Image1

Biografi Ibnu Hazm dan Pemikirannya Tentang Radha'ah Sebagai Sebab Keharaman Nikah

Biografi Ibnu Hazm dan Pemikirannya |

RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN IBN HAZM


A.    Riwayat Hidup Ibn Hazm
1.      Riwayat Hidup dan Pendidikan Ibn Hazm 
Nama lengkap Ibn Hazm adalah Abu> Muhammad ‘Ali> bin Sa’i>d bin Hazm bin Galib bin Sa>lih bin Khala>f bin Ma’dan bin Sufya>n bin Yazid.[1] Nama panggilanya adalah Abu> Muhammad, tetapi yang digunakan dalam kitabnya dan lebih dikenal dengan nama Ibn Hazm  saja.[2] Lahir di akhir bulan Ramadhan 384 H,[3] bertepatan dengan 7 November 994 M di Andalusia (sekarang Spanyol), setelah fajar menjelang terbit matahari. Wafat pada tanggal 28 Sya’ban 456 H atau 15 Agustus 1064 M, dalam usia 72 tahun. [4]
Mengenai asal usul Ibn Hazm, kebanyakan ahli sejarah menyatakan bahwa Ibn Hazm adalah keturunan Persia. Kakeknya, Yazid, adalah orang yang pertama masuk Islam dan menjadi pembantu utama Yazid Ibn Abi Sufyan saudara dari Mu’a>wiyah, yang diangkat oleh Abu> Bakar untuk menjadi panglima pasukan yang dikerahkan untuk menaklukkan negeri Syam.[5] Pengaruh keluarga Amawiyyah ini sangat besar terhadap diri Ibn Hazm.[6] Hal ini dapat dibuktikan dari sikap beliau yang sangat fanatik terhadap bani Umayyah.
Ibn Hazm lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang serba berkecukupan, baik dari segi harta, kedudukan, juga kehormatan. Ayahnya adalah seorang menteri pada masa pemerintahan khalifah bani Umayyah, yaitu Hisyam II (401 H/1010 M-404 H/1013 M) dan Sulaiman II (404 H/1013 M-407 H/1016 M).[7] Namun demikian, segala fasilitas dan kemewahan harta yang dimilikinya tidak membuatnya terlena, tetapi justru dimanfaatkan untuk lebih mendalami ilmu.[8]
Layaknya putra pembesar istana, Ibn Hazm mendapatkan pendidikan yang sangat memadai. Ayahnya sangat memperhatikan pendidikan dan bakat-bakat yang dimiliki olehnya. Proses belajar Ibn Hazm dimulai dari menghafal al-Qur’an, syair-syair dan juga baca tulis yang diajarkan oleh inang pengasuhnya di lingkungan istananya sendiri.[9] Kemudian ketika menginjak remaja, pendidikan Ibn Hazm dipercayakan kepada Abu> al-H{usain bin Ali> al Farisi>, yang sangat dikaguminya sehingga ia meneladani akhlak dan ketakwaannya.[10]
Setelah dewasa, Ibn H>{azm mempelajari ilmu-ilmu lainnya, seperti filsafat, sastra, kalam, etika, mantiq dan ilmu jiwa. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai faqi>h, ia juga dikenal sebagai teolog, penyair, muh}addis|, sejarawan, dan penulis yang produktif.[11] Ia juga membaca karya-karya filsafat Plato dan Aristoteles yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Berbagai disiplin ilmu yang dikuasai dan beragam guru telah membentuk kerangka berpikir Ibn Hazm yang bersifat komprehensif.[12]
Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektualitas Ibn H>{azm, yaitu semangat pribadinya, para gurunya, mobilitasnya, dan lingkungan keilmuan yang kondusif.[13]
Ibn Hazm juga menerima ilmu dari Ahmad ibn Jasu>r, dan juga meriwayatkan hadis darinya.[14] Guru-guru lain dalam bidang hadis adalah al-Hamdani, Abu> Bakar Muhammad Ibn Isha>q dan Ibn Fardi.[15] Dalam bidang tafsir, Ibn Hazm mempelajari kitab tafsir Baqi> Ibn Makhlad, teman Ahmad Ibn H{anbal, yang juga menjadi gurunya.[16] Dalam bidang filsafat, ia belajar kepada ‘Abdullah Muhammad bin al-Hasan al-Madiji>.[17] Pada mulanya Ibn Hazm tidak memusatkan perhatiannya pada ilmu fiqh, dia hanya mempelajari hadis, sastra, sejarah dan beberapa cabang ilmu filsafat.[18] Dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang muh}addis| sebelum dikenal sebagai faqi>h.[19] Ibn Hazm  belajar fiqih pada Abu> Yahya> Ibn Ahmad Ibn Dahlu>r seorang mufti di Cordova. Ia juga mempelajari kitab al-Muwat}t}a’ bersama gurunya Abu> Yahya> Ibn Dah}wan yang merupakan seorang ahli fiqih maz|hab Ma>liki dan mufti di Cordova. Dengan demikian, fiqh yang pertama kali dipelajari oleh Ibn Hazm adalah fiqh maz|hab Ma>liki. Karena hampir seluruh gurunya bermaz|hab Ma>liki.[20]
Maz|hab Ma>liki didirikan oleh Ma>lik bin Anas yang pada mulanya berkembang di Madinah. Maz|hab ini dijadikan maz|hab resmi pemerintahan Spanyol pada waktu itu.[21] Meskipun mempelajari maz|hab Ma>liki, Ibn Hazm tidak mau bertaqlid kepada maz|hab tersebut. Dia juga mempelajari maz|hab Sya>fi’i yang berbeda dengan Ma>lik pendapatnya baik dalam masalah yang sifatnya us}u>l, maupun furu’.[22] Setelah menemukan tulisan yang berisi kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh asy-Sya>fi’i terhadap maz|hab Ma>liki dan menemukan alasan-alasan serta uraian-uraian Sya>fi’i> yang memuaskan hatinya, ia pun pindah ke maz|hab Sya>fi’i> dan mengembangkannya.[23] Ia begitu kagum dengan keteguhan Sya>fi’i> dalam berpegang kepada nas}. Namun, ia juga mempelajari kritik dari lawan Sya>fi’i>, seperti Abu> H{ani>fah tentang al-istih}sa>n dan ulama maz|hab Ma>liki tentang mas}lah}ah mursalah.[24] Dengan mempelajari maz|hab Sya>fi’i, ia dapat mengenal ulama-ulama maz|hab Irak, seperti ‘Abdurrahman bin Abi> Laili>, Ibn Syabramah, Us|man al-Bata> dan murid-murid Abu> H{ani>fah, misalnya Abu> Yu>suf, Muhammad bin H{asan, Zu’far bin Huz|ail.[25]
Semasa hidupnya, Ibn Hazm sering berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Perpindahan tersebut tidak hanya berkaitan dengan masalah politik yang tidak menentu,[26] akan tetapi juga mengandung alasan keilmuan.
Perjalanan dari Cordova, Murcia, Jativa, Valencia, dan kota-kota lain di sekitar Cordova dimanfaatkan untuk belajar dan mengajar serta menyebarluaskan pemikirannya kepada kalangan pemuda. Sehingga pola pikirnya berhasil mempengaruhi mereka.[27] Pemikiran Ibn H}azm banyak kontroversial dengan maz|hab yang ada, sehingga terjadi polemik dengan para ulama setempat. Meskipun demikian, beliau banyak mendapat pengikut.[28]

