ketika orang-orang Yahudi dan
Kristen madinah menolak untuk menerima Muhammad sebagai nabi, maka mulailah
beliau menonjolkan Ibrahim yang dikatakannya bukan Yahudi maupun Kristen tetapi
secara eksklusif adalah Islam secara langsung mempunyai hubungan dengan kaum
Muslim; kedua ajaran-ajaran yang disampaikan nabi pada orang-orang sama dengan
ajaran-ajaran yang disampaikan nabi terdahulu.
Dengan adanya landasan teori klasik tersebut memang tidak salah, akan
tetapi menurut pendapat Rahman fakta-fakta tersebut tidak sepenuhnya relevan,
karena dalam pemahaman mengalami distorsi. Al-Qur’an yakin bahwa risalahnya
adalah sama dengan risalah-risalah yang diserukan oleh nabi-nabi zaman dahulu,
tetapi tidaklah benar bahwa risalah-risalah al-Qur’an tertuju pada kaum mereka
masing-masing.[22]
Dan keterangan-keterangan al-Qur’an kita dapat kita dapat mengetahui
bahwa sebelum kedatangan Islam, sebagian penduduk Makkah sangat menginginkan
adanya agama baru seperti Yahudi dan Kristen: walaupun biasanya berkata:
seandainya kita memperoleh peringatan dari zaman dahulu niscaya kita telah
menjadi hamba-hamba allah yang tulus tetapi mereka mengingkarinya (ketika peringatan
itu datang) (Qs.37:168). Keadaan yang seperti ini sebagiannya adalah karena
masuknya ide-ide Yahudi Kristen ke milleu Arab; keadaan ini menunjukkan
adanya demam religius yang dialami oleh individu-individu atau mungkin pula,
oleh kelompok-kelompok tertentu yang lebih banyak memperoleh keterangan.[23]
Walaupun demikian cukup jelas bahwa setidak-tidaknya
diantara penduduk Makkah ada beberapa orang yang menginginkan sebuah agama baru
dan sebuah kitab suci baru, sehingga mereka berbeda dengan kaum-kaum terdahulu
dan bahwa mereka tidak suka menerima kitab-kitab suci yang terdahulu. Ketika
ajaran-ajaran nabi bahwa Allah itu Esa, bahwa orang-orang miskin harus diberi
kesempatan untuk maju, dan ajaran lain mulai mendapat tantangan. Walaupun ada
kesamaan spiritual dengan nabi-nabi zaman dahulu melalui penerimaan wahyu itu,
Muhammad benar-benar yakin mengenai keidentikan setiap risalah yang disampaikan
oleh nabi-nabi.[24]
Kerangka
Teoritik
Masyarakat secara definitif adalah sejumlah manusia
dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap
sama.[25] Sedangkan menurut Agust Comte, masayarakat
adalah sebagai keseluruhan organik yang kenyataannya lebih dari sekedar
sejumlah bagian-bagian yang saling bergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan
ini, metode penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa suatu masyarakat sebagai suatu bagian dari
seperti halnya gejala fisik.[26]
Sebuah masyarakat tidak akan tercipta tanpa ada individu dan sebaliknya.
Manusia tidak dapat hidup dan berkembang sebagai pribadi yang didalam isolasi
atau keterasingan dari masyarakat. Ia menghayati kehidupan dan kebersaman yang
sifatnya komunikatif.[27]
Dengan adanya komunikasi dan kontak sosial sebuah masyarakat akan membentuk
sebuah kebudayaan. Adapun fungsi dari kebudayaan adalah untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor pernah
berkata:
Kebudayaan adalah kompleks
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat
dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapatkan oleh oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Proses modernisasi adalah sebagai usaha masyarakat dalam memenuhi
kebutuhannya, sehingga masyarakat mampu mengatasi dari ketertinggalan budaya (Cultural
Lag). Modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial. Biasanya perubahan
sosial yang terarah (Directed Change) yang didasarkan pada perencanaan.
Modernisasi sebuah proses yang harus dihadapi oleh masyarakat.[28]
Suatu masyarakat dinamakan primitif karena mereka statis kurang gerak, kurang
pertumbuhan dan kreatifitas. Bahkan suatu masyarakat primitif tetaplah primitif
kalau mereka menetap ditanahnya sendiri. Ali Syari’ati berpandangan bahwa suatu
bangsa akan menjadi beradab dan akan menciptakan sebuah kebudayaan yang lebih
tinggi apabila berpindah dari tanah tempat tinggalnya.[29]
Setiap zaman pada hakekatnya selalu disebut modern,
maju dan mundurnya suatu jaman kadang sulit dibuat batasannya yang pasti.
Munculnya istilah kemodernan membawa kita pada sebuah keadaan yang serba baru
dan memiliki karakteristik kekinian. Istilah modernisasi kadang dikacaukan
dengan istilah liberalisasi. Modernisasi adalah rasionalisasi bukan
westernisasi, yaitu adanya sebuah proses adanya proses perubahan pola piker dan
tata kerja yang lam yang tidak rasional menjadi pola berpikir dan tata kerja
yang baru yang rasional. Kegunaannya adalah untuk memperoleh daya guna dan
efisiensi yang maksimal.
Setiap zaman pada hakekatnya selalu disebut modern,
maju dan mundurnya suatu zaman kadang sulit dibuat batasannya yang pasti. Istilah modernisasi kadang dikacaukan dengan
istilah liberalisme. Modernisasi adalah
rasionalisasi bukan westernisasi, adanya sebuah proses perubahan pola berpikir
dan tata kerja yang lama yang tidak rasional menjadi pola berpikir dan tata
kerja yang baru yang rasional. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan
efisiensi yang maksimal.
