Image1

Formalisasi Syariat Islam "Penerapan Hermeneutika Kritis dalam Studi Islam"

MEMBONGKAR FORMALISASI  ISLAM
"Penerapan Hermeneutika Kritis dalam Studi Islam"
Oleh: M.Firdaus



Salah satu isu yang berkembang setelah kekalahan secara politis umat Islam adalah bergulirnya ide-ide pembaharuan yang diusung oleh para tokoh pemikir dan pembaharu Islam. Jika dilihat lebih jauh, secara umum pembaharuan yang digaungkan oleh para tokoh-tokoh pembaharu diorientasikan kepada sisi epistemik, yaitu untuk merekonstruksi pemikiran dan pemahaman terhadap Islam. Ini karena yang dilihat sebagai sumber masalah penyebab keterpurukan umat Islam sejak beberapa abad adalah karena kesalahan dalam cara memahami agamanya yang kemudian berimplikasi pada berbagai lini kehidupan mereka. Dasar yang dijadikan titik tolak adalah kesadaran ontologis bahwa secara “ideal” Islam pada hakikatnya adalah satu, yaitu Islam sebagai kebenaran universal yang melampaui temporalitas segala ruang dan waktu yang harus selalu diterjemahkan di setiap waktu dan tempat.
Ajaran Ilahi yang “ideal” tersebut ketika telah masuk ke wilayah kesejarahan manusia, adalah satu kemestian untuk dikonseptualisasikan atau didefinisikan. Ini dikarenakan manusia sebagai subyek yang dituju oleh ajaran Islam adalah makhluk sadar yang bisa berfikir dan mempunyai potensi untuk melakukan abstraksi sebelum kemudian dipraktekkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi realitas yang dihadapinya. Inilah yang kemudian menjadi konstruksi Islam sebagai sebuah institusi Namun demikian, hal yang sering dilupakan adalah bahwa konseptualisasi atau pendefinisian yang kemudian menjadi konstruksi tersebut tidak ada yang bersifat mutlak dan berlaku universal. Konstruksi dan definisi terhadap Islam itu tidak akan pernah keluar dari tingkat epistemik dan kondisi yang melingkupi manusia sebagai penafsirnya, sehingga ia bersifat temporal dan lokal. Oleh sebab itu konstruksi Islam yang telah dibuat oleh generasi terdahulu, mempunyai nilai pragmatis dan praktis dalam konteks zaman dan ruangnya sendiri. Ia bisa saja relevan dan sesuai dengan kebutuhan zaman dari generasi terdahulu, namun belum tentu bisa berlaku dan mempunyai nilai pragmatis untuk konteks setelahnya terlebih lagi untuk konteks kekinian.
Sesuatu kejanggalan adalah ketika umat Islam yang hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda masih memperaktekkan konsep atau konstruksi Islam yang menggunakan episteme abad-abad sebelumnya. Ketika perspektif yang digunakan dalam memahami dan memaknakan Islam dengan menggunakan satu episteme, padahal pada dasarnya dari satu masa dan tempat ke tempat yang lain harus selalu berubah sejalan dengan dinamisasi realitas dan tingkat pengetahuan manusia. Pada saat itu yang terjadi sesungguhnya adalah reduksi atau pemaksaan secara tidak sadar untuk menjadikan Islam sebagai agama yang temporal. Perubahan episteme dalam menyoroti Islam ini sebenarnya adalah merupakan satu kewajaran dari gerak realitas yang terus berkembang dan berubah. Akan tetapi ketika pendefinisian atau pemaknaan yang dirumuskan pada masa yang berbeda dipaksakan untuk diterapkan pada segala konteks dan zaman, adalah akibat dari kecenderungan umat Islam yang melakukan ideologisasi yang terjadi pada Islam itu sendiri. Dengan sedikit generalisasi bisa dikatakan bahwa pemaknaan Islam yang sekarang masih bersumber dari generasi sebelumnya—yang secara spesifik berasal dari generasi abad ke 2 H dimana yang merupakan pemaknaan yang berbias dan sangat kental dengan nuansa ideologis. Pemaknaan Islam yang sekarang diturunkan dari hasil perdebatan aliran-aliran kalam yang berkembang pada masa sebelumnya dengan membonceng kepentingan masing-masing. Islam sebagaimana yang dipahami sekarang adalah Islam yang telah mengalami reduksi dan penyempitan makna dari Islam yang ideal.[1]
Jika kemudian ditemukan kenyataan bahwa kondisi riil umat Islam sejak abad ke 7 berada pada titik terendah di antara peradaban lainnya, maka sumber masalahnya karena mereka tidak lagi melakukan penafsiran terhadap Islam yang sesuai dengan perubahan realitas yang dihadapi. Mereka terpaku dengan definisi dan pemahaman terhadap Islam yang diwarisi dari generasi sebelumnya yang belum tentu sesuai dengan tingkat pengetahuan dan episteme zamannya. Dengan dasar ini maka bisa dikatakan bahwa reduksi atau masalah yang paling pokok dari segala problem komunal umat adalah pada konsep atau pemahaman mereka terhadap Islam. 