2.      Kondisi Sosio Kultural
Spanyol masuk ke dalam wilayah kekuasaan Islam sejak masa Abdurrahman ad-Da>khil dari Bani Umayyah (138 H). Pada masa-masa awal pemerintahannya penuh dengan pergolakan politik. Spanyol merupakan daerah paling penting di Semenanjung Iberia. Ia menjadi pusat ilmu pengetahuan, gedung-gedung dengan arsitektur megah, pusat kesenian, sastra, juga merupakan kawasan industri dan perdagangan yang maju.[29]
Masyarakat Spanyol terdiri dari beberapa unsur yang tersebar di berbagai tempat. Ada orang Arab, Barbar, dan juga orang Nasrani yang telah lama hidup di kawasan Eropa. Umat Islam sendiri terdiri dari beberapa etnis. Pluralisme masyarakat Spanyol, dengan latar belakang etnis dan agama yang beragam itu berhasil disatukan di bawah kekuasaan khilafah semenjak masa ‘Abdurrahman III an-Nasir. Akan tetapi, peperangan dan konflik antara umat Islam dan Nasrani tidak dapat dihindari lagi. Perselisihan tersebut memuncak mulai dari krisis perpindahan dari rezim satu ke rezim yang lain, yaitu dari jatuhnya pemerintahan Amiriyah dan digantikan oleh khalifah Hisyam II sampai pertentangan antar sesama muslim, terutama orang Arab dengan Barbar. Dalam pertentangan itu terkadang salah satu pihak dibantu oleh golongan Nasrani. Terutama pada masa-masa krisis pemerintahan Islam.
Pada masa Ibn Hazm telah terjadi akulturasi antara budaya asli Spanyol dengan budaya yang dibawa dari Arab. Masing-masing budaya berusaha mempertahankan keasliannya.[30] Dari akulturasi tersebut terjadi pula interaksi pemikiran melalui polemik yang juga sangat berpengaruh terhadap pemikiran Ibn Hazm.
Sejak berusia lima belas tahun, ia mulai menyaksikan peristiwa-peristiwa dramatis dalam sejarah Islam Spanyol. Kekuasaan kaum Amiriyah runtuh. Diikuti dengan dihancurkannya segala hal yang berbau mereka. Ibn Hazm pun tidak lepas dari kecurigaan bahwa beliau pendukung setia dinasti Umayyah, sehingga ia ditangkap dan dipenjara selama beberapa bulan.
Kendatipun terjadi krisis politik, tetapi tidaklah demikian dalam bidang ilmu pada masa Ibn Hazm. Dapat dikatakan bahwa Spanyol pada masa itu mencapai puncak kejayaan ilmu pengetahuan. Hal ini ditandai dengan banyaknya ulama terkenal yang lahir pada waktu itu. Di antaranya adalah Ibn ‘Abd al-Barr teman Ibn Hazm dan Abu al-Wali>d Baji> penantang Ibn Hazm dalam bidang ilmu.
Pada masa itu juga, ilmu filsafat berkembang di Spanyol, yang berkembang dengan baik di akhir abad ketiga dan abad keempat, terbukti dengan banyaknya para filosof Islam yang bermunculan, seperti Ibn Rusyd. Setelah Spanyol berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah, banyak ulama dari Timur yang pindah ke Spanyol untuk mengembangkan ilmunya. Selain itu, berkembang pula terjemahan-terjemahan dari buku-buku filsafat Yunani.[31]
Krisis politik dan keagamaan yang terjadi di Spanyol, menurut Ibn Hazm disebabkan adanya penalaran bebas terhadap ajaran agama. Adanya variasi dalam memahami teks dengan berbagai latar prestasi, berbagai pendapat pribadi serta analogi.[32] Fiqh menurutnya tidak bisa dipisahkan dari pemikiran politik. Sebab setiap ahli hukum mempunyai pendapat yang tidak lepas dari opini masyarakat. Hal ini karena fiqh bila ditinjau dari sudut masyarakat sebagai perbuatan hukum diharuskan sesuai dengan kehendak penguasa dalam menjalankannya.[33]
Kemelut politik yang berkepanjangan, mendorong Ibn Hazm untuk melakukan penelitian tentang hukum yang berlaku. Dalam pandangan Ibn Hazm, fiqh maz|hab Ma>liki, maz|hab resmi pemerintahan Dinasti Umayyah, yang notabene menggunakan ra’yu ternyata tidak mampu mengatasi kemelut politik yang terjadi. Untuk itu beliau mengajukan fiqh yang secara langsung mengambil hukum dari sumber asli, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai pengganti maz|hab resmi yang tidak mampu mengatasi kemelut politik itu.[34]

