Image1

Makalah Pembelajaran Kontekstual dalam Bahasa Arab

Makalah Pembelajaran Kontekstual |
Pembelajaran Kontekstual dalam Bahasa Arab

Istilah pembelajaran mengandung makna yang berbeda dengan pengajaran. Istilah pembelajaran lebih menekankan pada keaktifan siswa dengan ruang lingkup yang lebih luas, sehingga siswa dapat belajar kapan dan di manapun ia berada. Oleh karena itu pembelajaran bukan sebatas proses transfer knowledge, melainkan proses yang harus bersandar pada 4 pilar pendidikan yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning, to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).

Learning to know, yang juga berarti learning to learn, yaitu belajar untuk memperoleh pengetahuan dan untuk melakukan pembelajaran selanjutnya. Learning to do, yaitu belajar untuk memiliki kompetensi dasar dalam berhubungan dengan situasi dan tim kerja yang berbeda-beda. Learning to live together, yaitu belajar untuk mampu mengapresiasi dan mengamalkan kondisi saling ketergantungan, keanekaragaman, saling memahami dan perdamaian inter dan antar bangsa dan  learning to be, yaitu belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki timbangan dan tanggung jawab pribadi.   

Sandaran ini dimaksudkan agar pembelajaran lebih pada tujuan mempersiapkan siswa ketika terjun pada dunia nyata sebagai makhluk pribadi  dari keluarga, masyarakat dan warga negara, sehingga setelah keluar dari sebuah institusi pendidikan, mereka  siap menghadapi tantangan hidup, siap untuk memecahkan permasalahan  dan dapat berperan serta dalam lingkungan mereka. 

Untuk mencapai hal tersebut pembelajaran harus bersifat kontekstual yang berarti mempunyai korelasi langsung dengan permasalahan kehidupan, baik keluarga, masyarakat maupun warga negara. 
Dasar-dasar yang mendukung teori pembelajaran kontekstual adalah sebagai    berikut :
a. Knowledge-based Constructivisme
Yaitu dasar pengetahuan yang mengarahkan pada aktivitas membangun (konstruktiv) yang cocok dan efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran.
b. Effort-based learning.
Usaha seseorang untuk meningkatkan kemampuan yang lebih. Teori ini menentang asumsi bahwa bakat seseorang tak dapat dirubah. 
c. Socialization
Belajar adalah suatu proses sosial, sekolah adalah lengan tangan masyarakat yang mempunyai sistem sosial. 
d. Situated Learning
Pengetahuan dan pembelajaran adalah bagian dari situasi fisik dan konteks sosial.
e. Distributed-Learning

Teori ini menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan proses penyebaran (distribusi) dari yang satu ke lainnya.   

Selain itu ada tiga teori besar yang mendasari CTL yaitu teori John Dewey (1900), Piaget (1929) dan Brunner (1966).  Menurut John Dewey,  pendidikan bukanlah merupakan tujuan, melainkan merupakan alat dari tujuan pendidikan yang lebih luas, dan setiap individu berhak serta bertanggungjawab menentukan tujuan itu untuk kebahagiaan hidupnya. Selain itu John Dewey mengemukakan teori pendidikan berbasis pengalaman  (experience and education) menurut Dewey pengalaman lebih kaya dan kompleks dibandingkan dengan pengetahuan. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu proses yang dinamis sebagai proses penggalian dan pengolahan pengalaman terus-menerus. 

John Dewey mengartikan pengalaman sebagai seluruh kegiatan dan hasil yang kompleks serta bersegi banyak dari interaksi aktif manusia, sebagai makhluk hidup yang sadar dan bertumbuh dengan lingkungan di sekitarnya yang terus berubah dalam perjalanannya.  Prinsip pengalaman bersandar pada fakta kebiasaan yang mempunyai ciri dasar setiap pengalaman yang dimainkan dan di alami mengubah orang yang bertindak dan mengalami, sedangkan perubahan itu mempengaruhi kualitas pengalaman berikutnya. Oleh karena itu menurut Dewey belajar adalah realitas untuk dialami dan bukan untuk diketahui. Kegiatan mengetahui tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan tempat kegiatan tersebut dilakukan. 