Problem mendasar yang menjadi hambatan dalam pembaharuan pemikiran Islam adalah karena umat Islam sekarang telah masuk pada sistem yang sengaja atau tidak sengaja telah melakukan pembakuan terhadap produk pemikiran, hasil penafsiran atau konsep yang telah ada.[2] Pembakuan inilah yang dimaksudkan dengan istilah ideologisasi yang pada tahapan selanjutnya beranjak kepada formalisasi. Dalam kenyataannya formalisasi terhadap Islam ternyata bukanlah sesuatu yang masih dalam batas yang lumrah atau wajar, akan tetapi formalisasi telah menjadi sumber masalah dan krisis keagamaan yang selama ini sering terjadi. Oleh sebab itulah pembaharuan pemikiran dan pemahaman umat terhadap Islam mensyaratkan terlebih dahulu dilakukannya pembongkaran terhadap formalisasi yang telah terjadi dalam sejarah umat Islam. Pembongkaran terhadap formalisasi tersebut diorientasikan untuk mengetahui bagaimana mekanisme, prosedur dan juga muatan-muatan ideologis yang ada di dalamnya yang selama ini tidak pernah dianggap sebagai masalah oleh umat Islam. Di sinilah hermeneutika kritis bisa diterapkan sebagai alat atau pendekatan. Sebagaimana diketahui hermeneutika kritis dengan tokoh-tokohnya seperti Apel, Habermas, Ricoeur Derrida dan yang lainnya diorientasikan untuk melakukan pembongkaran terhadap pretense subyektif dan bias ideologis yang ada dalam setiap wacana, pandangan atau pemikiran.   
Asumsi dasar yang digunakan hermeneutika kritis adalah bahwa seorang interpretator bisa lebih memahami seorang pengarang daripada mereka memahami dirinya sendiri. Ini karena seorang pengarang tidak ada yang sepenuhnya netral dan teks yang dihasilkannya tidak ada yang otoritatif dan benar-benar autentik, akan tetapi selalu terpengaruh oleh latar alamiah, sosial, politik ataupun keterbatasan-keterbatasan pengarang yang keberadaannya sangat ditentukan oleh subyek-subyek lainnya. Subyek atau pengarang tidak bisa dibayangkan hidup dan tumbuh dalam ruang hampa tanpa tradisi, sistem sosial, sistem politik, ataupun sistem ideologis. Seorang pengarang juga tidak bisa dibayangkan tumbuh dalam latar belakang tradisi dan lingkungan yang sepenuhnya netral. Akan tetapi selalu saja ada hal-hal lain yang membuat seorang pengarang seperti yang adanya dan itu tidak mesti disadari oleh pengarang itu sendiri.
Berangkat dari asumsi tersebut hermeneutika kritis mencoba untuk membongkar pra-struktur yang melatarbelakangi ide atau pikiran pengarang. Pra-struktur ini bisa merupakan motif yang tidak disadari oleh pengarang karena adanya kesalahan atau penyimpangan secara kultural baik karena sistem politik, sistem sosial, sistem ekonomi ataupun tekanan ideologis. Hal-hal seperti ini bisa dipastikan akan sangat mempengaruhi seorang pengarang ketika ia mengeluarkan teks atau ide-idenya. Bisa jadi sangat mungkin, bagi ia sendiri semua itu dianggap sebagai satu kewajaran atau sesuatu yang normal-normal saja.
Hermeneutika kritis memperlakukan seorang subyek sebagai seorang yang pasien yang perlu didiagnosa lebih jauh untuk menemukan kondisi pra-struktur yang mempengaruhinya dalam bersikap dan bertindak atau mungkin dalam cara berpikirnya. Untuk tujuan tersebut, hermeneutika kritis memanfaatkan perangkat-perangkat lain yang kemudian memformulasikan hermentika kritis. Perangkat-perangkat tersebut adalah cabang-cabang filsafat kritis seperti yang disebutkan di atas. Tidak ada tujuan lain dari itu semua selain untuk membongkar pra-struktur yang mempengaruhi seorang subyek. Hermeneutika ini mirip-mirip dengan kritik ideologis yang melacak bagaimana pra-struktur yang menentukan dan mempengaruhi seorang subyek atau pengarang.

