Biografi Profil Masdar Farid Mas'udi dan Pemikirannya Tentang Pajak dan Zakat
Profil Masdar Farid Mas'udi|
BIOGRAFI
DAN PEMIKIRAN MASDAR FARID MAS'UDI
TENTANG
PAJAK DAN ZAKAT
A. Biografi
1. Latar Belakang Kehidupan
Masdar Farid Mas'udi –selanjutnya
ditulis Masdar– lahir dari ibunda Hj. Hasanah, di dusun Jombor, Cipete,
Cilongok, Purwokerto, tahun 1954. ayahandanya, Mas'udi bin Abdurrahman.[1]
Tamat sekolah dasar (SD) yang
diselesaikannya selama lima
tahun, Masdar langsung dikirim ayahnya ke Pesantren salaf di Tegalrejo,
Magelang, di bawah asuhan Mbah Kyai Khudlori. Tiga tahun di Tegalrejo, Masdar
telah menamatkan dan menghafalkan Alfiah Ibnu Aqil. Selanjutnya pidah ke
Pesantren Krapyak, Yogyakarta berguru kepada
Mbah Ali Maksoem, Rois Am PBNU tahun 1988-1999. meskipun dari Tegalrejo baru
menyelesaikan pendidikan setara dengan kelas 3 Tsanawiyah, di Krapyak Masdar
langsung diterima dikelas 3 Aliyah.[2]
Tahun 1972, sambil tetap tinggal di
Pesantren Krapyak, Masdar melanjutkan studi di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan
kalijaga, Yogyakarta , jurusan Tafsir –Hadits.
Di masjid Jami' IAIN, Masdar sempat menggelar tradisi baru pengajian kitab
kuning dengan mem-balah (mengajar) Alfiyah untuk kalangan mahasiswa.
Berbagai seminar ilmiah telah
diikutinya sebagai pembicara mewakili sudut padang Islam, baik dalam maupun luar negeri.
Antara lain, di manila dan di Mindanau (Philipina) di Kuala Lumpur (Malaysia ), di Singapura,
di Kairo (Mesir), Sidney
(Australia ),
Belanda dan Denmark .
Tokoh yang cukup
kontroversial ini, tidak hanya melakukan perjalanan intelektual di negerinya
sendiri. Pada tahun 1988 Masdar mengikuti program kunjungan studi tentang
"Hubungan Agama dan Kehidupan Bernegara di Amerika" selama 5 pekan. Bersama
team-nya pada tahun 1987 ia merintis forum kajian Kitab Kuning di Kantor
PBNU yang tidak sempat berjalan lama. Kelompok kajian itu tiba-tiba dihentikan
karena mengundang kegusaran dan menggelisahkan kalangan kiai sepuh.
Selain hal di atas, sebagai media
penyaluran dan pengembangan pikiran-pikirannya, Masdar aktif menulis di
berbagai media dan beberapa buku.
Pengalaman organisasi Masdar diawali
ketika tahun 1972 dipilih sebagai ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) Komisariat Krapyak, Yogyakarta, sampai dengan 1974, selanjutnya pada
tahun 1976 terpilih sebagai Sekjen Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta sampai dengan 1978. Sebagai aktivis mahasiswa, Masdar pernah ditahan
oleh penguasa Orde Baru bersama 9 tokoh aktivis mahasiswa lainnya di markas
Pomdam Jawa Tengah, Semarang
selama5 bulan lebih.[3]
Tahun 1982, setelah hijrah di Jakarta , Masdar dipilih
sebagai ketua I Pengurus Besar PMII periode 1982-1987 mendampingi Muhyidi
Arubusman sebagai Ketua Umum. Selesai kuliah, tahun 1980 Masdar bekerja untuk
Lembaga Missi Islam NU sambil menjadi wartawan di beberapa mass media ibu kota .