Dalam teori belajar Piaget (1929) dikemukakan bahwa anak mempunyai struktur yang berbeda dengan orang dewasa. Hal ini berarti bahwa setiap anak manusia memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar. 
Sementara J. Brunner mengemukakan bahwa dalam belajar, sekolah hendaknya dapat menyediakan kesempatan bagi siswa untuk dapat maju dengan cepat sesuai dengan kemampuan siswa dalam mata pelajaran tertentu. Menurut teori ini belajar perlu memperhatikan empat hal, yaitu :
1) Mengusahakan agar setiap siswa dapat berpartisipasi aktif, minatnya ditingkatkan, kemudian perlu dibimbing untuk mencapai tujuan tertentu.
2) Menganalisis struktur materi yang akan diajarkan, dan juga perlu disajikan secara sederhana, sehingga mudah dimengerti oleh siswa.
3) Menganalisis sequence, guru mengajar berarti membimbing siswa melalui urutan pernyataan dari urutan suatu masalah, sehingga siswa memperoleh pengertian dan dapat mentransfer apa yang sedang dipelajari.
4) Memberi reinforcement dan umpan balik (feed back) penguatan optimal terjadi pada waktu siswa mengetahui bahwa “ia menemukan jawabannya.” 

Pembelajaran kontekstual  menekankan pada aspek keaktifan dan kebermaknaan. Penekanan ini didasarkan pada filosofi bahwa ilmu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), dan tidak sekonyong-konyong, pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Kebermaknaan (meaningful) berarti sesuatu itu dapat diinterpretasi dengan dunia nyata, dapat dirasakan dan dilakukan. Dalam teori Ausubel  disebutkan bahwa belajar harus mengandung meaningful learning (belajar bermakna) yang diartikan sebagai suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur yang sudah dimiliki seseorang yang sedang belajar.  Oleh karena itu belajar bermakna merupakan proses pembentukan pengetahuan yang melibatkan interpretasi atas suatu peristiwa. 

Belajar bermakna terjadi bila pelajar berusaha menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang dimiliki. Bila konsep tersebut belum ada atau sama sekali baru, maka informasi baru harus dipelajari melalui belajar menghafal.

Teori meaningful learning ini didukung oleh hasil riset otak yang menyatakan bahwa otak manusia secara konstan selalu ingin  mencari-cari makna atau maksud.  Dalam pencarian tersebut, otak memeriksa informasi berdasar pada pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Ketika sesuatu itu mengandung arti, otak mempertahankannya dan menyimpannya dalam memori jangka panjang. 

Sejalan dengan sejarah perkembangannya, CTL dipengaruhi juga oleh aliran behaviorisme dan konstruktivisme. Tokoh behaviorisme E.L. Thorndike memperkenalkan bahwa belajar merupakan mata rantai yang dihasilkan dari stimulus dan respon yang membentuk perilaku.  Prosedur belajar harus melalui tiga tahap yaitu stimulus, response dan reinforcement. Suatu perilaku akan muncul bila didahului oleh stimulus, diperkuat dan dibiasakan dengan penguatan (reinforcementi).   

Dalam aliran behaviorisme tujuan pengajaran adalah tercapainya suatu ketrampilan. Karena menurut Bloom (1956) ketrampilan yang baik akan membantu menghasilkan konsep yang menyeluruh dan lengkap. Tujuan ini dapat tercapai apabila dalam pembelajaran siswa dimotivasi, dirangsang dan dievaluasi. 
Berbeda dengan behaviorisme, konstruktivisme yang merupakan salah satu aliran filsafat pendidikan yang sekaligus menjadi landasan filosofi CTL lebih menekankan pada perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam. Sehingga menurut aliran ini belajar sebagai konstruk aktif si pelajar. Bila seseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri secara aktif, sampai kapanpun pengetahuannya tidak akan berkembang.

Belajar dalam pandangan kaum konstruktivis adalah proses aktif pelajar mengkonstruksi arti  berupa teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau materi yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan.  

Belajar dalam konstruktivisme mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia miliki.
2) Konstruksi arti adalah proses terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
6) Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pelajar : konsep-konsep, tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari. 


CTL merupakan sintesa dari teori-teori di atas, yang pada intinya membantu para siswa untuk menghubungkan materi yang dipelajari sesuai dengan konteks  di mana materi itu bisa digunakan. Para siswa menemukan makna dalam pembelajaran, sehingga mereka mau bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar. Siswa menggambarkan pengalaman sebelumnya dan kemudian membangun pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Siswa dapat menggunakan ketrampilan dan pengetahuan yang diperoleh sesuai dengan konteks yang dapat diterapkan . 
Dalam pembelajaran CTL  siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya.  Oleh karena itu “mata pelajaran” yang harus membentuk inti dari persekolahan,  masing-masing diintegrasikan ke dalam seluruh pelajaran : belajar cara belajar dan cara berpikir,  belajar melakukan (learning, to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).

