Shalat dalam Perspektif Psikologi Agama
Psikologi Shalat |Makalah Psikologi Shalat |Shalat sebagai Terapi Psikologi | Psikologi dalam Shalat
sholat dalam psikologi| Shalat dalam Perspektif Psikologi
KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA TENTANG
SHALAT
A. Pengertian
Shalat
“Berhadap hati (jiwa) kepada
Allah, yang mendatangkan takut kepada-Nya, serta menumbuhkan didalam jiwa rasa
keagungan kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya”.1
Dengan kata lain, shalat mendahulukan hajat kita kepada Allah yang
diperintahkan dengan perkataan atau pekerjaan, atau dengan kedua-duanya.
Sedangkan arti shalat yang menggambarkan rukhush shalat atau jiwa shalat
adalah :
“Berhadap kepada Allah SWT dengan khusyu’, ikhlas hadir hati baik dalam
berdzikir, baik dalam berdo’a maupun dalam memuji.”2
Berarti maksud dari shalat adalah : Berhadap hati kepada Allah SWT yang
mendatangkan rasa takut, menumbuhkan rasa kebesaran dan kekuasaan-Nya dengan
penuh khusyuk, ikhlas. Dalam sebuah bentuk ibadah yang terdiri atas beberapa
perkataan dan perbuatan, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam,
dengan memenuhi syarat dan rukun tertentu, shalat yang demikian yang dapat
mewujudkan manusia dalam kategori takwa.
Dasar Perintah Shalat
Shalat diperintahkan oleh Allah SWT Surat An-Nisa’ :103
فإذا قضيتم الصلوة
فاذكروا الله قيما وقعودا وعلي جنوبكم فإذا اطمأننتم فأقيمواالصلوة إن الصلوة كانت
على المؤمنين كتابا موقوتا
“Bila kamu telah menyelesaikan shalatmu ingatlah kepada waktu
berdiri, di waktu duduk dan waktu berbaring, bila kamu telah merasa aman, maka
kerjakan shalatmu seperti biasa, sehingga shalat itu adalah kewajiban yang
ditentukan waktunya terhadap orang-orang yang beriman”.3
Juga dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam sabdanya
بني الإسلام على خمس
اشهادة أن لاإله إلا الله وأن محمدارسول الله وأقام الصلاة وأيتماءالزكاة والحج
بيت وصوم رمضان
“Islam didirikan dari lima sendi-sendi mengikuti bahwasannya
tak ada Tuhan yang sebenarnya disembah melainkan Allah Yang Maha Esa, mengaku bahwasannya
Muhammad itu pesuruh-Nya, mendirikan shalat, mengeluarkan Zakat,
mengerjakan haji dan
berpuasa di bulan
Ramadhan”.4 (H.R.
Bukhari Muslim dari Ibnu Umar).
Berdasarkan Firman Allah SWT dan Hadist Rasul tersebut, maka jelaslah
bahwa shalat adalah ibadah yang diwajibkan atas setiap umat Islam. Shalat
adalah kewajiban yang selalu tidak boleh ditinggalkan. Dan memberikan
pengertian bahwa shalat adalah ibadah yang esensial dalam kehidupan manusia.
1. Syarat Wajib Shalat
Kewajiban shalat itu dibebankan atas orang yang
memenuhi syarat-syarat yaitu Islam, baligh, berakal, dan suci.5 Shalat itu difardlukan atas tiap-tiap
orang mukallaf kecuali tiga orang golongan yaitu :
a.
Orang yang tidak sanggup
mengerjakannya dengan syarat lagi
b.