Berbeda dengan Ali Syari’ati beliau mengkritik orang
yang hanya meniru kebudayaan Barat tanpa kemampuan kritis sehingga menjadi
budak konsumsi dari industri Eropa, manusia-manusia yang kehilangan latar
belakang, terasing dari sejarah dan agamanya, asing terhadap apa yang telah
dibangun oleh bangsanya, sejarah dan nenek moyangnya di dunia ini.[30]
Adanya kelatahan umat dan keterpanaan terhadap keberhasilan materi dunia Barat.
Peniruan model hidup Barat secara individual maupun sosial oleh kaum muslimin
merupakan bahaya besar. Penyakit kultural ini berawal dari rasa frustasi kaum
muslim yang melihat kekuatan dan kemajuan material Barat dan mengemukakan
dengan kontrasnya terhadap masyarakat Islam sendiri. Sehingga banyak kaum
muslim berkesimpulan bahwa sistem sosial dan ekonomi islam tidak dapat
mengikuti tuntutan kemajuan. Oleh karenanya harus disesuaikan dengan
garis-garis Barat. Mereka menunjukan bahwa ajaran-ajaran ulama pada zaman itu
merupakan rintangan bagi kemajuan dan cita-cita. Dengan demikian peradaban
barat muncul sebagai satu-satunya solusi dari bencana degradasi Islam.
Tantangan moderniatas yang muncul menurut Rahman
hanyalah mungkin terjawab bila umat Islam tidak dipasung oleh parokialisme
dalam memahami ajaran Islam. Islam bukanlah ajaran yang berorientasi ke masa
lampau akan tetapi ajaran yang mampu mengantisipasi masa depan. Apa yang tidak
diterima oleh Islam adalah mengidentikan sesuatu dengan yang modern sebagai
sesuatu yang Barat, karena modernisasi tidak sama dengan westernisasi. Antara
Islam dan modernitas bukanlah suatu hal yang perlu dipertentangkan, karena
Islam sendiri merupakan agama yang modern.
Nilai-nilai kemodernan yang ada sekarang ini jelas,
semuanya terkandung dalam ajaran Islam, karena Islam bukanlah agama yang
beerorintasi kemasa lampau akan tetapi ajaran yang mampu mengantisipasi masa
depan. Hubungan Islam dengan indikator-indikator kemodernan dapat ditunjukan
sebagai berikut: Islam mengajarkan bekerja keras, menghargai waktu, Islam
mengajarkan ekspertise, butuhnya pendidikan dan Islam mengajarkan sebuah
demokrasi yang utuh.
Modernisasi membawa konsekuensi terhadap terjadinya social
displacement. Ada
masyarakat yang mampu beradaptasi dengan kehidupan yang berubah dengan cepat
dan ada pula yang tertinggal di belakang. Bagi masyarakat yang tertinggal
dibelakang akan mengalami proses social displacement yang pada akhirnya dapat
menciptakan frustasi dan keputusasaan yang sangat tinggi. Disinilah
Islam sebagai alternatif dari apa yang terdapat di dunia Barat yang menganggap
benda dan teknologi merupakan tujuan, bukan merupakan alat semata. Sehingga
masyarakat Islam tidak lupa daratan seperti yang terdapat di Barat, yang
mengakibatkan disorientasi dalam segala aspek kehidupan bangsa.
Pengamat
sejarah memandang Islam sebagai suatu masyarakat yang semi mati yang menerima
pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh – pengaruh formatif dari
Barat. Kegoyahan ini timbul akibat
kesalahan-kesalahan dan penyerahan politis menjadikan kaum muslimin secara
psikologis kurang mampu untuk secara konstruktif memikirkan kembali warisannya
dan menjawab tantangan intelektualnya dari pemikiran modern. Fazlur rahman memberikan pandangan bahwa
tantangan sebenarnya yang dihadapi oleh masyarakat Islam adalah dalam bidang
lembaga-lembaga dan etika-etika sosial.
Perlu adanya suatu sistem sosial yang sekarang perlu dimodifikasi dan
disesuaikan.
Setiap kitab suci bersumber dan merupakan sebagian dari sumber tunggal atau
pola dasar yang disebut “ibu semua kitab” dan “kitab yang tersembunyi”, oleh
karena itu manusia harus mempercayai al-Qur’an, kebenaran sebuah kitab suci
tidak menjadi berkurang karena diwahyukan di dalam suatu bahasa yang tertentu.
Jika Allah itu Esa dan risalahnya juga Esa serta pada dasarnya tidak
dapat dipecah-pecah, maka umat manusia menjadi satu kaum. Karena diantara para
penganut agama-agama terdahulu itu ada yang membenarkan misinya maka Muhammad
ingin mempersatukan agama-agama tersebut ke dalam sebuah masyarakat, menurut
ajaran-ajaran dan persyaratan-persyaratannya, tetapi begitu bertambah luas
pengetahuannya mengenai perbedaan diantara agama-agama dan sekte-sekte
tersebut, lambat laun iapun segera menyadari bahwa persatuan itu tak mungkin
digalang.
Ide nabi Muhammad untuk menegakkan masyarakat seagama tidak tercetus di
Madinah, tetapi sebenarnya sudah ada ketika di Makkah. Saat muhammad
benar-benar yakin bahwa ia memiliki kedudukan yang sama seperti nabi-nabi di
zaman dahulu, bahwa orang-orang Arab jahiliyah yang menyembah berhala itu
berada dalam kesesatan, maka oleh al-Qur’an ia dijuluki sebagai seorang yang
hanif, monoteisme sejati dan agamanya dinyatakan sebagai “ajaran lurus”,
sedangkan paganisme dan sektarianisme dinyatakan sebagai penyimpangan-penyimpangan.
