Mengenal Biografi dan Pemikiran Asghar Ali Engineer
Biografi dan Pemikiran Asghar Ali Engineer | Biografi dan Aktifitas Keilmuan Asghar Ali Engineer |Karya-Karya Asghar Ali Engineer | Pemikiran Asghar Ali Engineer tentang Kedudukan Perempuan dalam Islam
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ASGHAR ALI
ENGINEER
A. Biografi dan
Aktifitas Keilmuan Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer, direktur institute of Islamic
studies, Bombay, India, adalah seorang pemikir dan teolog Islam dengan reputasi
internasional. Dia sudah menulis banyak buku, paper penelitian dan artikel
tentang teologi, yurisprudensi, sejarah dan filasafat Islam serta memberi
kuliah di berbagai negara. Asghar telah banyak berpartisipasi dalam beberapa
gerakan-gerakan demi keharmonisan komunal dan pembaharuan di komunitas Bohra.[1]
Engineer dilahirkan di Rajasthan, dekat Udaipur, pada
tahun 1939 dalam sebuah keluarga yang berafiliasi ke Shi’ah Isma’ili. Ayahnya,
Sheikh Qurban Husain adalah seorang ‘alim yang mengabdi kepada pemimpin agama
Bohra. Ia dikenal sebagai
orang yang cukup liberal, terbuka dan sabar. Sikap open minded seperti
ini menjadikannya kerapkali terlibat diskusi dan berbagi pengalaman keagamaan
dengan seorang Hindu Brahma. Dalam lingkungan sosial-keagamaan seperti itulah
Engineer dibesarkan.[2]
Sejak
kecil Asghar dididik oleh ayahnya sendiri yang juga seorang ulama’ terkemuka di
bidang tafsir, hadis, usul fiqh dan bahasa Arab. Ia sangat tertarik pada
pelajaran-pelajaran tersebut dan berusaha mempelajarinya sehingga dengan
belajar ilmu itu dia menjadi ahli dalam bidang teologi, usul fiqh dan hadis. Di
samping itu, dia menguasai berbagai macam bahasa seperti bahasa Hindi, Inggris,
Urdu, Arab, Persi, Gujarat dan Marati. Dia juga mempelajari fiqih perbandingan
yang meliputi empat mazhab, mazhab sunni dan juga mazhab Syi’ah Isna ‘Asy’ariah
serta mazhab Syi’ah Ismaili. Dia sangat membela hak-hak perempuan.
Di
samping itu, dia juga tertarik dengan studi-studi modern, ia belajar di
perguruan tinggi dan lulus di tehnik sipil. Akan tetapi ia tidak dapat
mengembangkan banyak kepentingan dalam profesi ini, lalu ia meninggalkannya
untuk mengabdikan dirinya pada penelitian studi-studi Islam pada tahun 1980.
Asghar mendirikan sebuah institut yang memfokuskan pada dua bidang yaitu
kerukunan antar umat beragama dan studi perempuan-perempuan dalam perspektif
Islam. Asghar juga melakukan penelitian dan publikasi serta menerbikan paper
setiap bulannya juga sebagai editor jurnal “the Islamic perspective” yang
diterbitkan oleh institut yang didirikannya, namun karena kendala kerugian maka
institut ini telah ditutup.