Orang yang pitam (pingsan) hingga
keluar waktu
Orang sakit pun tetap diwajibkan shalat dengan cara
yang ia mampu. Ia dapat shalat dengan berdiri, duduk ataupun berbaring. Orang
kafir pun tetap berdosa karena tidak mengerjakan shalat seperti diterangkan
dalam Al-Qur’an Surat Al-Muddatsir ayat 42-43
ماسلككم في سقر. قالوالم نك من المصلين
“Mereka tanyakan kepada orang-orang yang berdosa, apakah yang
menyebabkan kalian masuk ke dalam neraka ? Orang-orang yang berdosa lalu
menjawab : kami dahulu tidak mengerjakan shalat”.7
( Q.S Surat Al- Mudattsir : 42-43 )
B. Hakekat Shalat
Shalat
merupakan kesanggupan hati bagi orang-orang yang mencintainya dan merupakan
kenikmatan roh bagi orang-orang yang mengesakan Allah SWT. Shalat adalah puncak keadaan
ash-shodiqin dan timbangan keadaan orang-orang yang meniti jalan kepada Allah
SWT. Shalat merupakan rahmat Allah SWT yang diberikan kepada hamba-Nya. Allah
Swt menuntun mereka untuk mengerjakan shalat itu dan memperkenalkannya sebagai
rahmat bagi mereka dan kehormatan bagi mereka, supaya dengan shalat itu mereka
memperoleh keberuntungan dan kemuliaan dari-Nya karena kedekatan dengan-Nya. 8
Syeh Mansur mengatakan shalat pada hakekatnya
merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbaiki semangat dan
sekaligus pensucian akhlak. Baik pelakunya sendiri, shalat itu merupakan tali
penguat yang dapat mengendalikan, ia adalah pelipur lara dan mengamankan dari
rasa takut dan cemas, juga memperkuat dan kelemahan dan senjata bagi orang yang
merasa terasing.9
Shalat memiliki efek ketenangan, (depresan), seperti
bius pada obat-obatan, jika shalat bisa khusyu’ maka seseorang akan lupa (tidak
sadar) akan sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Hal ini telah dibuktikan oleh
shahabat Nabi yang bernama Ali bin Abi Thalib yang terkena panah dalam
peperangan. Ali minta jika panah tersebut di cabut ketika ia sedang shalat, dan
ternyata Ali tidak tersa sakit.10
Dimensi lain yang dapat dikemukakan dalam shalat
adalah terciptanya kepribadian yang teguh pada diri seseorang. Shalat yang
dilakukan secara rutin setiap waktu (berdasarkan waktu yang ditentukan
syari’at). Dengan sendirinya akan membentuk kepribadian dalam waktu dan kerja.
Menurut Razak, dalam waktu sehari semalam yakni 24 jam, seorang muslim
diajarkan untuk menta’ati shalat dan melaksanakan shalat sesuai dengan waktu
yang telah di tentukan hal yang demikian akan dapat membentuk kedisiplinan
seorang muslim dalam menta’ati aturan kerja dan waktunya.11
Sebenarnya yang mengetahui rahasia shalat atau apa
rahasia di balik shalat tentunya hanya Allah Swt dan Rasul-Nya. Namun sebagai
manusia yang dibekali akal maka perlu mencari sesuatu sesuai dibalik rahasia
shalat sesuai dengan ilmu yang dikaji dalam tulisan ini yaitu psikologi.
Shalat merupakan ibadah yang istimewa di dalam ajaran
Islam, baik di lihat dari perintah yang diterima oleh Nabi Muhammad secara
langsung maupun dimensi-dimensi yang lainnya. Shalat ini merupakan satu-satunya
wahyu yang diterima oleh Muhammad tanpa perantara Jibril atau yang lainnya.
