Image1

Skripsi Pendidikan seks dalam Islam BAB II

Skripsi Pendidikan Seks dalam Pandangan Islam. Berbicara tentang pendidikan seks, tampaknya ada dua kata kunci yang harus kita pahami terlebih dahulu. Yaitu kata “pendidikan” dan, kata “seks” baru kita melihat makna kedua kata tersebut seutuhnya. Menurut kamus, kata “pendidikan” berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Sedangkan kata “seks” mempunyai dua pengertian. Pertama, berarti jenis kelamin dan yang kedua adalah hal ihwal yang berhubungan dengan alat kelamin, misalnya persetubuhan atau senggama.


BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN SEKS

A.    Makna Seks dan Pendidikan Seks
1.      Makna Seks
Secara bahasa, seks berarti jenis kelamin.[1] yakni laki-laki dan perempuan. Sedangkan secara istilah ialah nafsu syahwat, yaitu suatu kekuatan pendorong hidup, yang memakai beberapa nama diantaranya instink, naluri yang dimiliki manusia, naluri yang dimiliki laki-laki dan perempuan, yang mempertemukan mereka, guna meneruskan kelanjutan keturunan manusia.[2] Nafsu syahwat ini telah ada sejak manusia lahir dan dia mulai menghayati sewaktu dia menemukan kedua bibirnya dengan puting buah dada ibunya, untuk menyusui karena lapar. Ia menikmati rasa senang yang bukan rasa kenyang. Inilah rasa seks pertama yang dialami manusia. Jadi, seks merupakan motivasi atau dorongan untuk berbuat.
Berbicara tentang pendidikan seks, tampaknya ada dua kata kunci yang harus kita pahami terlebih dahulu. Yaitu kata “pendidikan” dan, kata “seks” baru kita melihat makna kedua kata tersebut seutuhnya. Menurut kamus, kata “pendidikan” berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Sedangkan kata “seks” mempunyai dua pengertian. Pertama, berarti jenis kelamin dan yang kedua adalah hal ihwal yang berhubungan dengan alat kelamin, misalnya persetubuhan atau senggama.[3] Jadi seks disini tidak hanya mengajarkan tentang dua hal di atas saja, tetapi mempunyai pengertian yang luas.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata seks dapat berarti proses reproduksi atau perbedaan karakter jenis kelamin, dan bisa juga mengenai segala hal yang berkenaan dengan kesenangan atau kepuasan organ di gabung dengan rangsangan organ-organ kemaluan atau terkait dengan percumbuan serta hubungan badan koitus.[4]  
Seks adalah sebuah topik yang paling kontroversi di dalam masyarakat kita (masyarakat muslim). Kebanyakan masyarakat kita memandang seks sebagai sesuatu yang “menyeramkan”, kotor, dan karenanya tidak pantas dibicarakan secara terbuka untuk alasan apapun. Dengan segala prasangka dan kesalahkaprahan kultural yang di sematkan padanya (seks), adalah penting dan mendesak bagi kita untuk memulai membicarakan dan membahas permasalahan ini guna menyingkirkan kejumudan (kebekuan) dari pikiran-pikiran kita.[5] 
Seks dalam arti sempit dapat juga berarti jenis kenikmatan yang dihasilkan dari rangsangan organ seks untuk melanjutkan atau melahirkan keturunan (prokreasi).[6]
Sedangkan seks dalam arti luas atau secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan.[7]
Adapun fungsi seks adalah sebagai berikut :
a.       Pembeda jenis, sebagaimana firman Allah SWT, pada surat An-Najm (53): 45-46
وانه خلق الزوجين الذكرولانثى. من نطفة اذا تمنى
 Artinya : “Dan bahwasanya  Dialah yang menciptakan berpasang-pasang laki-laki dan perempuan. Dari air mani, apabila ia dipancarkan”.[8]

Adapun perbedaan jenis manusia tidak hanya di maksudkan untuk terciptanya pasangan, tetapi juga untuk membedakan hak dan kewajiban masing-masing yang digariskan oleh Allah kepada manusia.[9]
b.      Pengembangbiakan, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa (4): 1
ياايها الناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منها رجالا كثيراونساء وتقواالله الذى تساءلون به والارحام ان الله كان عليكم رقيبا.
Artinya : “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya. Allah menciptakan istrinya: dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. [10]

