Biografi Ibnu Hazm dan Pemikirannya Tentang Radha'ah Sebagai Sebab Keharaman Nikah
Biografi Ibnu Hazm dan Pemikirannya |
Ada empat faktor yang mempengaruhi
perkembangan intelektualitas Ibn H>{azm, yaitu semangat pribadinya, para
gurunya, mobilitasnya, dan lingkungan keilmuan yang kondusif.[13]
ان
القرآن هو عهد الله الينا والذى الزمنا الإقرار به والعمل بما فيه. [42]
القرآن والخبر الصحيح بعضها مضاف الى
بعض وهما شيء واحد فى انّهما من عند الله تعالى.[48]
كان فيما انزل فى القرآن عشر رضعات
معلومات ثم نسخن بخمس معلومات فتوفى رسول الله صلى الله عليه و سلم و هن فيما يقرء
من القرآن.[74]
Surat an-Nisa ayat 23 masih
mengandung makna yang 'amm, Allah tidak menyebutkan batasan waktu dua
tahun ataupun waktu tertentu yang menjadi tambahan terhadap ayat tersebut. Ayat
yang 'amm tidak boleh di-takhs}i>s} kecuali dengan nas} yang
menjelaskan bahwa ia menjadi takhs}i>s} bagi ayat tersebut. Takhs}i>s}
tidak boleh didasarkan kepada z}ann atau sangkaan dan ih}tima>l
atau kemungkinan.[78]
Fuqaha yang mengatakan bahwa hadis Salim hanyalah rukhs}ah baginya,
mendasarkan pendapatnya pada z}ann, dan z{ann tidak dapat
membatalkan sunnah, demikian menurut Ibn Hazm. Baik hadis yang menyebutkan rasa lapar sebagai sebab rad{a>'ah
yang mengharamkan nikah maupun hadis Salim, keduanya menurut Ibn Hazm adalah
menjadi aturan tambahan yang wajib diamalkan, sebagaimana diketahui bahwa salah
satu nisbah as-sunnah adalah sebagai tambahan terhadap al-Qur'an.
Menanggapi ayat 233 surat
al-Baqarah yang menyebutkan bahwa masa penyusuan yang sempurna adalah dua
tahun, Ibn Hazm berpendapat bahwa ketentuan yang ada dalam ayat tersebut sama
sekali tidak mengandung unsur pentahriman.[79]
Dengan demikian, ayat tersebut
tidak dapat dijadikan h{ujjah untuk membatasi rad{a>'ah yang
menyebabkan keharaman nikah hanyalah rad{a>'ah anak kecil.
RIWAYAT
HIDUP DAN PEMIKIRAN IBN HAZM
A.
Riwayat Hidup Ibn Hazm
1.
Riwayat Hidup dan
Pendidikan Ibn Hazm
Nama
lengkap Ibn Hazm adalah Abu> Muhammad ‘Ali> bin Sa’i>d bin Hazm bin
Galib bin Sa>lih bin Khala>f bin Ma’dan bin Sufya>n bin Yazid.[1]
Nama panggilanya adalah Abu> Muhammad, tetapi yang digunakan dalam kitabnya
dan lebih dikenal dengan nama Ibn Hazm
saja.[2]
Lahir di akhir bulan Ramadhan 384 H,[3]
bertepatan dengan 7 November
994 M di Andalusia (sekarang Spanyol), setelah fajar menjelang
terbit matahari. Wafat pada tanggal 28 Sya’ban 456 H atau 15 Agustus 1064 M,
dalam usia 72 tahun. [4]
Mengenai
asal usul Ibn Hazm, kebanyakan ahli sejarah menyatakan bahwa Ibn Hazm adalah
keturunan Persia .
Kakeknya, Yazid, adalah orang yang pertama masuk Islam dan menjadi pembantu
utama Yazid Ibn Abi Sufyan saudara dari Mu’a>wiyah, yang diangkat oleh
Abu> Bakar untuk menjadi panglima pasukan yang dikerahkan untuk menaklukkan
negeri Syam.[5]
Pengaruh keluarga Amawiyyah ini sangat besar terhadap diri Ibn Hazm.[6]
Hal ini dapat dibuktikan dari sikap beliau yang sangat fanatik terhadap bani
Umayyah.
Ibn
Hazm lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang serba berkecukupan, baik dari
segi harta, kedudukan, juga kehormatan. Ayahnya adalah seorang menteri pada
masa pemerintahan khalifah bani Umayyah, yaitu Hisyam II (401 H/1010 M-404
H/1013 M) dan Sulaiman II (404 H/1013 M-407 H/1016 M).[7]
Namun demikian, segala fasilitas dan kemewahan harta yang dimilikinya tidak
membuatnya terlena, tetapi justru dimanfaatkan untuk lebih mendalami ilmu.[8]
Layaknya
putra pembesar istana, Ibn Hazm mendapatkan pendidikan yang sangat memadai.
Ayahnya sangat memperhatikan pendidikan dan bakat-bakat yang dimiliki olehnya.
