Mengenal Biografi Rabi'ah al Adawiyah
Biografi Rabi'ah al Adawiyah
BIOGRAFI RABI’AH AL-ADAWIYAH
A.
Riwayat Hidup Rabi’ah Al-Adawiyah
- Masa Kecil Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi’ah Al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummi
al-Khair bin Isma’il al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir di Basrah diperkirakan
pada tahun 95H (717M). Menurut Ibn Khalikan, keluarga Rabi'ah dari suku Atiq
dan ayahnya bernama Isma’il.[1]
Pada malam kelahiran Rabi’ah Al-Adawiyah tidak ada
suatu barang berharga yang didapat dalam rumah Isma’il. Bahkan tidak ada
setetes minyak untuk mengoles pusar putrinya, apalagi minyak untuk lampu
penerang rumah tersebut, juga tidak terdapat sehelai kain pun yang dapat
digunakan untuk menyelimuti bayi yang baru lahir. Istrinya minta agar Isma’il
pergi ke tetangga untuk minta sedikit minyak guna menyalakan lampu. Akan tetapi
ayah Rabi’ah Al-Adawiyah telah bersumpah bahwa ia tidak akan minta sesuatu pun
dari manusia lain, lalu kemudian kembali ke rumah dan melaporkan bahwa tetangganya sedang tidur sehingga tidak
membukakan pintu.[2] Tetapi
ada riwayat lain yang menceritakan tentang keberangkatan ayah Rabi’ah
Al-Adawiyah. Dengan perasaan berat, ia mengetuk pintu tetangganya. Tapi, tidak
seorang pun di antara tetangganya yang sedang tidur lelap, bersedia membukakan
pintunya. Betapa sedihnya bapak yang malang itu, padahal ia hanya ingin meminjam
lampu minyak untuk sekedar menerangi gubuknya atau minta sedikit minyak untuk
mengisi lampu tempelnya yang telah kehabisan minyak, dan meminta sepotong kain
untuk membungkus bayi yang akan lahir. Maka dengan perasaan sedih, ia kembali
menemui istrinya yang masih merintih kesakitan.[3]
Namun Isma’il memang seorang muslim yang sabar dan takwa. Tidak
diperlihatkannya pada istrinya sedikit pun perasaan hatinya yang sedang
berkecamuk.[4]
Hampir setiap tahun, keluarga Ismail dikaruniai
seorang bayi perempuan, dan sampai saat itu, ia telah diberi Allah tiga orang
puteri dan setiap melahirkan seorang puteri, sang ibu selalu menyambutnya
dengan air mata, karena ia merasa kehadiran puterinya merupakan suatu beban
yang tidak terpikulkan lagi karena kemiskinan keluarga itu.[5]
Dengan keadaan seperti itu, ayah Rabi’ah Al-Adawiyah
hanya bisa pasrah, sabar, tawakal terhadap ujian yang telah menimpa
keluarganya. Untuk mengisi hari-harinya, ayah Rabi’ah Al-Adawiyah selalu
beribadah kepada Allah dan tidak lupa selalu berdo’a dan berzikir untuk selalu
diberikan kemudahan dalam mengarungi bahtera kehidupannya.
Malam itu
Isma’il tidur setelah tadarus. Saat itulah ia bermimpi bertemu Rasulullah
dengan wajah berseri dan bercahaya bagaikan rembulan yang bercahaya sempurna.
Rasulullah menyampaikan beberapa penggal kalimat kepada Isma’il dan menjelaskan
kedudukan Rabi’ah Al-Adawiyah di sisi Allah. Setelah terjaga, Isma’il merasa
sangat bahagia. Kesedihan dan penderitaan yang selama ini dirasakannya hilang
seketika. Selanjutnya dalam mimpi itu juga Rasulullah memerintahkan kepada
Isma’il agar pergi menemui Isa Bazan, Gubernur Basrah itu. Ia tulis surat yang
isinya:
“Anda melakukan shalat empat ratus raka’at setiap malam Jum’at. Tetapi
pada malam Jum’at yang terakhir ini anda lupa melakukannya. Karena itu, anda
harus memberikan uang sebesar empat ratus dinar kepada pembawa surat ini
sebagai kafarat kekhilafanmu”.[6]
Ketika bangun dari fajar menyingsing, ayah Rabi’ah
Al-Adawiyah menuliskan dan menceritakan mimpinya dalam surat itu, kemudian pergi
ke istana Isa Bazan. Setelah membaca suratnya, maka Isa Bazan membawa uang
empat ratus dinar dengan membawa dan memberikannya kepada ayah Rabi’ah
Al-Adawiyah.
Kini persepsi kedua orang tua Rabi’ah Al-Adawiyah
berubah total. Kalau dulu kehadiran Rabi’ah Al-Adawiyah begitu mengecewakan dan
merupakan pukulan nasib terpuruk dalam keluarga, kini telah berganti menjadi
kegembiraan. Ada
yang khas pada diri Rabi’ah Al-Adawiyah suatu hari nanti, ia akan menjadi
perempuan yang wara’ dan bertakwa, melebihi perempuan-perempuan lain.
Akan menjadi pemuka orang-orang zuhud dan ahli ibadah.[7]
Rabi’ah Al-Adawiyah berkembang dan tumbuh dalam
lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan orang saleh dan penuh zuhud.