Sejak tahun 1983 Masdar mulai terjun
dalam lingkungan NU secara politis sejak masuk dalam daftar keanggotaan Majelis
24 bersama KH. Sahal Mahfudz, KH. Mukhit Muzadi, KH. Ahmad Sidiqi, M. Zamroni,
Abdullah Syarwani, Mahbub Junaidi, dan Slamet Efendi Yusuf – kelompok yang
beranggotakan tokoh-tokoh ini disebut-sebut sebagai kelompok pro pembaharuan
oleh kalangan warga NU- dan kelompok ini pernah ditugasi untuk mempersiapkan
gagasan-gagasan maupun tema-tema baru yang akan dibawa ke Munas di Situbondo.[4]
Di sisi lain, karena
dilatarbelakangi ketidakpuasan di kalangan
generasi muda NU terhadap substansi fatwa ulama NU senior, Masdar bersama
kelompoknya melakukan gerakan-gerakan yang berusaha mengangkat problem-problem
sosial yang lebih relevan dalam fatwa. Antara lain adalah kritik atas
penggunaan kitab-kitab klasik –secara tekstual –tanpa dibarengi lewat
penafsiran-penafsiran lebih lanjut atau kontekstual. Beberapa tokoh NU yang
cenderung sama dengan garis ini adalah KH. Mustofa Bisri, KH. Mukhit Muzadi dan
KH, Sahal Mahfudz.
Sebagai seorang yang telah lama
mengenyam pendidikan di pesantren serta kiprahnya yang menonjol dalam
lingkungan NU inilah yang mengantarkan Masdar menjabat sebagai pengurus Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam –PBNU). Namun karena
sering mendapat berbagai kecaman dari para tokoh-tokoh senior di NU khususnya
terhadap terobosan-terobosan yang dilakukan Masdar yang tidak lazim di kalangan
senior, akhirnya Masdar memilih berproses di lembaga yang ia dirikan sejak
tahun 1983, yakni P3M.[5]
Kini selain sebagai Khatib Syuriah
PBNU, Masdar aktif di Ombudsman Nasional sebagai anggota, dan di dewan etik ICW
(Indonesia Corruption Watch) sebagai anggota.
2. Karya-karyanya
Masdar
aktif menulis di berbagai media dan beberapa buku. Pada tahun 1982-1983 ia
pernah menjadi wartawan dan redaktur di Harian Jurnal Ekuin. Artikel-artikel
maupun buku yang pernah ia tulis di antaranya:
a.
Dinamika Kaum Santri (Rajawali),
b.
Pergulatan dunia Pesantren, Islam Indonesia
Menatap Masa Depan (P3M),
c.
Teologi pembangunan, Etika pembangunan
(LKPSM, Jogjakarta ),
d.
Agama Keadilan: Risalah Zakat
(Pajak) Dalam Islam
(Pustaka Firdaus),
e.
Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan
Dialog Fiqih Pemberdayaan (Mizan),
f.
Reaktualisasi Islam (Panji Masyarakat),
g.
Meletakkan Kembali Maslahat
Sebagai Acuan Syari'ah
(Ulumul Qur'an)
h.
Kemelaratan, Musuh Agama-agama (Kompas).
B. Pemikirannya
tentang Pajak dan Zakat
1. Zakat Untuk
Keadilan Sosial
Untuk
terbentuknya Agama Keadilan setidaknya ada tiga prasyarat yang dijadikan
landasan yaitu:
a.
Rekonstruksi terhadap paradigma ortodoksi
Berangkat
dari kegagalan kaum ortodok dalam
membangun sebuah tatanan hukum untuk mengakomodir berbagai kepentingan,
sehingga hukum tidak lagi menjadi sebuah sistem yang kaku, namun dapat
terimplementasikan secara adil dan membawa kemaslahatan. Kaum ortodok yang
lebih banyak menggunakan epistemologi bayani (tekstual) lebih cenderung
tidak memihak terhadap substansi sebuah aturan hukum (syari'ah atau fiqh),
melainkan terlalu sibuk terhadap persoalan yang formalistik dengan sifat yang
dogmatis. Kebenaran sebuah teks adalah teks itu sendiri. Perkembangan hukum
hanya dilakukan dengan menggunakan cara qiyas, dengan merujuk pada
persamaan 'illat dalam bentuk konkret, bukan pada 'illat yang
substantif. Sehingga pada perkembangan selanjutnya, syari'ah tidak dapat
lagi mengakomodir kebutuhan-kebutuhan umat yang semakin kompleks, dan menuntut
adanya kepastian hukum.[6]
b.