Proses belajar Ibn Hazm dimulai dari menghafal al-Qur’an, syair-syair dan juga
baca tulis yang diajarkan oleh inang pengasuhnya di lingkungan istananya
sendiri.[9]
Kemudian ketika menginjak remaja, pendidikan Ibn Hazm dipercayakan kepada
Abu> al-H{usain bin Ali> al Farisi>, yang sangat dikaguminya sehingga
ia meneladani akhlak dan ketakwaannya.[10]
Setelah
dewasa, Ibn H>{azm mempelajari ilmu-ilmu lainnya, seperti filsafat, sastra,
kalam, etika, mantiq dan ilmu jiwa. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai faqi>h,
ia juga dikenal sebagai teolog, penyair, muh}addis|, sejarawan, dan
penulis yang produktif.[11]
Ia juga membaca karya-karya filsafat Plato dan Aristoteles yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Berbagai disiplin ilmu yang dikuasai dan
beragam guru telah membentuk kerangka berpikir Ibn Hazm yang bersifat
komprehensif.[12]
Ibn
Hazm juga menerima ilmu dari Ahmad ibn Jasu>r, dan juga meriwayatkan hadis
darinya.[14]
Guru-guru lain dalam bidang hadis adalah al-Hamdani, Abu> Bakar Muhammad Ibn
Isha>q dan Ibn Fardi.[15]
Dalam bidang tafsir, Ibn Hazm mempelajari kitab tafsir Baqi> Ibn Makhlad,
teman Ahmad Ibn H{anbal, yang juga menjadi gurunya.[16]
Dalam bidang filsafat, ia belajar kepada ‘Abdullah Muhammad bin al-Hasan
al-Madiji>.[17]
Pada mulanya Ibn Hazm tidak memusatkan perhatiannya pada ilmu fiqh, dia hanya
mempelajari hadis, sastra, sejarah dan beberapa cabang ilmu filsafat.[18]
Dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang muh}addis| sebelum dikenal sebagai
faqi>h.[19]
Ibn Hazm belajar fiqih pada Abu>
Yahya> Ibn Ahmad Ibn Dahlu>r seorang mufti di Cordova. Ia juga
mempelajari kitab al-Muwat}t}a’ bersama gurunya Abu> Yahya> Ibn Dah}wan
yang merupakan seorang ahli fiqih maz|hab Ma>liki dan mufti di Cordova.
Dengan demikian, fiqh yang pertama kali dipelajari oleh Ibn Hazm adalah fiqh
maz|hab Ma>liki. Karena hampir seluruh gurunya bermaz|hab Ma>liki.[20]
Maz|hab
Ma>liki didirikan oleh Ma>lik bin Anas yang pada mulanya berkembang di
Madinah. Maz|hab ini dijadikan maz|hab resmi pemerintahan Spanyol pada waktu
itu.[21]
Meskipun mempelajari maz|hab Ma>liki, Ibn Hazm tidak mau bertaqlid kepada
maz|hab tersebut. Dia juga mempelajari maz|hab Sya>fi’i yang berbeda dengan
Ma>lik pendapatnya baik dalam masalah yang sifatnya us}u>l, maupun
furu’.[22]
Setelah menemukan tulisan yang berisi kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh
asy-Sya>fi’i terhadap maz|hab Ma>liki dan menemukan alasan-alasan serta
uraian-uraian Sya>fi’i> yang memuaskan hatinya, ia pun pindah ke maz|hab
Sya>fi’i> dan mengembangkannya.[23]
Ia begitu kagum dengan keteguhan Sya>fi’i> dalam berpegang kepada nas}.
Namun, ia juga mempelajari kritik dari lawan Sya>fi’i>, seperti Abu>
H{ani>fah tentang al-istih}sa>n dan ulama maz|hab Ma>liki
tentang mas}lah}ah mursalah.[24]
Dengan mempelajari maz|hab Sya>fi’i, ia dapat mengenal ulama-ulama maz|hab
Irak, seperti ‘Abdurrahman bin Abi> Laili>, Ibn Syabramah, Us|man
al-Bata> dan murid-murid Abu> H{ani>fah, misalnya Abu> Yu>suf,
Muhammad bin H{asan, Zu’far bin Huz|ail.[25]
Semasa
hidupnya, Ibn Hazm sering berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain.
Perpindahan tersebut tidak hanya berkaitan dengan masalah politik yang tidak
menentu,[26]
akan tetapi juga mengandung alasan keilmuan.
Perjalanan
dari Cordova, Murcia, Jativa, Valencia, dan kota-kota lain di sekitar Cordova
dimanfaatkan untuk belajar dan mengajar serta menyebarluaskan pemikirannya
kepada kalangan pemuda. Sehingga pola pikirnya berhasil mempengaruhi mereka.[27]
Pemikiran Ibn H}azm banyak kontroversial dengan maz|hab yang ada, sehingga
terjadi polemik dengan para ulama setempat. Meskipun demikian, beliau banyak
mendapat pengikut.[28]
2.
Kondisi Sosio Kultural
Spanyol
masuk ke dalam wilayah kekuasaan Islam sejak masa Abdurrahman ad-Da>khil
dari Bani Umayyah (138 H). Pada masa-masa awal pemerintahannya penuh dengan
pergolakan politik. Spanyol merupakan daerah paling penting di Semenanjung Iberia . Ia
menjadi pusat ilmu pengetahuan, gedung-gedung dengan arsitektur megah, pusat
kesenian, sastra, juga merupakan kawasan industri dan perdagangan yang maju.[29]
Masyarakat
Spanyol terdiri dari beberapa unsur yang tersebar di berbagai tempat. Ada orang Arab, Barbar,
dan juga orang Nasrani yang telah lama hidup di kawasan Eropa. Umat Islam
sendiri terdiri dari beberapa etnis. Pluralisme masyarakat Spanyol, dengan
latar belakang etnis dan agama yang beragam itu berhasil disatukan di bawah
kekuasaan khilafah semenjak masa ‘Abdurrahman III an-Nasir. Akan
tetapi, peperangan dan konflik antara umat Islam dan Nasrani tidak dapat dihindari
lagi. Perselisihan tersebut memuncak mulai dari krisis perpindahan dari rezim
satu ke rezim yang lain, yaitu dari jatuhnya pemerintahan Amiriyah dan
digantikan oleh khalifah Hisyam II sampai pertentangan antar sesama muslim,
terutama orang Arab dengan Barbar. Dalam pertentangan itu terkadang salah satu
pihak dibantu oleh golongan Nasrani. Terutama pada masa-masa krisis
pemerintahan Islam.
Pada
masa Ibn Hazm telah terjadi akulturasi antara budaya asli Spanyol dengan budaya
yang dibawa dari Arab. Masing-masing budaya berusaha mempertahankan
keasliannya.[30]
Dari akulturasi tersebut terjadi pula interaksi pemikiran melalui polemik yang
juga sangat berpengaruh terhadap pemikiran Ibn Hazm.