Menurut pandangan para ahli, baik dari psikolog maupun
ahli kesehatan, ibadah shalat mengandung unsur terapeutik bagi kesehatan
manusia. menurut Djamaluddin Ancok sebagaimana yang di kutip oleh Harianto ada
beberapa terapeutik yang terdapat dalam ibadah shalat, antara lain aspek olah
raga, aspek meditasi, aspek auto-sugesti dan aspek kebersamaan di samping itu
juga mengandung unsur relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera dan aspek
katarsis.12
Menurut
H.A Saboe, gerakan –gerakan yang terkandung dalam shalat mengandung banyak
unsur kesehatan bagi jasmani manusia, maka dengan sendirinya akan memberi efek
pula pada kesehatan manusia baik dari sisi rohaniah maupun jasmaniah.13 Lebih lanjut Musbikin mengatakan bahwa
shalat bukan hanya sebuah kewajiban yang harus dikerjakan dan dipatuhi oleh
setiap muslim, tetapi juga perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga
mereka merasakan manfaat positif dari shalat. Sisi lain dari shalat itu adalah
aspek terapeutik dalam setiap gerakan dalam shalat.14
Usman Najati berkata, berdirinya seseorang manusia di
saat shalat dihadapan Allah Swt dalam keadaan khusyu’ dan tadharru’ dapat
memperkuat dirinya dalam memunculkan kekuatan rahani (Thaqah Ruqiyyah),
sehingga timbullah rasa kebeningan ruhani, ketenangan hati dan keamanan jiwa.
Pada saat shalat seorang manusia dapat mengenyahkan problem dan kerenyahan
hidup, serta menyirnakan pikiran terhadapnya. Berdirinya seseorang dalam
keadaan khusyu’ dan konsentrasi sempurna di hadapan Tuhannya, dapat
membangkitkan rasa santai, kedamaian jiwa dan ketenangan akal.15 Keadaan santai, damai dan tenang yang
ditimbulkan shalat tersebut pengaruhnya merupakan terapi penting dalam
mengendorkan otot yang tegang sebagai akibat hiruk-pikuk kehidupan yang di
alaminya. Selain itu, rasa tentram tersebut dapat menekan depresi jiwa yang
bernilai tak terhingga bagi orang-orang tertentu. Oleh karena itu shalat adalah
rehat yang paling efektif bagi jiwa yang sedang galau (depresi) dan hati yang
sedang resah.
Hakekat shalat dalam pandangan ghazali adalah bahwa
seseorang yang shalat itu ia dalam keadaan bermunajat kepada Tuhan-nya, Khusyu’
dengan menghadirkan hati kepada Allah.16
Oleh karena itu menurut Ghazali seorang muslim yang
hendak melakukan shalat selakyaknya bersikap rendah hati memelihara
kekhusyu’an, menampakkan kehinaan, menghadirkan kalbu, menghilangkan rasa
was-was dan menghindari perbuatan baik lahir maupun batin, menenangkan anggota
badan. Menundukkan kepala dan melatakkan tangan kanan di atas tangan kiri,
menghayati bacaan dan mengucapkan takbir dengan penuh keta’dziman. Melakukan
ruku’ dengan penuh ketundukkan, sujud dengan penuh kekhusyu’an, bertasbih
dengan penuh keagungan, mengucapkan syahadat dengan penuh persaksian, memberi
salam dengan penuh kasih sayang, mengakhiri shalat dengan penuh rasa takut dan
berusaha mencari keridhaan Allah SWT.17
Apabila ini dilakukan dengan baik dalam shalat niscaya
akan berpengaruh terhadap jiwanya dan dapat memberikan perasaan yang tenang,
tentram dan damai serta bebas dari beban.
C. Tujuan dan Hikmah Shalat
1. Tujuan Shalat
Allah mewajibkan sesuatu kepada manusia bukan untuk
kepentingan-Nya, akan tetapi justru untuk kebaikan manusia itu sendiri supaya
mereka dapat mencapai derajat taqwa yang dapat mensucikan diri mereka dari
kesalahan dan kemaksiatan, sehingga mendapatkan keridhaan dan surga-Nya serta
dijauhkan dari api neraka.
Dengan demikian, kewajiban shalat atas manusia
mempunyai beberapa tujuan yaitu :
- Untuk mengingat Allah SWT
- Untuk menghindari ancaman Allah SWT
- Sebagai manifestasi kepatuhan dan ketaatan manusia
kepada Allah.
