Image1

Hukum Khitan untuk Wanita Menurut Ulama Syafi'iyah

Khitan untuk Wanita Menurut Islam | Hukum Khitan bagi Wanita menurut Sunnah | Hukum Khitan bagi wanita islam| khitan pada wanita menurut islam | hukum khitan bagi perempuan islam

HUKUM KHITAN BAGI WANITA
DALAM PERSPEKTIF ULAMA SYAFI'IYAH

A.    Latar Belakang Masalah
Khitan atau sering disebut pula dengan "Sunat", dan dalam terminology jawa sering disebut pula dengan "supit" atau "supitan", merupakan amalan atau praktek yang sudah lama dikenal oleh manusia dan diakui oleh agama-agama di dunia. Khitan atau sunat adalah hal biasa dan banyak dipraktekkan baik di kalangan muslim maupun non Muslim. Amalan atau praktek khitan dalam masyarakat Muslim khususnya di Indonesia di samping perwujudan amalan keagamaan juga merupakan tradisi. Namun tradisi ini pula tidak hanya dianut oleh masyarakat bangsa-bangsa yang belum maju peradabannya, melainkan juga pada bangsa-bangsa yang berperadaban tinggi. Ritus ini misalnya dapat ditemukan pada bangsa semit, Mesir, sebagian pada bangsa asli benua Amerika, Afrika Malenisia, Australia dan Indonesia (Karim, 1995:37-38). Di Indonesia karena dimensi tradisi sangat melekat pada praktek amalan khitan, waktu pelaksanaan khitan dan proses pelaksanaannya berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Dalam masyarakat Islam, amalan khitan sering dikaitkan dengan millah Nabi Ibrahim A.S. dan diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikutinya. Hal itu sebagaimana Firman Allah SWT.
ثم أوحيناإليك أن اتبع ملةإبراهيم حنيفاوماكان من المشركين ( ألنحل:123)

Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad) "ikutilah millah Ibrahim seorang yang hanif.  (Q.S. 16:123)
Atas dasar inilah maka khitan dianggap sebagai perintah yang harus dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW. beserta pengikutnya, mengikuti apa yang telah dilakukan  oleh Nabi Ibrahim A.S.  beserta pengikutnya. Hal ini berlaku tidak hanya untuk laki-laki tetapi juga untuk wanita.
Penggunaan ayat tersebut sebagai sandaran hukum atas perintah (Khallaf, 1977:106) khitan, sebagaimana yang sering diungkapkan dalam pembahasan-pembahasan mengenai hukum khitan yang diungkapkan dalam kitab-kitab fiqh. Fenomena tersebut tidak terlepas dari proses Istinbat hukum, khususnya pada sandaran hukum dalam suatu kaidah  Syar'u Man Qablana (Khallaf, 1977:93-94).
Khitan bagi anak laki-laki di Indonesia sudah dikenal sebelum masuknya agama Islam (Ramali, 1956:74). Terma sunat disini bukan berarti nadb sebagai bagian dari hukum taklifi, namun sunat dalam artian Sunnah Min Sunan al Fitrah. Adapun sunnah yang lainnya adalah memotong kuku, memotong bulu kelamin, mencabut bulu ketiak dan memotong jenggot. Rasulullah bersabda:
الفطرة خمس أوخمس من الفطرة الختان, وتقليم الإظافر, ونتف الإبط, الإستحداد, وقص الشارب.

Fitrah itu lima atau ada lima  perkara fitrah : khitan, memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan mencukur kumis. (An-Nawawi, tt : 146)


