Formalisasi Syariat Islam "Penerapan Hermeneutika Kritis dalam Studi Islam"
MEMBONGKAR FORMALISASI ISLAM
"Penerapan Hermeneutika Kritis dalam Studi Islam"
"Penerapan Hermeneutika Kritis dalam Studi Islam"
Salah satu isu yang berkembang setelah kekalahan secara
politis umat Islam adalah bergulirnya ide-ide pembaharuan yang diusung oleh
para tokoh pemikir dan pembaharu Islam. Jika dilihat lebih jauh, secara umum
pembaharuan yang digaungkan oleh para tokoh-tokoh pembaharu diorientasikan
kepada sisi epistemik, yaitu untuk merekonstruksi pemikiran dan pemahaman
terhadap Islam. Ini karena yang dilihat sebagai sumber masalah penyebab
keterpurukan umat Islam sejak beberapa abad adalah karena kesalahan dalam cara
memahami agamanya yang kemudian berimplikasi pada berbagai lini kehidupan
mereka. Dasar yang dijadikan titik tolak adalah kesadaran ontologis bahwa
secara “ideal” Islam pada hakikatnya adalah satu, yaitu Islam sebagai kebenaran
universal yang melampaui temporalitas segala ruang dan waktu yang harus selalu
diterjemahkan di setiap waktu dan tempat.
Ajaran Ilahi yang “ideal” tersebut ketika telah masuk ke wilayah kesejarahan
manusia, adalah satu kemestian untuk dikonseptualisasikan atau didefinisikan.
Ini dikarenakan manusia sebagai subyek yang dituju oleh ajaran Islam adalah
makhluk sadar yang bisa berfikir dan mempunyai potensi untuk melakukan
abstraksi sebelum kemudian dipraktekkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
realitas yang dihadapinya. Inilah yang kemudian menjadi konstruksi Islam
sebagai sebuah institusi Namun demikian, hal yang sering dilupakan adalah bahwa
konseptualisasi atau pendefinisian yang kemudian menjadi konstruksi tersebut
tidak ada yang bersifat mutlak dan berlaku universal. Konstruksi dan definisi
terhadap Islam itu tidak akan pernah keluar dari tingkat epistemik dan kondisi
yang melingkupi manusia sebagai penafsirnya, sehingga ia bersifat temporal dan
lokal. Oleh sebab itu konstruksi Islam yang telah dibuat oleh generasi
terdahulu, mempunyai nilai pragmatis dan praktis dalam konteks zaman dan
ruangnya sendiri. Ia bisa saja relevan dan sesuai dengan kebutuhan zaman dari
generasi terdahulu, namun belum tentu bisa berlaku dan mempunyai nilai
pragmatis untuk konteks setelahnya terlebih lagi untuk konteks kekinian.
Sesuatu kejanggalan adalah ketika umat Islam yang hidup dalam ruang dan
waktu yang berbeda masih memperaktekkan konsep atau konstruksi Islam yang
menggunakan episteme abad-abad sebelumnya. Ketika perspektif yang digunakan
dalam memahami dan memaknakan Islam dengan menggunakan satu episteme, padahal
pada dasarnya dari satu masa dan tempat ke tempat yang lain harus selalu
berubah sejalan dengan dinamisasi realitas dan tingkat pengetahuan manusia.
Pada saat itu yang terjadi sesungguhnya adalah reduksi atau pemaksaan secara
tidak sadar untuk menjadikan Islam sebagai agama yang temporal. Perubahan
episteme dalam menyoroti Islam ini sebenarnya adalah merupakan satu kewajaran
dari gerak realitas yang terus berkembang dan berubah. Akan tetapi ketika
pendefinisian atau pemaknaan yang dirumuskan pada masa yang berbeda dipaksakan
untuk diterapkan pada segala konteks dan zaman, adalah akibat dari kecenderungan
umat Islam yang melakukan ideologisasi yang terjadi pada Islam itu sendiri.
Dengan sedikit generalisasi bisa dikatakan bahwa pemaknaan Islam yang sekarang
masih bersumber dari generasi sebelumnya—yang secara spesifik berasal dari
generasi abad ke 2 H dimana yang merupakan pemaknaan yang berbias dan sangat
kental dengan nuansa ideologis. Pemaknaan Islam yang sekarang diturunkan dari
hasil perdebatan aliran-aliran kalam yang berkembang pada masa sebelumnya
dengan membonceng kepentingan masing-masing. Islam sebagaimana yang dipahami
sekarang adalah Islam yang telah mengalami reduksi dan penyempitan makna dari
Islam yang ideal.[1]
Jika kemudian ditemukan kenyataan bahwa kondisi riil umat Islam sejak
abad ke 7 berada pada titik terendah di antara peradaban lainnya, maka sumber
masalahnya karena mereka tidak lagi melakukan penafsiran terhadap Islam yang
sesuai dengan perubahan realitas yang dihadapi. Mereka terpaku dengan definisi
dan pemahaman terhadap Islam yang diwarisi dari generasi sebelumnya yang belum tentu
sesuai dengan tingkat pengetahuan dan episteme zamannya. Dengan dasar ini maka
bisa dikatakan bahwa reduksi atau masalah yang paling pokok dari segala problem
komunal umat adalah pada konsep atau pemahaman mereka terhadap Islam.
