Politik Syariah Islam Inklusif-Moderat Ala PKS
Politik Syariah Islam Inklusif-Moderat Ala PKS| Sobat!! Salam Asyik buat masyarakat Jawa Barat!! Menekuni dunia
blogger juga asyik, meskipun harus memposting artikel-artikel yang bisa
memberikan informasi dan inspirasi pada fans mbah google. Untung saja makalah,
artikel dan materi-materi ketika dulu kuliah di Jogja masih numpuk di lemari.
Sehingga bisa dijadikan referensi dan bahan postingan di sini, menyatukan
tulisan-tulisan yang terserak.
Tak sengaja, ana menemukan tulisan yang membahas tentang Partai
Keadilan Sejahtera yang ditulis oleh Badrun Alaina dan Masroer keduanya
adalah dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang ditulis pada tahun 2005.
Ana lupa entah pada acara apa materi ini dibahas, yang jelas pada tahun itu
partai saya bukan PKS, karena saya aktif di IMM dan mengenal Pa Amin Rais lebih
dahulu daripada PKS.
Membaca kembali tulisan ini, saya yang sekarang adalah pengurus
DPC PKS kecamatan Pagerageung semakin menambah harapan dan kepercayaan kepada
PKS yang saat ini bernomor urut 8, untuk mampu mewujudkan pemimpin sejati
presiden RI ke-8.
Ini dia Calon Presiden RI ke-8
Kang Aher,
Sudah Saatnya Urang Sunda Maju...
Sobat! Tidak ada salahnya untuk membaca kembali tulisan ini
meskipun ditulis pada tahun 2005, siapa tahu dapat menginspirasi atau
setidaknya mengingatkan kembali kiprah PKS pada waktu itu, untuk dijadikan
cermin bagi sekarang.
PKS & POLITIK BERSYARIAH ISLAM INKLUSIF
Oleh : Badrun Alaina & Masroer Ch Jb*
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kini melejitnya namanya
karena perolehan suaranya yang naik drastis sebesar 8% dalam Pemilu 2004 lalu,
telah banyak mengalami perubahan-perubahan visi dan pola perjuangan politiknya
di belantara politik Indonesia. Sebagai partai yang paling getol mengusung
gagasan politik bersyariah Islam secara konstitusional di Indonesia, PKS yang
di masa kelahirannya tahun 1998 dikenal dengan nama PK atau disingkat Partai
Keadilan semula merupakan partai kecil yang tidak diperhitungkan oleh publik
politik di Tanah Air. Pada awalnya PKS lahir sebagai bentuk respon politik
sekelompok umat Islam dalam menghadapi perubahan sosial politik di Indonesia
yang terjadi secara cepat dan mendadak, sehingga menghasilkan munculnya zaman
baru yang disebut era reformasi.
Partai Dakwah Berbasis Kader
Dalam sejarahnya, PK mula-mula didirikan oleh para pemuda aktivis
dakwah yang tergabung ke dalam organisasi MDK (Majelis Dakwah Kampus). Sebuah
organisasi dakwah mahasiswa yang dirintis pertama kali dan dibina langsung oleh
para pemimpin DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) sejak tahun 1974-an, dan
kemudian berkembang mandiri di tahun 1980-90-an, dengan tujuan pokok berdirinya
untuk menyebarkan dakwah Islam di lingkungan perguruan tinggi umum di Tanah
Air. Diantara organ MDK yang populer dan paling aktif pada saat itu ialah
Jamaah Salman di kampus ITB Bandung dan Jamaah Salahuddin di kampus UGM
Yogyakarta. Kedua organisasi MDK ini tidak hanya aktif berdakwah
melalui pengajian-pengajian keagamaan mahasiswa dan seminar-seminar Islam yang
digelar, tetapi juga aktif berkonsolidasi dan berdemo mengkritisi
kebijakan-kebijakan politik rezim Orde Baru, seperti kebijakan asas tunggal Pancasila
yang disalahgunakan.
Pada waktu Indonesia dilanda berbagai krisis (1997-1998) yang
berakhir dengan jatuhnya Presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya di Istana
Merdeka, para pemuda aktivis dakwah yang tergabung ke dalam organisasi MDK juga
terlibat aktif di dalamnya, bahkan berada di garda paling depan di antara
kelompok-kelompok reformis saat itu. Mereka mengorganisasikan diri ke dalam
wadah KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang dideklarasikan
sebelumnya di kota Malang pada 29 Maret 1998.