Sejak kecil sudah tampak kecerdasan Rabi’ah Al-Adawiyah, sesuatu yang biasanya
tidak terlihat pada gadis kecil seusianya. Karena itu pula sejak kecil ia sudah
menyadari penderitaan yang dihadapi orang tuanya. Kendati demikian, hal itu
tidak mengurangi ketakwaan dan pengabdian keluarga Rabi’ah Al-Adawiyah terhadap
Allah. Sejak kecil, Rabi’ah Al-Adawiyah telah dapat merasakan keadaan orang
tuanya, seperti seoarang yang telah dewasa merasakannya. Ia menjadi pendiam,
tidak menuntut terlalu banyak dari orang tuanya seperti kebanyakan gadis kecil
yang sedang menginjak dewasa. Jika sedang menghadapi hidangan makanan, ia tidak
memperlihatkan kerakusanya, tetapi hanya mengambil sekedarnya saja. Selesai
makan, ia tidak lupa mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, seperti yang
dilakukan kedua orang tuanya. Selain itu, Rabi’ah Al-Adawiyah mengambil teladan
dari kedua orang tuanya dan dari saudara-saudaranya yang lain mengenai ajaran
agama Islam dan sifat-sifat keutamaan.[8]
Diantara sifat-sifat terpuji yang melekat pada diri
Rabi’ah Al-Adawiyah adalah kebijaksanaan dalam segala tingkah laku, selalu
berpenampilan simpatik, sopan dan ingatannya sangat kuat. Al-Qur’an dihafalkan
sejak usia sepuluh tahun. Ia peka terhadap apa yang seharusnya dilakukan dalam
mengarungi hidup ini. Sebab dalam jiwanya telah terukir panduan yang mengantarkan
dirinya menjadi anak yang berakhlak karimah. Nilai-nilai al-Qur’an yang memang
sejak dini tertanam dalam hatinya senantiasa mngajaknya untuk bisa membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang pantas dilakukan dan mana yang
harus ditinggalkan. Allah telah mengkaruniakan ilmu pengetahuan yang dalam,
sedalam samudera yang paling dalam kepada Rabi’ah Al-Adawiyah. Terkadang Dia
memberikan hidayah-Nya kepada Rabi’ah Al-Adawiyah lewat ilham. Oleh karena itu,
bukan sesuatu yang istmewa bila akhirnya ia menjadi guru para ulama’, fuqaha,
dan menjadi pembimbing mereka yang tersesat, menjadi lentera yang menerangi
setiap sudut pengamalan ajaran Islam yang harus dijalankan dengan konsekuen.[9]
Dari kisah di atas, dapat digambarkan bahwa kehidupan
Rabi’ah Al-Adawiyah sejak lahir telah terhindar dari barang-barang yang
syubhat. Apalagi barang-barang yang diperoleh dari maksiat, seperti hasil dari
mencuri, merampok, dan lain sebagainya. Juga dapat digambarkan pula tentang
sifat yang mencintai akan keilmuan, perilaku yang zuhud, cerdas serta
berakhlakul karimah.
Perilaku akhlakul karimah yang dimiliki oleh Rabi’ah
Al-Adawiyah itu merupakan wujud keberhasilan ayahnya dalam mendidik Rabi’ah
Al-Adawiyah. Rabi’ah Al-Adawiyah dididik dalam lingkungan keluarga sendiri.
Dalam beberapa literatur yang ada, Rabi’ah Al-Adawiyah tidak pernah sekolah
secara formal, namun, Rabi’ah Al-Adawiyah dididik secara langsung oleh orang
tuanya. Ayah Rabi’ah Al-Adawiyah menghendaki agar anaknya terpelihara dari
pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang bisa menjadi penghalang bagi
pertumbuhan jiwanya dan bisa menyekat kesempurnaan batiniyahnya.
- Masa Remaja Rabi’ah Al-Adawiyah
Masa remaja merupakan masa yang penting dalam
kehidupan seseorang, karena masa ini merupakan periode peralihan. Masa remaja
juga merupakan masa bermasalah, masa mencari identitas yang sekaligus sebagai
masa yang tidak realistik yang sekaligus sebagai ambang masa depan.[10]
Begitu juga dengan masa remaja Rabi’ah Al-Adawiyah sebagai masa peralihan dari
kehidupan masa kecil ke kehidupan masa dewasa yang penuh dengan kezuhudan,
keikhlasan, ketakwaan dan lain sebagainya.
Dalam sub bab ini, penyusun akan mencoba menggambarkan
sejarah kehidupan pada masa remaja Rabi’ah Al-Adawiyah yang meliputi Rabi’ah
menjadi seorang budak sampai menjadi seorang yang merdeka.
Cobaan yang pertama kali dihadapi oleh Rabi’ah
Al-Adawiyah adalah meninggalnya Isma’il, ayah tercinta yang menjadi tulang
punggung kehidupan keluarga. Selang beberapa waktu ibunya menyusul juga pergi
ke alam baka. Sedangkan ia bersama kakak-kakaknya masih dalam usia yang relatif
kecil.[11]
Betapapun berat cobaan yang dihadapi, namun Rabi’ah Al-Adawiyah tetap tidak
kehilangan pedoman. Kepergian orang tuanya diterima dengan sabar dan penuh
tawakal. Rabi’ah Al-Adawiyah meyakini bahwa itu semua merupakan kehendak Allah
yang setiap manusia tidak bisa merubahnya.
Kehidupan Rabi’ah Al-Adawiyah dan saudara-saudaranya
semakin sulit, lebih-lebih ketika Basrah yang menjadi kota segala bangsa dan
aliran, telah menjadi ajang pertentangan antara satu dengan aliran yang lain.
Di kota ini terdapat pengikut Khawarij dan pengikut Syi’ah. Jika terjadi
pemberontakan atau kerusakan-kerusakan antara penduduk kota Basrah, maka sudah
dapat dibayangkan, penguasa Bani Umayah tidak akan berpangku tangan membiarkan
berkobarnya pertentangan atau pertumpahan darah di antara pengikut
aliran-aliran itu.[12]
Tidak mudah bagi Rabi’ah Al-Adawiyah mengarungi lautan
hidup ini seorang diri. Orang tuanya tidak meninggalkan harta peninggalan yang
dapat dimanfaatkannya sampai ia cukup dewasa. Tidak ada sanak keluarga yang
membantunya. Ia tidak mempunyai saudara laki-laki yang dapat membelanya di kala
menghadapi kesulitan atau mara bahaya, saudaranya tiga orang semuanya
perempuan. Satu-satunya peninggalan orang tuanya yang agak berarti adalah
sebuah perahu kecil. Perahu itulah yang dulu dipergunakan ayahnya untuk mencari
nafkah. Pekerjaan ini diteruskan oleh Rabi’ah Al-Adawiyah dengan menyeberangkan
orang dari tepi sungai Dajlah yang satu ke tepi yang lain. Hampir seharian
penuh Rabi’ah Al-Adawiyah melakukan pekerjaan itu untuk dapat mempertahankan
kehidupannya dan ketiga sudaranya.[13]
Dengan berbagai
penderitaan yang ia terima, tidak sedikitpun mengurangi keimanan dan ketakwaan
kepada Allah SWT. Tetapi dengan penderitaan tersebut makin bertambah
kedekatannya kepada Allah dengan diwujudkan ia semakin banyak berzikir dan
shalat malam yang ia lakukan dengan khusyuk dan istiqamah.
a.