Problem mendasar
yang menjadi hambatan dalam pembaharuan pemikiran Islam adalah karena umat
Islam sekarang telah masuk pada sistem yang sengaja atau tidak sengaja telah
melakukan pembakuan terhadap produk pemikiran, hasil penafsiran atau konsep
yang telah ada.[2]
Pembakuan inilah yang dimaksudkan dengan istilah ideologisasi yang pada tahapan
selanjutnya beranjak kepada formalisasi. Dalam kenyataannya formalisasi
terhadap Islam ternyata bukanlah sesuatu yang masih dalam batas yang lumrah
atau wajar, akan tetapi formalisasi telah menjadi sumber masalah dan krisis
keagamaan yang selama ini sering terjadi. Oleh sebab itulah pembaharuan
pemikiran dan pemahaman umat terhadap Islam mensyaratkan terlebih dahulu
dilakukannya pembongkaran terhadap formalisasi yang telah terjadi dalam sejarah
umat Islam. Pembongkaran terhadap formalisasi tersebut diorientasikan
untuk mengetahui bagaimana mekanisme, prosedur dan juga muatan-muatan ideologis
yang ada di dalamnya yang selama ini tidak pernah dianggap sebagai masalah oleh
umat Islam. Di sinilah hermeneutika kritis bisa diterapkan sebagai alat
atau pendekatan. Sebagaimana diketahui hermeneutika kritis dengan
tokoh-tokohnya seperti Apel, Habermas, Ricoeur Derrida dan yang lainnya
diorientasikan untuk melakukan pembongkaran terhadap pretense subyektif dan
bias ideologis yang ada dalam setiap wacana, pandangan atau pemikiran.
Asumsi dasar yang
digunakan hermeneutika kritis adalah bahwa seorang interpretator bisa lebih
memahami seorang pengarang daripada mereka memahami dirinya sendiri. Ini karena
seorang pengarang tidak ada yang sepenuhnya netral dan teks yang dihasilkannya
tidak ada yang otoritatif dan benar-benar autentik, akan tetapi selalu
terpengaruh oleh latar alamiah, sosial, politik ataupun
keterbatasan-keterbatasan pengarang yang keberadaannya sangat ditentukan oleh
subyek-subyek lainnya. Subyek atau pengarang tidak bisa dibayangkan hidup dan
tumbuh dalam ruang hampa tanpa tradisi, sistem sosial, sistem politik, ataupun
sistem ideologis. Seorang pengarang juga tidak bisa dibayangkan tumbuh dalam
latar belakang tradisi dan lingkungan yang sepenuhnya netral. Akan tetapi
selalu saja ada hal-hal lain yang membuat seorang pengarang seperti yang adanya
dan itu tidak mesti disadari oleh pengarang itu sendiri.
Berangkat dari asumsi
tersebut hermeneutika kritis mencoba untuk membongkar pra-struktur yang
melatarbelakangi ide atau pikiran pengarang. Pra-struktur ini bisa merupakan
motif yang tidak disadari oleh pengarang karena adanya kesalahan atau
penyimpangan secara kultural baik karena sistem politik, sistem sosial, sistem
ekonomi ataupun tekanan ideologis. Hal-hal seperti ini bisa dipastikan akan
sangat mempengaruhi seorang pengarang ketika ia mengeluarkan teks atau
ide-idenya. Bisa jadi sangat mungkin, bagi ia sendiri semua itu dianggap
sebagai satu kewajaran atau sesuatu yang normal-normal saja.
Hermeneutika
kritis memperlakukan seorang subyek sebagai seorang yang pasien yang perlu
didiagnosa lebih jauh untuk menemukan kondisi pra-struktur yang mempengaruhinya
dalam bersikap dan bertindak atau mungkin dalam cara berpikirnya. Untuk tujuan
tersebut, hermeneutika kritis memanfaatkan perangkat-perangkat lain yang
kemudian memformulasikan hermentika kritis. Perangkat-perangkat tersebut adalah
cabang-cabang filsafat kritis seperti yang disebutkan di atas. Tidak ada tujuan
lain dari itu semua selain untuk membongkar pra-struktur yang mempengaruhi
seorang subyek. Hermeneutika ini mirip-mirip dengan kritik ideologis yang
melacak bagaimana pra-struktur yang menentukan dan mempengaruhi seorang subyek
atau pengarang.