Bahwa agama ini adalah monoteisme murni yang sangat memuji pada Ibrahim dan
secara khusus dikembangkan untuk menentang pemujaan terhadap dewa-dewa
jahiliyah.[31]
Perkembangan penting memang terjadi di Madinah tetapi al-Qur’an tak
memandang Musa dan Isa sebagai milik orang-orang Yahudi dan Kristen semata-mata
dan tidak menyatakan bahwa Ibrahim secara langsung dan eksklusif adalah milik
kaum muslim. Jika demikian al-Qur’an menghancurkan keseluruhan ide mengenai
garis lurus rangkaian para nabi sebagai hanifisme dan ketunggalan dasar
agama-agama. Perkembangan penting kedua yang terjadi di Madinah ialah pengakuan
terhadap adanya tiga kaum yang masing-masing berdiri sendiri: Yahudi, Kristen
dan Muslim. Istilah-istilah Makkah ahzab dan syiya’ (sekte-sekte
dan partai-partai) dengan pengertian sebagai kaum-kaum yang terdahulu, tidak
dipergunakan lagi di Madinah istilah-istilah tersebut digantikan dengan istilah
Ummah atau istilah kolektif dari Ahli-ahli kitab dan setiap ummah
diakui mempunyai hukum-hukum sendiri. Al-Qur’an sana sekali tidak berpaling kepada Ibrahim
untuk memberikan validitas kepada kaum muslim dengan cara tertentu ia mengakui
validitas kaum Yahudi dan Kristen. Walaupun demikian kaum muslimin tetap
dipandang sebagai Ummah (kaum) “Ideal” atau yang terbaik (Khair
Ummatin), “Ummah penengah” (Ummah Wasat) yang tidak seperti Ummah-ummah
yang lain yang suka berpihak adalah turunan Ibrahim yang sesungguhnya. Ummah
wasat merupakan konsep yang muncul pada periode Madinah yaitu ketika
konsep Ummah sebagai komunitas agamawi sudah semakin berkembang lebih
lanjut. Jika pada masa lampau ummah itu menolak utusan-utusan allah,
maka pada periode Madinah konsep ummah itu sudah berkembang menjadi
lebih eksklusif, lebih sadar akan keistimewaannya untuk mencapai maksud Allah
yang universal, yang dikenakan pada orang muslim sebagai ummah yang par
excellence.[32] ummat
wasath adalah saksi bagaimana dan nabi Muhammad adalah saksi bagi orang
muslim. Jadi proses kesaksian itu mengalir dari Allah kepada Muhammad, kepada ummah
dan diteruskan kepada seluruh manusia. Disamping nabi Muhammad sebagai pembawa
amanat kepada ummah dan diteruskan kepada seluruh manusia, ummah
yang percaya itu menghayati amanat dari itu di dalam ketaatannya, dan kemudian
mengungkapkannya di dalam kehidupan agamawinya. Sedangkan pada periode Mekkah,
konsep ummah yang benar adalah suatu komunitas agamawi yang secara ideal
mempunyai kepercayaan yang satu dan sama. Ummah wahidah adalah
menunjukkan kepada kemanusiaan sebagai suatu komunitas agamawi secara
menyeluruh dan total. QS.11:118, akan tetapi juga menunjuk kepada suatu
golongan yang khusus dan dalam hal ini adalah ahl al-kitab.[33]
Istilah ummah identik dengan community, dengan demikian
jelas adanya hubungan antara ummah dengan community. Keduanya
menunjuk kepada ahl al-kitab yang sudah memecah komunitas agamawi mereka
dan telah meninggalkan solidaritas yang dikehendaki Tuhan, menurut R. Bell hal
itu berarti they where all originally monotheist in religion, tetapi
agaknya ayat itu menunjuk pada seluruh kemanusiaan, bahwa manusia itu
sebenarnya satu. Pada periode Mekkah agaknya agama yang dimaksud belum menunjuk
pada Islam secara khusus, tetapi masih menunjuk kepada agama secara umum.
Sejauh ini Rahman mengemukakan tiga hal: pertama bahwa sebelum sudah ada
hubungan diantara orang-orang Arab dengan ahli kitab, khususnya dengan
orang-orang Yahudi. Hubungan-hubungan yang luas dan sistematis ini telah
berjalan cukup lama sehingga orang-orang Mekkah dapat berkata bahwa mereka dan
bapak-bapak mereka telah mengetahui tentang hari kiamat dan al-Qur’an dapat
mengatakan kepada mereka bahwa dari kitab Musa mereka telah mengetahui hal-hal
yang dimasa sebelumnya tidak diketahui oleh mereka dan bapak-bapak mereka. Kedua
secara garis besar orang-orang Makkah menolak agama-agama semit yang terdahulu
dan banyak diantara mereka yang mengharap agama baru, nabi baru dan kitab suci
baru sehingga dapat mengungguli kedua kaum yang terdahulu; ketiga sejak
perkembangan Islam ada orang Yahudi dan Kristen telah mendukung perjuangan nabi
Muhammad.[34]
B.
Pandangan Fazlur Rahman Tentang
Masyarakat Islam Modern
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tujuan utama al-Qur’an adalah menegakkan
sebuah tata masyarakat yang adil, berdasarkan etika dapat bertahan di muka bumi
ini.[35]
baik individu maupun masyarakat merupakan suatu hal yang tidak dapat
dipisahkan, tidak ada individu yang hidup tanpa masyarakat. Hubungan antara
masyarakat dan anggota-anggotanya bersifat resiprok atau timbal balik.
