Makalah Pandangan Harun Yahya Tentang Teori Evolusi Darwin
Pandangan Harun Yahya tentang Teori Evolusi | Pandangan Harun Yahya Tentang teori evolusi darwin | pendapat harun yahya tentang teori evolusi darwin pendapat harun yahya tentang teori evolusi charles darwin | pandangan harun yahya mengenai teori evolusi | pandangan harun yahya terhadap teori evolusi darwin| pandangan baru tentang evolusi harun yahya|
PANDANGAN HARUN YAHYA
TENTANG EVOLUSI MAKHLUK
HIDUP
A. Kreasionisme Perspektif
Harun Yahya: Fakta Penciptaan yang Meruntuhkan Evolusi Makhluk Hidup
Gagasan penciptaan terpisah (kreasionisme)
merupakan gagasan yang umum diyakini oleh sebagian besar manusia sejak
berabad-abad yang lalu. Munculnya teori evolusi atas prakarsa Darwin pada tahun
1859 adalah gagasan yang kontroversial karena bertolak belakang dengan
pandangan kreasionisme yang telah berumur ribuan tahun. Kontroversi antara
kresionisme dengan teori evolusi terus berlangsung sampai sekarang. Gagasan
kreasionisme Harun Yahya oleh sebagian masyarakat dianggap mewakili
kreasionisme Islam.
Harun Yahya
menganggap bahwa teori evolusi merupakan sebuah gagasan kuno, yang menjelaskan
tentang kehidupan sebagai hasil peristiwa tak disengaja dan tanpa tujuan
hanyalah sebuah mitos abad ke-19 (masa Darwin). Pada masa itu tingkat pemahaman
ilmu pengetahuan tentang alam dan kehidupannya masih terbelakang sehingga para
evolusionis beranggapan bahwa kehidupan sangatlah sederhana.[1]
Harun Yahya mengungkapkan bahwa teori evolusi
merupakan sumber atau landasan segala tindakan yang berhubungan dengan rasisme,
materialisme, komunisme, imperialisme dan sebagainya. Segala tindakan tersebut
menurutnya tidak lain adalah sebagai implikasi dari legalisasi teori evolusi
(Darwinisme).[2] Buku Darwin yang berjudul The
Origin of Spesies menurut Harun Yahya telah menjadi pembenaran ilmiah bagi
penindasan terhadap ras-ras tertentu. Istilah yang banyak dijadikan acuan oleh
Harun Yahya, antara lain istilah survival of the fittest, struggle
for the existence (perjuangan untuk bertahan hidup) dan natural
selection (seleksi alam).
Dalam The Origin of Species, Darwin tidak menggunakan
istilah natural selection dan struggle for existence dalam konteks
filsafat maupun sebagai landasan bagi kejahatan manusia. Kedua istilah tersebut
digunakan Darwin untuk menjelaskan mekanisme reproduksi, pola penyebaran
makhluk hidup, adanya persaingan yang universal, adanya faktor barrier
dalam lingkungannya, kompleksitas hubungan antar makhluk hidup serta perjuangan
yang keras dan upaya untuk mempertahankan keberadaan masing-masing individu dan
varietas yang sama maupun genus yang sama. Pertumbuhan makhluk hidup yang
semakin bertambah akan berakibat pada kecenderungan struggle for existence yang
tak terhindarkan. Adanya jumlah individu yang melebihi daya dukung lingkungan
akan memacu upaya struggle for existence dan perjuangan melawan
kondisi-kondisi fisik kehidupan.[3]
Harun Yahya mengartikan istilah natural selection
dan struggle for existence sebagai upaya pertahanan diri eliminasi
kelompok makhluk hidup lain yang dipandang sebagai pesaingnya. Harun Yahya
mencontohkan aplikasi konsep natural selection dan struggle for
existence pada beberapa tokoh besar dunia yang memiliki ambisi untuk
menguasai dan menaklukkan bangsa lain, seperti Adolf Hitler (1930-an) pemimpin
Nazi Jerman yang menyerang bangsa Arya, Benito Mussolini (pemimpin Italia awal
abad ke-20) yang menggerakkan fasisme hingga timbul ribuan korban jiwa, Karl
Marx dan Frederick Engels (tokoh komunisme), serta tokoh dunia dari negara Adi
kuasa bernama George W. Bush yang akhir-akhir ini telah menaklukkan negara
pemerintahan Saddam Husein di Irak. Menurut Harun Yahya tragedi peperangan dan
ideologi penjajahan adalah terinspirasi dari pondasi teori Darwinisme.[4]
Penjelasan di atas telah membuktikan bahwa teori
evolusi memiliki implikasi luas di luar kajian biologi evolusi. Filsafat
materialisme teori evolusi telah dipandang sebagai filsafat yang menyesatkan
sebagian besar umat manusia. Filsafat materialisme dari teori evolusi merupakan
wujud pengingkaran atas eksistensi Tuhan sebagai pencipta alam. Teori ini dianggap mengajarkan ateisme yang
dapat menimbulkan bencana besar bagi umat manusia.[5]
Setelah mengkaji tentang konsep asal-usul makhluk hidup menurut teori evolusi,
Harun Yahya berupaya meyakinkan kalangan ilmuwan maupun agamawan untuk lebih
yakin pada konsep penciptaan terpisah atau kreasionisme dengan menyatakan bahwa
seluruh kehidupan telah diciptakan oleh Allah dalam bentuknya masing-masing.
Dalam The Evolution Deceit (terj.),
Harun Yahya menyertakan penjelasan-penjelasan anti-evolusi dan
kelemahan-kelemahan teori evolusi. Bukti evolusi yang ditunjukkan oleh
evolusionis dari berbagai bidang, telah digunakan oleh Harun Yahya sebagai
bukti kebohongan evolusi makhluk. Harun Yahya juga mengutip hasil penelitian
para ahli paleontologi, biologi molekuler, genetika, embriologi dan beberapa
konsep fisika terutama Hukum II Thermodinamika, serta bidang-bidang lainnya
untuk membantah teori evolusi.
Harun Yahya berpendapat bahwa kreasionisme adalah
fakta yang benar dalam menjelaskan asal-usul dan keanekaragaman makhluk hidup.
Menurut Harun Yahya dan kreasionis pada umumnya, teori evolusi hanyalah sebuah
penipuan berkedok ilmiah yang tidak terbukti kebenarannya serta telah
terbantahkan oleh temuan sains modern. Teori evolusi juga merupakan mantera
yang memiliki pengaruh ideologi seseorang. Keyakinan pada teori evolusi dapat
memunculkan kepercayaan takhayul seseorang. Kepercayaan ini dapat berpengaruh
terhadap akal sehat, sehingga tidak lagi mampu melihat kebenaran. Harun Yahya
memperkuat alasan tersebut, antara lain dalam firman Allah sebagai berikut;
إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا
وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَيُؤْمِنُوْنَ.
خَتَمَ اللهُ عَلَى قُلُوْبِِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ قلى وَعَلَى
اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ (البقرة : 6-7)
"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu
beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan
beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan
mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. (Q. S. Al-Baqarah, 2:
6-7)".[6]
وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَضَلُّوْا
فِيْهِ يَعْرُجُوْنَ. لَقَالُوْا اِنَّمَا سُكِرَتْ اَبْصَارُوْنَا بَلْ نَحْنُ
قَوْمٌ مَّسْحُوْرُوْنَ (الحجر : 14-15)
"Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu
dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah
mereka berkata: Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami
adalah orang-orang yang kena sihir". (Q. S. Al-Hijr, 15: 14-15).[7]
وَاَوْحَيْنَااِلَى مُوْسَ اَنْ
اَلقِى عَصَاكَ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَايَأْفِكُوْنَ. فَوَقَعَ الْحَقُّ
وَبَطَلَ مَاكَانُوْا يَعْمَلُوْنَ.فَغُلِبُوْا هُنَالِكَ وَانْْقَلَبوُم
صغِرِينَ (الأعراف :117-119)
"Dan Kami wahyukan kepada Musa: "Lemparkan
tongkatmu!" Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka
sulapkan. Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka
kerjakan. Maka mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang
hina". (Q. S. Al-A'ra>f, 7:117-119).[8]
Menurut Harun Yahya, mereka yang berada di bawah
pengaruh teori-teori yang berkedok ilmiah, termasuk sihir, mereka akan terhina.
Filsuf ateis dan pendukung evolusi pun mengakui bahwa ia khawatir akan apa yang
terjadi, yaitu teori evolusi sebagai salah satu lelucon besar dalam buku-buku
sejarah di masa mendatang. [9]
Berdasarkan karya-karyanya, terutama The
Evolution Deceit (terj.), beberapa pokok kajian yang perlu untuk dijadikan
dasar analisis dalam penelitian ini meliputi mekanisme evolusi; seleksi alam
dan mutasi, transisi makhluk hidup, hubungan kekerabatan makhluk hidup, bukti
evolusi, serta fakta penciptaan berupa desain yang sempurna menurut perspektif
Harun Yahya.
1.
Seleksi Alam dan Mutasi; Mekanisme Evolusi yang Keliru
Dua mekanisme dasar
evolusi adalah seleksi alam dan mutasi gen untuk menjelaskan adanya spesiasi
dari moyang yang sama. Mekanisme tersebut dianggap keliru oleh Harun Yahya,
karena seleksi alam hanya akan mengakibatkan kerugian-kerugian dalam
mekanismenya yaitu mengeliminir individu-individu yang lemah.[10]
Mekanisme seleksi alam dan mutasi tersebut tidak mampu menghasilkan spesies
baru, informasi genetik baru, atau organ baru yang menguntungkan. Mutasi hanya
akan berdampak negatif yaitu mengakibatkan kerusakan-kerusakan
nukleotida-nukleotida yang membangun DNA atau mengubah posisi struktural dan
fungsionalnya. Peristiwa melanisme industri yang terjadi pada ngengat
adalah salah satu kekeliruan teori evolusi. Hal ini disebabkan karena ngengat
berwarna gelap sebenarnya telah ada dalam populasinya sebelum adanya Revolusi
Industri.[11]
Contoh lain mutasi yang
merugikan adalah peristiwa bocornya radiasi nuklir di Chernobil, yang terletak
130 km sebelah utara Kiev ,
Ukraina. Beberapa warga yang terkena radiasi mengalami kelainan janin dan
mengakibatkan kecacatan berupa tidak terbentuknya tangan kanan pada Sascha
Mikalchenko serta cacat mental dan bibir sumbing pada Marna Siekatkaja.[12]
Harun Yahya berpendapat bahwa mutasi yang bersifat menguntungkan adalah tidak
ada dan sama sekali tidak benar. Mutasi adalah kecelakaan yang pasti merugikan
dan telah terbukti membahayakan bagi makhluk hidup.[13]
Mutasi hanya akan merugikan makhluk hidup serta tidak memberikan keuntungan
berupa peningkatan kelestarian makhluk hidup. Selain itu, mutasi tidak menambah
kandungan informasi dalam materi genetis makhluk hidup.[14]
2.
Tidak Ditemukannya Bentuk Peralihan dalam Makhluk Hidup.
Harun Yahya menyatakan
bahwa Darwin tidak
dapat menunjukkan adanya bentuk peralihan pada makhluk hidup yang mengalami
evolusi (misal; tidak ditemukan satu makhluk pun yang sedang mengalami
perubahan dari spesies asal menuju bentuk spesies lain). Menurutnya, hal ini disebabkan karena jenis-jenis makhluk
hidup memang tidak bisa berubah dan tidak mungkin terjadi perubahan dari satu
bentuk makhluk hidup ke bentuk lainnya, misalnya dari ikan menjadi amphibi dan
reptil, reptil ke burung. Semua fosil yang ditemukan justru membuktikan bahwa
kehidupan muncul di bumi secara tiba-tiba dan dalam bentuk yang telah lengkap.[15]
Harun Yahya mengajukan
sejumlah fakta tentang kemustahilan adanya transisi dari makhluk hidup air ke
darat, sebagai berikut: 1) Adanya perbedaan yang mencolok dalam hal beban tubuh
yang harus disokong antara hewan air dan hewan darat. Dalam perpindahannya dari
air ke darat, hewan tersebut harus mengembangkan sistem otot dan kerangka baru
secara bersamaan serta memerlukan energi yang lebih banyak untuk dapat hidup di
darat. 2) Kesenjangan dalam hal daya tahan makhluk hidup dalam merespon
perubahan suhu yang ekstrim antara perairan dengan daratan. Tidak masuk akal
jika jenis ikan mampu beralih dan secara kebetulan memiliki sistem organ darat
melalui mutasi acak. 3) Keharusan memiliki spesifikasi dalam sistem
metabolismenya, sebagai contoh kulit tubuh makhluk hidup yang dirancang untuk
hewan perairan, sistem ginjal, sistem pernafasan maupun sistem metabolisme
lainnya harus tercipta secara tiba-tiba agar jenis tersebut mampu hidup di
darat.[16]
3.
Kekerabatan dan Keanekaragaman Makhluk Hidup sebagai Fakta
Penciptaan
Tiap jenis makhluk
hidup tidak berkerabat satu sama lain dan tidak diturunkan dari moyang yang
sama. Masing-masing merupakan hasil dari suatu tindakan penciptaan tersendiri.
Ini adalah salah satu gagasan pokok kreasionismenya. Variasi yang ditemukan
pada makhluk hidup merupakan hasil aneka kombinasi informasi genetik yang sudah
ada dan dalam prosesnya tidak terjadi penambahan karakteristik baru pada
informasi genetis tersebut. Sebagai contoh, pada spesies reptil dapat ditemukan
variasi dengan varietas reptil berkaki pendek dan berekor panjang. Tetapi
variasi tersebut tidak dapat mengubah spesies reptil menjadi burung dengan
menambahkan bagian sayap maupun mekanisme metabolismenya.[17]
Adanya kemiripan organ,
DNA, maupun perkembangan embriologis pada berbagai makhluk hidup adalah bukti kesempurnaan
dalam hal struktur dan fungsinya masing-masing. Konsep biologi evolusi tentang
organ vestigial (organ peninggalan), homologi, rekapitulasi embriologis
hanyalah suatu konsep yang keliru. Harun Yahya menyatakan bahwa bentuk lipatan
cekung pada ujung mata adalah struktur bagian mata yang berfungsi untuk
melumasi bola mata, jadi bukan sebagai organ peninggalan yang tak berfungsi.
Kemiripan pada struktur mata berbagai makhluk hidup (misal, mata gurita dan
manusia yang memiliki struktur dan fungsi mata yang sangat mirip) bukanlah
homologi. Perkembangan embriologi organ
makhluk hidup sangatlah berbeda. Harun Yahya juga berpandangan bahwa perbedaan
molekuler antar makhluk hidup yang tampaknya mirip dan berkerabat sangatlah
besar.[18]
4.
Bukti Paleontologi yang Menggugurkan Teori Evolusi.
