Image1

Makalah Kedudukan Orang Tua bagi Anak

Kedudukan Orang Tua setelah Anak Menikah | Kedudukan orang tua terhadap anak | kedudukan anak orang tua dan perwalian | Kedudukan orang tua dan anak | Makalah kedudukan orang tua terhadap perkembangan anak | Kedudukan orang tua bagi anak |

GAMBARAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ORANG TUA DAN
ANAK DALAM KELUARGA
A.    Konsep Keluarga
 1.      Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dan institusi pertama dalam masyarakat. Dimana hubungan yang terdapat di dalamnya bersifat langsung[1] Sementara itu Ali akbar memberikan pengertian bahwa keluarga adalah masyarakat kecil yang terdiri dari sekurang-kurangnya pasangan suami istri sebagai sumber intinya berikut anak-anak yang lahir dari mereka.[2]
Dalam ensiklopedi Indonesia istilah keluarga berarti sebuah kesatuan kemasyarakatan (sosial) yang berdasarkan pada hubungan perkawinan atau karena adanya pertalian darah.[3] Menurut Pringgodigdo, keluarga adalah sekelompok orang yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya. Keluarga juga berarti segolongan orang yang hidup bersama dengan adanya ikatan-ikatan jiwa bersama atau segolongan orang yang hidup dalam suatu rumah besar (rumah tangga).[4]
Dalam bahasa Arab, al usrah (keluarga) merupakan kata jadian dari al-asru. Al-asru secara etimologi berarti ikatan (al-qa>id). Dikatakan: asarahu asran wa isa>ran artinya mengikatnya (qayadahu). Tentang pokok kata al-asru ini, Ar Ra>zi>   mengatakan: “(Asara) qitbahu, artinya syaddahu bil isa>r menurut wazan al-iza>r, yaitu al-qa>d (tali) maksudnya adalah dia mengikat perutnya dengan tali. Dari situlah terjadi kata al-asi>r (tawanan), karena mereka (orang-orang arab) mengikat tawanan perang dengan tali. Maka semua tawanan dinamakan asi>r sekalipun tidak diikat.[5]
Al-asru maknanya mengikat dengan tali, kemudian meluas menjadi segala sesuatu yang diikat baik dengan tali maupun yang lainnya. Terkadang ikatan ini bersifat artifisial atau dibuat manusia dan terkadang pula bersifat paksaan yang tidak dapat dilepaskan oleh manusia.  Al-usrah –makna sempit- merupakan semacam ikatan atau belenggu, yaitu belenggu yang bersifat pilihan yang diusahakan oleh manusia, karena ia mendapatkan perlindungan yang kokoh dalam ikatan tersebut dan dengannya dia dapat mewujudkan kepentingan bersama yang tidak dapat diwujudkan secara sendirian tanpa harus meletakkan dirinya pada ikatan atau belenggu tersebut.
Kata al-usrah tidak ditemukan dalam kitab suci al Qur’an, akan tetapi al Qur’an menggunakan kata al-ahlu dengan makna al-usrah. Ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa al-usrah sebagai suatu ikatan yang berat membebani manusia sehingga dapat mengganggu gerakannya, dan istilah ini hanya layak bagi orang-orang Arab Badui yang keras dan kasar yang ingin melepaskan diri dari segala ikatan untuk mendapatkan kemerdekaan.[6]
Sekalipun al Qur’an tidak menggunakan kata al-usrah melainkan menggunakan kata al-ahlu, itu semua bukan tanpa alasan, akan tetapi  karena adanya hikmah yang dikehendaki oleh Allah SWT. Keluarga menurut Islam bukanlah belenggu dan bukan pula merupakan suatu beban, melainkan kesenangan, ketenangan dan ketentraman. Oleh karena itu al Qur’an menggunakan kata al-ahlu bukan kata al-usrah. Kesenangan, ketenangan dan ketentraman jiwa itu bukanlah sesuatu yang dapat diperoleh melalui angan-angan semata, akan tetapi ia diperoleh sesuai dengan kesulitan yang dicurahkan seseorang untuk mendapatkannya dan tanggung jawab yang dipikulnya. Dengan demikian al-usrah (keluarga) menunjukkan bahwa tanggung jawab dan keharusan yang diberikan setiap individu terhadap masyarakat harus sesuai dengan keuntungan dan hak yang diperoleh dari masyarakat.[7]
Dalam pandangan sosiologis, keluarga adalah suatu lembaga sosial terkecil dalam masyarakat yang diikat oleh ikatan perkawinan sehingga menghasilkan keturunan  baru dan terjadi ikatan darah atau keturunan, sedang dalam arti sempit meliputi ayah, ibu dan anak-anaknya.[8] 
Keluarga selain berdasarkan ikatan perkawinan juga dibangun berdasarkan aturan hukum yang dibenarkan dan harus ada fasilitas yang mendukung untuk melakukan perkawinan tersebut[9] sehingga keluarga sebagai perkumpulan yang halal antara laki-laki dan perempuan dapat berjalan secara terus menerus layaknya sebuah keluarga dimana yang satu merasa aman dan tentram serta sejahtera dengan yang lain sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.
Dalam penulisan skripsi ini penyusun membatasi hanya pada keluarga inti, yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak atau dengan kata lain ayah, ibu dan anak (anak kandung, anak tiri, anak angkat dan lain sebagainya). Jadi yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bukan merupakan keluarga besar yang terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek, anak, cucu, menantu dan lain sebagainya.