Melacak Asal-usul Formalisasi dalam Islam
Sebagaimana
disinggung sebelumnya dalam sejarah pemikiran Islam, sebuah ide atau pandangan
yang dikeluarkan oleh seorang tokoh, pada awalnya adalah sesuatu yang tidak
terlepas dari konteks historisnya. Pad awalnya ia adalah respon yang selalu
berangkat dari realitas dan problem-problem aktual. Namun demikian yang sering
terjadi setelahnya adalah kecenderungan ideologisasi terhadap sebuah hasil
pemikiran atau hasil penafsiran. Ideologisasi adalah problem eksistensial
manusia karena bagaimanapun manusia adalah makhluk yang hidup dalam realitas
yang selalu berubah, sedangkan secara eksistensial mereka mempunyai ketakutan
untuk mengikat diri secara penuh terhadap pengalaman yang bersumber dari
realitas yang selalu berubah sehingga mereka cenderung untuk mencari pegangan
yang bersifat tetap dan. Kecenderungan eksistensial ini jarang disadari oleh
manusia dan sebagai akibatnya ketika sebuah pemikiran muncul sebagai yang
dominan dan karena banyak telah dipegang dan diyakini secara kolektif maka itu
dianggap sebagai salah satu cara kebenaran memanifestasikan diri.
Kecenderungan
ideologisasi terhadap hasil penafsiran manusia pada tahapan selanjutnya
kemudian beranjak kepada formalisasi. Ideologisasi yang dimaksudkan di sini adalah perubahan cara
pandang dalam melihat sesuatu yang pada awalnya tidak baku , tidak resmi serta tidak mengikat,
kemudian pada tahapan selanjutnya dianggap sebagai sesuatu yang baku dan resmi serta
mengikat. Ideologisasi yang merupakan tahapan
awal dari formalisasi. Ideologisasi terjadi pada tataran epistemic, yang
kemudian berimplikasi pada tataran praktis dan pada saat itulah telah terjadi
formalisasi. Proses ini berawal dari perubahan cara pandang terhadap produk
pemahaman Islam, yang kemudian tercermin dalam ekspresi keberagamaan secara
umum dan itulah yang dimaksudkan dengan formalisasi dalam konteks ini. Perubahan
cara pandang tersebut bukanlah sebuah loncatan yang bersifat natural, akan
tetapi merupakan proses kultural yang subyeknya adalah manusia, dan melibatkan
sebagian besar atau bahkan setiap individu dalam masyarakat. Karena
keterlibatan manusia, formalisasi tidak bisa terbebas dari bias-bias politik, budaya, ekonomi, kepentingan, yang
sangat tergantung pada orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Formalisasi yang dimaksudkan
di sini lebih dekat kepada pemaknaan sebagai image dalam pikiran ketika
realitas yang mendasarinya telah hilang. Formalisasi adalah proses terjadinya
idealisasi terhadap sesuatu yang pada awalnya realistis dan mempunyai korelasi
dengan realitas, kemudian pada tahapan selanjutnya dianggap seakan-akan
terlepas dari realitas yang mendasarinya sebagai konteks.
Formalisasi yang
merupakan proses pemberian bentuk, susunan, aturan dan struktur ketika yang
dimaksudkan adalah Islam, maka setidaknya akan memunculkan pertanyaan: Apakah
formalisasi dalam Islam itu adalah sesuatu yang positif atau negatif? Bukankah
formalisasi adalah keharusan untuk memberikan bentuk terhadap sesuatu yang
tidak berbentuk untuk kemudian bisa lebih mudah dipahami, dijelaskan dan juga
dipraktekkan? Apakah mungkin Islam yang telah masuk ke wilayah kesejarahan
manusia untuk tidak mempunyai bentuk dan tetap dalam bentuknya yang abstrak
sebagai ajaran Ilahi?
Pertanyaan-pertanyaan ini
bisa dipahami akan selalu muncul ketika ada yang mempermasalahkan formalisasi
Islam. Akan tetapi yang perlu diwaspadai adalah ketika pertanyaan ini bisa
menjebak kita pada pandangan bahwa formalisasi terhadap Islam tidak bermasalah.
Untuk itu masalah ini perlu dijelaskan lebih jauh dengan melihat apa yang
substansi Islam itu sendirii sehingga kalaupun ada formalisasi adalah yang
tidak menyebabkan hilang atau tertutupnya substansi pokoknya. Sebab
bagaimanapun formalisasi selalu bersifat reduksti, mempersempit atau bahkan memanipulasi
obyek sehingga bisa menjadi lebih dikenal. Obyek yang sebenarnya luas kemudian
diberikan bentuk dan struktur tertentu hanya untuk keperluan bisa dikenal. Jika
yang menjadi obyeknya adalah Islam maka formalisasi tidak seharusnya kemudian
menghilangkan dan mengorbankan keluasannya hanya untuk keperluan strukturasi
atau konkrititisasi. Substansi Islam harus tetap dipertahankan sedangkan
pemberian bentuk atau form akan tetapi berubah dan dinamis an tidak akan pernah
cukup dengan satu form.