Sejak
berusia lima
belas tahun, ia mulai menyaksikan peristiwa-peristiwa dramatis dalam sejarah
Islam Spanyol. Kekuasaan kaum Amiriyah runtuh. Diikuti dengan dihancurkannya
segala hal yang berbau mereka. Ibn Hazm pun tidak lepas dari kecurigaan bahwa
beliau pendukung setia dinasti Umayyah, sehingga ia ditangkap dan dipenjara
selama beberapa bulan.
Kendatipun
terjadi krisis politik, tetapi tidaklah demikian dalam bidang ilmu pada masa
Ibn Hazm. Dapat dikatakan bahwa Spanyol pada masa itu mencapai puncak kejayaan
ilmu pengetahuan. Hal ini ditandai dengan banyaknya ulama terkenal yang lahir
pada waktu itu. Di antaranya adalah Ibn ‘Abd al-Barr teman Ibn Hazm dan Abu
al-Wali>d Baji> penantang Ibn Hazm dalam bidang ilmu.
Pada
masa itu juga, ilmu filsafat berkembang di Spanyol, yang berkembang dengan baik
di akhir abad ketiga dan abad keempat, terbukti dengan banyaknya para filosof
Islam yang bermunculan, seperti Ibn Rusyd. Setelah Spanyol berada di bawah
kekuasaan Bani Umayyah, banyak ulama dari Timur yang pindah ke Spanyol untuk
mengembangkan ilmunya. Selain itu, berkembang pula terjemahan-terjemahan dari
buku-buku filsafat Yunani.[31]
Krisis
politik dan keagamaan yang terjadi di Spanyol, menurut Ibn Hazm disebabkan
adanya penalaran bebas terhadap ajaran agama. Adanya variasi dalam memahami
teks dengan berbagai latar prestasi, berbagai pendapat pribadi serta analogi.[32]
Fiqh menurutnya tidak bisa dipisahkan dari pemikiran politik. Sebab setiap ahli
hukum mempunyai pendapat yang tidak lepas dari opini masyarakat. Hal ini karena
fiqh bila ditinjau dari sudut masyarakat sebagai perbuatan hukum diharuskan
sesuai dengan kehendak penguasa dalam menjalankannya.[33]
Kemelut
politik yang berkepanjangan, mendorong Ibn Hazm untuk melakukan penelitian
tentang hukum yang berlaku. Dalam pandangan Ibn Hazm, fiqh maz|hab Ma>liki,
maz|hab resmi pemerintahan Dinasti Umayyah, yang notabene menggunakan ra’yu ternyata tidak mampu mengatasi
kemelut politik yang terjadi. Untuk itu beliau mengajukan fiqh yang secara
langsung mengambil hukum dari sumber asli, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah
sebagai pengganti maz|hab resmi yang tidak mampu mengatasi kemelut politik itu.[34]
3.
Peranan Ibn Hazm
terhadap Mazhab Zhiri
Setelah
meninggalkan percaturan politik, Ibn H}azm menekuni bidang ilmiah. Di antara
para pengikut maz|hab Zahiri, Ibn Hazm-lah yang terkenal sampai saat ini,
baik melalui karya-karyanya maupun melalui literatur maz|hab Zahiri.
Beliau juga berperan di dalam maz|habnya dalam menentang ortodoksi muslim yang
berbeda pada masa itu. Ibn Hazm tidak hanya mempunyai peran dalam yurisprudensi
tetapi juga dalam masalah dogmatik maz|hab Zahiri.[35]
Dalam
berijtihad, Ibn Hazm mengambil sikap bebas dan independen dalam praktek
wacana-wacana Zahiri, dan dalam beberapa hal beliau mengesampingkan
pandangan Imam Abu> Da>wud.[36]
Karena itulah para pengikut Ibn Hazm terutama yang berada di wilayah Magrib
membentuk kelompok yang tersendiri yaitu al-Hazmiyah yang terpisah dengan
kebanyakan maz|hab Z{a>hiri yang lain dan mempunyai garis pokok yang berbeda
dengan maz|hab Z{a>hiri.
Tetapi
bagaimanapun juga Ibn Hazm juga sangat berpengaruh terutama di dunia Barat
sebagai tokoh Z{a>hiri. Boleh dikatakan bahwa beliau satu-satunya yang
mengembangkan maz|hab ini, hampir setiap fatwa Z{a>hiri terwakili oleh Ibn Hazm
dan karya terbesarnya dalam bidang fiqh yaitu al-Muh{alla> yang
mewakili fiqh maz|hab Z{a>hiri.
4.
Karya-karya Ibn Hazm
Karya-karya
Ibn H}azm tidak dapat diketahui semua, sebab sebagian karyanya musnah dibakar
oleh penguasa dinasti al-Mu’tadi (1068-1091 M). Terdapat tiga alasan yang
menyebabkan pembakaran karya-karya Ibn Hazm tersebut. Pertama, mazhab yang
resmi diakui oleh pemerintahan Spanyol pada waktu itu adalah maz|hab
Ma>liki, yang telah melembaga menjadi kekuatan hukum resmi pemerintah.
Sedangkan Ibn Hazm adalah seorang pelopor maz|hab Z{a>hiri di Spanyol. Kedua,
Ibn Hazm secara politis merupakan pendukung utama dinasti Umayyah dan
berkali-kali menjabat sebagai menteri pada masa pemerintahan Umayyah. Hal ini
tentu saja mendatangkan kecurigaan yang kuat dari pihak penguasa, sebab apabila
pemikirannya meluas, dikhawatirkan dapat mengganggu dinasti al-Mu’tadi, apalagi
Ibn Hazm termasuk orang yang berani mengkritik penguasa. Ketiga, Ibn Hazm
dikenal sebagai sejarawan, tulisan-tulisannya yang menyangkut
peristiwa-peristiwa politik pemerintah Spanyol pada waktu itu dinilai oleh
pemerintah sangat berbahaya. [37]
Kondisi
yang demikian itu menjadikan Ibn Hazm harus berjuang keras untuk tetap
mempertahankan pendapat-pendapatnya dan berusaha menjatuhkan lawan-lawan
ilmiahnya. Hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab karangannya yang cenderung
memperkokoh pendapatnya dan menjatuhkan h{ujjah lawan-lawannya.