Rabi’ah Al-Adawiyah Menjadi
Budak
Derita Rabi’ah Al-Adawiyah, gadis yatim piyatu itu
semakin bertambah ketika kota Basrah dilanda musibah kekeringan dan kelaparan.
Banyak penduduk miskin mati kelaparan, termasuk ketika kakak Rabi’ah
Al-Adawiyah yang lemah, yang membuat Rabi’ah Al-Adawiyah menjadi gadis sebatang
kara. Musibah itu mengakibatkan merajalelanya berbagai bentuk kejahatan dan
perbudakan. Keberadaan Rabi’ah Al-Adawiyah diketahui oleh orang jahat. Ia
dijadikan budak dan dijual seharga enam dirham. Orang yang membeli Rabi’ah
Al-Adawiyah menyuruhnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat.[14]
Kemudian Rabi’ah Al-Adawiyah pergi ke rumah tuanya dan
mulai berpuasa terus menerus serta melakukan shalat sepanjang malam. Di siang
hari ia terus sibuk melakukan pekerjaan di rumah tuannya. Suatu malam tuan-Nya
bangun dan ketika mendengar suara rintihan tertegun melihat Rabi’ah Al-Adawiyah
bangun bersujud di tanah serta berdo’a. Ia mengaku, “Ya Allah, Engkau tahu
betul satu-satunya yang kudambakan ialah benar-benar tunduk kepada perintahmu,
cahaya matiku mengabdi kepada kerajaan-Mu.”[15]
Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mungil Rabi’ah
Al-Adawiyah ketika bermunajat kepada Allah sangatlah indah. Sambil menangis di
tengah kegelapan malam ia mengungkapkan kata yang mencerminkan kedalaman jiwa
dalam sebuah nilai.[16]
Tuhan aku seorang yatim
Yang terlempar, disiksa, dihina dan dihajar
Diriku dibelenggu perbudakan
Hak kebebasan milikku dirampas
Akan kutanggung segala kesakitan
Aku sabar menerima dan kutahankan
Tetapi, kalau datang penderitaan
Yang lebih menyakitkan dari yang kualami
Sisa kesabaran, teramat sedikit.
Tuhan, adakah kebimbanganku
Akan mengubah pandangan-Mu
Terhadapku?
Adakah Engkau masih menyukaiku?
Keridhaan-Mu
Adalah tujuan akhir dari kehidupanku.[17]
Pada pagi harinya, Rabi’ah Al-Adawiyah dipanggil oleh
majikannya dan berkata kepadanya, “ Wahai Rabi’ah Al-Adawiyah , aku telah
memutuskan untuk memerdekakan engkau dengan sepenuhnya. Seandainya engkau ingin
menetap di rumah ini kami semua akan gembira dan menerima engkau sebagai orang
yang bebas dan menerima fasilitas dari kami. Tetapi seandainya engkau
berkeinginan untuk meninggalkan rumah ini maka kami mendo’akan keselamatan
bagimu dan segala permintaanmu untuk itu akan kami kabulkan.[18]
Dengan perasaan gembira Rabi’ah memilih meninggalkan rumah majikan. Ia lebih
suka menyongsong masa depan ke mana saja takdir membawanya, ketimbang
menggantungkan kehidupannya kepada orang lain.
b.
Rabi’ah Menjadi Orang yang
Merdeka
Rabi’ah Al-Adawiyah sekarang telah mengecap kebebasan
yang telah lama didambakannya. Namun demikian, ia masih belum mengetahui dengan
pasti ke mana ia hendak mengayunkan langkahnya. Buku-buku manakib tidak
menyebutkan dengan pasti apa yang dilakukan Rabi’ah Al-Adawiyah sejak
meninggalkan rumah majikannya. Rabi’ah Al-Adawiyah berkelana di daerah padang
pasir, mengunjungi masjid-masjid dan menghadiri pusat-pusat pengajian. Tetapi
ada juga cerita lain yang disampaikan oleh Faridudin al-Atar: “setelah Rabi’ah
Al-Adawiyah memperoleh kemerdekaannya, Rabi’ah Al-Adawiyah mencari nafkah
dengan bermain musik, karena dia amat pandai memainkan seruling.” Namun,
Rabi’ah Al-Adawiyah hanya bermain suling untuk jangka waktu tertentu saja.