Namun rupanya sesudah era reformasi lahir, peran KAMMI
berangsur-angsur menurun dan mulai kehilangan arah, lebih lagi setelah
timbulnya perebutan visi yang terjadi diantara kaum reformis sendiri mengenai
bagaimana seharusnya memaknai arah reformasi Indonesia. Para aktivis KAMMI
kemudian menilai dibutuhkan peran baru dengan cara mendirikan partai politik
sebagai wadah baru dalam berdakwah di Indonesia. Partai politik itu kemudian
dikenal dengan nama Partai Keadilan (PK). Namun dalam Pemilu perdana yang digelar
di era reformasi (7 Juni 1999), PK hanya meraih suara 1.36 % sehingga
mendapatkan 7 kursi di DPR. Sedikitnya suara yang diraih PK dalam Pemilu 1999
disebabkan oleh munculnya opini publik Indonesia yang plural ini mendapatkan
kesan bahwa militansi keislaman PK hanya untuk meneguhkan dirinya sebagai
partai eksklusif, anti pluralitas dan cenderung fundamentalistik yang jelas
tidak sejalan dengan spirit reformasi Indonesia yang berbhineka dan toleran.
Dalam situasi politik Indonesia yang tidak memihak ke PK tersebut,
ditambah dengan batasan UU partai politik mengenai ketentuan elektrolal treshold (ET)
2 % sebagai syarat mutlak menjadi peserta Pemilu 2004 yang diberlakukan oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri, serta dibarengi dengan perubahan taktik agar tidak
tereliminasi, dan atau juga karena langkah pragmatis dari para pemimpinnya,
pada 20 April 2003 PK lalu berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Perubahan nama dari PK ke PKS tersebut ternyata dapat mengubah opini
publik menjadi positif. Dalam Pemilu 2004 kemarin, PKS mampu meraup suara yang
berlipat-lipat, kira-kira lebih 8 % dari total jumlah pemilih Indonesia yang
berjumlah 123 juta. PKS menempati kelompok enam partai nasional yang perolehan
suaranya terbesar.
Sekalipun demikian pergantian nama ke PKS itu tidak diikuti pula
dalam perubahan ideologi politik, sistem pengkaderan dan struktur
organisasinya. Karena itu, dalam anggaran dasarnya disebutkan PKS merupakan
partai politik berasas Islam (Syumuliyatul Islam).
Ini artinya PKS secara tegas memposisikan Islam tidak sekedar sebagai agama
yang dimengerti sebatas sistem kepercayaan rohani yang dirumuskan ke dalam
kredo dan liturgia tertentu, akan tetapi juga sebagai ideologi politik.
Ideologi politik Islam ini dimaknai sebagai dasar perjuangannya yang pokok
dalam berdakwah di masyarakat sekaligus di negara. Dengan begitu tujuan PKS
didirikan tidak sekedar hendak berdakwah dengan bercita-cita menguasai politik
negara dengan ikut duduk di pemerintahan, tetapi juga berdakwah di masyarakat
Indonesia.
Oleh karena itu PKS dikenal sebagai partai dakwah. Partai dakwah
PKS dapat disebut juga sebagai “partai dakwah berbasis kader”. Untuk mencapai
tujuan-tujuan politik dakwahnya (siyasah dakwah)
menjadi partai dakwah berbasis kader, PKS aktif merekrut masyarakat, terutama
di kalangan generasi muda Islam terpelajar untuk menjadi kader partai yang
bersih dan peduli melalui sistem pengkaderan bersel. Sistem pengkaderan bersel
yang membentuk kader bercitra bersih dan peduli ini mengikuti pola pengkaderan yang
diterapkan oleh jaringan Islam internasional; Jamaah Ikhwanul Mulimin, dengan
membiakkan kader ke dalam jaringan organisme halaqah-halaqah atau usroh sebagai
jaringan kader terkecil.
Politik Syariah Islam Inklusif-Moderat
Akan tetapi politik dakwah yang diperjuangkan PKS ditekankan pada
upaya perjuangan menegakkan syariah Islam tidak hanya di masyarakat tetapi juga
di negara Indonesia. Uniknya cita-cita bersyariah Islam yang diusung PKS tidak
seperti dalam bayang-bayang Piagam Jakarta 1945 versi gagasan Masyumi dan NU,
melainkan syariah Islam yang inklusif dan moderat. Ini terbukti dari
langkah-langkah inovatif dan strategi transformatif yang pernah ditunjukkan PKS
untuk memaknai kembali (reintrepetation)
arti Piagam Jakarta sebagai dasar bersyariah Islam yang diperjuangkannya.
