Makalah Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Sosial Anak
Makalah Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Sosial
Ada
orang yang menyebutkan periode 1-5 tahun ini sebagai “tahun kwartal pertama
penuh kebodohan” (domme verreljaar). Dan masa kanak-kanak tersebut
dibatasi atau diakhiri dengan masa menentang pertama atau trotzalter
pertama. Pada saat ini berlangsung proses penemuan aku/diri sendiri. Lalu
muncul pandangan baru dan pengertian baru terhadap dunia realitas pada pribadi
anak. Beberapa ciri khas pada kanak-kanak yang dapat disebutkan, berdasarkan
pendirian ilmu jiwa modern ialah:[40]
PERANAN KELUARGA TERHADAP PERKEMBANGAN
SOSIAL ANAK
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam
proses pengasuhan anak. Meskipun bukan satu-satunya faktor, keluarga merupakan
unsur yang sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan anak.
Secara teoritis dapat dipastikan bahwa dalam keluarga yang baik anak memiliki
dasar-dasar pertumbuhan dan perkembangan yang cukup kuat untuk menjadi manusia
dewasa.[1]
Dalam bentuk yang paling umum dan sederhana, keluarga
terdiri dari ayah, ibu dan anak (keluarga Batih). Dua komponen pertama yakni
ayah dan ibu dapat dikatakan sebagai komponen yang sangat menentukan kehidupan
anak, khususnya pada usia dini. Ayah atau ibu keduanya adalah pengasuh dan
pendidik utama dan pertama bagi anak dalam lingkungan keluarga baik karena
alasan biologis maupun psikologis.[2]
Orang tua harus memberikan perhatian kepada anak, lebih-lebih pada periode
pertama (kurang lebih usia enam tahun pertama) dalam kehidupan anak karena usia
ini merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini
mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun
yang terekam dalam benak anak pada periode ini, nanti akan tampak pengaruhnya
dengan nyata pada kepribadiannya kelak ketika dewasa.
Lingkungan
keluarga sebagai lembaga pendidikan yang paling awal dikenali anak harus
diciptakan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah lingkungan terkecil yang
mendidik. Disamping usaha-usaha lahiriah seperti memberi nasihat yang baik,
memberi teladan yang baik atau bila perlu mencarikan atau menunjukkan
figur-figur yang patut diteladani serta menciptakan lingkungan yang mendidik,
orang tua juga perlu menempuh usaha-usaha batiniah berupa do’a.[3]
Sebelum ini para ulama umat Islam telah menyadari
pentingnya pendidikan melalui keluarga. Syaik Abu Hamid Al Ghazali ketika
membahas tentang peran kedua orang tua dalam pendidikan mengatakan:
"ketahuilah, bahwa anak kecil merupakan amanat bagi kedua orang
tuanya". Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari
pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa
saja yang disodorkan padanya. Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan
tumbuh dalam kebaikan, dan berbahagialah ke 2 orang tuanya. Tapi jika
dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagaimana binatang ternak, niscaya akan
menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun ditanggung oleh pengurus dan walinya.
Maka hendaklah ia memelihara, mendidik dan membina serta mengajari akhlak yang
baik, menjaganya dari teman-teman jahat, tidak membiasakan bersenang-senang dan
tidak pula menjadikannya suka pada kemewahan, sehingga akan menghabiskan
umurnya mencari hal tersebut bila dewasa.[4]
Berbicara soal pendidikan, ada tiga hal pokok yang
harus diperhatikan yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Yang
dimaksud dengan aspek kognitif adalah kemampuan menyerap ilmu pengetahuan yang
diajarkan. Hal ini berhubungan dengan kemampuan intelektual dan taraf kecerdasan
anak didik. Yang dimaksudkan dengan aspek afektif adalah kemampuan anak untuk
merasakan dan menghayati apa-apa yang diajarkan, yang telah diperolehnya dari
aspek kognitif tadi. Sedangkan yang dimaksudkan dengan aspek psikomotorik
adalah kemampuan anak didik untuk merubah sikap dan perilaku sesuai dengan ilmu
yang telah dipelajari (kognitif) dan ilmu yang telah dihayatinya (aspek afektif
).
Dimensi afeksi/biasa dikenal dengan ranah afektif
merupakan suatu ranah yang berkaitan dengan nilai dan sikap seseorang.[5]
Ranah ini tidak jarang luput dalam kajian pendidikan kita. Dan salah satu
wilayah kajian pendidikan yang berhubungan dengan ranah afektif adalah
pengembangan rasa sosial atau dalam pendidikan agama Islam dinamakan dengan
pendidikan sosial. Pendidikan sosial pada dasarnya merupakan usaha pembentukan
perilaku dan sikap sosial yang utama dalam diri anak didik dan melatihnya dalam
pergaulan masyarakat.[6]
Kesulitan dalam memahami pembahasan mengenai sikap manusia ini menjadikan
pendidikan sosial kurang mendapat perhatian.
Urgensi pendidikan sosial untuk ditanamkan dalam diri
anak sebenarnya tidak bisa lepas dari kodrat manusia itu sendiri. Secara
sosiologis manusia adalah makhluk sosial, zoon politicon, homo socius.
