Image1

Makalah Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Quran surat Al-Kahfi

Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Quran surat al-Kahfi

A.    Latar Belakang Masalah

Salah satu ciri dunia masa kini ditandai dengan ledakan ilmu pengetahuan dan informasi yang luar biasa, namun demikian bersamaan dengan itu dirasakan terjadinya krisis dalam dunia pendidikan yang sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia yang bisa jadi melebihi krisis pangan, ekonomi, politik, dan krisis-krisis yang lain.[1]
Di antara karakteristik pendidikan islam adalah menekankan aspek akhlak, karena Rasul saw. diutus untuk menyempurnakan akhlak, yang mana akhlak merupakan suatu kekuasaan manusia untuk melakukan perbuatannya yang didasarkan pada baik dan buruknya yang diperoleh dari ilmu dan melalui perantaraan Rasul-Nya guna meneladani sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya. Walau demikian akhlak merupakan faktor terpenting dalam pendidikan, nampaknya justru kurang mendapatkan perhatian, bahkan beberapa pihak sengaja untuk tidak memberikan aspek ini,[2] padahal akhlak merupakan syarat utama bagi keberhasilan dalam kehidupan sosial dan merupakan faktor utama dalam menciptakan kesesuaian dan keserasian hidup.[3]
Manusia hendaknya menggunakan akhlak yang mulia sebagai pemotivasi dalam menuntut ilmu karena sesungguhnya Allah memerintahkan untuk ibadah, dan ibadah itu sendiri tidak akan bisa berjalan tanpa adanya ilmu pengetahuan.[4]

وإذا قيل انشزوا فانشزوا يرفع الله الذ ين امنوا منكم والذين اوتواالعلم درجا ت

Artinya, Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang mempunyai ilmu beberapa derajat. (Q.S. Al- Mujadalah ayat 11).[5]

Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak hanya dibaca dengan lisan, disuarakan atau dilihat saja, akan tetapi lebih dari itu harus digali dan dihayati dengan kecerdasan dan hati nurani yang bersih. Umar Bin Khatab pernah memperingatkan: "Wahai para ahli Qur’an, melangkahlah kepadamu, jalan lurus ada padamu, maka berlomba-lombalah dalam mencapai kebaikan dan jangan sekali-kali kamu menjadi beban bagi yang lain".[6]
Pendidikan bergerak pada nilai moral dan spiritual untuk mengalami pertobatan dan pencerahan jiwa.[7] Kisah merupakan salah-satu metode untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang mempunyai daya tarik yang kuat bagi jiwa. Surat Al-Kahfi ayat 60-82 mengisahkan tentang perjalanan Nabi Musa bersama seorang hamba Allah yang saleh, yakni Khidhir.
Sedangkan yang melatarbelakangi kisah ini adalah, diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi Musa as. berdiri di tengah-tengah Bani Israil dalam suatu pidatonya. Lalu beliau ditanya, "Siapakah orang yang paling berilmu"? maka jawab Nabi Musa "Saya".
Dengan jawaban itu, Musa mendapat kecaman dari temannya, karena ia tidak mengembalikan ilmu kepada Allah Ta'ala, lalu Allah pun menurunkan wahyu kepadanya.[8] Kemudian terjadilah dialog antara Musa dan Allah Ta'ala, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa Ibnu Abbas ra, beliau bercerita bahwa Nabi Musa bertanya kepada Tuhannya, “Wahai Tuhanku siapakah di antara hamba-hamba-Mu yang Engkau kasihi”? Allah berfirman: “Ialah mereka yang selalu ingat kepada-Ku dan tidak melupakan-Ku”. Musa bertanya lagi: “Wahai Tuhanku siapakah yang paling adil di antara hamba-hamba-Mu”? Allah berfirman: “Ialah yang melaksanakan hukum dengan haq dan benar serta tidak mengikuti hawa nafsunya”. Musa bertanya lagi: “Wahai Tuhanku siapakah yang paling alim di antara hamba-hamba-Mu”? Allah berfirman: “Ialah orang yang menambah ilmunya dengan ilmu yang di dapat dari orang lain”. Musa bertanya lagi: “Dan apakah di dunia ini ada orang yang lebih alim dariku”. Allah berfirman: “Ya, orang itu adalah Al-Khidhir”. “Di manakah ya Tuhanku akau bisa menemuinya”? tanya Musa. Allah berfirman: “Di sanalah di tepi laut pada sebuah batu, di tempat mana engkau kehilangan ikan lautmu”. Maka pergilah Musa bersama  Yusya’ Bin Nun ke tempat itu.[9]
Dalam kisah Nabi Musa bersama Khidhir, dalam perjalananya menuntut ilmu, banyak tindakan Khidhir yang aneh yang menurut Nabi Musa menyimpang dari syari’at, seperti merusak perahu milik orang miskin (QS. Al-Kahfi 71), membunuh anak kecil (QS. Al-Kahfi 74), dan menegakkan bangunan tanpa meminta upah, padahal penduduk daerah itu tidak menjamu Nabi Musa dan Khidhir (QS. Al-Kahfi 77). Ketika itu Nabi Musa menegur Nabi Khidhir, kemudian Khidhir menjawab: Bukankah sudah aku katakana kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan mampu bersabar bersamaku (QS. Al-Kahfi 75).