Karya-karya Ibn Hazm meliputi bidang fiqh, us{u>l fiqh, hadis, mus{t{alah
hadis, aliran-aliran agama, sejarah, sastra, silsilah dan karya apologetik,
yang menurut penuturan puteranya, Abu> Rafi al-Fadl jumlahnya mencapai
kurang lebih sebanyak 400 buah yang ditulis dengan tangannya sendiri.
Sehubungan dengan luasnya bidang ilmu yang dikuasainya itu, R. A Nicholson
memberinya sebutan sebagai “The Greatest Scholar and The Most Original Genius
of Moslem Spain” atau seorang sarjana terbesar dan seorang muslim Spanyol yang
amat jenius.[38]
Berikut ini karya-karya Ibn Hazm yang masih bisa
diketahui, yaitu antara lain:
a. Bidang Fiqh
1) al-Muh{alla>
2) al-Isa>l ila> Fahm
al-Khisa>l
3) al- Khisa>l al-
Ja>mi’ah
4) Masa>’ilun
‘ala> Abwa>b al- Fiqh
b. Bidang Usul
Fiqh
1) Al-Ihka>m fi> Us{u>l
al-Ahka>m
2) Mara>tib
al-Ijma’ aw
Muntaq al-Ijma’
3) Kasyf al-Iltiba>s ma>
Baina As}h}a>b az-Z{a>hir wa As}h}a>b al-Qiya>s
4) as-Sadi wa Rada’
5) at-Talkhi>s wa at-Takhli>s
c. Bidang
Hadis
1) Kita>b al-Jami>’ fi>
S}ah{I>h} al-H{adi>s|
2) Syarh H{adi>s| al-Muwat}t}a’
wa al-Kala>m ‘ala Masa>’ilihi
d. Bidang
Teologi dan Perbandingan Agama
1) Al-Fis}a>l fi>
al-Mila>l wa Ahwa>’ wa an-Nih}a>l
2) Iz{ha>r Tabdi>l al-Yahu>di>
wa an-Nas}a>ra> li at-Taura>t
wa al-Inji>l wa Baya>nuhu Tana>qud
wa bi Aidi>him min Z|a>lika Mimma>
la> Yah}tamil at-Ta’wi>l
3) An-Nasa>’ih
al-Munjiyah min al-Fad{a>il al-Nukhziyah
wa al-Walqoba>ih} min Aqwa>l Ahl al-Bid’ min al-Farq al-Arba’:
al-Mu’tazilah, al-Khawa>rij, al-Murji’ah, wa asy-Syi>’ah
e. Bidang
Filsafat
1) Tarqi>b
li Hadd al-Manti>q wa al-Madkha>l Ilaih bi Alfa>z} al-‘Ainiyah wa
al-Ainsila>t al-Fiqhiyya>t
2) Mara>tib al-‘Ulu>m
f. Bidang
Sastra
1) Al-Akhla>q
wa as-Siya>r
fi Muda>wa> an-Nufu>s
2) Diwa>n asy-Syi’I>r
3) T{auq al-H{ama>mah fi
al-Ilfati wa al-Alla>f
g. Bidang
Sejarah
1) Al-Fihrasah
2) Fad{l al-Andalu>s
3) Jamhara>t al-Ansa>b al-‘Ara>b
4) Al-Nufa>dah bain as-Sah{a>bah
5.
Dasar Istinbat Hukum
Ibn Hazm
Meskipun
dikenal sebagai imam kedua maz|hab Zahiri, tetapi pendapat-pendapat yang
dikemukakannya adalah orisinil dari pemikirannya sendiri. Ibn Hazm adalah
seorang mujtahid mut}laq, karena dia mempunyai metodologi sendiri dalam
beristinbat} dan dia juga bukan pengikut Daud al- As}faha>ni. Sehingga tidak
dapat dikatakan bahwa Ibn Hazm adalah mujtahid
muntasib atau mujtahid fi al-maz|hab.[40]
Adapun
sumber-sumber yang digunakan oleh Ibn Hazm dalam mengeluarkan hukum adalah
al-Qur'an, as-sunah, ijma’ dan dali>l.[41]
a. Al-Qur'an
Ibn
Hazm mendefinisikan al-Qur'an sebagai perjanjian Allah yang mengikat manusia
untuk mengakui dan mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya. Hal ini
sebagaimana yang dikatakannya dalam al-Ih}ka>m:
ان
القرآن هو عهد الله الينا والذى الزمنا الإقرار به والعمل بما فيه. [42]
Mengenai
kebenaran al-Qur'an tidak
diragukan lagi karena periwayatannya yang benar-benar menyeluruh. Manusia harus
berpegang teguh kepada apa yang terdapat di dalamnya dan wajib untuk
mengamalkan dan menjadikannya sebagai tempat kembali, sebagai rujukan pokok
segala permasalahan umat. Hal ini didasarkan kepada firman Allah:
Ibn
Hazm mengakui kemujmalan al-Qur'an, sehingga diperlukan baya>n.