2.      Fungsi Keluarga
Sebagaimana dijelaskan bahwa keluarga adalah suatu institusi sosial terkecil dalam sebuah masyarakat. Keluarga yang dikehendaki dalam Islam adalah keluarga yang dapat menjalankan fungsinya, sehingga terbentuk keluarga yang harmonis dan bahagia. Dalam Islam ada beberapa fungsi keluarga yang harus dijalankan dalam rangka mencapai keluarga yang sakinah dan sejahtera, di antaranya adalah sosio-kultural, ekonomi, pendidikan, perlindungan dan lain sebagainya. Fungsi-fungsi  tersebut dalam pelaksanaannya tidak boleh lepas dari alasan, tujuan serta ciri hakiki keluarga itu sendiri. Sehingga dengan demikian fungsi keluarga dapat berjalan serta menghasilkan keluarga bahagia yang penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang.
Apabila dua orang telah terikat perkawinan dan membentuk sebuah keluarga maka keduanya wajib untuk menghidupkan dan meramaikan keluarga tersebut sesuai dengan aturan dan ajaran-Nya. Sehingga dengan demikian fungsi keluarga dapat berjalan serta menghasilkan keluarga bahagia yang penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang.
Fungsi-fungsi tersebut pada perkembangan selanjutnya selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan pertumbuhan masyarakat yang semakin maju. Fungsi-fungsi yang pada awalnya sangat luas dan beraneka ragam pada akhirnya akan menyempit dan mengecil. Meskipun tugas keluarga kini telah mengecil dan menyempit bukan berarti fungsi keluarga menjadi sepele dan tidak bermakna sama sekali. Tetapi keluarga dengan fungsinya yang beraneka ragam tersebut justru menjadi pemeran utama dan sangat menentukan.
Adapun fungsi-fungsi keluarga menurut ajaran Islam yang harus dijalankan oleh sebuah keluarga adalah :
a.       Fungsi biologis.
Fungsi ini memberikan kesempatan untuk hidup bagi setiap anggota keluarganya. Keluarga menjadi tempat untuk memenuhi segala kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan dan papan serta hubungan seksual dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga manusia dapat mempertahankan hidupnya. Dari hubungan seksual inilah  manusia dapat mengembangkan hidupnya untuk mendapatkan keturunan dan generasi yang akan meneruskan perjalanan hidup nenek moyangnya.
  1. Fungsi ekonomi
Maksudnya adalah keluarga merupakan satu kesatuan sosial yang mandiri yang di situ setiap anggota keluarga mengkonsumsi barang-barang yang diproduksinya. Fungsi ini berhubungan erat dengan pemenuhan fungsi biologis. Fungsi ini akan berjalan optimal  apabila setiap anggota keluarga dapat mengatur diri dalam menggunakan sumber-sumber materi atau finansial keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga dengan cara yang efektif dan efisien, yaitu dengan adanya kerjasama yang baik yang dilandasi rasa kasih sayang antar anggota keluarga.
             Lembaga keluarga merupakan wahana interaksi dalam hubungan batin yang kuat antar anggotanya sesuai dengan status dan peran sosial masing-masing dalam keluarga tersebut. Wujud dari adanya ikatan batin yang kuat ini adalah adanya rasa kasih sayang antar suami istri sebagai dasar kasih sayang mereka terhadap anak-anaknya. Keluarga akan diliputi suasana yang akrab, rukun dan tentram sebagai ciri kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Di samping itu, dalam menghadapi dan bergaul dengan anak, orang tua sebagai kepala dwi tunggal dalam keluarga hendaknya memahami, menangkap dan turut serta merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anak mereka. Adapun tujuan dari fungsi ini adalah terbinanya suasana keluarga yang harmonis yang penuh dengan rasa kasih sayang di antara anggota keluarga.
c.   Fungsi Pendidikan
            Fungsi ini meliputi segala kegiatan dalam upaya membangun kecerdasan dan kepribadian anak Maksudnya adalah keluarga memberikan pendidikan kepada anggota keluarganya. Orang tua bertanggung jawab terhadap perkembangan pendidikan anggota keluarganya. Lembaga keluarga harus mampu menjadi tempat untuk belajar dan mendidik anak menuju dewasa sehingga pendidikan tidak hanya dilaksanakan di sekolah. Dengan demikian akan terjalin kerjasama yang baik antara keluarga dengan lembaga pendidikan dan lembaga sosial lainnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan.. Pelaksanaan fungsi ini merupakan realisasi salah satu tanggung jawab yang dipikul orang tua sebagai pengemban amanah dari Allah.
d.   Fungsi perlindungan
            Maksudnya adalah bahwa agar anak merasa terlindungi dari segala hal yang dapat membahayakan keselamatan jiwanya. Perlindungan ini tidak hanya diarahkan untuk lahirnya saja, akan tetapi perlindungan dalam segala aspek kehidupan termasuk lahir dan batin, yaitu menjaga moral, mental serta fisik anak dan anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang datang dari luar maupun dari dalam. Keluarga harus mampu melindungi setiap anggotanya dari segala ancaman yang dapat merugikan dan membahayakan keselamatan jiwanya, baik ancaman fisik maupun psikis. Perlindungan mental bertujuan agar setiap individu tersebut tidak mudah frustasi dalam menghadapi masalah hidup. Sedangkan perlindungan moral dilakukan supaya anggota keluarga mampu menghindarkan diri dari pengaruh dan perbuatan jahat. Fungsi inilah yang akan menjadi dasar bagi anggota keluarga untuk bersosialisasi dengan anggota keluarga lainnya dalam suatu masyarakat. Dengan adanya fungsi ini anak akan merasa aman berada dalam lingkungan keluarga.
e.   Fungsi sosialisasi
            Fungsi ini merupakan suatu upaya dalam membantu mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik serta menemukan tempatnya dalam kehidupan sosial. Mengingat anak adalah anggota masyarakat yang akan mengembangkan dirinya melalui pendidikan masyarakat tersebut.
            Istilah sosialisasi bukan hanya sekedar pelebur anak dalam kehidupan nilai-nilai sosial begitu saja, melainkan dalam arti yang lebih luas yaitu untuk membantu menyiapkan dirinya agar dapat menempatkan diri sebagai pribadi yang mantap dalam masyarakatnya dan ikut berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat secara konstruktif. Keluarga dalam fungsi ini berperan sebagai penghubung antara anak dengan kehidupan norma-norma sosial dengan jalan menyaring dan menjaring norma-norma tersebut terlebih dahulu. Fungsi ini berarti bahwa keluarga memberikan prestise dan status sosial kepada setiap anggotanya. Sehingga setiap anggota keluarga dapat bergaul secara wajar dengan anggota masyarakat lainnya. Fungsi ini berkaitan erat dengan asal-usul anggota keluarga dalam masyarakat.
f.    Fungsi rekreasi
            Salah satu tujuan pembentukan keluarga adalah untuk menciptakan suasana rumah tangga yang harmonis antar sesama anggota keluarga, di mana hubungan antar anggotanya bersifat saling percaya, bebas dan diwarnai dengan rasa senang dan gembira Keluarga disamping tempat untuk berkumpul juga berfungsi sebagai pusat rekreasi dan hiburan bagi setiap anggotanya. Hiburan atau rekreasi sangat dibutuhkan untuk menghilangkan kejenuhan setelah beraktifitas di luar. Hiburan dapat dilakukan dalam keluarga dan tidak mesti harus berfoya-foya dan  berpesta secara berlebihan.. Adapun salah satu tujuan dari fungsi rekreasi adalah untuk menciptakan suasana keluarga yang penuh kesenangan dan kegembiraan serta keharmonisan. Fungsi ini bukan berarti secara kontinyu keluarga harus bersuka ria dan berpoya-poya di luar rumah, tetapi rekreasi ini dirasakan apabila orang dapat merasakan kenyamanan dan kesenangan serta ketenangan batin.
g.   Fungsi status keluarga
            Fungsi ini dapat dicapai oleh keluarga yang telah menjalankan fungsi yang lainnya dan dengan pola yang dianut dan ditanamkan pada anak serta usaha semua anggota keluarga. Fungsi inilah yang menunjukkan dan menggambarkan asal usul suatu keluarga atau anggota keluarga, baik dari aspek agama, harta, keturunan dan lain sebagainya.

h.   Fungsi Keagamaan
            Pada masa awal anak belum memahami ajaran agama secara benar, maka orang tua berkewajiban memperkenalkan dan mengajak serta anak dan anggota keluarganya kepada kehidupan beragama. Dengan terlebih dahulu orang tua menciptakan suasana religius dalam keluarga yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarganya sehingga bisa menjadi landasan berpijak dalam menjalani kehidupan. Di sinilah keluarga berkewajiban memberikan pengalaman-pengalaman keagamaan kepada setiap anggota keluarganya. Sebuah keluarga akan hidup harmonis dan bahagia ketika setiap anggotanya memahami dan mematuhi serta mengikuti ajaran agama, karena  setiap agama telah mengatur semua yang berkaitan dengan kehidupan umatnya termasuk dalam masalah kehidupan keluarga. Dalam pelaksanaan fungsi ini akan berhasil apabila anak tidak begitu saja dicelupkan dalam kebiasaan-kebiasaan yang belum dijiwainya, akan tetapi hendaknya anak diarahkan dan diajak serta diberi kesempatan untuk berdialog dalam rangka untuk mengembangkan rasa keagamaannya.[10]
Ketidakpahaman dan kecerobohan serta kelalaian orang tua dalam menjalankan fungsinya tersebut akan berakibat hilangnya fungsi-fungsi keluarga sebagaimana telah diuraikan di atas. Oleh karena itu orang tua harus senantiasa konsisten dalam menjalankan fungsinya dengan landasan rasa kasih sayang yang tulus dan sikap yang hati-hati.