Rekonstruksi wacana Qat'i-Z|anni
Rekonstruksi
terhadap pemahaman atas konsep qat'i yang selama ini diartikan sebagai
ajaran yang dikemukakan dalam teks bahasa secara tegas dan jelas, dan z|anni
yang diartikan sebagai ajaran yang tidak tegas, ambigu atau bisa diartikan
lebih dari satu pengertian.
Menurut
Masdar masalah qat'i adalah masalah yang absolut atau sebagai sesuatu yang bersifat pasti, tidak
berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental, seperti ajaran tentang
kebebasan dan pertanggungjawaban individu (tanpa memandang perbedaan kelamin,
warna kulit atau suku bangsa) di hadapan Allah; ajaran tentang keadilan;
persamaan manusia di hadapan hukum; tidak merugikan diri sendiri atau orang
lain dan sebagainya. Hal tersebut adalah hal yang fundamental (muhkam)
dan bersifat prinsipil dalam syari'ah, kebenaran dan keabsahannyapun tidak
memerlukan argumen di luar dirinya, karena nilai-nilai tersebut membenarkan dan
mengabsahkan dirinya sendiri. Tidak terikat ruang dan waktu (universal).
Sehingga tidak lagi memerlukan ijtihad atau reinterpretasi. [7]
Sedangkan
hal atau ajaran yang z|anni adalah ajaran yang bersifat implementatif,
sesuai dengan makna harfiyah dari z|anni, yakni persangkaan atau
hipotesis. Ajaran ini tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya
sendiri, tidak self-evident, dan selalu terikat oleh kondisi ruang dan
waktu. Hal inilah yang memerlukan interpretasi, karena ajaran z|anni
yang bersifat particular (juz'iyyah) ini berada pada dataran
teknis-operasional, sehingga menuntut adanya kesesuaian.[8]
c.
historis normativitas
Dalam
gagasannya agama keadilan, Masdar sangat menekankan adanya analisis historis
dalam setiap melakukan proses pembentukan hukum (ijtihad). Pergeseran-
pergeseran yang terjadi dalam umat Islam justru terletak pada hal yang sangat
fundamental dan subtantif.
Masdar
mencontohkan diturunkannya syariah zakat, yang dahulunya sebelum kenabian
adalah sebuah institusi "sesaji" dan "upeti" untuk
"penguasa" yang "abstrak" dan "penguasa" yang
"konkret". Syari'ah zakat datang menghapus institusi yang sarat
dengan ketidakadilan, kezaliman, pemaksaan, dan tidak adanya kemaslahatan.
"Zakat" dikeluarkan bukanlah untuk penguasa Islam melainkan untuk
umat Islam sendiri.[9]
Masdar juga meletakkan maslahat sebagai acuan syari'ah dalam upaya pembentukan
hukum Islam (teknis-operasional/fiqh).[10]
Masdar
berpandangan bahwa yang menjadi acuan hukum
Islam adalah bukan hukum itu sendiri, melainkan harus didasarkan pada
sebuah sistem nilai yang dengan sadar diambil sebagai keyakinan yang harus
diperjuangkan; sesuatu yang secara eksplisit tidak disebut hukum, tapi lebih
mendasar dari sekedar hukum yaitu, kemaslahatan dan keadilan.[11]
Sudah pasti, kemaslahatan dan keadilan merupakan nilai moral yang keberadaannya
tidak bisa dinalar atau diijtihadi. Yang perlu diijtihadi menurut Masdar,
adalah :
1) Definisi
tentang kemaslahatan dan keadilan dalam konteks ruang dan waktu nisbi.
2) Kerangka
normatif yang memadai sebagai pengejawantahan dari cita kemaslahatan-keadilan
dalam konteks ruang dan waktu tertentu.