Ia tidak dapat hidup sendiri dan terpisah dari manusia lain. Manusia senantiasa
hidup dalam kelompok-kelompok yang saling menguntungkan baik kecil seperti
keluarga maupun kelompok besar seperti masyarakat. Dalam Al-Qur’an Allah
beriman:
يَآيُّهَاالنَّاسُ
اِنَّا خَلَقْنكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثى وَجَعَلْنكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوْا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقَاكُمْ اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
خَبِيْرٌ.
Artinya: “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
Lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat: 13)[7]
Ayat tersebut menjadi dasar untuk menunjukkan bahwa
pada dasarnya manusia adalah individu-individu yang mempunyai kecenderungan
untuk bermasyarakat. Manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga selalu hidup
berkelompok, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.[8]
Akan tetapi ditengah kemajuan ilmu pengetahuan yang
semakin canggih dewasa ini telah menimbulkan berbagai macam perubahan dalam
kehidupan manusia, termasuk perubahan dalam tataran sosial dan moral yang
dahulu dijunjung tinggi sekarang kurang diindahkan. Semakin bertambahnya
pertambahan ilmu secara kognitif yang harus
diketahui dan dikuasai para peserta didik membuat kita lalai akan
meningkatnya sikap dan tingkah laku sebagian peserta didik yang akan
mencemaskan orang banyak seperti, perkelahian pelajar, berkurangnya rasa hormat
terhadap pendidik, pudarnya norma sopan-santun dalam masyarakat, narkotika,
terlibat pergaulan bebas dan sebagainya. Ini semua merupakan bukti nyata bahwa
permasalahan pendidikan di Indonesia
semakin komplek. Untuk menangkal kesemuanya ini salah satu upaya yang dianggap
ampuh adalah melalui jalur pendidikan terutama pendidikan agama dan khususnya
pendidikan sosial. Pendidikan sosial akan berperan besar dalam membentengi diri
anak didik dari berbagai akses negatif yang datang dari luar dirinya, dan
meletakkan dasar-dasar kepribadian yang baik pada anak. Menyadari akan
pentingnya hal itu, pendidikan sosial harus ditanamkan pada anak sejak dini
secara optimal.
Melansir pendapat Nashih Ulwan , ia
mengatakan bahwa secara empiris dan nyata, tegas bahwa selamatnya masyarakat
serta kuat dan kokohnya bangunannya tidak terlepas dari sehatnya masyarakat dan
cara mempersiapkannya karenanya, Islam memperhatikan pendidikan Islam dan
tingkah lakunya sehingga, apabila mereka terdidik, terbentuk, dan berkiprah
tentang manusia yang cakap, berakal, bijak.
Oleh sebab itu, para keluarga hendaknya berusaha keras
memikul tanggung jawab besar mereka terhadap pendidikan sosial dengan cara yang
benar agar mereka dapat memberikan andil dalam pembinaan masyarakat Islam yang
utama yang berlandaskan iman, moral, pendidikan sosial yang utama, dan
nilai-nilai Islam yang tinggi.[9]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi diatas maka dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut :
- Bagaimana
peranan keluarga dalam pengembangan
sikap sosial pada awal masa kanak-kanak?
- Metode
apa saja yang dapat digunakan dalam pengembangan sikap sosial pada awal
masa kanak-kanak?
C. PEMBAHASAN
1.
Pentingnya Pendidikan Anak
dalam Keluarga
Keluarga
adalah merupakan kelompok primer yang paling penting di dalam masyarakat.
Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan
wanita, perhubungan mana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan
membesarkan anak-anak. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami
isteri dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu
yang sama, dimana saja dalam satuan masyarakat manusia.[10]
Sampai
sekarang keluarga tetap merupakan kesatuan unit masyarakat kecil.
Anggota-anggota keluarga itu hidup dan bekerja sama dalam kelompok yang
membentuk rumah tangga yang didalamnya terjaring suatu cara hidup. Keluarga
dalam bentuk yang paling sederhana dan asasi terdiri atas laki-laki dan
perempuan, hidup dalam ikatan perkawinan, beserta anak atau anak-anaknya
dibawah umur, yang diakui oleh anggota masyarakatnya. kesatuan sosial ini
adalah bentuk keluarga tingkat pertama (keluarga batih).[11]
Keluarga
adalah unit dasar dan unsur fundamental masyarakat, yang dengan itu unsur-unsur
yang tertib dalam komunitas sosial dirancang dalam masyarakat.[12]
Keluarga merupakan unit terkecil masyarakat. Keluarga setidak-tidaknya terdiri
dari satu orang laki-laki dan seorang perempuan yang hidup bersama sebagai
suami isteri. Dalam kehidupan (modern ataukah primitif) ada yang bisa disebut
sebagai keluarga tetapi tidak terikat oleh suatu ikatan kehidupan sebagai
“suami isteri” menurut norma agamis.