Karena itu dalam perdebatan di sidang-sidang parlemen (MPR) yang menegangkan
mengenai amandemen pasal 29 UUD 1945, antara fraksi Golkar-PDIP yang
mengusulkan rumusan negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan fraksi
PPP-PBB yang mengusulkan negara berdasar Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya, PKS justru menawarkan solusi jalan
tengah yang transformatif.
Rumusan syariah Islam yang sebelumnya bersifat eksklusif diubah
secara radikal menjadi inklusif dan bermakna baru. Menurut Presiden PKS waktu
itu; Dr. Ir Nur Mahmudi Ismail, Syariah Islam yang hendak diperjuangkan oleh
PKS justru diimaknai dalam konteks penegakan syariah Islam plus agama-agama di
tanah air. Ini berarti tidak hanya Islam yang mendapat perlakuan istimewa dalam
hal pelaksanaan syariahnya, tetapi juga ajaran agama-agama lain yang resmi
diakui oleh negara dalam kehidupan nasional.
Gagasan futuristik dan obsesif ini, sekalipun juga menimbulkan pro
dan kontra di internal kader, setidaknya dapat bermanfaat bagi PKS dalam
membangun dasar-dasar teologi dan politiknya ke arah yang lebih terbuka dan
mengakar untuk jangka ke depan dalam konteks kebangsaan kita. Ini juga
sekaligus memberikan sumbangan berarti bagi eksistensi kemajemukan Indonesia di
masa kini dan masa mendatang. Memang gagasan progresif yang disuarakan oleh PKS
dalam politik bersyariah Islam dalam konteks rahmatan lil alamin masih
jauh dari harapan, lebih lagi di mata publik politik minoritas non muslim.
Di Nangroe Aceh Darussalam dan di sejumlah daerah di Propinsi
Sulawesi Selatan, misalnya pemberlakuan bersyariah Islam yang ada justru lebih
terkesan bernuansa simbolik dan sektarian, hanya sebatas persoalan pidana (jinayah) yang
menyangkut, seperti hukum cambuk bagi si miskin, program perluasan baca tulis
al-Qur’an dan pengaraban huruf Melayu baik di kantor-kantor pemerintah maupun
lembaga pendidikan. Pemberlakuan syariah belum menyentuh persoalan mendasar
pembebasan umat Islam dari kemiskinan dan penderitaan sosialnya, seperti
penyakit busung lapar, diskriminasi TKW, dan penggusuran pedagang kaki lama.
Bisa jadi pemberlakuan syariah Islam model simbolik dan sektarian tersebut terjadi,
selain masih dihadapkan pada adaptasi dengan tingkat kualitas rohani dan
intelektual umat Islam yang masih jauh dari apa yang dibanggakan, juga karena
terjebak pada ungkapan perayaan kemenangan ideologis (celebration of
ideology) yang sifatnya sesaat.
Kendati demikian, dari visi politik Islam yang inklusif dan
moderat yang (pernah) ditawarkan PKS tersebut, agak telah menimbulkan
pergeseran-pergeseran paradigma dalam memandang Islam yang baru diantara
kadernya. Di kalangan kader, mulai tumbuh pandangan yang tidak hanya meletakkan
Islam dalam tafsiran tekstual-rasionalistiknya. Tafsir Islam yang tidak
semata-mata ditempatkan dengan karakteristiknya yang statis, monolitik dan
berdiri sendiri tanpa terikat oleh perkembangan dan evaluasi kesejarahannya. Akan
tetapi juga kemauan yang mulai tumbuh untuk menafsirkan Islam yang sejalan
dengan semangat zaman. Islam di sini mampu ditafsirkan dalam konteks dunia
kekinian, di mana penafsiran Islam tidak terlepas dari ikatan ruang dan waktu
historik-politiknya. Ini artinya Islam mau terus menerus digumulkan dengan
konteks pembentukan kesejarahan peradabannya yang baru dengan kemampuannya
menerima nilai-nilai epistemologi kritisisme-historis. Jika sudah demikian yang
terjadi, Insya Allah PKS yang kini berpegang pada tafsir citra Islam bersih dan
peduli, di kemudian hari akan berevolusi menjadi partai besar yang tidak hanya
mengakar di hati umat Islam, tetapi juga menasional di mata publik Indonesia
yang plural.
Yogyakarta, 22 Oktober 2005
*Keduanya Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 Response to "Politik Syariah Islam Inklusif-Moderat Ala PKS"
Post a Comment