Seseorang dengan hati yang selalu ingat kepada Allah
akan mendapatkan kekuatan baru dalam menghapi segala problema hidupnya.
2. Hikmah Shalat
Allah mewajibkan shalat kepada manusia, jelas
mempunyai nilai. Nilai tersebut berupa hikmah kebaikan yang akan manusia
dapatkan baik di dunia maupun di akherat jika manusia melaksanakannya. Adapun
hikmah yang dapat diambil dari shalat antara lain:
1). Mendekatkan diri kepada
Allah SWT
Shalat merupakan sarana langsung manusia berdialog
dengan Tuhannya. Shalat tersebut akan mempererat hubungan manusia dengan
Tuhannya yang diwajibkan dalam bentuk perkataan dan perbuatan di dalam shalat.
2) Membentuk kepribadian
muslim
Sifat kepribadian yang dapat dibentuk apabila menjalankan
ibadah shalat dengan baik, adalah:
a)
Mendidik sikap disiplin dan
tanggung jawab
Melaksanakan shalat merupakan manifestasi kesalehan
dan ketaatan manusia kepada Allah. Suatu ibadah yang harus dilaksanakan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan, mengingat manusia akan rasa tanggung jawab,
shalat yang tepat waktu merupakan bentuk latihan yang sempurna dalam
membangkitkan kesadaran.kedisiplinan dan rasa tanggung jawab yang tinggi.
b)
Menimbulkam jiwa yang
tenang
Shalat merupakan sarana untuk selalu mengingat Allah,
hal ini di tegaskan dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ra’du ayat 28:
ألذين أمنوا وتطمئن
قلوبهم بذكرالله ألابذكرالله تطمئن القلوب.
"Yaitu orang-orang yang beriman
dan hati menjadi tentram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan selalu
mengingat Allah-lah, Maka hati akan menjadi tentram”.
Tidak gelisah, tidak takut atau khawatir sebagaimana
yang tercantum dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ra’du ayat 28 tersebut. Selain
itu jiwa yang tenang juga dapat menghilangkan gangguan kejiwaan yang dapat
menyebabkan hilangnya keseimbangan jiwa.
c)
Terhindarnya manusia dari
perbuatan keji dan mungkar.
Shalat juga dapat memelihara seseorang dari perbuatan
keji dan mungkar. Hal tersebut dikarenakan shalat mampu memberikan nilai-nilai
kebajikan jika dilaksanakan dengan kusyu’, seperti ditegaskan Al-Qur’an dalam
Surat Al-Ankabut ayat 45 :
ان
الصلوة تنهىعن الفحشا ء والمنكر
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan mungkar”.
d)
Memupuk rasa solidaritas,
persatuan dan kesatuan
Dengan melakukan shalat berjama’ah yang dilakukan dua
orang atau lebih akan menumbuhkan sikap solidaritas umat. Menambah ukhuwah
Islamiyah. Setalah selesai shalat umat bersalaman sehingga akan memepererat
tali hubungan persauadaraan dan kesatuan.
e)
Menjaga kesehatan jasmani
Dengan shalat seseoarang akan sehat secara jasmani
karena shalat terdiri dari gerak tubuh seperti ruku’, sujud yang dapat
menguatkan otot-otot punggung dan otot-otot lainnya. Sebagai contoh shalat
subuh setelah semalaman orang tidur dengan melakukan shalat maka otot-otot akan
tergerak.
