Image1

Makalah Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Sosial Anak

Makalah Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Sosial

PERANAN KELUARGA TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK

A.    Latar Belakang Masalah
Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam proses pengasuhan anak. Meskipun bukan satu-satunya faktor, keluarga merupakan unsur yang sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan anak. Secara teoritis dapat dipastikan bahwa dalam keluarga yang baik anak memiliki dasar-dasar pertumbuhan dan perkembangan yang cukup kuat untuk menjadi manusia dewasa.[1]
Dalam bentuk yang paling umum dan sederhana, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak (keluarga Batih). Dua komponen pertama yakni ayah dan ibu dapat dikatakan sebagai komponen yang sangat menentukan kehidupan anak, khususnya pada usia dini. Ayah atau ibu keduanya adalah pengasuh dan pendidik utama dan pertama bagi anak dalam lingkungan keluarga baik karena alasan biologis maupun psikologis.[2] Orang tua harus memberikan perhatian kepada anak, lebih-lebih pada periode pertama (kurang lebih usia enam tahun pertama) dalam kehidupan anak karena usia ini merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periode ini, nanti akan tampak pengaruhnya dengan nyata pada kepribadiannya kelak ketika dewasa.
Lingkungan keluarga sebagai lembaga pendidikan yang paling awal dikenali anak harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah lingkungan terkecil yang mendidik. Disamping usaha-usaha lahiriah seperti memberi nasihat yang baik, memberi teladan yang baik atau bila perlu mencarikan atau menunjukkan figur-figur yang patut diteladani serta menciptakan lingkungan yang mendidik, orang tua juga perlu menempuh usaha-usaha batiniah berupa do’a.[3]

Sebelum ini para ulama umat Islam telah menyadari pentingnya pendidikan melalui keluarga. Syaik Abu Hamid Al Ghazali ketika membahas tentang peran kedua orang tua dalam pendidikan mengatakan: "ketahuilah, bahwa anak kecil merupakan amanat bagi kedua orang tuanya". Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan padanya. Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan, dan berbahagialah ke 2 orang tuanya. Tapi jika dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagaimana binatang ternak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun ditanggung oleh pengurus dan walinya. Maka hendaklah ia memelihara, mendidik dan membina serta mengajari akhlak yang baik, menjaganya dari teman-teman jahat, tidak membiasakan bersenang-senang dan tidak pula menjadikannya suka pada kemewahan, sehingga akan menghabiskan umurnya mencari hal tersebut bila dewasa.[4]
Berbicara soal pendidikan, ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Yang dimaksud dengan aspek kognitif adalah kemampuan menyerap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Hal ini berhubungan dengan kemampuan intelektual dan taraf kecerdasan anak didik. Yang dimaksudkan dengan aspek afektif adalah kemampuan anak untuk merasakan dan menghayati apa-apa yang diajarkan, yang telah diperolehnya dari aspek kognitif tadi. Sedangkan yang dimaksudkan dengan aspek psikomotorik adalah kemampuan anak didik untuk merubah sikap dan perilaku sesuai dengan ilmu yang telah dipelajari (kognitif) dan ilmu yang telah dihayatinya (aspek afektif ).
Dimensi afeksi/biasa dikenal dengan ranah afektif merupakan suatu ranah yang berkaitan dengan nilai dan sikap seseorang.[5] Ranah ini tidak jarang luput dalam kajian pendidikan kita. Dan salah satu wilayah kajian pendidikan yang berhubungan dengan ranah afektif adalah pengembangan rasa sosial atau dalam pendidikan agama Islam dinamakan dengan pendidikan sosial. Pendidikan sosial pada dasarnya merupakan usaha pembentukan perilaku dan sikap sosial yang utama dalam diri anak didik dan melatihnya dalam pergaulan masyarakat.[6] Kesulitan dalam memahami pembahasan mengenai sikap manusia ini menjadikan pendidikan sosial kurang mendapat perhatian.
Urgensi pendidikan sosial untuk ditanamkan dalam diri anak sebenarnya tidak bisa lepas dari kodrat manusia itu sendiri. Secara sosiologis manusia adalah makhluk sosial, zoon politicon, homo socius. Ia tidak dapat hidup sendiri dan terpisah dari manusia lain. Manusia senantiasa hidup dalam kelompok-kelompok yang saling menguntungkan baik kecil seperti keluarga maupun kelompok besar seperti masyarakat. Dalam Al-Qur’an Allah beriman:
يَآيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا خَلَقْنكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثى وَجَعَلْنكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقَاكُمْ اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.