Harun Yahya menyatakan
bahwa peninggalan fosil tidak memperlihatkan adanya bentuk transisi tetapi
menunjukkan penciptaan tiap kelompok makhluk hidup secara terpisah. Paleontologi
sebagai salah satu bukti langsung adanya evolusi makhluk hidup telah dianggap
sebagai bukti yang justru meruntuhkan teori evolusi. Penemuan-penemuan fosil
tidak menunjukkan adanya bentuk transisi dan ini berarti bahwa penemuan fosil
tersebut telah membuktikan bahwa kehidupan di bumi muncul sudah dalam bentuk
yang lengkap, sebagaimana munculnya beranekaragam spesies dalam ledakan
Kambrium.[19] Lapisan Kambrium dianggap
oleh Harun Yahya sebagai lapisan bumi yang tertua tempat fosil-fosil makhluk
hidup ditemukan. Fosil-fosil yang ditemukan dalam lapisan Kambrium antara lain
siput, trilobita, bunga karang, cacing tanah, ubur-ubur, landak laut dan
invertebrata kompleks lainnya.[20]
Munculnya spesies makhluk hidup secara tiba-tiba pada masa Kambrian merupakan fakta
penciptaan yang menunjukkan bahwa makhluk hidup tercipta sebagaimana bentuknya
masing-masing tanpa melalui proses
evolusi.
Salah satu contoh
temuan fosil yang telah dianggap punah oleh evolusionis adalah fosil Coelecanth
sebagai nenek moyang hewan darat. Pernyataan tersebut keliru karena ternyata
pada 22 Desember 1938 telah ditemukan seekor ikan dari famili tersebut di
samudera Hindia.[21] Menurut Harun Yahya teori
evolusi juga telah terbantahkan oleh penemuan fosil Archaeopteryx yang
tidak dapat menunjukkan adanya bentuk-bentuk peralihan. Fosil yang ditemukan
pada tahun 1992 menunjukkan ciri-ciri burung lengkap yaitu adanya tulang dada,
otot dada, otot terbang, dan struktur gigi yang berbeda dengan reptilia.[22]
5.
Fakta Paleoantropologi: Manusia tidak Semoyang dengan Kera
Dalam “Keruntuhan Teori
Evolusi” Harun Yahya menjelaskan bahwa manusia, kera, maupun mammalia lainnya
adalah makhluk berbeda yang diciptakan secara terpisah. Penemuan para
paleoantropolog dunia dikutip oleh Harun Yahya di dalam bukunya. Sebagai
contoh, ras manusia purba yang dikenal dengan nama Manusia Piltdown yang
ditemukan Charles Dawson di Inggris tahun 1912 merupakan manipulasi dua temuan
fosil yang berbeda. Manipulasi fosil tersebut berupa perpaduan dua tengkorak
manusia berumur 500 tahun dengan tulang rahang dari kera yang belum lama mati.
Hal tersebut diketahui pada tahun 1949 oleh Kenneth Oakley dengan menggunakan
metode “pengujian fluorin” untuk menentukan umur fosil. Hasilnya menjelaskan
bahwa tulang rahang yang selama itu dianggap sebagai tulang rahang manusia
Piltdown ternyata tulang kera.[23]
Berdasarkan hal tersebut itulah Harun Yahya berpendapat bahwa manusia bukanlah
produk evolusi. Fakta juga menjelaskan bahwa masing-masing temuan fosil
diketahui memiliki jenis yang berbeda, misalnya jenis Australopithecus, Homo
habilis, Homo erectus, dan Homo sapiens.
Harun Yahya berpendapat
bahwa Australopithecus (kera Afrika Selatan) maupun jenis-jenisnya yang
lain seperti Homo habilis hidup di belahan bumi yang berbeda dalam waktu
yang sama. Begitu juga Homo erectus dan Homo sapiens (manusia
modern), ternyata pernah hidup bersama di wilayah yang sama.[24]
Hal ini memperkuat argumen bahwa Australopitechus bukanlah nenek moyang
pertama manusia begitu pula bukan sebagai nenek moyang antar mereka.
Harun Yahya berupaya
menjelaskan bahwa jenis manusia dan jenis kera berbeda. Dalam bukunya
dijelaskan bahwa Australopitechus adalah spesies kera yang sesungguhnya
telah punah serta menyerupai kera masa kini. Ciri-cirinya antara lain bertubuh
pendek (maksimum 130 cm), mirip simpanse, lengan panjang, kaki pendek dan tidak
berbeda dengan kera zaman sekarang.[25]
Penemuan fosil-fosil
baru jenis Homo habilis oleh Time White tahun 1986 yang diberi
nama OH 62, telah menunjukkan bahwa Homo habilis bukanlah merupakan mata
rantai penghubung (transisi) antara manusia dengan kera. Homo habilis
merupakan kera dengan cirinya yang khas berupa kaki pendek dan lengan lebih
panjang, rahang berbentuk persegi, gigi seri besar, gigi geraham kecil. Ahli
anatomi Spoor, Wood dan Zonneveld meneliti tema yang sama dan mengemukakan bahwa Homo habilis OH
7 semakin memperkuat gagasan penciptaan terpisah antara manusia dengan kera,
sebagai berikut; fosil-fosil yang dikatakan sebagai Homo habilis
sebenarnya bukanlah kelompok Homo atau manusia tetapi golongan Australopitechus
(kera), Homo habilis dan Australopitechus adalah makhluk hidup
yang berjalan membungkuk, berkerangka kera, serta tidak punya hubungan apa pun
dengan manusia.[26]
Jenis Homo erectus
yang dianggap sebagai makhluk separuh kera atau manusia primitif sebenarnya
adalah ras manusia. Perbedaannya pada Homo erectus adalah ukuran
tengkoraknya lebih kecil dari ras manusia modern, berkisar 900-1100 cc,
tonjolan alis yang tebal dan tidak terdapat perbedaan dengan kerangka manusia
modern.[27]
Ras-ras manusia terbagi atas beberapa nama yang berbeda, seperti Homo
sapiens, Manusia Neandertal, dan Manusia Cro-Magnon.[28]
Perbedaan tajam antar
jenis kera (Australopitechus, Homo habilis), Homo sapiens,
maupun ras manusia lainnya membuktikan bahwa manusia bukan produk evolusi dan
tidak saling berkerabat. Jadi, manusia tetap manusia dan kera tetap kera.
Terlebih lagi dengan ciri anatominya pada cara berjalan (bipedalisme)nya adalah
bukti penting bagi Harun Yahya maupun kreasionis lainnya. Menurut Harun Yahya,
bukti bipedalisme ini merupakan salah satu kebuntuan teori evolusi dalam
menjelaskan evolusi manusia karena cara berjalan dengan dua kaki pada manusia
berbeda dengan cara jalan pada jenis kera.[29]
6.
Kerumitan dan Kesempurnaan Makhluk Hidup sebagai Bukti
Kreasionisme
Menurut Harun Yahya,
kerumitan yang ditemukan pada tubuh makhluk hidup merupakan hasil ciptaan Sang
Pencipta, bukan suatu proses kebetulan. Manusia harus mampu mengamati lebih
teliti bahwa dalam setiap makhluk hidup memiliki struktur yang rumit. Salah
satu contoh yang ditunjukkan oleh Harun Yahya adalah mata trilobita.
Trilobita adalah arthropoda yang menyerupai kepiting dan serangga, yang
hidup di dasar laut pada 600-250 juta tahun yang lalu. Mata trilobita
tersusun dari ribuan unit mata yang memiliki sistem lensa ganda yang rumit.[30]
Menurut ahli geologi,
David Raup, mata trilobita memiliki desain optimal yang hanya bisa
diciptakan oleh Perancang. Tidak akan ada seorang perancang pun yang mampu
menandingi rancangannya selain intelligent designer yaitu Allah.[31]
Harun Yahya menganggap bahwa mata trilobita sebagai bukti bahwa makhluk
tersebut merupakan hasil suatu tindakan penciptaan.
Kecanggihan sistem
organ tubuh makhluk hidup adalah hasil kesempurnaan kehendak dan kebijakan-Nya
yang mengindikasikan teknologi super canggih. Hal ini jelas-jelas bukanlah
teknologi yang dapat ditandingi oleh siapa pun. Struktur DNA yang sedemikian
rumitnya mampu menjadi sumber genetis yang dapat menghasilkan sistem organ yang
berbeda-beda dengan kode-kode genetik yang beranekaragam. Dari informasi
genetik tersebut dapat terancang sekian macam organ tubuh yang kompleks menurut
struktur dan fungsinya masing-masing.
Uraian di atas
merupakan argumentasi kreasionisme yang menurut Harun Yahya telah meruntuhkan
teori evolusi. Pada umumnya sainstis berpendapat bahwa eksperimen biologi,
fisika dan kimia justru mendukung teori evolusi. Namun demikian, Harun Yahya
mempunyai pandangan lain. Dia berpendapat bahwa eksperimen-eksperimen tersebut
meruntuhkan teori evolusi. Perbedaan pendapat tersebut memerlukan kajian lebih
lanjut, sehingga masing-masing konsep dan metode ilmiah yang diterapkan oleh
kreasionisme dan teori evolusi juga menjadi bagian penting untuk dianalisis
dalam bab selanjutnya.
B. Analisis Komparatif atas
Kajian Harun Yahya tentang Evolusi Makhluk Hidup
Pada bab di atas telah diuraikan secara
sistematis beberapa pandangan Harun Yahya tentang teori evolusi. Langkah
selanjutnya adalah menganalisis dan mengkomparasikan gagasan kreasionisme Harun
Yahya dengan teori evolusi. Analisis komparatif di sini dimaksudkan untuk
menganalisis secara kritis dan membandingkannya dengan beberapa argumen menurut
teori evolusi.
Agar lebih sistematis dalam menganalisis dan
mengkomparasikan kreasionisme Harun Yahya dengan teori evolusi, maka secara
garis besar akan dijelaskan satu per satu dari beberapa pokok teori Harun Yahya
dengan argumen-argumen menurut teori evolusi. Bagian-bagian penting yang dikaji
dalam sub bab ini meliputi penciptaan terpisah dalam tinjauan biogeografi,
desain sempurna, kerumitan struktural dan fungsional, kepunahan makhluk hidup,
keanekaragaman makhluk hidup, konsep homologi serta beberapa polemik antara
kreasionisme dengan teori evolusi.
1.
Penciptaan Terpisah dalam Tinjauan
Pola Penyebaran Biogeografi
Adanya makhluk hidup
endemik (habitat asli) dari suatu tempat adalah bukti dari penciptaan terpisah,
dimana secara tiba-tiba makhluk hidup tertentu menempati tempatnya
masing-masing. Harun Yahya berpendapat bahwa secara tiba-tiba makhluk
hidup-makhluk hidup tersebut telah ada dalam kelompoknya masing-masing serta
ada dalam benua yang berbeda-beda.
Apakah hanya cukup
dengan "penciptaan terpisah" saja spesies-spesies endemik itu ada? Seharusnya
Harun Yahya bisa menjelaskan penyebaran geografis makhluk hidup di berbagai
benua.
Bagaimanakah teori
Harun Yahya akan menjelaskan fakta biogeografi? Apakah hanya akan dijawab bahwa
Tuhan telah menciptakan tiap makhluk hidup pada tempatnya masing-masing begitu
saja? Bagaimana dengan benua Australia yang terkenal memiliki fauna khas yang
didominasi mamalia berkantung, seperti kanguru, koala, dan sebagainya. Benua
tersebut memiliki iklim kering yang bisa ditemukan juga di tempat lain, seperti
Afrika Utara dan Amerika Utara bagian barat, namun faunanya amat berbeda.
Begitu juga dengan Papua yang berdekatan dengan Australia , Papua yang beriklim
tropis dan basah justru memiliki fauna yang mirip dengan Australia, seperti kasuari, kanguru, dan
sebagainya. Iklim dan keadaan alam Papua tidak berbeda dengan daerah lain,
misalnya Kalimantan atau Kamerun, namun mengapa
di Papua faunanya mirip dengan fauna Australia . Teori evolusi
menjelaskan keberadaan dua fauna yang mirip tersebut sebagai hasil dari
adaptasi dan seleksi alam dari mamalia purba yang berada di Australia dan Papua
sebelum terpisah.[32]
Apabila unta diciptakan
khusus untuk gurun Afrika dan Asia Tengah, mengapa unta dapat hidup di gurun
Australia? Mengapa di Australia tidak ada unta sebagaimana di gurun Afrika?
Padahal unta dapat hidup di sana. Hal ini terbukti sejak didatangkannya
unta-unta tersebut oleh para imigran Afghan ke Australia pada abad ke-19,
banyak unta yang menjadi liar kembali dan hidup bebas di gurun. Mengapa Tuhan tidak
menciptakan unta di Australia ,
padahal unta cocok hidup di sana? Kemudian bagaimana mekanisme ini terjadi?[33]
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan bermaksud menggugat Tuhan tetapi untuk menguji
kebenaran penciptaan terpisah.
Pola penyebaran makhluk
hidup secara biogeografi sudah menjadi bagian penting bagi para ahli biologi
untuk menjelaskan bahwa komposisi fauna suatu daerah selalu tergantung pada
sejarah dan kesinambungan garis keturunan (continuity of descent). Biogeografi
termasuk salah satu bukti evolusi. Keadaan bumi pada masa dahulu tidak sama seperti
sekarang. Benua yang ada saat ini dulunya merupakan pulau luas yang menyatu.
Kreasionisme Harun Yahya seharusnya juga menjelaskan lebih jauh mekanisme
kehidupan atau mekanisme sejarah tersebut, berikut makhluk hidup-makhluk hidup
yang pernah mendiaminya.[34]
Akan tetapi Harun Yahya tidak menjelaskan mekanisme ini, karena pada prinsipnya
penciptaan terpisah hanya menjelaskan bahwa semua makhluk hidup tercipta secara
terpisah, secara sempurna dan sesuai dengan spesifikasi kehidupannya
masing-masing. Harun Yahya juga tidak menerangkan mengenai penyebaran makhluk
hidup atau biogeografi sebagaimana yang telah dilakukan oleh evolusionis.
2.
Desain Sempurna: Antara Kerumitan Struktural dan Fungsional
dengan Kepunahan Makhluk Hidup
Teori kreasionisme
Harun Yahya erat dengan gagasan “desain sempurna” sebagai manifestasi karya
Tuhan pada makhluk ciptaan-Nya. Salah satu teori yang dapat mendukung gagasan
ini adalah intelligent design theory (teori desain cerdas) yang
dikemukakan oleh Philip Johnson, seorang Profesor Hukum dari Universitas
Barkeley sekaligus penulis buku Darwin on Trial.[35]
Inti dari teori ini adalah pengakuan atas adanya kreasi Super-Designer
yaitu Allah, Perancang serta Pencipta alam semesta dan kehidupan yang ada.