Setelah itu, ia mengasingkan diri dari khalayak ramai, untuk beribadah kepada
Allah.[19]
Sebelum Rabi’ah meninggalkan pekerjaan bermain musik,
rabi’ah menemui ulama dan meminta fatwa mereka, ia mendatangi ulama Basrah satu
persatu, dan ditanyakan hukumnya menyanyi dan bermain seruling. Ada kalanya halal, haram,
mubah atau makruh ? maka para ulama memberikan fatwanya masing-masing begitu
bervariasi fatwa mereka.[20]
Dari fatwa tersebut Rabi’ah bimbang apakah nyanyian
nanti bisa memberikan kesan kepada dirinya sendiri dan para pendengarnya agar
selalu mendengarkan agar selalu merindukan Allah dan ingin berdialog
dengan-Nya. Atau jangan-jangan ayat itu nyanyian itu hanya mengantarkan orang
lupa kepada rahmat Allah yang telah dikaruniakan kepada mereka.[21]
Akal dan pikiran Rabi’ah Al-Adawiyah telah terpaut
pada hari akhirat saja, untuk menghadapi Allah SWT. Oleh karena itu, suara
bilal atau muadzin dirasakan bagai suara malaikat yang memanggil manusia di
hari kiamat, sedangkan salju yang melayang-layang mencari manusia; dan belalang
bagaikan kerumunan manusia di hari berbangkit. Untuk itu Rabi’ah Al-Adawiyah
selalu bangun malam untuk beribadah kepada Tuhannya, menghadap untuk meminta
ampun dan bertaubat.[22]
Demikianlah, Rabi’ah Al-Adawiyah mengawali kehidupan
spiritualnya setelah ia mengadakan uzlah dan melakuakn tahajud, bangun
malam dan selalu ingat akan kematian. Dengan jalan itu ia sadar makna dunia
pada sisi Allah SWT.[23]
- Masa Dewasa Rabi’ah Al-Adawiyah
Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan sufi telah
mantap menjadi pilihannya. Rabi’ah Al-Adawiyah telah menepati janjinya pada
Allah untuk selalu beribadah pada-Nya sampai menemui ajalnya. Ia selalu
melakukan shalat tahajud sepanjang fajar tiba. Abzah, sahabat karib
Rabi’ah Al-Adawiyah, menceritakan bahwa setiap hari Rabi’ah Al-Adawiyah selalu
melakukan shalat dan beribadah. Bila fajar menyingsing ia tertidur sebentar, dengan
ibadahnya yang dilakukan dapat mengangkat derajatnya, baik di dunia maupun di
akhirat. Ibadah juga memberikan ketenangan dan ketenteraman jiwa. Dengan ibadah
pula wajahnya selalu kelihatan berseri-seri, karena orang yang selalu
mendekatkan diri kepada Allah dengan tahhajud, akan mendapatkan limpahan
cahaya Ilahi.[24]
Rabi’ah Al-Adawiyah sadar bahwa kemerdekaan ini
merupakan karunia Allah. Ia tidak akan memburu kepuasan hawa nafsu atau
kemewahan duniawi dengan kebebasan yang diperolehnya. Tujuannya hanya satu,
menghabiskan seluruh waktu dan kesempatan untuk beribadah kepada Allah. Ia
telah menyadari bahwa dalam sekian lama waktunya telah tersita untuk mengabdi
kepada sesama manusia. Dan hal itu perlu ditebus dengan lebih tekun lagi
bertasbih dan berzikir kepada-Nya. Ia mengkonsentrasikan seluruh potensi yang
ada padanya untuk mengabdi kepada Allah Ta’ala. Cinta yang dicurahkannya
merupakan sarana menggapai derajat tinggi di sisi-Nya. Dan derajat itu tidak
mudah dicapai. Hanya beberapa orang saja yang bisa, yakni pribadi-pribadi
pilihan Allah.[25]
Rabi’ah Al-Adawiyah telah dewasa dalam pertapaan dan
tidak pernah berpikir untuk berumah tangga. Bahkan akhirnya memilih hidup
zuhud, menyendiri, beribadah kepada Allah SWT. Ia tidak pernah menikah, karena
tak ingin perjalanannya menuju Tuhan mendapat rintangan. Ia pernah memanjatkan
do’a, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari semua perkara yang menyibukkanku
untuk menyembah-Mu, dan dari segala penghalang yang merenggangkan hubunganku
dengan-Mu.”[26]
Sebagai seorang gadis yang normal, Rabi’ah Al-Adawiyah
pasti memiliki sifat-sifat lazimnya gadis yang lain. Sebab itu sudah menjadi
fitrah manusia. Setidaknya, demikianlah penilaian yang dapat disimpulkan dari
pikiran yang wajar. Ia juga memiliki sifat-sifat yang mulia serta wajah cantik,
akhlak terpuji, qana’ah, zuhud dan wara’. Tetapi sifat
keperempuanannya membeku. Ia lebih memilih menjadi perempuan yang virgin abadi
ketimbang mengarungi hidup berpasangan dengan lelaki. Inilah yang perlu kita
jadikan bahan kajian.[27]
Mengapa Rabi’ah Al-Adawiyah memilih jalan hidup
seperti rahib (pendeta) yang tidak menikah? Mengapa ia tidak mau menerima
kehidupan yang diikat dengan pernikahan yang sah? Mengapa ia lebih senang hidup
sendiri tanpa didampingi seorang suami? Apa yang melatarbelakangi hingga ia
bersikap dan bertindak seperti itu?[28]
Di antara mereka ada yang mencoba membujuknya untuk
menikah adalah Abdul Wahid bin Zahid, yang termasyhur dalam kezuhudan dan
kesucian hidupnya, seorang ahli ilmu agama, seorang khatib, dan penganjur hidup
menyepi bagi siapa yang mencari jalan kepada Tuhan. Rabi’ah Al-Adawiyah menolak
lamarannya dan berkata, ”Hai orang yang sangat bernafsu sebagaimana dirimu,
apakah kau melihat tanda birahi dalam diriku?