3) Kerangka
kelembagaan yang memadai bagi sarana aktualisasi norma-norma
kemaslahatan-keadilan, sebagaimana dimaksud
pada poin pertama dan kedua, dalam realitas sosial yang berkaitan.[12]
Dalam
upaya menumbuhkan cita kemaslahatan dan keadilan, Masdar mengilustrasikan pada
syari'at zakat. Menurut Masdar, tujuan disyaria'tkannya zakat adalah
terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan bersama dengan prinsip, yang kuat
membantu yang lemah. Ruang gerak ijtihad bagi Masdar berkenaan dengan konsep
zakat itu adalah: a) mendefinisikan keadilan sosial dan pemerataan
kesejahteraan dalam konteks ruang dan waktu tertentu, misalnya konteks bangsa
Indonesia dalam dasawarsa 1990-an; b) berapa beban yang harus ditanggung mereka
yang mampu (miqda>r az-zaka>h), atas basis kekayaan apa saja (mahal
az-zaka>h), kapan harus dibayar (waqt al-ada<') dan siapa saja
serta di mana alamatnya yang secara riil dan definitif harus didukung oleh
zakat, dan sektor apa saja yang juga harus diuntungkan oleh dana zakat (masraf
al-zaka>h), dan sebagainya; c) kelembagaan yang bagaimana yang
seharusnya tersedia dalam realitas sosial politik Indonesia yang bisa mendukung
terwujudnya keadilan sosial dengan zakat tersebut; bagaimana mekanisme
pembentukannya, kerjanya dan kontrolnya.[13]
Menurut
Masdar, keadilan dalam hukum yang nota bene merupakan nilai moral dan
jiwa hukum, harus dipahami secara kontekstual dalam bingkai ruang dan waktu
tertentu. Konsep keadilan ini bagi Masdar adalah dalam rangka menghilangkan
bentuk otoritarianisme hukum yang didominasi oleh lembaga, kelompok dan person
tertentu.[14]
Sebagai media kontrol penegakan keadilan itu, menurut Masdar tidak lain adalah
kesepakatan orang banyak melalui mekanisme syura untuk mufakat (ijma<').
Jadi, apa yang disepakati oleh orang banyak dari pendefinisian keadilan dan
kemaslahatan melalui musyawarah itulah, bagi Masdar hukum yang sebenarnya.
Kesepakatan orang banyak itu pulalah, hukum tertinggi yang lebih mempunyai daya
ikat.[15]
Keadilan
tercakup dalam "memberikan orang lain akan apa yang menjadi
haknya." Menurut Plato apa yang menjadi hak setiap orang adalah bahwa dia
harus diperlakukan sebagaimana seharusnya, mengingat kapasitas dan
kemampuannya, sementara apa yang menjadi hak darinya adalah tuntutan kinerja
yang jujur dengan posisi yang diberikan kepadanya.[16]
Dalam
hal keadilan, Masdar menawarkan kaidah :
إذاصح
الحديث فهومذهبى
(Apabila kemaslahatan [tuntutan keadilan
dan kesejahteraan bersama pada sesuatu], telah menjadi absah, itu mazhabku).
Hal ini dikarenakan bahwa tidak ada suatu paket syari'at yang dicanangkan
Tuhan, baik langsung dalam al-Qur'an maupun melalui sunnah Nabi, kecuali satu
tujuan, yakni kemaslahatan hidup manusia.[17]
Dalam
hal ini Masdar berpegangan ayat-ayat al-Qur'an sebagai berikut:
Didasarkan
juga pada al-Qur'an surat
al-Isra (17):82; Yu>nus (10):57; al-A'ra>f (7):153,202;
Al-hajj (22):78; al-Maidah (5):7,
selain itu juga didasarkan pada beberapa sabda Nabi di antaranya:
"tidak boleh
ada kerugian atas diri sendiri maupun orang lain, kerugian atau kesengsaraan
itu harus dihindarkan".[20]
Dengan
memperhatikan ayat-ayat al-Qur'an di atas akan terlihat jelas bahwa syari'at/hukum atau
peraturan yang dicanangkan Tuhan adalah subordinat terhadap
"kemaslahatan". Aturan harus tunduk dan mengabdi pada cita
kemaslahatan, bukan sebaliknya kemaslahatan yang tunduk pada aturan.[21]
Sebagaimana pendapat Izzudin Bin Abdissalam yang dikutip Masdar:
Semua aturan atau
perintah acuannya adalah kepada kemaslahatan umat manusia, hamba Allah,
duniawinya maupun ukhrowiyahnya secara bersama-sama, karena kemaslahatan
akhirat tidaklah sempurna tanpa kemaslahatan dunia.[22]
Dalam mencanangkan syari'at perzakatan
(perpajakan) 14 abad yang lalu Rasulullah menawarkan yang terdiri dari
unsur-unsur tasyri' dengan derajat yang berbeda-beda. Ada yang bersifat strategis sehingga dapat
diterapkan untuk banyak z|uruf, dan ada yang bersifat taktis yang hanya
cocok untuk satu konteks sosial tertentu saja.[23]
Menurut
Masdar syari'at strategis yang Rasulullah canangkan dalam hubungannya
dengan zakat (pajak) tersebut adalah:
a.