Keluarga
(dalam arti rumah tangga) menurut Islam jelas-jelas merupakan suatu ikatan yang
baru akan terbentuk manakala telah melalui
(akad) perjanjian nikah. Keluarga menurut konsep Islam adalah kesatuan
hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dilakukan dengan
melalui akad nikah menurut ajaran Islam. Dengan kata lain, ikatan apapun antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak dilakukan dengan melalui
akad nikah secara Islam, tidak diakui sebagai keluarga (rumah tangga) Islam[13].
Sedangkan
menurut penulis sendiri keluarga adalah satuan terkecil dari masyarakat, yang
terdiri dari seorang ayah dan ibu serta anak-anaknya yang belum dewasa. Yang
terbentuk dari adanya hubungan yang syah antara laki-laki dan perempuan melalui
(akad) perjanjian secara agamis dan juga diakui oleh UU. Keluarga ini disebut
dengan keluarga inti. Karena ada keluarga dalam bentuk yang luas yaitu keluarga
yang terdiri dari seorang laki-laki sebagai suami dan seorang perempuan
yang berstatus sebagai istri, beserta anak-anak mereka, serta terdapat juga di
dalam rumah tersebut kakek, nenek atau saudara yang lain yang tinggal bersama
dalam satu rumah itu.
Pemikiran
sosial dalam Islam setuju dengan pemikiran sosial modern yang menyatakan bahwa
keluarga itu adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat dimana
hubungan-hubungan yang terdapat didalamnya, sebahagian besarnya bersifat
hubungan-hubungan langsung. Disitulah berkembang individu dan disitulah
terbentuknya tahapan awal proses pemasyarakatan (socialization), dan
melalui interaksi dengannya ia memperoleh pengetahuan ketrampilan, minat,
nilai-nilai emosi dan sikapnya dalam hidup dan dengan itu ia memperoleh
ketentraman dan ketenangan.
Pembentukan
keluarga dalam Islam bermula dengan
terciptanya hubungan suci yang menjalin seorang lelaki dan seorang perempuan
melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Oleh
sebab itu kedua suami isteri itu merupakan dua unsur utama dalam keluarga. Jadi
keluarga dalam pengertiannya yang sempit merupakan suatu unit sosial yang
terdiri dari seorang suami dan seorang isteri, atau dengan kata lain keluarga
adalah perkumpulan yang halal antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang
bersifat terus menerus dimana yang satu merasa tenteram dengan kata lain sesuai
dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat.[14]
Salah satu tujuan syari’at Islam adalah memelihara
kelangsungan keturunan (hifzh al nasl) melalui perkawinan yang sah menurut agama dan
diakui oleh undang-undang sehingga tercipta keluarga yang diliputi dengan cinta
kasih (mawaddah) dan kasih sayang (Rahmah).[15] Bagi keluarga anak merupakan anugerah dari
Allah SWT yang mempunyai potensi, bisa menjadi baik dan bisa pula menjadi
buruk. Baik buruk nya anak sangat erat kaitannya dengan pendidikan yang
diberikan oleh kedua orang tuanya. Berkaitan dengan hal ini, terdapat hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berbunyi:
حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله
عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ
إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أََوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِسَانِهِ. كَمَا تُنْجَحُ الْبَهِيْمَةُ بَـهِيْمَةً
جُمْعَاءَ . هَلْ تُحِسُوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ فِطْرَة اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ الدِّيْنُ الْقيِّمُ .
Artinya: Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. Bersabda: Tiada bayi
dilahirkan melainkan lahir diatas fitrah, maka ayah bundanya yang mendidiknya
menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagai lahir binatang yang lengkap
sempurna. Apakah ada binatang yang lahir terputus telinganya? Kemudian Abu
Hurairah r. a. membaca: fitratallah allati fathratannaasa alaiha, laa tabdila
likhalqillahi (fitrah yang diciptakan Allah pada manusia, tiada perubahan
terhadap apa yang diciptakan oleh Allah), itulah agama yang lurus.[16]
Mencermati hadits tersebut berarti kedua orang tua
memiliki peran yang cukup strategis bagi masa depan anak. Hal ini disebabkan
karena perkembangan fitrah manusia banyak bergantung pada usaha pendidikan dan
bimbingan orang tua.
Barangkali sulit mengabaikan peranan keluarga dalam
pendidikan anak-anak. Sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan
tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak mengherankan jika Gilbert Highest
menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk
oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur
kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga. Keluarga menurut para
pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah
kedua orang tua. Orang tua ( bapak dan ibu ) adalah pendidik kodrati. Mereka
pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrati ibu dan bapak diberikan
anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karen naluri ini timbul
kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral
keduanya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi dan
melindungi serta membimbing keturunan mereka.[17]
Peranan pendidikan yang sepatutnya dipegang oleh
keluarga terhadap anggotanya secara umum adalah peranan yang paling pokok
dibanding dengan peranan-peranan lain. Kalau kajian pendidikan dan psikologikal
modern menekankan pentingnya peranan yang dipegang oleh keluarga dalam
pendidikan anak-anak dan membekali jiwa mereka dengan rasa cinta, kasih sayang
dan ketentraman, ahli-ahli ilmu jiwa dari kaum Muslimin telah menekankan
perkara ini jauh sebelum itu dalam tulisan-tulisan mereka.