Menurut Harun Yahya
banyak ilmuwan masa kini yang menolak evolusi dan menerima bahwa Allah adalah
Tuhan Pemilik Segala Kekuatan dan Kecerdasan Tak Terbatas yang telah
menciptakan alam semesta ini. Beberapa ilmuwan yang menerima kebenaran
penciptaan ini adalah Owen Gingerich, Carl Friedrich von Weizsacker, Donald
Chittick, Robert Matthews, Michael J. Behe, David Menton, S. Jocelyn Bell
Burnell, dan William Dembski.[36]
Pernyataan mereka tentang “desain sempurna” kemungkinan muncul karena wujud
nyata kehidupan yang ada baik bentuk maupun strukturnya sangat rumit sehingga
membingungkan para ilmuwan.[37]
Dalam beberapa
karyanya, Harun Yahya banyak menyajikan contoh-contoh tentang fakta
kesempurnaan ciptaan, seperti kesempurnaan lebah madu dan keajaiban sarangnya,
arsitek yang menakjubkan pada rayap, sistem sonar kelelawar, kamuflase hewan,
dan sebagainya. Bagi seorang yang beriman, fenomena ini harus disikapi sebagai
suatu manifestasi kehendak Allah Yang Maha Berkuasa atas segala ciptaan.
Kemudian mengapa spesies-spesies yang sempurna itu harus punah? Apa hanya
karena otoritas Allah semata atau karena hukum alam maupun mekanisme seleksi
alam penyebab kepunahannya?
Kesempurnaan
ciptaan-Nya bukan berarti secara biologis makhluk hidup tercipta tanpa
kekurangan dan kelemahan struktural dan fungsional organnya. Topik ini tentu
merupakan bagian penting bagi penelitian ilmiah. Metode ilmiah meliputi
eksperimentasi yang dapat memunculkan kecenderungan-kecenderungan berpikir
lebih kritis. Salah satunya adalah rasa ingin tahu mengapa makhluk hidup dapat
punah. Pada dasarnya makhluk hidup jika ditinjau dari segi fisik atau
biologisnya pasti memiliki kemampuan hidup yang berbeda-beda, kelemahan dan
kelebihannya dalam susunan komponen-komponen penyusun tubuh, baik struktural
maupun fungsional. Misalnya pada indera penciuman manusia, indra pada manusia
kurang tajam atau kurang peka dibandingkan hewan lain seperti hiu, anjing, atau
tikus. Akan tetapi, perbandingan gen-gen yang membentuk organ penerima rangsang
bau-bauan pada manusia dan tikus menunjukkan bahwa gen-gen pada tikus berfungsi
sempurna dan memberi kemampuan penciuman yang baik pada tikus, sedangkan pada
manusia sebagian besar gen tersebut tidak aktif atau tidak berfungsi.[38]
Secara struktural dan fungsional manusia
memiliki kesamaan unsur-unsur penyusun tubuhnya dengan makhluk hidup yang lain.
Selain memiliki kesamaan dalam hal unsur penyusunnya tersebut, manusia juga
memiliki beberapa perbedaan dengan binatang. Manusia tidak didesain untuk
memiliki penciuman yang tajam. Akan tetapi mengapa desain manusia harus juga
menyertakan gen-gen tidak aktif? Bukankah bila tubuh manusia didesain dengan
sempurna, tidak perlu ada gen-gen rusak tersebut dalam DNA-nya?[39]
Hal ini dimungkinkan apabila tikus dan manusia mempunyai nenek moyang yang
sama. Bagaimana jawaban Harun Yahya terhadap hal ini?
Menurut Andya Primanda,
penyebaran fosil trilobita dan struktur matanya yang sempurna sebagai
hasil desain optimal tersebut tidak berhasil mencegah mereka dari kepunahan.[40]
Penyebab kepunahan trilobita sampai sekarang masih diperdebatkan para
ahli. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa mereka punah karena terjadi tragedi
besar pada zaman es, ada pula yang mengaitkannya dengan munculnya kompetitor
baru seperti ikan dan kerang. Kepunahan trilobita tersebut menggambarkan
bahwa trilobita bukanlah organisme yang tercipta secara sempurna (perfect).
Bagaimanapun kelengkapan maupun kelebihan suatu organisme pasti memiliki
kekurangan. Di antara kelemahannya adalah pola adaptasinya terhadap lingkungan
dan kerumitan struktur trilobita tersebut diperkirakan tidak memiliki
kapabilitas dalam menghadapi tekanan lingkungan pada 250 juta tahun yang lalu
sehingga menyebabkan kepunahannya.
Sebenarnya banyak
spesies purba yang pernah ada di bumi ini. Dari sekian banyak jenis makhluk
hidup yang pernah ada, trilobita bukan satu-satunya kelompok makhluk
hidup yang telah punah. Dinosaurus, pterosaurus, kalajengking raksasa, gajah
raksasa, dan macan gigi pedang adalah contoh-contoh hewan yang telah punah. Hewan-hewan
tersebut telah punah karena berbagai faktor: perubahan iklim, persaingan dengan
hewan lain dan bencana alam. Diperkirakan bahwa seluruh jenis makhluk hidup
yang masih ada sekarang hanyalah 1% dari total jumlah jenis makhluk hidup yang
pernah ada. Dengan kata lain, 99% jenis makhluk hidup yang pernah ada di Bumi
sekarang telah punah.[41]
Adapun yang tersisa dari mereka adalah fosil-fosil yang tertanam dalam batuan
dan membuktikan bahwa hasil tindakan penciptaan terpisah pun berakhir dengan
kepunahan.
Berdasarkan temuan
berbagai fosil makhluk hidup dan waktu geologis, benarkah lapisan kambrium
merupakan lapisan bumi tertua sebagaimana
dikatakan oleh Harun Yahya dalam The Evolution Deceit? Fosil
makhluk hidup apa saja yang dapat ditemukan dalam lapisan Kambrium? Pernyataan
Harun Yahya tersebut ternyata berbeda dengan catatan yang ada pada literatur
sains tentang sejarah bumi dan kehidupannya menurut hasil riset ilmuwan.
Hasil riset ilmiah
tentang waktu geologis menyebutkan bahwa lapisan Kambrium termasuk dalam
periode Cambrian (sekitar 570-510
juta tahun yang lalu). Periode ini menjelaskan adanya beberapa fosil makhluk
hidup yang terdapat pada masa itu. Berdasarkan tabel tersebut, ternyata lapisan
Kambrium bukan lapisan bumi tertua karena lapisan yang tertua adalah periode Cosmic
(sekitar 15.000/20.000-5000 juta tahun yang lalu).[42]
Harun Yahya menyebutkan
bahwa beragam makhluk hidup kompleks telah muncul secara tiba-tiba pada periode
Cambrian, seperti siput, trilobita, bunga karang, cacing tanah,
landak laut dan invertebrata kompleks lainnya.[43]
Pernyataan tersebut berbeda dengan catatan menurut temuan ilmiah waktu geologi.
Pada catatan tabel hasil riset ilmiah menyebutkan bahwa fosil yang terdapat
dalam lapisan Kambrium antara lain adalah fosil moluska (amphineura,
gastropoda, cephalopoda), annelida (polychaeta), arthropoda (trilobita,
chelicerata), brachiopoda, dan echinoderma. Adapun fosil-fosil dalam
lapisan yang lebih muda antara lain adalah vertebrata pertama (Agnatha) muncul
pada periode Ordovician (510-438 juta tahun yang lalu), sekitar 83%
genera invertebrata laut baru muncul para periode Permian (290-250 juta
tahun yang lalu), tetapi makhluk hidup tersebut terancam kepunahan secara
besar-besaran. Beberapa fosil lainnya ditemukan pada periode atau lapisan
bumi yang semakin muda. Fosil Pisces
(Hiu), Amphibia (Katak), Reptilia (Kura-kura), ditemukan pada periode Jurrasic
(205-135 juta tahun yang lalu) sedangkan mammalia berplasenta ditemukan
pada periode Paleocene (65-53 juta tahun yang lalu).[44]
Kesempurnaan pada
makhluk hidup sebenarnya tidaknya mutlak, karena pada akhirnya makhluk hidup
akan mengalami kepunahan. Apakah kesempurnaan juga berarti pemanfaatan
organ-organ tubuh secara optimal? Bagaimana dengan organ-organ vestigial
pada makhluk hidup? Keberadaan organ vestigial tersebut masih
menimbulkan pertanyaan. Pandangan Harun Yahya tentang organ vestigial adalah
suatu organ yang fungsinya belum diketahui. Organ vestigial yang selama
ini sering disebut dalam teori evolusi sebagai organ peninggalan dari moyang
terdahulu dan tidak berfungsi adalah keliru. Keberadaan tulang ekor ternyata
berfungsi sebagai penyokong tulang-tulang yang ada di sekitar tulang panggul.[45]
Menurut teori evolusi,
organ vestigial merupakan organ yang termasuk struktur homolog yang
mengalami rudimentasi (mengecil). Struktur vestigial pada mulanya
merupakan struktur yang memiliki fungsi
penting pada nenek moyang, namun tidak selamanya digunakan, misalnya tulang
pelvis dan kaki pada ular (phyton).[46]
Selain pada ular, organ vestigial dapat ditemukan pada paus maupun jenis
hewan yang telah lama punah, misalnya Basilosaurus. Bukti dari organ vestigial
dengan struktur homologinya adalah bukti pendukung teori evolusi.[47]
Organ vestigial terbentuk karena organ-organ tersebut, ukuran dan
strukturnya menyusut akibat tidak digunakan dalam jangka yang lama. Keberadaan
organ sisa tersebut secara anatomi telah memberikan bukti filogeni (perihal
sejarah evolusi makhluk hidup atau hipotesis tentang kekerabatan nenek moyang
dengan keturunannya).[48]
3.
Keanekaragaman Makhluk Hidup dalam Konsep Spesies dan Homologi
Keanekaragaman spesies
makhluk hidup tidak terhitung jumlahnya. Sejak Aristoteles hingga periode klasifikasi
oleh Linneaus, menunjukkan bahwa di antara makhluk hidup terdapat unity
(keragaman) maupun diversity (keanekaragaman). Konsep spesiasi dan
diversitas yang diajukan oleh biologi berkenaan dengan bukti-bukti evolusi
ternyata sangat berlawanan arus dengan gagasan kreasionisme Harun Yahya. Dia
mengungkapkan bahwa "tidak ada satu spesies pun yang berubah menjadi
spesies yang lain". Alasannya adalah tidak satu orang pun yang melihat
adanya bentuk peralihan suatu spesies (misalnya, separuh monyet separuh manusia).
Tidak adanya bentuk
peralihan atau transisi dalam makhluk hidup adalah keberatan kreasionis
terhadap teori evolusi. Harun Yahya menyatakan bahwa dalam spesies tidak
terjadi perubahan atau pembentukan spesies baru, melainkan hanya terjadi
variasi spesies yang menghasilkan varietas-varietas yang berbeda. Harun Yahya
mencontohkan spesies anjing liar dan anjing yang dibudidayakan oleh manusia
adalah sama-sama anjing. Spesies anjing tidak akan berubah maupun beralih
menjadi spesies yang lain.[49]
Dalam evolusi, perubahan
kecil tersebut dikenal dengan mikroevolusi. Perubahan-perubahan dalam skala
kecil tersebut dapat berakumulasi ke dalam perubahan berskala besar. Pada
prinsipnya ada dua konsep spesies, yaitu konsep spesies morfologis (spesies
didefinisikan oleh persamaan ciri yang tampak dari anggota-anggotanya) dan
konsep spesies reproduktif (spesies didefinisikan oleh kemampuan saling kawin).
Kedua konsep spesies tersebut berupaya menjelaskan bahwa pembentukan spesies
baru adalah mungkin terjadi dengan dua kemungkinan tersebut.
Pada kasus
keanekaragaman spesies anjing di atas dalam versi evolusi merupakan contoh
spesies baru yang diciptakan secara artifisial dalam konteks morfologis. Kasus
tersebut dapat dijelaskan pada perbedaan antara varietas ekstrim anjing,
seperti anjing Peking dan anjing Great Dane yang jauh lebih besar
daripada perbedaan morfologi normal antar spesies. Anjing pemburu dari Afrika
dan serigala digolongkan dalam subfamili
terpisah tetapi keduanya tetapi keduanya tampak lebih mirip daripada
anjing Peking dan Great Dane.[50]
Konsep spesies yang
sama pentingnya untuk menjelaskan kemungkinan terbentuknya spesies baru adalah
dalam konteks reproduktif. Sebagai contoh dalam hibridisasi antara dua spesies
berlainan dengan metode hybrid ulang calon dengan menyilangkan spesies
induk. Eksperimen ini telah dilakukan oleh Muntzing tahun 1930 berupa percobaan
artifisial tumbuhan mint, Galeopsis tetrahit dari dua spesies mint
lain, G. pubesceus dan G. speciosa.[51]
Eksperimen ini telah menunjukkan bahwa spesies baru dapat dibuat secara tiruan
dari spesies lama. Maka kita perlu membedakan secara jelas mana konsep spesies
secara morfologis dan konsep spesies reproduktif. Sehingga kita dapat
mengurangi atau bahkan terhindar dari kesalahpahaman dalam dua pengertian
tersebut.
Homologi adalah argumen
penting bagi evolusi, benarkah konsep ini telah keliru dalam banyak hal
(menjelaskan secara genetik atau molekuler, morfologi maupun embriologi) ?
Konsep ini telah dianggap keliru dan dijadikan salah satu argumen Harun Yahya
untuk meruntuhkan evolusi. Fakta homologi yang telah diajukan evolusionis,
tentu tidak menunjukkan adanya penciptaan terpisah. Jika makhluk hidup
diciptakan terpisah maka tidak ada alasan mengapa spesies menunjukkan persamaan
homolog.
Baru-baru ini, evolusi
mendapat bukti-bukti baru, yaitu berkenaan dengan homologi tingkat molekuler
pada mammalia. Tim peneliti dari Baylor College of Medicine, telah
berhasil membaca susunan genom binatang pengerat. Ini adalah sukses yang ketiga
dalam membaca genom yang sebelumnya adalah genom manusia dan kelinci.[52]
Para peneliti menemukan
bahwa genom Rattus norvegicus memiliki kesamaan dengan manusia maupun
kelinci. Masing-masing memiliki sekitar 2,75 juta ciri DNA, 25 ribu gen, yang
juga ditemukan pada manusia.[53]
Harun Yahya berpendapat
bahwa mutasi pada makhluk hidup hanya akan merugikan. Apakah tidak ada sama
sekali mutasi yang menguntungkan bagi makhluk hidup tertentu? Bagaimana dengan
eksistensi dan keberlangsungan mutan itu sendiri? Sebagai contoh, mutasi pada
hama tanaman (insecta) yang semakin kebal terhadap insektisida. Tingkat
kekebalan tersebut dapat disebabkan karena di antara spesies tersebut mengalami
mutasi. Hasil mutasi yang menguntungkan bagi insecta tersebut akan
semakin kebal dan apabila terjadi interbreeding maka akan tercipta
mutan-mutan baru yang justru diuntungkan oleh variasi yang ada.
4.
Penciptaan Terpisah Perseptif Harun Yahya dan Teori Evolusi dalam
Polemik
Terlalu berlebihan apabila
kreasionisme dan evolusi selalu menjadi pemicu konflik antara sains dan agama.