Artinya:  “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat: 13)[7]

Ayat tersebut menjadi dasar untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia adalah individu-individu yang mempunyai kecenderungan untuk bermasyarakat. Manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga selalu hidup berkelompok, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.[8] 
Akan tetapi ditengah kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin canggih dewasa ini telah menimbulkan berbagai macam perubahan dalam kehidupan manusia, termasuk perubahan dalam tataran sosial dan moral yang dahulu dijunjung tinggi sekarang kurang diindahkan. Semakin bertambahnya pertambahan ilmu secara kognitif yang harus  diketahui dan dikuasai para peserta didik membuat kita lalai akan meningkatnya sikap dan tingkah laku sebagian peserta didik yang akan mencemaskan orang banyak seperti, perkelahian pelajar, berkurangnya rasa hormat terhadap pendidik, pudarnya norma sopan-santun dalam masyarakat, narkotika, terlibat pergaulan bebas dan sebagainya. Ini semua merupakan bukti nyata bahwa permasalahan pendidikan di Indonesia semakin komplek. Untuk menangkal kesemuanya ini salah satu upaya yang dianggap ampuh adalah melalui jalur pendidikan terutama pendidikan agama dan khususnya pendidikan sosial. Pendidikan sosial akan berperan besar dalam membentengi diri anak didik dari berbagai akses negatif yang datang dari luar dirinya, dan meletakkan dasar-dasar kepribadian yang baik pada anak. Menyadari akan pentingnya hal itu, pendidikan sosial harus ditanamkan pada anak sejak dini secara optimal.
Melansir pendapat Nashih Ulwan, ia mengatakan bahwa secara empiris dan nyata, tegas bahwa selamatnya masyarakat serta kuat dan kokohnya bangunannya tidak terlepas dari sehatnya masyarakat dan cara mempersiapkannya karenanya, Islam memperhatikan pendidikan Islam dan tingkah lakunya sehingga, apabila mereka terdidik, terbentuk, dan berkiprah tentang manusia yang cakap, berakal, bijak.
Oleh sebab itu, para keluarga hendaknya berusaha keras memikul tanggung jawab besar mereka terhadap pendidikan sosial dengan cara yang benar agar mereka dapat memberikan andil dalam pembinaan masyarakat Islam yang utama yang berlandaskan iman, moral, pendidikan sosial yang utama, dan nilai-nilai Islam yang tinggi.[9]

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimana peranan keluarga  dalam pengembangan sikap sosial pada awal masa kanak-kanak?
  2. Metode apa saja yang dapat digunakan dalam pengembangan sikap sosial pada awal masa kanak-kanak?

C.     PEMBAHASAN
1.      Pentingnya Pendidikan Anak dalam Keluarga
Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling penting di dalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan mana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan  satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami isteri dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama, dimana saja dalam satuan masyarakat manusia.[10]
Sampai sekarang keluarga tetap merupakan kesatuan unit masyarakat kecil. Anggota-anggota keluarga itu hidup dan bekerja sama dalam kelompok yang membentuk rumah tangga yang didalamnya terjaring suatu cara hidup. Keluarga dalam bentuk yang paling sederhana dan asasi terdiri atas laki-laki dan perempuan, hidup dalam ikatan perkawinan, beserta anak atau anak-anaknya dibawah umur, yang diakui oleh anggota masyarakatnya. kesatuan sosial ini adalah bentuk keluarga tingkat pertama (keluarga batih).[11]
Keluarga adalah unit dasar dan unsur fundamental masyarakat, yang dengan itu unsur-unsur yang tertib dalam komunitas sosial dirancang dalam masyarakat.[12] Keluarga merupakan unit terkecil masyarakat. Keluarga setidak-tidaknya terdiri dari satu orang laki-laki dan seorang perempuan yang hidup bersama sebagai suami isteri. Dalam kehidupan (modern ataukah primitif) ada yang bisa disebut sebagai keluarga tetapi tidak terikat oleh suatu ikatan kehidupan sebagai “suami isteri” menurut norma agamis.
Keluarga (dalam arti rumah tangga) menurut Islam jelas-jelas merupakan suatu ikatan yang baru akan terbentuk manakala telah melalui  (akad) perjanjian nikah. Keluarga menurut konsep Islam adalah kesatuan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dilakukan dengan melalui akad nikah menurut ajaran Islam. Dengan kata lain, ikatan apapun antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak dilakukan dengan melalui akad nikah secara Islam, tidak diakui sebagai keluarga (rumah tangga) Islam[13].
Sedangkan menurut penulis sendiri keluarga adalah satuan terkecil dari masyarakat, yang terdiri dari seorang ayah dan ibu serta anak-anaknya yang belum dewasa. Yang terbentuk dari adanya hubungan yang syah antara laki-laki dan perempuan melalui (akad) perjanjian secara agamis dan juga diakui oleh UU. Keluarga ini disebut dengan keluarga inti. Karena ada keluarga dalam bentuk yang luas yaitu  keluarga  yang terdiri dari seorang laki-laki sebagai suami dan seorang perempuan yang berstatus sebagai istri, beserta anak-anak mereka, serta terdapat juga di dalam rumah tersebut kakek, nenek atau saudara yang lain yang tinggal bersama dalam satu rumah itu.
Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan pemikiran sosial modern yang menyatakan bahwa keluarga itu adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat dimana hubungan-hubungan yang terdapat didalamnya, sebahagian besarnya bersifat hubungan-hubungan langsung. Disitulah berkembang individu dan disitulah terbentuknya tahapan awal proses pemasyarakatan (socialization), dan melalui interaksi dengannya ia memperoleh pengetahuan ketrampilan, minat, nilai-nilai emosi dan sikapnya dalam hidup dan dengan itu ia memperoleh ketentraman dan ketenangan.
Pembentukan keluarga dalam Islam bermula  dengan terciptanya hubungan suci yang menjalin seorang lelaki dan seorang perempuan melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Oleh sebab itu kedua suami isteri itu merupakan dua unsur utama dalam keluarga. Jadi keluarga dalam pengertiannya yang sempit merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan seorang isteri, atau dengan kata lain keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang bersifat terus menerus dimana yang satu merasa tenteram dengan kata lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat.[14]
Salah satu tujuan syari’at Islam adalah memelihara kelangsungan keturunan (hifzh al nasl)  melalui perkawinan yang sah menurut agama dan diakui oleh undang-undang sehingga tercipta keluarga yang diliputi dengan cinta kasih (mawaddah) dan kasih sayang (Rahmah).[15]  Bagi keluarga anak merupakan anugerah dari Allah SWT yang mempunyai potensi, bisa menjadi baik dan bisa pula menjadi buruk. Baik buruk nya anak sangat erat kaitannya dengan pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Berkaitan dengan hal ini, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berbunyi: 
حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أََوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِسَانِهِ. كَمَا تُنْجَحُ الْبَهِيْمَةُ بَـهِيْمَةً جُمْعَاءَ . هَلْ تُحِسُوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ فِطْرَة اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ الدِّيْنُ الْقيِّمُ .