Masyarakat adalah rahim yang melahirkan individu, sebaliknya masyarakat muncul
sebagai akibat dari interaksi antara anggota-anggotanya. Masyarakat berfungsi
sebagai keseluruhan yang menyatukan dan menstimulasi kreatifitasnya dengan
bebas dan bertanggung jawab, sehingga mereka bisa menyumbangkan prestasi pada
masyarakat.[36]
Prestasi yang cukup gemilang adalah munculnya modernitas dipermukaan
bumi. Perhatian utamanya terpusat pada persoalan kekinian dan kedisinian,
modernitas ingin membebaskan manusia dari kegamangan kehidupan, melepaskannya
dari segala beban dan dapat merintanginya untuk meraih kebahagiaan hidup di
dunia. Modernitas adalah buah dari gerakan Renaissanse di Eropa pada
abad ke-16.[37] Salah
satu ciri masyarakat modern yang paling menonjol ialah sikapnya yang sangat
agresif terhadap kemajuan (progres). Didorong oleh berbagai prestasi
yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat modern berusaha
mematahkan mitos kesakralan alam raya. Berporos pada rasionalitas mampu
menghantarkan manusia pada berbagai prestasi kehidupan yang belum pernah
dicapai sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Paradigma "the idea of
progress" (gagasan tentang kemajuan) masih sangat dominan dalam alam
pikiran masyarakat modern.
Proyek modernisme yang menekankan individualitas dan rasionalitas empiris
diakui telah memacu perkembangan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.
Namun pada akhirnya individualitas yang beralih menjadi indivudualisme ekstrem
telah memacu munculnya rasionalitas instrumental yang cenderung solidaritas
kemanusiaan, dan dalam waktu yang sama bersikap destruktif eksploitatif
terhadap lingkungan. Keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya sebatas
absah secara metodologis, tetapi miskin dari segi moral dan prestasi iptek
telah meminggirkan dimensi transendental. Akibatnya masyarakat modern
menjadi kehilangan salah satu aspek yang paling fundamental yaitu aspek
spiritual.[38]
Islam menekankan perlunya keamanan ontologis (ontologis security)
bagi sebuah masyarakat dan peradaban dimana prinsip moral transendental
menjadi asas yang utama. Tanpa asas moral yang kukuh jangan diharapkan bahwa
keadilan yang menjadi cit-cita abadi umat manusia dapat terwujud. Konsep
masyarakat mekanistik (a mechanistic conception of society) tidak
memberi peluang kepada kita untuk menjadikan manusia penuh dan bebas.[39]
Dengan adanya tata sosial moral ini tentu akan menghilangkan "fasad
fi'il ardh" penyelewengan diatas bumi dan melakukan reformasi terhadap
dunia. Untuk itulah al-Qur’an menyerukan jihad dan untuk tujuan itu pulalah
setiap orang yang berpandangan tajam dan yang pandangannya tidak tertuju kepada
dirinya sendiri, memberikan dukungannnya, sekalipun melalui kata-kata belaka.
Jihad adalah perjuangan yang bersifat total. Dengan harta benda dan jiwa
kalian, seperti yang seringkali dinyatakan dalam al-Qur’an untuk tujuan Allah.
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat,
dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah, yang demikian adalah
baik bagimu jika kamu mengetahui.[40]
Jihad mutlak diperlukan, meskipun sangat disayangkan bahwa propaganda
Kristen telah mengaburkan keseluruhan masalah jihad ini dengan mempopulerkan
slogan " Islam dikembangkan dengan pedang" atau Islam adalah agama
pedang yang dikembangkan dengan pedang bukanlah agama Islam akan tetapi domain
politik Islam sehingga Islam dapat menciptakan tata dunia yang di cita-citakan
al-Qur’an tersebut.
Dengan adanya reformasi-reformasi sosial yang lebih bersifat spesifik,
al-Qur’an bertujuan untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang lemah. Menekankan
persamaan manusia yang esensial karena diantara semua mahluk hidup, manusia
sajalah yang memiliki keunikan. Kita semua adalah anak-anak Adam sedangkan Adam
diciptakan dari debu, bahwa di dalam kegelapan manusia tidak ada perbedaan
diantara manusia, dan bahwa perbedaan tersebut hanya ada dalam pandangan Allah
berdasarkan takwa. Setiap manusia mempunyai kebebasan atau hak asasi manusia
yaitu kebebasan untuk hidup, beragama, mencari nafkah dan memiliki harta
kekayaan dan harga diri. Dari keempat kemerdekaan ini harus dilindungi, karena
sebuah masyarakat yang bertolak dari pemahaman hak-hak dengan pengertian
dibolehkan dan dibebaskan dari hukum pasti akan menemui kehancuran.
Tujuan esensial Al-Qur’an adalah mencegah orang-orang melakukan bencana
diatas bumi dengan tenggelam ke dalam cara-cara dekadensi. Melemahnya moral
sering dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai sebuah proses yang alamiah. Pembaruan
hati nurani sangat diperlukan dalam suatu kaum yang hendak melakukan
kewajibannya. Bahkan dalam hal awal mula yang baru harus dilakukan dan generasi
yang baru biasanya harus membangun kembali sebuah kebudayaan baru yang bersih.
Allah lebih suka membuat awal yang sama sekali yang sama sekali baru dari pada
menerima adanya simbiosis diantara kebudayaan yang mengalami keruntuhan
tersebut dengan yang kuat. Sehingga komunitas muslim adalah suatu kaum yang
ditegakkan diatas sendi-sendi moral iman, islam dan takwa yang dipahami secara
padu, utuh dan benar. Ini adalah suatu komunitas yang tidak eksklusif, karena
ia berfungsi sebagai komunitas teladan ditengah-tengah arus kehidupan yang
penuh dinamika, tantangan dan pilihan-pilihan yang sangat dilematis.[41]
Berbeda dengan konsep ummah yang dikemukakan oleh Ali Syari'ati,
menurutnya ummah berasal dari kata 'amm artinya bermaksud dan
berniat keras. Pengertian ini terdiri atas tiga arti yakni gerakan, tujuan dan
ketepatan hati yang sadar. Pada mulanya kata 'amm mencakup arti kemajuan
maka tentunya ia memperlihatkan diri sebagai kata yang terdiri atas empat arti
itu: usaha, gerakan, kemajuan dan tujuan. Dia mengatakan bahwa istilah ummah
secara prinsip tetap berarti jalan yang terang. Artinya suatu kelompok yang
manusia yang menuju ke jalan tertentu. Sedangkan kepemimpinan dan keteladanan,
jalan dan tempat yang dilalui, tercakup pula dalam istilah ummah ini.