Teuku Jacob mengatakan bahwa sebenarnya tidak perlu ada pertentangan antara
teori evolusi dengan agama (Islam) maupun Al-Qur’an. Pertentangan yang terjadi
banyak disebabkan oleh kepicikan, sehingga dalam tema ini seluruh pihak
(pemikir) harus mempertimbangkan sejauh mana pemikiran, pengetahuan dan
pemahaman tentang agama dan sains para pemikir.[54]
Pendekatan filosofis
Harun Yahya dalam sains digunakan untuk memberikan afirmasi bahwa teori evolusi
adalah meterialisme berkedok sains serta sering dikaitkan dengan kejahatan
perang, ideologi Marxis, dan sebagainya.[55]
Bagaimana kejahatan perang yang terjadi sebelum teori Darwin muncul? Anggapan
ini menarik untuk direnungkan dan ditinjau kembali, karena pada dasarnya sejak
zaman bermula perilaku yang ada dalam diri manusia, kejahatan yang terjadi
dalam peperangan sudah menjadi kodrat manusia yang memiliki dua sisi berbeda,
baik dan buruk, mulia atau bahkan jahat.
Sesuatu yang keliru apabila
teori evolusi dijadikan landasan hidup atau bahkan menjadi ajaran yang setara
dengan agama. Permasalahan yang krusial dari teori evolusi relevansinya dalam
konteks agama adalah anggapan bahwa teori evolusi sebagai ajaran ateis. Selain
itu, teori yang mengajukan konsep “kebetulan”, telah dianggap menihilkan Tuhan.
Bagaimana interpretasi “kebetulan” dari sudut pandang lain dalam agama? Teuku
Jacob mengemukakan istilah kebetulan dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya
adalah takdir.[56]
Bagi para pembaca karya
Harun Yahya, barangkali akan membenarkan bahwa teori evolusi benar-benar telah
runtuh. Salah satu karyanya yang memaparkan keruntuhan teori evolusi adalah
“Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan”, misalnya runtuhnya teori evolusi
telah membuktikan kebenaran penciptaan.[57]
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa kreasionisme dan teori evolusi sudah
tidak perlu lagi dikaji secara ilmiah.
Ada beberapa hal yang
sampai saat ini menjadi salah satu polemik antara kreasionisme dan evolusi,
sebagai contoh, spesiasi, mutasi, maupun transisi makhluk hidup. Teori evolusi
mencontohkan salah satu mekanisme munculnya spesies baru pada Camar di Siberia
Timur yang terjadi melalui sistem reproduksi dari masing-masing subspecies
berbeda dapat memperlihatkan bagaimana spesies baru muncul melalui akumulasi
dari perubahan kecil.[58]
Benarkah transisi
makhluk hidup ada atau tidak ada sama sekali? Pertanyaan tersebut sering
dijawab “tidak”, dengan alasan bahwa sampai saat ini tidak seorang pun melihat
adanya manusia atau makhluk hidup sedang mengalami transisi. Amphibi adalah
hewan yang dapat hidup di air dan daratan. Dalam masa perkembangannya sejak dia
air, amphibi menggunakan organ pernafasan insang dan setelah dewasa tidak lagi
dengan insang tetapi paru-paru. Proses ini merupakan bukti evolusi ataukah
kreasi? Fakta-fakta di atas maupun fakta lainnya, tentu masih akan terus
diperdebatkan oleh kreasionisme dan teori evolusi yang saling bertolak
belakang.
Begitu banyak
fakta-fakta kehidupan telah diklaim oleh Harun Yahya sebagai fakta
kreasionisme, dimana proses yang ada dalam kehidupan ini sama sekali tidak ada
hubungannya dengan evolusi. Meskipun gagasan kreasionisme menurut Harun Yahya
telah dianggapnya mampu meruntuhkan teori evolusi, tetapi saat ini teori
evolusi masih menjadi kajian yang berkelanjutan.
Menyinggung persoalan
runtuh atau tidaknya teori evolusi, tidak terlepas dari fakta atau bukti-bukti
baik yang mendukung maupun yang menolak keberadaan teori evolusi. Munculnya
kreasionisme Harun Yahya memang telah memberi gambaran tentang runtuhnya teori
evolusi (menurut perspektifnya). Pendapat lain yang juga mengkritik teori
evolusi datang dari berbagai pemikir muslim lainnya, seperti Seyyed Hussein
Nasr yang mengatakan bahwa sampai saat ini sama sekali belum terjadi keberhasilan
eksperimen laboratorium untuk meneliti perubahan dari satu spesies ke spesies
lain. Lebih jauh ia juga mengatakan bahwa ternyata terdapat spesies-spesies
yang terus hidup sejak zaman geologi pertama yang sama sekali tidak berevolusi.
Tumbuhan dan binatang yang sama juga masih akan lahir, layu dan mati atau
punah.[59]
Evolusi yang terjadi
pada dunia hewan termasuk manusia juga telah memunculkan kontradiksi dengan
konsep umum penciptaan yang ada dalam Kitab Suci. Menurut Maurice Bucaille,
konsep umum tentang penciptaan dalam Kitab Suci tidak bertentangan dengan data
ilmiah. Ia mengemukakan bahwa kajian tentang evolusi pada dunia hewan terutama
manusia sebenarnya menyangkut kesenjangan di dalam pengetahuan manusia itu
sendiri. Melalui riset yang mengkaji tentang hal ini sebaiknya para ilmuwan
melakukan hipotesis dan penelitian terpisah antara dunia hewan dengan manusia.
Ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk menghargai data-data penelitian dan
menghindari kesesatan yang mungkin dapat ditimbulkan oleh hipotesis yang belum
terjawab kebenarannya secara pasti. Pandangan ini membedakan cara pandangnya
dengan Harun Yahya maupun kritikus lainnya dalam mensikapi tentang konsep
evolusi makhluk hidup. Maurice berpendapat bahwa evolusi benar-benar terjadi
pada dunia hewan yang terbukti oleh adanya phyla utama yang di dalamnya
menjelaskan ciri-ciri yang terkandung dalam diri seluruh keturunannya. Dalam
evolusi kelompok-kelompok tersebut memiliki tahapan-tahapan perubahan,
pertambahan secara terus menerus, ada yang bertahan hidup atau mati dan punah.
Metode ilmiah yang mendalam untuk mengkaji evolusi adalah kajian tingkat sel
dan terutama pada gen.[60]
Pro dan kontra terhadap
kreasionisme dan teori evolusi sebenarnya menjelaskan bahwa kedua konsep
tersebut belum ada yang dapat dijadikan alternatif teori yang paling tepat
dalam menjelaskan tentang fenomena kehidupan. Teori manakah yang benar-benar
dapat eksis atau telah runtuh pun belum bisa dipastikan. Anggaplah kedua teori
tersebut adalah kajian sains yang penting untuk kemajuan dan perkembangan sains
itu sendiri. Jika keduanya adalah kajian sains, tentu keduanya juga tidak
terlepas dari metode sains atau metode ilmiah yang dipergunakan dalam
menjelaskan teorinya. Metode ilmiah sebagai metode sains berupa eksperimentasi,
observasi dan pengulangan obyek-obyek kajian sains. Penggunaan metode ilmiah
dalam kreasionisme maupun teori evolusi juga masih perlu dikaji lebih lanjut
untuk dapat dipertanggung jawabkan
kebenaran ilmiahnya.
Perdebatan menyangkut
metode ilmiah kreasionisme dan teori evolusi masih terjadi. Menurut Gould
sebagaimana dikutip oleh Winkie Pratney, mengatakan bahwa kreasionisme bukanlah
sains menurut definisi sains universal masa kini. Upaya kreasionisme untuk
meruntuhkan teori sains tidak membuat program kritik tersebut bersifat sains
dan sanggahan sains yang menentang evolusi tidak otomatis menjadi sanggahan
sains yang mendukung kreasionisme. Demikian juga komentar Stanley Weinberg
tentang metode kutipan-kutipan selektif yang dikakukan oleh para kreasionis.
Para krasionis termasuk HarunYahya menggunakan kutipan-kutipan selektif dari
sumber evolusionis kemudian ditelaah sedemikian rupa sehingga terbentuk argumen
untuk menyanggah teori evolusi.[61]
Ada juga yang meragukan kreasionisme sebagai sains karena kreasionisme tidak
didukung oleh beberapa observasi ilmiah dan secara prinsip kreasonisme bukan
hasil observasi ilmiah sebagaimana yang dilakukan oleh sains pada umumnya.[62]
Pandangan komparatif
atas metode ilmiah kreasionisme di atas tidak melunturkan gagasan kreasionisme
Harun Yahya, karena menurut Harun Yahya teori evolusi telah semakin tersudut
oleh kemajuan penemuan sains modern. Ia juga menyatakan bahwa proses penciptaan
oleh Allah sama sekali tidak mendukung teori evolusi dan tidak ada bukti ilmiah
yang meyakinkan tentang evolusi makhluk hidup. Apabila kaum muslim bersikap
mendukung teori evolusi berarti mereka telah membantu teori evolusi yang
berfilsafat materialis. Menurutnya, setelah mereka tahu tentang materialisme
teori evolusi, seharusnya mereka menarik kembali dukungannya terhadap teori
evolusi.[63]
Kajian
evolusi makhluk hidup adalah kajian yang materialistik (obyek yang dikaji
berupa materi, aspeknya antara lain anatomi, morfologi, molekuler, fosil dan
sebagainya). Namun, bukan berarti bahwa teori evolusi merupakan kajian sains
yang ateistik, tetapi justru sebaliknya. Pada dasarnya justru kajian sains ini
adalah dalam rangka untuk lebih mendekatkan diri pada Allah melalui
materi-materi ciptaan-Nya atau sunatullah. Keimanan dan ketaqwaan pada
Allah-lah yang seharusnya dijadikan sebagai landasan dan petunjuk dalam kajian
materialistik ini, sehingga tidak mengarahkan pada materialisme yang menihilkan
Tuhan. Selain obyektifitas kajian sains sebagai salah satu sasaran ilmiahnya,
di dalamnya juga menyertakan aspek penalaran yang tidak mungkin terbatas dari
sisi akal dan rasionalitas saja tetapi ada keyakinan yang bersifat
supernatural.
Obyektifitas sains
terkadang dianggap mengesampingkan sisi manusia sebagai makhluk beragama
(Islam). Seharusnya hal itu bukan menjadi tujuan para ilmuwan. Sebagai pencari
ilmu, seharusnya tidak terjebak dalam polemik pada problematika sains teistik
dan ateistik. Sebenarnya polemik kreasionisme dan teori evolusi dalam konteks
hubungan sains dan agama semacam ini dapat dieliminir jika semua pihak tidak
keliru dalam mengaplikasikan pandangan dan pemahamannya tentang agama dan Kitab
Suci dengan hipotesis maupun riset sains. Kitab Suci Al-Qur’an seharusnya
dijadikan sebagai sumber kebenaran atas segala kebenaran sunatullah. Al-Qur’an
seharusnya tidak difungsikan untuk mendistorsi temuan-temuan sains. Pola pikir
ilmuwan maupun agamawan yang berupaya mengkomparasikan teori sains buatan
manusia dengan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah dapat menimbulkan kesalahpahaman
dalam penafsirannya, sehingga dapat membahayakan hubungan sains dan agama itu
sendiri.
C.
Implikasi Pandangan Harun Yahya tentang Evolusi Makhluk Hidup dalam Bidang
Kependidikan Biologi Serta Hubungannya dengan Sains dan Agama
Setelah menelaahnya secara
mendalam, kecenderungan pemikiran-pemikirannya tentang konsep penciptaan dengan
tema-tema Qur'ani terkesan hanya sebagai kampanye anti-evolusi.[64]
Kutipan beberapa ayat Al-Qur'an serta kutipan sains hasil penelitian berbagai
ilmuwan tentang kajian kealaman adalah salah satu scientific method-nya
dalam mementahkan teori evolusi, meskipun sebenarnya kutipan-kutipan antara
sains dan Al-Qur'an terkesan hanya upaya mencocok-cocokkan konsep sains dengan
Firman Allah. Sebagai contoh, beberapa hal yang disoroti oleh Harun Yahya
adalah tentang penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) atau
kreasionisme, maka dikutiplah ayat Al-Qur'an yang dipandang sesuai atau dapat
memperkuat kebenaran temuan sains yang mendukung gagasan kreasionismenya. Harun
Yahya menegaskan bahwa Allahlah pencipta segala sesuatu dari ketiadaan, secara
langsung dalam bentuknya yang sempurna, spesies makhluk hidup telah ada
sebagaimana bentuknya wujudnya masing-masing sehingga tidak ada satu bentuk pun
makhluk hidup yang berevolusi atau mengalami transisi dari satu spesies menjadi
spesies yang lain.[65]
Gagasan Harun Yahya tentang fakta-fakta
penciptaan adalah gagasan yang patut untuk dipertimbangkan. Gagasan
kreasionismenya mampu mengangkat Separated Creation Theory
(kreasionisme) Islam dalam upaya menjelaskan fenomena kehidupan serta upayanya
untuk meruntuhkan teori evolusi.
Pendekatan sains, filsafat, dan agama Harun Yahya
dalam kajiannya tentang teori evolusi, telah memposisikan secara jelas bahwa
teori evolusi merupakan teori sains yang materialistik dan ateistik. Harun
Yahya dan para pendukungnya juga berupaya mensinergikan sisi ilmiah, filosofis
dan teologis (Islam) untuk menunjukkan kekeliruan teori evolusi. Gagasan
alternatif yang dilancarkan oleh Harun Yahya dan para pendukungnya tersebut
disampaikan dalam bahasa yang cukup sederhana, jelas dan disertai sajian
ilustrasi menarik sehingga dapat menarik bagi para pembacanya. Meskipun
karyanya disampaikan dalam bahasa yang sederhana namun mengandung muatan makna
dan maksud yang provokatif.
Upaya tersebut juga terbukti dari manajemen
syiarnya yang terorganisir, profesional dan lancar berkat upaya para
pendukungnya. Sesuai perkembangan sains dan teknologi, berbagai media informasi
pun dipergunakannya untuk menyebarluaskan syiar Islamnya. Sebagian kaum
intelektual menganggap Harun Yahya sebagai contoh keberhasilan pemikir Islam
awal abad ke-21 yang mampu memadukan sains dan agama. Menurut beberapa pendapat pemerhati karya-karyanya,
keberhasilan Harun Yahya telah mampu mensejajarkan dirinya dengan tokoh pemikir
muslim besar kontemporer, seperti Syaikh Yusuf
Qaradhawi atau Seyyed Hussein Nasr.[66]
Semua itu tidak lain karena gagasan Harun Yahya
saat ini telah berpengaruh terhadap berbagai kalangan. Namun, ada baiknya
gagasannya perlu ditinjau kembali serta dipertimbangkan kembali. Kemungkinan
kreasionismenya akan berimplikasi terhadap berbagai bidang pemikiran, terutama
dalam bidang pendidikan biologi maupun dalam hubungannya dengan sains dan
agama.
1.