Berkaitan
dengan konsep-konsep pemikirannya, telah banyak tulisan-tulisan yang
dipublikasikan. Asghar sendiri telah menerbitkan tiga puluh tujuh buku tentang
Islam, problem komunal dan etnis di India serta Asia Selatan. Ia juga
menerbitkan sejumlah artikel penelitian tentang persoalan masa kini di
harian-harian nasional terkemuka di India, seperti Times of India, Indian
Express dan The Hindu Daily Telegraph, Asghar juga bertindak sebagai editor
jurnal triwulan yang di terbitkan oleh “pusat studi masyarakat dan sekularisme
dalam menghadapi India sekuler”, dia memberi kuliah pada sejumlah universitas
di berbagai negara seperti: USA, Kanada, U.K, Switzerland, Thailand, Mesir,
Hongkong dan lain-lain. Dia juga mendapat gelar Dr. Lit (Doctor Of Literature)
kehormatan oleh universitas Calcutta tahun 1993 atas jasa publikasi dan
karyanya di bidang kerukunan komunal dan pemahaman antar agama. Jabatan
yang pernah dipegang adalah ”wakil Presiden” pada Vikas Adhayayan Kendra
(centre of development studies/pusat studi pembangunan). “ketua” EKTA (Comette
For Comumunal Harmony Secularism), “mantan anggota eksekutif Council of
Jawaherhlal Nehru University (dewan eksekutif universitas Jawaherhlal Nehru),
Delhi, ”Sekretaris Jendral Central Board of Dawoodi Bohra Community (dewan pusat
komunitas Dawoodi Bohra) dan”convenor” pada Asean Moslem’s Action Network
(AMAN) atau Jaringan Aksi Muslim Asia, Asghar Ali Engineer bukan hanya pemikir
tapi juga aktifis, kebetulan ia merupakan pemimpin salah satu kelompok Syi’ah
Isma’iliyah, Daudi Bohras. (Guzare Daudi) yang berpusat di Bombay, melalui
wewenang keagamaan yang ia miliki.[3] Asghar
berusaha menerapkan gagasan-gagasannya. Untuk itu, ia harus menghadapi reaksi
generasi tua yang cenderung bersikap konservatif mempertahankan kemapanan.
Selaku pemikir teologi pembebasan yang terkemuka dalam
dunia Islam, ia tidak hanya memberikan kerangka teoretika, dalam menyegarkan
pemikiran keagamaan umat Islam, akan tetapi juga memberikan landasan teologis
bagi para aktifis yang berjuang untuk liberalisasi dan humanisasi pembebasan
dan pemanusiaan.
Corak pemikiran Asghar sangat dipengaruhi oleh
pemikiran gurunya Maulana Abul Kalam Azad, seorang ulama’ dan pemimpin
pembaharu Islam di India dengan sumbangan pemikirannya yang besar berupa kitab
tafsir tarjuman al-Qur’an.[4] Maulana
Azad tidak seperti orang lain, menempatkan kesetaraan agama sebagai tema utama
dalam kitabnya jilid I dengan pembahasan
yang sangat maksimal. Hal ini merupakan cara yang kreatif untuk merespon
kondisi yang terjadi di India pada saat itu. Salah satu teologi yang teramat
penting pada masa sekarang ini, Azad menjadi seorang ulama’ yang mumpuni dalam
masalah kesetaraan jenis kelamin dan dia tidak menemukan kesulitan dalam
mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang menyerukan kesetaraan laki-laki dan perempuan
di mana para teolog pendahulunya telah mengabaikan dan menafsirkan ayat-ayat
secara sangat berbeda.[5]
Asghar Ali sebagaimana gurunya hidup di antara
masyarakat yang mendesak adanya perubahan dalam hukum personal Islam
sebagaimana yang berlaku di India. Mereka yang menginginkan perubahan dalam hukum
personal Islam ini beranggapan bahwa
secara keseluruhan hukum Islam yang berkaitan dengan perempuan cenderung
sangat progresif. Seringkali
sikap kaku umat Islam terhadap hukum personal menyebabkan munculnya ketegangan
komunal.
Banyak
Muslim terkemuka dari anak benua ini, seperti Syed Amir Ali, Maulavi Chiragh
Ali, Sir Syed Ali, Sir Mohamad Iqbal dan beberapa lainnya telah menunjukan
upaya untuk mendukung perempuan. Sementara pemikiran Asghar sangat dipengauhi
oleh tokoh-tokoh pemikir Islam modern abad ini, kemunculannya sebagai seorang
teolog dan feminis Muslim menambah daftar kaum intelektual Islam, seperti
Mohamad Arkoen, Fazlur Rahman, Abid al-Jabiri, Fatima Mernissi, Riffat Hasan,
Sachiko Murata, dan beberapa tokoh lain yang karya-karyanya berhasil
mempengaruhi umat Islam dan mengkritisi wacana yang berkembang dalam masyarakat
Islam.