Ulama-ulama Islam dahulu kala menekankan pentingnya
peranan pendidikan bagi keluarga dan pentingnya keluarga memegang peranan itu
terutama pada tahun-tahun pertama pada umur anak-anak, adalah berdasar pada
pengalaman-pengalaman mereka sendiri, juga pengalaman dan perhatian orang-orang
dahulu di berbagai negara dan masa. Disamping nas-nas Al- Quran, sunnah dan
bekas-bekas peninggalan Assalaf- Saleh yang banyak menekankan pentingnya
peranan pendidikan bagi keluarga.[18]
Keluarga harus memberikan perhatian kepada anak,
lebih-lebih pada periode pertama (kurang lebih usia enam tahun pertama) dalam
kehidupan anak karena usia ini merupakan periode yang amat kritis dan paling
penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan
pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periode ini, nanti akan
tampak pengaruh-pengaruhnya dengan nyata pada kepribadiannya kelak
ketika usia dewasa.
Anak-anak generasi penentu masa depan, sebagaimana ia
juga akan menjadi orang dewasa. Diantara anak-anak kita, sekarang ini, akan
menjadi pemimpin dimasa yang akan datang. Para
orang tua, guru dan ahli pendidikan sebagai pendidik hendaknya memperhatikan
putera-puterinya, dan para muridnya, agar mereka menjadi pemikir ulung atau
praktisi cekatan dimasa yang akan datang, juga diberikan berbagai macam ilmu
pengetahuan kepada mereka untuk di didik secara sempurna.[19]
Di dalam kehidupan keluarga, merupakan basis yang sangat penting dalam
peletakan dasar-dasar pendidikan sosial anak. Sebab pada dasarnya keluarga
merupakan lembaga sosial resmi yang minimal terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Perkembangan benih-benih kesadaran sosial pada anak-anak dapat dipupuk sedini
mungkin, terutama lewat kehidupan keluarga yang penuh rasa tanggung jawab,
tolong menolong, gotong royong secara kekeluargaan,
menolong saudara atau tetangga yang sakit, bersama-sama menjaga ketertiban,
kedamaian, kebersihan dan keserasian dalam segala hal.[20]
2.
Keluarga Sebagai Dasar Pembentukan Kepribadian dan Sikap Sosial Anak
Anak lahir dalam keadaan fitrah. Keluarga dan lingkungan anaklah yang
mempengaruhi dan membentuk kepribadian, perilaku, dan kecenderungannya sesuai
dengan bakat yang ada dalam dirinya. Tetapi pengaruh yang kuat dan cukup
langgeng adalah kejadian dan pengalaman pada masa kecil sang anak yang tumbuh
dari suasana keluarga yang ia tempati. Pada masa sekarang ini, pengaruh
keluarga mulai melemah dikarenakan perubahan sosial, politik, dan budaya yang
terjadi. Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya anak dari
kekuasaan orang tua. Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam pendidikan.
Berdasarkan kenyataan ini, maka tak (syak) lagi lingkungan keluarga
memiliki peranan yang besar dalam mendidik dan mempengaruhi anak-anak.
Disamping itu, perlu juga adanya penyadaran yang benar pada anak-anak akan
peranan orang tua pada usia-usia awal dalam kehidupannya, sehingga menjadikan
anak-anak terpengaruh.[21]
Al-Ghazali sangat yakin bahwa pendidikan mampu mengubah perangai dan
membina budi pekerti. Pada berbagai kesempatan dalam karyanya ia menyatakan,
pendidikan tiada lain adalah: proses yang saling mempengaruhi antara fitrah
manusia dengan lingkungan yang mengelilinginya.[22]
Keluarga yang menghadirkan anak ke
dunia ini, secara kodrat mendidik anak itu. Sejak kecil, si anak hidup, tumbuh
dan berkembang di dalam keluarga itu. Seluruh keluarga itu yang mula-mula
mengisi pribadi anak itu. Orang tua secara tidak direncanakan menanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang diwarisi dari nenek moyang dan pengaruh-pengaruh lain
yang diterimanya dari masyarakat. Si anak menerima dengan daya penirunya,
dengan segala senang hati, sekalipun kadang-kadang ia tidak menyadari benar apa
maksud dan tujuan yang ingin dicapai dengan pendidikan itu. Kebiasaan-kebiasaan
tertentu yang diinginkan untuk dapat dilakukan anak, ditanamkan benar-benar
seakan akan tidak boleh tidak dilakukan oleh si anak. Dengan demikian si anak
akan membawa kemanapun juga pengaruh keluarga itu, sekalipun ia mulai berpikir
lebih jauh lagi.[23]
Pendidikan Islam merupakan pendidikan
yang mengembangkan individu dalam segala aspeknya. Satu aspek tidak boleh
mendominasi aspek lainnya. Oleh sebab itu pendidikan Islam diharapkan
melahirkan kepribadian yang seimbang, dengan syarat pendidikan dapat
mengembangkan secara menyeluruh.[24]
Melalui pendidikan terbentuklah kepribadian seseorang. Boleh dikatakan hampir
seluruh kelakuan individu bertalian dengan atau dipengaruhi oleh orang lain.