Memang, formalisasi adalah kenyataan yang sulit dipungkiri
sering atau bahkan selalu terjadi dalam sejarah kemanusiaan. Formalisasi ini
bisa terjadi pada seluruh sisi kehidupan, mulai dari hasil kreasi manusia yang
bersifat abstrak sampai yang kongkrit. Tradisi dan budaya yang diformalkan akan
berubah menjadi ritual, sedangkan konsep dan pemikiran yang diformalkan akan
berubah menjadi ajaran sakral, demikian juga materi atau benda kongkrit ketika
diformalkan akan menjadi “tuhan”. Berapa banyak ritual yang ditemukan dalam
kehidupan sosial manusia awalnya adalah tradisi yang dipraktekkan secara luas
oleh masyarakat yang kemudian diformalkan menjadi ritual. Begitu juga tidak
sedikit ajaran sakral, doktrin dan dogma, pada awalnya adalah pendapat dan
pandangan individu yang diterima oleh banyak manusia kemudian diformalkan dan
menjadi mazhab yang mengikat. Karena kejadiannya yang sering dan berulang-ulang
tersebut, bagi sebagian orang formalisasi dianggap sebagai sesuatu yang lumrah
dan masih dalam batas kewajaran.
Formalisasi dalam Islam bersifat
arbitrer dan tidak mempunyai batasan-batasan obyektif serta bernuansa kultural.
Namun demikian, anehnya kenyataan tersebut sering dianggap masalah biasa bahkan
dikesankan berjalan secara alami sebagai salah satu cara kebenaran memanifestasikan
diri. Ketika sebuah pemikiran, konsep, penafsiran, atau cara ekspresi
keberagamaan terformalkan menjadi “kebenaran” dan diakui oleh mayoritas umat,
fenomena tersebut dianggap sebagai proses alamiah karena dialah yang paling
baik dan benar, atau bahkan satu-satunya yang benar. Sedangkan di luar itu
dianggap tidak resmi, tidak sah atau bahkan salah. Pada tahapan ini, sebenarnya
telah terjadi pemaksaan kebenaran yang bersifat kolektif sehingga masyarakat
dipaksa tunduk dalam sebuah sistem yang sebenarnya hanyalah rekayasa kultural
dan ciptaan manusia. Ketika umat sudah meyakini dan tunduk kepada
kebenaran-kebenaran tersebut dan mengikat diri mereka secara penuh, maka daya
kritis umat untuk koreksi diri dan juga kreatifitas mereka untuk berbuat dan
mencari serta melakukan inovasi, dibungkam dan dikendalikan secara kultural.
Inilah sebenarnya awal dari stagnasi yang dialami oleh umat sampai sekarang
ini.
Implikasi Praktis dari Formalisasi
Formalisasi
dalam Islam telah mengakibatkan adanya dominasi satu atau beberapa perspektif
dalam melihat Islam. Sebagai akibatnya, Islam yang sebenarnya luas dan terdiri
dari sekian banyak unsur dan bagian yang antara satu dengan yang lainnya
merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan, kemudian direduksi
menjadi sebatas ritual dan keyakinan teologis semata. Padahal Islam adalah
ajaran yang mempunyai klaim yang universal melintas batas daerah, situasi dan
limit waktu tertentu.
Pada
tataran konsep atau pemikiran sebagai akibat dari formalisasi telah terjadi
pengkotak-kotakan dan pemisahan satu disiplin keilmuan dengan disiplin keilmuan
yang lainnya. Pemisahan ini terjadi secara teoritis yang pada tahapan
selanjutnya berdampak pada tataran praktis kehidupan umat Islam. Ada
kecenderungan untuk melihat dan memahami disiplin tersebut secara terpisah dan
terlepas dari yang lainnya. Bahkan masing-masing disiplin tersebut dianggap
berbeda dan bertolak belakang. Padahal masing-masing dari disiplin tersebut
bersumber dari teks yang sama.
Hasil-hasil
penafsiran yang kemudian memunculkan disiplin keilmuan tersebut bisa dilihat
sebagai sistematisasi. Ini karena ketika seseorang mengetahui satu sisi dari
kandungan teks, ia akan terpacu untuk melengkapi serpihan-serpihan pemahaman
tersebut agar bisa dipahami secara sistematis. Jika fakta ini dilihat secara
kritis maka ini sebenarnya sebagai fakta atas keterbatasan alami manusia.
Dengan dasar itu maka tidak ada alasan
untuk menganggapnya sebagai segala-galanya. Ia adalah serpihan-serpihan
kecil yang tidak pernah lengkap. Seharusnya fakta tersebut menyadarkan kita
untuk merangkaikan serpihan-serpihan tersebut menjadi satu kesatuan dan menjadi
sebuah sistem dan ditempatkan secara proporsional sesuai dengan tugas dan
perannya masing-masing.
Dalam
bentuknya yang tradisional, muncul disiplin fiqh, tasawuf, ilmu kalam, dan
filsafat Islam sebagai disiplin yang diakui sebagai bagian dari Islam.
Sementara disiplin-disiplin lainnya tidak muncul ke permukaan dan kalaupun
pernah ada akan tetapi tidak terformalkan menjadi disiplin keilmuan Islam.
Perkembangan yang lebih jauh lagi adalah bagaimana disiplin fiqh kemudian
menjadi sesuatu yang dominan dan memegang otoritas yang paling tinggi dalam
Islam. Islam nampak sebagai fiqh dan telah terjadi pergeseran dalam memahami
Islam ataupun memahami fiqh dengan gerak yang saling mendekati kemudian
terakumulasi menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan secara teoritis
ataupun praktis.