Bidang Kependidikan Biologi
Kajian
yang telah dilakukan oleh Harun Yahya dan para pendukungnya (sebagaimana telah
diulas di atas) secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap institusi
kependidikan. Sekolah-sekolah maupun
perguruan tinggi saat ini belum menerapkan alternatif kreasionisme ke dalam
kurikulumnya. Sampai saat ini teori evolusi merupakan salah satu konsep yang
diajarkan dalam materi biologi.
Biologi evolusi adalah
salah satu cabang ilmu biologi yang secara langsung merasakan implikasi
pemikiran kreasionisme Harun Yahya dan pendukungnya. Meskipun demikian, pada
kenyataannya teori evolusi masih menjadi salah satu pokok bahasan materi
biologi dan belum digantikan teori alternatif yang lain. Institusi pendidikan
yang ada saat ini, misalnya, di Indonesia juga belum terlihat adanya penerapan
alternatif teori selain teori evolusi (kreasionisme) ke dalam kurikulum materi
biologi. Sebagai contoh, dalam GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran)
kurikulum 1994, materi biologi SMU kelas 3 atau pada kurikulum biologi Madrasah
Aliyah, pokok bahasan evolusi masih menjadi kurikulum resmi yaitu pada bab IX,[67]
begitu juga materi biologi di tingkat SLTP.
Kreasionisme Islam
Harun Yahya memang banyak berisi himbauan-himbauan pada muslim dan seluruh umat
pada umumnya, termasuk pada institusi pendidikan Islam. Contoh lain tentang
teori evolusi yang masih berlaku dalam pembelajaran biologi juga dapat dijumpai
di berbagai perguruan tinggi umum maupun Islam. Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang sebelumnya bernama IAIN, misalnya, adalah salah
satu contoh perguruan tinggi agama Islam yang memiliki jurusan ilmu-ilmu umum
seperti tadris pendidikan biologi yang di dalam kurikulum pembelajarannya juga
masih memuat mata kuliah tentang evolusi makhluk hidup. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagai ilmu, evolusi masih perlu dijadikan bahan kajian keilmuan.
Materi biologi setelah
munculnya kreasionis Harun Yahya barangkali saat ini belum terpengaruh. Sampai
saat ini secara resmi belum ada legalisasi dalam kurikulum pembelajaran tentang
materi kreasionisme pada sebagian besar institusi atau penyelenggara lembaga
pendidikan. Untuk mengubah pembelajaran evolusi (dalam kurikulum biologi) yang
telah terealisasi, menyisipkan maupun menerapkan kurikulum penciptaan terpisah
(kreasionisme) adalah bukan hal yang mudah. Upaya kreasionis untuk memasukkan
kreasionisme sainsnya ke dalam sekolah-sekolah sampai saat ini belum berhasil.
Tidak semua institusi pendidikan setiap negara memiliki sistem pendidikan yang
sama. Penyesuaian pokok bahasannya pun tentu harus ada perimbangan dengan
kompetensi dan kebutuhan keilmuan masing-masing institusinya.
Dari SD sampai
universitas, biologi memang tidak terlepas dari kajian tentang asal-usul
kehidupan dengan teori evolusi. Mampukah
alternatif gagasan kreasionisme pasca Harun Yahya menggantikan program
pendidikan biologi evolusi dengan mengajarkan kreasionisme? Sebagai
pertimbangan ilmiah, hal ini harus direnungkan dan dikaji secara teliti dan
hati-hati agar antara sains dan agama bukan sebagai kategori tipologi konflik.
Ini penting untuk dilakukan, terlebih lagi bagaimana cara menempatkan serta
menyajikan bagian-bagian evolusi dan kreasionisme mana yang perlu diajarkan.
Jauh sebelum Harun
Yahya menulis karya-karya tentang keruntuhan teori evolusi, sejak awal abad ke-20
para kreasionis telah berupaya memasukkan gagasannya ke dalam sekolah-sekolah.
Upaya kreasionis tersebut terjadi terutama di dalam masyarakat Amerika.
Kemungkinan upaya tersebut dilakukan untuk mengimbangi teori evolusi. Isu
semacam itu ditangani oleh bagian hukum negara tersebut dan hukum mewajibkan
setiap anak untuk bersekolah. Dalam sekolah publik hanya jawaban sains atas
pertanyaan tentang asal-usul manusia yang boleh diajarkan. Sejak di Tenesse
(1925), Arkansas
(1982) sampai Louisiana
(1987), berbagai upaya dilakukan untuk menyediakan ruang (secara implisit atau
eksplisit) tempat Tuhan untuk dibicarakan. Sebab, jika Tuhan dibuang dari
penjelasan mengenai asal-usul manusia, para siswa akan melihat konsekuensinya
bahwa Tuhan tidak memiliki peran sama sekali.[68]
Pada tahun 1924 Komisi
Pendidikan California Utara mengumumkan bahwa mereka tidak akan menggunakan
buku-buku pelajaran biologi yang bertentangan dengan Al-Kitab. Aktifitas serupa
juga terjadi di Tennessee, pada tahun 1925 perwakilan para orang tua murid
melarang diajarkannya teori yang menolak penciptaan makhluk hidup oleh Tuhan
sebagaimana ajaran Bible. Di Oklahoma juga telah dibuat aturan mengenai buku
teks (text bookbill) yang melarang setiap konsepsi materialistik dari
sejarah yaitu teori Darwin.[69]
Berlanjut pada
tahun-tahun berikutnya, gagasan tersebut kembali muncul ke permukaan sekitar
tahun 1950 dan terutama sejak tahun 1970, antara lain di Amerika Serikat, Eropa
Barat, dan Australia. Hal ini dapat terlihat dengan perkembangannya yang mencapai
Eropa Timur, Afrika, Asia bahkan Indonesia. Pada tahun 1981 Gubernur Arkansas
menandatangani kesepakatan dengan memperbolehkan pengajaran kreasionisme
sebagai alternatif dari teori evolusi. Namun hal ini digugat oleh The
American Civil Liberties Union yang menganggap bahwa creation science
bukan sains, tetapi agama. Gugatan itu pun dikabulkan dalam persidangan.[70]
Menurut data angket yang tercatat pada juni 1985, 50% orang AS dan 25% sarjana
AS percaya bahwa bumi berumur kurang dari 10.000 tahun (ini adalah salah satu
dalil kreasionisme). Berita angket ini
telah menjadi masukan penting bagi kreasionis. Namun di beberapa negara lain
termasuk Indonesia
sampai saat ini belum pernah mengadakan angket semacam ini.[71]
Contoh sekolah lainnya
yang mengizinkan pembelajaran kreasionisme di sekolah-sekolah juga terjadi di
Georgia Amerika Serikat. Menurut situs ABC News, di samping sekolah ini
mengajarkan kepada siswa beragam pandangan tentang asal-usul kehidupan, tetapi
sekaligus juga diajarkan kreasionisme. Kesepakatan bulat dari dewan pengurus
sekolah tersebut menyatakan bahwa perlunya memberikan pengajaran yang berimbang
dalam perbincangan seputar pandangan atau fenomena penciptaan kehidupan. Hal
ini memang masih kerap diperselisihkan dalam problematika akademis. Menurut
Michael Gray (salah satu murid di sekolah tersebut) menyatakan bahwa keputusan
dewan sekolah tersebut telah mendorong upaya adanya kebebasan akademis.[72]
Hal yang sama juga
terjadi di negara bagian Ohio Amerika Serikat. Yang cukup mengherankan adalah Amerika Serikat yang lebih dikenal sebagai
negara Barat yang tergolong sekuler justru terlihat lebih dulu menerapkan
gagasan kreasionisme di institusi pendidikannya. Ohio sebagai salah satu negara
bagian Amerika Serikat justru negara bagian pertama yang mengajarkan atau
mewajibkan pada muridnya untuk tidak sekedar mempelajari bukti ilmiah yang
mendukung teori evolusi saja tetapi juga yang menentangnya. Sebab, mereka telah
merasa terpojokkan oleh teori evolusi selama bertahun-tahun, sehingga muncul
upaya para penentang evolusi untuk mengajukan dan mengembangkan gagasan
kreasionismenya.[73]
Pada tahun 1987,
Mahkamah Agung Amerika menolak keputusan Louisiana yang mewajibkan agar
kreasionisme diajarkan sejajar dengan evolusi. Hakim Agung William Brennan
berargumentasi bahwa hukum negara bagian yang menetapkan agama adalah tidak
konstitusional karena tujuannya jelas mau mengajukan sudut pandang religius
bahwa suatu makhluk adikodrati mencipta umat manusia. Sains kreasionisme juga
dianggap membingungkan karena tidak dengan jelas membedakan antara penciptaan
selama enam hari dan penciptaan jangka panjang (jutaan tahun).[74]
Pada dasarnya contoh
implikasi keasionisme pada institusi pendidikan di atas adalah kreasionisme
Barat (kreasionisme Kristen) yang banyak terjadi di negara-negara Barat
terutama Amerika. Ada kemungkinan bahwa contoh-contoh kreasionisme Barat yang
dimuat dalam artikel Harun Yahya adalah untuk memperkuat kembali kreasionisme
yang pernah masuk dalam institusi pendidikan. Secara khusus implikasi kreasionisme
Harun Yahya sebenarnya belum terlihat jelas pengaruhnya dalam bidang pendidikan
(biologi).
Diperkirakan bahwa dengan kegigihan upaya dakwah Islam dan
gagasan kreasionismenya telah mampu membuahkan hasil sebagian pandangan dunia
pada Creation Theory. Hal itu terbukti melalui artikel Harun Yahya
sendiri yang menyatakan bahwa telah banyak ilmuwan yang mengakui penciptaan
atau intelligent design theory. Selain itu juga banyak media massa dan
buku-buku Harun Yahya yang telah beredar di pasaran. Beberapa majalah ilmiah
tersebut adalah Science, Nature, Scientific American atau New
Scientist.[75] Majalah-majalah tersebut
adalah majalah ilmiah yang memuat tentang riset sains modern termasuk kajian
tentang teori evolusi.
Kemudahan-kemudahan
berupa akses langsung dan download gratis karya-karya Harun Yahya pada http://www.hyahya.org adalah salah satu sarana untuk mempublikasikan kreasionisme Harun
Yahya di seluruh dunia. Buku-buku Harun Yahya juga banyak diterbitkan di
Indonesia, antara lain diterbitkan oleh beberapa penerbit seperti penerbit
Dzikra Bandung, Robbani Press Jakarta, Global Cipta Publishing Jakarta, dan
Risalah Gusti Surabaya. Buku-buku Harun Yahya seri terjemahan juga telah banyak
beredar di Indonesia.
Gagasan kreasionisme Harun Yahya telah mampu
mengalihkan perhatian pembaca baik kalangan ilmuwan, akademisi, agamawan maupun
masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, tanggapan yang menolak atau menerima
kreasionisme belum dapat diketahui secara pasti karena sebagian besar masih
dalam dataran kritik atau respon biasa-biasa saja tanpa pernyataan secara pasti
dari para pemerhatinya. Selain itu, kreasionismenya masih memerlukan kajian
secara ilmiah lebih lanjut. Adanya perhatian pada karya-karyanya berarti juga
salah satu keberhasilannya dalam mempublikasikan gagasannya.
Implikasi pemikiran
Harun Yahya dalam dunia pendidikan (anggapan pentingnya pengajaran teori kreasi
dalam kurikulum pendidikan) tentu tidak terlepas dari anggapan implikasi teori
evolusi, terutama dugaan kekhawatiran implikasi teori evolusi terhadap peserta
didik. Hal mendasar yang perlu dipertimbangkan dari konsep evolusi adalah
berupa kekhawatiran-kekhawatiran apabila suatu konsep sains yang dipandang
sekuler oleh beberapa ilmuwan (kreasionis) akan menggoyahkan keyakinan para
peserta didik.
Penalaran mereka
tentang konsep evolusi tentu bervariasi; mengkiritisi, menerima secara langsung
sebagai fakta evolusi, menolak atau malah tidak mau tahu dengan semua fenomena
itu. Berbeda dengan mereka yang memiliki penalaran kritis terhadap konsep
evolusi, atau berbasis pengetahuan keagamaan, tentu akan meresponnya dengan
penuh kehati-hatian. Terlebih lagi bagi mereka yang memiliki dogma agama yang
kuat pasti akan menolak gagasan tersebut dengan alasan bahwa konsep tersebut
bertentangan dengan keyakinan dan suara batinnya.
Bagi para praktisi
pendidikan, tentunya polemik antara kreasionisme dengan evolusi tidak boleh
dipandang sebelah mata. Lalu bagaimana para guru atau pengajar dalam mensikapi
fenomena ini? Apa yang sebaiknya diajarkan pada peserta didik? Merespon
permasalahan yang cukup riskan ini, seharusnya disikapi dengan penuh
kehati-hatian, kritis dan tidak gegabah. Walaupun di sisi lain, seorang guru
biologi terkadang merasa kesulitan dalam menyampaikan bagaimana cara yang
paling ideal dalam pembelajaran konsep evolusi pada peserta didik. Guru
sebaiknya menyampaikannya secara proporsional sesuai keadaan peserta didik,
sehingga tidak ada kekhawatiran kesalahpahaman pemikiran peserta didik.
Satu hal penting
apabila alternatif gagasan kreasionisme Harun Yahya dapat diterima atau
dimasukkan dalam silabi atau kurikulum pendidikan dari tingkat sekolah dasar
hingga perguruan tinggi, yang diharapkan adalah adanya peningkatan menuju
pencerahan proses pencerdasan masyarakat dan disampaikan secara proporsional.
Bersikap kritis dan independen dalam merespon kreasionisme maupun teori
evolusi, sebenarnya akan dapat lebih selektif dalam mengambil sisi positif dari
kedua teori tersebut. Permasalahannya sekarang adalah tinggal bagaimana para
pemikir dalam mengaplikasikan konsep pemikirannya dalam bidang kependidikan,
terutama biologi.
2.
Hubungannya dengan Sains dan Agama (Islam)
Kreasionisme Harun
Yahya yang dapat ditemukan dalam berbagai versi dalam karya-karyanya adalah
bentuk dari upaya mensinergikan sains dan agama. Selama ini gagasan-gagasannya
memang tidak bertolak belakang dengan beberapa konsep sains relevansinya dengan
agama (Islam) dan Al-Qur’an. Ini menandakan bahwa kreasionisme Islamnya mampu
mengambil posisi penting yaitu dari segi agama. Bagaimana dengan kreasionisme
Islamnya dan upayanya dalam membuktikan keruntuhan teori evolusi kaitannya
dengan agama?
Implikasi pemikirannya
tentang keruntuhan teori evolusi kaitannya dengan sains dan agama adalah suatu
permasalahan yang kompleks. Implikasi bukanlah pengaruh yang secara langsung
dapat disimpulkan begitu saja. Untuk dapat sampai pada tujuan penelitian
tentang implikasi kreasionisme dan sanggahan Harun Yahya atas evolusi makhluk
hidup hubungannya dengan sains dan agama, harus melalui beberapa konsep-konsep
yang mungkin terlibat di dalamnya. Sisi-sisi penting yang perlu diperhatikan
antara lain adalah bagaimana hubungan kreasionismenya dengan sains dan agama?