Melacak Asal-usul Formalisasi dalam Islam

Sebagaimana disinggung sebelumnya dalam sejarah pemikiran Islam, sebuah ide atau pandangan yang dikeluarkan oleh seorang tokoh, pada awalnya adalah sesuatu yang tidak terlepas dari konteks historisnya. Pad awalnya ia adalah respon yang selalu berangkat dari realitas dan problem-problem aktual. Namun demikian yang sering terjadi setelahnya adalah kecenderungan ideologisasi terhadap sebuah hasil pemikiran atau hasil penafsiran. Ideologisasi adalah problem eksistensial manusia karena bagaimanapun manusia adalah makhluk yang hidup dalam realitas yang selalu berubah, sedangkan secara eksistensial mereka mempunyai ketakutan untuk mengikat diri secara penuh terhadap pengalaman yang bersumber dari realitas yang selalu berubah sehingga mereka cenderung untuk mencari pegangan yang bersifat tetap dan. Kecenderungan eksistensial ini jarang disadari oleh manusia dan sebagai akibatnya ketika sebuah pemikiran muncul sebagai yang dominan dan karena banyak telah dipegang dan diyakini secara kolektif maka itu dianggap sebagai salah satu cara kebenaran memanifestasikan diri.       
Kecenderungan ideologisasi terhadap hasil penafsiran manusia pada tahapan selanjutnya kemudian beranjak kepada formalisasi. Ideologisasi yang dimaksudkan di sini adalah perubahan cara pandang dalam melihat sesuatu yang pada awalnya tidak baku, tidak resmi serta tidak mengikat, kemudian pada tahapan selanjutnya dianggap sebagai sesuatu yang baku dan resmi serta mengikat. Ideologisasi yang merupakan tahapan awal dari formalisasi. Ideologisasi terjadi pada tataran epistemic, yang kemudian berimplikasi pada tataran praktis dan pada saat itulah telah terjadi formalisasi. Proses ini berawal dari perubahan cara pandang terhadap produk pemahaman Islam, yang kemudian tercermin dalam ekspresi keberagamaan secara umum dan itulah yang dimaksudkan dengan formalisasi dalam konteks ini. Perubahan cara pandang tersebut bukanlah sebuah loncatan yang bersifat natural, akan tetapi merupakan proses kultural yang subyeknya adalah manusia, dan melibatkan sebagian besar atau bahkan setiap individu dalam masyarakat. Karena keterlibatan manusia, formalisasi tidak bisa terbebas dari bias-bias politik, budaya, ekonomi, kepentingan, yang sangat tergantung pada orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Formalisasi yang dimaksudkan di sini lebih dekat kepada pemaknaan sebagai image dalam pikiran ketika realitas yang mendasarinya telah hilang. Formalisasi adalah proses terjadinya idealisasi terhadap sesuatu yang pada awalnya realistis dan mempunyai korelasi dengan realitas, kemudian pada tahapan selanjutnya dianggap seakan-akan terlepas dari realitas yang mendasarinya sebagai konteks.
Formalisasi yang merupakan proses pemberian bentuk, susunan, aturan dan struktur ketika yang dimaksudkan adalah Islam, maka setidaknya akan memunculkan pertanyaan: Apakah formalisasi dalam Islam itu adalah sesuatu yang positif atau negatif? Bukankah formalisasi adalah keharusan untuk memberikan bentuk terhadap sesuatu yang tidak berbentuk untuk kemudian bisa lebih mudah dipahami, dijelaskan dan juga dipraktekkan? Apakah mungkin Islam yang telah masuk ke wilayah kesejarahan manusia untuk tidak mempunyai bentuk dan tetap dalam bentuknya yang abstrak sebagai ajaran Ilahi?
Pertanyaan-pertanyaan ini bisa dipahami akan selalu muncul ketika ada yang mempermasalahkan formalisasi Islam. Akan tetapi yang perlu diwaspadai adalah ketika pertanyaan ini bisa menjebak kita pada pandangan bahwa formalisasi terhadap Islam tidak bermasalah. Untuk itu masalah ini perlu dijelaskan lebih jauh dengan melihat apa yang substansi Islam itu sendirii sehingga kalaupun ada formalisasi adalah yang tidak menyebabkan hilang atau tertutupnya substansi pokoknya. Sebab bagaimanapun formalisasi selalu bersifat reduksti, mempersempit atau bahkan memanipulasi obyek sehingga bisa menjadi lebih dikenal. Obyek yang sebenarnya luas kemudian diberikan bentuk dan struktur tertentu hanya untuk keperluan bisa dikenal. Jika yang menjadi obyeknya adalah Islam maka formalisasi tidak seharusnya kemudian menghilangkan dan mengorbankan keluasannya hanya untuk keperluan strukturasi atau konkrititisasi. Substansi Islam harus tetap dipertahankan sedangkan pemberian bentuk atau form akan tetapi berubah dan dinamis an tidak akan pernah cukup dengan satu form. 