Bentuk baya>n ini bisa dengan ayat al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Baya>n
dibagi menjadi istis|na dan takhs}i>s.[44]
Selain itu, sebagaimana dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, Ibn Hazm juga
memandang tauki>d sebagai baya>n, karena tauki{d menolak
kemuhtamilan takhs{is{.[45]
Dalam
menghadapi nas} al-Qur’an maupun as-sunnah, menurut Ibn Hazm harus dipahami
secara langsung dari ketentuan nas} itu sendiri, yaitu berdasarkan pengertian menurut
bahasa serta tidak menerima ta’wil kepada arti yang lain selama tidak
ada dalil berupa wahyu yang lain yang mengharuskan adanya ta’wil
tersebut. Hal ini beliau tegaskan dalam al-Ih{ka>m:
b. As-Sunnah
Ibn
Hazm memposisikan as-Sunnah sebagai sumber kedua dalam pengambilan hukum
setelah al-Qur'an. As-Sunnah dipandang masuk ke dalam nas}-nas}
yang turut membina syari’at Islam meskipun h}ujjah-nya diambil dari
al-Qur'an.[47]
Al-Qur'an dan as-Sunnah satu sama lain saling melengkapi, karena keduanya
datang dari Allah, dan hukum keduanya adalah sama dalam hal kewajiban taat
kepada keduanya. Menurut Ibn Hazm, al-Qur'an dan as-Sunnah adalah satu tingkatan
sebagaimana tertulis dalam al-Ih}ka>m:
القرآن والخبر الصحيح بعضها مضاف الى
بعض وهما شيء واحد فى انّهما من عند الله تعالى.[48]
Ibn
Hazm membagi as-sunnah ke dalam tiga bagian, yaitu, qauliyah, fi’liyah, dan taqri>riyah. Ucapan Rasulullah
seluruhnya adalah wahyu berdasarkan firman Allah SWT:
Dengan
demikian, yang dijadikan h}ujjah untuk menunjukkan wajib adalah
perkataan Nabi saja, sedangkan perbuatan beliau hanyalah merupakan qudwah,
taqri>r beliau adalah iba>h}ah dan keduanya tidak bisa
dijadikan h}ujjah kecuali bersamaan dengan ucapan atau bila terdapat qari>nah
yang menunjukkannya sebagai kewajiban.[50]
Ibn
Hazm membagi hadis berdasarkan kuantitas periwayatannya kepada dua macam,
yaitu:
1) Hadis
Mutawatir
Hadis
mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh kebanyakan orang dari beberapa
generasi sehingga sampai kepada Nabi. Khabar seperti ini tidak diperselisihkan
dalam hal kewajiban mengambilnya dan melaksanakannya, karena merupakan suatu
kebenaran yang meyakinkan. Dalam memandang hadis mutawatir, Ibn Hazm tidak
menjadikan banyaknya jumlah perawi sebagai ciri hadis mutawatir, namun
menekankan kepada kemustahilan terjadinya persekongkolan negatif. Dengan
demikian, hadis mutawatir dapat muncul dari periwayatan minimal dua orang.
Al-Qur'an
dan as-Sunnah mempunyai tingkatan yang sama. Hukum keduanya adalah sama dalam
hal kewajiban taat kepada keduanya.[51]
Sebagaimana firman Allah:
Dengan
demikian, melalui hadis dapat diketahui bahwa al-Qur'an benar-benar disampaikan
oleh Nabi SAW kepada umatnya. Selain itu, dapat diketahui hukum-hukum yang
tidak dijelaskan penafsirannya secara terperinci oleh al-Qur'an, seperti bacaan
s}alat, kebangkitan, dan lain-lain.[53]
2) Hadis Ah{ad
Hadis
ah{ad adalah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang dari seseorang dan
riwayatnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui orang-orang yang adil. Kadang-kadang
hadis ah{ad itu diriwayatkan lebih dari satu orang tetapi belum memenuhi
derajat mutawatir, yaitu tidak terpelihara dari bersepakat untuk berdusta.[54]
Ibn Hazm berpendapat bahwa hadis ah{ad wajib diyakini kebenarannya dan
diamalkan. Adapun dalam hal hadis mursal, yaitu hadis yang gugur antara salah
satu perawinya dan Nabi Saw serta diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi
terputus (munqat}i’), Ibn Hazm tidak menerimanya, kecuali jika hadis itu
di-irsal-kan oleh tabi’in besar atau hadis mursal tersebut dikuatkan
oleh hadis lain, dengan pendapat sahabat atau diterima oleh ahli hadis.[55]
Ibn
Hazm menolak ta’a>rud{ dalam hadis. Beliau mengandaikan dua hadis
yang dianggap berbeda jika salah satu mengandung makna lebih sedikit dari yang
lain dengan mengistinbatkannya. Contohnya adalah hadis tentang larangan
menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang air, dengan suatu hadis dari Ibn
‘Uma>r yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW buang hajat membelakangi kiblat
dalam suatu bangunan. Menurut Ibn Hazm, cara mengamalkan keduanya itu adalah
dengan memahami bahwa hadis Ibn ‘Uma>r itu datangnya sebelum larangan
tersebut.[56]
Ibn
Hazm berusaha mempertahankan nas}-nas} yang dipandang berlawanan satu
sama lainnya dengan cara:
1) Takhs}i>s}
2) Menjuruskan
masing-masing nas} kepada jurusannya sendiri, seperti pemberian mut’ah.
3) Memandang
salah satu nas} sebagai pen-takhs}i>s} bagi yang lain pada bagian
yang dicakup oleh kedua-duanya. Umpamanya haji bagi wanita.[57]
c. Ijma’
Ijma’
adalah sumber hukum yang ketiga. Dasar berlakunya ijma' adalah firman Allah:
Ibn
Hazm berpendapat mengenai ijma’: “Kami telah sepakat dan kebanyakan orang-orang
yang menyalahi kami, bahwasannya ijma’ dari segenap ulama Islam adalah hujjah
dan suatu kebenaran yang meyakinkan dalam agama Allah.”[59]
Ijma’
yang dimaksud di sini adalah ijma sahabat karena sahabat adalah orang yang bisa
menyaksikan secara langsung bimbingan dari Rasulullah SAW. Kesahihan hanyalah
dari bimbingan Rasulullah karena itu ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat,
adapun setelahnya tidak bisa dijadikan dasar ijma’ karena para sahabat pada
waktu itu telah berpencar, dan barangkali inilah hakekat ijma’.
Adapun
objek atau sandaran ijma menurut Ibn Hazm adalah berasal dari nas}.
Tidak ada ijma’ tanpa disandarkan pada nas}, sebab usaha manusia dalam rangka
menemukan ‘illat tidak mungkin sama karena perbedaan tujuan dan tabiat.
Ibn
Hazm tidak menjelaskan arti ijma’ secara definitif, tapi beliau membagi ijma’
ke dalam dua bagian:
1) Sesuatu
yang tidak bisa diragukan lagi sekalipun oleh seorang muslim sebagaimana dua
kalimah syahadat. Kewajiban menjalankan shalat lima waktu, keharaman darah dan babi,
pengakuan terhadap al-Qur'an dan kuantitas zakat.