Pada ayat tersebut Allah menyatakan bahwa pengembangbiakan manusia terjadi karena adanya jenis laki-laki dan perempuan. Fungsi perbedaan seks yang menjadi sarana pengembangbiakan yang menjadi tugasnya merupakan garis ketentuan Allah. Kedua jenis yang berbeda ini melakukan pengembangbiakan yang menjadi tugasnya di dunia dengan jalan dan cara yang digariskan Allah. Sebab tanpa pengembangbiakan manusia akan musnah di muka bumi ini.[11]
c. Membina peradaban ini dijelaskan oleh Allah dengan firman-Nya dalam surat Al-Hujjarat (49): 13
ياايهاالناس اناخلقنكم من ذكروانثى وجعلناكم شعوباو قباثل لتعارفو إن اكرمكم عند الله أتقكم.
Artinya : “ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang bertaqwa diantara kamu. [12]

Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan tujuan agar manusia saling mengenal dan dapat melakukan hal-hal terbaik dalam kehidupannya di dunia.[13]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa pengertian seks tidak sebatas hanya jenis kelamin laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga menunjukkan segala hal yang terjadi akibat adanya perbedaan jenis kelamin tersebut. Dan juga seks diartikan sebagai motivasi atau dorongan untuk berbuat, yang disebut juga nafsu syahwat yang dapat menjurus kepada kebajikan maupun kepada kejahatan.
2.      Makna Pendidikan Seks
Pendidikan seks mengandung dua kata kunci yaitu pendidikan dan seks. Jadi pendidikan artinya memberi pelajaran kepada anak didik mencakup fungsi koqnitif (pengetahuan), afektif (Perasaan), dan psikomotor (perubahan tingkah laku). Demikian juga pendidikan dalam Islam, bertujuan untuk membentuk pribadi yang utuh, sehat jasmani dan rohani. Dengan demikian, diharapkan seorang muslim mampu berkiprah optimal dalam kehidupan. Dalam konteks itu pula, Islam memandang pendidikan seks.[14]
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba bahwa pendidikan adalah : bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[15]
Dalam Islam, pendidikan seks merupakan bagian dari pendidikan akhlak. Pendidikan seks yang dimaksud adalah jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), yaitu bagaimana mendidik anak menjadi orang normal baik laki-laki maupun perempuan, tidak menjadi homoseksual, lesbi atau banci, tidak ada gangguan orientasi seksual, serta jiwa dan badannya sesuai dengan kodratnya.[16] Pendidikan seks mengajari juga perihal sopan santun atau hal-hal yang disukai dan tidak disukai oleh masyarakat. Sehingga setiap orang bisa belajar menghargai diri sendiri dan orang lain. Pendidikan seks justru tidak mengajarkan cara-cara berhubungan seksual, yang sering dikonotasikan sebagai pornografi. 
Sedangkan yang dimaksudkan dengan seks, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa seks berarti jenis kelamin dan dalam arti luas seks berarti sesuatu yang berkaitan dengan alat intim atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan. Dan juga seks diartikan kekuatan pendorong hidup yang disebut nafsu syahwat.
Setelah mengetahui pengertian pendidikan dan seks, maka selanjutnya akan diuraikan mengenai pendidikan seks. Ada berbagai pendapat para ahli mengenai pendidikan seks.