Pada
tahapan selanjutnya umat Islam tidak lagi bisa membedakan antara syari’ah
dengan fiqh sebagai bentuk penafsiran terhadap Islam atau syari’ah itu sendiri.
Sebagaimana mereka juga sulit membedakan antara konsep-konsep ilmu kalam dengan
tauhid yang merupakan bagian dari Islam. Posisi keduanya sebenarnya adalah dua
yang berbeda dan dihubungkan oleh relasi yang reproduktif dalam artian bahwa
syari’ah adalah ajaran Ilahi sedangkan fiqh adalah hasil penafsiran eksoteris
terhadap ajaran ilahi tersebut. Sebagaimana juga ilmu kalam yang merupakan
hasil interpretasi teologis terhadap ajaran tauhid dalam Islam. Dalam dunia
Islam fiqh dan ilmu kalam telah menikmati kemenangan di atas disiplin-disiplin
yang lainnya.
Permasalahannya
ternyata tidak terhenti di sana, akan tetapi telah berkembang menjadi sebuah
pendekatan dimana pada bangunan fiqh dan ilmu kalam tersebut terjadi
formalisasi tahap kedua, yaitu ketika konstruksi fiqh atau konsep teologis yang
ada, dimapankan sehingga tidak lagi responsif terhadap permasalahan yang
berkembang di masyarakat. Fiqh diterapkan secara kaku dengan pemaksaan untuk
penerapan rumusan-rumusan yang merupakan hasil ijtihad pada imam mazhab atau
para fuqaha’ dalam penyelesaian masalah yang terjadi pada waktu tertentu
kemudian dipaksakan harus berlaku sepanjang zaman dengan pengandaian bahwa ia
melintas batas ruang dan waktu dan bisa berlaku sepanjang zaman.
Keberadaan
fiqh dan ilmu kalam dalam Islam tidak bisa dilepaskan karena keduanya adalah
bagian dari struktur Islam secara keseluruhan. Yang menjadi masalah
sesungguhnya adalah bukan ketika umat Islam berpegang kuat pada fiqh atau konsep
kalam, akan tetapi ketika fiqh ditempatkan pada posisi yang utama, sehingga
melupakan sisi Islam yang lainnya karena dianggap sebagai sampingan dan
pelengkap. Sejak awal dalam sejarah umat Islam terutama sekali sejak kemunculan
mazhab-mazhab dan aliran-aliran Islam, telah terjadi konfrontasi yang cukup
dini di dalam tubuh Islam. Antara ahli fiqh, ahli tasawuf, ahli kalam, dan para
filosof rasional selama beberapa abad tidak pernah bisa bertemu, bahkan saling
menghujat dan mengklaim bahwa yang lain salah. Kesuksesan yang telah dicatat
oleh sejarah Islam adalah kompromi yang telah dilakukan oleh Hujjatulislam
Imam al-Gazali dengan keberhasilnya dalam merukunkan antara kecenderungan yang
saling berlawanan tersebut. Dengan karangannya yang sampai sekarang masih
diabadikan oleh umat Islam “Ihya’ Ulum ad-Din” ia sebenarnya telah melakukan
upaya deformalisasi terhadap Islam.[3] Akan
tetapi kesuksesannya dalam mengkompromikan kecenderungan-kecenderungan parsial
dalam melihat Islam oleh umatnya saat itu tidak bertahan lama karena setelah
itu umat Islam telah kembali kepada formalisasi baru dan bahkan lebih parah
dari apa yang terjadi sebelumnya. Ini disebabkan karena apa yang dilakukan oleh
al-Gazali hanya sebatas melakukan sintesa dan kompromi tanpa menyentuh akar permasalahan
dengan menutup jalan bagi kemungkinan dan peluang yang bisa dijadikan sebagai
media bagi terjadinya formalisasi tersebut.[4]
Dominasi
fiqh dalam Islam sangat terlihat terutama dalam praktek keberagamaan dan
interaksi sosial masyarakat Islam dengan sesamanya baik dalam skala global
ataupun skala lokal. Di Indonesia banyak dijumpai dalam komunitas masyarakat
terutama sekali komunitas yang dikatakan sebagai komunitas Islam, ketika
melihat tingkat religiositas seseorang, maka standar yang digunakan adalah
bagaimana komitmennya berpegang teguh pada rumusan-rumusan fiqh yang ada.
Bahkan tidak jarang adanya hubungan yang tidak harmonis dan pincang dalam
interaksi sehari-hari antara sesama pemeluk Islam sendiri, ketika ada person
yang prakteknya dianggap berbeda dengan rumusan fiqh yang sudah dikenal dalam
masyarakat. Prototip santri dan abangan yang dikenal dalam sosiologi agama di Indonesia
adalah akibat dari dominasi satu perspektif dalam melihat Islam.[5]
Umat
Islam secara kultural terkotak-kotak menjadi sekian banyak mazhab, aliran dan
golongan. Ini disebabkan karena dalam umat Islam ada kecenderungan dalam
melihat Islam secara parsial dan terpisah antara satu dengan yang lainnya.