الا يعجب المرأ بعلمه وألا يبادر الي انكار ما لا يستحسنه فلعل فيه سرا لا يعرفه

Artinya, Hendaknya seseorang tidak merasa bangga dengan ilmunya dan tidak terburu mengingkari apa yang dianggap tidak baik, karena barangkali di situ terdapat suatu rahasia yang belum dia ketahui.[10]

Dalam memberikan pendidikan kepada Nabi Musa, Khidhir sebagai seorang guru (Abun Ra’id, yang berarti ayah didik atau ayah pembimbing)[11] menggunakan cara yang nampaknya bertentangan dengan hukum atau bertentangan dengan perilaku masyarakatnya, misalnya membunuh anak, melubangi perahu tanpa alasan. Namun pada kisah tersebut terdapat pesan-pesan agama khususnya pesan moral atau akhlak. Dan yang harus di fahami adalah apa yang tertuang di dalamnya, kemudian mengambil pelajaran dari sana serta mencabut dari hal-hal yang di kecam dan pandangan jelek. Kemudian mengambil yang manis dan yang dianggap baik, karena suatu kisah yang berhubungan dengan sebab-akhibat dapat menarik perhatian. Jika dalam kisah terkandung pesan-pesan dan pelajaran tentang kisah-kisah terdahulu, maka rasa ingin tahu merupakan faktor yang sangat kuat yang dapat menanamkan kesan kisah tersebut dalam hati.
Kisah kurang menarik perhatian akal, bahkan isinya pun kurang dapat dipahami, jika hanya disampaikan melalui ceramah tanpa variasi. Berbeda halnya jika dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan peristiwa dalam realita kehidupan, maka akan terwujudlah dengan jelas tujuannya sehingga mempermudah dalam pembelajaran. Sesungguhnya pembangunan akhlak individu tidak hanya penting bagi kekuasaan hidup individu tersebut, tetapi juga penting untuk membangun masyarakat dan peradaban manusia yang luhur.[12]
Nilai-nilai pendidikan akhlak tidak bisa tampak, kecuali sebelumnya telah dipelajari karakteristiknya dan untuk mengetahui karakteristik pendidikan akhlak terlebih dahulu mengetahui hakekatnya dalam surat Al-Kahfi ayat 60-83 yang menceritakan tentang kisah Nabi Musa as.[13]
Oleh karena itu, nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-83 yang menceritakan tentang perjalanan Nabi Musa dalam menuntut ilmu dengan Khidhir dapat dijadikan sarana untuk aplikasi dalam pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam).
B. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang masalah di muka, maka ada beberapa permasalahan yang akan dikaji melalui penelitian ini, permasalahan-permasalahan tersebut antara lain :
1.  Nilai-nilai pendidikan akhlak apa saja yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82?
2.  Bagaimanakah aplikasi nilai-nilai pendidikan akhlak surat Al-Kahfi ayat 60-82 dalam pembelajaran PAI?