B.     Kedudukan Orang Tua Dalam Keluarga

1.      Posisi Orang tua Dalam Keluarga
Keluarga bukanlah sekedar tempat yang digunakan oleh pasangan suami istri untuk berkumpul semata, tetapi keluarga adalah hubungan mata rantai dari sebuah perkawinan sebagai tempat untuk menyalurkan hasrat seksual dan hubungan secara mental antar keduanya yang bersifat konstan yang tidak hanya akan menjamin kelangsungan hidup manusia, tetapi juga menjamin stabilitas sosial dan eksistensi yang bermartabat dalam kerangka perkawinan yang sah atas dasar cinta dan saling menghargai.[11] Keluarga merupakan wahana kebaikan bagi pasangan suami istri dan anak-anak mereka sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan oleh hukum yang bertujuan untuk membina keluarga yang sehat dan kuat.[12]
Oleh karena itulah al Qur’an menekankan perlunya kesiapan fisik, mental dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan dalam bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang, karena Allah telah berjanji akan menjadikan mereka kaya (berkecukupan) berkat anugerah yang diberikan-Nya.[13]
Orang tua sebagai pihak yang mempunyai wewenang penuh dan paling utama mempunyai kewajiban untuk mewujudkan tujuan tersebut yang merupakan tugas yang sangat berat sekaligus mulia. Untuk itu Islam memberikan aturan main (role of game) yang sangat rapi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai petunjuk bagi keluarga muslim.
Ayah dan ibu mempunyai peran yang sangat penting dalam pembinaan dan pendidikan anak, tanggung jawab keamanan dan sosial ekonomi lebih banyak diperankan oleh ayah. Sedangkan ibu lebih banyak dihubungkan dengan tanggung jawab reproduksi dan pembinaan internal rumah tangga (keluarga).[14]
Dalam sistem perkawinan Islam, suamilah yang berperan sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap kehidupan dan keselamatan keluarga. Ini sesuai dengan fitrah dan hukum alam yang diciptakan Tuhan mengenai manusia. Ini bukan berarti menafikan kemungkinan adanya perempuan yang mampu untuk melaksanakan tugas tersebut.[15]
Peran ayah ini dalam pandangan sosiologis disebut dengan peran instrumental dan peran ibu disebut dengan peran emosional dan ekspresif. Kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang bersifat komplementer, dimana keduanya harus berjalan secara selaras dan seimbang karena ketidakseimbangan akan menyebabkan keluarga menjadi tidak stabil.[16]
Dari peran dan status yang harus dijalankan oleh orang tua, anak akan mengenal dan memahami otoritas dan wewenang orang tua, dimana usia bisa menjadi dasar dalam menentukan status sosial dan otoritas orang tua dengan anak. Orang tua mempunyai otoritas penuh terhadap anaknya, yaitu untuk mensosialisasikan mereka dengan kehidupan ini. Dengan otonomi ini memungkinkan orang tua dapat mempengaruhi bahkan memaksakan kehendaknya terhadap anak. Namun demikian, otoritas orang tua akan berkurang seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman dan banyaknya lembaga luar yang menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang tua.
Dari uraian di atas kita dapat memahami bahwa orang tua memegang peranan dan posisi yang paling central dalam sebuah keluarga terutama dalam hal pembinaan anak. Sebaliknya anak juga mempunyai kedudukan dan peran yang harus dijalankan dalam kapasitasnya sebagai anak. Kedudukan dan peran inilah yang akan memberikan identitas bagi setiap individu, yang menggambarkan adanya hubungan timbal balik antar individu.[17]
Dalam ajaran Islam, orang tua sebagai ayah dan ibu bagi anak-anak mereka juga mempunyai kekuasaan atau wewenang atas anaknya. Ada tiga wewenang yang harus dilaksanakan oleh orang tua dengan adil dan penuh rasa tanggung jawab. Hak-hak tersebut akan tetap melekat pada orang tua sampai anak tumbuh dewasa atau belum memasuki usia pernikahan.[18]
Wewenang tersebut ada tiga macam yaitu, Pertama, kekuasaan pada tahap awal, kedua, kekuasaan untuk menjaga jiwa anak, dan ketiga, adalah kekuasaan terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh anak.[19] Orang tua bertugas mengasuh dan merawat serta menjaga anak sejak dalam kandungan sampai ia lahir, dewasa dan menikah. Selain itu orang tua juga berkewajiban menjaga harta kekayaan yang menjadi hak-hak anak agar tidak terbengkalai dan dapat dipergunakan dengan baik dan benar.
Kekuasaan orang tua terhadap anak ini menunjukkan bahwa orang tua merupakan individu-individu yang memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas mengasuh, memelihara dan menjaga serta melindungi anak dan harta kekayaannya. Dengan kata lain, orang tua adalah salah satu orang yang dituntut kemampuannya untuk menerima dan menjalankan hak dan kewajiban sebagai orang tua yaitu melakukan pemeliharaan terhadap anak-anak mereka secara benar.
Yang harus diperhatikan adalah bahwa otoritas orang tua yang merupakan gambaran dari perbedaan antara orang tua dan anak ini bukan berarti orang tua bisa berbuat dan berlaku sewenang-wenang terhadap anaknya. Perbedaan yang sifatnya alamiah ini harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh setiap individu, karena dalam perbedaan ini masing-masing mempunyai peran penting dalam menjalankan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan sama-sama mempunyai nilai-nilai hakiki yang sama pula.
Ketidakadilan ini akan terjadi di muka bumi manakala manusia telah menganggap bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan di muka bumi akan dapat diatur dan diselesaikan oleh manusia sendiri dengan mengabaikan petunjuk, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Bila itu yang dilakukan oleh manusia, maka yang kuat akan menindas yang lemah. Pola pikir dan sikap seperti inilah yang akan menjadi sumber awal terjadinya ketidakadilan.[20]
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam rangka untuk menegakkan keadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan maka diberikan batasan ataupun tolok ukur dari kebutuhan manusia yang harus dijaga dan dipelihara yang dikenal dengan istilah al kulliyatul al khamsah yang juga merupakan asas-asas perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Kelima asas tersebut adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan. Barometer inilah yang harus digunakan oleh setiap manusia dalam menegakkan hak-hak dan kewajiban antar sesama. Tanpa terkecuali orang tua yang nota bene lebih mempunyai otoritas atas anak-anaknya.