Maka karena itu kepribadian pada hakekatnya gejala sosial.[25]
Pembentukan kepribadian
terjadi dalam masa yang panjang, mulai sejak dalam kandungan sampai umur laki-laki
21 tahun. Pembentukan kepribadian berkaitan erat dengan pembinaan iman dan
akhlak. Secara umum para pakar kejiwaan berpendapat, bahwa kepribadian
merupakan suatu mekanisme yang mengendalikan dan mengarahkan sikap dan perilaku
seseorang.
Kepribadian terbentuk melalui semua
pengalaman dan nilai-nilai yang diserapnya dalam perkembangannya, terutama pada
tahun-tahun pertama dari umurnya. Apabila nilai-nilai agama banyak masuk ke
dalam pembentukan kepribadian seseorang, maka tingkah laku orang tersebut akan
banyak diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama. Disinilah letak
pentingnya pengalaman dan pendidikan agama pada masa pertumbuhan dan
perkembangan seseorang.[26]
Pendidikan agama berkaitan erat
dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebih lebihan kalau kita katakan bahwa
pendidikan akhlak dalam pengertian Islam adalah kajian yang tidak dapat
dipisahkan dari pendidikan agama.[27]
Islam memiliki perhatian khusus terhadap pembentukan akhlak dan kepribadian
anak, serta tatacara (etiquette) bergaul dan berinteraksi dengan
masyarakat yang islami. Ini penting untuk diajarkan dan ditanamkan dalam
kepribadian anak agar mereka bisa bergaul dengan masyarakat sekitarnya dengan
pergaulan yang baik dan wajar (layaknya manusia sempurna dan memiliki
pengetahuan).
Ini semua adalah tugas dan tanggung
jawab kita, terutama orang tua. Orang tua harus sedini mungkin mengajarkan
etika pergaulan ini dan menanamkannya di dalam kepribadian anak. Dengan
demikian anak-anak memiliki akhlak dan etika mulia dimanapun mereka berada, dan
pada akhirnya mereka akan tumbuh menjadi pemuda yang berkepribadian luhur.[28]
Keluarga belum melengkapi tugasnya
dengan sempurna dalam pendidikan anak-anak sehingga ia menolong anak-anak
bertumbuh dari segi sosial. Pendidikan sosial ini melibatkan bimbingan terhadap
tingkah laku sosial, ekonomi dan politik dalam rangka akidah Islam yang betul
dan ajaran-ajaran dan hukum-hukum agama yang berusaha meningkatkan iman, takwa,
takut kepada Allah dan mengerjakan ajaran-ajaran agamanya yang mendorong kepada
produksi, menghargai waktu, jujur, ikhlas dalam perbuatan adil, kasih sayang,
ihsan, mementingkan orang lain, tolong menolong, setia kawan, menjaga
kemaslahatan umum, cinta tanah air dan lain-lain lagi bentuk akhlak yang
mempunyai nilai sosial.[29]
Di antara cara-cara yang
patut di gunakan oleh keluarga dalam mendidik anak-anaknya dari segi sosial,
politik dan ekonomi adalah:[30]
a.
Memberi contoh yang baik kepada
anak-anaknya dalam tingkah laku sosial yang sehat berdasar pada prinsip-prinsip
dan nilai-nilai agama
b.
Menjadikan rumah itu sebagai
tempat dimana tercipta hubungan-hubungan sosial yang berhasil
c.
Menolong anak-anaknya menjalin
persahabatan yang mulia dan berhasil, sebab “manusia turut menjadi baik karena
berkawan dengan orang saleh.” Seperti kata pepatah
d.
Membiasakan mereka cara-cara Islam
dalam makan, minum, duduk, tidur, memberi salam, berziarah, masuk rumah yang
telah didiami orang dan lain-lain lagi kegiatan hidup.
Dalam hal ini, keluarga adalah
menjadi tempat berlangsungnya sosialisasi yang berfungsi dalam pembentukan
kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila dan
makhluk keagamaan.[31]
Pentingnya peranan keluarga dalam pendidikan ini adalah sebab ia melibatkan
kanak-kanak dalam tahap awal hidupnya, dimana hubungan-hubungan dan
pengalaman-pengalaman sosialnya belum cukup luas, juga belum sanggup ia
berdikari untuk menanggapi suasana dan milliu sekelilingnya.[32]
Perkembangan sikap sosial anak mulai
terbentuk di dalam keluarga. Orang tua yang penyayang, lemah lembut, adil dan
bijaksana, akan menimbulkan sikap sosial yang menyenangkan pada anak. Ia akan
terlihat ramah, gembira dan segera akrab dengan orang lain. Karena ia merasa
diterima dan disayangi oleh kedua orang tuanya, maka akan bertumbuh padanya
rasa percaya diri dan percaya terhadap lingkungannya, hal ini yang menunjang
terbentuknya pribadinya yang menyenangkan dan suka bergaul. Demikian juga jika
sebaliknya orang tua keras, kurang perhatian kepada anak dan kurang akrab,
sering bertengkar antara satu sama lain (ibu bapak), maka si anak akan
berkembang menjadi anak yang kurang pandai bergaul, menjauh dari temannya,
mengisolasi diri dan mudah terangsang untuk berkelahi, dan pribadi yang
negatif, yang condong kepada curiga dan antipati terhadap lingkungannya.[33]
Jadi kehidupan sosial seorang anak
pada permulaannya terjadi bukan dengan teman sebayanya, tapi dengan orang
dewasa. Orang dewasa disini ialah ibunya. Saat bayi ia sudah menyadari bahwa ia
membutuhkan orang lain. Bayi akan menangis atau tersenyum dan berhenti menangis
bila ada seseorang yang datang menemuinya. Pada umumnya pada masa usia tiga
bulan, tanda-tanda kesadaran sosial anak mulai telah terlihat. Ia mulai
memperhatikan kehadiran orang dewasa lainnya, dan mulai bereaksi bila mendengar
suara ibunya.[34]
3.