Bagaimana implikasi pemikirannya tentang
keruntuhan evolusi kaitannya dengan sains dan agama? Bagaimana hubungan
kreasionismenya dengan teori evolusi?, serta bagaimana konteks evolusi makhluk
hidup dalam sains dan agama? Untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut,
ada beberapa aspek yang perlu diketahui, yaitu konsep sains, metode ilmiah
maupun konteks hubungan sains dan agama.
Sarana untuk memahami
bagaimana implikasi pandangan Harun Yahya dalam sains, salah satunya adalah
dengan mengetahui dan memahami tentang sains, metode sains, termasuk peran
sains bagi manusia. Sains merupakan suatu kebutuhan penting bagi manusia,
karena memiliki peran dan tujuan dalam kehidupan manusia. Menurut Adriano
Buzzati Traverso, seorang ahli dari UNESCO, bahwa peran penting sains bagi
manusia adalah menjamin bahwa setiap orang dengan memiliki suatu pemahaman
tentang sains akan siap untuk ikut serta dengan penuh pengertian dalam
penerapan sains bagi kehidupan manusia. Peran berikutnya adalah menjamin suatu
dasar yang kuat mengenai asas-asas pokok dan fakta-fakta sains bagi mereka yang
akan mengabdikan dirinya pada masyarakat sebagaimana para ilmuwan dan ahli
teknologi.[76]
Menyangkut implikasi
pendidikan di atas, sains juga berperan dalam dunia pendidikan karena di
dalamnya memiliki tujuan yang hendak dicapai. Michael Martin mengemukakan bahwa
tujuan pendidikan sains, adalah; pengetahuan, keterampilan, pemahaman, dan
kecenderungan. Pengetahuan sains adalah pengetahuan yang bersifat ilmiah. Aspek
ketrampilan merupakan kebutuhan dalam sains yang sarat dengan eksperimentasi.
Dalam sains diperlukan pemahaman tentang konsep sains dan dengan memahaminya,
akan muncul sikap berupa kecenderungan, adanya hasrat untuk mengetahui dan
memahami, menuntut pengujian empiris, mempertanyakan semua hal, mencari data
dan arti, menghormati logika, dan menelaah pemikiran-pemikiran secara logis.[77]
Pentingnya sains bagi
manusia tentu harus didukung dengan metode ilmiah yang diterapkannya. Dalam
Islam sendiri terdapat banyak ilmuwan terkenal yang mengemukakan tentang kajian
ilmiah ini, menandakan bahwa dalam Islam, sains juga suatu kebutuhan hidup. Ibnu al-Haitam, salah satu ilmuwan Islam,
mengemukakan metode ilmiah sebagai persyaratan dasar bagi penelitian dan
penemuan ilmiah, memiliki dua kombinasi, yaitu metode induktif yang mencakup
pengamatan, generalisasi, dan eksperimentasi, serta metode deduktif yang
mencakup verifikasi berdasarkan percobaan dari konsekuensi hipotesis dan
penafsiran fakta-fakta lain berdasarkan hipotesis.[78]
Sains yang dapat
dipahami sebagai pengetahuan yang obyektif, sistematis, tersusun dan teratur
tentang tatanan alam semesta seharusnya sudah bukan lagi menjadi suatu dikotomi
ilmu. Harun Yahya adalah sosok pemikir muslim yang memaparkan korelasi antara
sains dan Islam. Ini menandakan bahwa sains dan Islam merupakan kesatuan antara
sains dan pengetahuan spiritual, atau pengetahuan materiil dengan pengetahuan
immateriil. Munculnya gagasan yang mengintegrasikan sains dan agama tersebut
juga diiringi dengan istilah sains teistik dan sains ateistik. Sebagian
pandangan sains Barat telah dianggap oleh kalangan yang mengaku sebagai saintis
teistik menyebut sains Barat sebagai sains ateistik sekaligus materialistik.
Sebutan seperti ini sangat jelas sekali, misalnya terhadap teori evolusi. Bagi
sebagian besar evolusionis pun mengakui bahwa teori evolusi adalah sains yang
materialistik. Sebagian tanggapan atas teori evolusi dalam konsep sains yang
masih sering menimbulkan polemik adalah tentang konsep yang meniadakan
Tuhan, bahkan secara jelas kreasionisme
Harun Yahya yang dipandang mengedepankan sisi religius telah mengantarkannya
pada pola hubungan konflik antara sains dan agama (teori evolusi dan agama).
Hubungan ini dapat diketahui dari pola penafsiran pandangan agama dan Kitab
Suci Al-Qur’an tentang penciptaan. Kata lain dari pengertian tipologi konflik
tersebut, menurut Barbour adalah terlihat pada pola penafsiran harfiah Kitab
Suci yang menyebutkan bahwa teori evolusi bertentangan dengan agama.[79]
Pemahaman sains teistik
atau ateistik pada dasarnya dapat ditinjau dari beberapa hal, antara lain;
religiusitas saintis, konteks sains teistiknya, maupun keterlibatan agama-agama
di dalamnya. Religiusitas sains akan menggambarkan bagaimana pola pemahaman
sains atau pun saintis tentang konsep sains dan agama. Sebagai contoh,
munculnya pendapat saintis yang dianggap kredibel pada abad ke-17 dan 18
tentang deisme.[80]
Paham tersebut menurut kalangan saintis pada masa itu diperkirakan sebagai
upaya menyelamatkan agama dari kemajuan sains, justru merupakan penggalian
liang kubur bagi agama. Saintis deisme bernama Laplace bahkan mengatakan “aku
tidak memerlukan hipotesis tentang Tuhan” dan menurut Zainal Bagir, ini berarti
ateisme.[81]
Secara langsung konsep
sains teistik dan sains ateistik telah melibatkan agama (Islam) ke dalam
lingkup kajian sains. Menurut Z. A. Bagir, diskusi yang mengetengahkan hubungan
sains dan agama, kerap kali dipresentasikan oleh kaum “fundamentalis” yang
menolak sains dan “fundamentalis” yang menolak agama. Kesan tersebut tidak lain
hanya akan memunculkan kotroversi nalar keduanya. Saintis ateis Richard Dawkins
(evolusionis) dan Steven Weinberg adalah fundamentalis yang terlalu yakin pada
paham sains ateistiknya atas teori-teori sains materialistik, sehingga tidak
menyadari adanya kemungkinan lain di luar materi, maupun eksistensi Tuhan.[82]
Dalam konteks agama dan
Kitab Suci yang menjadi tuntunan bagi umatnya, bagi mereka (ilmuwan maupun
masyarakat pada umumnya) yang beriman tentu akan mengakui kebenaran atas hak
serta kewajibannya untuk mengimani bahwa Allah adalah Tuhan Sang Pencipta alam
semesta dan segala isinya. Hal yang tidak mungkin mereka (kaum beriman) lakukan
adalah memperdebatkan tentang pengungkapan bahwa kehidupan tidak diciptakan
oleh Allah. Bagi muslim yang menyadari bahwa Allah telah menciptakan dirinya, meniupkan ruh-Nya ke dalam dirinya,
bahwa dunia adalah tempat bagi kedamaian dan persaudaraan, bahwa semua orang
adalah setara dan akan diadili pada hari akhir atas segala perbuatannya di
dunia, maka tidak akan terjadi perbuatan yang menyesatkan maupun pengingkaran
pada Allah.
Sebagian besar
penganut agama meyakini bahwa dunia diciptakan secara langsung oleh Tuhan,
demikian juga manusia. Dengan demikian, manusia bukan merupakan produk evolusi.
Ada pula yang berpendapat bahwa menyetujui evolusi berarti menyangkal Tuhan dan
mengalahkan Kitab Suci.[83]
Kreasionis berkeyakinan bahwa penciptaan makhluk hidup bukan suatu kebetulan,
karena ada Sang Pencipta dan segala sesuatu ada dan diatur oleh-Nya.
Keseluruhan ciptaan-Nya yang satu mempunyai hubungan
dan kaitan sistematik dengan ciptaan-Nya yang lain dan merupakan kesatuan yang
utuh dalam suatu sistem yang memiliki keteraturan. Penciptaan kehidupan
tersusun sangat teratur dalam hirarki yang terdiri dari tingkatan-tingkatan
struktural. Kehidupan itu sendiri terkait erat dengan serangkaian sifat yang
tergantung pada keteraturan struktural, sehingga alam semesta dan kehidupannya
seimbang. Proses penciptaan makhluk hidup baik secara langsung maupun gradual
dan bagaimana pun proses penciptaan, segalanya telah ditentukan menurut kehendak-Nya.
Harun Yahya seringkali
mengungkapkan bahwa teori evolusi adalah materialisme yang mendorong pada
hal-hal yang ateistik sehingga ia menyayangkan sekali apabila muslim
mempercayai teori evolusi. Bagi teori evolusi pandangan semacam ini adalah pandangan
negatif atas teorinya. Tentunya sebagian besar muslim sendiri tidak mutlak
mendukung atau menolak kreasionisme maupun teori evolusi. Pandangan teori
evolusi yang menurut sebagian besar agamawan dinyatakan sebagai teori yang
bertolak belakang dengan pandangan agama, seharusnya tidak selalu dijadikan
konflik antar keduanya. Menyangkut pandangan agama dan teori evolusi,
seharusnya dapat dimengerti sebagai dua pandangan yang saling melengkapi satu
sama lainnya, karena evolusi tertentu pada makhluk hidup dapat terjadi menurut
kehendak Allah. Alasan prinsip makhluk hidup timbul secara evolusi, misalnya
evolusi manusia dalam hal anima intelectualistis (jiwa berpikir).[84]
Pandangan yang
menyatakan bahwa makhluk hidup sebenarnya juga mengalami evolusi (evolusi
tertentu) juga dibenarkan oleh beberapa pemikir Islam terkenal seperti
Al-Farabi (783-950 M), Ibnu Miskawaih (1030 M), dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M).
Mereka menyatakan bahwa ketiadaan uraian dan penjelasan rinci tentang proses
penyempurnaan penciptaan manusia menurut Al-Qur'an telah mendorong para
cendekiawan muslim tersebut untuk melakukan analisis terhadap proses penciptaan
manusia. Para cendekiawan muslim tersebut
menyimpulkan bahwa proses penciptaan manusia tersebut melalui fase evolusi
tertentu. Tentunya evolusi tersebut tidak sama dengan teori evolusi Darwin .[85]
Kreasionisme Islam
Harun Yahya sebagai kajian sains dengan pendekatan religius merupakan upaya
mensinergikan sains dan Islam dengan orientasi pada dakwah pengagungan Sang
Pencipta atas segala ciptaan-Nya. Dari sudut pandang manusia beragama, seorang
rohaniwan maupun muslim pasti berkeyakinan, suatu kebenaran jika sejak awal
agama telah mengajarkan kebenaran penciptaan yang dapat dipahami oleh umatnya.
Tulisan Harun Yahya dengan afirmasi hasil penelitian para ilmuwan berupa sains
dan teknologi, sering dipertemukan dengan fenomena di luar sains yaitu filsafat
dan agama. Meskipun interpretasi sains materialistik menemui absurditas jika
dihubung-hubungkan dengan keduanya, karena terkadang sulit terjangkau pemikiran
manusia.
Uraian tentang konsep
sains di atas, merupakan interpretasi sains dalam perspektif pengetahuan yang
sistematis berdasarkan observasi indrawi, serta pada batasan tentang alam dan
dunia fisik. Kemungkinan dari pembatasan lingkup sains pada bidang fisik dan
empiris telah menjadi anggapan sains yang bersifat sekularistik-materialistik.
Pandangan ini tidak melibatkan unsur-unsur spiritual yang immateri. Pada titik
tertentu menurut beberapa pemikir, sains telah bergeser pada pemikiran yang
spekulatif berupa kajian immateri yang seharusnya menjadi wilayah filsafat dan
agama.[86]
Kajian sains dalam
wilayah filsafat dan agama dapat memperkaya bidang pemikiran di luar pengamatan
indrawi yaitu penalaran akal atau rasional yang berperan untuk saling
menyempurnakan pandangan ilmiahnya tentang sains. Namun, apabila ada
teori-teori sains yang bertujuan untuk membuktikan eksistensi Tuhan atau
menolaknya, maka gagasan tersebut sudah masuk atau bersekutu dengan pemahaman
filosofis.[87] Realitas materi sebagai
obyek sains akan dapat mengarahkan pada pemahaman filosofis sains materialisme,
jika konsep filosofis materialistik yang mendominasi pemikirannya.
Obyek materi dan
immateri dalam sains memiliki arti tersendiri bagi Harun Yahya. Interpretasinya
tentang sebagian esensi materi yang sebenarnya adalah suatu zat, zat adalah
ruh. Alam semesta dan tubuh yang ada, tidak memiliki realitas material.
Keberadaan zat yang nyata pada dasarnya merupakan ruh, sehingga materi hanya
terdiri atas persepsi-persepsi yang dibuat oleh ruh.[88]
Sejak awal, agama telah
mengajarkan kebenaran penciptaan, yang dapat dipahami semua orang melalui
penggunaan akal dan pengamatan pribadi. Semua agama samawi telah mengajarkan
bahwa Allah menciptakan alam semesta dengan berfirman "Jadilah!", dan
bahwa bekerjanya alam semesta secara sempurna tanpa cela merupakan bukti daya
cipta-Nya yang agung. Banyak ayat Al Qur'an juga mengungkapkan kebenaran
tematis dan merupakan penegas pandangan Harun Yahya tentang konsep penciptaan
tiba-tiba atau ada dari tiada.[89]
Misalnya, Allah mengungkapkan bagaimana Dia secara ajaib menciptakan alam
semesta dari ketiadaan:
بَادِيْعُ السَّمواتِ وَاْلأَرْضِ قلى وَإِذَا قَضَى
اَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُوْلُ لَه كُنْ فَيَكُوْنُ. (البقرة : 117)
"Allah Pencipta langit dan bumi, dan
bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya
mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia". (QS. Al-
Baqarah, 2: 117)[90]
.