2.      Hak Dan Kewajiban Orang tua Terhadap Anak
Kekuasaan atau otoritas yang dimiliki orang tua terhadap anaknya secara otomatis akan melahirkan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu orang tua sebagai pemegang kekuasaan terhadap anaknya dan anak sebagai pihak yang berada di bawah kekuasaan orang tuanya. Hak dan Kewajiban tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan kelima asas seperti disebutkan di atas.
Semenjak suami istri mendapat karunia dari Allah berupa anak, berarti mereka telah mendapatkan keturunan yang akan meneruskan generasinya dan akan mempertahankan kualitas dan kuantitas keluarganya. Hal ini berarti pula bahwa orang tua harus melaksanakan kewajibannya terhadap anaknya dan kewajiban ini dalam hukum Islam merupakan hah-hak anak.
Hak dan kewajiban itu ada yang berbentuk moral, ada yang berbentuk materiil dan ada pula yang merupakan gabungan dari keduanya. Yang berbentuk moral seperti sikap, tingkah laku, tindakan, sopan santun dan lain sebagainya yang harus dilakukan oleh setiap anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain dan begitu juga sebaliknya. Hak dan kewajiban yang berbentuk materiil seperti memberikan nafkah, tempat tinggal dan pakaian. Sedangkan yang merupakan gabungan dari keduanya adalah seperti had}anah.[21]
Ada tiga hal yang menjadi kewajiban orang tua terhadap anaknya, yaitu :
  1. Memberi nama yang bagus
Setiap orang tua hendaknya memberikan nama yang bagus bagi anak-anaknya. Nama adalah merupakan sesuatu yang sangat berharga dan mempunyai makna psikologis yang sangat penting bagi perkembangan sang anak. Di samping itu, nama juga sangat erat kaitannya dengan harga diri, nama yang jelek memungkinkan menjadi bahan pergunjingan dan hal ini dapat mengakibatkan anak rendah diri. Perasaan rendah diri ini menimbulkan kurangnya rasa percaya diri dan dapat menghambat daya kreatifitas serta dapat menggoncangkan pribadi anak.[22]
Nama bukanlah hanya sekedar nama yang tidak memiliki makna sama sekali, akan tetapi nama menyangkut aspek psikologis bagi yang bersangkutan. Memberi nama yang baik berarti memberi santunan kepada anak dalam aspek psikis dan akan berpengaruh positif bagi pertumbuhan jiwa anak. Memberi nama yang jelek dapat dimaknai ikut serta dalam menghambat perkembangan jiwa dan kepribadian anak secara wajar dan baik.[23]
Nama mempunyai hubungan yang erat dengan obyek atau pribadi yang mempunyai nama. Oleh karena itu nama menjadi obyek yang sangat penting karena terkadang menjadi identitas dan memberi gambaran terhadap kepribadian yang bersangkutan.[24] Di samping itu, nama juga merupakan do’a atau harapan yang baik terhadap diri anak yang merupakan pendorong bagi pribadi untuk memenuhi citra yang sesuai dengan namanya.
  1. Memberi Pengajaran
Setiap orang tua berkewajiban untuk mengusahakan agar proses belajar anak-anaknya dapat berjalan dengan baik dan wajar. Orang tua sebagai pendidik utama dan pertama berkewajiban melatih dan mengembangkan fikir agar pikiran anak setelah dewasa kelak menjadi tajam dan dapat menangkap sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh ayat-ayat Allah yang terhampar di alam ini. Di samping itu orang tua juga berkewajiban melatih hati anak, karena dalam hati inilah iman bersemayam. Penanaman iman sejak anak-anak akan sangat berpengaruh bagi perkembangan dan pertumbuhan iman pada masa selanjutnya. Orang tua sebagai orang yang mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anaknya, perlu memberi skala prioritas yang baik terhadap pertumbuhan rasio dan hati. Dengan konsep ini diharapkan muncul  dari anak mereka, manusia yang kuat intelektualnya, kuat imannya dan menjadi seorang manusia yang kokoh aspek fikir maupun dzikirnya.[25]
Pendidikan dasar dan konsep Islam adalah pendidikan moral atau akhlak. Pendidikan budi pekerti luhur yang berdasarkan agama inilah yang harus dimulai oleh orang tua di lingkungan rumah tangga (keluarga). Di sinilah harus dimulai pembinaan kebiasaan-kebiasaan yang baik oleh orang tua dalam rumah tangga. Kebiasaan-kebiasaan tersebut seperti tingkah laku, sopan santun, pemaaf, sabar, lapang dada dan lain sebagainya dalam diri anak didik. Lingkungan rumah tanggalah yang dapat membina pendidikan ini, karena anak yang berusia muda dan kecil itu lebih banyak berada di lingkungan rumah tangga dari pada berada di luar.[26]

  1. Menikahkan
Pesan selanjutnya yang dikumandangkan oleh Rasulullah SAW adalah menikahkan anak apabila telah mencapai usia dewasa. Apabila anak telah matang fisik dan psikisnya dan ia berkeinginan untuk menikah maka orang tua berkewajiban untuk menikahkannya. Tuntutan ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya hubungan seks pra nikah yang dapat menimbulkan kekacauan dan ketidaknyamanan dalam masyarakat.[27]
Pesan Rasulullah terhadap orang tua agar menikahkan anaknya apabila telah memasuki usia dewasa sangat relevan dengan pendidikan akhlak. Anak akan lebih terjaga dari perbuatan zina dan perbuatan tercela lainnya. Perbuatan zina selalu mengundang masalah dalam kehidupan baik individu, keluarga maupun masyarakat. Jadi nikah merupakan salah satu cara untuk menghindarkan diri dari akhlak yang tercela.[28]
Selain kewajiban-kewajiban di atas, ada pula kewajiban lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu orang tua berkewajiban melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil tanpa membedakan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan segala sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari segala sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya. Mengabaikan kewajiban dalam mengasuh anak berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan dan kehancuran.[29]
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan status dari h}ad}anah ini,  apakah yang berhak itu h}a>d}in atau mah}d}u>n (anak). Sebagian pengikut maz|hab H}anafi> berpendapat bahwa h}ad}anah itu merupakan hak anak, sedang menurut Syafi'i>, Ahmad dan sebagian pengikut maz|hab Ma>lik berpendapat bahwa h}ad}inlah yang berhak terhadap h}ad}anah.[30]
Pada pendapat pertama dapat dipahami bahwa orang tua diberi pilihan oleh anak untuk mengasuh atau tidak mengasuh, dan jika orang tua diberi kepercayaan untuk mengasuh anak maka itu adalah suatu pilihan yang sangat baik karena anak akan terpelihara dan hubungan antar keduanya akan tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Dan sebaliknya jika orang tua tidak dipercaya untuk mengasuh anak, orang tua pun tidak bisa memaksa karena itu adalah hak anak, dan akibatnya adalah anak tidak akan terpelihara secara langsung oleh orang tuanya sendiri.
Apabila mengikuti pendapat kedua yang menyatakan bahwa h}ad}anah adalah hak h}a>d}in, maka keputusan ada di tangan orang tua sebagai h}a>d}in. Artinya bahwa orang tua mempunyai hak pilih dalam melaksanakan haknya tersebut, begitu juga sebaliknya. Seandainya hal ini terjadi maka dikhawatirkan bahwa anak akan terlunta-lunta pendidikan dan pemeliharaannya.
Asghar Ali menyatakan bahwa h}ad}anah sangat erat kaitannya dengan seorang perempuan sebagai seorang ibu yang pertama berhak untuk membesarkan anak-anaknya. Kewajiban seorang ibu dalam mengasuh anak selesai ketika anak mencapai usia tertentu, batasan usia ini berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Menurut maz|hab H}anafi>, seorang anak laki-laki berhak diasuh oleh ibunya sampai usia tujuh atau delapan tahun, sedangkan anak perempuan sampai masa puber. Sedangkan menurut Ima>m Sya>fi'i> dan Ima>m H}ambali>, ibu berhak mengasuhnya sampai usia tujuh tahun baik anak laki-laki maupun perempuan. Sebaliknya, para fuqaha> Syi>’ah berpendapat bahwa ibu berhak mengasuh anak laki-laki sampai usia dua tahun dan anak perempuan sampai usia tujuh tahun, setelah mencapai usia tersebut anak berhak menentukan akan ikut kepada ayahnya atau ibunya.[31]
Dengan demikian, hak seorang ibu untuk mengasuh anak-anaknya sampai usia tertentu adalah absolut dan kemudian terserah anak itu sendiri untuk memutuskannya atau diserahkan kepada hakim. Dalam mengambil keputusan, hakim juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan kesejahteraan anak.
Terlepas dari perbedaan di atas, Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk menjaga keluarganya dari api neraka dengan mendidik  dan memeliharanya agar menjauhi segala yang menjadi larangan-Nya. Anak merupakan anggota keluarga sehingga terpeliharanya dari api neraka merupakan hak anak yang wajib dilaksanakan orang tua.
Orang tua dan anak mempunyai hubungan timbal balik (mutualisme) yang baik, dimana anak wajib berbuat baik terhadap orang tua sehingga tidak mengakibatkan penderitaan bagi orang tua, dan orang tua berkewajiban untuk memperlakukan anak dengan baik sehingga tidak mengakibatkan orang tua sengsara. Kebaikan orang tua terhadap anak dalam mendidik dan memelihara anak akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan jiwa dan raga anak, mereka akan tumbuh secara wajar dan baik serta tidak akan menyulitkan orang tua. Sehingga pada akhirnya anakpun bisa memenuhi hak-hak orang tua yang ada pada diri anak.
Tetapi semua kewajiban orang tua terhadap anaknya itu ada batasannya atau masa berlakunya, yaitu apabila anak sudah mampu berdiri sendiri maka terlepaslah kewajiban itu dari pundak orang tua. Termasuk pengertian berdiri sendiri bagi anak perempuan adalah apabila ia telah dinikahkan, sebab dengan pernikahan kewajiban nafkah bagi orang tua telah menjadi tanggung jawab suaminya, maka secara hukum anak tersebut telah lepas dari tanggung jawab orang tuanya.[32]
Sementara itu, menurut As-Sayyid Sa>biq orang tua tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada anaknya yang dalam keadaan kekurangan sedangkan orang tuanya dalam keadaan mampu. Ahmad berpendapat bahwa apabila anak itu sampai kekurangan atau tidak mempunyai pekerjaan atau mata pencaharian, maka kewajiban memberi nafkah kepada anak tidak gugur karena anak tidak memiliki penghasilan harta kekayaan.[33]
Adapun hak-hak orang tua terhadap anaknya adalah untuk menguasai dan bertindak secara hukum terhadap anak, yaitu dengan cara yang patut, baik dan dibenarkan oleh syari’at dan sepanjang kekuasaan tersebut tidak dicabut atau hilang. Selain itu orang tua juga berhak mendapatkan penghormatan, penghargaan sekaligus perlakuan yang baik dari anaknya.
Hak orang tua yang lainnya adalah berhak memperoleh nafkah dari anaknya apabila orang tua dalam keadaan tidak mampu dan anaknya mampu mengusahakan atau memberinya nafkah.[34]
Kewajiban-kewajiban yang melekat pada orang tua yang merupakan tanggung jawab orang tua harus dilaksanakan dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Dengan cara seperti inilah hak-hak orang tua atas anak-anaknya akan terpenuhi, sehingga kedua belah pihak terhindar dari kesengsaraan dan kehancuran.