3.      Peranan Ibn Hazm terhadap Mazhab Zhiri
Setelah meninggalkan percaturan politik, Ibn H}azm menekuni bidang ilmiah. Di antara para pengikut maz|hab Zahiri, Ibn Hazm-lah yang terkenal sampai saat ini, baik melalui karya-karyanya maupun melalui literatur maz|hab Zahiri. Beliau juga berperan di dalam maz|habnya dalam menentang ortodoksi muslim yang berbeda pada masa itu. Ibn Hazm tidak hanya mempunyai peran dalam yurisprudensi tetapi juga dalam masalah dogmatik maz|hab Zahiri.[35]
Dalam berijtihad, Ibn Hazm mengambil sikap bebas dan independen dalam praktek wacana-wacana Zahiri, dan dalam beberapa hal beliau mengesampingkan pandangan Imam Abu> Da>wud.[36] Karena itulah para pengikut Ibn Hazm terutama yang berada di wilayah Magrib membentuk kelompok yang tersendiri yaitu al-Hazmiyah yang terpisah dengan kebanyakan maz|hab Z{a>hiri yang lain dan mempunyai garis pokok yang berbeda dengan maz|hab Z{a>hiri.
Tetapi bagaimanapun juga Ibn Hazm juga sangat berpengaruh terutama di dunia Barat sebagai tokoh Z{a>hiri. Boleh dikatakan bahwa beliau satu-satunya yang mengembangkan maz|hab ini, hampir setiap fatwa Z{a>hiri terwakili oleh Ibn Hazm dan karya terbesarnya dalam bidang fiqh yaitu al-Muh{alla> yang mewakili fiqh maz|hab Z{a>hiri.

4.      Karya-karya Ibn Hazm
Karya-karya Ibn H}azm tidak dapat diketahui semua, sebab sebagian karyanya musnah dibakar oleh penguasa dinasti al-Mu’tadi (1068-1091 M). Terdapat tiga alasan yang menyebabkan pembakaran karya-karya Ibn Hazm tersebut. Pertama, mazhab yang resmi diakui oleh pemerintahan Spanyol pada waktu itu adalah maz|hab Ma>liki, yang telah melembaga menjadi kekuatan hukum resmi pemerintah. Sedangkan Ibn Hazm adalah seorang pelopor maz|hab Z{a>hiri di Spanyol. Kedua, Ibn Hazm secara politis merupakan pendukung utama dinasti Umayyah dan berkali-kali menjabat sebagai menteri pada masa pemerintahan Umayyah. Hal ini tentu saja mendatangkan kecurigaan yang kuat dari pihak penguasa, sebab apabila pemikirannya meluas, dikhawatirkan dapat mengganggu dinasti al-Mu’tadi, apalagi Ibn Hazm termasuk orang yang berani mengkritik penguasa. Ketiga, Ibn Hazm dikenal sebagai sejarawan, tulisan-tulisannya yang menyangkut peristiwa-peristiwa politik pemerintah Spanyol pada waktu itu dinilai oleh pemerintah sangat berbahaya. [37]
Kondisi yang demikian itu menjadikan Ibn Hazm harus berjuang keras untuk tetap mempertahankan pendapat-pendapatnya dan berusaha menjatuhkan lawan-lawan ilmiahnya. Hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab karangannya yang cenderung memperkokoh pendapatnya dan menjatuhkan h{ujjah lawan-lawannya. Karya-karya Ibn Hazm meliputi bidang fiqh, us{u>l fiqh, hadis, mus{t{alah hadis, aliran-aliran agama, sejarah, sastra, silsilah dan karya apologetik, yang menurut penuturan puteranya, Abu> Rafi al-Fadl jumlahnya mencapai kurang lebih sebanyak 400 buah yang ditulis dengan tangannya sendiri. Sehubungan dengan luasnya bidang ilmu yang dikuasainya itu, R. A Nicholson memberinya sebutan sebagai “The Greatest Scholar and The Most Original Genius of Moslem Spain” atau seorang sarjana terbesar dan seorang muslim Spanyol yang amat jenius.[38] 
Berikut ini karya-karya Ibn Hazm yang masih bisa diketahui, yaitu antara lain:
a.       Bidang Fiqh
1)      al-Muh{alla>
2)      al-Isa>l ila> Fahm al-Khisa>l
3)      al- Khisa>l al- Ja>mi’ah
4)      Masa>’ilun ‘ala> Abwa>b al- Fiqh
b.      Bidang Usul Fiqh
1)      Al-Ihka>m fi> Us{u>l al-Ahka>m
2)      Mara>tib al-Ijma’ aw Muntaq al-Ijma’
3)      Kasyf al-Iltiba>s ma> Baina As}h}a>b az-Z{a>hir  wa As}h}a>b al-Qiya>s
4)      as-Sadi wa Rada’
5)      at-Talkhi>s wa at-Takhli>s
c.       Bidang Hadis
1)      Kita>b al-Jami>’ fi> S}ah{I>h} al-H{adi>s|
2)      Syarh H{adi>s| al-Muwat}t}a’ wa al-Kala>mala Masa>’ilihi
d.      Bidang Teologi dan Perbandingan Agama
1)      Al-Fis}a>l fi> al-Mila>l wa Ahwa>’ wa an-Nih}a>l
2)      Iz{ha>r Tabdi>l al-Yahu>di> wa an-Nas}a>ra> li at-Taura>t wa al-Inji>l wa Baya>nuhu Tana>qud wa bi Aidi>him min Z|a>lika Mimma> la> Yah}tamil at-Ta’wi>l
3)      An-Nasa>’ih al-Munjiyah min al-Fad{a>il al-Nukhziyah wa al-Walqoba>ih} min Aqwa>l Ahl al-Bid’ min al-Farq al-Arba’: al-Mu’tazilah, al-Khawa>rij, al-Murji’ah, wa asy-Syi>’ah
e.       Bidang Filsafat
1)      Tarqi>b li Hadd al-Manti>q wa al-Madkha>l Ilaih bi Alfa>z} al-‘Ainiyah wa al-Ainsila>t al-Fiqhiyya>t
2)      Mara>tib al-‘Ulu>m
f.       Bidang Sastra
1)      Al-Akhla>q wa as-Siya>r fi Muda>wa> an-Nufu>s
2)      Diwa>n asy-Syi’I>r
3)      T{auq al-H{ama>mah fi al-Ilfati wa al-Alla>f
g.      Bidang Sejarah
1)      Al-Fihrasah
2)      Fad{l al-Andalu>s
3)      Jamhara>t al-Ansa>b al-‘Ara>b
4)      Al-Nufa>dah bain as-Sah{a>bah
5)      Naqt al-‘Urusy.[39]