Berkaitan dengan lamaran yang datang kepada Rabi’ah
Al-Adawiyah pernah pula Muhammad Sulaiman al-Hasyim, orang yang berkuasa dan
kaya serta direstui oleh para pembesar Basrah. Konon ia adalah amer Basrah
dengan penghasilan 10.000 dirham per bulan, sedang mas kawin yang ditawarkan
kepada Rabi’ah Al-Adawiyah sebesar 100.000 dirham, mengajukan lamaran pada
Rabi’ah Al-Adawiyah, namun lamaran ditolak. Cara menolak lamaran tersebut
dengan mengatakan, “Seandainya Engkau memberi seluruh warisan hartamu, tidak
mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah padamu.”[29]
Hasan al-Basri adalah seorang ulama yang masyhur
kezuhudannya. Ia juga menolak perkawinan untuk sepanjang hidupnya. Dalam
memandang dan menyikapi perkawinan, ia mempunyai kesamaan dengan Rabi’ah
Al-Adawiyah.[30] Suatu
ketika Hasan al-Basri berkeinginan mengajukan pertanyaan kepada Rabi’ah
Al-Adawiyah tentang prinsip yang ia pegangi berkaitan dengan penolakan terhadap
pernikahan. Di tengah majelis persidangan para ulama besar yang wara’, zuhud,
Hasan al-Basri mengajukan pertanyaan kepada Rabi’ah Al-Adawiyah, ”Wahai Rabi’ah
Al-Adawiyah, akankah engkau menikah?” jawab Rabi’ah Al-Adawiyah, “Nikah itu
sangat penting bagi orang yang mempunyai pilihan. Sedangkan saya tidak
mempunyai pilihan lagi. Saya sudah bernadzar dan mengambil keputusan untuk
melipat semua waktu saya dalam beribadah kepada Allah. Saya memutuskan untuk
hidup di bawah perintah-perintah-Nya.”[31]
Pada suatu waktu ada orang datang kepada Rabi’ah
Al-Adawiyah, dan menanyakan, “wahai Rabi'ah, mengapa kamu tidak menikah ? jawab
Rabi’ah, “ada tiga hal yang menyebabkan saya berduka cita. Sekiranya ada
seseorang yang dapat menyelamatkan saya dari duka cita tersebut maka saya akan
menikah;
1.
Ketika saya menghadapi maut adakah
saya sanggup menghadapi Allah dengan membawa iman yang sempurna.?
2.
Apakah buku catatan amalku
diterimakan dengan tangan kanan pada hari kiamat nanti?
3.
Apabila hari kebangkitan tiba,
orang-orang yang beramal saleh diantar ke surga, dan orang-orang yang celaka
diantar ke neraka, termasuk dalam rombongan manakah diriku ini ?
Ketiga persoalan yang dilontarkan Rabi’ah Al-Adawiyah
itu termasuk dalam permasalahan ghaib yang tidak dapat diketahui kecuali oleh
Allah SWT.[32]
“Kalau saya berduka cita memikirkan tiga hal tersebut,
maka apakah mungkin saya memerlukan seorang suami. Padahal kenyataannya, apabila
saya bersuami sebagian waktuku akan disita olehnya ?. jawab Rabi’ah
Al-Adawiyah.[33]
Rabi’ah Al-Adawiyah tidak pernah menikah bukan karena
semata-mata karena zuhud terhadap perkawinan itu sendiri, tapi karena memang
karena ia zuhud terhadap kehidupan itu sendiri. Namun Rabi’ah Al-Adawiyah
menempuh hidup seperti itu bukan tanpa sebab. Di dalam buku Tazkiratul Auliya diriwayatkan bahwa
Rabi’ah Al-Adawiyah telah berpuasa selama tujuh hari tujuh malam secara
berturut-turut tanpa memakan sesuatu atau tidur. Ia hanya melakukan ibadah.
Pada hari yang ke delapan keinginan dirinya yang mengajak kepada hal yang tidak
baik berkata lirih, “Hai Rabi'ah! Sampai kapan engkau menyiksaku seperti ini
tanpa henti-hentinya ? ketika dialog ini berlangsung tiba-tiba terdengar orang
mengetuk pintu. Rabi'ah datang membuka pintu. Di depan pintu datang seorang
laki-laki membawa makanan. Rabi'ah menerima makanan lalu meletakannya dalam
rumah. Ketika ia meninggalkan makanan untuk mengambil lampu, datang seekor
kucing menerkam dan menumpahkannya. Ketika Rabi'ah kembali dan melihat apa yang
terjadi, ia berkata dalam hatinya, “biarlah aku ambil air ini untuk berbuka”,
ketika ia melangkah untuk mengambil air, lampu di gubuknya tiba-tiba padam. Ia
hendak minum air kendi dalam kegelapan, namun
ketika mengangkat kendi tempat air tersebut lepas dan pecah berantakan. Rabi'ah
meratap dan mengeluh sedemikian rupa seolah seluruh rumahnya telah terlalap
api, Rabi'ah menangis, “Oh Tuhanku apa yang Engkau kehendaki dari orang yang
tidak berdaya ini?”. “berhati-hatilah Rabi’ah”, sebuah suara terdengar di
telinga Rabi'ah, “hai Rabi'ah, bila memang engkau menghendakinya, Aku berikan
seluruh dunia ini kepadamu, tapi untuk itu engkau harus menghapuskan cinta dari
hatimu kepada Tuhan”. Rabi'ah berkata “ketika aku mendengar suara ini, maka aku
memalingkan diriku dari segala kaitan dan perkaitan dari dunia yang fana ini.
Demikianlah aku menjalani sisa kehidupan selama tiga puluh tahun”. Setiap
Rabi'ah sholat ia selalu berdoa “Oh Tuhanku, biarkan aku tenggelam dalam cinta
pada-Mu.[34]
Dari beberapa argumen di atas dapat
memperkuat bahwa Rabi'ah merupakan sosok wanita yang tidak tergoda dengan
pangkat, derajat, dan harta, dan sesuatu yang berkemilau di dunia ini.
Kesemuanya itu tidak akan pernah memalingkan rasa cintanya kepada Allah SWT.
Dengan bukti bahwa setiap detak jantung dan hembusan nafas Rabi’ah Al-Adawiyah
selalu ada kalimat-kalimat zikir kepada Allah SWT. Kehidupan seperti itulah
yang memantapkan Rabi’ah Al-Adawiyah terjun dalam kehidupan sufi.
- Masa Akhir Hayat Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi’ah Al-Adawiyah mencapai usia tujuh puluh tahun.