C.    Kedudukan Anak Dalam Keluarga


1.      Pengertian Anak

Sejak manusia ada ia telah mempunyai pandangan tentang hakekat anak. Pada masa lalu anak dianggap manusia dewasa dalam bentuk kecil.[35] Artinya anak dianggap mempunyai kemampuan dan kesanggupan yang sama dengan orang dewasa hanya saja dalam bentuk yang lebih sederhana. Akibatnya perlakuan dan sikap terhadap anak serta tuntutan yang diharapkan kepada anak sama dengan orang dewasa.
Secara etimologi, anak dalam bahasa arab sering disebut dengan t}iflun, ibnun, waladun dan s}abiyyun Istilah t}iflun ini berarti anak yang belum baligh. Sementara kata ibnun dan waladun diartikan sebagai seorang dari yang mengandung pemahaman bahwa kata tersebut meliputi dari lahir sampai meninggal. Dalam arti tidak terbatas umurnya karena lebih ditekankan pada putra.
Sedangkan s}abiyyun dipakai untuk menyebut bayi dan anak kecil. Dengan demikian ada yang termasuk anak ada pula yang termasuk bayi. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Robert J Havighurst yakni terdapat periode infancy dan early chilhood.[36] dan yang termasuk anak terdapat pada periode early chilhood. Dilengkapi pula dari kamus Arab -Indonesia, shobiyyun berarti kanak-kanak yang belum cukup umur. [37]
Untuk menyebut kata anak al Qur’an menggunakan istilah al ibnu yang berasal dari bahasa Arab yaitu bana>-yabni>-bana>t (بنى – يبنى - بنات) yang berarti membangun, membina, menyusun dan membuat fondasi.[38]
Dalam al Qur’an bentuk jamak dari kata ibnu adalah abna>’u-bani>>n-banu>n menunjukan kepada pengertian anak-anak atau anak cucu tanpa membedakan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Hal ini berbeda dengan bentuk jamak dari kata bintun, yakni bana>t yang secara khusus menunjuk kepada anak-anak perempuan.[39]
Selain kata ibnu, juga sering digunakan istilah al waladu jamaknya al aula>d yang pengertian dan penggunaannya tidak banyak berbeda dengan kata al ibnu.  Kata al walad dalam al Qur’an kadang-kadang berarti anak laki-laki dan terkadang pula menunjukkan kepada pengertian anak tanpa menunjukkan perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dan makna inilah yang paling sering dijumpai.[40]
Anak dalam perspektif yang lebih umum adalah keturunan kedua sebagai hasil dari perkawinan atau hubungan antara laki-laki dan perempuan[41] dan hukum Islam menentukan bahwa anak dapat dikatakan sah apabila kehamilan terjadi di dalam hubungan perkawinan yang sah.[42]
Berdasarkan asal usul anak, maka anak meliputi beberapa pengertian, yang terdiri dari anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak susu, anak pungut dan anak zina. Setiap anak ini mendapat perhatian yang khusus dalam wacana hukum Islam yang menentukan statusnya baik dalam hal keturunan, kewarisan maupun dalam pandangan masyarakat dan ketentuan hukumnya.
Anak kandung berarti anak sendiri yaitu anak yang dilahirkan oleh seorang ibu dari suaminya yang sah berdasarkan perkawinan yang memenuhi syarat.[43] Anak yang lahir karena perzinaan juga dapat dikatakan sebagai anak kandung hanya saja statusnya tidak sah dan antara anak dengan bapaknya tidak terjadi hubungan waris mewarisi.[44] Konsekuensinya adalah bahwa anak tersebut hanya mendapatkan hak dari ibunya saja, utamanya adalah materiil dan nasab walaupun sebenarnya ada tanggung jawab moral dan spiritual dari sang ayah.
Anak kandung berhak mendapatkan segala sesuatu yang menjadi haknya sebagai seorang anak, khususnya hak untuk mendapatkan nafkah baik materi maupun non materi dan warisan. Anak kandung juga mempunyai tanggung jawab yang berkaitan dengan kewajiban anak terhadap orang tua.  Kedudukan anak kandung lebih tinggi dari pada anak angkat, anak tiri dan lain sebagainya. Anak kandung mempunyai hak prioritas dalam menerima harta warisan, dalam artian bahwa mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan orang tuanya dan tidak ada orang lain yang dapat menggeser kedudukan mereka dalam mendapatkan warisan orang tuanya. Perbedaan yang sangat mendasar antara anak kandung dengan jenis anak yang lainnya adalah bahwa anak kandung adalah mahram yang tidak boleh menikah dengan orang tuanya.[45]
Anak angkat adalah seorang anak yang berasal dari orang tua yang diambil oleh orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri, dan kemudian anak tersebut berpindah tangan kepada orang tua yang baru.[46] Perbuatan ini lebih dikenal dengan istilah adopsi, dan biasanya terjadi pada pasangan yang tidak dikaruniai anak. Dengan cara ini anak angkat mempunyai hubungan dengan orang tua angkat seperti dengan orang tuanya sendiri. Bahkan terkadang ada pemindahan hubungan nasab dan faktor inilah yang menyebabkan Islam melarang pengangkatan anak. Dan jika seandainya pengangkatan itu terjadi maka tidak boleh ada pemisahan nasab dan kasih sayang orang tua kandung.[47]
Konsekuensi hukum yang harus diterima oleh anak angkat yang diambil dari keluarga yang sama sekali tidak memiliki hubungan apapun adalah bahwa ia tidak berhak untuk mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, kecuali dengan jalan wasiat dan inipun tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan. Selain itu, ibu angkat juga boleh menikah dengan anak angkat laki-lakinya dan begitu juga sebaliknya ayah angkat boleh menikah dengan anak angkat perempuannya. Dengan syarat antara anak angkat memang tidak ada hubungan yang mengharamkannya.[48]
Anak susuan berarti seorang anak yang menyusui atau menetek dari seorang wanita tertentu yang bukan orang tua kandungnya sendiri.[49] Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan pada masa jahiliyah dahulu bahkan Rasul sendiri disusukan oleh beberapa wanita yang berbeda. Anak susuan ini juga menimbulkan hukum yang menentukan arti penyusuan itu sendiri. Apabila penyusuan itu terjadi di bawah usia dua tahun dan lebih dari lima kali susuan serta berasal dari wanita yang sama, maka berlaku hukum tertentu bagi anak.
Dari penyusuan itu diharamkan terjadinya perkawinan antara yang menyusui dengan keturunannya (ke atas maupun ke bawah) dengan keluarga dari bapak dan ibu susuannya, karena mereka itu adalah sedarah daging. Ketentuan ini tidak berlaku bagi keluarga sampingan dari anak susu (saudara, paman, bibi dan seterusnya dari anak susu tersebut) sebab mereka tidak memiliki hubungan apapun dengan keluarga ibu dan bapak susu itu.[50]
Anak susuan sekalipun mempunyai hubungan darah tetapi ia tidak menimbulkan hak dalam warisan dan ia tidak memasuki wilayah hak dan kewajiban anak kandung. Kedudukan anak susu ini lebih tinggi daripada kedudukan anak angkat,  karena ia mempunyai hubungan darah dan lebih mengandung cinta dan kasih sayang kepada orang tua susuannya.[51]
Anak pungut adalah anak yang didapatkan dari dan di manapun juga dan dipelihara oleh orang yang menemukannya untuk menjauhkannya dari kesengsaraan dan kehancuran pribadinya. Dalam Islam anak ini dikenal dengan istilah laq}it yang artinya adalah memungut anak yang terlantar disebabkan oleh suatu keadaan yang mengakibatkan hilangnya tempat bersandar dan berlindung  serta menyerahkan diri.[52]
Dalam keluarga anak pungut tidak mempunyai kedudukan yang istimewa kecuali adanya belas kasihan dan tanggung jawab moral dari orang yang memungutnya, dan ia juga tidak menimbulkan implikasi hukum apapun sebagaimana halnya anak kandung. Tetapi ini bukan berarti orang tua dapat melakukan tindakan sewenang-wenang dan sekehendak hati terhadap anak tanpa adanya alasan yang dapat dibenarkan oleh ajaran agama.