5.      Dasar Istinbat Hukum Ibn Hazm
Meskipun dikenal sebagai imam kedua maz|hab Zahiri, tetapi pendapat-pendapat yang dikemukakannya adalah orisinil dari pemikirannya sendiri. Ibn Hazm adalah seorang mujtahid mut}laq, karena dia mempunyai metodologi sendiri dalam beristinbat} dan dia juga bukan pengikut Daud al- As}faha>ni. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Ibn Hazm adalah mujtahid muntasib atau mujtahid fi al-maz|hab.[40]
Adapun sumber-sumber yang digunakan oleh Ibn Hazm dalam mengeluarkan hukum adalah al-Qur'an, as-sunah, ijma’ dan dali>l.[41]
a.       Al-Qur'an
Ibn Hazm mendefinisikan al-Qur'an sebagai perjanjian Allah yang mengikat manusia untuk mengakui dan mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakannya dalam al-Ih}ka>m:

ان القرآن هو عهد الله الينا والذى الزمنا الإقرار به والعمل بما فيه.  [42]


Mengenai kebenaran al-Qur'an tidak diragukan lagi karena periwayatannya yang benar-benar menyeluruh. Manusia harus berpegang teguh kepada apa yang terdapat di dalamnya dan wajib untuk mengamalkan dan menjadikannya sebagai tempat kembali, sebagai rujukan pokok segala permasalahan umat. Hal ini didasarkan kepada firman Allah:
ما فرّطنا فى الكتاب من شيء ثم الى ربّهم يحشرون. [43]

Ibn Hazm mengakui kemujmalan al-Qur'an, sehingga diperlukan baya>n. Bentuk baya>n ini bisa dengan ayat al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Baya>n dibagi menjadi istis|na dan takhs}i>s.[44] Selain itu, sebagaimana dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, Ibn Hazm juga memandang tauki>d sebagai baya>n, karena tauki{d menolak kemuhtamilan takhs{is{.[45]
Dalam menghadapi nas} al-Qur’an maupun as-sunnah, menurut Ibn Hazm harus dipahami secara langsung dari ketentuan nas} itu sendiri, yaitu berdasarkan pengertian menurut bahasa serta tidak menerima ta’wil kepada arti yang lain selama tidak ada dalil berupa wahyu yang lain yang mengharuskan adanya ta’wil tersebut. Hal ini beliau tegaskan dalam al-Ih{ka>m: 
و من ترك ظاهر اللفظ وطلب معانى لا يدل عليها لفظ الوحى فقد افترى على الله عزّ وجلّ. [46]

b.      As-Sunnah
Ibn Hazm memposisikan as-Sunnah sebagai sumber kedua dalam pengambilan hukum setelah al-Qur'an. As-Sunnah dipandang masuk ke dalam nas}-nas} yang turut membina syari’at Islam meskipun h}ujjah-nya diambil dari al-Qur'an.[47] Al-Qur'an dan as-Sunnah satu sama lain saling melengkapi, karena keduanya datang dari Allah, dan hukum keduanya adalah sama dalam hal kewajiban taat kepada keduanya. Menurut Ibn Hazm, al-Qur'an dan as-Sunnah adalah satu tingkatan sebagaimana tertulis dalam al-Ih}ka>m:

القرآن والخبر الصحيح بعضها مضاف الى بعض وهما شيء واحد فى انّهما من عند الله تعالى.[48]


Ibn Hazm membagi as-sunnah ke dalam tiga bagian, yaitu, qauliyah, fi’liyah, dan taqri>riyah. Ucapan Rasulullah seluruhnya adalah wahyu berdasarkan firman Allah SWT:
وما ينطق عن الهوى ان هو الا وحى يوحى. [49]

Dengan demikian, yang dijadikan h}ujjah untuk menunjukkan wajib adalah perkataan Nabi saja, sedangkan perbuatan beliau hanyalah merupakan qudwah, taqri>r beliau adalah iba>h}ah dan keduanya tidak bisa dijadikan h}ujjah kecuali bersamaan dengan ucapan atau bila terdapat qari>nah yang menunjukkannya sebagai kewajiban.[50]
Ibn Hazm membagi hadis berdasarkan kuantitas periwayatannya kepada dua macam, yaitu:
1)      Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh kebanyakan orang dari beberapa generasi sehingga sampai kepada Nabi. Khabar seperti ini tidak diperselisihkan dalam hal kewajiban mengambilnya dan melaksanakannya, karena merupakan suatu kebenaran yang meyakinkan. Dalam memandang hadis mutawatir, Ibn Hazm tidak menjadikan banyaknya jumlah perawi sebagai ciri hadis mutawatir, namun menekankan kepada kemustahilan terjadinya persekongkolan negatif. Dengan demikian, hadis mutawatir dapat muncul dari periwayatan minimal dua orang.
Al-Qur'an dan as-Sunnah mempunyai tingkatan yang sama. Hukum keduanya adalah sama dalam hal kewajiban taat kepada keduanya.[51] Sebagaimana firman Allah:
يآايهاالذين امنوآ اطيعواالله ورسوله ولا تولوا عنه وانتم تسمعون.[52]