Artinya: Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. Bersabda: Tiada bayi dilahirkan melainkan lahir diatas fitrah, maka ayah bundanya yang mendidiknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagai lahir binatang yang lengkap sempurna. Apakah ada binatang yang lahir terputus telinganya? Kemudian Abu Hurairah r. a. membaca: fitratallah allati fathratannaasa alaiha, laa tabdila likhalqillahi (fitrah yang diciptakan Allah pada manusia, tiada perubahan terhadap apa yang diciptakan oleh Allah), itulah agama yang lurus.[16]

Mencermati hadits tersebut berarti kedua orang tua memiliki peran yang cukup strategis bagi masa depan anak. Hal ini disebabkan karena perkembangan fitrah manusia banyak bergantung pada usaha pendidikan dan bimbingan orang tua.
Barangkali sulit mengabaikan peranan keluarga dalam pendidikan anak-anak. Sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari  lingkungan keluarga. Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua ( bapak dan ibu ) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrati ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karen naluri ini timbul kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral keduanya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi dan melindungi serta membimbing keturunan mereka.[17]
Peranan pendidikan yang sepatutnya dipegang oleh keluarga terhadap anggotanya secara umum adalah peranan yang paling pokok dibanding dengan peranan-peranan lain. Kalau kajian pendidikan dan psikologikal modern menekankan pentingnya peranan yang dipegang oleh keluarga dalam pendidikan anak-anak dan membekali jiwa mereka dengan rasa cinta, kasih sayang dan ketentraman, ahli-ahli ilmu jiwa dari kaum Muslimin telah menekankan perkara ini jauh sebelum itu dalam tulisan-tulisan mereka.
Ulama-ulama Islam dahulu kala menekankan pentingnya peranan pendidikan bagi keluarga dan pentingnya keluarga memegang peranan itu terutama pada tahun-tahun pertama pada umur anak-anak, adalah berdasar pada pengalaman-pengalaman mereka sendiri, juga pengalaman dan perhatian orang-orang dahulu di berbagai negara dan masa. Disamping nas-nas Al- Quran, sunnah dan bekas-bekas peninggalan Assalaf- Saleh yang banyak menekankan pentingnya peranan pendidikan bagi keluarga.[18]
Keluarga harus memberikan perhatian kepada anak, lebih-lebih pada periode pertama (kurang lebih usia enam tahun pertama) dalam kehidupan anak karena usia ini merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periode ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengan nyata pada kepribadiannya  kelak  ketika  usia  dewasa.
Anak-anak generasi penentu masa depan, sebagaimana ia juga akan menjadi orang dewasa. Diantara anak-anak kita, sekarang ini, akan menjadi pemimpin dimasa yang akan datang. Para orang tua, guru dan ahli pendidikan sebagai pendidik hendaknya memperhatikan putera-puterinya, dan para muridnya, agar mereka menjadi pemikir ulung atau praktisi cekatan dimasa yang akan datang, juga diberikan berbagai macam ilmu pengetahuan kepada mereka untuk di didik secara sempurna.[19] Di dalam kehidupan keluarga, merupakan basis yang sangat penting dalam peletakan dasar-dasar pendidikan sosial anak. Sebab pada dasarnya keluarga merupakan lembaga sosial resmi yang minimal terdiri dari ayah, ibu dan anak. Perkembangan benih-benih kesadaran sosial pada anak-anak dapat dipupuk sedini mungkin, terutama lewat kehidupan keluarga yang penuh rasa tanggung jawab, tolong menolong, gotong royong secara kekeluargaan, menolong saudara atau tetangga yang sakit, bersama-sama menjaga ketertiban, kedamaian, kebersihan dan keserasian dalam segala hal.[20]
2.      Keluarga Sebagai Dasar Pembentukan Kepribadian  dan Sikap Sosial Anak
Anak lahir dalam keadaan fitrah. Keluarga dan lingkungan anaklah yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian, perilaku, dan kecenderungannya sesuai dengan bakat yang ada dalam dirinya. Tetapi pengaruh yang kuat dan cukup langgeng adalah kejadian dan pengalaman pada masa kecil sang anak yang tumbuh dari suasana keluarga yang ia tempati. Pada masa sekarang ini, pengaruh keluarga mulai melemah dikarenakan perubahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi. Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua. Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam pendidikan. Berdasarkan kenyataan ini, maka tak (syak) lagi lingkungan keluarga memiliki peranan yang besar dalam mendidik dan mempengaruhi anak-anak. Disamping itu, perlu juga adanya penyadaran yang benar pada anak-anak akan peranan orang tua pada usia-usia awal dalam kehidupannya, sehingga menjadikan anak-anak terpengaruh.[21]
Al-Ghazali sangat yakin bahwa pendidikan mampu mengubah perangai dan membina budi pekerti. Pada berbagai kesempatan dalam karyanya ia menyatakan, pendidikan tiada lain adalah: proses yang saling mempengaruhi antara fitrah manusia dengan lingkungan yang mengelilinginya.[22]