Berkaitan dengan fungsi zakat sebagai sarana vital bagi tercapainya
keadilan sosial, dengan tegas ditetapkan bahwa "zakat merupakan kewajiban
yang tidak dapat ditawar".
b.
Berkaitan dengan objek yang dikenakan zakat, dalam
hal ini Nabi saw. menetapkan zakat atas jiwa dan semua jenis harta kekayaan.
c.
Mengenai besar kecilnya tarif atau kadar zakat secara absolut yang
harus dibayar oleh masyarakat, Nabi menetapkan bahwa hal itu ditentukan oleh
berat ringannya tantangan keadilan dan kesejahteraan yang dihadapi.
d.
Menyangkut kadar relatif dari tarif zakat,
Rasulullah dalam menentukan hal ini melihat pada sektor ekonomi mana yang telah
mencuatkan kesenjangan sosial pada masyarakat yang bersangkutan.
e.
Mengenai waktu pembayaran zakat, dalam menetapkan
waktu pembayaran zakat Rasulullah
membagi menjadi dua yaitu pertama dibayar secara periodik[24]
dan kedua dibayar tergantung pada kapan kekayaan yang terkena zakat itu tiba
ditangan (insidental).[25]
f.
Dalam penunaian zakat harus melalui pihak ketiga
(imam atau pemerintah sebagai amil).[26]
Hal ini dimaksudkan untuk terealisasinya kesejahteraan dan keadilan bersama,
karena secara struktural pihak ketiga ini memiliki kewenangan politis untuk
menegakkan kesejahteraan dan cita keadilan bersama. Dengan lembaga amil
yang memiliki kewenangan formal ini, bisa memaksa pihak yang menolak membayar
zakat.[27]
Prinsip diatas dicanangkan
untuk pencapaian tujuan moral dan etis zakat yang berupa keadilan dan kesejahteraan bagi
semua.
2. Menyatukan
Pajak dan Zakat
Mayoritas
umat Islam sampai hari ini memang masih mengatakan bahwa: pajak itu kewajiban
dari penguasa untuk kita selaku warga negara; sementara zakat adalah kewajiban
dari Tuhan untuk kita selaku hamba-Nya.
Apabila
di lihat sejarah yaitu pada masa
Rasulullah dan Masa al-khulafa' ar-Rasyidun, maka akan terlihat awal
mula penanganan zakat yang dikelola oleh pemerintah atau negara.
Pada
masa Rasulullah saw. pengelolaan zakat dalam ujud kelembagaannya sama seperti
pajak. Dimana, lembaga zakat dibawah tanggung jawab pemerintah, dipungut oleh
pemerintah dan ditasharufkan oleh pemerintah.
Dalam
masa pemerintahan al-khulafa' ar-Rasyidun, tepatnya sampai dengan
pemerintahan 'Umar Ibnu Khatta<b r.a., pengelolaan zakat dijalankan oleh
pemerintah, walaupun dengan manajemen yang sederhana.