Dari sini muncul pertanyaan apa yang seharusnya diajarkan di sekolah ?. Hampir di seluruh dunia terjadi perdebatan untuk menjawab pertanyaan ini. Setidaknya ada lima madzhab kurikulum yang berkembang saat ini yaitu :
a. Madzhab essensialisme
Madzhab ini beranggapan bahwa guru harus mengajari siswa pengetahuan inti dari mata pelajaran esensial, dengan jumlah yang sangat terbatas. Plato dalam bukunya Republic, merancang suatu kurikulum yang mencakup tujuh mata pelajaran, empat di antaranya-musik, astronomi, geometri dan aritmetika yang dirancang untuk pendidikan essensial, dan tiga lainnya adalah tata bahasa, retorika, dan filsafat atau logika yang didesain untuk menyediakan metode-metode dalam mempelajari pengetahuan esensial di atas.
b. Ensiklopedisme 
Madzhab ini berpandangan bahwa materi pendidikan harus mencakup seluruh pengetahuan manusia, dengan menggunakan “buku-buku ajar” berilustrasi untuk setiap mata pelajaran. Comenius berkeyakinan bahwa pendidikan yang baik  harus tumbuh dari “hukum alam”, karena proses pembelajaran dimulai pertama kali melalui indera.
c. Model pendidikan awal berbasis Indera.
Model  ini diambil dari teori Comenius dan filsafat Aristoteles yang menyatakan bahwa tidak mungkin ada sesuatu di dalam intelek, sebelum ia ada terlebih dahulu di dalam cerapan indera. JJ. Rousseau mengembangkan gagasan ini dengan mengusulkan bahwa kunci pembelajaran terletak pada pengembangan kemampuan indera anak-anak yang dimulai dari pengalaman konkrit.
d. Gerakan Pragmatis yang berorientasi pada anak.
Gerakan ini berpandangan bahwa pengetahuan yang paling berharga adalah pengetahuan yang membentuk kemampuan kaum muda untuk menangani berbagai masalah dan menyiapkan mereka untuk menyelesaikan berbagai masalah yang kelak akan mereka temui sebagai orang dewasa di tengah masyarakat demokratis. Dalam gerakan ini muncul dua aliran utama, yang satu berorientasi pada anak sebagai pribadi sehingga kurikulumnya harus dirancang berdasarkan kebutuhan pribadi setiap anak. Aliran kedua berorientasi pada rekonstruksi masyarakat, yang beranggapan bahwa tujuan utama pendidikan adalah merekonstruksi masyarakat.
e. Pendekatan akal sehat (Common sense)
Pendekatan akal sehat merupakan kombinasi dari unsur-unsur pilihan dari ke empat pendekatan di atas, yang pada intinya beranggapan bahwa ada inti reformasi yang sangat penting bagi siapapun agar mampu membaca dan memahami dunia ini secara bijaksana. Kemudian seiring dengan perubahan terus-menerus dalam masyarakat, semakin penting bagi setiap lulusan sekolah untuk memiliki kemampuan bertindak, belajar dan mengatur masa depan sendiri secara bijaksana. 
Dari segi peran dan orientasinya kurikulum dibagi menjadi kurikulum bercorak humanistik, kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum teknologi dan kurikulum akademik. 
Kurikulum bercorak humanistik yaitu kurikulum yang orientasinya adalah memberikan pengalaman kepada setiap pribadi secara memuaskan sebagai proses yang memberikan kebutuhan bagi pertumbuhan dan integritas pribadi seseorang secara bebas dan bertanggungjawab.
Kurikulum rekonstruksi sosial yaitu kurikulum yang berorientasi dan berperan sebagai alat untuk mempengaruhi perubahan sosial dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Kurikulum teknologi berorientasi sebagai proses teknologi untuk perkembangan zaman. Sedangkan kurikulum akademik yaitu kurikulum yang berorientasi pada peningkatan intelektual dengan cara memperkenalkan para siswa terhadap berbagai macam pelajaran yang terorganisir dengan baik.  