           Menurut Abdullah Nashih Ulwan, pendidikan seks adalah masalah mengajarkan, memberi pengertian, dan menjelaskan masalah-masalah yang menyangkut seks, naluri, dan perkawinan kepada anak sejak akalnya mulai tumbuh dan siap memahami hal-hal diatas.[TK1] [17]
Dengan demikian ketika anak mencapai usia remaja dapat memahami persoalan-persoalan yang menyangkut seks, dapat menggunakan alat kelamin-nya secara halal melalui pernikahan dan tidak menurutkan hawa nafsunya secara bebas.
Ali Akbar mengemukakan yang di maksud pendidikan seks adalah : 
“ Mendidik nafsu syahwat sesuai dengan ajaran Islam, supaya ia menjadi nafsu yang dirahmati Allah, guna menciptakan suasana ketenangan dan kebahagiaan dalam rumah tangga, tempat mendidik keturunan yang taat kepada Allah dan supaya manusia menjauhui zina.[18]
Sebab, nafsu syahwat dapat menjerumuskan manusia ke  jurang kejahatan dan juga naluri yang terkuat diantara naluri-naluri lainnya. Sehingga harus ada bimbingan dan arahan agar nafsu syahwat tersebut dapat dugunakan dengan sebaik-baiknya dan menjadi nafsu yang dirahmati Allah.
Dalam pendidikan seks dapat dibedakan antara sex instruction dan sex education in sexuality. Sex instruction ialah penerangan mengenai anatomi, seperti pertumbuhan bulu pada ketiak dan sekitar alat kelamin, dan mengenai biologi dari reproduksi yaitu proses berkembang biak baik melalui hubungan kelamin untuk mempertahankan jenisnya. Termasuk di sini pembinaan keluarga dan metode konstrasepsi dalam mencegah terjadinya kehamilan.
Sedangkan sex education in sexuality meliputi bidang-bidang etika, moral, fisiologis, ekonomi, dan pengetahuan lainnya yang dibutuhkan agar seseorang dapat memahami dirinya sendiri sebagai individu seksual, serta mengadakan hubungan interpersonal yang baik. Sex instruction tanpa sex education in sexuality dapat menyebabkan promiscuity (pergaulan dengan siapa saja) serta hubungan-hubungan seks yang menyimpang.[19]
Salim Sahli mengemukakan bahwa pendidikan seks ialah :
Sex education atau pendidikan seks artinya penerangan yang bertujuan untuk membimbing serta mengasuh tiap-tiap lelaki dan perempuan, sejak dari anak-anak sampai sesudah dewasa, perihal pergaulan antara kelamin umumnya dan kehidupan seksual khususnya, agar mereka dapat melakukan sebagaimana mestinya, sehingga kehidupan berkelamin itu mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat manusia”.[20]
Sedangkan menurut Sarlito dalam bukunya psikologi remaja (1994), Secara umum pendidikan seks salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular, depresi dan perasaan berdosa.[21]
Salah satu fungsi seks adalah agar manusia dapat mempertahankan keturunannya.
Dari sejumlah pengertian yang disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pendidikan seks adalah suatu proses bimbingan, tuntunan, pimpinan secara sadar tentang masalah-masalah yang menyangkut seks, anatomi dan psikologi seksual dengan menanamkan moral, etika serta komitmen agama sehingga ia dapat menyalurkan ke jalan yang benar. Dengan adanya pendidikan seks yang baik dan benar, maka sangat membantu anak dalam proses perkembangan yang dihadapinya untuk memasuki masa remaja