Dengan demikian, melalui hadis dapat diketahui bahwa al-Qur'an benar-benar disampaikan oleh Nabi SAW kepada umatnya. Selain itu, dapat diketahui hukum-hukum yang tidak dijelaskan penafsirannya secara terperinci oleh al-Qur'an, seperti bacaan s}alat, kebangkitan, dan lain-lain.[53]
2)      Hadis Ah{ad
Hadis ah{ad adalah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang dari seseorang dan riwayatnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui orang-orang yang adil. Kadang-kadang hadis ah{ad itu diriwayatkan lebih dari satu orang tetapi belum memenuhi derajat mutawatir, yaitu tidak terpelihara dari bersepakat untuk berdusta.[54] Ibn Hazm berpendapat bahwa hadis ah{ad wajib diyakini kebenarannya dan diamalkan. Adapun dalam hal hadis mursal, yaitu hadis yang gugur antara salah satu perawinya dan Nabi Saw serta diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi terputus (munqat}i’), Ibn Hazm tidak menerimanya, kecuali jika hadis itu di-irsal-kan oleh tabi’in besar atau hadis mursal tersebut dikuatkan oleh hadis lain, dengan pendapat sahabat atau diterima oleh ahli hadis.[55]
Ibn Hazm menolak ta’a>rud{ dalam hadis. Beliau mengandaikan dua hadis yang dianggap berbeda jika salah satu mengandung makna lebih sedikit dari yang lain dengan mengistinbatkannya. Contohnya adalah hadis tentang larangan menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang air, dengan suatu hadis dari Ibn ‘Uma>r yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW buang hajat membelakangi kiblat dalam suatu bangunan. Menurut Ibn Hazm, cara mengamalkan keduanya itu adalah dengan memahami bahwa hadis Ibn ‘Uma>r itu datangnya sebelum larangan tersebut.[56]
Ibn Hazm berusaha mempertahankan nas}-nas} yang dipandang berlawanan satu sama lainnya dengan cara:
1)      Takhs}i>s}
2)      Menjuruskan masing-masing nas} kepada jurusannya sendiri, seperti pemberian mut’ah.
3)      Memandang salah satu nas} sebagai pen-takhs}i>s} bagi yang lain pada bagian yang dicakup oleh kedua-duanya. Umpamanya haji bagi wanita.[57]

c.       Ijma’
Ijma’ adalah sumber hukum yang ketiga. Dasar berlakunya ijma' adalah firman Allah:
    [58]يآايها الذين امنوآ اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الأمر منكم...

Ibn Hazm berpendapat mengenai ijma’: “Kami telah sepakat dan kebanyakan orang-orang yang menyalahi kami, bahwasannya ijma’ dari segenap ulama Islam adalah hujjah dan suatu kebenaran yang meyakinkan dalam agama Allah.”[59]
Ijma’ yang dimaksud di sini adalah ijma sahabat karena sahabat adalah orang yang bisa menyaksikan secara langsung bimbingan dari Rasulullah SAW. Kesahihan hanyalah dari bimbingan Rasulullah karena itu ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat, adapun setelahnya tidak bisa dijadikan dasar ijma’ karena para sahabat pada waktu itu telah berpencar, dan barangkali inilah hakekat ijma’.
Adapun objek atau sandaran ijma menurut Ibn Hazm adalah berasal dari nas}. Tidak ada ijma’ tanpa disandarkan pada nas}, sebab usaha manusia dalam rangka menemukan ‘illat tidak mungkin sama karena perbedaan tujuan dan tabiat.
Ibn Hazm tidak menjelaskan arti ijma’ secara definitif, tapi beliau membagi ijma’ ke dalam dua bagian:
1)      Sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi sekalipun oleh seorang muslim sebagaimana dua kalimah syahadat. Kewajiban menjalankan shalat lima waktu, keharaman darah dan babi, pengakuan terhadap al-Qur'an dan kuantitas zakat.
2)      Sesuatu yang disaksikan sahabat tentang perilaku Rasulullah SAW atau sesuatu keyakinan bahwa Rasulullah SAW telah memberitahukan sikap beliau kepada orang-orang yang tidak hadir di hadapan beliau.[60]
d.      Dali>l
Dasar yang keempat dari istinbat hukum yang ditempuh Ibn Hazm dan golongan Z{a>hiri adalah mempergunakan sebagai pengganti qiya>s apa yang dalam istilah Ibn Hazm dinamakan dali>l.[61]
Dalam menanggapi pendapat yang mengatakan bahwa dali>l itu sama dengan qiya>s, Ibn Hazm secara tegas mengatakan bahwa orang yang tidak tahu menduga bahwa pendapat kami tentang dalil telah keluar atau menyimpang dari nas{ dan ijma’; dan sebagian lagi menduga bahwa qiya>s dengan dali>l adalah sama. Dugaan mereka sangat keliru.[62]
Ibn Hazm membagi dali>l menjadi dua, yaitu dali>l yang diambil dari nas{ dan dali>l yang diambil dari ijma’. Dali>l yang diambil dari nas} adalah:
1)      Mengeluarkan nati>jah dari dua mukadimah atau proposisi.
2)      Menerapkan segi keumuman makna.
3)      Makna yang ditunjuk oleh suatu lafaz{ mengandung penolakan terhadap makna lain yang tidak mungkin bersesuaian dengan makna yang dikandung oleh lafaz{ tersebut.
4)      Apabila sesuatu tidak ada nas{ yang menentukan hukumnya, maka hukumnya adalah muba>h{.
5)      Qada>ya> mudarajat (proposisi berjenjang), yaitu pemahaman bahwa derajat tertinggi itu dipastikan berada di atas derajat yang lain yang berada di bawahnya.
6)      Aks al-qada>ya> (pertentangan proposisi), yaitu pemahaman yang menyatakan bahwa setiap proposisi kulliyat senantiasa memiliki pengertian yang berlawanan dengan proposisi juz’iyyat-nya.
7)      Cakupan makna yang merupakan keharusan yang menyertai makna yang dimaksud.[63]
Adapun dali>l yang diambil dari ijma’ ada empat bagian, yaitu:
1)      Istis}h{a>b al-h}a>l, yaitu kekalnya hukum asal yang telah tetap berdasarkan nas{, hingga ada dali>l tertentu yang menunjukkan adanya perubahan.
2)      Aqallu ma> qi>la, yaitu target minimal atau batas terendah dari suatu ukuran yang diperselisihkan.
3)      Konsensus ulama untuk meninggalkan suatu pendapat.
4)      Konsensus ulama tentang universalitas hukum. [64]