CTL menjadi tawaran dalam penerapan kurikulum berbasis kompetensi dapat dilihat dari dasar pemikiran KBK untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum yang menurut Diknas adalah sebagai berikut :
1). Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
2). Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
3). Kompetensi merupakan hasil belajar (learning outcome) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa melalui pembelajaran.
4). Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur. 

3. Pembelajaran Bahasa Arab
Pembelajaran bahasa menurut Sri Utari Subyakto (1993 : 77) diartikan sebagai “mengetahui kaidah-kaidah tata bahasa atau memiliki pengetahuan sadar tentang bahasa. Lebih luas lagi Daniel Parera mengartikannya sebagai teori, pendekatan, metode, hipotesis, teknik, model dan konsep-konsep yang relevan dengan kegiatan belajar-mengajar bahasa. 

Untuk lebih jelasnya pembelajaran bahasa dibedakan dengan pemerolehan bahasa. Pembelajaran bahasa diperoleh dengan sengaja (disadari), direncanakan, dirancang, disistematisasikan, sedangkan pemerolehan bahasa terjadi secara tidak sengaja dan dipakai untuk membahas penguasaan bahasa pertama di kalangan anak-anak.  Selain itu pemerolehan bahasa terjadi karena kehendak kuat untuk menjadi bagian (bersosialisasi dengan) untuk dianggap sebagai warga pemilik bahasa itu. Sedangkan pembelajaran bahasa terjadi karena “keinginan” untuk mengenali kehidupan orang-orang yang mempergunakan bahasa itu dan dipakai  untuk pemerolehan bahasa kedua. 

Dalam pembelajaran bahasa ada beberapa aliran yang dapat dijadikan landasan bagaimana bahasa itu diajarkan yaitu sebagai berikut:
a) Behaviorisme
Aliran behaviorisme yang diadopsi dari aliran psikologi mengemukakan lima karakteristik pembelajaran bahasa yaitu :
1). Bahasa itu ujaran, bukan tulisan.
2). Bahasa itu seperangkat kebiasaan
3). Ajarkanlah bahasa bukan tentang bahasa.
4). Bahasa adalah, sebagaimana dikatakan oleh penutur asli, bukan seperti yang dipikirkan orang bagaimana mereka seharusnya berbicara.
5). Bahasa itu berbeda-beda. 