B. Karya-Karya Asghar Ali Engineer
B. Karya-Karya Asghar Ali Engineer
Secara garis besar,
karya-karya Asghar dapat dikategorikan ke dalam empat bidang: (a) tentang
teologi pembebasan; (b) tentang gender; (c) tentang komunalisme; (d) tentang
Islam secara umum. Karya-karya Asghar yang berwujud buku, artikel dan tulisan
lain di media massa.
Beberapa karya Asghar yang penting untuk dibaca antara lain:
1.
Islam and Revolution (New
Delhi: Ajanta Publication, 1984)
2.
Islam and Relevance to our Age
(Kuala Lumpur, Ikraq, 1987)
3.
The Origin and Development
of Islam (London: Sangam Book, 1987)
4.
Status of Women in Islam
(New Delhi: Ajanta Publication, 1987)
5.
The Shah Bano Controversy,
ed. Asghar Ali Engineer, (Hyderabad: Orient Longman Limited, 1987)
6.
Justice, Women, and
Communal Harmony in Islam (New Delhi: Indian Council of Social Science
Research, 1989)
7.
Islam and Liberation
Theology: Essay on Liberative Elements in Islam (New Delhi: Sterling Publisher
Private Limited, 1990)
8.
The Right of Women in Islam
(Lahore: Vanguard Books, 1992)
9.
Islam and Pluralism
(Mumbay: Institute of Islamic Studies, 1999)
10. Islam- The Ultimate Vision, (Mumbay: Institute of Islamic
Studies, 1999)
11. The Qur’an, Women and Modern Society (New Delhi: Sterling
Publisher Private Limited,1999)
12. Reconstruction of Islamic Thought (Mumbai: Institute of
Islamic Studies, 1999)
C.
Situasi Sosial Politik Pada Masa Asghar Ali
Engineer
Asghar
hidup pada masa kebangkitan Islam, fenomena kebangkitan Islam telah dimulai
sejak revolusi Iran 1979. Sementara itu para penulis tentang kebangkitan Islam
menggunakan istilah fundamentalis untuk menyebut aktifis Muslim kontemporer
yang menuntut kesesuaian tuntas realitas dengan ajaran Islam, termasuk
penerapan hukum politik syari’ah secara total dan segera.[7]
Telah
ditegaskan bahwa kebangkitan Islam dewasa ini adalah respon wajar tehadap
krisis politik, ekonomi, dan militer yang berlarut-larut, dengan menawarkan
formula legitimasi keagamaan untuk melawan sekularisme Barat dan prinsip
keadilan sosial melawan ketidakadilan ekonomi, maka Islam benar-benar
menawarkan alternatif politik yang praktis sekaligus menjadi penyelamat
spiritual dan tambatan psikologis yang kukuh dalam dunia yang bergolak ini.[8]
Meskipun
perlu memahami konteks khusus perjalanan terhadap individu yang terlibat pada
masing-masing gerakan serta konteks kesejarahan Islam yang lebih luas, namun
manifestasi kebangkitan Islam semacam ini harus dilihat pula sebagai cermin
perjalanan panjang dan berkesinambungan dari sejarah Islam. Namun
gerakan-gerakan revivalis pra modern telah memberi warisan bersama bagi Islam
modern, baik di bidang metodologi maupun ideologi. “Elemen yang pada umumnya
ada pada gerakan revivalis modern dan pra modern adalah keprihatinan mereka
pada kondisi umat Islam yang lemah dan terpecah-pecah yang mereka tuding
sebagai akibat penyimpangan dari iman dan amal yang benar. “baik gerakan
revivalis modern maupun pra modern selalu menyeru “kembali kepada Islam”. Kaum revivalis pra-modern juga
menekankan perlunya pembaruan, menolak taklid buta pada tradisi dan menegaskan
kebangkitan tradisi sosial dan moral Islam memerlukan aktivisme politik.