Keluarga yang menghadirkan anak ke dunia ini, secara kodrat mendidik anak itu. Sejak kecil, si anak hidup, tumbuh dan berkembang di dalam keluarga itu. Seluruh keluarga itu yang mula-mula mengisi pribadi anak itu. Orang tua secara tidak direncanakan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang diwarisi dari nenek moyang dan pengaruh-pengaruh lain yang diterimanya dari masyarakat. Si anak menerima dengan daya penirunya, dengan segala senang hati, sekalipun kadang-kadang ia tidak menyadari benar apa maksud dan tujuan yang ingin dicapai dengan pendidikan itu. Kebiasaan-kebiasaan tertentu yang diinginkan untuk dapat dilakukan anak, ditanamkan benar-benar seakan akan tidak boleh tidak dilakukan oleh si anak. Dengan demikian si anak akan membawa kemanapun juga pengaruh keluarga itu, sekalipun ia mulai berpikir lebih jauh lagi.[23] 
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang mengembangkan individu dalam segala aspeknya. Satu aspek tidak boleh mendominasi aspek lainnya. Oleh sebab itu pendidikan Islam diharapkan melahirkan kepribadian yang seimbang, dengan syarat pendidikan dapat mengembangkan secara menyeluruh.[24] Melalui pendidikan terbentuklah kepribadian seseorang. Boleh dikatakan hampir seluruh kelakuan individu bertalian dengan atau dipengaruhi oleh orang lain. Maka karena itu kepribadian pada hakekatnya gejala sosial.[25]
Pembentukan kepribadian terjadi dalam masa yang panjang, mulai sejak dalam kandungan sampai umur laki-laki 21 tahun. Pembentukan kepribadian berkaitan erat dengan pembinaan iman dan akhlak. Secara umum para pakar kejiwaan berpendapat, bahwa kepribadian merupakan suatu mekanisme yang mengendalikan dan mengarahkan sikap dan perilaku seseorang.
Kepribadian terbentuk melalui semua pengalaman dan nilai-nilai yang diserapnya dalam perkembangannya, terutama pada tahun-tahun pertama dari umurnya. Apabila nilai-nilai agama banyak masuk ke dalam pembentukan kepribadian seseorang, maka tingkah laku orang tersebut akan banyak diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama. Disinilah letak pentingnya pengalaman dan pendidikan agama pada masa pertumbuhan dan perkembangan seseorang.[26]
Pendidikan agama berkaitan erat dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebih lebihan kalau kita katakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian Islam adalah kajian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama.[27] Islam memiliki perhatian khusus terhadap pembentukan akhlak dan kepribadian anak, serta tatacara (etiquette) bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat yang islami. Ini penting untuk diajarkan dan ditanamkan dalam kepribadian anak agar mereka bisa bergaul dengan masyarakat sekitarnya dengan pergaulan yang baik dan wajar (layaknya manusia sempurna dan memiliki pengetahuan).
Ini semua adalah tugas dan tanggung jawab kita, terutama orang tua. Orang tua harus sedini mungkin mengajarkan etika pergaulan ini dan menanamkannya di dalam kepribadian anak. Dengan demikian anak-anak memiliki akhlak dan etika mulia dimanapun mereka berada, dan pada akhirnya mereka akan tumbuh menjadi pemuda yang berkepribadian luhur.[28]
Keluarga belum melengkapi tugasnya dengan sempurna dalam pendidikan anak-anak sehingga ia menolong anak-anak bertumbuh dari segi sosial. Pendidikan sosial ini melibatkan bimbingan terhadap tingkah laku sosial, ekonomi dan politik dalam rangka akidah Islam yang betul dan ajaran-ajaran dan hukum-hukum agama yang berusaha meningkatkan iman, takwa, takut kepada Allah dan mengerjakan ajaran-ajaran agamanya yang mendorong kepada produksi, menghargai waktu, jujur, ikhlas dalam perbuatan adil, kasih sayang, ihsan, mementingkan orang lain, tolong menolong, setia kawan, menjaga kemaslahatan umum, cinta tanah air dan lain-lain lagi bentuk akhlak yang mempunyai nilai sosial.[29]
Di antara cara-cara yang patut di gunakan oleh keluarga dalam mendidik anak-anaknya dari segi sosial, politik dan ekonomi adalah:[30]
a.       Memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya dalam tingkah laku sosial yang sehat berdasar pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama
b.      Menjadikan rumah itu sebagai tempat dimana tercipta hubungan-hubungan sosial yang berhasil
c.       Menolong anak-anaknya menjalin persahabatan yang mulia dan berhasil, sebab “manusia turut menjadi baik karena berkawan dengan orang saleh.” Seperti kata pepatah
d.      Membiasakan mereka cara-cara Islam dalam makan, minum, duduk, tidur, memberi salam, berziarah, masuk rumah yang telah didiami orang dan lain-lain lagi kegiatan hidup.
Dalam hal ini, keluarga adalah menjadi tempat berlangsungnya sosialisasi yang berfungsi dalam pembentukan kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila dan makhluk keagamaan.[31] Pentingnya peranan keluarga dalam pendidikan ini adalah sebab ia melibatkan kanak-kanak dalam tahap awal hidupnya, dimana hubungan-hubungan dan pengalaman-pengalaman sosialnya belum cukup luas, juga belum sanggup ia berdikari untuk menanggapi suasana dan milliu sekelilingnya.[32]