B.     Pemikiran Ibn Hazm Tentang Rada'ah Sebagai Sebab Keharaman Nikah
Dalam menghadapi dasar-dasar ist{inba>t hukum, Ibn Hazm sedikit berbeda dengan jumhur. Jumhur ulama berpegang pada al-Qur’an, hadis, ijma’ dan ra’yu. Sedangkan Ibn Hazm tidak berpegang kepada ra’yu. Ibn Hazm hanya berpegang kepada z{ahir nas{, yaitu dalam menanggapi makna yang tersurat dari lafaz{-lafaz{ tanpa meneliti ‘illat-nya dan tanpa menqiyaskan sesuatu kapadanya.
Berkenaan dengan ketentuan rad{a>’ah yang menjadi sebab larangan nikah, Ibn Hazm mengembalikan pengertian rad{a>'ah kepada makna ird{a>',[65] yang secara etimologi berarti menyusu atau menetek.[66] Hal ini beliau jelaskan dalam al-Muh{alla>:
واما صفة الرضاع المحرم فإ نما هو ما امتصه الراضع من ثدي المرضعة
بفيه فقط. [67]

Dengan demikian, yang dinamakan rad{a>'ah, menurut beliau hanyalah dengan cara seorang wanita meletakkan s|adyu-nya ke mulut ra>d{i', dan mengisapnya.[68] Sedangkan, rad{a>’ah yang dilakukan dengan cara selain itu, misalnya dengan cara al-waju>r (menuangkan asi lewat mulut ke kerongkongan), as-sa'u>t} (menuangkan ASI ke hidung), atau melalui suntikan tidak termasuk rad{a>’ah yang menyebabkan keharaman nikah.
Dalam hal ini, Ibn Hazm sependapat dengan ahlu z{a>hir yang lain. Dan pendapat ini juga seperti yang dilontarkan oleh Abu> Lais| bin Sa’ad dan Abu> Sulaiman. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada sebuah riwayat dari ‘Abdurrazaq, yang menceritakan bahwa At}a' mengatakan tidak ada riwayat yang mengatakan as-sa’u>t} menyebabkan keharaman nikah.[69]
Selanjutnya, Ibn Hazm menjadikan hadis Nabi yang berbunyi:
إنما الرضاعة من المجاعة. [70]

sebagai h{ujjah, dengan dua alasan; pertama, makna yang dimaksud dalam hadis tersebut, yaitu bahwa yang menyebabkan keharaman nikah hanyalah penyusuan yang berfungsi untuk menghilangkan rasa lapar, dan yang demikian tidak terdapat dalam as-sa'u>t{, karena as-sa'u>t{ tidak dapat menghilangkan rasa lapar. Kedua, Nabi hanya mengharamkan pernikahan yang disebabkan rad{a>'ah yang berfungsi untuk menghilangkan rasa lapar, dan beliau tidak mengharamkan pernikahan dengan selain ini. Karena itu, tidak ada pengharaman dengan cara-cara selain yang dapat menghilangkan lapar, seperti dengan cara memakan, meminum, menuangkan susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan jalan penyusuan menetek, sebagaimana sabda Rasulullah  SAW di atas dan juga keumuman ayat rad{a>’ah.[71]
Selain membahas cara sampainya ASI ke perut ra>d{i', Ibn Hazm juga menetapkan beberapa ketentuan lain terkait dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan rad{a>’ah yang menjadi sebab larangan nikah, yaitu mengenai batas kadar frekuensi penyusuan, pembatasan usia ra>d{i’, kondisi murd{i’, dan status suami dari ibu susuan.[72]
1.      Batas Kadar Frekuensi Penyusuan
Ibn Hazm menetapkan kadar penyusuan yang menyebabkan keharaman nikah sebanyak lima kali, yang masing-masing disyaratkan dapat memberikan rasa kenyang.[73] Hadis yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya adalah hadis ‘Aisyah;

كان فيما انزل فى القرآن عشر رضعات معلومات ثم نسخن بخمس معلومات فتوفى رسول الله صلى الله عليه و سلم و هن فيما يقرء من القرآن.[74]