Untuk memperoleh hikmah-hikmah tersebut maka seseorang
harus menjalankan shalat yang dilakukan secara terus-menerus dan sempurna baik
rukun syarat dan kekhusyukan serta
menghadirkan diri. Agar ketenangan dan ketentraman hati selalu menemani dalam
hidupnya harus selalu ingat kepada Allah SWT dan agar hati selalu dapat ingat
Allah, maka kontinuitas dan kualitas kekusyu’an shalatnya harus dijaga. Dengan
kata lain, apabila seseorang tidak dapat menjaga kontinuitas dan kualitas
shalatnya, maka gelisahnya tidak mungkin akan selalu pisah darinya.18
D. Shalat Sebagai Aktivitas Ibadah
Ibadah adalah jenis tertinggi dari ketundukan dan
kerendahan diri di hadapan Allah, hal ini mengingatkan bahwa tujuan penciptaan
alam semesta serta diutusnya para Nabi dan Rasul adalah untuk ibadah.19
Ada beberapa pengertian yang harus kita hayati dalam
melaksanakan ibadah kepada Allah SWT, yaitu :
a.
Seluruh anggota badan harus
tunduk, patuh, dan sujud kepada Allah SWT
b.
Tunduk dan patuh itu atas perintah
hati yang sudah sadar akan keagungan Allah.
Jadi bukan tunduk dan patuh seperti orang pencuri dihadapan polisi
c.
Hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
dan Maha Agung seperti itulah yang boleh disembah, bukan kepada Tuhan buatan
manusia atau menurut khayalannya,
apalagi kepada manusia.20
Shalat dengan Khusyu’
Khusyu’ merupakan perkara besar dalam shalat.
Mewujudkan khusyu’ dalam shalat adalah wajib, karena khusyu’ itu syarat syahnya
shalat, bukan suatu yang disunatkan saja.21
Fenomena khusyu’ nampak dalam ucapan dan gerakan
shalat dalam ruku’ yakni dengan kerendakan punggung dan rukun yang sempurna
adalah menundukkan dan merendahkan hati kepada Allah SWT, sehingga dengan
begitu sempurna akan ketundukan seorang hamba.
Sujud juga fenomena
khusyu’ yang paling terlihat, didalamnya terdapat sikap rendah hati, dan hina
seorang hamba kepada Tuhan-Nya. meletakkan segala atribut kemuliaan dan
keagungan manusia di atas tanah. Dengan kehormatan, kerendahan dan kekhusyu’an
hatinya kepada Allah dengan ucapan ketika ruku’ dan sujud untuk mensifati
Tuhannya dengan sifat keagungan-Nya seraya berseru :
سبحان ربي العظيم : Maha suci Tuhanku Yang Maha Agung
سبحان ربي الأعلى : Maha suci Tuhanku
yang Maha luhur
Oleh karena itu, sekiranya shalat telah dilakukan
dengan penuh kerendahan hati dan kekhusyu’an dan memenuhi syarat rukunnya.
Selanjutnya kita serahkan kepada Allah dengan penuh harapan, semoga diterima
sebagai aktifitas ibadah yang sempurna. Karena sesungguhnya orang-orang yang
bershalat itu ialah orang-orang yang bermunajat dengan Tuhannya, maka apabila
kita bicara dengan Tuhan, sedang hati, ingatan kita menerawang kemana-mana,
tiadalah sekali-kali dinamai bermunajat.22
Orang yang telah melaksanakan shalat secara khusyu’
semacam itu, akan tumbuh dalam hatinya empat nilai moral atau akhlak mulia
dalam dirinya yaitu :
1.
Sabar dan tabah menjalankan ibadah
menghadapi musibah
2.
Khusyu’ dalam menjalankan ibadah,
karena yakin berhadapan dengan Allah. Sewaktu shalat itu dan mengharapkan akan
berjumpa dengan Allah pada hari kiamat
3.
Sifat Qona’ah, yaitu rasa
puas terhadap apa yang ada dalam hal keduniaan, orang semacam itu akan selalu
bersyukur kepada Allah, dalam keadaan yang sulit sekalipun
4.
Zuhud, yang berati tidak
terpengaruh oleh kegunaan dalam keadaan miskin tidak menjadikan diri merasa
melarat dan merasa rendah diri dan dalam keadaan kaya tidak menjadikannya
angkuh dan sombong kepada orang atau lupa kewajibannya terhadap Allah dan
sesama manusia.23
5.