B.     Konsep Islam Tentang Pendidikan Seks Bagi Anak

Target pendidikan seks, seperti didefinisikan oleh ustadz Al-Ghawshi, adalah memberikan pengetahuan yang tepat kepada anak untuk menghadapi persiapan beradaptasi secara baik dengan perilaku-perilaku seksual pada saat yang akan datang dengan maksud dapat mendorong sang anak dapat melakukan suatu kecenderungan yang logis dan benar dalam masalah-masalah seksual dan reproduksi.[22]
Sementara itu, Syekh Abdullah Nashih Ulwan. Nashih mendefinisikan pendidikan seksual sebagai “pengajaran, penyadaran, dan penerangan kepada anak sejak ia memikirkan masalah-masalah seksual, hasrat, dan pernikahan sehingga ketika anak itu menjadi pemuda, tumbuh dewasa, dan memahami urusan-urusan kehidupan maka ia mengetahui kehalalan dan keharaman.[23]
Dengan memperhatikan kedua definisi tersebut, kita memahami keduanya memberikan tekanan pada pembekalan anak mumayiz dengan kaidah-kaidah yang mengatur perilaku seksual untuk menghadapi sikap-sikap seksual dan reproduksi yang mungkin menimpa kehidupannya di masa depan. Pendidikan seksual membekali individu dengan konsep-konsep kehalalan dan keharam yang oleh Profesor Al-Ghawshi disebut pengetahuan yang benar: Hal-hal dalam dua definisi tersebut diharapkan dapat membantu si anak dalam mewujudkan kesucian diri dan beradaptasi secara baik dengan syahwat seksual-nya, dan bisa bersikap benar ketika menghadapi masalah seksual, meskipun definisi kedua kata-katanya disusun dengan bahasa Islam.[24]
Pendidikan seks Islam mengandung dua aspek yang salah satunya berperan menyiapkan pembekalan pada anak usia tamyiz dengan pengetahuan-pengetahuan teoritis seputar masalah-masalah keseksualan. Pendidik berupaya memberikan pengetahuan teoritis kepada anak mengenai perubahan-perubahan seks yang menyertai ketika masuk usia dewasa (misalnya, pengetahuan tentang sperma, cara pembentukannya, tempat penyimpanannya, pengaruh hormon seks dalam pembentukan sperma, ovum, dan hubungan antara sperma dengan ovum), selanjutnya, pendidik menjelaskan mengenai hukum-hukum fiqih yang sesuai bagi setiap keadaan. Tetapi sang pendidik tidak cukup hanya membekali anak didik dengan pengetahuan seksual teoritis dalam beberapa sikap. Sebab pengetahuan teoritis tersebut menuntut aplikasi nyata dan faktual sesuai dengan hukum syariat dalam perilaku.[25] Tidak cukup, misalnya, pendidik menjelaskan hukum syariat tentang keadaan haid, mimpi basah (ihtilam), dan buang hajat kepada anak.
Tidak terlalu berarti apabila seorang pendidik muslim semata-mata mengajari anak didik tentang pentingnya memisahkan tempat tidur anak laki-laki dari tempat tidur anak perempuan, ditambah menunjukkan pandangan Islam masalah ini.[26] Yang lebih penting adalah ia harus segera mempraktekkannya sedini mungkin hal tersebut. Sebab tidak ada gunanya anak menginjak usia tamyiz atau dewasa memiliki pengetahuan tentang masalah seksual dan hukum-hukum fiqih tanpa mengubah pengetahuan tentang fiqih dan seksual tersebut menjadi bundelan perilaku Islam yang benar. Yang menguatkan ruh kehormatan diri pada individu muslim dalam setiap fase pertumbuhan jiwanya. Selain itu, pengetahuan-pengetahuan tersebut diharap menjadi daya yang lebih besar untuk menyongsong perubahan-perubahan biologis yang akan dihadapi dalam seluruh siklus hidupnya.
Demikian pula hal serupa berlaku bagi masalah-masalah kesopanan, menyembunyikan perhiasan bagi perempuan, dan sebagainya, karena pengetahuan-pengetahuan teoritis tersebut sangat penting. Akan tetapi, hal itu akan mewujudkan kesucian diri dan kedisiplinan individu bila tidak dilaksanakan secara praktis.[27]
Dalam siklus hidupnya manusia mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan, khusus dimaksudkan bagi pertambahan dalam ukuran-ukuran badan dan fungsi fisik yang murni. Misalnya berat dan tinggi badan. Sedangkan perkembangan lebih mencerminkan sifat-sifat yang khas mengenai gejala-gejala psikologis yang nampak. Seperti kemampuan berpikir dan emosi.