وَهُوَ
الَّذِى خَلَقَ السَّمواتِ وَاْلأَرْضَ بِالْحَقِّقلى وَيَوْمَ
يَقُوْلُ كُنْ فَيَكُوْنُ ج قَوْلُه الْحَقُّ وَلَهُ اْلمُلْكُ يَوْمَ
يُنْفَخُ فِى الصُّورِقلىعَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِقلى
وَهُوَالْحَكِيْمُ الْخَبِيْرُ (الانعام : 73)
"Dan Dialah yang menciptakan langit
dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan:
"Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di
waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah
yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-An'a>m, 6:
73)[91]
Allah menciptakan alam
semesta menurut kehendak-Nya sehingga dengan firman-Nya “Jadilah”, maka apa pun
yang dikehendaki-Nya pasti terjadi. Konsep “Jadilah” sebagaimana dalam firman
Allah di atas menurut Harun Yahya adalah suatu keajaiban yang tidak bisa
ditafsirkan dalam bentuk penjelasan yang lain. Apabila ada penjelasan lain
untuk keajaiban “Jadilah” berarti telah terjadi penyangkalan diri dan
pelanggaran atas prinsip-prinsip akal sehat.[92]
Penafsiran harfiah atas
konsep “Jadilah” menurut pendapat kreasionis adalah konsep yang mendukung
kreasionisme yang berarti sebagai penciptaan secara tiba-tiba. Berbeda dengan
pandangan tersebut beberapa pendapat lain seperti Achmad Baiquni menjelaskan
bahwa konsep “Jadilah” mengandung pengertian sesuatu sedang terjadi dan akan
terjadi melalui suatu proses yang mengikuti sunatullah yang telah ditetapkan
oleh Allah. Prosesnya merupakan evolusi, misalnya pada tahapan embriogenesis
dari nutfah sampai menjadi bayi yang berlangsung melalui perkembangan
dalam waktu sekitar sembilan bulan.[93]
Menurut Wahyudi,
istilah kun fa yaku>n terkadang
disalah tafsirkan dalam penafsiran bim-salabimnya tukang sulap,
sehingga saat sains menjelaskan sesuatu proses secara ilmiah tentang fenomena
kehidupan maka sains tersebut dipandang menggantikan posisi Tuhan dalam hal
penciptaan.[94] Sains menjadikan alam sebagai obyek kajian,
gejala alam yang disajikan oleh sains merupakan sunatullah sehingga seharusnya
tidak menimbulkan kekeliruan pemikiran. Sebagai contoh proses terbentuknya
sebuah buku yang tidak mungkin terbentuk tanpa proses dan zat (bahan) yang
diperlukan untuk membuat buku, yaitu zat material berupa kertas. Kertas juga
tidak mungkin terbentuk begitu saja tanpa proses. Secara analogi dan penalaran
yang rasional, Allah memang tidak mungkin disetarakan atau disekutukan dengan
yang lainnya karena manusia dan segala
materi hanyalah ciptaan-Nya. Pemahaman atas sunatullah dan pola pemikiran yang
luas tentang sains dan agama tentu akan memberikan penjelasan bahwa sebenarnya
tidak perlu lagi ada sekularisme maupun materialisme sains. Dalam informasi
sains juga tidak ada sedikit pun yang bertujuan untuk menggugat dan menafikan
keberadaan Allah sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari hasil-hasil
riset sains.[95]
Perbedaan mendasar
antara agama dan paham ateisme, yaitu jika agama mempercayai Allah, sedangkan
ateis mempercayai materialisme. Benar jika dikatakan bahwa evolusi makhluk
hidup adalah kajian yang bersifat materialistik. Hal penting yang perlu
ditanyakan di sini adalah apakah semua kajian materialistik adalah mesti ateis?
Sebagian ciri ateis di atas sebenarnya lebih tepat jika diposisikan pada mereka
kaum yang memiliki pandangan materialisme dialektis sebagai prinsip ajaran
komunisme. Kaum ateis beranggapan bahwa manusia adalah makhluk biologis atau
binatang cerdas yang berakal, jiwa, dan punya perut. Bagi mereka akal dan jiwa
lebih bergantung pada materi (wujud). Kebergantungan mereka pada hal-hal
wujudiyah telah menjadikan mereka tidak sekedar mengingkari kekalnya nonragawi,
bahkan secara jelas mereka menolak kepercayaan pada agama serta eksistensi
Tuhan yang immaterial dan yang telah ada sebelum materi.[96]
Dalam konteks sains yang menghubungkan realita agama, seharusnya
memandang evolusi makhluk hidup bukan dalam konteks ilmu yang bertujuan
pengingkaran pada Allah tetapi justru untuk memahami sunatullah atas segala
proses ciptaan menurut kehendak-Nya. Sudah sepantasnya jika kajian
tentang penciptaan makhluk hidup maupun kehidupan secara umum penting untuk
menjadi bahan kajian keilmuan. Islam sendiri menekankan pada manusia untuk
mengeksplorasi keilmuan, baik bersifat teoritis maupun praktis. Kajian tentang
asal-usul kehidupan, maupun gejala alam yang lain, adalah kajian ilmu-ilmu
kauniyah yang termasuk sunatullah. Kajian ini juga merupakan sebagian dari
upaya untuk mempelajari ilmu-ilmu Allah. Bagi tiap muslim, menuntut ilmu adalah
sangat dianjurkan, termasuk di dalamnya yaitu memahami dan mengkaji ilmu-ilmu
tentang kehidupan. Sebagaimana wahyu Allah yang pertama kali diturunkan pada
Nabi Muhammad SAW, yaitu Surat Al-‘Alaq (1-5). Dalam isi surat yang pertama
kali turun ialah Iqra’ yang berarti Bacalah. Realisasi perintah Allah
tersebut berlaku untuk seluruh umat manusia dan merupakan kunci pembuka jalan
kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.[97]
Secara kontekstual berarti Allah menekankan pada seluruh umat manusia untuk
membaca, meneliti sesuatu, mengkaji sains dan sebagainya.[98]
Membaca dalam konteks yang universal dapat berarti sebagai perintah untuk
membaca ilmu-ilmu Allah termasuk membaca gejala-gejala alam serta proses
penciptaan makhluk hidup. Mengkaji ilmu
kauniyah tentunya menjadi hal penting bagi manusia berakal sebagai bagian dari
membaca keagungan ciptaan-Nya.
Kekuasaan Allah SWT dalam penciptaan alam seharusnya
menjadikan manusia mau memperhatikan bahwa kehidupan ini memiliki makna dan
tujuan. Manusia sudah diberi potensi untuk menemukan rahasia alam dan
kehidupannya, yaitu dengan jalan memperhatikan dan memikirkan penciptaan pada
dirinya dan segala hal yang ada disekitarnya. Asal-usul kehidupan di alam
semesta ini juga merupakan buku besar untuk dibaca, dipahami dan dikaji. Pada dasarnya urusan keyakinan pada Allah akan termanifestasi dari
sikap masing-masing individu. Untuk satu hal ini, Allah pun telah memberi
isyarat berupa pilihan pertanyaan yang tentunya harus mereka jawab atas dasar
iman masing-masing individu, dalam firman-Nya, sebagai berikut;
اَمْ خُلِقُوْا مِنْ
غَيْرِ شَيْئٍ اَمْ هُمُ اْلخَالِقُوْنَ (الطور : 35)
"Apakah mereka diciptakan tanpa
sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? “(QS. Al-T}u>r, 52: 35)[99]
Sejak zaman bermula,
mereka yang mengingkari bahwa mereka telah diciptakan oleh Allah senantiasa
menyatakan bahwa manusia dan alam semesta tidaklah diciptakan, dan selalu
berusaha membenarkan pernyataan tidak masuk akal itu. Menurut Harun Yahya,
dukungan yang terbesar bagi mereka tiba di abad ke-19, berkat teori Darwin . Pemikiran inilah
yang keliru dan menyalahi agama. Harun Yahya menyarankan agar manusia harus
yakin dengan penciptaan sebagai bukti nyata Kemahakuasaan Allah.[100]
Manusia memang memiliki
kebebasan dalam berpikir dan bisa percaya apa pun yang ingin dipercayainya.
Akan tetapi tidak ada jalan tengah bagi teori yang mengingkari Allah dan
ciptaan-Nya, sebab hal itu berarti tawar-menawar dalam unsur dasar agama.
Tentunya perilaku yang mengingkari-Nya sama sekali tidak bisa diterima menurut
agama.
Jika kreasonisme Harun
Yahya adalah bentuk kekhawatiran terhadap pengingkaran adanya Allah dan upaya
dakwah Islam, maka gagasan tersebut patut mendapat respon positif bagi para
pembacanya. Walaupun pada dasarnya menyadarkan kaum yang telah ingkar pada
Allah atau sama sekali tidak mempercayai-Nya (ateis) untuk sadar dan beriman
pada Allah adalah bukan hal yang mudah. Selain dengan alasan hak asasi mereka
masing-masing dalam urusan agama, mereka juga telah kuat dengan keyakinannya
tersendiri. Menurut Albert Camus dikutip dalam Huston Smith mengatakan bahwa
kaum ateis memiliki keyakinan yang kuat pada hal-hal yang non-religius dan
untuk mendukung ateisnya mereka berusaha hidup jujur, tidak berbohong, tidak
beragama, bahkan mereka juga mengatakan bahwa beragama sama halnya dengan hidup
dalam kebohongan serta menganggap reputasi yang jelek tentang agama.[101]
Berlandaskan pada pola pikir ateis yang demikian itulah maka pantas jika Harun
Yahya sangat gencar mendakwahkan tentang kebenaran Al-Qur'an dan agama.
Implikasi pandangan
Harun Yahya tentang evolusi makhluk hidup dalam bidang kependidikan,
hubungannya dengan sains dan agama di atas adalah suatu realita yang dapat
dipahami dalam konteks keilmuan. Versi teologi Islam-lah yang menjadi
spesifikasi pendekatan sains teistik kreasionismenya untuk meruntuhkan teori
evolusi.
Penjelasan tersebut
diperkuat juga dengan ucapan Teuku Jacob yang menyatakan bahwa kreasionisme
Harun Yahya sebenarnya merupakan pemunculan kembali dari kreasionisme yang
pernah ramai di California yang datang dari kalangan Kristen penentang teori
evolusi Darwin.[102]
Kesamaan-kesamaan tersebut terlihat dari penjelasan kreasionisme Harun Yahya
yang dipaparkannya tidak memberi rincian dan keterangan alternatif apa pun
tentang bukti-bukti evolusi menurut kreasionisme. Terlebih lagi tidak memberi
penjelasan bukti yang ada menurut eksplanasi kreasionisme sebagai teori ilmiah.
Banyak terdapat kontradiksi dan inkoherensi dalam uraiannya sehingga lebih
tepat jika disebut sebagai kampanye anti evolusi.
Merespon ateisme suatu
teori evolusi menurut Harun Yahya, Jacob menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada
korelasi antara ateisme dan areligiusitas dan ilmu. "Orang dapat saja
beragama sekaligus berilmu, dapat juga orang tidak beragama (ateis) dan tidak
berilmu serta tidak percaya pada ilmu pengetahuan. Sehingga, ada kemungkinan
bagi mereka yang beriman (beragama) menggunakan sistem eksplanasi untuk menjelaskan
kehidupan secara alamiah.[103]
Pada kenyataanya Harun Yahya secara tegas mengajukan fakta penciptaan untuk
melawan teori evolusi. Bagaimana sebagai muslim mensikapi ketidak-harmonisan
antara evolusi dengan agama tersebut?
Menurut Ian G. Barbour,
dalam Juru Bicara Tuhan menyatakan bahwa dalam merespon pola hubungan
evolusi dan agama terdapat empat pandangan yaitu; konflik, independensi, dialog
dan integrasi. Adapun posisi Barbour sendiri dalam menyikapi empat pandangan
tersebut, ia menyatakan "bersimpati kepada dialog dan integrasi".[104]
Berikut ini adalah uraian dari keempat tipologi Barbour:
1.
Konflik; para penafsir harfiah kitab suci percaya bahwa teori evolusi
bertentangan dengan keyakinan agama.
2.
Independensi; pandangan altenatif menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua
domain independen yang dapat hidup bersama sepanjang mempertahankan "jarak
aman satu sama lain".
3.
Dialog; salah satu bentuk dialog adalah membandingkan metode kedua
bidang ini yang dapat menunjukkan kemiripan dan perbedaan.
4.
Integrasi; kemitraan yang lebih sistematis dan eksplisit antara sains dan
agama terjadi di kalangan yang mencari titik temu di antara keduanya.[105]
Dari uraian tipologi di
atas, dapat dicermati tipologi mana yang memiliki alternatif yang lebih sesuai
dengan kajian ilmiah tema ini dan semestinya tidak perlu ada konflik antara
sains dan agama. Meskipun dalam medan empirik tidak terlepas dari wacana sains
yang memungkinkan terjadinya konflik serta tidak menutup kemungkinan untuk didialogkan
maupun diintegrasikan.
Pentingnya kajian sains
dan agama ini juga dipertegas dengan
kata-kata Albert Einstein yang sangat terkenal yaitu science without
religion is lame, religion without science is blind.[106]
Dalam mengkaji keduanya harus secara proporsional untuk menemukan kebenarannya,
meskipun kebenaran sains sendiri bersifat relatif. Berbeda dengan agama atau
wahyu Ilahi yang dogmatis dan transendental. Mengapa demikian? Pada dasarnya
ilmu dan Islam seharusnya bukan lagi menjadi sebuah dikotomi yang
memisah-misahkan keduanya, apalagi menimbulkan kontradiksi. Islam dan Al-Qur’an
adalah suatu petunjuk dalam mengeksplorasi ilmu. Fazlur Rahman menegaskan
pentingnya pengetahuan bagi manusia hingga sama pentingnya dengan wujud itu
sendiri yaitu sebagai manusia. Jika manusia hanya mempunyai wujud tanpa ilmu
dan agama, maka ia hanya sedikit bahkan tidak berarti dalam kehidupannya[107]
Manusia sebagai makhluk
berakal tentu sadar dengan keberadaannya sebagai makhluk hidup beserta
kemajemukan yang ada di sekitarnya sebagai satu kesatuan penting untuk
direnungkan. Setidaknya hal ini merupakan salah satu ibadah di samping ibadah
yang lain. Manusia seharusnya menyadari bahwa semua itu tidak akan dapat
berdiri dengan sendirinya. Ini berarti bahwa segala hal yang ada di sekitarnya
itu terbatas, demikian pula pada dirinya sendiri. Kesadaran akan dirinya dan
segala hal disekitarnya ini akan membawanya kepada kesadaran lain akan adanya
yang tak terbatas,[108]
dan di sinilah implikasi kajian sains akan terlihat sebagai hal yang memandang
keagungan karya Ilahi melalui proses yang dikehendaki-Nya.
Secara kasat mata
dengan keterbatasan pemikiran manusia, proses terbentuknya alam semesta maupun
keanekaragaman makhluk hidup sulit dimengerti dengan pemahaman ilmiah otak
manusia saja. Sebab, fenomena alam ini walaupun secara terpisah-pisah menunjuk
kepada keteraturan kerja alam semesta, keluasan alam, kerumitan
bagian-bagiannya, kecanggihan susunannya, dengan segala kemungkinan
perkembangan yang ada di dalamnya merupakan bukti atau tanda-tanda bagi adanya
sang pencipta yang mengaturnya.[109]
Segala benda baik di bumi maupun di langit, dapat bergerak dalam keteraturan
dan bagi kita ini adalah baru salah satu dari kerumitan karya-karya-Nya.
Ciptaan yang sedemikian mengagumkan ini selayaknya menyadarkan akan kekuatan,
kemahacanggihan, dan kesempurnaan Tuhan yang ada di balik semua itu. Sebagai
muslim yang yakin dan iman akan keberadaan Allah SWT sebagai Sang Pencipta,
maka sudah sepantasnyalah untuk mengimani-Nya.