Jumhur ulama menyepakati mengenai disyariatkanya khitan bagi umat Nabi Muhammad SAW. Namun berbeda dalam menentukan status hukumnya. Paling tidak ada 3 pendapat yang dikemukakan oleh  para Fuqaha, mengenai status hukum khitan: pendapat pertama mengatakan bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan wanita. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama Syafi'iyah, Imam Ahmad dan beberapa ulama Malikiyah. Pendapat kedua mengatakan bahwa khitan itu wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi wanita. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama Syafi'iyah, Imam Yahya, Imam Malik, Hanafiyah dan Malikiyah. Adapun pendapat ketiga mengatakan bahwa khitan sunnah bagi laki-laki dan wanita. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama Hanafiyah, Hasan al Basri, dan Imam Murtada, salah seorang faqih dari Syi'ah Zaidiyah (As-Sukari, 1989:45-46).
Timbulnya perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai khitan wanita adalah wajar, sebab al-Qur'an tidak bicara secara jelas tentang masalah ini, sedangkan al Hadits  (yang merupakan sumber hukum kedua dalam Islam) juga sangat sedikit berbicara tentang khitan wanita, sehingga ditafsirkan dan terkesan hanya merupakan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW. terhadap Syariat khitan ini. Demikian pula banyak ulama yang berpendapat bahwa tidak adil ataupun nash yang menyatakan secara jelas tentang hukum khitan wanita, sebagaimana diungkapkan oleh Mahmud Syaltut:
كان الفقهاأمامها في حكمه علي مذاهب شأنهم مالم يرد فيه نص صريح.

"Karena Fuqaha senantiasa mengedepankan dalam penetapan hukum, berdasar madzhab mereka masing-masing dalam setiap persoalan yang tidak memiliki nash yang jelas. (Syaltut, 1996:330)

Ungkapan yang serupa juga dikemukakan oleh asy-Syaukani bahwa tidak ada dasar hukum yang shahih yang menunjukkan kewajiban khitan(As-Syaukani, tt:135). karena itu ulama berbeda pendapat sesuai dengan ijtihadnya.
Pada tahun 1960, sebuah konferensi yang disponsori oleh PBB yang bertema " Participation of Women in Public Life" di Adis Ababa, delegasi wanita Afrika ketika itu mempertanyakan kepada WHO tentang pada wanita yang dinilai pelanggaran martabat kemanusiaan. Setelah itu  pihak WHO melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa khitan pada wanita di beberapa tempat dinilai sebagai problem serius (Sarapung, 1999:119).
Nawal El Sadawi dengan nada menggugat mempertanyakan bahwa kalau khitan bagi laki-laki berfungsi untuk memperlama dan menambah kanikmatan seksual mereka sebaliknya khitan pada wanita akan sangat merugikan wanita. Pandangan di atas hanya sebagian dari ungkapan tokoh-tokoh feminis yang peduli terhadap hak-hak yang menurut pemahaman mereka masih diwarnai dan didominasi oleh kultur dan superioritas laki-laki atas wanita.
Sebagian aktivis feminisme menganggap khitan bagi wanita sebagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan satu asumsi bahwa khitan bagi wanita adalah sebuah mekanisme pengebirian nafsu seksual melalui pemotongan sebagian atau seluruh organ vital wanita, karena menurut mereka khitan bagi wanita dalam tradisi purba berawal dari keinginan laki-laki untuk mengendalikan seksualitas wanita (Sarapung, 1999:119). Asumsi ini diperkuat dengan adanya catatan mengenai efek negatif khitan bagi wanita yang mereka dokumentasikan dengan baik dari infeksi ringan sampai pada komplikasi kronis (Heise, 1997:272). Wacana ini pernah diangkat pula sebagai agenda dan pesan utama dalam konferensi kependudukan di Cairo pada pertengahan September 1994. 
Reaksi keras kaum feminisme yang menentang khitan dengan wanita di satu sisi dengan menganggapnya sebagai mekanisme pengebirian seksualitas wanita berbenturan dengan pendapat Jumhur Ulama Syafi'iyah yang mewajibkan praktek ini, karena mengutip sebuah hadits riwayat Abu Dawud, wanita yang dikhitan kian memberikan kebahagiaan seksual bagi kedua pasangan suami isteri. Rasulullah Bersabda:

إن امرأة كانت نختن بالمدينة فقال لها رسو ل الله صلى الله عليه وسلم: " لا تنهكلى فإن ذالك أخظى للمرأة وأحب إلى البعل.