Bukan hanya semata-mata tahun yang panjang, tetapi waktu yang penuh dengan
berkah hidup yang menyebar di sekitarnya atau seperti yang dikatakan Masignon,
suatu kehidupan yang menyebarkan wangi yang semerbak ke daerah sekitarnya dan
cinta yang tak pernah padam.[35]
Ketika sang maut menutup lembar kehidupan seseorang,
banyak hal yang terjadi. Demikian halnya dengan Rabi’ah Al-Adawiyah, banyak
kesan yang muncul setelah lembaran kehidupannya diangkat ke langit. Ia dipuji
dan disanjung oleh generasi sesudahnya. Meninggalnya orang-orang besar seperti
para wali dan orang-orang shaleh merupakan awal kehidupan mereka di alam yang
lain. Prestasi yang mereka raih demi hidup menjadi buah mulut yang tak selesai
diperbincangkan oleh generasi sesudahnya, menjadi bahan kajian yang menarik
bagi umat yang bakal lahir hingga hari akhir.[36]
Sang perawan sufi memang lebih mengutamakan hidup
zuhud dan sederhana. Ia tolak semua bentuk keduniaan, meskipun berulang kali
ditawarkan kepadanya bermacam-macam perhiasan dan harta kekayaan dunia. Ia
merasakan hidup di akhirat lebih mulia lagi lebih bahagia. Ia menganggap semua
yang terjadi di dunia tidak ada sangkut pautnya dengan dunianya. Karena Allah
telah memenuhi hatinya dengan cahaya iman. Sebab Rasulullah telah menegaskan,
”Bila cahaya iman telah memenuhi hati seseorang, maka dadanya akan menjadi
lapang.” Para sahabat pun bertanya, “Apakah
ada tanda untuk mengetahui yang demikian, ya Rasulullah ?” Jawab Rasulullah,
“Ya, ada tanda-tandanya adalah menjauhkan diri dari keduniaan, mendekatkan diri
pada kebangkitan. Bersedia menghadapi kematian sebelum kematian itu datang
menghampirinya.”[37]Tubuh
Rabi’ah
Al-Adawiyah menjadi lemah, tapi hatinya masih sadar dan terjaga.
Rabi’ah Al-Adawiyah percaya kalau tahapan-tahapan yang berbeda dalam
mendekatrkan diri kepada Tuhan terlalu bagus untuk dibedakan dengan mata
telanjang atau dilukiskan dengan ucapan-ucapan lisan. Hati sufi (orang yang
berpengetahuan) selalu terjaga untuk melihat jalan dan mencapai tahapan itu.
Rabi’ah
Al-Adawiyah hanya makan sedikit selama minggu-minggu terakhir kehidupannya.
meskipun dia sakit dia tetap menyisihkan waktu untuk berdoa dan puasa. Sering
kakinya ambruk dan beberapa kali ia jatuh karena kepenatan dan kelelahan.[38]
Rabi’ah Al-Adawiyah memang tidak ingin menyusahkan
orang lain. Beberapa orang saleh ingin mendampingi disaat-saat terakhirnya,
tetapi Rabi’ah Al-Adawiyah menolak didampingi pada saat-saat seperti itu.
“Bangunlah dan keluarlah!, lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat)
yang akan datang menjemputku”. Mereka bangkit lalu keluar. Ketika mereka
menutup pintu terdengar suara Rabi’ah Al-Adawiyah mengucapkan syahadat, lalu
dijawab oleh suara;[39]
يَااَيَّتُهَاالنَّفْسُ اْلمُطْمَئِنَّةُ.
اِرْجِعِى إِلَى رَبِّكَ رَاضَيَّةً مَرْضِيَّةً. فَادْخُلِىْ فِى عِبَادِى وَادْخُلِى
جَنَّتِى.
“Wahai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang dan mendapat keridhaan, maka masuklah
ke golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S. Al-Fajr
(89): 27-30.
Perpindahan Rabi’ah Al-Adawiyah ini merupakan
perpindahan dari alam yang sempit menuju ke alam yang lebih luas dan abadi.
Tugas dan tanggung jawabnya telah ia tunaikan dengan sebaik-baiknya. Rabi’ah
Al-Adawiyah hidup di dunia dengan jasadnya, sedangkan pikiran dan hatinya
berada di alam lain, akhirat. Karena itulah kepergiannya menuju alam yang abadi
ini merupakan kepergian menuju negeri yang sangat dicintai, dikenal, dan
menjadi cita-cita fundamentalnya.[40]
Terdapat silang pendapat di kalangan ahli sejarah
tentang wafatnya Rabi’ah baik itu mengenai tahun maupun tempat penguburannya.
Dari pendapat yang ada mayoritas meyakini tahun 185 H sebagai tahun wafatnya
Rabi’ah, sedangkan tempat penguburannya, mayoritas ahli sejarah mengatakan
bahwa kota kelahirannya sebagai tempat penguburannya.[41]
Menurut seorang sejarawan yang unggul dan jujur
seperti Yaqut Al- Hamudi dan pengembara Ibnu Batuta, yakni bahwa Rabi’ah
Al-Adawiyah telah dimakamkan dikotanya sendiri. Karena Basrah adalah tempat
yang logis dan alami. Dari dua makam lainnya yang memuat namanya adalah pertama; di daerah pinggiran bagian
gereja suci Jerussalem yakni makam Rabi’ah Al-Adawiyah. Kedua; di bagian pinggiran kota
Qoy Mariyadi Damaskus yang dikenal sebagai makam para wanita seperti Siti
Rabi'ah atau Putri Rabi'ah. Dan masih
banyak yang lainnya.[42]
B.
Rabi'ah
Sebagai Guru Sufi
Rabi’ah
Al-Adawiyah telah membebaskan dirinya dari penghambaan dunia dan ia telah
mengangkat martabatnya dengan ketaqwaan, tulus, dan ikhlas ke tingkat ma’rifat
ytang amat tinggi. Sejak saat itu dari lidahnya keluar kata-kata mutiara,
hikmah kebijaksanaan yang dalam dan tuntunan menyejukkan hati. Oleh
karena ilmu yang dalam itu maka ia dijuluki seorang guru perempuan sufi.