Berdirinya manusia di hadapan
Allah dengan khusyu’ dan tunduk akan membekalinya dengan suatu tenaga rohani
yang menimbulkan dalam dirinya perasaan
yang tenang, jiwa yang damai dan kalbu yang tentram dalam shalat manusia
mengarahkan seluruh jiwa dan raganya kepada Allah. Berpaling dari kesibukan dan
problem dunia dan tidak memikirkan sesuatu kecuali Allah Swt. Keterpalingan itu
akan menimbulkan pada diri manusia itu, keadaan yang tenang dan pikiran yang
terbebas dari beban hidup.
E. Shalat dalam
Tinjauan Psikologi Agama
Banyak sekali kebutuhan yang dimiliki oleh setiap manusia, baik kebutuhan
fisik, psikis maupun yang bersifat sosial. Kegagalan dalam mengatasi problem
tersebut akan menimbulkan frustasi. Upaya untuk menyelesaikan dan mengatasi itu
dilakukan oleh manusia dengan berbagai cara, salah satunya dengan sikap
keagamaan.
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang
yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya
terhadap agama, sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara
kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif. perasaan terhadap agama
sebagai unsur efektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif.24
Sikap keagamaan seseorang juga dipengaruhi dalam diri manusia. Untuk
tempat meminta pertolongan setiap kali tertimpa musibah. Diantara berbagai
faktor yang membantu membangkitkan dorongan beragama dalam diri manusia adalah
berbagai bahaya yang dalam sebagian keadaan yang mengancam kehidupannya,
menutup pintu keselamatan tiada jalan berlindung kecuali kepada Allah SWT. Maka
dengan dorongan alamiah yang dimiliki itu iapun kembali kepada Allah guna
meminta pertolongan dan keselamatan kepada-Nya dari berbagai bahaya yang
mengancamnya.25
Seperti telah dikemukakan dalam bab I, bahwa psikologi agama atau ilmu
jiwa agama adalah meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku
seseorang atau mekanisme yang bekerja
dalam diri seseorang, karena cara berfikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah
laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya karena keyakinan tersebut masuk
dalam konstruksi kepribadiaannya.26 Kajian
psikologi yang dimaksud adalah mengenai proses kejiwaan seseorang terhadap agama serta pengaruhnya
dalam kehidupannya pada umumnya.27
Melalui pengertian diatas dapat diamati bagaimana fungsi dan peranan
keyakinan terhadap sesuatu sebagai agama kepada sikap dan tingkah laku lahir
dan batin seseorang. Dengan kata lain
bagaimana pengaruh keberagaman terhadap proses dan kehidupan dan kejiwaan
hingga terlihat dalam sikap dan tingkah laku lahir dan tingkah laku batin
(berfikir, meraba atau emosi) salah satu pengaruh keberagamaan yang di maksud
adalah shalat.
Hubungan dengan shalat dalam tinjauan psikologi agama dapat dilihat
bagaimana shalat dapat ,menambah dan menimbulkan rasa keyakinannya kepada Tuhan. Keyakinan tersebut juga mampu mempengaruhi
berbagai perasaan seperti tentram, damai, tenang, tawakal dan seterusnya.