Masa Awal Kanak-Kanak
Masa awal kanak-kanak berlangsung dari dua sampai enam
tahun. Orang tua menyebutnya sebagai usia problematis/usia sulit karena
memelihara/mendidik mereka sulit; disebut sebagai usia main karena sebagian
besar hidup anak waktunya dihabiskan untuk main. Para
pendidik menyebut masa ini sebagai anak usia prasekolah, sebagai anak yang
belum saat/matang untuk sekolah, merupakan masa persiapan untuk masuk sekolah
dasar. Lain halnya dengan para psikolog, mereka menyebut masa ini dengan
sebutan usia pra kelompok, usia penjelajah, usia bertanya.
Masa ini dikatakan usia pra kelompok karena pada masa ini anak-anak mempelajari
dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih
tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu masuk kelas 1 SD.[35] Anak-anak
masa ini oleh para ahli psikologi disebut sebagai manusia penjelajah dan usia
bertanya karena anak-anak pada masa ini gemar menjelajahi lingkungan karena
dorongan ingin tahu mengenai apa yang ada di sekitarnya baik perasaan maupun
mekanisme kehidupan yang ada di lingkungannya. Dan salah satu cara yang umum
dalam menjelajahi lingkungan tersebut adalah dengan sering bertanya. Minat umum
anak-anak pada masa ini meliputi minat terhadap agama, tubuh manusia, diri
sendiri, seks dan pakaian.[36]
Menurut Zakiah Daradjat, awal masa kanak-kanak yaitu
masa kira-kira antara umur 2 sampai 5 tahun. Pada masa ini anak sangat
sensitif, ia dapat merasakan apa yang terkandung dalam hati ibu- bapaknya. Ia
ingin memonopoli ibunya, ia sangat membutuhkan kasih sayang ibu yang
sungguh-sungguh. Ia suka meniru dan melakukan apa yang terlihat menggembirakan
ibu bapaknya. Karena masa kanak-kanak adalah masa yang sangat sensitif dan masa
meniru, maka pendidikan haruslah berupa menanamkan kebiasaan yang baik, belajar
menolong diri sendiri waktu makan, memakai baju, kebiasaan kebelakang, tidur
dan sebagainya. Kebiasaan itu jangan lupa merupakan paksaan yang mengikat,
tetapi biasakanlah dengan cara-cara yang menimbulkan keinginan padanya.
Pada masa itu anak-anak ingin pula mengenal alam
sekelilingnya, dengan meraba, mencium, merasa dan bertanya. Mungkin akan banyak
sekali terlihat oleh si ibu hal-hal yang kurang menyenangkan umpama memasukkan
ke mulut apa saja yang ditemuinya. Janganlah dibentak, karena ia ingin tahu.
Dan harus diingat bahwa anak belum lagi mempunyai pengertian yang banyak
tentang bahasa.[37]
Menurut Shalih Abdul Al- Azizi dan Abdul Aziz Abdul
Majid, yang dikutip oleh Asnelly Ilyas, mengatakan fase awal masa kanak-kanak
mulai lahir sampai umur lima tahun. Fase ini dinamakan juga dengan fase
prasekolah. Pada saat ini kebanyakan waktu anak berlangsung di rumah dalam
pemeliharaan keluarga. Para ahli ilmu jiwa
& kesehatan sangat memperhatikan kehidupan anak terutama dua tahun pertama,
karena pada saat itu terjadinya pertumbuhan jasmani, akal & perasaan.
Mereka menganggap dua tahun pertama ini sebagai dasar perkembangan anak
selanjutnya.[38]
Pada usia 2 atau 3 tahun seorang anak mulai melihat
kemampuan-kemampuan tertentu pada
dirinya. Sikap terhadap orang tua mulai berubah. Di satu pihak masih
membutuhkan orang tua, di lain pihak keakuannya
mulai tumbuh dan ia ingin mengikuti kehendaknya sendiri. Ia jadi sering
membantah. Masa ini disebut sebagai masa negativistis yang pertama. Masa
negativistis kedua timbul pada usia 5 atau 6 tahun, pada saat mana anak mulai
mengenal lingkungan yang lebih luas (sekolah, anak-anak tetangga dan
lain-lain).[39]
a.