Perkembangan sikap sosial anak mulai terbentuk di dalam keluarga. Orang tua yang penyayang, lemah lembut, adil dan bijaksana, akan menimbulkan sikap sosial yang menyenangkan pada anak. Ia akan terlihat ramah, gembira dan segera akrab dengan orang lain. Karena ia merasa diterima dan disayangi oleh kedua orang tuanya, maka akan bertumbuh padanya rasa percaya diri dan percaya terhadap lingkungannya, hal ini yang menunjang terbentuknya pribadinya yang menyenangkan dan suka bergaul. Demikian juga jika sebaliknya orang tua keras, kurang perhatian kepada anak dan kurang akrab, sering bertengkar antara satu sama lain (ibu bapak), maka si anak akan berkembang menjadi anak yang kurang pandai bergaul, menjauh dari temannya, mengisolasi diri dan mudah terangsang untuk berkelahi, dan pribadi yang negatif, yang condong kepada curiga dan antipati terhadap lingkungannya.[33]
Jadi kehidupan sosial seorang anak pada permulaannya terjadi bukan dengan teman sebayanya, tapi dengan orang dewasa. Orang dewasa disini ialah ibunya. Saat bayi ia sudah menyadari bahwa ia membutuhkan orang lain. Bayi akan menangis atau tersenyum dan berhenti menangis bila ada seseorang yang datang menemuinya. Pada umumnya pada masa usia tiga bulan, tanda-tanda kesadaran sosial anak mulai telah terlihat. Ia mulai memperhatikan kehadiran orang dewasa lainnya, dan mulai bereaksi bila mendengar suara ibunya.[34]
3.       Masa Awal Kanak-Kanak
Masa awal kanak-kanak berlangsung dari dua sampai enam tahun. Orang tua menyebutnya sebagai usia problematis/usia sulit karena memelihara/mendidik mereka sulit; disebut sebagai usia main karena sebagian besar hidup anak waktunya dihabiskan untuk main. Para pendidik menyebut masa ini sebagai anak usia prasekolah, sebagai anak yang belum saat/matang untuk sekolah, merupakan masa persiapan untuk masuk sekolah dasar. Lain halnya dengan para psikolog, mereka menyebut masa ini dengan sebutan usia pra kelompok, usia penjelajah, usia bertanya.
Masa ini dikatakan usia pra kelompok  karena pada masa ini anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu masuk kelas 1 SD.[35] Anak-anak masa ini oleh para ahli psikologi disebut sebagai manusia penjelajah dan usia bertanya karena anak-anak pada masa ini gemar menjelajahi lingkungan karena dorongan ingin tahu mengenai apa yang ada di sekitarnya baik perasaan maupun mekanisme kehidupan yang ada di lingkungannya. Dan salah satu cara yang umum dalam menjelajahi lingkungan tersebut adalah dengan sering bertanya. Minat umum anak-anak pada masa ini meliputi minat terhadap agama, tubuh manusia, diri sendiri, seks dan pakaian.[36]
Menurut Zakiah Daradjat, awal masa kanak-kanak yaitu masa kira-kira antara umur 2 sampai 5 tahun. Pada masa ini anak sangat sensitif, ia dapat merasakan apa yang terkandung dalam hati ibu- bapaknya. Ia ingin memonopoli ibunya, ia sangat membutuhkan kasih sayang ibu yang sungguh-sungguh. Ia suka meniru dan melakukan apa yang terlihat menggembirakan ibu bapaknya. Karena masa kanak-kanak adalah masa yang sangat sensitif dan masa meniru, maka pendidikan haruslah berupa menanamkan kebiasaan yang baik, belajar menolong diri sendiri waktu makan, memakai baju, kebiasaan kebelakang, tidur dan sebagainya. Kebiasaan itu jangan lupa merupakan paksaan yang mengikat, tetapi biasakanlah dengan cara-cara yang menimbulkan keinginan padanya.
Pada masa itu anak-anak ingin pula mengenal alam sekelilingnya, dengan meraba, mencium, merasa dan bertanya. Mungkin akan banyak sekali terlihat oleh si ibu hal-hal yang kurang menyenangkan umpama memasukkan ke mulut apa saja yang ditemuinya. Janganlah dibentak, karena ia ingin tahu. Dan harus diingat bahwa anak belum lagi mempunyai pengertian yang banyak tentang bahasa.[37]
Menurut Shalih Abdul Al- Azizi dan Abdul Aziz Abdul Majid, yang dikutip oleh Asnelly Ilyas, mengatakan fase awal masa kanak-kanak mulai lahir sampai umur lima tahun. Fase ini dinamakan juga dengan fase prasekolah. Pada saat ini kebanyakan waktu anak berlangsung di rumah dalam pemeliharaan keluarga. Para ahli ilmu jiwa & kesehatan sangat memperhatikan kehidupan anak terutama dua tahun pertama, karena pada saat itu terjadinya pertumbuhan jasmani, akal & perasaan. Mereka menganggap dua tahun pertama ini sebagai dasar perkembangan anak selanjutnya.[38]
Pada usia 2 atau 3 tahun seorang anak mulai melihat kemampuan-kemampuan  tertentu pada dirinya. Sikap terhadap orang tua mulai berubah. Di satu pihak masih membutuhkan orang tua, di lain pihak keakuannya  mulai tumbuh dan ia ingin mengikuti kehendaknya sendiri. Ia jadi sering membantah. Masa ini disebut sebagai masa negativistis yang pertama. Masa negativistis kedua timbul pada usia 5 atau 6 tahun, pada saat mana anak mulai mengenal lingkungan yang lebih luas (sekolah, anak-anak tetangga dan lain-lain).[39]
Ada orang yang menyebutkan periode 1-5 tahun ini sebagai “tahun kwartal pertama penuh kebodohan” (domme verreljaar). Dan masa kanak-kanak tersebut dibatasi atau diakhiri dengan masa menentang pertama atau trotzalter pertama. Pada saat ini berlangsung proses penemuan aku/diri sendiri. Lalu muncul pandangan baru dan pengertian baru terhadap dunia realitas pada pribadi anak. Beberapa ciri khas pada kanak-kanak yang dapat disebutkan, berdasarkan pendirian ilmu jiwa modern ialah:[40]
a.       Bersifat egosentris- naïf
b.      Mempunyai relasi sosial dengan benda-benda dan manusia yang sifatnya sederhana dan primitif
c.       Ada kesatuan jasmani dan rohani yang hampir-hampir tidak terpisahkan sebagai satu totalitas
d.      Sikap hidup yang fisiognomis