Hal ini tidak terlepas dari hakikat shalat itu sendiri yang
mengisyaratkan bahwa didalamnya terkandung adanya hubungan antara manusia dan
Tuhannya. Shalat dalam tinjauan psikologi agama adalah sebagai aktifitas agama
yang mengandung didalamnya unsur-unsur tasawuf yaitu shalat yang dikerjakan
dengan pemahaman, penghayatan dan pengetahuan tentang nilai-nilai yang
terkandung didalamnya, yang memberikan manfaat serta mewarnai kehidupan manusia
sehingga membawa dampak positif dalam pribadi dan makhluk di sekitanya. Shalat
yang dilakukan dengan sempurna baik lahir maupun batin dengan menghadirkkan
hati kepada bermunajat serta khusyu’ atau tidak berpaling ke selain Dia. Akan
hilang dalam dirinya rasa dengki, rakus, tamak, dan semua sifat tercela lainnya
yang akan menimpa dalam dirinya
Oleh karena itu, dalam kajian psikologi agama shalat akan menimbulkan
pada manusia hikmah-hikmah dan tujuan-tujuan yang terkandung didalamnya, yang akan
memantulkan pada diri manusia keadaan yang tentram, jiwa yang tenang dan
pikiran yang bebas dari beban.
1T.M Hasbi, Ash- shiddieqy, Pedoman
Shalat, (Jakarta: Bulan Bintang. 1951), hlm. 67.
2 Ibid, hlm, 4.
3 Bachtiar Surin, Depag RI,
Op.Cit, hlm. 193.
4 T.M. Hasbi Ash-Shiddiqiey, Op. Cit,
hlm. 66.
5 Lahmudin Nasution, Op. Cit, hlm.
57.
6 T.M Hasbi Ash-shiddiqiey, Op. Cit,
hlm. 68.
7 Bachtiar Surin, Depag RI, Op.
Cit, hlm. 1360.
8
Ibnul Qoyyim Al-Jauyiah, Lezatnya Shalat, Alih Bahasa : Kathur
Suhardi, (Jakarta : Darul
Falah, 2002), hlm. 13.
9 Musthafa mansur, Berjumpa Allah Swt
lewat Shalat, Alih Bahasa: Abu Fahmi
(Jakarta: Gema Insani Pers, 2001), hlm. 18.
10 Casmini, “Keistimewaan Shalat
ditinjau dari Aspek Psikologi dan Agama”, dalam Hisbah,
Vol.1/no.I/Januari-Desember 2002, hlm. 89.
11 Ibid., hlm. 90.
12 Sentot Harianto, Psikologi Shalat, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2003), hlm. 62.
13 A. Saboe, Hikmah Kesehatan dalam
Shalat, (Bandung: Al-Ma’arif, 1978), hlm. 10.
14 Imam Musbiqin, Rahasia Shalat bagi
Penyembuhan Fisik dan Psikis, (Yogyakarta:
Mitra pustaka, 2004), hlm. 133.
15 Amir An-Najar, Mengobati Gangguan
Jiwa: Terapi Spiritual Menghadapi Stress, (Bandung: Hikmah, 2004), hlm. 82.
16 Al-Ghazaali, Rahasia-rahasia
Shalat, Terj. Muh Al-Baqir, (Bandung: Kharisma, 1994), hlm. 56.
17 Al-Ghazali, Risalah-risalah Al-Ghazali.Terj. Irwan
Kurniawan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 22.
18 Zakiah Daradjat, Jilid I, Ilmu
Fiqih, ( Jakarta : Dana Wakaf, 1993), hlm. 72.
19 Muchsin Qira’ati, Pancaran Cahaya
Shalat, Cet ke-2,( Bandung : Pustaka
Hidayah, 19970, hlm. 36.
20 Abu Bakar Muhammad, Pembinaan
Manusia dalam Islam, ( Surabaya : Al- Ikhlas, 1994), hlm. 402.
21 Taman Hasbi Asy-Shiddiqiey, Op. Cit,
hlm. 81.
22 Ibid, hlm. 83.
23 Abu bakar Muhammad, Op. Cit,
hlm. 413-414
24 Jalaluddin, Psikoligi Agama, (
Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 211
25 Usman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu
Jiwa,( Bandung : Pustaka, 1985 ), hlm. 41.
26 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama,
( Jakarta : Bulan Bintang, Cet I,) 1976, hlm. 2.
27 Ibid, hlm. 3.
0 Response to "Shalat dalam Perspektif Psikologi Agama"
Post a Comment