Memang, formalisasi adalah kenyataan yang sulit dipungkiri sering atau bahkan selalu terjadi dalam sejarah kemanusiaan. Formalisasi ini bisa terjadi pada seluruh sisi kehidupan, mulai dari hasil kreasi manusia yang bersifat abstrak sampai yang kongkrit. Tradisi dan budaya yang diformalkan akan berubah menjadi ritual, sedangkan konsep dan pemikiran yang diformalkan akan berubah menjadi ajaran sakral, demikian juga materi atau benda kongkrit ketika diformalkan akan menjadi “tuhan”. Berapa banyak ritual yang ditemukan dalam kehidupan sosial manusia awalnya adalah tradisi yang dipraktekkan secara luas oleh masyarakat yang kemudian diformalkan menjadi ritual. Begitu juga tidak sedikit ajaran sakral, doktrin dan dogma, pada awalnya adalah pendapat dan pandangan individu yang diterima oleh banyak manusia kemudian diformalkan dan menjadi mazhab yang mengikat. Karena kejadiannya yang sering dan berulang-ulang tersebut, bagi sebagian orang formalisasi dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan masih dalam batas kewajaran.
Formalisasi dalam Islam bersifat arbitrer dan tidak mempunyai batasan-batasan obyektif serta bernuansa kultural. Namun demikian, anehnya kenyataan tersebut sering dianggap masalah biasa bahkan dikesankan berjalan secara alami sebagai salah satu cara kebenaran memanifestasikan diri. Ketika sebuah pemikiran, konsep, penafsiran, atau cara ekspresi keberagamaan terformalkan menjadi “kebenaran” dan diakui oleh mayoritas umat, fenomena tersebut dianggap sebagai proses alamiah karena dialah yang paling baik dan benar, atau bahkan satu-satunya yang benar. Sedangkan di luar itu dianggap tidak resmi, tidak sah atau bahkan salah. Pada tahapan ini, sebenarnya telah terjadi pemaksaan kebenaran yang bersifat kolektif sehingga masyarakat dipaksa tunduk dalam sebuah sistem yang sebenarnya hanyalah rekayasa kultural dan ciptaan manusia. Ketika umat sudah meyakini dan tunduk kepada kebenaran-kebenaran tersebut dan mengikat diri mereka secara penuh, maka daya kritis umat untuk koreksi diri dan juga kreatifitas mereka untuk berbuat dan mencari serta melakukan inovasi, dibungkam dan dikendalikan secara kultural. Inilah sebenarnya awal dari stagnasi yang dialami oleh umat sampai sekarang ini.

Implikasi Praktis dari Formalisasi

Formalisasi dalam Islam telah mengakibatkan adanya dominasi satu atau beberapa perspektif dalam melihat Islam. Sebagai akibatnya, Islam yang sebenarnya luas dan terdiri dari sekian banyak unsur dan bagian yang antara satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan, kemudian direduksi menjadi sebatas ritual dan keyakinan teologis semata. Padahal Islam adalah ajaran yang mempunyai klaim yang universal melintas batas daerah, situasi dan limit waktu tertentu.  
Pada tataran konsep atau pemikiran sebagai akibat dari formalisasi telah terjadi pengkotak-kotakan dan pemisahan satu disiplin keilmuan dengan disiplin keilmuan yang lainnya. Pemisahan ini terjadi secara teoritis yang pada tahapan selanjutnya berdampak pada tataran praktis kehidupan umat Islam. Ada kecenderungan untuk melihat dan memahami disiplin tersebut secara terpisah dan terlepas dari yang lainnya. Bahkan masing-masing disiplin tersebut dianggap berbeda dan bertolak belakang. Padahal masing-masing dari disiplin tersebut bersumber dari teks yang sama.
Hasil-hasil penafsiran yang kemudian memunculkan disiplin keilmuan tersebut bisa dilihat sebagai sistematisasi. Ini karena ketika seseorang mengetahui satu sisi dari kandungan teks, ia akan terpacu untuk melengkapi serpihan-serpihan pemahaman tersebut agar bisa dipahami secara sistematis. Jika fakta ini dilihat secara kritis maka ini sebenarnya sebagai fakta atas keterbatasan alami manusia. Dengan dasar itu maka tidak ada alasan  untuk menganggapnya sebagai segala-galanya. Ia adalah serpihan-serpihan kecil yang tidak pernah lengkap. Seharusnya fakta tersebut menyadarkan kita untuk merangkaikan serpihan-serpihan tersebut menjadi satu kesatuan dan menjadi sebuah sistem dan ditempatkan secara proporsional sesuai dengan tugas dan perannya masing-masing.  
Dalam bentuknya yang tradisional, muncul disiplin fiqh, tasawuf, ilmu kalam, dan filsafat Islam sebagai disiplin yang diakui sebagai bagian dari Islam. Sementara disiplin-disiplin lainnya tidak muncul ke permukaan dan kalaupun pernah ada akan tetapi tidak terformalkan menjadi disiplin keilmuan Islam. Perkembangan yang lebih jauh lagi adalah bagaimana disiplin fiqh kemudian menjadi sesuatu yang dominan dan memegang otoritas yang paling tinggi dalam Islam. Islam nampak sebagai fiqh dan telah terjadi pergeseran dalam memahami Islam ataupun memahami fiqh dengan gerak yang saling mendekati kemudian terakumulasi menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan secara teoritis ataupun praktis.