Anak tiri adalah anak yang dibawa oleh suami atau istri dari perkawinannya yang pertama ke dalam perkawinannya yang baru. Anak ini tidak menjadi tanggung jawab bapak atau ibu tirinya, akan tetapi menjadi tanggung jawab bapak atau ibu kandungnya. Anak tiri tidak boleh menikah dengan bapak atau ibu tirinya, tetapi boleh menikah dengan keluarga mereka. Dan anak tiri tidak mendapatkan warisan.[53] Sekalipun anak tiri bukan merupakan tanggung jawab bapak atau ibu tirinya, namun bukan berarti menafikan rasa kemanusiaan dan rasa santun yang menjadi jiwa manusia Islam. Bahkan Azhar Basyir berpendapat bahwa ibu tiri yang memerlukan berhak untuk mendapatkan nafkah dari anak tirinya yang mampu sebagai upaya untuk melangsungkan berbuat baik kepada ayah kandung.[54]
Anak zina adalah anak yang timbul  dari perkawinan atau pergaulan yang tidak sah antara seorang pria dan wanita. Pergaulan atau hubungan ini bisa terjadi pada siapa saja baik antara adik-kakak, ayah-anak, ibu-anak maupun dengan yang lainnya.[55]
Berkaitan dengan masalah ini perundang-undangan di Indonesia tidak menggunakan semua istilah di atas untuk pengaturan hukumnya. Sehingga masyarakat hanya mengenal istilah anak sah dan anak tidak sah serta anak angkat.
Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Dari ketentuan ini ada dua kemungkinan yang bisa dilihat tentang sahnya anak, yaitu anak yang lahir dalam perkawinan yang sah dan anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah.[56] Pada kemungkinan kedua tidak terdapat masalah, tetapi pada kemungkinan pertama memberikan toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah meskipun akibat dari perbuatan yang tidak sah.[57]
Undang-undang ini juga mengatur tentang hubungan keperdataan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, yaitu ia hanya memiliki hubungan dengan ibunya dan keluarganya (pasal 43), berkaitan dengan anak hasil zina yang dilakukan oleh seorang istri, suami dapat menyangkal dengan membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan menghasilkan anak (pasal 44 ayat 1) dan pengadilan dapat memberikan keputusan tentang sah tidaknya anak tersebut atas permintaan pihak yang bersangkutan (pasal 44 ayat 2).[58]
Kemudian ketentuan lain yang diatur oleh undang-undang adalah tentang pengangkatan anak atau adopsi.  Secara umum hal ini diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 4 Tahun 1979, yang mana pengangkatan anak ini dimaksudkan demi kesejahteraan anak dan mengenai aturannya berdasarkan adat dan kebiasaan setempat.
Hal ini terjadi karena memang selama ini belum ada perundang-undangan khusus dan tertulis yang mengatur tentang pengangkatan anak kecuali bagi warga Tionghoa. Mengingat undang-undang belum terbentuk maka sebagai pedomannya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung.[59]
Kondisi yang demikian mengakibatkan adanya perbedaan persepsi tentang pengertian dan implikasi hukum bagi anak yang diadopsi. Tetapi secara garis besar para ahli hukum (di Indonesia) berpendapat bahwa anak angkat adalah anak yang diambil dari orang lain melalui proses hukum tertentu untuk dijadikan anak sendiri sehingga anak tersebut diperlakukan seperti anak kandungnya sendiri baik secara moral, kultural ataupun secara hukum. Dan pada umumnya adopsi dilakukan untuk memenuhi kepentingan orang tua angkat yaitu untuk pemeliharaan harta dan melanjutkan keturunan.[60]
Sedangkan pengertian anak dalam bahasa hukum yang juga variatif dan sangat erat kaitannya dengan pengertian tentang kedewasaan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan tolok ukur yang digunakan dalam ketentuan hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Tolok ukur yang digunakan antara lain adalah :
a.       Hukum Islam.
Dalam hukum Islam batasan kedewasaan tidak hanya didasarkan pada hitungan usia, tetapi sejak adanya tanda-tanda atau perubahan lahiriah baik pada anak laki-laki maupun perempuan.[61] Anak dibedakan menjadi dua, yaitu antara anak yang masih kecil (belum baligh) dan anak yang sudah baligh. Anak yang masih kecil dibedakan lagi menjadi dua, yaitu anak yang belum mumayyiz (belum bisa membedakan antara yang haq dan yang bathil)  dan anak yang sudah mumayyiz.[62]
Menurut Must}afa> Ahmad az Zahra, mumayyiz adalah periode setelah at} t}ufu>lah (belum bisa sepenuhnya membedakan antara yang bermanfaat dan yang mad}arat bagi dirinya) menjelang masa baligh. Pada masa ini anak sudah mampu membedakan secara sederhana mana yang baik dan mana yang buruk serta sudah mampu membedakan antara yang bermanfaat dan yang tidak, tetapi kemampuan akalnya belum sempurna karena belum mempunyai pandangan yang jauh. Batasan awal mumayyiz sulit ditentukan karena sifatnya yang abstrak, juga karena berhubungan dengan pertumbuhan jiwa yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Tetapi secara konkret anak mumayyiz bisa dipahami, bagi perempuan adalah tujuh tahun hingga ia mendapatkan haid dan untuk laki-laki hingga ia mengalami mimpi basah.[63]
Ulama maz|hab menyepakati bahwa haid dan hamil merupakan bukti kedewasaan seorang perempuan, yang kedudukannya sama dengan laki-laki yang mengeluarkan sperma. Sya>fi’i> dan H}ambali> menyatakan usia balig untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Ma>liki> menetapkan 17 tahun. Sementara H}anafi> berpendapat bahwa bagi laki-laki 18 tahun dan perempuan 17 tahun. Sedangkan Imamiah menetapkan bagi anak laki-laki adalah 15 tahun dan perempuan 9 tahun.
b.      Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
Di dalam pasal 330 disebutkan secara jelas bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun dan dikatakan sudah dewasa apabila mereka sudah 21 tahun atau sudah menikah walaupun usianya belum mencapai 21 tahun. Perceraian yang terjadi sebelum usia 21 tahun tidak berpengaruh terhadap status kedewasaan seseorang. Bagi yang belum dewasa dan tidak berada dalam kekuasaan orang tua akan berada di bawah perwalian.
c.       Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang ini tidak secara jelas mengatur tentang batasan seseorang dapat dikategorikan sebagai anak, akan tetapi secara tidak langsung tersirat dalam beberapa pasal yang mengatur tentang syarat-syarat perkawinan seseorang.  Dari beberapa pasal tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa undang-undang ini menentukan batasan dewasa adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
d.      Undang-undang No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan anak
Di dalam pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah menikah. Dalam penjelasan undang-undang ini disebutkan bahwa batas usia 21 tahun ditetapkan karena pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahapan kematangan sosial, pribadi dan mental anak akan dicapai pada usia tersebut.[64]
Beberapa ulama fikih memberikan batasan minimal bagi perempuan adalah sembilan tahun dan bagi anak laki-laki adalah 12 tahun, tetapi bagi perempuan yang hingga usia lima belas tahun belum mendapatkan haid maka hal itu dijadikan batas maksimal masa mumayyiz dan dianggap sudah baligh. Jadi ada tiga masa yang berkaitan dengan anak, yaitu at t}ufu>lah, mumayyiz dan akil balig, yang kesemuanya dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kecakapan seseorang hingga dapat dikatakan sudah mempunyai kemampuan untuk bertindak secara hukum atau mempunyai kecakapan untuk memikul beban taklif.[65]
Ulama maz|hab menyepakati bahwa haid dan hamil merupakan bukti kedewasaan seorang perempuan, yang kedudukannya sama dengan laki-laki yang mengeluarkan sperma. Sya>fi’i> dan H}ambali>  menyatakan usia baligh bagi anak laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun, sedangkan Ma>liki> menetapkan tujuh belas tahun. Sementara itu H}anafi> berpendapat bahwa bagi anak laki-laki adalah delapan belas tahun dan tujuh belas tahun bagi anak perempuan. Sedangkan Immamiyah menetapkan lima belas tahun bagi laki-laki dan sembilan tahun bagi perempuan.[66]