Menurut Syari'ati, ummah merupakan kumpulan orang-orang yang
berpindah. Istilah ini mengandung konsep-konsep; pertama kebersamaan dalam arah
dan tujuan, kedua gerakan menuju arah dan tujuan tersebut dan ketiga keharusan
adanya pemimpin dan petunjuk kolektif.[42]
Dalam pandangan Syari'ati istilah ummah yang dipilihnya memiliki arti
gerakan yang dinamis sebagaimana thawaf yaitu gerakan terus menerus, tanpa
henti, tanpa simpangan, tanpa regresi dan bergerak pada poros yang tetap. Hal
ini terdapat pada ibadah haji yang merupakan petunjuk atau jalan menuju suatu
tempat dan berarti hijrah.[43]
Dalam bukunya yang berjudul "haji", Syari'ati menganalogikan ummah
seperti halnya thawaf, yaitu sebuah persamaan dari seluruh dunia, yang
kemudian membentuk sebuah sistem yang berdasarkan ide monoteisme (tauhid) yang
mencakup sebuah partikel (manusia) Syari'ati mengatakan bahwa:
Allah adalah pusat eksistensi; dia adalah titik dari dunia fana ini,
sebaliknya engkau adalah sebuah partikel yang bergerak dengan mengubah posisimu
sebagai manusia seperti yang sekarang kepada posisimu seperti yang seharusnya.
Tetapi disetiap posisi itu dan setiap saat diantara engkau dan Ka’bah atau
Allah senantiasa ada jarak dan jarak ini tergantung kepada jalan yang telah
engkau pilih di dalam sistem ini.
Pada akhirnya Syari’ati berpandangan bahwa ummah adalah
manisfestasi dari sekumpulan orang yang individu-individunya merasa ada ikatan
darah dalam hidupnya bergabung dibawah kepemimpinan agung dan tertinggi; yang
memikul terhadap kemajuan dan kesempurnaan individu dan masyarakatnya, serta
meyakini adanya keharusan bahwa yang namanya kehidupan itu bukanlah sekedar
eksis melainkan pertama, perjalanan tanpa henti menuju kesempurnaan mutlak dan
kesadaran terhadap jati diri yang mutlak.
C.
Unsur-unsur Masyarakat Islam
Unsur-unsur masyarakat Islam dalam pandangan Fazlur Rahman adalah
sebagaimana yang termuat dalam prinsip moral dan etika al-Qur’an. Komunitas
muslim merupakan suatu tata sosial yang didasarkan pada iman, Islam, dan takwa.
Rahman menekankan bahwa prinsip moral merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari upaya membangun warisan (legacy) dan masa depan (prospect) Islam, bahkan
juga seluruh manusia pada umumnya. Dengan adanya tensi moral dan faktor
psikologis itulah yang membangkitkan kerangka pemikiran yang benar untuk segala
tindakan. Ketiga istilah tersebut membentuk pondasi etika al-Qur’an dan memberi
kan etos yang
khas. Tidak ada cara lain yang lebih memadai untuk dapat memahami konsep etika
al-Qur’an kecuali dengan cara memahami ketiga istilah tersebut dengan baik.
1.
Iman
Menurut Rahman, akar kata iman, yakni amn memiliki banyak makna.
Misalnya “kedamaian”, percaya. A – M- N juga berarti “merasa aman dalam diri
seseorang” atau seseorang merasa tidak ada gangguan dalam dirinya. Makna lain
menurut Rahman adalah “telah beriman atau percaya” kepada obyek utama
kepercayaan, yakni Allah Swt. obyek keimanan yang lain dalam al-Qur’an adalah
para nabi, kitab, malaikat an hari penghabisan. Karena iman juga bermakna
“merasa damai”, seseorang yang mengakui Tuhan atau tidak memiliki keimanan
terhadap-Nya dan terhadap hal-hal lain yang dialami dari keimanan terhadap
Tuhan pun tidak mungkin merasa aman, damai, integral, dan lain sebagainya. Jadi
iman merupakan aktifitas (fi’il) hati, pergerakan diri seseorang yang tegas
kepada Tuhan dan risalahnya, yang karenanya memperoleh kedamaian.[44]
Menurut Rahman ada dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
iman. Pertama, ia secara sederhana bukan hanya tidak sama dengan pengetahuan
intelektual atau rasional, tetapi juga bahkan tidak membutuhkan pengetahuan
semacam itu, iman bukanlah “simpul” sebagaimana yang dinyatakan oleh para
teologi muslim yang mengikat pikiran atau pasak; ia merupakan sesuatu yang
nyata dan tidak tergoyahkan, tetapi ia juga memiliki basis nyata dalam
pengetahuan itu sama dan diakui bahwa iman bertambah dengan pengetahuan.