Pada tahapan selanjutnya umat Islam tidak lagi bisa membedakan antara syari’ah dengan fiqh sebagai bentuk penafsiran terhadap Islam atau syari’ah itu sendiri. Sebagaimana mereka juga sulit membedakan antara konsep-konsep ilmu kalam dengan tauhid yang merupakan bagian dari Islam. Posisi keduanya sebenarnya adalah dua yang berbeda dan dihubungkan oleh relasi yang reproduktif dalam artian bahwa syari’ah adalah ajaran Ilahi sedangkan fiqh adalah hasil penafsiran eksoteris terhadap ajaran ilahi tersebut. Sebagaimana juga ilmu kalam yang merupakan hasil interpretasi teologis terhadap ajaran tauhid dalam Islam. Dalam dunia Islam fiqh dan ilmu kalam telah menikmati kemenangan di atas disiplin-disiplin yang lainnya.   
Permasalahannya ternyata tidak terhenti di sana, akan tetapi telah berkembang menjadi sebuah pendekatan dimana pada bangunan fiqh dan ilmu kalam tersebut terjadi formalisasi tahap kedua, yaitu ketika konstruksi fiqh atau konsep teologis yang ada, dimapankan sehingga tidak lagi responsif terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat. Fiqh diterapkan secara kaku dengan pemaksaan untuk penerapan rumusan-rumusan yang merupakan hasil ijtihad pada imam mazhab atau para fuqaha’ dalam penyelesaian masalah yang terjadi pada waktu tertentu kemudian dipaksakan harus berlaku sepanjang zaman dengan pengandaian bahwa ia melintas batas ruang dan waktu dan bisa berlaku sepanjang zaman.
Keberadaan fiqh dan ilmu kalam dalam Islam tidak bisa dilepaskan karena keduanya adalah bagian dari struktur Islam secara keseluruhan. Yang menjadi masalah sesungguhnya adalah bukan ketika umat Islam berpegang kuat pada fiqh atau konsep kalam, akan tetapi ketika fiqh ditempatkan pada posisi yang utama, sehingga melupakan sisi Islam yang lainnya karena dianggap sebagai sampingan dan pelengkap. Sejak awal dalam sejarah umat Islam terutama sekali sejak kemunculan mazhab-mazhab dan aliran-aliran Islam, telah terjadi konfrontasi yang cukup dini di dalam tubuh Islam. Antara ahli fiqh, ahli tasawuf, ahli kalam, dan para filosof rasional selama beberapa abad tidak pernah bisa bertemu, bahkan saling menghujat dan mengklaim bahwa yang lain salah. Kesuksesan yang telah dicatat oleh sejarah Islam adalah kompromi yang telah dilakukan oleh Hujjatulislam Imam al-Gazali dengan keberhasilnya dalam merukunkan antara kecenderungan yang saling berlawanan tersebut. Dengan karangannya yang sampai sekarang masih diabadikan oleh umat Islam “Ihya’ Ulum ad-Din” ia sebenarnya telah melakukan upaya deformalisasi terhadap Islam.[3] Akan tetapi kesuksesannya dalam mengkompromikan kecenderungan-kecenderungan parsial dalam melihat Islam oleh umatnya saat itu tidak bertahan lama karena setelah itu umat Islam telah kembali kepada formalisasi baru dan bahkan lebih parah dari apa yang terjadi sebelumnya. Ini disebabkan karena apa yang dilakukan oleh al-Gazali hanya sebatas melakukan sintesa dan kompromi tanpa menyentuh akar permasalahan dengan menutup jalan bagi kemungkinan dan peluang yang bisa dijadikan sebagai media bagi terjadinya formalisasi tersebut.[4]
Dominasi fiqh dalam Islam sangat terlihat terutama dalam praktek keberagamaan dan interaksi sosial masyarakat Islam dengan sesamanya baik dalam skala global ataupun skala lokal. Di Indonesia banyak dijumpai dalam komunitas masyarakat terutama sekali komunitas yang dikatakan sebagai komunitas Islam, ketika melihat tingkat religiositas seseorang, maka standar yang digunakan adalah bagaimana komitmennya berpegang teguh pada rumusan-rumusan fiqh yang ada. Bahkan tidak jarang adanya hubungan yang tidak harmonis dan pincang dalam interaksi sehari-hari antara sesama pemeluk Islam sendiri, ketika ada person yang prakteknya dianggap berbeda dengan rumusan fiqh yang sudah dikenal dalam masyarakat. Prototip santri dan abangan yang dikenal dalam sosiologi agama di Indonesia adalah akibat dari dominasi satu perspektif dalam melihat Islam.[5]
Umat Islam secara kultural terkotak-kotak menjadi sekian banyak mazhab, aliran dan golongan. Ini disebabkan karena dalam umat Islam ada kecenderungan dalam melihat Islam secara parsial dan terpisah antara satu dengan yang lainnya. Lebih jauh lagi, fenomena ini bisa dilihat sebagai hegemoni ideologis secara kultural oleh aliran-aliran yang telah menguasai umat Islam secara umum.                     