Tema-tema ini lalu diadopsi dan dikembangkan lebih jauh oleh kaum revivalis
modern.[9]
Tema
semua gerakan Islam di hampir semua belahan dunia berkisar pada dua hal: protes
melawan kemerosotan internal dan “serangan” eksternal. Para penulis Muslim
kontemporer melihat fenomena ini sebagai respons Muslim terhadap sekularisme Barat
dan dominasi atas dunia Islam, di samping respon terhadap krisis kepemimpinan
di kalangan umat Islam sendiri. Berkaitan dengan ini gelombang kebangkitan
dewasa ini mencerminkan tradisi yang berkelanjutan dalam sejarah Islam. Tidak
hanya untuk menentang Barat, melainkan lebih merupakan perlawanan terhadap
segala sesuatu yang dianggap penyebab frustasi dan penindasan, baik internal
maupun eksternal.[10]
Oleh
karena itu, logis untuk menyimpulkan bahwa kebangkitan Islam dalam konsepsi dan
tujuan esensialnya-adalah wajar dan sehat pada batas upayanya memberikan
jawaban yang memadai dari tradisi mereka terhadap problem sosial, ekonomi dan
politik yang dihadapi masyarakat Muslim. Tidak mengherankan jika umat Islam
berusaha menegaskan kembali identitas budaya mereka dan menggali kekuatan dalam
kepercayaan dan tradisi mereka untuk melawan akar-akar keretakan sosial,
ketidakberdayaan politik dan frustasi ekonomi.[11]
Di
negara-negara di mana jumlah kaum Muslimnya minoritas seperti di India, Sri
lanka dan Philipina, komitmen keislamannya memainkan peran yang berbeda. Kaum
Muslim di negara-negara ini menyandarkan diri pada Islam lebih sebagai
identitas yang membedakan diriya dengan kelompok mayoritas. Bahkan jemaat di
India, tidak seperti di Pakistan, tidak mempunyai komitmen terhadap konsep
teokrasi Islam. Mereka hanya berusaha untuk memelihara hukum Islam secara
personal. Hukum Islam yang hanya berlaku untuk pribadi ini menjadi faktor yang
penting dalam menjaga identitas Muslim di India dan oleh karena itu,
resistensinya amat kuat dari terpaan perubahan.[12]
India
sebagai tempat lahirnya Asghar Ali Engineer pada awal abad kedua puluh,
merupakan kawasan yang paling riuh, riuh bukan hanya jumlah penduduknya yang
sedemikian padat, tetapi juga karena pluralitas dalam segala hal baik politik,
agama, bahasa, budaya dan sosial. Dalam aspek politik misalnya, pada
pertengahan abad ke-19 India telah sepenuhnya dikuasai oleh Inggris. Maka
praktis secara formal pemerintahan beralih dari persekutuan Hindia Timur ke
tangan Inggris. Maka praktis secara formal runtuhlah salah satu Negara Islam
terbesar yang berdiri pada awal abad ke-16 M., yakni negara Mongol. India
yang dinisbahkan kepada Timur Lank, emperior Islam dari Asia Tengah. Adanya
peralihan kekuasaan politik biasanya akan diikuti dengan adanya berbagai
peralihan yang lain.
Asghar pun hidup pada masa India ke tangan Inggris, di
mana Inggris melakukan tekanan-tekanan terhadap umat Islam yang pada waktu itu
memberikan perlawanan sengit terhadap mereka. Akibat tekanan yang demikian ini, umat Islam
mengalami kemerosotan di berbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan dan
politik. Sementara pemeluk agama Hindu yang diperlakukan secara baik oleh
pemerintahan Inggris banyak memperoleh kemajuan.[13]
Sejak
India menjadi Negara Republik pada 15 Agustus 1947 yang konstitusinya menjamin
hak warga Negara. Dalam konstitusi tersebut dinyatakan adanya hak persamaan,
hak kebebasan, hak menentang pemerasan, hak beragama, hak budaya dan
pendidikan, hak atas harta benda dan hak atas perbaikan konstusional, sehingga
umat Islam di Indiapun mengalami masa kebangkitan untuk memperbaiki nasibnya.
Hal
lain yang perlu dicermati adalah kondisi keberagaman di India. India dikenal
tidak saja karena religiusitasnya tetapi juga karena pluralisme agamanya.
Menurut Asghar, pluralisme keagamaan akan memperkaya kehidupan spiritual dan
meningkatkan kreativitas manusia. Dalam pandangannya, ada kesatuan
transendental yang menghubungkan semua agama. Dan sesungguhnya perbedaan
hanyalah pada tingkatan permukaan daripada kenyataan atau esensi. [14]
D.