Perkembangan sesudah tahun pertama ditandai oleh beberapa proses yang sangat fundamental. Misalnya perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian ditandai oleh perkembangan tingkah laku lekat. Tingkah laku lekat harus tumbuh dan menjadi stabil sebagai latar belakang struktural tingkah laku yang akan datang. Dalam tahun pertama harus dibuat suatu basis bagi timbulnya tingkah laku lekat yang nanti akan memegang peranan yang esensial sepanjang hidup.[41]
Sebelum usia 2 tahun anak kecil terlibat dalam permainan seorang diri atau searah. Meskipun dua atau tiga orang anak bermain di dalam ruangan yang sama dan dengan jenis mainan yang sama, interaksi sosial yang terjadi sangat sedikit. Hubungan mereka terutama terdiri atas meniru atau mengamati satu sama lain atau berusaha mengambil mainan anak lain.
Sejak umur 3 atau 4 tahun, anak mulai bermain dalam kelompok, berbicara satu sama lain pada saat bermain, dan memilih dari anak-anak yang hadir siapa yang akan dipilih untuk bermain bersama. Sebagian dari bentuk perilaku sosial yang berkembang pada masa kanak-kanak awal berdasarkan landasan yang diletakkan pada masa bayi. Sebagian lagi merupakan bentuk perilaku sosial yang baru dan mempunyai landasan baru.
Pola perilaku dalam situasi sosial banyak yang tampak tidak sosial atau bahkan anti sosial, tetapi dalam kenyataannya masing-masing tetap penting bagi proses sosialisasi. Landasan yang diletakkan pada masa kanak-kanak awal akan menentukan cara anak menyesuaikan diri dengan orang dan situasi sosial jika lingkungan mereka semakin meluas dan jika mereka tidak mempunyai perlindungan dan bimbingan dari orang tua pada masa bayi.[42]
Islam sangat memperhatikan pendidikan sosial yang merupakan salah satu aspek pendidikan yang diberikan kepada anak. Karena potensi-potensi sosial yang dimiliki anak sejak kecil dapat tumbuh dan berkembang baik jika dibentuk sejak dini. Diantara hadits yang menjelaskan perilaku sosial yang dapat diajarkan kepada anak misalnya, sabda nabi saw yang diriwayatkan oleh  Bukhari dan Muslim yang berbunyi:
حَدِيْثُ أَنَسٍ عَنِ النَِّبِّي صَلَعَمْ قَالَ : لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِه.