Di sisi lain formalisasi dalam Islam telah berimplikasi pada pembentukan kerangka logika dan orientasi pikir umat dalam memahami agama cenderung bercorak deduktif-linier sebagaimana yang disinggung pada awal pembahasan. Segala bentuk konsep, pemikiran, ekspresi keberagamaan dan hasil ijtihad yang sudah ada dianggap baku, mapan, resmi dan dijadikan titik tolak dalam melihat realitas yang selalu berubah secara dinamis. Lebih jauh lagi, sering terjadi pemaksaan untuk menerapkan secara koheren idealitas sebuah teks terhadap realitas di luar teks tersebut. Kesalahan dari cara pandang seperti itu adalah karena idealitas teks, terlebih lagi teks derivatif yang merupakan respon parsial terhadap realitas, bersifat terbatas dan subyektif, dihadapkan dengan realitas eksternal (historisitas kemanusiaan) yang selalu berubah dan berkembang dan dicirikan dengan obyektifitas. Padahal gerak historisitas dunia selalu berorientasi ke depan dan dicirikan oleh perubahan dan kontinuitas. Sedangkan sebuah teks terbentuk dan dibangun dalam temporalitas dan subyektifitas sejarahnya.
Di sini tidak mungkin untuk memaksakan sesuatu yang baku, statis dan tetap dengan sesuatu yang selalu berubah dan berkembang. Dinamisasi sejarah sebenarnya harus diimbangi juga dengan dinamisasi teks. Keharusan untuk memunculkan teks-teks baru adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi karena bagaimanapun teks berjalan secara diskontinyu dengan manusia sebagai subyeknya. Manusialah yang membentuk, dan menentukan format serta wajah teks. Berbeda dengan realitas di luar teks yang gerak dan dinamisasinya bersifat kontinyu karena berjalan tanpa subyek. Manusia ketika berhadapan dengan realitas eksternal adalah obyek yang keberadaannya ditentukan oleh obyek-obyek lainnya. Dengan perspektif inilah kemudian kita tidak bisa menafikan bahwa manusia tidak mungkin melepaskan diri dari subyektifitas dan temporalitas tempat dan zamannya. Segala bentuk pemikiran, ijtihad dan juga kreasi manusia yang lainnya muncul dari realitas yang mendukung dan melatarbelakanginya. Oleh sebab itulah yang harus menyesuaikan bukan realitasnya akan tetapi teksnya. Teks sebagai salah satu bentuk kreasi manusia dan merupakan respon terhadap kondisi obyektif zamannya tidak mungkin melepaskan diri dari tingkat pengetahuan dan epistemologi zamannya.    
Implikasi lainnya adalah ternyata formalisasi ini menyebabkan terjadinya dominasi atau bahkan hegemoni di satu sisi dan pemasungan kreatifitas manusia di sisi lain. Dominasi atau hegemoni adalah ketika satu atau beberapa bentuk tradisi, budaya ataupun pemikiran diformalkan sehingga muncul menjadi ideologi atau paradigma, maka pada saat itu ia menjadi tertutup dan ditempatkan sebagai satu-satunya kebenaran, sedangkan yang lainnya ketika bertentangan atau berbeda dengannya dianggap salah. Ada proses penghakiman oleh pandangan atau pemikiran terhadap yang lainnya sehingga terjadi peminggiran atau pensubordinasian terhadap pemikiran yang lain. Pandangan atau konsep yang dominan kemudian menggeser, memojokkan, menindas, mensubordinasikan yang lainnya. Dengan ungkapan lain, eksistensi sesuatu yang pinggiran sering ditentukan oleh yang dominan. Dari sini dipahami bahwa formalisasi itu selalu saja berimplikasi pada pengorbanan sekian banyak perspektif pandangan, konsep atau pemikiran untuk eksisnya sebuah pemikiran.       Adapun pemasungan pemikiran terjadi karena ketika sebuah pemikiran dibakukan menjadi sesuatu yang formal, maka kemunculan pemikiran baru ditekan atau bahkan dibunuh sebelum menjadi besar, dan akhirnya stamina umat menjadi lumpuh karena tidak pernah digunakan sehingga mereka sering gagap melihat kenyataan bahwa realitas selalu berubah secara dinamis. Mereka hanya bisa berlindung di bawah hasil penafsiran yang telah diformalkan, dan membuat tembok pemisah yang semakin tebal dengan apa yang ada di luar dirinya. Akibatnya umat sering buta terhadap kebenaran yang ada di luar dirinya dan apriori terhadap kekurangan yang ada pada tubuhnya sendiri.