2.      Hak Dan Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua

Manusia merupakan makhluk biologis dan kultural yang sekaligus sebagai makhluk sosial. Keadaan manusia yang seperti inilah yang menentukan kewajaran dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.[67] Keadaan ini tidak hanya berlaku bagi orang dewasa saja tetapi untuk seluruh manusia tanpa memandang usia, tidak terkecuali anak-anak. Mereka adalah sama-sama manusia yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan tahap perkembangannya masing-masing yang harus terpenuhi secara wajar.
Dalam prosesnya anak akan mengalami perkembangan menuju kedewasaan, untuk menentukan eksistensinya serta proses sosialisasi, anak mempunyai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Kebutuhan dasar ini sangat menentukan perkembangan jasmani dan rohaninya. Agar anak menjadi makhluk sosial dan kultural yang bertanggung jawab dan siap menghadapi tantangan.
Mengacu pada konvensi Hak-hak Anak (KHA) yang telah disahkan pemberlakuannya oleh PBB pada tanggal 20 November 1989, ada empat hak dasar yang harus dipenuhi oleh orang tua, yaitu :
a.       Hak untuk kelangsungan hidup, anak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan dapat hidup layak, yaitu dengan terpenuhinya makanan, air bersih dan tempat tinggal yang aman.
b.      Hak untuk tumbuh kembang, anak berhak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensinya secara penuh dan mendapatkan pendidikan, ketenangan dan istirahat serta berpartisipasi dalam berbagai kegiatan.
c.       Hak untuk memperoleh perlindungan, anak harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan seksual, diskriminasi, tindakan sewenang-wenang dan kelalaian. Hal ini berlaku bagi semua anak, tak terkecuali anak yang mengalami cacat mental maupun fisik, pengungsi, yatim piatu dan yang berada dalam peperangan serta dalam keadaan mengalami masalah hukum.
d.      Hak untuk berpartisipasi, anak berhak mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat, kebudayaan, lingkungan sosial dengan mengacu kepada kebebasan anak untuk berekspresi dan perlunya mempertimbangkan pandangan dan gagasan anak.[68]
Oleh karena itu dalam Deklarasi Hak-hak Anak diakui tentang pentingnya kerjasama semua pihak dalam rangka menjaga dan memelihara anak. Secara garis besar dinyatakan bahwa setiap anak mempunyai hak yang merupakan kodrat hidup. Pada beberapa pasal dalam Deklarasi Hak-hak Anak, anak harus segera didaftarkan setelah kelahirannya dan berhak atas sebuah nama, berhak memperoleh kewarganegaraan, berhak mengetahui dan dipelihara oleh orang tuanya. Hal ini selain merupakan kewajiban orang tua juga merupakan hak-hak anak dalam rangka memperoleh identitas diri yang otentik untuk keperluan kehidupannya di kemudian hari dalam pendidikan, warisan, perkawinan, kewarganegaraan dan lain sebagainya.[69]
Dalam Deklarasi Hak-hak Anak dinyatakan bahwa orang tua mempunyai peran yang sangat penting dan dituntut bertanggung jawab secara penuh terhadap anak-anaknya dan mempunyai kewajiban memelihara serta mengasuhnya dengan baik demi keselamatan anak baik fisik maupun mental. Orang tua dilarang memisahkan anak, kecuali pengadilan menetapkan hal tersebut sesuai dengan undang-undang bahwa hal tersebut diperlukan untuk kebaikan dan kepentingan sang anak. Kasus seperti ini bisa terjadi dikarenakan adanya penyalahgunaan wewenang orang tua atau penelantaran anak.[70]
Sedangkan dalam wacana hukum Islam hak anak telah dirumuskan jauh sebelum konvensi tersebut lahir. Islam datang dan mendeklarasikan kepada seluruh umat manusia bahwa manusia dalam setiap fase kehidupan ini mempunyai hak-hak yang harus dijaga dan ditegakkan, sejak masa dalam kandungan sampai masa kematian.
Di antara hak-hak yang telah dirumuskan oleh Islam adalah hak anak. Hak-hak yang harus ditegakkan dan dipenuhi oleh orang tua sebagai penanggung jawab keluarga, baik yang harus diberikan oleh ayah maupun hak yang harus diberikan oleh ibu atau oleh keduanya. Hak-hak anak telah ditetapkan sejak kelahirannya ke dunia, yaitu hak untuk mendapatkan nasab (keturunan), pendidikan, nafkah, disusui dan dipelihara serta diasuh.
Hak nasab merupakan hak anak untuk mendapatkan pengakuan dari orang tua bahwa anak tersebut adalah darah dagingnya sendiri atau keturunannya. Hak untuk mendapatkan nasab ini merupakan identitas diri anak yang sifatnya otentik dan akan sangat berguna dalam kehidupan anak seperti dalam hal warisan dan pernikahan.[71]
Di samping hak-hak tersebut, anak juga memiliki kewajiban terhadap orang yang harus dilaksanakan dalam kapasitasnya sebagai anak. Adapun kewajiban-kewajiban tersebut di antaranya adalah anak diwajibkan memberikan penghargaan dan penghormatan  terhadap orang tua. Karena bagaimanapun, orang tua adalah orang yang telah berjasa dalam kehidupan sang anak. Selain itu, anak berkewajiban memberikan nafkah kepada orang tua yang kekurangan secara ekonomi sedangkan anak dalam keadaan mampu dan memiliki harta yang cukup,   dan masih banyak lagi kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh anak terhadap orang tua.
3.      Posisi Anak Dalam Keluarga