Lebih jauh lagi, fenomena ini bisa dilihat sebagai hegemoni ideologis secara
kultural oleh aliran-aliran yang telah menguasai umat Islam secara umum.
Di
sisi lain formalisasi dalam Islam telah berimplikasi pada pembentukan kerangka
logika dan orientasi pikir umat dalam memahami agama cenderung bercorak deduktif-linier
sebagaimana yang disinggung pada awal pembahasan. Segala bentuk konsep,
pemikiran, ekspresi keberagamaan dan hasil ijtihad yang sudah ada dianggap baku , mapan, resmi dan
dijadikan titik tolak dalam melihat realitas yang selalu berubah secara dinamis.
Lebih jauh lagi, sering terjadi pemaksaan untuk menerapkan secara koheren
idealitas sebuah teks terhadap realitas di luar teks tersebut. Kesalahan dari
cara pandang seperti itu adalah karena idealitas teks, terlebih lagi teks
derivatif yang merupakan respon parsial terhadap realitas, bersifat terbatas
dan subyektif, dihadapkan dengan realitas eksternal (historisitas kemanusiaan)
yang selalu berubah dan berkembang dan dicirikan dengan obyektifitas. Padahal
gerak historisitas dunia selalu berorientasi ke depan dan dicirikan oleh
perubahan dan kontinuitas. Sedangkan sebuah teks terbentuk dan dibangun dalam
temporalitas dan subyektifitas sejarahnya.
Di
sini tidak mungkin untuk memaksakan sesuatu yang baku , statis dan tetap dengan sesuatu yang
selalu berubah dan berkembang. Dinamisasi sejarah sebenarnya harus diimbangi
juga dengan dinamisasi teks. Keharusan untuk memunculkan teks-teks baru adalah
sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi karena bagaimanapun teks berjalan
secara diskontinyu dengan manusia sebagai subyeknya. Manusialah yang membentuk,
dan menentukan format serta wajah teks. Berbeda dengan realitas di luar teks
yang gerak dan dinamisasinya bersifat kontinyu karena berjalan tanpa subyek.
Manusia ketika berhadapan dengan realitas eksternal adalah obyek yang
keberadaannya ditentukan oleh obyek-obyek lainnya. Dengan perspektif inilah
kemudian kita tidak bisa menafikan bahwa manusia tidak mungkin melepaskan diri
dari subyektifitas dan temporalitas tempat dan zamannya. Segala bentuk
pemikiran, ijtihad dan juga kreasi manusia yang lainnya muncul dari realitas
yang mendukung dan melatarbelakanginya. Oleh sebab itulah yang harus
menyesuaikan bukan realitasnya akan tetapi teksnya. Teks sebagai salah satu
bentuk kreasi manusia dan merupakan respon terhadap kondisi obyektif zamannya
tidak mungkin melepaskan diri dari tingkat pengetahuan dan epistemologi
zamannya.
Implikasi lainnya adalah ternyata formalisasi ini
menyebabkan terjadinya dominasi atau bahkan hegemoni di satu sisi dan
pemasungan kreatifitas manusia di sisi lain. Dominasi atau hegemoni adalah
ketika satu atau beberapa bentuk tradisi, budaya ataupun pemikiran diformalkan
sehingga muncul menjadi ideologi atau paradigma, maka pada saat itu ia menjadi
tertutup dan ditempatkan sebagai satu-satunya kebenaran, sedangkan yang lainnya
ketika bertentangan atau berbeda dengannya dianggap salah. Ada proses penghakiman oleh pandangan atau
pemikiran terhadap yang lainnya sehingga terjadi peminggiran atau
pensubordinasian terhadap pemikiran yang lain. Pandangan atau konsep yang
dominan kemudian menggeser, memojokkan, menindas, mensubordinasikan yang
lainnya. Dengan ungkapan lain, eksistensi sesuatu yang pinggiran sering
ditentukan oleh yang dominan. Dari sini dipahami bahwa formalisasi itu selalu
saja berimplikasi pada pengorbanan sekian banyak perspektif pandangan, konsep
atau pemikiran untuk eksisnya sebuah pemikiran. Adapun pemasungan pemikiran terjadi karena ketika sebuah
pemikiran dibakukan menjadi sesuatu yang formal, maka kemunculan pemikiran baru
ditekan atau bahkan dibunuh sebelum menjadi besar, dan akhirnya stamina umat
menjadi lumpuh karena tidak pernah digunakan sehingga mereka sering gagap
melihat kenyataan bahwa realitas selalu berubah secara dinamis. Mereka hanya
bisa berlindung di bawah hasil penafsiran yang telah diformalkan, dan membuat
tembok pemisah yang semakin tebal dengan apa yang ada di luar dirinya.
Akibatnya umat sering buta terhadap kebenaran yang ada di luar dirinya dan
apriori terhadap kekurangan yang ada pada tubuhnya sendiri.