b) Kognitifisme
Aliran ini merupakan reaksi dari aliran behaviorisme yang berpandangan bahwa bahasa bukanlah salah satu bentuk perilaku melainkan merupakan suatu sistem yang didasarkan pada aturan dan pemerolehan bahasa yang pada dasarnya merupakan pembelajaran sistem tersebut. Hakikat bahasa  dalam pandangan kognitifisme adalah sebagai berikut :
1). Bahasa ditentukan oleh kaidah-kaidah dari kompetensi ke performansi.  
2). Bahasa bersifat kreatif; prinsip ini menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa harus mendorong para siswa untuk menggunakan bahasa secara kreatif yaitu dengan membuat ungkapan baru berdasarkan aturan (gramatikal) yang telah dipelajari.
3). Bahasa merupakan sistem komunikasi.
4). Bahasa terdiri dari struktur kalimat dasar dan struktur kalimat luar.
Dalam hal ini Chomsky memperkenalkan konsep kompetensi dan performansi. Kompetensi mengarah pada penguasaan gramatikal dan performansi terletak pada kemampuan menggunakan aturan-aturan ini.  Sehingga pembelajaran bahasa menurut aliran ini  terletak pada aturan atau struktur yang mendasarinya dan kemudian siswa dibiarkan menciptakan sendiri kalimat-kalimat baru. 
c) Pendekatan Humanistik
Berbeda dengan kedua aliran di atas, pendekatan humanistik berpandangan bahwa pengajaran bahasa tidak hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga membantu siswa mengembangkan diri mereka sebagai manusia. Dalam pandangan pendekatan humanistik bahasa harus dilihat sebagai totalitas yang melibatkan siswa secara utuh, bukan sekedar sebagai suatu yang intelektual semata. Seperti halnya guru, siswa adalah manusia yang mempunyai kebutuhan emosional, spiritual, maupun intelektual. Siswa hendaknya dapat membantu dirinya dalam proses belajar-mengajar, siswa bukan sekedar menerima ilmu yang pasif. 
Secara praktis pendekatan ini dapat dilakukan di kelas dengan melibatkan siswa seutuhnya dan memberi peranan lebih besar kepada siswa. Pembelajaran bahasa dilakukan dengan komunikatif,  menciptakan suasana dan rasa kebersamaan. 
Salah satu bentuk dari pendekatan ini adalah community language learning, yaitu para siswa duduk melingkari seorang knower yang akan membantu mereka dengan bahasa yang ingin mereka ucapkan. Setelah menentukan kalimat apa yang ingin diucapkan, mereka mengucapkannya dengan bahasanya, kemudian diterjemahkan oleh knower.
Kemudian Lazanov dari Bulgaria mengembangkan metode suggestopedia. Metode ini memanfaatkan dialog, situasi dan penerjemahan untuk menyajikan dan melatih bahasa, dengan menggunakan musik, image visual, dan latihan relaksasi untuk membuat proses belajar yang lebih menyenangkan dan lebih efektif.
d) Pendekatan Pragmatisme
Pendekatan pragmatik  menekankan pada aspek komunikatif. Salah seorang tokohnya adalah J. Firth, yang mengemukakan Contextual Theory of Language.  Dalam teori ini Firth mengungkapkan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi partisipasi, tindakan partisipasi (verbal-non-verbal), ciri-ciri situasi yang relevan dengan realitas yang berlangsung.
e) Pendekatan Komunikatif
Salah satu pendekatan pengajaran bahasa yang terkenal adalah pendekatan komunikatif  yang mendasarkan diri pada pandangan fungsional. Pendekatan komunikatif memandang bahwa bahasa merupakan wahana bagi ekspresi makna fungsional . 
Pendekatan komunikatif pada hakekatnya berdasarkan pada teori bahasa sebagai komunikasi. Dalam teori ini bahasa lebih dilihat sebagai sebuah sistem komunikasi, dan tidak sekedar sistem kaidah gramatikal semata.  Ada beberapa karakteristik yang dapat ditarik dari teori bahasa sebagai komunikasi, antara lain :
a). Bahasa adalah sistem untuk mengungkapkan makna
b). Fungsi utama bahasa adalah untuk interaksi dan komunikasi
c). Unit utama bahasa tidak hanya berupa karakteristik gramatikal dan strukturnya saja, tetapi juga kategori makna fungsional dan komunikatif
d). Struktur bahasa mencerminkan kegunaan fungsional dan komunikatifnya .

Unsur teori belajar bahasa yang mendasari pendekatan komunikatif dapat ditemukan pada kegiatan-kegiatan pembelajarannya, antara lain :
a). Prinsip komunikasi; aktifitas-aktifitas yang melibatkan komunikasi nyata mendorong belajar.
b). Prinsip tugas; aktifitas-aktifitas dimana bahasa digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas bermakna mendorong belajar.
c). Prinsip kebermaknaan; bahasa bermakna bagi pelajar mendorong proses belajar. 

Pendekatan komunikatif, sebenarnya tidak merekomendasikan suatu metode tertentu. Hal itu berarti pendekatan komunikatif cakupannya lebih luas. Setiap metode pengajaran yang mendorong pembelajar untuk melakukan aktifitas komunikasi berencana dalam bahasa sasaran dapat dikategorikan sebagai penjabaran dari pendekatan komunikatif. Dalam hal ini, jika dianalisa berdasarkan ciri-ciri dan karakteristiknya, metode langsung / direct method merupakan salah satu metode yang memiliki keterkaitan sangat erat dengan pendekatan komunikatif. 
Metode langsung/direct metode merupakan suatu cara menyajikan materi pengajaran bahasa Arab, dimana pengajar langsung menerapkan bahasa target sebagai bahasa pengantar, dan tanpa menggunakan bahasa pembelajar sedikitpun dalam mengajar.  Metode langsung memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a). Materi pelajaran terdiri dari kata-kata dan struktur kalimat yang banyak digunakan sehari-hari
b). Gramatika diajarkan dengan melalui situasi dan dilakukan secara lisan, bukan dengan cara menghafal aturan-aturan gramatika
c). Banyak latihan mendengarkan dan menirukan dengan tujuan agar dapat dicapai penguasaan bahasa secara otomatis
d). Aktifitas belajar banyak dilakukan di kelas
e). Sejak permulaan, pembelajar dilatih untuk berfikir dalam bahasa asing. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Pembelajaran Kontekstual dalam Bahasa Arab"

Post a Comment