2) Sesuatu
yang disaksikan sahabat tentang perilaku Rasulullah SAW atau sesuatu keyakinan
bahwa Rasulullah SAW telah memberitahukan sikap beliau kepada orang-orang yang
tidak hadir di hadapan beliau.[60]
d. Dali>l
Dasar
yang keempat dari istinbat hukum yang ditempuh Ibn Hazm dan golongan
Z{a>hiri adalah mempergunakan sebagai pengganti qiya>s apa yang dalam
istilah Ibn Hazm dinamakan dali>l.[61]
Dalam
menanggapi pendapat yang mengatakan bahwa dali>l itu sama dengan qiya>s,
Ibn Hazm secara tegas mengatakan bahwa orang yang tidak tahu menduga bahwa
pendapat kami tentang dalil telah keluar atau menyimpang dari nas{ dan ijma’;
dan sebagian lagi menduga bahwa qiya>s dengan dali>l adalah sama.
Dugaan mereka sangat keliru.[62]
Ibn
Hazm membagi dali>l menjadi dua, yaitu dali>l yang diambil
dari nas{ dan dali>l yang diambil dari ijma’. Dali>l yang
diambil dari nas} adalah:
1) Mengeluarkan
nati>jah dari dua mukadimah atau proposisi.
2) Menerapkan
segi keumuman makna.
3) Makna yang
ditunjuk oleh suatu lafaz{ mengandung penolakan terhadap makna lain yang
tidak mungkin bersesuaian dengan makna yang dikandung oleh lafaz{
tersebut.
4) Apabila
sesuatu tidak ada nas{ yang menentukan hukumnya, maka hukumnya adalah muba>h{.
5) Qada>ya> mudarajat (proposisi
berjenjang), yaitu pemahaman bahwa derajat tertinggi itu dipastikan berada di
atas derajat yang lain yang berada di bawahnya.
6) ‘Aks
al-qada>ya> (pertentangan proposisi), yaitu pemahaman yang
menyatakan bahwa setiap proposisi kulliyat senantiasa memiliki
pengertian yang berlawanan dengan proposisi juz’iyyat-nya.
7) Cakupan
makna yang merupakan keharusan yang menyertai makna yang dimaksud.[63]
Adapun
dali>l yang diambil dari ijma’ ada empat bagian, yaitu:
1) Istis}h{a>b al-h}a>l, yaitu
kekalnya hukum asal yang telah tetap berdasarkan nas{, hingga ada dali>l
tertentu yang menunjukkan adanya perubahan.
2) Aqallu ma> qi>la,
yaitu target minimal atau batas terendah dari suatu ukuran yang
diperselisihkan.
3) Konsensus
ulama untuk meninggalkan suatu pendapat.
4) Konsensus
ulama tentang universalitas hukum. [64]
B. Pemikiran Ibn Hazm Tentang Rada'ah Sebagai Sebab Keharaman Nikah
Dalam
menghadapi dasar-dasar ist{inba>t hukum, Ibn Hazm sedikit berbeda
dengan jumhur. Jumhur ulama berpegang pada al-Qur’an, hadis, ijma’ dan ra’yu.
Sedangkan Ibn Hazm tidak berpegang kepada ra’yu. Ibn Hazm hanya
berpegang kepada z{ahir nas{, yaitu dalam menanggapi makna yang tersurat
dari lafaz{-lafaz{ tanpa meneliti ‘illat-nya dan tanpa menqiyaskan
sesuatu kapadanya.
Berkenaan
dengan ketentuan rad{a>’ah yang menjadi sebab larangan nikah, Ibn
Hazm mengembalikan pengertian rad{a>'ah kepada makna ird{a>',[65] yang
secara etimologi berarti menyusu atau menetek.[66] Hal ini beliau jelaskan dalam al-Muh{alla>:
واما صفة الرضاع
المحرم فإ نما هو ما امتصه الراضع من ثدي المرضعة
Dengan demikian, yang dinamakan rad{a>'ah,
menurut beliau hanyalah dengan cara seorang wanita meletakkan s|adyu-nya
ke mulut ra>d{i', dan mengisapnya.[68]
Sedangkan, rad{a>’ah yang dilakukan dengan cara selain itu, misalnya
dengan cara al-waju>r (menuangkan asi lewat mulut ke kerongkongan), as-sa'u>t}
(menuangkan ASI ke hidung), atau melalui suntikan tidak termasuk rad{a>’ah
yang menyebabkan keharaman nikah.
Dalam hal ini, Ibn Hazm
sependapat dengan ahlu z{a>hir yang lain. Dan pendapat ini juga seperti yang
dilontarkan oleh Abu> Lais| bin Sa’ad dan Abu> Sulaiman. Mereka
mendasarkan pendapat mereka kepada sebuah riwayat dari ‘Abdurrazaq, yang
menceritakan bahwa At}a' mengatakan tidak ada riwayat yang mengatakan as-sa’u>t}
menyebabkan keharaman nikah.[69]
Selanjutnya, Ibn Hazm menjadikan
hadis Nabi yang berbunyi:
sebagai
h{ujjah, dengan dua alasan; pertama, makna yang dimaksud dalam
hadis tersebut, yaitu bahwa yang menyebabkan keharaman nikah hanyalah penyusuan
yang berfungsi untuk menghilangkan rasa lapar, dan yang demikian tidak terdapat
dalam as-sa'u>t{, karena as-sa'u>t{ tidak dapat
menghilangkan rasa lapar. Kedua, Nabi hanya mengharamkan pernikahan yang
disebabkan rad{a>'ah yang berfungsi untuk menghilangkan rasa lapar,
dan beliau tidak mengharamkan pernikahan dengan selain ini. Karena itu, tidak
ada pengharaman dengan cara-cara selain yang dapat menghilangkan lapar, seperti
dengan cara memakan, meminum, menuangkan susu lewat mulut, dan sebagainya,
melainkan dengan jalan penyusuan menetek, sebagaimana sabda Rasulullah SAW di atas dan juga keumuman ayat rad{a>’ah.[71]
Selain
membahas cara sampainya ASI ke perut ra>d{i', Ibn Hazm juga
menetapkan beberapa ketentuan lain terkait dengan syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam menentukan rad{a>’ah yang menjadi sebab larangan
nikah, yaitu mengenai batas kadar frekuensi penyusuan, pembatasan usia ra>d{i’,
kondisi murd{i’, dan status suami dari ibu susuan.[72]
1.