Pengelolaan
zakat mulai bergeser pada zaman khalifah ke-3, 'Usman Ibn 'Affa<n r.a. (w.34
H / 656 M), dalam pemerintahan 'Usman
sudah tidak mampu lagi mengurus dana zakat dari rakyat seperti yang dilakukan
oleh para pendahulunya. Kemudian penanganan dana zakat diserahkan kepada umat
karena tidak bisa lagi dijangkau oleh administrasi pemerintahan 'Usman. Negara
cenderung memperhatikan sumber pemasukan lain, yang secara ekonomis memadai dan
secara politis lebih murah, yakni khara<j (retribusi atas tanah yang
dikuasai oleh negara), serta jizyah (tax yang dikenakan terhadap warga
negara non-muslim).[28]
Dengan
dilepaskannya penanganan zakat oleh pemerintah atau negara, maka kepercayaan
rakyat terhadap pemerintah dalam mengelola zakat sudah tidak ada. Dan
pemerintah sendiri cenderung memperhatikan pemasukan lain selain zakat. Menurut
Masdar secara tidak disadari keadaan ini membawa implikasi teologis,
"dengan tercabutnya dari pengelolaan pemerintah, maka zakat yang awal
mulanya merupakan konsep keruhanian
untuk lembaga "pajak" akhirnya dipahami sebagai konsep
kelembagaan par-excellent, yang dipersaingkan dengan lembaga
sejenis."[29]
Di
kemudian hari semakin terasa adanya pemisahan antara urusan agama dengan urusan
negara. Selama ini pengaruh filsafat dualisme Yunani, masih terasa
kental dimana kecederungan memandang agama sebagai domein tersendiri dan
diposisikan bersaing dengan domein-domein kehidupan lain yang duniawi atau
sekular. Dengan anggapan ini menurut Masdar kita terbawa arus pemikiran
dikotomis untuk selalu memperhadapkan sesuatu yang bersifat duniawi dengan yang
bersifat ukhrawi, antara persekutuan profan versus persekutuan sakral
dan seterusnya. Dalam sejarah kehidupan modern, dikotomi itu memuncak pada
penghadapan yang sangat diyakini antara kekuasaan negara dengan kekuasaan
agama.[30]
Dalam
Islam sebagai agama fitrah tidak mengenal pemikiran dualisme yang
dikotomis. Bahwa ada sesuatu yang bersifat duniawi disamping ada sesuatu
yang ukhrawi adalah nyata. Seperti nyatanya ada ruhani, ada jasmani.
Akan tetapi kedua hal yang disebut berbeda itu, bukan untuk diperhadapkan. [31]
Prinsip
kesatuan dialektis yang fitrah harus tetap dipertahankan, begitu juga dalam
mempertahankan hubungan antara agama dengan negara. Menurut Masdar upaya
memisahkan dan kemudian dipersaingkan atau diperhadapkan satu terhadap yang
lain merupakan perbuatan sesat. Apabila kesatuan antara agama dengan negara
dipecah, maka kekuatan agama yang pada dasarnya adalah kekuatan nurani yang tak
terbentuk, terpaksa harus dipahami dan diperlakukan sebagaimana kita memahami
dan memperlakukan bentuk itu sendiri. Dengan demikian munculnya persaingan yang
tidak kenal malu antara kekuatan duniawi dengan nafsu duniawi. Karena negara
anti-agama sebagai institusi murni duniawi, tidak ada pretensi sebagai
pembawa kekuatan ruhani (moral spiritual). Begitu juga dengan negara-agama,
kekuatan ruhani mengabdi kepada kekuatan duniawi.[32]
Kembali
pada masalah pajak dan zakat, apabila pemikiran yang memisahkan, dan kemudian
memperhadapkan, agama dengan negara merupakan kesesatan, maka demikian juga memisahkan,
dan kemudian memperhadapkan, zakat dengan pajak merupakan perbuatan sesat.[33]
Menurut
Masdar secara ekplisit dan harfiah bahwa "zakat sama dengan
pajak" karena bagi Masdar zakat itu konsep spiritual dan moral, sementara
pajak adalah material dan kelembagaan. Dalam bahasa Masdar zakat itu ruhnya,
pajak itu badannya, Masdar menganalogikan seperti dalam al-Qur'an ketika
berbicara soal spirit yang jadi urusan personal (muzaki), kata-kata yang
dipakai adalah "zakat". Tapi, ketika ia bicara soal materinya (kini,
dalam wujud uang), yang dipungut oleh pemerintah sebagai amil yang mengelolanya, terma yang dipakai
adalah "sedekah".[34]
"Ambilah dari harta pihak yang mampu sedekah".[35]
"Sodakah
/ sedekah", yang secara harfiyah berarti "kesungguhan atau
kesejatian" adalah jelas suatu pemberian (umumnya dalam bentuk materi)
kepada pihak lain secara cuma-cuma,
bukan dalam rangka kontrak tukar-menukar seperti "jual-beli".