“Dapatkah dipersamakan antara orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang tidak mengetahui? Dapatkah disamakan antara orang yang mati dan
orang yang hidup tidak mungkin sama.[45]
Dengan demikian, iman sangat membutuhkan kognisi, kedua iman merupakan
masalah hati nurani atau hati dan pikiran, tetapi ia harus bermuara dalam
tindakan. Pemisahan iman dan tindakan, bagi al-Qur’an merupakan suatu keadaan
yang secara total tidak dapat dipertahankan dan absurd. Sebaliknya, amal
baik yang tidak berakar di dalam iman menjadi tidak bermakna, bahkan dalam
kenyataan dapat menimbulkan bahaya.
2.
Islam
Akar kata Islam adalah salama yang berarti “merasa aman, utuh dan
integral. Selain itu kata Islam juga bermakna “menyerahkan diri”. Ide moralnya
adalah bahwa seorang memperoleh dan melindungi, bahkan mengembangkan kebutuhan
dirinya, integritasnya dengan menyerahkan diri kepada Tuhan. Ada dua hal yang
amat penting untuk disimak berkaitan dengan istilah Islam; pertama, bahwa Islam
integral dengan iman “penyerahan” diri kepada Tuhan dalam karakteristiknya yang
hakiki adalah mustahil tanpa iman, keduanya adalah etika keagamaan yang amat penting
dalam al-Qur’an. Kedua, makna iman menunjuk kepada kepercayaan, sedangkan makna
Islam menunjuk kepada tindakan kalimat pertama yang terdiri dari syahadat,
shalat, zakat, puasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji. Islam merupakan eksternalisasi
atau konkretisasi iman. Konkritisasi itu tercermin dalam lima ritus yang telah
disebutkan diatas, yang kemudian sering disebut dengan rukun Islam. Rukun Islam
ini tidak saja mencerminkan kesalehan ritual, tetapi juga kesalehan sosial;
bukan saja berdimensi ritus eskatologi, melainkan juga berdimensi moral.
Terekspresikannya iman melalui Islam dan kesimpulannya melalui rukun Islam akan
meningkatkan tata komunitas yang bermoral atau istilah Rahman, sebagai
komunitas muslim.
3.
Takwa
Menurut Rahman konsep etika al-Qur’an yang ketiga merupakan paling
sentral. Sebab dalam takwa etika sosial al-Qur’an menunjukkan bentuk konkrit
disamping etika ritualnya. Akar kata waqo dalam bahasa Arab bermakna
melindungi, menyelamatkan diri dari kehancuran dan menjaga. Pengertian standar
kata ini dalam al-Qur’an adalah suatu pengertian moral atau melindungi diri
seseorang dari hukum Tuhan, yang dapat berupa disintegrasi dan
permusuhan antara bangsa-bangsa hingga penghukuman individu-individu di hari
kemudian. Makna takut untuk kata takwa tersebut
adalah takut terhadap tanggung jawab dan juga bermakna “kebajikan”.
Sementara itu, fungsi takwa yang paling penting dan mendasar adalah
memungkinkan manusia melihat dirinya secara tepat dan membedakan antara yang
benar dari yang salah sehingga mencapai pencerahan diri melalui sinar-sinar
moral. Akhirnya, iapun akan mampu melindungi dirinya dari perilaku-perilaku
destruktif bagi dirinya dan mencapai kesalehannya.
Berbeda dengan unsur-unsur masyarakat Islam yang dikemukakan oleh
Syari’ati. Sebagaimana adanya interaksi-interaksi sosial yang terjadi dalam
suatu kehidupan. Kehidupan di dunia ini sebagai manifestasi perubahan dan
penyempurnaan hubungan antar manusia yang dimulai sejak umat manusia di
sepanjang sejarahnya,[46]
telah mencapai penyempurnaan dalam kehidupannya dimuka bumi ini dalam berbagai
bentuk. Unsur-unsur masyarakat Islam yang paling essensial, menurut Syari’ati
adalah adanya kesamaan ideologi dan keyakinan, yang merupakan ikatan paling
tinggi dan sakral. Dia menganalogikan sebuah bentuk interaksi dengan ummah
dengan istilah ta’ashub, menurut Syari’ati ta’ashub adalah interaksi antara
anak-anak manusia dalam bentuknya yang lebih tinggi ketimbang interaksi yang
didasarkan atas kesamaan ideologi dan kemiripan dalam keyakinan. Dia menyatakan
bahwa:
Saya menyadari bahwa orang yang paling dekat dengan diri saya adalah
orang-orang yang mempunyai jalan pikir seperti saya dan memiliki keimanan
seperti saya yakini.[47]
Lebih jauh lagi Syari’ati mengatakan bahwa pemikiran dan keimanan yang
sama, maka tetap dianggap sebagai suatu yang belum berarti apa-apa. Artinya
beliau ada pengaruhnya sedikit pun terhadap kehidupan individu, dan tidak pula
bakal memberikan pengaruhnya terhadap kehidupan umat manusia. Dan disaat
kesatuan kalbu, keimanan, dan penderitaan tersebut sudah menyatu dengan amal,
niscaya ia akan muncul dalam kenyataan, itu sebabnya maka para ulama
mendefinisikan iman dengan pengakuan lisan dan pengetahuan dengan anggota
tubuh.
Bagi Syari’ati unsur-unsur yang essensial dalam masyarakat Islam adalah
ideologi dan budaya tidak hanya mencakup tanggung jawab, keyakinan,
keterlibatan dan komitmen. Sehingga melahirkan revolusi dalam sejarah. Karena
ideologi-ideologi yang senantiasa memberikan insprirasi, mengarahkan dan
mengorganisir pemberontakan-pemberontakan yang menakjubkan perang salib dan pengorbanan-pengorbanan
dalam sejarah kemanusiaan.
Menurut Syari’ati, ada tiga tahapan pada sebuah ideologi, tahap pertama
adalah cara kita melihat dan menangkap alam semesta, eksistensi dan manusia.