Kartini-Kartono (1986), membagi perkembangan manusia menjadi tujuh masa. Yaitu masa bayi 0-2 tahun (periode vital), masa kana-kanak 1-5 tahun (periode estatis), masa anak sekolah 6-12 tahun (Periode intelektual), masa remaja 12-14 tahun (periode prapubertas), masa matang kedua (periode negatif), masa pubertas awal 14-17 tahun, dan masa adolensi (periode dewasa).[28]
Masa pubertas merupakan salah satu fase pertumbuhan yang berjalan kurang lebih delapan atau sepuluh tahun. Antara umur sebelas sampai dua puluh satu tahun. Ketika itu seorang anak tumbuh menjadi dewasa, ditantadai dengan akil baligh.
Masa pubertas ditandai dengan perubahan-perubahan fisik, naluri, interaksi sosial, dan rasio. Itu merupakan fase kepentingan dalam kehidupan manusia. Perubahan-perubahan tersebut disertai dengan fenomena-fenomena khusus dalam tingkah laku yang menuntut perhatian dan pengawasan.
Tatkala usia menginjak baligh, gejolak naluri seksual mulai berfungsi. Biasanya pemuda sangat tertarik kepada lawan jenisnya. Ketika itu, mereka mulai terpengaruh dan hidup dalam lingkaran tersebut. Seorang pemuda mulai menginjak jenjang kelaki-lakian dan seorang pemudi mulai menginjak jenjang kewanitaan. Semua itu mempunyai daya tarik yang mengundang kebingungan dan kegelisaan. Akibatnya perhatian dan pikirannya tersita untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Lalu mereka akan terseret dan terbelenggu dalam medan ilusi seksual. Bisa jadi, hal itu dapat menjerumuskan mereka kedalam kubang perzinaan (pergaulan bebas).[29]
Dalam kehidupan sehari-hari, bayi merasakan adanya saat-saat yang menyenangkan. Sentuhan-sentuhan dan rabaan-rabaan lembut orang tuanya disertai suara lembut dan sayang, akan memberikan perasaan aman dan sangat menyenangkan. Menyandarkan kepala dan mengisap payudara ibunya yang lembut dan hangat, memberikan kenikmatan tersendiri. Saat mandi juga merupakan saat yang sangat menyenangkan karena bayi mengalami usapan-usapan pada wajah, tubuh, dan alat kelaminnya. Ini semua merupakan proses dan pengalaman dalam hal seksualitas bagi bayi. Tidak aneh kalau dalam perkembangan selanjutnya, anak menjadi ingin tahu lebih banyak tentang seksualitas, yang dimiliki dan dirasakan itu.[30]
Melihat dari tingkah laku bayi tersebut, maka seorang ibu mempunyai kewajiban atau tanggung jawab terhadap anaknya dalam hal menyusui selama kurang lebih dua tahun. Hal ini dipertegas sebagaimana firman Allah SWT.
وَالوَاِلدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَدَ هُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ (البقره: 233)
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh”.[31]
Jadi melihat perkembangan anak semakin lama semakin berkembang baik fisik maupun psikis. Pada usia 6 tahun, anak diajak melihat bayi yang sedang dimandikan atau disusui. Ini merupakan kesempatan baik bagi orang tua untuk menjawab pertanyaan anak atau langsung memberi penjelasan.[32]
Pemisahan tempat tidur anak merupakan kaidah pendidikan lain bagi keberhasilan pendidikan seksual kita kepada anak-anak. Melalui pemisahan ini, anak-anak jauh dari kamar kedua orang tua dan diasingkan dari tempat yang di dalamnya dilakukan aktivitas seksual. Selain itu, pemisahan anak laki-laki dari anak perempuan, dimana masing-masing jenis memiliki kamar tersendiri, menghindarkan anak-anak dari sentuhan badan yang dapat menyebabkan rangsangan seksual yang berbahaya.[33] Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.
مُرُ وْاِصبْيَا نَكُمْ بِا لصَّلاَةِ إِذَابَلَغُوْ سَبْعَا, وَاضْرِبُوْ هُمْ عَلَيْهَا إِذَابَلَغُوْ عَشْرًا, وَفَرِقُوْا بَيْنَهُمْ فِى المَضَاجِعِ
Artinya : “Suruhlah anak-anakmu untuk shalat jika mencapai usia tujuh tahun, pukullah mereka atasnya (shalat) jika telah mencapai usia sepuluh tahun, dan pisahkan antara mereka di tempat tidur”.[34] 