Rabi’ah Al-Adawiyah sebagai perempuan yang hatinya diberikan anugerah hikmah
dan otaknya disinari ilmu pengetahuan. Hatinya mampu meresapi rahasia-rahasia
langit dan bumi. Kelebihan inilah yang mengantarkan dirinya memiliki khazanah
ilmu pengetahuan yang luar biasa. Para ulama, baik fiqih maupun ahli hadits
pada zamannya tidak satupun yang memiliki kemampuan dan keluasan cakrawala
berfikir seperti Rabi’ah Al-Adawiyah. Setiap kata yang terucap dari Rabi’ah
Al-Adawiyah selalu mencerminkan kedalaman ilmu yang dimiliki, terpancar dari
dalamnya sinar ilham dan petunjuk Allah, Rabi’ah Al-Adawiyah mampu menguasai
ilmu fiqih, ilmu tafsir dan juga menghafal hadits. Dalam waktu yang singkat, ia
telah mendapatkan kedudukannya sejajar dengan para ulama seniornya.[43]
Pemikiran-pemikiran Rabi’ah Al-Adawiyah memang
cenderung unik dan kontroversial. Itu sebabnya tidak sedikit orang yang
menolaknya. Walau begitu ia tak pernah mengunci pintu gubuknya. Setiap saat
gubuk tua itu dikunjungi orang yang ingin berdialog dan mendalami wacana
keagamaan khususnya yang berkenaan dengan pengajaran hati, pikiran, dan
perjalanan ruhani, dan kecintaan yang luar biasa kepada Allah SWT, tidak
menjadikan Rabi’ah Al-Adawiyah menutup diri dari para tamu yang datang.[44]
Yang paling memikat perhatian hadirin adalah cara
Rabi’ah Al-Adawiyah menerobos kulit yang melingkari akal, hingga pada sasaran.
Kandungan hukum dan hikmah yang ia sampaikan benar-benar tertanam dalam
sanubari pendengarnya semua yang diucapkan Rabi’ah Al-Adawiyah tak lain adalah
pancaran ilham yang senantiasa mendampingi jiwa dan tutur katannya.[45]
Rabi’ah Al-Adawiyah mengajarkan pula bahwa wudlu
merupakan sarana penyucian badan dari hadast, tetapi membersihkan hati dengan
siraman air takwa jauh lebih penting. Wudlu merupakan pintu masuk ke dalam
shalat, sedangkan membersihkan hati merupakan pintu masuk ke dalam ibadah
batin. Ketenangan jiwa dan gairah beribadah kepada Allah dapat dicapai dengan
membasuh hati terlebih dahulu membersihkannya dari gangguan perkara yang selain
mensucikan Allah, itu hanya dapat dicapai dengan guyuran air ketakwaan.[46]
Abdul Mun’im Dandil menceritakan[47]:
pernah beberapa ulama’ besar datang menghadap Rabi’ah Al-Adawiyah untuk
membicarakan masalah keikhlasan. Menurut Hasan Al-Basri, “keikhlasan adalah
orang yang tidak sabar menghadapi cobaan Allah, maka ia belum bisa dikatakan
benar pengakuannya sebagai muslim. Menurut saudara kandung Al-Balki, ”keikhlasan
adalah orang yang belum bersyukur atas cobaan Allah, maka ia belum dianggap
benar dalam pengakuannya. Rabi’ah Al-Adawiyah
menjelaskan, “orang yang masih ingat dan merasakan cobaan yang sedang
menimpa dirinya belum dikatakan orang yang terbaik, yang terbaik adalah orang
yang lupa segala-galanya ketika menerima musibah dan hanya Allah yang
diingatnya. Yakni sebagaimana perempuan-perempuan mesir lupa bahwa tangannya
telah terluka ketika menyaksikan ketampanan wajah Yusuf.
Diantara ketiga ulama tersebut masih menunjukkan
perbedaan pendapat, mereka ada yang berpendapat, bahwa keikhlasan yang paling
tinggi derajatnya adalah tergambar ketika menghadapi musibah. Ada pula yang
berpendapat bahwa keikhlasan adalah bersyukur kepada Allah karena apapun yang
dia berikan semuanya baik. Menurut penulis kedua pendapat tersebut masih rendah
derajatnya bila dibandingkan dengan derajat bisa merasakan nikmatnya cobaan
yang sedang menimpa dirinya.
Majelis yang ia selengarakan adalah majelis yang
secara langsung menggerakkan hati ke arah ketaqwaan, dan mendidiknya agar
selalu ingat kepada Allah. Rabi’ah Al-Adawiyah terus mendorong mereka yang
hadir untuk meningkatkan kesabaran, mempersubur keimanan dan selalu berzikir,
yang hadir di majelis itu bukan orang sembarangan. Hasan Al-Basri, Sofyan
Ats-Tsauri, Malik Bin Dinar, Abdul Wahid bin Zaid dan masih banyak lagi, baik
dari kalangan ulama sufi maupun fiqih.[48]
Salah satu ulama yang semasa dengan Rabi’ah
Al-Adawiyah adalah Sufyan Tsauri (w. 161 H), Sufyan adalah ulama hadits yang sangat
alim pada saat itu, alim dikalangan kaum muslimin, ia dianggap ulama yang
paling ahli dalam beribadah, namun dalam kenyataannya ia masih juga datang ke
rumah Rabi’ah Al-Adawiyah untuk mendapatkan nasehat dan hikmah yang
diajarkannya, atau datang dari majelis ilmiah yang diadakan Rabi’ah
Al-Adawiyah.[49]
Dari pemaparan diatas
penulis dapat memberikan gambaran bahwa Rabi’ah Al-Adawiyah adalah seorang
pendidik yang luar biasa. Dari tangannya telah terbentuk pribadi-pribadi
ulama-ulama besar, fuqaha, dan ahli ilmu yang mencapai level tinggi serta
memiliki disiplin keilmuan yang luar biasa, juga dapat memberikan bukti bahwa
kehidupan Rabi’ah Al-Adawiyah tidak hanya beribadah yang bersifat vertikal saja
tetapi bersifat horisontal yaitu masih memperhatikan tentang kehidupan manusia
disekelilingnya terutama dalam hal pendidikan.