Bahwasannya ada seorang perempuan juru khitan melaksanakan praktek khitan di Madinah, lalu Rasulullah Saw. pun bertitah kepadanya, "Jangan berlebih-lebihan memotong (organ khitan) karena (bagian itu) lebih memuaskan perempuan dan lebih menggairahkan suami. (Abu Daud : 368)

Kenyataan di atas menggugah penulis untuk mengkaji lebih lanjut permasalahan diwajibkannya khitan bagi wanita dalam pandangan Jumhur Ulama  Syafi'iyah mengingat Madzhab Sayfi'i adalah madzhab yang dipegang mayoritas Muslim Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan beberapa pokok masalah yang penyusun anggap mampu mempresentasikan permasalahan ini, yaitu:
1.      Bagaimana pandangan Ulama Syafi'iyyah mengenai hukum khitan bagi wanita?
2.      Bagaimana Metode Istinbat hukum para Ulama Sayfi'iyyah dalam menetapkan wajibnya khitan bagi wanita?
3.      Sejauhmana kekuatan hukum pendapat Ulama Syafi'iyyah  tersebut baik dilihat dari segi dalil maupun dari segi manfaat dan madharat?
C.    Telaah Pustaka
Penelitian tentang khitan ini memang telah banyak dilakukan, baik tulisan di media masa, maupun dalam buku-buku karya tulis, serta kitab-kitab, antara lain tulisan Waharjani "Khitan dalam Tradisi Jawa" mencoba menelusuri sejarah khitan, prosesi pelaksanaan ritus khitan dan makna simbolik dari sarana yang digunakan dalam ritus tersebut. Menurut Waharjani, di kalangan masyarakat Jawa khitan sering disebut sunat, "supit" atau "tetak" bagi laki-laki, sedang untuk wanita sering disebut  dengan "tetes" atau "kafad". Dalam tiap tahapan prosesi khitan terdapat makna-makna simbolik yang muncul dari tahapan tersebut (Waharjani, 2000:196-206).
Kajian mengenai dalil-dalil khitan dilakukan oleh Al-Marshafi dan Syaikh Al-Azhar Jad  al-Haqq. Baik dalam buku Al-Marshafi maupun Syaikh Al-Azhar Jad al-Haqq dikemukakan beberapa hadits yang dijadikan landasan persyaratan khitan, sementara bahasan mengenai khitan bagi wanita hanya dibahas dalam sub bab kecil saja.
Demikian juga An-Nawawi dalam Al-Majmu Syarh al-Muhazzab juga memaparkan beberapa persoalan mengenai khitan, seperti waktu pelaksanaan khitan, khitan bagi khunsa, dan khitan bagi seorang budak. Mengenai khitan bagi seorang wanita, An-Nawawi hanya sedikit menyinggungnya, yaitu hanya pada persoalan  hukumnya saja.(An-Nawawi : 356-358).
Sedangkan Mahmud Syaltut dalam karyanya al-Fatawa, lebih banyak membahas persoalan khitan bagi wanita dari aspek histories dan memaparkan beberapa pendapat Fuqoha tentang hukum khitan bagi wanita (Syaltut, 1996:330-334).
Berdasarkan literatur yang penyusun lakukan, penelitian khususnya mengenai khitan bagi wanita dalam pandangan Ulama Syafi'iyyah sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Dengan demikian rencana penulisan ini memenuhi syarat, karena selain membahas tentang khitan bagi wanita dari perspektif Fiqih Syafi'iyyah selanjutnya akan diupayakan pemaparan tentang efek positif dan negatif dari khitan pada wanita dalam pandangan medis.