Ibn Hazm menjadikan khabar di atas sebagai tambahan untuk ayat rada'ah. Dilihat dari segi sanadnya, Ibn Juraij adalah rawi yang s|iqah, oleh karena itu riwayatnya tidak boleh ditinggalkan.[75] Pendapat beliau ini sama dengan pendapat asy-Sya>fi’i>.
2.      Pembatasan Usia Ra>d{i’
Dalam hal ini, Ibn Hazm memandang keumuman ayat rad{a>'ah yang di dalamnya tidak disebutkan batas usia penyusuan yang menyebabkan keharaman nikah, sehingga beliau berpandangan bahwa rad{a>'ah yang menyebabkan keharaman nikah tidak hanya yang dilakukan pada usia anak-anak, tetapi juga setelah dewasa. Dengan demikian, rad{a>’ah orang dewasa (rad{a>’ al-kabi>r) adalah mengharamkan sama seperti rad{a>'ah anak kecil.[76]  Pendapatnya ini kontroversial dengan jumhur ulama. 
Dalil yang digunakan sebagai h}ujjah-nya adalah riwayat dari 'Aisyah tentang kisah Sahlah ketika menanyakan tentang Salim, dan Nabi SAW bersabda kepadanya sebagai berikut:
جاءت سهلة بنت سهيل الى النبى صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله انى ارى  فى وجه ابى حذيفة من دخول سالم وهو خليفه فقال النّبى صلى الله عليه وسلّم ارضعيه قالت وكيف ارضعه وهو رجل كبير فتبسّم رسول الله صلى الله عليه وسلّم وقال قد علمت انّه رجل كبير.[77]
Surat an-Nisa ayat 23 masih mengandung makna yang 'amm, Allah tidak menyebutkan batasan waktu dua tahun ataupun waktu tertentu yang menjadi tambahan terhadap ayat tersebut. Ayat yang 'amm tidak boleh di-takhs}i>s} kecuali dengan nas} yang menjelaskan bahwa ia menjadi takhs}i>s} bagi ayat tersebut. Takhs}i>s} tidak boleh didasarkan kepada z}ann atau sangkaan dan ih}tima>l atau kemungkinan.[78] Fuqaha yang mengatakan bahwa hadis Salim hanyalah rukhs}ah baginya, mendasarkan pendapatnya pada z}ann, dan z{ann tidak dapat membatalkan sunnah, demikian menurut Ibn Hazm. Baik hadis yang menyebutkan rasa lapar sebagai sebab rad{a>'ah yang mengharamkan nikah maupun hadis Salim, keduanya menurut Ibn Hazm adalah menjadi aturan tambahan yang wajib diamalkan, sebagaimana diketahui bahwa salah satu nisbah as-sunnah adalah sebagai tambahan terhadap al-Qur'an. Menanggapi ayat 233 surat al-Baqarah yang menyebutkan bahwa masa penyusuan yang sempurna adalah dua tahun, Ibn Hazm berpendapat bahwa ketentuan yang ada dalam ayat tersebut sama sekali tidak mengandung unsur pentahriman.[79] Dengan demikian, ayat tersebut tidak dapat dijadikan h{ujjah untuk membatasi rad{a>'ah yang menyebabkan keharaman nikah hanyalah rad{a>'ah anak kecil.
Ibn Hazm mempertegas pendapatnya dengan mengatakan apabila hadis Salim adalah rukhs}ah bagi Salim, maka niscaya Rasulullah memberi penjelasan bahwa ketentuan itu hanya berlaku baginya. Sebagaimana dalam kasus Abi Burdah, Nabi mengatakan bahwa kebolehan untuk berkurban dengan jaz|'ah (anak kambing) hanyalah berlaku untuk Abi Burdah saja.
[80] تجزيك و لا تجزى جذعة عن احد بعدك

Sebagaimana Allah SWT telah memberi contoh tentang suatu ketentuan yang berlaku khusus hanya untuk Rasulullah, yaitu tentang pernikahan Rasulullah,
خالصة لك من دون المأمنين.[81]

Dalam menanggapi ulama yang membatasi masa penyusuan dengan batas usia dua tahun, Ibn Hazm melihat z{ahir dari surat al-Baqarah ayat 233  yang mereka jadikan h}ujjah, di dalamnya tidak disebutkan makna pen-tahrim-an. Penyusuan anak setelah dua tahun atau setelah penyapihan hanya menjadi alasan terputusnya nafkah wajib bagi ayah untuk membiayai penyusuan anak, dan ini bukan berarti putusnya kebutuhan anak terhadap ASI.[82] Mereka juga ber-h}ujjah dengan hadis dari Ummu Salamah yang membatasi rad{a>’ah sebelum penyapihan. Akan tetapi Ibn Hazm memandang bahwa khabar tersebut munqat}i', karena Fa>t}imah binti Munz|ir tidak mendengar langsung dari Ummu Salamah, sebab pada waktu Ummu Salamah wafat, Fa>t}imah masih sangat kecil untuk meriwayatkan hadis.[83]
3.      Kondisi Murd{i
Berkaitan dengan murd{i', Ibn Hazm tidak memberikan persyaratan khusus. Murd{i' tidak dibatasi, baik masih hidup ataupun sudah meninggal, bahkan dalam keadaan mabuk atau gila.[84] Dalam hal ini, beliau memandang keumuman lafaz{ ummaha>t yang disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 23.
4.      Status Suami Ibu Susuan (Labn al-Fah{l)
Adapun mengenai status suami dari ibu susuan, Ibn Hazm menyamakannya dengan ayah kandung, sebagaimana ibu susuan menempati posisi yang sama dengan ibu kandung. Dengan demikian, suami ibu susuan juga haram untuk dinikahi.[85] Dasar pemikirannya adalah sebuah hadis ‘Aisyah:
ان افلح اخا ابي القعيس جاء يستأذن على فكرهت ان آذن له حتى اسنأذنك قالت فقال النبي صلى الله عليه وسلم إئذني له.[86]

Ibn Hazm memahami hadis tersebut sebagai aturan tambahan terhadap ayat rad{a>'ah (an-Nisa ayat 23), karena di dalam ayat tersebut hanya disebutkan ibu susuan dan saudara perempuan sepersusuan, sementara dari pihak suami ibu susuan tidak disebutkan.[87]

 