Pemikiran Asghar Ali Engineer
tentang Kedudukan Perempuan dalam Islam
1.
Kedudukan Perempuan Di Wilayah
Publik
a. Peran Perempuan dalam Bidang
Politik
Meskipun Islam telah menjelaskan kedudukan dan status
wanita, tetapi kondisi sosiologis berpengaruh terhadap pelaksanaan prinsip
ajaran tersebut. Dunia Arab tempat Islam lahir telah menganut sitem patriarkal,
laki-lakilah yang memegang kekuasaan, memiliki, mendominasi dan menjadi
pemimpin. Adapun perempuan hanya memiliki hak domestik. Suatu mala petaka
apabila perempuan menjadi penguasa suatu negeri.[15]
Wacana pemimpin perempuan telah memancing polemik dan
debat antara pro dan kontra. Hal ini terjadi karena satu sisi ditemukan
penafsiran ayat dan hadist yang secara tekstual mengutamakan laki-laki untuk
jadi pemimpin, meskipun sebagian ada yang membolehkannya. Di sisi lain, ada
kenyataan obyektif adanya sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di
masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk jadi pemimpin.[16] Bukti bahwa
perempuan mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk memikul masalah besar terdapat
dalam al-Qur’an tentang Hajar, ibu Nabi Isma’il AS, tentang ibu Nabi Musa AS,
dan tentang Maryam, ibu Nabi Isa AS.
Bukti tersebut menunjukkan bahwa perempuan dapat
mengatasi masalah kendatipun dalam skope yang luas, seperti persoalan dalam
suatu negara.[17]
b.
Peran Perempuan Dalam Mencari
Nafkah
Salah satu kewajiban suami adalah memenuhi kebutuhan
isteri. Perempuan tidak
wajib memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan anak-anaknya. Perempuan tidak akan
diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan suaminya meskipun suami berada dalam
kesulitan finansial walaupun dia bisa melakukannya atas dasar kehendaknya
sendiri. Menurut al-Qur’an, laki-laki mempunyai tanggung jawab menghidupi
isterinya dan anak-anaknya yang dilahirkan isterinya setelah berlangsung
pernikahan yang sah.[18]
Memberi
nafkah sebagaimana ditunjukkan di atas, meliputi makanan, pakaian dan tempat
tinggal. Namun, makanan tidak berarti bahan bakunya tetapi makanan yang sudah
dimasak. Isteri tidak diwajibkan memasak makanan. Demikian juga adalah tidak
cukup memberinya sepotong kain, dia harus diberi pakaian yang sudah dijahit
atau suami harus menanggung ongkos jahit. Bahkan jika isteri menginginkan rumah
terpisah, suami harus menyediakannya. Memberi nafkah juga mencakup sabun,
minyak, air, obat-obatan dan lain-lain yang diperlukan untuk hidup layak.[19]
Kewajiban
suami memberi nafkah tidak berarti menghapus hak perempuan untuk mencari
nafkah. Bahkan hasil kerja mereka tetap menjadi hak mereka sendiri, suami tidak
berhak atas hasil kerja isterinya karena perempuan memang tidak wajib memenuhi
kebutuhan suaminya. Namun karena pada masa itu di masyarakat Arab perempuan
tidak diharapkan atau diminta mencari nafkah dan memelihara keluarga, maka
nafkah secara eksklusif merupakan kewajiban dan tugas laki-laki.[20]
Dengan
demikian, menurut Asghar, walaupun kewajiban memberi nafkah ada pada laki-laki,
bukan berarti perempuan tidak boleh mencari nafkah. Perempuan boleh mencari
nafkah, dan hasil kerjanya itu menjadi milik pribadinya. Meskipun isterinya
sudah bekerja bukan berarti kewajiban suami memberi nafkah isterinya gugur.[21]
2.