Sesungguhnya upaya
mengkaitkan antara teori buatan manusia (kreasionisme dan teori evolusi) dengan
agama adalah hal yang dapat membahayakan pola pikir manusia yang berpikiran
sempit. Agama dan Kitab Sucinya adalah kebenaran mutlak yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Apabila terjadi interpretasi atau penafsiran yang keliru
terhadap Kitab Suci maka justru akan menyalahi kebenaran Kitab Suci itu
sendiri. Teori sains dan Kitab Suci maupun ilmuwan dengan agamawan, seharusnya
menjadi bagian yang saling melengkapi. Begitu juga dengan teori evolusi,
kreasionisme dan agama. Kreasionisme dan evolusi tidak pernah mampu memberikan
kebenaran bukti ilmiah dalam hal eksperimentasi yang detail dan dapat diulangi
dengan seksama. Kedua teori yang menjelaskan tentang asal-usul kehidupan
tersebut hasil dari pikiran manusia yang memprediksi sesuatu yang telah ada
jauh sebelum manusia itu sendiri dilahirkan. Waktu Allah menciptakan alam semesta dan kehidupannya, manusia sebagai
pencetus teori evolusi maupun kreasionisme belum ada, yang ada dan yang paling
awal ada dari semua itu hanya Allah.[110]
Manusia harus meyakini
bahwa pada waktu-waktu tertentu bukti ilmiah dari kreasionisme maupun teori
evolusi tidak selamanya menjadi pembawa kebenaran absolut, karena semua itu
bersifat nisbi. Akal yang dipergunakan sebagai sarana untuk mencapai keputusan
akhir tersebut masih dapat terkontaminasi oleh lingkungan dimana pemikir itu
tinggal, waktu dimana ia hidup, kecakapan diri dan faktor-faktor lainnya.[111]
Keyakinan ini seharusnya bukan semata-mata taqlid buta
tanpa menggunakan anugerah akal pikiran untuk menelusuri ciptaan-Nya dalam
tinjauan sains. Sebab, manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi telah
dikaruniai kemampuan yang sangat istimewa yaitu kekuatan dan kemampuan akal
pikiran. Optimalisasi pemanfaatan akal pikiran pada manusia memang akan
memunculkan kecenderungan untuk terus mencari tahu, menelusuri dan mengkaji
fenomena kehidupan yang ada di sekitarnya selama ia masih diberi kesempatan
hidup dan kemampuan beraktifitas di alam nyata ini.
[1] Harun
Yahya, Menyibak Tabir Evolusi, terj: Efendi dkk, (Jakarta , Global Cipta Publishing, 2002), hlm.
10.
[2] Arahman Ma’mun, “Harun Yahya: Berdakwah Melawan Temuan
Ilmiah”, dalam http://www. Panjimas.com/mei/induk. htm, akses 23 Januari 2004.
[3] Charles Darwin, The Origin of Spesies, terj: Tim
Pusat Penerjemah Universitas Nasional, (Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia ,
2000), hlm. 51-54.
[4] Arahman Ma’mun, “Harun Yahya: Berdakwah Melawan Temuan
Ilmiah”, lihat http://www. Panjimas.com/mei/induk. htm, akses 23 Januari 2004.
[5] Ibid.
[7] Ibid,
hlm. 391.
[8] Ibid,
hlm. 239.
[9]
Harun Yahya, Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, terj: Aryani,
(Surabaya :
Risalah Gusti, 2003), hlm. 182-183.
[10] Harun Yahya, Keruntuhan Teori Evolusi, terj; Catur
Sriherwanto, (Bandung :
Dzikra, 2001), hlm. 25.
[11] Ibid., hlm. 21-25.
[12] Jurij Injakin/Swestija, “Neraka Radioaktif Chernobil Belum
Pudar”, lihat Majalah Intisari, edisi April 1991.
[13] Harun Yahya, Keruntuhan, hlm. 26.
[14] Ibid., hlm. 22-28.
[15] Ibid., hlm. 30.
[16] Ibid., hlm. 38.
[17] Ibid., hlm.
141-142.
[18] Ibid., hlm. 147-152.
[19] Ibid., hlm. 30.
[20] Ibid., hlm. 33.
[21] Ibid., hlm. 39.
[22] Harun Yahya, Menyibak Teori Evolusi, terj; Effendi
dkk., (Jakarta :
Global Cipta Publishing, 2002), hlm. 32-42.
[23] Harun Yahya, Keruntuhan, hlm. 60-62.
[24] Ibid., hlm. 68.
[25] Ibid.
[26] Ibid., hlm. 72-74.
[27] Ibid., hlm. 76.
[28] Ibid., hlm. 76-82.
[29] Ibid., hlm. 88.
[30] Ibid.,hlm. 33-35.
[31] Ibid., hlm. 33.
[32] Andya
Primanda, “Mempertimbangkan Teori Harun Yahya”, lihat http://redrival.com/evolusi/teori-hy.pdf, akses 5 Maret 2004.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan
Agama, terj: ER. Muhammad, (Bandung :
Mizan, 2002), hlm. 196.
[36] Harun Yahya, “Mengapa Sebagian Muslim Mendukung Teori
Evolusi?”, lihat http://www.harunyahya.com/indo/buku/darwinisme01.htm, akses 5 maret 2004.
[37] Harun Yahya, Keruntuhan,
hlm. 7.
[38] Rouquier,
S., A. Blancher & D. Giorgi. 2000. The Olfactory Receptor Gene
Repertoire in Primates and Mouse: Evidence for Reduction of the Functional
Fraction in Primates. PNAS 97 (6): 2870-2874., dalam Andya Primanda,
“Mempertimbangkan Teori Harun Yahya,” lihat http://redrival.com/evolusi/teori-hy.pdf, akses 5 Maret 2004.
[39]Andya Primanda, “Mempertimbangkan Teori
Harun Yahya,” lihat http://redrival.com/evolusi/teori-hy.pdf,
akses 5 Maret 2004.
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Tabel Sejarah Bumi dan
Kehidupan lihat Stephen C Stearns, Evolution: an introduction, (New York : Oxford
University Press, 2000), hlm. 255-256.
[43] Harun Yahya, Keruntuhan, hlm. 33.
[44] Tabel Sejarah Bumi dan
Kehidupan dalam Stephen C Stearns, Evolution, hlm. 255-256.
[45] Ibid., hlm.
146-147.
[46] John Alcock et. al., Biology Concepts and Aplications,
(California: Wadsword Inc, 1990), hlm. 174.
[47] Robert A Wallace, Biology: The Science of Life,
(USA: Harpes Collius College Publisher, 1996), hlm. 362.
[48] M Abercrombie et al., Kamus Biologi, (Jakarta,
Erlangga, 1997), hlm. 499.
[49] Harun Yahya, Keruntuhan, hlm. 142.
[50] Mark Ridley, Masalah-masalah Evolusi, terj; Ahmad
Fedyani S, (Jakarta: UI Press, 1991), hlm. 4.
[51] Ibid., hlm. 5.
[52] BBC Online, “Evolusi Mamalia Mulai Terkuak,” lihat Surat
Kabar Harian Republika, edisi Ahad, 4 April 2004 , hlm. 5.
[53] Ibid.
[54] T. Jacob, “Evolusi
adalah Cara Tuhan Bekerja,” Relief Journal of Religious Issues; Agama dan
Sains, Vol. I: 01, 2003, hlm.
119.
[55] Harun Yahya, Keruntuhan, hlm. 1-6.
[56] T. Jacob, “Evolusi”, hlm. 119.
[57] Harun Yahya, Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20
Pertanyaan, terj: Aryani, (Surabaya :
Risalah Gusti, 2003), hlm. 11.
[59] Seyyed Hussein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam,
terj: Ali Nur Zaman, (Yogyakarta : IRCiSoD,
2003), hlm. 151-152.
[60] Maurice Bucaille, Asal-usul Manusia Menurut Bibel
Al-Qur’an Sains, terj: Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1994), hlm.
239-240.
[61] Winkie Pratney, “Penciptaan atau Evolusi”, lihat http://www.propheticresources.web.id/YPPM-Homepage/Pondasi/Guiding Light/Artikel/Winkie-Pratney/Penciptaan atau
Evolusi%201.htm, akses 30 januari 2004.
[62] Raven and Johnson.,
Understanding Biology, (USA: Times Mirror/ Mosby College Publishing,
1988), hlm. 28.
[63] Harun Yahya, “Mengapa Sebagian Muslim Mendukung Teori
Evolusi?”, lihat http://www.harunyahya.com/indo/buku/darwinisme01.htm, akses 5 maret 2004.
[64] Etty Indriati, “Waktu dan Evolusi”, dalam artikel yang
dipresentasikan dalam Workshop Ilmu dan Agama, Center for Religious and
Cross-Cultural Studies, Gadjah Mada University Post-Graduate Program,
Yogyakarta, 25-27 Juni 2003, hlm. 85.
[66] Andya Primanda, Mempertimbangkan Teori Harun Yahya,
http:// redrival.com/evolusi/teori-hy.pdf, akses, 5 maret 2004.
[67] Departemen Agama RI, Kurikulum Madrasah Aliyah;
Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Mata Pelajaran Biologi, (DirJen
Pembinaan Kelembagaan Islam, 1995).
[68] Huston Smith, Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains,
terj: Ary Budiyanto, (Bandung :
Mizan, 2003), hlm. 167.
[69] Taufikurahman, Mengapa Ada Penolakan Terhadap Teori Evolusi ?
(Tanggapan untuk Wildan Yatim), http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/08/opini/300328.htm, akses 5 maret 2004.
[70] Ibid.
[71] Stanley Sethiadi, Kreasi dan Evolusi, http://www.geocities.com/reformed
movement/artikel/kreasevol.html, akses 23
Januari 2004.
[72] Harun Yahya, “Terobosan Baru: Sekolah-sekolah di Georgia
(AS) Diizinkan Mengajarkan Penciptaan”, http://www.harunyahya.com/indo/berita/b004.htm, akses 30 Januari 2004.
[73] Harun Yahya, “Di Negara Ohio AS; Kritikan Terhadap Evolusi
Masuk Dalam Kurikulum Sekolah”, http://www.harunyahya.com/indo/berita/b006,htm., akses 30 Januari
2004.
[74] Huston Smith, Ajal Agama, hlm. 167-168.
[75] Harun Yahya, “Mengapa Sebagian Muslim Mendukung Teori
Evolusi?”, lihat http://www.harunyahya.com/indo/buku/darwinisme01.htm, akses 5 maret 2004.
[76] Adriano Buzzati T, The Scientific Enterprise; Today and
Tomorrow, lihat The Liang Gie, Pendekatan Sains Bagi Pembangunan
Nasional Indonesia, (Jakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1992), hlm.
36.
[77] Michael Martin, Concept of Science Education;
Philosophical Analisys, lihat The Liang Gie, Pendekatan Sains Bagi
Pembangunan Nasional Indonesia, (Jakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi,
1992), hlm. 37-39.
[78] C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam,
terj; Hasan Basri, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hlm. 112.
[79] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, hlm. 40.
[80] Deisme adalah suatu paham bahwa Tuhan tidak mungkin
imanen dalam ciptaan-Nya, tetapi sama sekali berbeda dari-Nya. Tuhan itu
transendensi dari ciptaan-Nya, misalnya seorang pembuat jam yang telah dibuat
dan digerakkannya serta mengandung pengertian bahwa akal selaras dengan wahyu.
(wahyu harus sesuai dengan akal)., lihat Tim Penulis Rosda dan Jalaluddin
Rakhmat (pengantar), Kamus Filsafat, (Bandung: P. T. Remaja Rosda Karya,
1995), hlm. 75.
[81] Zainal Abidin Bagir, “Pluralisme Pemaknaan dalam Sains dan
Agama; Beberapa Catatan Perkembangan
Mutakhir Wacana Sains dan Agama,” lihat Relief Journal of
ReligiousIssues: Agama dan Sains, Vol.
I:01, 2003, hlm. 11-12.
[82] Ibid., hlm. 15-16.
[84] Abullah Afif, Islam
dalam Kajian Sains Sebuah Bunga Rampai, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), hlm.
31.
[85] Abdul Shabur
Syahir, Adam Bukan Manusia Pertama? (Mitos atau Realita), terj:
Yessi HM Bayaruddin, (Jakarta :
Republika, 2004), hlm. ii.
[86] Mulyadi Kartanegara, “Ketika Sains Bertemu Dengan Filsafat
dan Agama,” lihat Relief Journal of Religious Issues; Agama dan Sains, vol.
I:01, 2003, hlm. 68.
[87] Wahyudi, Islamologi Terapan, (Surabaya: Gita Media
Pers, 1997), hlm. 68.
[88] Harun Yahya, Ketiadaan Waktu dan Realitas Takdir,
terj: Aminah Mustari, (Jakarta :
Robbani Pers, 2003), hlm. 60-61.
[89] Harun Yahya, Mengenal Allah Lewat Akal, terj: M.
Shaddiq, (Jakarta :
Robbani Pers, 2003), hlm. 9.
[90] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahnya,
(Semarang: C. V. Al-WAAH, 1993), hlm. 31.
[91] Ibid., hlm. 198.
[92] HarunYahya, Keruntuhan, hlm. 170.
[93] Achmad Baiquni, Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), hlm. 106-108.
[94] Wahyudi, Islamologi, hlm. 71-72.
[95] Ibid., hlm. 73.
[96] M. Quarish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan, 2002),
hlm. 239.
[97] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,
(Bandung: Mizan, 1994), hlm. 167.
[98]
Abdullah Afif, Islam dalam Kajian Sain Sebuah Bunga Rampai, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1994), hlm. 11.
[99] Departemen Agama RI, Al Qur'an, hlm. 868.
[100] HarunYahya, Bagaimana Seorang Muslim Berpikir,
terj; Catur sriherwanto, (Jakarta :
Robbani Pers, 2003), hlm. 19.
[101] Huston Smith, Ajal Agama, hlm. 307-308.
[102] Arahman Ma'mun, Harun Yahya: Berdakwah Melawan Temuan
Ilmiah, http://www.panjimas,com./mei/Induk.htm, akses 23 Januari 2004.
[103] Ibid.
[104] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, hlm. 25.
[105] Ibid., hlm. 40-42.
[106] Albert Eisntein, dikutip dari Abdullah Afif, Islam
dalam Kajian Sain Sebuah Bunga Rampai, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), hlm 39.
[107] Fazlur Rahman, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Suatu
Tanggapan,” terj: Muhammad Soelhi, Junal Al-Hikmah, lihat Ahmad Baidowi,
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Respon terhadap Gagasan Ismail Al-Faruqi,” Refleksi,
vol. 2. no. 2, juli 2002, hlm. 181.
[108] Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis
Terhadap Konsepsi Al-Qur'an, (Yogyakarta: INHIS dan Pustaka Pelajar,
1996), hlm. 50.
[109] Ibid., hlm. 55.
[110] Stanley Sethiadi, "Al-Kitab dan Ilmu
Pengetahuan", http://www.sahabat surgawi.net/alkitab ip kembali.html.,
akses 23 Januari 2004.
[111] Abdul Shabur
Syahir, Adam Bukan Manusia Pertama?, hlm. 42.
0 Response to "Makalah Pandangan Harun Yahya Tentang Teori Evolusi Darwin"
Post a Comment