[1] Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn H{azm az{-Z{a>hiri, cet. 1 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), hlm. 7.
[2] Muhammad Abu> Zahrah , Ta>rikh al-Maz|a>hib al-Isla>miyyah  (T.t.p.: Da>r al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), hlm. 383.
[3] Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn H{azm. hlm. 7.
[4] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,), IV: 608.
[5] Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn H{azm, hlm. 9.
[6]  Huzaimah T. Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos, Wacana Ilmu, 1997), hlm. 156.
[7]  Depag RI, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Depag RI, 1993),II: 392.
[8] Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam  (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 288.
[9]  Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn H{azm., hlm. 5.
[10] Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-Pokok., hlm. 289.
[11] Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn H{azm., hlm. 8.
[12] Depag RI, Ensiklopedi Islam. hlm. 392.
[13] Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-Pokok., hlm. 298.
[14] Faru>q Abdul Mu't}i Ibn H{azm., hlm. 15.
[15] Ibid., hlm. 41
[16] Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-Pokok., hlm. 300.
[17] Ibid.
[18] Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-Pokok., hlm. 289.
[19] Faru>q Abdul Mu't}i, Ibn H{azm., hlm. 42.
[20]  Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-Pokok., hlm. 300.
[21] Maz|hab Ma>lik yang pada mulanya berkembang di Madinah, sampai ke benua Eropa khususnya Spanyol setelah Ziya>d bin ‘Abdurrahma>n dikirim dari Spanyol ke Madinah untuk belajar kepada Imam Ma>lik. Sekembalinya ke Spanyol, ia mengembangkan mazhab ini.. Sebelumnya, di Andalus sudah berkembang maz|hab al-Auza'i>, seorang faqi>h dari Syam. Maz|hab tersebut berkembang pada masa Umayyah, dan sampai ke Spanyol dibawa oleh orang-orang Syam yang hijrah ke Spanyol. Lihat Abdul Hamid al-Abadi, al-Mujma>l fi> al-Ta>rikh al-Andalus (Kairo: Da>r al-Qala>m, 1964) hlm. 75.
[22] Muhammad Abu> Zahrah, Ta>rikh., hlm. 387.
[23] Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-Pokok.,  hlm. 290.
[24] Muhammad Abu> Zahrah , Ta>rikh. hlm. 387.
[25] Ibid.
[26] Depag RI, Ensiklopedi., II: 392.
[27] Muhammad Abu> Zahrah , Ta>rikh. hlm. 391.
[28] Ibid.
[29] Abdul Lat}i>f Syararah, Ibn H{azm Ra>’id al-Fikri al-‘Ilmi (Beirut: al-Maktabah at-Tija>riyah, t.t.), hlm. 28.
[30] Faruq ‘Abdul Mu’ti, Ibn Hazm., hlm. 72-73.
[31] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., II: 303.
[32] ‘Abdul Lat}i>f Syararah, Ibn H{azm., hlm. 66.
[33] Ibid., hlm. 69.
[34] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet. 2 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 151.
[35] ‘Abdul Lat}i>f Syararah, Ibn H{azm., hlm. 70.
[36]  Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok, I: 87.
[37] Depag, Ensiklopedi, II: 392 dan lihat juga Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., hlm. 294.
[38] Depag, Ensiklopedi, II: 392.
[39] Abdul Latif Syararah, Ibn H}azm., hlm. 111-113.
[40] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., I: 87.
[41] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., I: 70.
[42] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., I: 94.
[43] Al-An’a>m (6): 38.
[44] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m, I: 79.
[45] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok, I: 98.
[46] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m, III: 293.
[47] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., II: 93.
[48] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., I: 96.
[49] An-Najm (53): 3-4.
[50] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., I: 99. Lihat juga Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., II: 145.
[51] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., I: 96.
[52] Al-Anfa>l (8): 20.
[53] Ibn H{azm, al-Ihka>m., I: 102.
[54] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., I: 99.
[55] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., I: 100.
[56] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., II: 175.
[57] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., II: 102.
[58] An-Nisa (4): 59.
[59] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., IV: 538.
[60] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m., IV: 533-535.
[61] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok., II: 116.
[62] Ibn Hazm, al-Ihkam, V: 100.
[63] Ibid.
[64] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m, V: 100.
[65] Ibn H{azm, al-Muh{alla> (Mesir: Maktabah al-Jumhu>riyyah al-'Arabiyyah, 1968), X: 7.
[66] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal. 504.
[67] Ibn H{azm, al-Muh{alla>, X : 7.
[68] Ibid.
[69] Ibid.
[70] Muslim, Al-Ja>mi’ al-S}ahi>h (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), III: 170., “Kita>b ar-Rad{a>’,” “Ba>b Innama> al-rad{a>’ah min al-maja>’ah.” Hadis} dari Hanna>d bin as-Sirri> dari Abu> al-Ah{wa>s{ dari Asy’as dari ayahnya dari Masru>q dari ‘Aisyah.
[71] Ibn H{azm, al-Muh{alla>, X : 8.
[72] Ibid., X: 2.
[73] Ibid., X : 9.
[74] Muslim, al-Ja>mi al-S{ahi>h, III: 167. “Kita>b al-Rad{a>’’,” “Ba>b at-Tahri>m bi Khams Rad{a>’a>t.” Hadis diriwayatkan dari Yahya ibn Yahya dari 'Abdullah ibn Abi Bakar dari Amrah.
[75] Ibn H{azm, al-Muh{alla,> X: 16.
[76] Ibid., X,: 17.
[77] Muslim, al-Ja>mi al-S{ahi>h, III: 168. “Kita>b al-Rad{a>’’,” “Ba>b Rad{a>’ah al-Kabi>r.” Hadis diriwayatkan dari Amr an-Na>kid dan Ibn Abi> Umar dari Sufyan ‘Uyainah dari ‘Abd Rahman ibn Qa>sim dari ayahnya dari ‘Aisyah.
[78] Ibn H{azm, al-Muh{alla>, X: 22.
[79] Ibn H{azm, al-Muh{alla>, X: 22.
[80] Ibn H{azm, al-Ih{ka>m III:394.
[81] Al-Ah{za>b (33): 50.
[82] Ibn H{azm, al-Muh{alla, X: 20.
[83] Ibid., X: 21.
[84] Ibid., X: 9.
[85] Ibid., X: 2.
[86] Muslim, al-Ja>mi al-S{ahi>h,  III: 163. “Kita>b al-Rad{a>’’,” “Ba>b Tah{ri>mu al-Rad{a>’ah min Ma>’i al-Fah{l.” Hadis diriwayatkan dari H{armalah ibn Yahya dari Ibn Wahbin dari Yunus dari Ibn Syihab dari Urwah dari ‘Aisyah.
[87] Ibn H{azm, al-Muh{alla>, X: 5.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Biografi Ibnu Hazm dan Pemikirannya Tentang Radha'ah Sebagai Sebab Keharaman Nikah"

Post a Comment