Batas Kadar Frekuensi Penyusuan
Ibn Hazm menetapkan kadar
penyusuan yang menyebabkan keharaman nikah sebanyak lima kali, yang masing-masing disyaratkan
dapat memberikan rasa kenyang.[73]
Hadis yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya adalah hadis ‘Aisyah;
كان فيما انزل فى القرآن عشر رضعات
معلومات ثم نسخن بخمس معلومات فتوفى رسول الله صلى الله عليه و سلم و هن فيما يقرء
من القرآن.[74]
Ibn
Hazm menjadikan khabar di atas sebagai tambahan untuk ayat rada'ah.
Dilihat dari segi sanadnya, Ibn Juraij adalah rawi yang s|iqah, oleh
karena itu riwayatnya tidak boleh ditinggalkan.[75]
Pendapat beliau ini sama dengan pendapat asy-Sya>fi’i>.
2.
Pembatasan Usia Ra>d{i’
Dalam hal ini, Ibn Hazm
memandang keumuman ayat rad{a>'ah yang di dalamnya tidak disebutkan
batas usia penyusuan yang menyebabkan keharaman nikah, sehingga beliau
berpandangan bahwa rad{a>'ah yang menyebabkan keharaman nikah tidak
hanya yang dilakukan pada usia anak-anak, tetapi juga setelah dewasa. Dengan
demikian, rad{a>’ah orang dewasa (rad{a>’ al-kabi>r)
adalah mengharamkan sama seperti rad{a>'ah anak kecil.[76]
Pendapatnya ini kontroversial
dengan jumhur ulama.
Dalil yang digunakan sebagai h}ujjah-nya
adalah riwayat dari 'Aisyah tentang kisah Sahlah ketika menanyakan tentang
Salim, dan Nabi SAW bersabda kepadanya sebagai berikut:
جاءت سهلة بنت سهيل الى النبى صلى الله
عليه وسلم فقالت يا رسول الله انى ارى فى
وجه ابى حذيفة من دخول سالم وهو خليفه فقال النّبى صلى الله عليه وسلّم ارضعيه
قالت وكيف ارضعه وهو رجل كبير فتبسّم رسول الله صلى الله عليه وسلّم وقال قد علمت
انّه رجل كبير.[77]
Ibn Hazm
mempertegas pendapatnya dengan mengatakan apabila hadis Salim adalah rukhs}ah bagi Salim, maka niscaya Rasulullah memberi
penjelasan bahwa ketentuan itu hanya berlaku baginya. Sebagaimana dalam kasus
Abi Burdah, Nabi mengatakan bahwa kebolehan untuk berkurban dengan jaz|'ah
(anak kambing) hanyalah berlaku untuk Abi Burdah saja.
Sebagaimana Allah SWT telah memberi contoh tentang suatu ketentuan yang
berlaku khusus hanya untuk Rasulullah, yaitu tentang pernikahan Rasulullah,
Dalam
menanggapi ulama yang membatasi masa penyusuan dengan batas usia dua tahun, Ibn
Hazm melihat z{ahir dari surat al-Baqarah ayat 233 yang mereka jadikan h}ujjah, di
dalamnya tidak disebutkan makna pen-tahrim-an. Penyusuan anak setelah
dua tahun atau setelah penyapihan hanya menjadi alasan terputusnya nafkah wajib
bagi ayah untuk membiayai penyusuan anak, dan ini bukan berarti putusnya
kebutuhan anak terhadap ASI.[82]
Mereka juga ber-h}ujjah dengan hadis dari Ummu Salamah yang
membatasi rad{a>’ah sebelum penyapihan. Akan tetapi Ibn Hazm
memandang bahwa khabar tersebut munqat}i', karena Fa>t}imah binti
Munz|ir tidak mendengar langsung dari Ummu Salamah, sebab pada waktu Ummu
Salamah wafat, Fa>t}imah masih sangat kecil untuk meriwayatkan hadis.[83]
3. Kondisi Murd{i’
Berkaitan
dengan murd{i', Ibn Hazm tidak memberikan persyaratan khusus. Murd{i'
tidak dibatasi, baik masih hidup ataupun sudah meninggal, bahkan dalam keadaan
mabuk atau gila.[84]
Dalam hal ini, beliau memandang keumuman lafaz{ ummaha>t yang
disebutkan dalam surat
an-Nisa’ ayat 23.
4.
Status Suami Ibu Susuan (Labn al-Fah{l)
Adapun mengenai status suami dari ibu susuan, Ibn Hazm menyamakannya dengan ayah kandung, sebagaimana ibu susuan
menempati posisi yang sama dengan ibu kandung. Dengan demikian, suami ibu
susuan juga haram untuk dinikahi.[85] Dasar
pemikirannya adalah sebuah hadis ‘Aisyah:
ان افلح اخا ابي
القعيس جاء يستأذن على فكرهت ان آذن له حتى اسنأذنك قالت فقال النبي صلى الله عليه
وسلم إئذني له.[86]
Ibn Hazm
memahami hadis tersebut sebagai aturan tambahan terhadap ayat rad{a>'ah
(an-Nisa ayat 23), karena di dalam ayat tersebut hanya disebutkan ibu susuan
dan saudara perempuan sepersusuan, sementara dari pihak suami ibu susuan tidak
disebutkan.[87]
[1] Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn
H{azm az{-Z{a>hiri, cet. 1 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1992), hlm. 7.
[2] Muhammad Abu> Zahrah , Ta>rikh
al-Maz|a>hib al-Isla>miyyah (T.t.p.:
Da>r al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), hlm. 383.
[3] Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn
H{azm. hlm. 7.
[4] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam (Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve,), IV: 608.
[5] Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn
H{azm, hlm. 9.