Kedua terdiri cara khusus dalam kita memahami dan menilai suatu gagasan atau
ide yang membentuk lingkaran sosial dan mental kita. Tahap ketiga menyangkut
usulan-usulan, metode-metode, berbagai pendekatan dan keinginan yang kita
manfaatkan untuk mengubah status quo yang kita tidak puas. Sehingga memberikan
pada pendukungnya pengarahan, tujuan dan cita-cita serta rencana praktis
sebagai dasar perubahan dan kemajuan kondisi sosial yang diharapkan.[48]
Ideologi dan budaya merupakan jawaban terhadap kelestarian, kesejahteraan umat
tidak terusik dan integritas dalam ummah dapat terjaga. Sebab ideologi
dan budaya merupakan salah satu wujud persatuan dan persaudaraan sebuah
komunitas dalam ummah dibawah panji monotheisme (tauhid).[49]
D.
Ciri-ciri masyarakat Islam
Ide tentang satu tuhan dan satu kemanusiaan yang begitu sentral dalam
al-Qur’an telah memberikan keamanan ontologis bagi bangunan sebuah masyarakat
dan peradaban yang hendak kita tawarkan. Diatas landasan ontologis yang kuat,
maka masyarakat yang hendak dibangun haruslah terbuka, demokratis, toleran dan
damai. Keempat ciri utama inilah yang harus dijadikan acuan bagi semua gerakan
pembaharuan moral dan pembaruan masyarakat Islam dimuka bumi. Dalam masyarakat
ini nilai-nilai pluralis dan nilai-nilai budaya tidak boleh dijadikan
penghambat untuk mencapai cita-cita Islam.
- Keterbukaan
Keterbukaan berawal sifat
al-Qur’an sebagai kitab suci yang terbuka. Ia terbuka untuk diterima maupun
ditolak. Islam menerima hakekat pluralisme agama dan budaya. Sikap yang
dikembangkan bukan monopoli kebenaran, tetapi sikap sebagai menghargai dan
menghormati. Keterbukaan adalah watak dari sebuah perbedaan yang percaya diri.
Keterbukaan kepada hal-hal yang sangat baru sebenarnya mengandung dimensi
disposisi psikologis, bukan sekedar kelatahan, artinya individu secara sadar
menerima sesuatu yang sifatnya baru. Dan siap menerima perubahan sosial,
menerima kenyataan akan adanya perubahan yang menyeluruh. Kesadaran bahwa Islam
merupakan agama yang terbuka dan karenanya umat Islam harus menjadi golongan
yang terbuka, akan melahirkan rasa percaya diri, penuh keyakinan dan mampu
bersikap arif dalam menyikapi berbagai perkembangan yang ada. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang ada, bukan berarti suatu hal yang ditolak, akan
tetapi sesuatu yang harus dipelajari dan diambil jika itu memang bermanfaat
dengan membuang yang tidak baik. Kalau saja sikap itu dimiliki oleh umat Islam,
maka bagi mereka tidak perlu ada keraguan untuk berinteraksi dengan siapapun
dimuka bumi.
- Demokratis
Melalui sistem
demokrasilah anggota masyarakat dapat mengembangkan potensi dirinya, secara
kreatif dan bebas sampai batas-batas yang jauh untuk menjadi manusia penuh.
Sistem demokrasi yang diinginkan Islam, nilai-nilai intelektual dan nilai-nilai
spiritual harus saling menopang dan saling melengkapi. Demokrasi mesti mempunyai
nilai-nilai moral. Demokrasi spiritual menjadi tujuan tertinggi tujuan Islam.
Menjalankan demokrasi
sebagai wujud dari mekanisme pengawasan sosial atau kontrol sosial dalam
konteks Islam. Sesungguhnya memiliki akar tradisi dan hubungan organik dengan
ajaran al-Qur’an itu sendiri. Dengan pengertian tersebut, maka tidak ada alasan
bagi umat Islam untuk menolak demokrasi.
- Toleransi
Tanpa toleransi sosial
manusia tidak mungkin hidup aman dan damai. Dalam demokrasi spiritual, tidak
ada ruang untuk saling menjegal dan menggunting dalam lipatan, sebab akan
menghancurkan prinsip-prinsip moral yang merupakan manifestasi iman dalam
kehidupan masyarakat. Kemudian untuk menjadikan umat Islam sebagai komunitas
ilmu tidak ada pilihan lain kecuali budaya toleransi internal yang diwujudkan
secara mantap sebagai kemestian sejarah.
- Damai
Ciri terpenting dari
sebuah masyarakat adalah pancaran wajah damai selaras dengan the very root dari
perkataan Islam itu yang bermakna damai, sejahtera, selamat. Perdamaian
sesungguhnya bukan semata-mata persoalan sosial, dimana perdamaian ini
diperlukan untuk mengatasi konflik yang terjadi dan menciptakan keseimbangan
dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Islam perdamaian
merupakan persoalan nuansa teologis yang kental. Perdamaian itu merupakan
sebuah kondisi yang harus menjadi kenyataan objektif. Perdamaian pada
hakekatnya adalah norma an etika. Perdamaian adalah sebuah nilai yang bersumber
pada keesaan dan universalitas Tuhan.[50]
Maksud dari, sistem
keyakinan dalam Islam sesungguhnya merupakan sebuah sistem nilai, sebuah
manifestasi dari keesaan Tuhan ke dalam kehidupan manusia dan masyarakat.
Menurut Hasan Hanafi ada dua syarat untuk mencapai perdamaian sesungguhnya.[51]
pertama, manusia harus mampu menciptakan perdamaian internal atau perdamaian
dalam jiwa. Dalam hal ini setiap orang harus menciptakan rasa aman dan rendah
hati dengan tunduk kepada kitab suci. Perdamaian dalam jiwa inilah yang nanti
dapat memanifestasikan keimanan, kesalehan, kejujuran, ketulusan, kerendah
hatian dan kesabaran. Kedua, dengan perdamaian jiwa ini akan tercipta
perdamaian eksternal. Perdamaian bukanlah bertujuan meneguhkan kekuatan atau
kekuasaan, melainkan untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan kesetaraan.