Kedudukan Perempuan Di Wilayah
Domestik
a. Kedudukan Perempuan Sebagai
Isteri
Pada hakekatnya perkawinan adalah rasa cinta
kasih, kewajiban, pemenuhan hasrat seksual dan pelanjutan keturunan. Bagi
Islam, rasa cinta kasih adalah rukun pertama sebuah perkawinan bahkan merupakan
motivasinya. Kewajiban dalam perkawinan adalah kerja sama kedua belah pihak,
baik suami maupun isteri dalam mengarungi kehidupan.
Stereotipe yang menyatakan bahwa tugas perempuan
adalah melayani laki-laki di banyak masyarakat terdahulu mengakibatkan
terjadinya diskriminasi terhadap pendidikan kaum perempuan yang di nomorduakan, stereotipe terhadap kaum
perempuan terjadi di mana-mana. Dan seringkali stereotipe ini justru dilandaskan
pada suatu keyakinan dan tafsiran keagamaan. Sehingga tidak saja memberikan
legitimasi bagi masyarakat atau umat untuk melakukan diskriminasi bahkan
menjadi faktor pendorong terjadinya diskriminasi.[22]
Karena adanya
anggapan bahwa perempuan itu bersifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok
menjadi kepala rumah tangga, maka anggapan tersebut membawa akibat adanya
anggapan bahwa pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab perempuan.[23] Mitos bahwa
perempuan berada di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik bermula dari
dongeng-dongeng fiktif seperti Cinderella, putri puncak cemara, tujuh bidadari, yang kemudian
dikembangkan menjadi opini masyarakat bahwa perempuan identik dengan
kepasrahan, kepatuhan kepada laki-laki.[24]
Sesungguhnya
menurut fiqh, pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, menyuapi ataupun memandikan
anak, dan merawat rumah) bukanlah tanggung jawab isteri, dengan kata lain,
semua itu pada dasarnya adalah tanggung jawab seorang suami yang merupakan
sebagian dari nafkah yang harus dibayarnya. Oleh karena itu, jika suami tidak
sanggup menangani sendiri, maka menurut fiqh, ia wajib menyediakan tenaga untuk
menanganinya atau dikerjakan bersama-sama.[25]
b. Kedudukan Perempuan Dalam
Hukum Waris
Salah satu
perubahan penting yang telah dihasilkan oleh Islam adalah penegakan prinsip
adanya hak kaum perempuan untuk menerima harta warisan. Ini menegaskan sebuah
penolakan radikal terhadap praktek-praktek pra-Islam yang tidak hanya
meniadakan hak perempuan untuk menerima harta warisan, namun juga memperlakukan
mereka secara nyata, seakan-akan mereka itu adalah sebuah obyek yang bisa
diwariskan.[26]
Meski demikian,
dinyatakan oleh orang bahwa walaupun Islam memberikan hak waris kepada
perempuan, namun bagian yang didapatnya itu ternyata tidak adil dan tidak
setara dengan bagian yang diberikan kepada laki-laki. Kritik ini ditujukan
kepada ayat yang memperbolehkan saudara untuk mengambil bagian warisan sebanyak
dua kali lipat bagian warisan saudari (Q.S. al-Nisa’ (4):10). Oleh Karena
itu mereka memandang bahwa hal ini merusak martabat perempuan. Dengan memberi
perempuan bagian warisan sebesar setengah bagian warisan laki-laki, mereka
katakan, ada implikasi yang jelas bahwa perempuan itu bawahan (lebih rendah
daripada) laki-laki. Argumen seperti ini telah dipakai oleh orang-orang Muslim
dan orang-orang non Muslim. Akan tetapi, argumen ini bersandar pada sebuah
kesalahan. Apabila terjadi karena satu alasan tertentu dan alasan lainnya,
salah satu jenis kelamin menerima bagian yang lebih besar atau lebih kecil
daripada bagian ahli waris lainnya, maka ini tidak berarti bahwa penerima
bagian yang lebih kecil itu dihargai sebagai orang yang lebih rendah. Semua
persoalan waris dalam Islam tergantung secara menyeluruh kepada konteks sosial
dan ekonomi serta peran dan fungsi dari masing-masing jenis kelamin.[27]
Referensi
0 Response to "Mengenal Biografi dan Pemikiran Asghar Ali Engineer "
Post a Comment