[6]
Huzaimah T. Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta:
Logos, Wacana Ilmu, 1997), hlm.
156.
[7]
Depag RI , Ensiklopedi Islam (Jakarta: Depag
RI, 1993),II: 392.
[8] Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-Pokok
Pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 288.
[9]
Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn H{azm., hlm. 5.
[10] Hasbi as-Shiddieqy,
Pokok-Pokok., hlm. 289.
[11] Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn
H{azm., hlm. 8.
[12] Depag RI ,
Ensiklopedi Islam. hlm. 392.
[13] Hasbi as-Shiddieqy,
Pokok-Pokok., hlm. 298.
[15] Ibid., hlm. 41
[16] Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-Pokok.,
hlm. 300.
[17] Ibid.
[18] Hasbi as-Shiddieqy,
Pokok-Pokok., hlm. 289.
[19] Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn
H{azm., hlm. 42.
[21] Maz|hab
Ma>lik yang pada mulanya berkembang di Madinah, sampai ke benua Eropa
khususnya Spanyol setelah Ziya>d bin ‘Abdurrahma>n dikirim dari Spanyol
ke Madinah untuk belajar kepada Imam Ma>lik. Sekembalinya ke Spanyol, ia
mengembangkan mazhab ini.. Sebelumnya, di Andalus sudah berkembang maz|hab
al-Auza'i>, seorang faqi>h dari Syam. Maz|hab tersebut berkembang pada
masa Umayyah, dan sampai ke Spanyol dibawa oleh orang-orang Syam yang hijrah ke
Spanyol. Lihat
Abdul Hamid al-Abadi, al-Mujma>l fi> al-Ta>rikh al-Andalus (Kairo:
Da>r al-Qala>m, 1964) hlm. 75.
[22] Muhammad Abu> Zahrah, Ta>rikh.,
hlm. 387.
[23] Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-Pokok., hlm. 290.
[24] Muhammad Abu> Zahrah , Ta>rikh.
hlm. 387.
[25] Ibid.
[26] Depag RI , Ensiklopedi.,
II: 392.
[27] Muhammad Abu> Zahrah , Ta>rikh.
hlm. 391.
[28] Ibid.
[29] Abdul Lat}i>f Syararah, Ibn H{azm Ra>’id al-Fikri al-‘Ilmi (Beirut : al-Maktabah
at-Tija>riyah, t.t.), hlm. 28.
[30] Faruq ‘Abdul Mu’ti, Ibn
Hazm., hlm. 72-73.
[31] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., II: 303.
[32] ‘Abdul Lat}i>f Syararah, Ibn H{azm., hlm. 66.
[33] Ibid., hlm. 69.
[34] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,
cet. 2 (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 151.
[35] ‘Abdul Lat}i>f Syararah, Ibn H{azm., hlm. 70.
[36]
Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok, I: 87.
[37] Depag, Ensiklopedi, II:
392 dan lihat juga Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., hlm. 294.
[39] Abdul Latif Syararah, Ibn
H}azm., hlm. 111-113.
[40] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., I: 87.
[41] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., I: 70.
[44] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m, I: 79.
[47] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., II: 93.
[49]
An-Najm (53): 3-4.
[50] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., I: 99. Lihat juga Ibn
H{azm, al-Ih{ka>m., II: 145.
[51] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., I: 96.
[53] Ibn H{azm, al-Ihka>m., I: 102.
[54] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., I: 99.
[55] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., I: 100.
[56] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., II: 175.
[57] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., II: 102.
[58]
An-Nisa (4): 59.
[59] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., IV: 538.
[60]
Ibn H{azm, al-Ih{ka>m.,
IV: 533-535.
[61] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., II: 116.
[62] Ibn Hazm, al-Ihkam, V: 100.
[63] Ibid.
[64] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m, V: 100.
[65]
Ibn H{azm, al-Muh{alla>
(Mesir: Maktabah al-Jumhu>riyyah al-'Arabiyyah, 1968), X: 7.
[66] Ahmad Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia , (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hal. 504.
[69] Ibid.
[70]
Muslim, Al-Ja>mi’
al-S}ahi>h (Beirut : Da>r al-Fikr, t.t.), III:
170., “Kita>b ar-Rad{a>’,” “Ba>b
Innama> al-rad{a>’ah min al-maja>’ah.” Hadis} dari Hanna>d
bin as-Sirri> dari Abu> al-Ah{wa>s{ dari Asy’as dari ayahnya dari
Masru>q dari ‘Aisyah.
[72] Ibid.,
X: 2.
[74] Muslim, al-Ja>mi
al-S{ahi>h, III: 167. “Kita>b al-Rad{a>’’,” “Ba>b at-Tahri>m
bi Khams Rad{a>’a>t.” Hadis diriwayatkan dari Yahya ibn Yahya dari
'Abdullah ibn Abi Bakar dari Amrah.
[75] Ibn H{azm, al-Muh{alla,>
X: 16.
[77] Muslim, al-Ja>mi
al-S{ahi>h, III: 168. “Kita>b al-Rad{a>’’,” “Ba>b Rad{a>’ah
al-Kabi>r.” Hadis diriwayatkan dari Amr an-Na>kid dan Ibn Abi> Umar
dari Sufyan ‘Uyainah dari ‘Abd Rahman ibn Qa>sim dari ayahnya dari ‘Aisyah.
[78]
Ibn H{azm, al-Muh{alla>,
X: 22.
[80] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m III:394.
[81] Al-Ah{za>b (33): 50.
[82] Ibn H{azm, al-Muh{alla, X:
20.
[83] Ibid., X: 21.
[86] Muslim, al-Ja>mi
al-S{ahi>h, III: 163. “Kita>b
al-Rad{a>’’,” “Ba>b Tah{ri>mu al-Rad{a>’ah min Ma>’i al-Fah{l.”
Hadis diriwayatkan dari H{armalah ibn Yahya dari Ibn Wahbin dari Yunus dari Ibn
Syihab dari Urwah dari ‘Aisyah.
0 Response to "Biografi Ibnu Hazm dan Pemikirannya Tentang Radha'ah Sebagai Sebab Keharaman Nikah"
Post a Comment