Perlindungan, penjagaan, pemeliharaan dan pencurahan perhatian serta kasih sayang terhadap anak erat kaitannya dengan posisi anak dalam syari’at Islam, karena arti penting dari semua hak dan kewajiban itu pasti dijiwai oleh kedudukan anak dalam keluarga. Al-Qur’an telah menggambarkan dengan sangat jelas bahwa anak merupakan permata hati, perhiasan hidup, kabar gembira dan sekaligus sebagai cobaan bagi orang tuanya.
Orang tua diperintahkan untuk menjaga diri mereka dan keluarganya dari siksa api neraka. Sebagaimana firma Allah yang berbunyi :
ياأيها الذين أمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا[72]
Perintah tersebut mengandung arti bahwa orang tua harus menjaga dan memelihara keluarganya termasuk anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Dengan pendidikan yang baik dan penuh kehati-hatian anak akan menjadi penghibur dan perhiasan bagi keluarga.
Disamping sebagai perhiasan dan penghibur keluarga, anak juga bisa menjadi cobaan bagi orang tua, ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat dalam perjalanan anak manusia tidak selamanya orang tua dapat menjalankan tugasnya dengan sempurna. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
واعلموا أنما أموالكم وأولادكم فتنة وأن الله عنده أجر عظيم[73]
Ketidakhati-hatian orang tua dalam memperlakukan anak akan menimbulkan hal-hal yang negatif. Anak yang seharusnya menjadi penghibur dan perhiasan bagi orang tua dikala hati sedang sedih, dapat berubah menjadi musuh bagi orang tua. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
ياأيها الذين ءامنوا إن من أزواجكم وأولادكم عدوا لكم فاحذروهم[74]

Para ahli tafsir berpendapat bahwa kata ‘aduwwun dalam surat at Tagobun ayat 14 bermakna bahwa anak kadang-kadang menjerumuskan orang tua untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan agama sehingga orang tua harus berhati-hati dalam memelihara, mendidik serta memperlakukan anak.[75] Atau sekurang-kurangnya anak menjadi musuh yang dapat menghambat cita-cita orang tua. Oleh karena itulah orang tua dituntut kehati-hatiannya dalam mendidik, memperhatikan dan memperlakukan anak.
Al qur’an menempatkan anak pada posisi yang sangat penting dan memberikan perhatian yang sangat serius. Karena anak merupakan amanah Allah swt yang dianugerahkan kepada ummat manusia. Amanah yang kelak akan menjadi tumpuan harapan orang tua untuk membebaskan diri dari siksa api neraka dan memasukkan mereka ke dalam surga.
Anak merupakan salah satu perkara yang akan senantiasa memberikan kontribusi pahala bagi orang tua sekalipun mereka sudah meninggal. Ini berarti bahwa anak mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam sebuah keluarga, terlebih lagi jika anak tersebut adalah anak yang sholeh yang tak pernah lupa untuk bersikap dan berbuat baik serta berdoa kepada orang tuanya. Sebab doa anak merupakan investasi pahala yang tidak akan berhenti apabila mereka nanti meninggal dunia.




[1] Hasan Langulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1989), hlm. 346 .
[2] Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih, (Jakarta: Pustaka Antara, 1979), hlm. 11.
[3] Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1982), hlm. 1729.
[4] A.G Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius,1973), hlm. 645-646.
[5] Abdul Ghani ‘Abud, Keluarga Muslim dan Berbagai Masalahnya, (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 2.
[6] Ibid., hlm 3.
[7] Ibid., hlm. 4-5.
[8] Jalaludin Rahmat Dan Muhtar  Ganda Atmaja, Keluarga Muslim dalam Masyarakat
Modern, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999 ), hlm. 94.
[9] Nabil Muhammad Taufik as Samaluthi, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 13.
[10] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986) hlm. 121. Lihat juga M.I Sulaiman, Pendidikan dalam Keluarga, hlm. 85.

[11] Ashgar Ali Engeneer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha, (Yogyakarta: LSPPA dan CUSO Indonesia, 1994), hlm. 138.
[12] Abdul Gani ‘Abud, Keluarga Muslim, hlm. 46.
[13] M. Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 192.
[14] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al Qur’an, Cet II, (Jakarta:: Paramadina, 2001) hlm. 190.
[15] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, cet V (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 436.
[16] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, (Bandung :Mizan, 1999), hlm. 67. Lihat juga William J. Goode, Sosiologi Keluarga, alih bahasa Lailahanoum, hlm. 143.
[17] Ibid.
[18] Abu> Zahra>, Ah}wa>l Asy syakhs}iyyah, (Ka>iro : Da>r al Fikr al ‘Arabi>, t.t), hlm. 562.
[19] Ibid.
[20] Hartono Mardjono, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 27.
[21] Zakiyah Darajat, Ilmu Fikih,  (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), I: 121.
[22] M. Anies, Anak dalam Perspektif Al Qur’an: Kajian dari Segi Pendidikan, (Jurnal Al Jami’ah No 54 Th. 1994), hlm. 5. Lihat juga Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, (Bandung: Mizan,1998), hlm. 185-188.
[23] Ibid., hlm. 6.
[24] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, alih bahasa Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 229-230.
[25] M. Anies, Anak., hlm. 6.
[26] Harun Nasution, Islam., hlm. 445.
[27] Ibid., hlm. 7.
[28] Ibid.
[29] As Sayyid Sa>biq, Fikih Sunnah, alih bahasa Moh. Thalib, Cet XIII (Bandung: Al Ma’arif, 1997), hlm. VIII:160.
[30] Zakiyah Daradjat, Ilmu Fikih, hlm. 162.
[31] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, alih bahasa Agung Prihartoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 249.
[32] Zuhri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), hlm. 70.
[33] As-Sayyid Sa>biq, Fikih Sunnah, alih bahasa Moh. Thalib, cet. XIII, (Bandung: Al Ma’arif, 1997), hlm. 192.
[34] Zuhri Hamid, Pokok-pokok, hlm. 70.
[35] Bahitsatul Badiah, Mendidik Anak dalam Keluarga Menurut Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Institut Press 1996), hlm. 16.
[36] Rahmad Suyud, Pokok-pokok Ilmu Jiwa Perkembangan, (Yogyakarta: Fak Tarbiyah, 1978),  hlm. 27.
[37] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penafsiran t.t ), hlm. 211.
[38] Nasaruddin Umar, Argumen, hlm. 191.
[39] Ibid., hlm. 192.
[40] Ibid., hlm. 193-194.
[41] Fuad Mohd. Fakhrudin, Masalah Anak dalam Hukum Islam ( Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina), cet.  II (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm. 38.
[42] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet. X (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 106.
[43] Fuad Mohd. Fakhrudin, Masalah Anak, hlm. 33.
[44] Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, hlm. 96.
[45] Fuad Mohd. Fakhruddin, Masalah Anak, hlm 48-49.
[46] Ibid., hlm. 47. Lihat Juga Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata barat, Hukum Islam dan Hukum Adat, hlm. 38.
[47] Ibid., hlm. 50.
[48] Ibid., hlm 65.
[49] Ibid., hlm. 69.
[50] Ibid., hlm. 66-67.
[51] Ibid., hlm. 67.
[52]  Ibid., hlm. 68.
[53] Ibid., hlm 88.
[54] Azhar Basyir, Perkawinan, hlm. 102.
[55] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.
[56] Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata Barat, Hukum Islam dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar grafika, 1992), hlm. 38.
[57] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.. 222..
[58] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, pasal 43 dan pasal 44.
[59] Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 31.
[60] Ibid., hlm. 33-35.
[61] Mulyana W Kusumah, Hukum dan Hak-hak Anak,  hlm. 3.
[62] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) hlm. 112.
[63] Ibid., hlm. 1225.
[64] Irma Setyiowati, Aspek Perlindungan, hlm. 35.
[65] Abdul Azis Dahlan, Ensikloped, hlm. 1225.
[66] Muh. Jawad Mugniyah, Fikih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,Hambali, alih bahasa, Masykur AB dkk, Cet II (Jakarta: Lentera Basritama, 1996) hlm. 317-318.
[67] Sumadi Suryabrata, Hubungan Antara Perkembangan Pribadi dan Keterlantaran, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1982) hlm. 2.
[68] M. Joni dan Zulchiana Z Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 133.
[69] Ibid., hlm. 3-4.
[70] Ibid., hlm. 3.
[71] M. Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, hlm. 385.
[72]  At- Tahri>m, (66): 6.
[73] Al Anfa>l, (8) : 28.
[74]  A t- Taga>bun, (64):14.
[75] M. Anies, Anak, hlm. 7.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Kedudukan Orang Tua bagi Anak"

Post a Comment