Dalam Islam, tidak membatasi pada satu batasan usia tertentu untuk memulai pemisahan tempat tidur bagi anak-anak. Kadang-kadang, satu riwayat menentukan batasan usia sepuluh tahun untuk menerapkan metode pendidikan ini. Riwayat lain menunjukkan batasan usia 6, 7, dan 8 tahun untuk memulai pemisahan tersebut. Barangkali, perbedaan riwayat-riwayat itu dalam menentukan usia dimulainya pemisahan tempat tidur bagi anak-anak merujuk pada perbedaan kematangan seksual diantara anak-anak yang mumayiz, baik laki-laki maupun perempuan, diantara satu lingkungan dan lingkungan yang lain.[35]
Diantara tanggung jawab berat yang dibebankan Islam kepada pendidik adalah menjauhkan anak dari apa saja yang merangsang seks dan merusak akhlaknya. Hal ini harus dilaksanakan pada saat anak mencapai usia puber dari umur 10 tahun sampai mencapai usia baligh.
Sarjana pendidikan sepakat bahwa masa pubertas adalah masa yang paling berbahaya dalam kehidupan manusia. Bila pendidik mengetahui bagaimana mendidik anak, menyelamatkannya dari lingkungan rusak, dan mengarahkannya dengan pengarahan yang ideal, maka anak itu akan tumbuh atas dasar akhlak yang luhur, sopan santun, dan pendidikan Islam yang tinggi.[36]
Islam memerintahkan para orang tua dan pendidik agar menjauhkan anak-anak mereka dari rangsangan seks dan gejolak berahi.[37] Sebagaimana Allah berfirman dalam surat An-Nur (24) : 31
 " Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali pada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita".[38]
Melihat begitu penting adab (etika) Islam tersebut, maka Allah yang Maha tinggi telah menetapkan waktu-waktu meminta izin dan kapan izin itu di syariatkan.[39]
Hal ini telah dipertegas dalam alqur'an surat An-Nur ayat 58, adapun waktu dimana anak-anak harus meminta izin lebih dahulu sebelum masuk kamar orang tuanya : sebelum shalat subuh, ketika orang tua melepaskan pakaian untuk istirahat di siang hari dan setelah shalat isya'. Anak-anak harus dianjurkan agar mengetuk pintu dan kemudian minta izin sebelum masuk pada waktu-waktu ini.[40]
 Adab ini dikhususkan kepada para pembantu yang dimiliki seseorang dan anak-anak yang dalam usia tanpa dosa atau belum mencapai usia baligh. Mereka diperintahkan untuk meminta izin sebelum masuk kamar ibu, bapak, ataupun saudara-saudaranya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh jabir r.a. dikatakan.
يَسْتَأذِنُ اَلرَّجُلُ عَلَى وَلِدِهِ وَأُمِّهِ وَإِنْ كَانَتْ عَجُوْزًا وَأَخِيْهِ وَأُخْتِهِ وِأَبِيْهِ (رواه البخارى)
Artinya : “ Seorang lelaki harus meminta izin kepada anaknya dan ibunya sekalipun ibunya sudah tua, kepada saudara-saudaranya, dan ayahnya”.[41] 
        Permintaan izin ini di lakukan pada waktu-waktu terbukanya aurat dan membuka baju, yaitu pada waktu bangun tidur, hendak tidur, dan pada siang hari. Diluar waktu-waktu tersebut anak telah berakal diizinkan masuk tanpa izin, tapi diharuskan mengucapkan salam.
                      Tidak menutup kemungkinan untuk membatasi umur anak agar senantiasa meminta izin ketika ia berumur tujuh tahun, dimana dalam usia ini si anak telah melihat sebagian persoalan yang berhubungan dengan seks. Dan, persamaan dengan pembatasan ini, mulailah pendidikan seks padanya.[42]  
                       Sebagian ulama melihat bahwa membuka pintu, mengangkat tirai, dan mengkhususkan beberapa ruangan untuk tiap anggota keluarga dianggap cukup sebagai pemberian izin. mengangkat tirai dan membuka pintu di anggap sebagai pemberian izin untuk masuk kepada orang yang menghendaki.
                        Berdasarkan uraian di atas, maka seorang ayah dan setiap orang yang merasa khawatir auratnya akan terlihat oleh anggota keluarga yang lain, dianjurkan untuk menutup pintu kamarnya dengan kunci atau palang pintu, untuk menjadi perhatian bagi anak-anak agar tidak masuk. Selain itu, si anak harus dilatih agar senantiasa mengetuk pintu setiap kali akan masuk lewat pintu yang tertutup. Jika ia tidak melakukannya, ia disuruh kembali dan masuk lagi dengan mengetuk pintu sambil ia belajar dan terbiasa.
        