[3] Muh. Atiyah Khamis, Penyair Wanita Sufi Rabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2000), cet. 7, hlm. 11.
[6] Abdul Mun’im Qandil (ed)
Muhiddin M. Dahlan, Cinta Mistik Rabi’ah
al-Adawiyah, (Yogyakarta ; Mujadalah, 2003),
cet. 3, hlm. 28.
[9] Abdul Mun’in Qandil (ed)
Muhiddin M. Dahlan,Cintra Mistik Rabi’ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta :
Mujadalah, 2003), cet II, hlm. 33.
[11] Ibnu Mahalli Abdullah
Umar, Cinta Suci Perawan Sufi, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2002), hlm. 23. Tidak
diketahui secara pasti bahwa tahun berapa orang tua Rabi’ah meninggal, namun,
dapat diduga musibah ini terjadi ketika masuk pada masa remaja awal.
[12] Muh. Atiyah Khamis, Penyair Wanita Sufi Rabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2000), cet. II, hlm. 21.
[13] Ibid., hlm. 16. Ada literatur lain yang
menceritakan tentang keberadaan Rabi’ah ketika itu, yakni berjalan masuk ke
luar kampung dengan tujuan untuk mendapatkan pekerjaan. Lihat Abdul Mun’in
Kondil (ed) Muhidin M. Dahlan, Cinta Mistik Rabi’ah al-Adawiyah, (Yogyakarta
: Mujadalah, 2003), hlm. 41.
[14] Asfari MS dan Otto
Sukatno (ed) Ahmad Norma, Mahabbah Cinta
Rabi’ah al-Adawiyah (Yogyakarta: Bentang, 1997), cet. 1, hlm. 16.
[16] Ibnu Mahalli Abdullah Umar,
Cinta Suci Perawan Sufi, (Yogyakarta : Kreasi
Wacana, 2002), hlm. 41.
[19] Muh. Atiyah Khamis, Penyair
Wanita Sufi Rabi’ah Al-Adawiyah (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 26. Dalam literatur lain, ada yang mendukung
Rabi’ah mahir dalam bermain seruling di majelis-majelis zikir, namun tidak
dikatakan bahwa Rabi’ah pada waktu itu menari atau bermain cinta. Sebagai satu
data yang memperkuat argumentasi pendapat ini, pada waktu itu menyanyi di
majelis-majelis adalah suatu pekerjaan yang sudah lazim. Ruth Rodeo wanita yang
bekerja sebagai penyanyi adalah Salamah. Lihat Sururin, Rabi’ah Al-Adawiyah
Hubb Ilahi, (Jakarta :
Raja Grafindo, 2002), hlm. 36.
[20] Abdul Mun’im Qondil (ed) Muhidin M. Dahlan, Cinta Mistik Rabi’ah Al-Adawiyah, ,(Yogyakarta :
Mujadallah, 2003), hlm. 76.
[25] Abdul Mun’im Qandil (ed)
Muhiddin M. Dahlan, Cinta Mistik Rabi’ah
al-Adawiyah (Yogyakarta ; Mujadalah, 2003)
cet. III, hlm. 69.
[26] Asfari MS dan Otto
Sukatno, Mahabbah Cinta Rabi’ah
al-Adawiyah, (Yogyakarta: Bentang, 1997), cet. 1, hlm. 21.
[27] Abdul Mun’im Qandil (ed)
Muhiddin M. Dahlan, Cinta Mistik Rabi’ah
al-Adawiyah, ,(Yogyakarta ; Mujadalah,
2003) cet. III, hlm. 137. tentang keprawanannya Rabi’ah yang tidak pernah
menikah didukung oleh beberapa literatur seperti Muhammad Atiyah Khamis, Penyair
Wanita Sufi Rabi’ah Al-Adawiyah (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000), cet. VI, hlm. 36., Ibnu Mahalli Abdullah Umar, Cinta
Suci Perawan Sufi (Yogyakarta : Kreasi
Wacana, 2002), hlm. 138., Sururin, Rabi’ah Al-Adawiyah Hubb Ilahi (Jakarta : Raja Grafindo, 2000),
hlm.41.
[31] Abdul Mun’im Qandil (ed)
Muhiddin M. Dahlan, Cinta Mistik Rabi’ah
al-Adawiyah, (Yogyakarta ; Mujadalah, 2003),
cet. III, hlm. 138-139.
[32] Ibnu Mahalli Abdullah
Umar, Cinta Mistik Rabi’ah al-Adawiyah,
(Yogyakarta; Mujadalah, 2003), cet. III, hlm. 144.
[34] Muh. Atiyah Khamis, Penyair
Wanita Sufi Eabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000), cet IV, hlm. 43-44.
[36] Ibnu Mahalli Abdullah
Umar, Cinta Mistik Rabi’ah, (ed) Muhibbin M. Dahlan (Yogyakarta :
Adiputra, 2003), cet. II, hlm. 374.
[39] Muh. Atiyah Khamis, Penyair
Wanita Sufi Rabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000) cet IV, hlm. 91.
[41] Sururin, Rabi’ah Al- Adawiyah Hubb Ilahi, (Jakarta: Raja Grafindo,
2000), cet VI, hlm. 44. Tidak dapat diketahui secara pasti kapan meninggalnya
Rabi’ah, Rabi’ah meninggal tahun 185 H. Sesuai pendapat Ibn Khlaikan, Ibn Syakir Al-katubi, serta Imad ad-Din
Abu Al-Fida Islamil Ibn Katsir.
[44] Abdul Mun’in Qandil (ed) Muhiddin M. Dahlan, Cinta Mistik Rabi'ah al-Adawiyah, (Yogyakarta:
Mujadalah, 2003), cet 3 , hlm. 152.
0 Response to "Mengenal Biografi Rabi'ah al Adawiyah"
Post a Comment