Dalam Islam
disiplin yang telah mengalami pemapanan paling nampak adalah pada disiplin
fiqh. Fiqh sebagai salah satu di antara disiplin tradisional Islam adalah
disiplin yang berkembang dan diakses secara luas oleh umat Islam. Sebagai
akibatnya fiqh mempunyai kekuasaan paling mengikat dan sering melampaui hal-hal
bukan menjadi wilayah dan kapasitasnya.[6] Pola pikir
fiqh inilah yang telah mewarnai kehudpan umat Islam sejak beberapa generasi
mulai ketika muncul ilmu fiqh sebagai disiplin hingga sekarang ketika fiqh
sudah dianggap sebagai ilmu yang mapan.
Dengan dasar itu maka perlu melakukan
pembongkaran terhadap formalisasi yang terjadi di dalam Islam dengan terlebih
mengadakan pelacakan terhadap paradigma ideal Islam pada masa kenabian.
Paradigma tersebut akan dicari dengan melihat kepada proses pewahyuan dengan
segala yang melekat padanya dan tidak terhenti hanya dengan menggunakan
pendekatan tekstual semata yang justru akan menyebabkan terjebak pada
pendekatan normatif. Dari sini akan terlihat bagaimana Islam dimaknakan pada
masa pewahyuan, lalu dilanjutkan dengan melacak bagaimana pergesaran paradigma
yang mengarah kepada formalisasi setelah masa pewahyuan tersebut yang dilakukan
oleh fiqh. Setelah itu akan dilacak bagaimana prosedur, mekanisme dan bias-bias
yang ada dalam proses formalisasi tersebut. Dengan mengetahui proses dan
mekanisme tersebut, maka akan diketahui adanya reduksi dalam pemaknaan Islam,
dari pemaknaan yang bercirikan realistik pada masa kenabian menjadi pemaknaan
yang bercorak ideologis setelah masa tersebut.
Pada akhirnya perlu menawarkan paradigma
baru setelah dilakukannya deformalisasi. Penawaran paradigma ini adalah dalam
upaya untuk memberikan alternatif sehingga pembongkaran tersebut tidak menjadi
sesuatu yang destruktif semata. Paradigma tersebut terhadap hukum waris Islam
untuk mendapatkan perspektif yang lebih humanis, berkeadilan sesuai dengan
kondisi dan konteks kontemporer. Dan sebagaimana telah disebutkan perangkat
metodologi yang bisa digunakan untuk melakukan pembongkaran tersebut adalah
dengan menggunakan hermeneutika kritis.
Penutup
Dengan memanfaatkan pendekatan hermeneutika kritis
sebagai pisau analisisnya maka pembongkaran terhadap formalisasi Islam akan
membuka perspektif umat bahwa pemahaman agama bukan dicirikan dengan
ketertutupan dan kesinambungan, melainkan dicirikan dengan keterbukaan dan
ketidaksinambungan. Pemahaman seperti ini akan membawa kita kepada pemaknaan
Islam sebagai kebenaran universal di satu sisi dan kebenaran kondisional di
sisi yang lain, dimana antara keduanya mempunyai hubungan fungsional dengan
pola dialektik. Kebenaran universal Islam oleh rasio dan pemikiran
manusia didialektikakan dengan realitas yang selalu berubah dan bergerak secara
dinamis, sehingga pada tataran pemahaman Islam menjadi dinamis dan relevan
untuk semua konteks ruang dan waktu. Kesadaran akan dua hirarki kebenaran Islam
dan menempatkan keduanya secara proporsional adalah langkah awal dalam
pembaharuan pemikiran dan pemahaman terhadap Islam.
Pemahaman terhadap titah Ilahi yang tidak akan pernah bisa
dijangkau sepenuhnya oleh manusia, akan membuat manusia menjadi dinamis dan
kreatif dalam beragama. Sebab, dengan pemahaman seperti ini, beragama
(berislam) berarti berusaha untuk terus menjadi Islam, sehingga bisa mempersempit
jarak dengan Islam ideal tersebut meskipun tidak akan pernah mencapai Islam
yang sesungguhnya. Di sisi lain kesadaran
terhadap hal tersebut akan membuat kita dinamis dalam beragama, sebab
bagaimanapun adanya kesadaran akan realitas yang selalu berubah tentunya harus
sertai dengan perubahan dalam pemaknaan Islam. Namun demikian di satu sisi
kebenaran Universal Islam harus selalu dijadikan sebagai dasar dalam
penerjemahan Islam yang kondisional.
Namun dalam kenyataannya, formalisasi sering terjadi
pada kebenaran kondisional Islam yaitu ketika hal tersebut di generalisasikan
menjadi kebenaran Universal. Sedangkan Islam sebagai titah Ilahi tidak pernah
akan bisa terformalisasikan karena ia berada dalam otoritas Tuhan yang langsung
menjadi subyeknya, berbeda dengan Islam sebagai penafsiran atau pemahaman,
subyeknya adalah manusia. Tetapi sering keduanya tidak dipisahkan atau
dibedakan, sehingga yang kita dianggap sebagai Islam adalah sebagian besar
merupakan produk pemikiran manusia sebagai hasil dari kreatifitas mereka ketika
berusaha untuk memahami ide-ide Tuhan.