C. PEMBAHASAN
1.      Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak adalah suatu usaha menanamkan sifat-sifat ke dalam jiwa seseorang untuk dapat menilai perbuatan baik dan buruk, sebagai usaha mengembangkan potensi manusia agar mempunyai keutamaan budi pekerti melalui pengajaran dan latihan yang merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits.
Pendidikan akhlak menciptakan berbagai perubahan pada berbagai dimensi keberadaan manusia dan prilakunya, dengan tujuan mengarahkannya pada suatu sasaran, yang merupakan hal penting dan menentukan nasib seseorang. Segala bentuk perbaikan dan pembinaan individu maupun masyarakan pastilah melalui pendidikan akhlak.
Bagi manusia, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat berharga, yang mampu menjadikan seorang anak yang bodoh dari sisi penciptaan menjadi cerdik dan pandai. Pentingnya pendidikan akhlak akan nampak dengan jelas bila kita menyaksikan orang-orang yang sama sekali tidak memperoleh pendidikan akhlak, dalam keadaan seperti itu, mereka bukan hanya terlihat setara dengan binatang bahkan lebih rendah lagi.[14]  Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali dengan teori pendidikannya bahwa adanya penyatupaduan kepentingan jasmani (akal), ilmiah, dan jiwa agama, pendidikan dapat berjalan sesuai dengan fitrahnya.[15]
Pendidikan akhlak merupakan hal yang sangat diperlukan, baik bagi individu  maupun masyarakat. Bagi individu, pendidikan akhlak diperlukan untuk mengarahkan dirinya menjadi insan kamil. Pendidikan akhlak juga dibutuhkan masyarakat sebab pendidikan akhlak akan mendatangkan kebaikan keamanan dan perdamaian. Nilai-nilai akhlak berasal dari pendidikan, sehingga tersedia sarana bagi pertumbuhan politik, ekonomi, dan budaya.[16]
2.      Surat Al-Kahfi ayat 60-82
Cerita mempunyai daya tersendiri yang menyentuh perasaan manusia. Islam menyadari sifat alamnya manusia untuk menyenangi cerita dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu, Islam mengeksploitasi cerita-cerita untuk dijadikan salah satu teknik dalam pendidikan agama Islam. [17]
Al-Qur'an menjelaskan tentang kisah Nabi Musa yang menuntut ilmu kepada Khidhir. Di dalam perjalanan menuntut ilmunya, terjadi hal-hal yang menurut Nabi Musa bertentangan dengan syari’at. Namun demikian, Khidhir mengeluarkan persyaratan agar selama Nabi Musa menuntut ilmu padanya dilarang bertanya. Akan tetapi merasa tindakan Khidhir yang dinilai tidak benar, maka Nabi Musa akhirnya bertanya kepada Khidhir mengenai hal-hal yang telah dilakukannya. Akhirnya, Nabi Musa berpisah dengan Khidhir karena telah melanggar persyaratan yang diajukan oleh Khidhir.
Jadi, perpisahan antara Musa dan Khidir sebagai bentuk dari penepatan janji Musa terhadap Khidir, karena ia telah melanggar persyaratan yang diberikan oleh Khidir, yang berupa tidak boleh berbicara dan bersabar.
3.      Aplikasi Dalam Pembelajaran PAI
Kandungan surat Al-Kahfi ayat 60-82 yang menceritakan tentang perjalanan Nabi Musa mencari ilmu dengan Khidhir mempunyai nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran PAI dalam hal ini yang berkaitan dengan surat Al-Kahfi ayat 60-82 memberikan gambaran bagaimana sikap seorang murid terhadap pendidiknya yang mana murid tersebut harus patuh kepada perintah dari pendidik. Dalam dunia pembelajaran PAI, masih sedikit sekali orang yang mau berusaha menjadi murid dan pendidik yang baik, karena keduanya menganggap sebagai subyek pendidikan dan tidak mau dikalahkan satu sama lainnya. Oleh karena itu, dengan adanya kisah Nabi Musa yang menuntut ilmu dengan Khidhir dapat dijadikan teladan untuk pengembangan dunia pendidikan islam selanjutnya, yakni murid harus bersikap rendah hati pada guru dan guru harus mempunyai sifat pemaaf.
Al-Qur'an mempergunakan cerita buat seluruh jenis pendidikan dan bimbingan yang di cakup oleh metodologi pendidikannya, yaitu pendidikan mental (akhlak), pendidikan jasmani, serta menabuh jaringan yang saling berlawanan yang terdapat di dalam jiwa, yaitu pendidikan melalui teladan dan pendidikan melalui nasihat. Oleh karena itu cerita merupakan kumpulan bimbingan yang tidak terkirakan banyaknya.[18] Wajar bila cerita di dalam Al-Qur'an diarahkan buat tujuan-tujuan keagamaan yang ingin diwujudkan. Al- Qur'an itu sendiri bukanlah buku cerita, tetapi kitab suci yang berisi pendidikan dan tuntunan, yang sangat teliti cara penangkapannya dan menjaga sekali segi-segi keindahan, yang membuat cerita itu di samping tunduk kepada maksud-maksud keagamaan juga sangat indah dari segi sastra dan membuat penggunaan cerita-cerita untuk pendidikan, di samping sifat bebasnya menjadi bagian suatu metodologi pendidikan Islam.[19]
Jadi dengan adanya cerita yang ada dalam Al-Quran tersebut, mempermudah pengaplikasian nilai-nilai pendidikan akhlak dalam pendidikan agama islam, karena menurut Zuhairi bahwa materi atau bahan kurikulum pendidikan agama islam  sebagian besar adalah bersifat abstrak philosophis yang sulit diadakan pendekatan secara scientific.[20]