Bersifat egosentris- naïf
b.
Mempunyai relasi sosial dengan
benda-benda dan manusia yang sifatnya sederhana dan primitif
c.
Ada kesatuan jasmani dan rohani yang
hampir-hampir tidak terpisahkan sebagai satu totalitas
d.
Sikap hidup yang fisiognomis
Perkembangan sesudah tahun pertama ditandai oleh
beberapa proses yang sangat fundamental. Misalnya perkembangan sosial dan
perkembangan kepribadian ditandai oleh perkembangan tingkah laku lekat. Tingkah
laku lekat harus tumbuh dan menjadi stabil sebagai latar belakang struktural
tingkah laku yang akan datang. Dalam tahun pertama harus dibuat suatu basis
bagi timbulnya tingkah laku lekat yang nanti akan memegang peranan yang
esensial sepanjang hidup.[41]
Sebelum usia 2 tahun anak kecil terlibat dalam
permainan seorang diri atau searah. Meskipun dua atau tiga orang anak bermain
di dalam ruangan yang sama dan dengan jenis mainan yang sama, interaksi sosial
yang terjadi sangat sedikit. Hubungan mereka terutama terdiri atas meniru atau
mengamati satu sama lain atau berusaha mengambil mainan anak lain.
Sejak umur 3 atau 4 tahun, anak mulai bermain dalam
kelompok, berbicara satu sama lain pada saat bermain, dan memilih dari
anak-anak yang hadir siapa yang akan dipilih untuk bermain bersama. Sebagian
dari bentuk perilaku sosial yang berkembang pada masa kanak-kanak awal
berdasarkan landasan yang diletakkan pada masa bayi. Sebagian lagi merupakan
bentuk perilaku sosial yang baru dan mempunyai landasan baru.
Pola perilaku dalam situasi sosial banyak yang tampak
tidak sosial atau bahkan anti sosial, tetapi dalam kenyataannya masing-masing
tetap penting bagi proses sosialisasi. Landasan yang diletakkan pada masa
kanak-kanak awal akan menentukan cara anak menyesuaikan diri dengan orang dan
situasi sosial jika lingkungan mereka semakin meluas dan jika mereka tidak
mempunyai perlindungan dan bimbingan dari orang tua pada masa bayi.[42]
Islam
sangat memperhatikan pendidikan sosial yang merupakan salah satu aspek pendidikan
yang diberikan kepada anak. Karena potensi-potensi sosial yang dimiliki anak
sejak kecil dapat tumbuh dan berkembang baik jika dibentuk sejak dini. Diantara
hadits yang menjelaskan perilaku sosial yang dapat diajarkan kepada anak
misalnya, sabda nabi saw yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim yang berbunyi:
حَدِيْثُ
أَنَسٍ عَنِ النَِّبِّي صَلَعَمْ قَالَ : لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ
ِلأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِه.
Artinya: “Anas
r.a. berkata, Nabi Saw. bersabda : Tidak
sempurna iman seseorang sehingga ia suka
untuk saudaranya (sesama muslim) apa yang ia suka untuk dirinya sendiri.(
Bukhari Muslim ).”[43]
Menurut Abdullah Nashih Ulwan bahwa pendidikan
kemasyarakatan ialah pendidikan anak sejak dini agar terbiasa melakukan tata
krama sosial yang utama, dasar-dasar kejiwaan yang mulia, yang bersumber dari
akidah Islamiah yang abadi dan emosi keimanan yang mendalam agar dimasyarakat,
anak berpenampilan dan bergaul dengan baik, sopan, ajeg, matang akal, dan
bertindak bijak.
Adapun materi pendidikan sosial sebagaimana yang kami
lansir dari pendapat Nashih Ulwan adalah sebagai berikut:
1.
Penanaman dasar-dasar kejiwaan
yang mulia: takwa, ukhuwah, kasih sayang, (rahmah), itsar (mementingkan
orang lain daripada diri sendiri), memaafkan, al- jurah (berani karena
benar).
2.
Pemeliharaan hak orang lain: hak
orangtua, hak tetangga, hak guru, hak teman, hak orang dewasa.
3.
Melaksanakan tata krama sosial
yang berlaku umum: etika makan dan minum, etika meminta izin masuk rumah, etika
duduk dalam pertemuan[44]
Untuk melaksanakan tanggung jawabnya dalam pendidikan
sosial tersebut, seorang pendidik harus menggunakan metode. Dalam bahasa arab
metode disebut, “thariqoh” artinya jalan, cara, sistem atau ketertiban dalam
mengerjakan sesuatu. Sedangkan menurut istilah ialah suatu sistem atau cara
yang mengatur suatu cita-cita.[45]
Pendidik anak prasekolah yang bijaksana, sudah barang tentu akan terus mencari
metode alternatif yang lebih efektif untuk menerapkan dasar-dasar pendidikan
yang berpengaruh dalam mempersiapkan anak secara mental, moral, spiritual,
intelektual dan sosial, sehingga anak dapat mencapai kematangan yang sempurna
dan berkepribadian yang integral.