Oleh sebab itu,
sejarah pemikiran dan pemahaman Islam tidak bisa dibayangkan berjalan secara
koheren dan kontinyu, dalam artian bahwa pengetahuan, doktrin, atau ajaran
adalah hasil dari akumulasi panjang yang terus menuju kesempurnaan dan
menghasilkan kebenaran komulatif. Masa lalu tidak bisa dilihat sebagai sesuatu
yang bersifat koheren dan merupakan pendahulu dari masa kini dalam rangkaian
kesinambungan. Sebab jika perspektif ini yang digunakan dalam melihat masa lalu
maka sebagai konsekwensinya adalah; sekali produk penafsiran dan obyek-obyeknya
dianggap mapan, baku ,
atau formal, maka sejak itulah kemudian apa yang yang telah ada dianggap
sebagai penjamin kebenaran. Sebuah konsep, pemikiran atau ijtihad yang
dimapankan pada abad kedua dan ketiga misalnya akan menjadi landasan dari apa
yang berkembang pada masa sekarang. Masalah yang muncul dari pendekatan seperti
ini adalah pendasarannya pada ilusi restrospektif yang mengandaikan bahwa masa
lalu menghasilkan masa kini. Dan lebih jauh lagi masa kini dianggap bersifat
statis dan tidak pernah berubah, sehingga hasil ijtihad atau pemikiran yang
dimunculkan masa kini akan selalu absah dan bisa diberlakukan pada masa yang
akan datang, demikian seterusnya. Wallahu ‘A’lamu Bi ash-Shawab
Daftar
Pustaka
Abu
Hamid, Al-Gazali, Ihya’ ulum ad-Din, Beirut : Dar al-Fikr, 1996.
Bleicher,
Josef, Hermeneutika Kontemporer, terjemahan Indonesia oleh Ahmad Norma Permata,
Yogyakarta : Fajar Pustaka, 2003.
Howard,
Roy J, Hermeneutika: Wacana Analitik, Psikososial dan Ontologis’
terjemahan Indonesia
oleh Kusmana dan M.S.Nasrullah, Bandung :
Nuansa, 2000.
Hidayat,
Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta : Teraju, 2003.
Lechte,
John, 50 Filsuf Kontemporer; Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas,
terjemahan Indonesia
oleh Gunawan Admiranto, Yogyakarta : Kanisius,
2001.
Palmer,
Richard E., Hermeneutik: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terjemahan Indonesia oleh
Masnyr Hery dan Damanhuri Muhammed, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2003.
Sumaryono,
E., Hermeneuti; Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta :
Kanisius, 2004.
Sourous,
Aaabdul Karim, Menggugat Atoritas dan Tradisi Agama, terjemahan
Indonesia oleh dari buku aslinya Reason, Freedom and Democracy in Islam
oleh Abdullah Ali, Bandung :
Mizan Pustaka, 2002.
Thompson,
John B., Analisis Ideologi; Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia,
terjemahan Indonesia
oleh Haqqul Yaqin, Yogyakarta : Ircisod, 2003.
[1] Indikasi paling kuat yang membuktikan
ini adalah karena dalam realitas kehidupan umat Islam sekarang yang dominan
adalah pandangan keagamaan yang bercorak teologis akar-akarnya bisa dilacak
kepada perdebatan abad ke 2. Terpecahnya umat Islam menjadi dua kubu yaitu
sunni dan syi`ah yang masing-masing membentuk dunia dan pola keberagamaan
masing-masing tidak bisa dipungkiri adalah bias perpecahan dan perdebatan
teologis tersebut.
[2] Di sini perlu dibuktikan melalui
penelitian lebih jauh apakah proses pembakuan tersebut berjalan secara kultural
dan berada di luar kesadaran kolektif umat Islam ataukah dilakukan secara sadar
oleh agen-agen tertentu.
[3] Bandingkan dengan Sourous, Menggugat
Atoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Indonesia oleh dari buku aslinya Reason,
Freedom and Democracy in Islam oleh Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2002),
hal. 35.
[4] Lihat pengantar al-Gazali dalam
kitabnya Ihya’ ulum ad-Din
[5] Konflik yang terjadi di Lombok antara umat Islam yang mengunakan mazhab Syafi’i
yang diwakili oleh komunitas Nahdlatul Wathan (NW) dengan mereka yang dianggap
sebagai Wahabi, dan juga kasus penghancuran masjid Ahmadiah di Selong adalah
contoh dari yang demikian tersebut.
[6] Dalam sejarah fiqh Islam tradisional
dikenal apa yang diistilahkan dengan fiqh hipotetis yaitu rumusan-rumusan fiqh
yang sudah melampaui batas-batas kewajaran ilmiah sehingga sering berupa
pengandaian belaka, tanpa ada realitas sebagaimana yang terdapat dalam rumusan
tersebut.
0 Response to "Formalisasi Syariat Islam "Penerapan Hermeneutika Kritis dalam Studi Islam""
Post a Comment