[21] Fazlur
Rahman, Tema Pokok Al qur’an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka,
1980), hlm.194.
[22] Ibid.,
hlm.195.
[23] Ibid.,
hlm. 196.
[24] Ibid.,
hlm.200.
[25]
Depdikbud, op. cit., hlm.564.
[26]
Doyle Paul Jonhson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1994) hlm.84.
[27]
P. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.
116.
[28]
Soerjono Soekanto, Sosoilogi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1990),hlm.284.
[29]
Ali Syari’ati, TIPOLOGI, Terj. Iwan
Nur, (Yogyakarta: PT Grafika Atmajaya,1993), hlm.37.
[30]
Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, (Bandung: Mizan,1985), hlm.25.
[31] Ibid.,
hlm.207.
[32] Djaka
Soetapa, Ummah: komunitas Religius, Sosial dan Politis dalam Al qur’an,
(Yogyakarta: Mitra Gama, 1991), hlm.38.
[33] Ibid.,
hlm.34.
[34] Fazlur
Rahman, Tema Pokok Al qur’an, op. cit., hlm.223.
[35] Ibid.,
hlm.54.
[36] Ahmad
Charis Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan, (yogyakarta:
LESFI, 2001), hlm.12.
[37] Ahmad
Syafi’I Maarif, Membumikan Islam, (Bandung: Pustaka,1993), hlm.94.
[38]
Komaruddin Hidayat, Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern, dalam
Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta : Media Cita,
2000), hlm.97-101.
[39] Syafi’I
Ma’arif, Membumikan Islam, op.cit.,hlm.64.
[40] Khaldin
Al Haramain, Al qur’an dan Terjemahnya, hlm.14
[41] Syafi’i
Ma’arif, Membumikan Islam, op. cit., hlm.101.
[42] Ali
Syari’ati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, Terj. Afif
Muhamad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hlm.46-48.
[43]
Ibid.,hlm.49.
[44] Tafsir
dkk, Moralitas Al qur’an dan Tantangan Modernitas, (yogyakarta: Gama
Media,2002), hlm.116-117.
[45] QS:
39.9
[46] Yang
Syari’ati maksudkan disini bukan arti istilah, yakni asal adanya hingga
sekarang. Sebab sejarah memiliki dua pengertian pertama, sejak munulnya awal
kejadian dan yang keduasejak adanya manusia. Dan yang sama maksudnya disini
adalah pengertian masa pra sejarah.
[47] Ali
Syari’ati, ummah dan Imamah…, op.cit., hlm.81.
[48] Ali
Syari’ati, Tugas Cendikiawan Muslim, Terj. Amien Rais, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996), hlm.160-161.
[49] Ali
Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj.Syafiq
Basri dan Haidar Baqir, (Bandung: Mizan,1985), hlm.48.
[50] Ahmad
Baidowi, Landasan Teologi Islam bagi Perdamaian, dalam Dialog, edisi I
Th. 2003, hlm.46-47.
[51] Hasan
Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, terj. Ahmad Najib,
(yogyakarta: Jendela,2002), hlm.140-145.
a[1]
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 1.
[2] Madrasah ini didirikan oleh Muhammad Qosim
Nanotawi pada tahun 1867.
[4]
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernits, (Bandung: Mizan,
1989), hlm. 81.
[5]
Fazlur Rahman, Neo Modernisme Islam, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 13.
[6]
Fazlur Rahman, Beberapa Pendekatan Dlm Kajian Atas Islam: Suatu Tinjauan
Kritis, Ulumul Qur’an, no. 2 (1992), hlm. 34.
[7] Opcit.,
Islam…, hlm. 84.
[10]
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, hlm.16.
[11] Ibid.,
hlm. 15.
[12] Ibid.,
hlm. 17.
[13] Secara
umum Harun Nasution membagi Islam menjadi tiga periode yaitu: 1. Periode Klasik
(650 – 1250 M), 2. Periode Pertengahan (1250 – 1800 M), 3. Periode Modern (1800
– sekarang). Berbeda dengan pendapat M. Hasbi Amiruddin membagi dialektika
perkembangan pembaharuan Islam dalam lima
kategori yaitu: 1. Tradisionalis, 2. Revivalis, 3. Modernis, 4. Neo-Revivalis,
5. Neo-Modernis.
[14]
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam,hlm.249
[15] Ahmad
Buyan Wahib, "Menyimak Neo-Modernisme Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia", Dalam Sosio-Religia, Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial,
Vol.I, no.1, Nov 2001, hlm. 60-61.
[16] Amin
Abdullah, Falsafah Kalam,……..hlm.31
[17] M.
Hazbi Amiruddin, Konsep Negara ,…..hlm.4
[18] Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Terj.
Ahsin Mohammad, (Bandung
: Pustaka, 2000), hlm.21.
[19] Ahmad
Buyan Wahib, Menyimak Neomodernisme, Sosio-Religia, hlm.60.
[20]
Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam, (yogyakarta: Ar
Ruzz,2002), hlm.96.
[21]
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung:
Mizan,1996), hlm.192.
[22]
Jurnal Hikmah, Edisi November – Desember 1988, Fazlur Rahman: Neo Modernisme
Islam, hlm. 26.
[23]
Fazlur Rahman, Kebangkitan dan Pembaharuan di dalam Islam (…….), hlm. 7.
0 Response to "Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman tentang Masyarakat Islam Modern"
Post a Comment