Dalam Islam disiplin yang telah mengalami pemapanan paling nampak adalah pada disiplin fiqh. Fiqh sebagai salah satu di antara disiplin tradisional Islam adalah disiplin yang berkembang dan diakses secara luas oleh umat Islam. Sebagai akibatnya fiqh mempunyai kekuasaan paling mengikat dan sering melampaui hal-hal bukan menjadi wilayah dan kapasitasnya.[6] Pola pikir fiqh inilah yang telah mewarnai kehudpan umat Islam sejak beberapa generasi mulai ketika muncul ilmu fiqh sebagai disiplin hingga sekarang ketika fiqh sudah dianggap sebagai ilmu yang mapan.  
Dengan dasar itu maka perlu melakukan pembongkaran terhadap formalisasi yang terjadi di dalam Islam dengan terlebih mengadakan pelacakan terhadap paradigma ideal Islam pada masa kenabian. Paradigma tersebut akan dicari dengan melihat kepada proses pewahyuan dengan segala yang melekat padanya dan tidak terhenti hanya dengan menggunakan pendekatan tekstual semata yang justru akan menyebabkan terjebak pada pendekatan normatif. Dari sini akan terlihat bagaimana Islam dimaknakan pada masa pewahyuan, lalu dilanjutkan dengan melacak bagaimana pergesaran paradigma yang mengarah kepada formalisasi setelah masa pewahyuan tersebut yang dilakukan oleh fiqh. Setelah itu akan dilacak bagaimana prosedur, mekanisme dan bias-bias yang ada dalam proses formalisasi tersebut. Dengan mengetahui proses dan mekanisme tersebut, maka akan diketahui adanya reduksi dalam pemaknaan Islam, dari pemaknaan yang bercirikan realistik pada masa kenabian menjadi pemaknaan yang bercorak ideologis setelah masa tersebut.
Pada akhirnya perlu menawarkan paradigma baru setelah dilakukannya deformalisasi. Penawaran paradigma ini adalah dalam upaya untuk memberikan alternatif sehingga pembongkaran tersebut tidak menjadi sesuatu yang destruktif semata. Paradigma tersebut terhadap hukum waris Islam untuk mendapatkan perspektif yang lebih humanis, berkeadilan sesuai dengan kondisi dan konteks kontemporer. Dan sebagaimana telah disebutkan perangkat metodologi yang bisa digunakan untuk melakukan pembongkaran tersebut adalah dengan menggunakan hermeneutika kritis.

Penutup

Dengan memanfaatkan pendekatan hermeneutika kritis sebagai pisau analisisnya maka pembongkaran terhadap formalisasi Islam akan membuka perspektif umat bahwa pemahaman agama bukan dicirikan dengan ketertutupan dan kesinambungan, melainkan dicirikan dengan keterbukaan dan ketidaksinambungan. Pemahaman seperti ini akan membawa kita kepada pemaknaan Islam sebagai kebenaran universal di satu sisi dan kebenaran kondisional di sisi yang lain, dimana antara keduanya mempunyai hubungan fungsional dengan pola dialektik. Kebenaran universal Islam oleh rasio dan pemikiran manusia didialektikakan dengan realitas yang selalu berubah dan bergerak secara dinamis, sehingga pada tataran pemahaman Islam menjadi dinamis dan relevan untuk semua konteks ruang dan waktu. Kesadaran akan dua hirarki kebenaran Islam dan menempatkan keduanya secara proporsional adalah langkah awal dalam pembaharuan pemikiran dan pemahaman terhadap Islam.  
Pemahaman terhadap titah Ilahi yang tidak akan pernah bisa dijangkau sepenuhnya oleh manusia, akan membuat manusia menjadi dinamis dan kreatif dalam beragama. Sebab, dengan pemahaman seperti ini, beragama (berislam) berarti berusaha untuk terus menjadi Islam, sehingga bisa mempersempit jarak dengan Islam ideal tersebut meskipun tidak akan pernah mencapai Islam yang sesungguhnya. Di sisi lain kesadaran terhadap hal tersebut akan membuat kita dinamis dalam beragama, sebab bagaimanapun adanya kesadaran akan realitas yang selalu berubah tentunya harus sertai dengan perubahan dalam pemaknaan Islam. Namun demikian di satu sisi kebenaran Universal Islam harus selalu dijadikan sebagai dasar dalam penerjemahan Islam yang kondisional.