D.    Landasan Teori
Islam pada hakekatnya adalah sebuah ajaran yang mencakup dan mengatur segala kebutuhan dan kepentingan hidup umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Syari'at Islam merupakan pengejawantahan dari aqidah Islamiyyah, karena pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan secara rinci oleh para ulama dalam ajaran fiqihnya adalah untuk penataan hal-ihwal kemanusiaan dalam kehidupan duniawi dan ukhrowinya baik secara individual maupun komunal.
Menurut Sahal Mahfudz (1994:4) bahwa beberapa komponen fiqh  yang telah dirumuskan oleh para fuqaha merupakan teknik operasional dari 5 tujuan prinsip dalam syariat Islam (maqasid asy-syar'iah), yaitu memelihara agama, akal, jiwa, keturunan dan harta benda. Senada dengan kelima prinsip tersebut Abdul Wahab Khallaf (tt:197-200) mengungkapkan bahwa tujuan umum dari syari'ah adalah untuk merealisasikan kemaslahatan umat manusia (al-kulliayat al-khams). Abdul Wahab Khallaf  mengklasifikasikan kelima unsur tersebut ke dalam 3 peringkat yaitu daruriyyat, hajiyyat dan tashniyyat. Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritas.
Untuk dapat mewujudkan kemaslahatan ini para fuqaha melakukan penelitian yang mendalam, karena kemaslahatan yang menjadi tujuan legislasi itu tidak diatur secara lugas dan rinci dalam al-Qur'an maupun al-Hadits. Pencarian para fuqaha  terhadap masalah ini termanifestasikan dalam bentuk metode ijtihad.
Dalam melakukan ijtihad ini, para ulama selalu mendasarkan pendapatnya pada al-Qur'an dan al-Hadits yang merupakan sumber legitimasi utama. Di samping itu ulama juga mendasarkan ijtihadnya pada beberapa metode istinbat hukum seperti; istihsan, istislah, 'urf, istishab, mazhab al-sahabi, dan syar'u man qablana.(As-Syatibi). Penggunaan dalil yang berbeda seringkali melahirkan suatu konklusi  hukum yang berbeda pula. Hal itu merupakan suatu kewajaran ketika ulama Syafi'i memiliki Kesimpulan hukum yang berbeda tentang khitan bagi wanita dengan ulama-ulama Hanafiyyah, ataupun dengan ulama-ulama Malikiyyah, karena ada perbedaan dalam proses istidlal dan istinbat.
Dalam diri Imam Syafi'i terkumpul pemikiran fiqh para fuqaha Makkah, Madinah, Iraq dan Mesir (Mun'im, 1996:101). Sehingga Imam Syafi'i memiliki keistimewaan yang memungkinkan untuk meramu dua metode sekaligus dalam ilmu fiqh yaitu metode ar-ra'yi, rasionalis (M. Atho Mudzhar, 1998:73) dan metode ahl al-hadits, Tekstualis . "Posisi tengah" Imam Asy-Syafi'I juga terlihat dalam corak pemikiran mazhabnya.
Jumhur ulama menyepakati al-Qur'an, hadits, ijma', dan qiyas sebagai sumber utama hukum Islam meski terdapat perbedaan dalam hal kedudukannya secara hierarkis. Imam Asy-Syafi'i menempatkan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai sumber utama, baru kemudian disusul ijma', qaul sahabat dan qiyas (Ash-Shiediqy, 1997:239).
DR. Fathurahman Djamil, MA. Mengatakan bahwa ciri mazhab Syafi'i dalam menyimpulkan hukum adalah selalu menyandarkan persoalan pada al-Quran menurut zahir nas, eksplisitas teks kecuali apabila ditemukan indikasi yang menunjukkan adanya makna lain. Sandaran kedua adalah Sunnah. Asy-Syafi'i memandang al-Qur'an dan Sunnah berada dalam satu tingkatan bahkan merupakan satu kesatuan (Djamil, 1997:116). Pemahaman integral tentang al-Quran dan Al-Hadits ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran Asy-Syafi'i (Asy-Syafi'I : 21-22).
Sandaran yang ketiga adalah Ijma'. Ijma' yang diterima sebagai hujjah, argumentasi hukum oleh Asy-Syafi'i adalah Ijma' yang disepakati oleh segenap umat Islam. Asy-Syafi'i memang membuat kriteria yang cukup ketat mengenai Ijma' mu'tabar, consensus yang diakui. Jika dengan Ijma' ini tidak mencukupi juga, maka Asy-Syafi'I juga mengambil fatwa sahabat (qaul as-sahabi).
Satu hal yang menarik dalam pemikiranAsy-Syafi'i adalah bahasannya mengenai qiyas. Asy-Syafi'i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar-dasar qiyas secara operasional. Qiyas menurut Asy-Syafi'i merupakan manifestasi penggunaan rasio untuk menggali tujuan-tujuan moral dan 'illat, kausal dibalik hukum yang tampak. Penalaran analogi terhadap masalah partikular (furu') terhadap suatu prinsip tertentu dalam nash disebut qiyas bi al-furu'. Sedangkan metode penalaran seperti istihsan, istishab, sadd az-zari'ah dan metode lainnya dalam usul fiqh disebut qiyas bi al-qawaid (Mun'im :115). Qiyas bi al-qawaid inilah yang digunakan Asy-Syafi'i ketika Asy-Syafi'i tidak mendapatkan keputusan hukum dari dasar-dasar al-Quran, hadits, Ijma' qaul as-sahabi maupun qiyas bi al-furu'.
Dalam masalah khitan bagi wanita, jumhur ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa khitan bagi laki-laki maupun wanita dengan didasarkan pada beberapa hadis Nabi, diantaranya adalah :
ألق عنك شعرالكفرواختتنن.