Referensi


[1]  Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 796
[2]  DR. H. Ali Akbar, Seksualitas Ditinjau Dari Hukum Islam, cet. 3 (Jakarta: Ghalia Indo, 1989), hlm. 9
[3]  Nina Surtiretna, Bimbingan Seks Bagi Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 1-2
[4]  Marzuki Umar Sa'abah, Perilakua Seks Menyimpang Dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, (Yogyakarta : UUI Press, 2001), hlm. 1
[5]  Dr. Hassan Hathout, Panduan Seks Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), hlm. 113
[6] Abdullah Nashih Ulwan dan Hassan Hathout, Pendidikan Anak Menurut Islam; Pendidikan Seks, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 129
[7]  Zainun Mu'tadin, Pendidikan Seksual Pada remaja, (Jakarta: 10 Juli 2002), hlm. 13
[8]  Q.S. An-Najm (53): 45-46
[9] M. Thalib, 30 Tuntunan Seksualitas Islam, (Bandung: Irsyad Baitus Salman, 1997), hlm. 17
[10]  Q.S. An-Nisa’ (4): 1
[11]  M. Thalib, op.cit., hlm. 21
[12]  Q.S. Al-Hujarat (49): 13
[13]  M. Thalib , op.cit., hlm. 26
[14]  Istanti Surviani, Membimbing Anak Memahami Masalah Seks; Panduan Praktis Untuk Orang Tua, (Bandung : Pustaka Ulumuddin, 2004), hlm. 24
[15]  Drs. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif,1986), hlm. 19
[16]   Istanti Surviani, op.cit., hlm. 25
[17]  Abdullah Nashih Ulwan, op.,cit, hlm. 1
[18]  Ali Akbar, op.cit., hlm. 15
[19] Ahmad Azhar Abu Miqdad, Pendidikan Seks Bagi Remaja, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 9
[20]  Ibid., hlm. 7-8
[21] Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT. Remaja Grafindo Persada, 1994), hlm. 182
[22]  Yusuf Madan, Sex Education For Children, (Jakarta: Hikmah, 2004), hlm. 144
[23]  Yusuf Madani, Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hlm. 91
[24]   Ibid., hlm. 91
[25]  Yusuf Madan, , op.cit., hlm.145.
[26]  Ibid., hlm. 145-146
[27]  Yusuf Madani, op.cit., hlm. 92
[28]  Istanti Surviani, op.cit., hlm.  20
[29]  Ibid., hlm. 20-21
[30]  Wimpie Pangkahila, Seksualitas Anak dan Remaja, (Jakarta : PT. Grasindo, 1998), hlm 16-17
[31]  Q.S. Al-Baqarah (2) : 233
[32]  Wimpie Pangkahila, op.cit., hlm 30
[33]  Yusuf madani, op.cit., hlm 134
[34]  Adnan Hasan Baharits, Penyimpangan Seksual Pada Anak, Cet. IV, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), hlm. 55
[35]  Yusuf Madani, op.cit., hlm. 135
[36]  Abdullah Nashih Ulwan, op.,cit, hlm. 33
[37]  Ibid., hlm. 33
[38]  Q.S. An-Nur (24) : 31
[39]  Adnan Hasan Baharits, Op.Cit., hlm.  98
[40]  Faramarz bin Muhammad Rahbar, Slamatkan Putra-Putrimu Dari Lingkungan Tidak Islami, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 1999), hlm. 125
[41]  Adnan Hasan Baharits, op.cit., hlm 99
[42]  Ibid., hlm. 100-101          






Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Skripsi Pendidikan seks dalam Islam BAB II"

Post a Comment