Mengingat begitu banyak metode-metode pendidikan anak,
disini akan dipilih beberapa metode yang lebih tepat untuk diterapkan pada anak
prasekolah antara lain, metode keteladanan, pembiasaan, cerita/dongeng dan
bermain [46]
[1] Fuaduddin TM, M.Ed, Pengasuhan Anak dalam
Keluarga Islam (Jakarta: Lembaga Kajian Islam dan Jender dengan Solidaritas
Perempuan, 1999), hlm. 5.
[2]
Sri Harini , dan Aba Firdaus al- Halwani
op.cit., hlm. 14.
[3] Sri
Harini, dan Aba Firdaus al- Halwani op.cit., hlm. 34.
[4] Yusuf
Muhammad Al- Hasan, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Yayasan Al
Sofwa, 1997), hlm. 13.
[5] Anas
Sudjiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 10.
[6] Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam
Keluarga Dan Masyarakat (Jakarta: Ruhama, 1994), hlm. 18.
[7]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putera,
1989), hlm. 847.
[8] Murtadha
Muthohari, Masyarakat dan Sejarah (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 18.
[9] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak
Menurut Islam: Pendidikan Sosial Anak (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1992), hlm. 1.
[11] Kaelany
HD, Islam Dan Aspek Kemasyarakatan ( Jakarta: Bumi Aksara, 1992 ), hlm.
130.
[12]
Husain Ali Turkamani, Bimbingan Keluarga & Wanita Islam,
Mengungkap Rahasia Isu Emansipasi (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 ), hlm.
30.
[13] H.
Thohari Mustamar, op. cit., hlm. 55-56.
[14] Hasan
Langgulung, Manusia Dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi Dan Pendidikan
(Jakarta: Al- Husna Zikra, 1995 ), hlm. 346.
[15] Sri
Harini , dan Aba Firdaus al-
Halwani op. cit., hlm. 13.
[16] Muhammad
fuad 'Abdul Baqi, Al-lu'lu' wal-Marjan. Himpunan Hadits Yang Disepakati oleh
Bukhari Dan Muslim. Terjemahan H. Salim Bahreisy 2 (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1997), hlm. 1010.
[17]
Jalaluddin, Psikologi Agama ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997
), hlm. 201.
[18]
Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 361.
[19] Muhammad Athiyah Al- Abrasyi, Beberapa
Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1964), hlm.
82.
[20]
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
(Jakarta: PT Raja Gra findo Persada, 1999), hlm. 43.
[21] Ma’ruf
Zurayk, Bimbingan Praktis Mendidik Anak Menuju Remaja: Aku dan Anakku
(Bandung: Al- Bayan, 1998 ), hlm.21-22.
[22]
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al- Ghazali (Jakarta:
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1986), hlm. 70.
[23] Agus Sujanto, Halim Lubis dan Taufik Hadi, Psikologi
Kepribadian (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 16-17.
[24] Khatib
Ahmad Santhut, op.cit., hlm. 27.
[25] S. Nasution, Sosiologi Pendidikan
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 11.
[26] Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam
Keluarga Dan Sekolah (Jakarta: Ruhama, 1995), hlm. 63.
[27] Hasan Langgulung,op. cit., hlm. 373.
[28]
Muhyiddin Abdul Hamid, Kegelisahan Rasulullah Mendengar Tangis Anak (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 1999), hlm. 221.
[29] Hasan
Langgulung, op. cit., hlm. 375-376.
[30] Ibid,
hlm. 376-377.
[31] Bakir
Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan
Beragama Islam Pada Anak (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 37.
[32] Hasan
Langgulung, op. cit., hlm. 369.
[33] Zakiah Daradjat, op. cit., hlm. 67.
[34] Gunarsa
dan Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi Anak dan Remaja (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993), hlm.96.
[35] M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum
&Perkembangan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), hlm. 152.
[36] Ibid,
hlm.153.
[37] Zakiah
Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1978), hlm. 99-100.
[38] Asnelly
Ilyas, Mendambakan Anak Saleh Prinsip-prinsip Pendidikan dalam Islam (Bandung:
Al-Bayan, 1998), hlm. 53.
[39] Sarlito
Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang,
1982), hlm. 95.
[40] Kartini
Kartono, Psikologi Anak ( psikologi Perkembangan) (Bandung: Mandar Maju,
1995 ), hlm.109.
[41] F. J.
Monks, A. M. P. Knoers dan Siti Rahayu Haditomo, Psikologi Perkembangan
Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya (Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press, 2002), hlm.100.
[42]
Elizabeth B. Hurlock, op.cit.,
hlm. 261-263.
[43]
Muhammad fuad 'Abdul Baqi, Al-lu'lu' wal-Marjan. Himpunan Hadits Yang
Disepakati oleh Bukhari Dan Muslim. Terjemahan H. Salim Bahreisy I
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), hlm.17 .
[44] Abdullah Nashih Ulwan, op.cit., hlm.
2.
[45] Nur
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1995), hlm. 67.
[46] Sri
Harini, dan Aba Firdaus al-
Halwani, op.cit., hlm. 120.
0 Response to "Makalah Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Sosial Anak"
Post a Comment