[1] Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral Aspek Pendidikan yang Terlupakan (Yogyakarta: Pustaka Pahima, 2003), hal. IX.
[2] Ibid, hal. XI.
[3] Ali Qoimi, Single Parent Peran Ganda Ibu dalam Mendidik Anak (Bogor: Cahaya, 2003), hal. 120.
[4]   A. Mudjab Mahali, Pembinaan Moral di Mata Al-Ghazali (Yogyakarta: BPFE, 1984), hal. 281.
[5] Yayasan Penyelenggara Penterjemah atau Pentafsir Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: DEPAG, 1971), hal. 910-911.
[6]    M. Qodirun Nur, Etika Ahlul Qur'an (Solo: Pustaka Mantiq, 1997),  hal. 49.
[7]    Adrias Harefa, Pembelajaran di Era Serba Otonom (Jakarta: Kompas, 2001),  hal. IV.
[8] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Semarang: Toha Putera, 1988), hal. 335.
[9] Salim Bahreisy & Said Bahreisi, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid V (Surabaya: Bina Ilmu), hal. 161.
[10] Ahmad Mushthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Semarang: Toha Putra, 1987), hal. 12.
[11] Rachmad Djatmiko, Sistem Etika Islami Akhlak Mulia ( Surabaya: Pustaka Islam, 1985)  hal. 217.
[12] Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral (Aspek Pendidikan yang Terlupakan) (Yogyakarta: Pustaka Pahima, 2003), hal. 24.
[12] Ibid, hal. 17.


[14] Ali Qoimi, Single Parent Peran Ganda Ibu dalam Mendidik Anak (Bogor: Cahaya, 2003), hal. 132.
[15] Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 3.
[16] Ali Qoimi, Single Parent Peran Ganda Ibu dalam Mendidik Anak (Bogor: Cahaya, 2003), hal. 133.
[17]  Salman Harun, Sistem Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif,  1993), hal. 348.
[18] Ibid, hal. 352.
[19] Salman Harun, Sistem, hal. 354.
[20] Zuhaeri dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Biro Ilmiah fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1981), hal. 59.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Quran surat Al-Kahfi"

Post a Comment