Artinya:  “Anas r.a. berkata, Nabi Saw. bersabda :  Tidak sempurna iman  seseorang sehingga ia suka untuk saudaranya (sesama muslim) apa yang ia suka untuk dirinya sendiri.( Bukhari Muslim ).[43]

Menurut Abdullah Nashih Ulwan bahwa pendidikan kemasyarakatan ialah pendidikan anak sejak dini agar terbiasa melakukan tata krama sosial yang utama, dasar-dasar kejiwaan yang mulia, yang bersumber dari akidah Islamiah yang abadi dan emosi keimanan yang mendalam agar dimasyarakat, anak berpenampilan dan bergaul dengan baik, sopan, ajeg, matang akal, dan bertindak bijak.
Adapun materi pendidikan sosial sebagaimana yang kami lansir dari pendapat Nashih Ulwan adalah sebagai berikut:
1.      Penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia: takwa, ukhuwah, kasih sayang, (rahmah), itsar (mementingkan orang lain daripada diri sendiri), memaafkan, al- jurah (berani karena benar).
2.      Pemeliharaan hak orang lain: hak orangtua, hak tetangga, hak guru, hak teman, hak orang dewasa.
3.      Melaksanakan tata krama sosial yang berlaku umum: etika makan dan minum, etika meminta izin masuk rumah, etika duduk dalam pertemuan[44]               

Untuk melaksanakan tanggung jawabnya dalam pendidikan sosial tersebut, seorang pendidik harus menggunakan metode. Dalam bahasa arab metode disebut, “thariqoh” artinya jalan, cara, sistem atau ketertiban dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan menurut istilah ialah suatu sistem atau cara yang mengatur suatu cita-cita.[45] Pendidik anak prasekolah yang bijaksana, sudah barang tentu akan terus mencari metode alternatif yang lebih efektif untuk menerapkan dasar-dasar pendidikan yang berpengaruh dalam mempersiapkan anak secara mental, moral, spiritual, intelektual dan sosial, sehingga anak dapat mencapai kematangan yang sempurna dan berkepribadian yang integral.
Mengingat begitu banyak metode-metode pendidikan anak, disini akan dipilih beberapa metode yang lebih tepat untuk diterapkan pada anak prasekolah antara lain, metode keteladanan, pembiasaan, cerita/dongeng dan bermain [46]