Cukurlah rambut kekufuranmu (kumis) dan berkhitanlah (Abu Daud : 356) 
إن امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم: لاتنهكى فإن ذالك أخظى للمرأة وأحب إلى البعل.

Bahwasannya ada seorang perempuan juru khitan melaksanakan praktek khitan di Madinah, lalu Rasulullah Saw. pun bertitah kepadanya, "Jangan berlebih-lebihan memotong (organ khitan) karena (bagian itu) lebih memuaskan perempuan dan lebih menggairahkan suami. (Abu Daud : 368)
من أسلم فليختتن وإن كان كبيرا.

Barang siapa masuk Islam maka berkhitanlah meski tua sekalipun.
إن أبا موسى الأشعري سأل عائشة عن التقاء الختانين فقالت عائشة: قال رسول الله صلى الله وسلم: "إذا التقى الختانان أومس الختان, الختان فقد وجب الغسل.

Diceritakan bahwasannya Abu Musa Al-Asy'ari bertanya pada Aisyah  perihal bertemunya 2 khitan , maka Aisyah pun menjawab : Rasulullah pernah bersabda : "Ketika dua (kelamin yang dikhitan) saling bertemu atau khitan (laki-laki) menyentuh khitan perempuan) maka diwajibkan (atas mereka berdua) mandi (Abu Abdillah, 1983:36)
Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa khitan untuk pertama kalinya disyari'atkan pada Nabi Ibrahim As. (As-Sukari :11). kemudian disyari'atkan kembali untuk umat Muhammad SAW. dalam terminology usul fiqh, hal ini disebut sebagai syar'u man qablana, syari'at sebelum Nabi Muhammad dan salah satu ajaran Ibrahim adalah khitan berdasarkan term "khisal al-fitrah" yang diwajibkan bagi Ibrahim As.
ثم أوحينا إليك أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا وماكان من المشركين.
                       
Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad) : "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Q.S. An-Nahl (16) :123)
Dalam memahami sebuah nash, baik al-Qur'an maupun al-Hadits, para ulama akan menggunakan kaidah kebahasaan, misalnya saja dari aspek dilalah matuq dan mafhum-nya ataupun aspek  'amm khas-nya lafadz suatu dalil, atau berdasarkan sigat yang digunakan (Az-Zuhaili, 1986:359-374). Juga justifikasi rasional atas nash, baik dalil al-Qur'an maupun al-Hadits. Berdasarkan beberapa statement ulama mengenai khitan bagi laki-laki dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar  ('illat) hukum khitan adalah pemenuhan kebersihan dan kesehatan (Bukhari, 1994:60).
Terkait dengan hal ini, Syaikh Mahmud Syaltut mengemukakan sebuah kaidah fiqhiyyah yang dijadikan oleh kalangan yang mewajibkan khitan laki-laki dan wanita, sebagai berikut:
إيلام الحى لا يجوز شرعا إلا لمصالح تعود عليه.

Melukai (anggota tubuh) makhluk hidup tidak dibolehkan menurut syara kecuali demi satu kemaslahatan yang terpulang kepadanya. (Syaltut : 333)
Pada dasarnya khitan itu haram karena ada unsur melukai anggota badan orang yang masih hidup, seperti halnya dalam operasi maupun amputasi, Namun hukum asal ini berubah dengan adanya masalah medis yang mendukungnya, maka dalam persoalan khitan bagi wanita juga harus didasarkan pada teks ayat atau hadits dan juga illah, kausal yang menjadi dasar legislasi bagi khitan laki-laki.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hukum Khitan untuk Wanita Menurut Ulama Syafi'iyah"

Post a Comment