Jika pengertian ini bisa diterima, maka pajak atau upeti akan dapat dipahami
sebagai lembaga persedekahan yang berbeda dengan dengan anggapan para ulama dan
umat Islam selama ini.[36]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa hubungan antara "zakat" sebagai konsep
keagamaan (keruhanian), di satu pihak dan "pajak" sebagai konsep
keduniawian (kelembagaan), di lain pihak, sama sekali bukanlah hubungan
dualisme yang dikotomis melainkan hubungan keesaan wujud yang dialektis.[37]
[1] Masdar Farid Mas'udi, Berakar
Pada Tradisi Bervisi Modern, dalam Profil KH. Masdar Farid Mas'udi, hlm.7
[2] Ibid., hlm.7
[4]Martin Van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi
Kuasa Pencarian wacana baru, cet. I, (Yogyakarta : LKis,1998), hlm. 133
[6] Masdar
Farid Mas'udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (pajak) dalam Islam,
cet.III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm.1,2,48. Lihat juga Masdar Farid
Mas'udi, "Meletakkan Kembali Mas}lah}at sebagai Acuan Syari>'ah",
dalam Jurnal Ulumul Qur'an, (No. 3 Vol. VI, 1995), hlm. 94
[7] Masdar
Farid Mas'udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Dialog Fiqh
Pemberdayaan, cet.III, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 29-31. Lihat juga
Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Mas}lah}at sebagai Acuan
Syari>'ah", dalam Jurnal Ulumul Qur'an, (No. 3 Vol. VI,
1995), hlm. 97
[10]Masdar Farid Mas'udi,
"Meletakkan Kembali Mas}lah}at sebagai Acuan Syari>'ah",
dalam Jurnal Ulumul Qur'an, (No. 3 Vol. VI, 1995), hlm. 94
[14] Masdar Farid Mas'udi, Islam
dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Dialog Fiqh Pemberdayaan, cet.III,
(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 180
[16] Muhammad
Muslehudin, Wacana Baru: Manajemen dan Ekonomi Islam, alih bahasa A.
Dahlan Rosyidin dan Akhmad Affandi, cet. I, (Yogyakarta
: Ircisod, 2004), hlm. 165
[24]Yang masuk dalam kategori
pembayaran secara periodik seperti pada zakat (pajak) niaga, ternak dan zakat fitrah.
[25] Yang
masuk dalam kategori pembayaran insidental yaitu seperti pada zakat (pajak)
hasil pertanian, hasil tambang dan harta temuan.
[26] Tanpa
melalui lembaga amil zakat tidak bisa disebut zakat melainkan hanya sedekah biasa yang
bersifat karitatif. Dari sudut kultural, dengan melalui lembaga amil
sebagai pihak ketiga akan terhindar terjadinya hubungan patronase antara
pembayar (muzakki) dan sipenerima (mustahiq)
[30] Masdar
Farid Mas'udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam,
cet.III (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993) hlm, 113-114
[34]Lebih jelasnya keterangan ini
dapat dibaca, Masdar Farid Mas'udi, Pajak dan Zakat, http://www.isnet.org/archive-milis/archive96/mar96/0177.html,
akses tgl 18 januari 2005
0 Response to "Biografi Profil Masdar Farid Mas'udi dan Pemikirannya Tentang Pajak dan Zakat"
Post a Comment