Namun dalam kenyataannya, formalisasi sering terjadi pada kebenaran kondisional Islam yaitu ketika hal tersebut di generalisasikan menjadi kebenaran Universal. Sedangkan Islam sebagai titah Ilahi tidak pernah akan bisa terformalisasikan karena ia berada dalam otoritas Tuhan yang langsung menjadi subyeknya, berbeda dengan Islam sebagai penafsiran atau pemahaman, subyeknya adalah manusia. Tetapi sering keduanya tidak dipisahkan atau dibedakan, sehingga yang kita dianggap sebagai Islam adalah sebagian besar merupakan produk pemikiran manusia sebagai hasil dari kreatifitas mereka ketika berusaha untuk memahami ide-ide Tuhan.
Oleh sebab itu, sejarah pemikiran dan pemahaman Islam tidak bisa dibayangkan berjalan secara koheren dan kontinyu, dalam artian bahwa pengetahuan, doktrin, atau ajaran adalah hasil dari akumulasi panjang yang terus menuju kesempurnaan dan menghasilkan kebenaran komulatif. Masa lalu tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang bersifat koheren dan merupakan pendahulu dari masa kini dalam rangkaian kesinambungan. Sebab jika perspektif ini yang digunakan dalam melihat masa lalu maka sebagai konsekwensinya adalah; sekali produk penafsiran dan obyek-obyeknya dianggap mapan, baku, atau formal, maka sejak itulah kemudian apa yang yang telah ada dianggap sebagai penjamin kebenaran. Sebuah konsep, pemikiran atau ijtihad yang dimapankan pada abad kedua dan ketiga misalnya akan menjadi landasan dari apa yang berkembang pada masa sekarang. Masalah yang muncul dari pendekatan seperti ini adalah pendasarannya pada ilusi restrospektif yang mengandaikan bahwa masa lalu menghasilkan masa kini. Dan lebih jauh lagi masa kini dianggap bersifat statis dan tidak pernah berubah, sehingga hasil ijtihad atau pemikiran yang dimunculkan masa kini akan selalu absah dan bisa diberlakukan pada masa yang akan datang, demikian seterusnya. Wallahu ‘A’lamu Bi ash-Shawab

Daftar Pustaka
Abu Hamid, Al-Gazali, Ihya’ ulum ad-Din, Beirut: Dar al-Fikr, 1996. 
Bleicher, Josef, Hermeneutika Kontemporer, terjemahan Indonesia oleh Ahmad Norma Permata, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003.
Howard, Roy J, Hermeneutika: Wacana Analitik, Psikososial dan Ontologis’ terjemahan Indonesia oleh Kusmana dan M.S.Nasrullah, Bandung: Nuansa, 2000.
Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, 2003.
Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer; Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, terjemahan Indonesia oleh Gunawan Admiranto, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Palmer, Richard E., Hermeneutik: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terjemahan Indonesia oleh Masnyr Hery dan Damanhuri Muhammed, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Sumaryono, E., Hermeneuti; Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Sourous, Aaabdul Karim, Menggugat Atoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Indonesia oleh dari buku aslinya Reason, Freedom and Democracy in Islam oleh Abdullah Ali, Bandung: Mizan Pustaka, 2002.
Thompson, John B., Analisis Ideologi; Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, terjemahan Indonesia oleh Haqqul Yaqin, Yogyakarta: Ircisod, 2003.


[1] Indikasi paling kuat yang membuktikan ini adalah karena dalam realitas kehidupan umat Islam sekarang yang dominan adalah pandangan keagamaan yang bercorak teologis akar-akarnya bisa dilacak kepada perdebatan abad ke 2. Terpecahnya umat Islam menjadi dua kubu yaitu sunni dan syi`ah yang masing-masing membentuk dunia dan pola keberagamaan masing-masing tidak bisa dipungkiri adalah bias perpecahan dan perdebatan teologis tersebut.    
[2] Di sini perlu dibuktikan melalui penelitian lebih jauh apakah proses pembakuan tersebut berjalan secara kultural dan berada di luar kesadaran kolektif umat Islam ataukah dilakukan secara sadar oleh agen-agen tertentu. 
[3] Bandingkan dengan Sourous, Menggugat Atoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Indonesia oleh dari buku aslinya Reason, Freedom and Democracy in Islam oleh Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 35.
[4] Lihat pengantar al-Gazali dalam kitabnya Ihya’ ulum ad-Din 
[5] Konflik yang terjadi di Lombok antara umat Islam yang mengunakan mazhab Syafi’i yang diwakili oleh komunitas Nahdlatul Wathan (NW) dengan mereka yang dianggap sebagai Wahabi, dan juga kasus penghancuran masjid Ahmadiah di Selong adalah contoh dari yang demikian tersebut. 
[6] Dalam sejarah fiqh Islam tradisional dikenal apa yang diistilahkan dengan fiqh hipotetis yaitu rumusan-rumusan fiqh yang sudah melampaui batas-batas kewajaran ilmiah sehingga sering berupa pengandaian belaka, tanpa ada realitas sebagaimana yang terdapat dalam rumusan tersebut.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Formalisasi Syariat Islam "Penerapan Hermeneutika Kritis dalam Studi Islam""

Post a Comment