[1]  Fuaduddin TM, M.Ed, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam (Jakarta: Lembaga Kajian Islam dan Jender dengan Solidaritas Perempuan, 1999), hlm. 5.
[2] Sri Harini , dan Aba Firdaus al- Halwani  op.cit.,  hlm. 14.
[3] Sri Harini, dan Aba Firdaus al- Halwani  op.cit.,  hlm. 34.
[4] Yusuf Muhammad Al- Hasan, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Yayasan Al Sofwa, 1997), hlm. 13.
[5] Anas Sudjiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada,  1996), hlm. 10.
[6]  Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga Dan Masyarakat (Jakarta: Ruhama, 1994), hlm. 18.
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putera, 1989), hlm. 847.
[8] Murtadha Muthohari, Masyarakat dan Sejarah (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 18.
[9]  Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pendidikan Sosial Anak (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 1.
[10] H. Hartomo dan Arnicun Aziz, Ilmu Sosial Dasar ( Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 79.
[11] Kaelany HD, Islam Dan Aspek Kemasyarakatan ( Jakarta: Bumi Aksara, 1992 ), hlm. 130.
[12] Husain  Ali Turkamani,  Bimbingan Keluarga & Wanita Islam, Mengungkap Rahasia Isu Emansipasi (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 ), hlm. 30.
[13] H. Thohari Mustamar, op. cit., hlm. 55-56.
[14] Hasan Langgulung, Manusia Dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi Dan Pendidikan (Jakarta: Al- Husna Zikra, 1995 ), hlm. 346.
[15] Sri Harini ,  dan Aba Firdaus al- Halwani  op. cit., hlm. 13.
[16] Muhammad fuad 'Abdul Baqi, Al-lu'lu' wal-Marjan. Himpunan Hadits Yang Disepakati oleh Bukhari Dan Muslim. Terjemahan H. Salim Bahreisy 2 (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), hlm. 1010.
[17] Jalaluddin, Psikologi Agama ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997 ), hlm. 201.
[18] Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 361.
[19]  Muhammad Athiyah Al- Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1964), hlm. 82. 
[20] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT Raja Gra findo Persada, 1999), hlm. 43.
[21] Ma’ruf Zurayk, Bimbingan Praktis Mendidik Anak Menuju Remaja: Aku dan Anakku (Bandung: Al- Bayan, 1998 ), hlm.21-22.
[22] Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al- Ghazali (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1986), hlm. 70.
[23]  Agus Sujanto, Halim Lubis dan Taufik Hadi, Psikologi Kepribadian (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 16-17.
[24] Khatib Ahmad Santhut, op.cit., hlm. 27.
[25]  S. Nasution,  Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 11.
[26]  Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah (Jakarta: Ruhama, 1995), hlm. 63.
[27]  Hasan Langgulung,op. cit., hlm. 373.
[28] Muhyiddin Abdul Hamid, Kegelisahan Rasulullah Mendengar Tangis Anak (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), hlm. 221.
[29] Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 375-376.
[30] Ibid, hlm. 376-377.
[31] Bakir Yusuf  Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam Pada Anak (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 37.
[32] Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 369.
[33]  Zakiah Daradjat, op. cit., hlm. 67.
[34] Gunarsa dan Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi Anak dan Remaja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm.96.
[35]  M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum &Perkembangan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), hlm. 152.
[36] Ibid, hlm.153.
[37] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1978), hlm. 99-100.
[38] Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Saleh Prinsip-prinsip Pendidikan dalam Islam (Bandung: Al-Bayan, 1998), hlm. 53.
[39] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 95.
[40] Kartini Kartono, Psikologi Anak ( psikologi Perkembangan) (Bandung: Mandar Maju, 1995 ), hlm.109.
[41] F. J. Monks, A. M. P. Knoers dan Siti Rahayu Haditomo, Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), hlm.100.
[42] Elizabeth B. Hurlock, op.cit.,  hlm. 261-263.
[43] Muhammad fuad 'Abdul Baqi, Al-lu'lu' wal-Marjan. Himpunan Hadits Yang Disepakati oleh Bukhari Dan Muslim. Terjemahan H. Salim Bahreisy I (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), hlm.17 . 
[44]  Abdullah Nashih Ulwan, op.cit., hlm. 2.
[45] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 67.
[46] Sri Harini,  dan Aba Firdaus al- Halwani,  op.cit., hlm. 120.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Sosial Anak"

Post a Comment