Skripsi Pendidikan seks dalam Islam BAB II
Skripsi Pendidikan Seks dalam Pandangan Islam. Berbicara tentang pendidikan seks, tampaknya ada dua kata kunci yang harus kita pahami terlebih dahulu. Yaitu kata “pendidikan” dan, kata “seks” baru kita melihat makna kedua kata tersebut seutuhnya. Menurut kamus, kata “pendidikan” berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Sedangkan kata “seks” mempunyai dua pengertian. Pertama, berarti jenis kelamin dan yang kedua adalah hal ihwal yang berhubungan dengan alat kelamin, misalnya persetubuhan atau senggama.
" Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung
ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali pada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita".[38]
Adab ini dikhususkan kepada para pembantu yang
dimiliki seseorang dan anak-anak yang dalam usia tanpa dosa atau belum mencapai
usia baligh. Mereka diperintahkan untuk meminta izin sebelum masuk kamar ibu,
bapak, ataupun saudara-saudaranya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
jabir r.a. dikatakan.
BAB
II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN SEKS
A.
Makna Seks dan Pendidikan
Seks
1.
Makna Seks
Secara
bahasa, seks berarti jenis kelamin.[1] yakni laki-laki dan perempuan. Sedangkan
secara istilah ialah nafsu syahwat, yaitu suatu kekuatan pendorong hidup, yang
memakai beberapa nama diantaranya instink, naluri yang dimiliki manusia, naluri
yang dimiliki laki-laki dan perempuan, yang mempertemukan mereka, guna
meneruskan kelanjutan keturunan manusia.[2] Nafsu syahwat ini telah ada sejak manusia
lahir dan dia mulai menghayati sewaktu dia menemukan kedua bibirnya dengan
puting buah dada ibunya, untuk menyusui karena lapar. Ia menikmati rasa
senang yang bukan rasa kenyang. Inilah rasa seks pertama yang dialami manusia.
Jadi, seks merupakan motivasi atau dorongan untuk berbuat.
Berbicara tentang pendidikan seks, tampaknya ada dua kata kunci yang harus kita pahami terlebih dahulu. Yaitu kata “pendidikan” dan, kata “seks” baru kita melihat makna kedua kata tersebut seutuhnya. Menurut kamus, kata “pendidikan” berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Sedangkan kata “seks” mempunyai dua pengertian. Pertama, berarti jenis kelamin dan yang kedua adalah hal ihwal yang berhubungan dengan alat kelamin, misalnya persetubuhan atau senggama.[3] Jadi seks disini tidak hanya mengajarkan tentang dua hal di atas saja, tetapi mempunyai pengertian yang luas.
Berbicara tentang pendidikan seks, tampaknya ada dua kata kunci yang harus kita pahami terlebih dahulu. Yaitu kata “pendidikan” dan, kata “seks” baru kita melihat makna kedua kata tersebut seutuhnya. Menurut kamus, kata “pendidikan” berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Sedangkan kata “seks” mempunyai dua pengertian. Pertama, berarti jenis kelamin dan yang kedua adalah hal ihwal yang berhubungan dengan alat kelamin, misalnya persetubuhan atau senggama.[3] Jadi seks disini tidak hanya mengajarkan tentang dua hal di atas saja, tetapi mempunyai pengertian yang luas.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata seks dapat berarti
proses reproduksi atau perbedaan karakter jenis kelamin, dan bisa juga mengenai
segala hal yang berkenaan dengan kesenangan atau kepuasan organ di gabung
dengan rangsangan organ-organ kemaluan atau terkait dengan percumbuan serta
hubungan badan koitus.[4]
Seks adalah sebuah topik yang paling kontroversi di
dalam masyarakat kita (masyarakat muslim). Kebanyakan masyarakat kita memandang
seks sebagai sesuatu yang “menyeramkan”, kotor, dan karenanya tidak pantas
dibicarakan secara terbuka untuk alasan apapun. Dengan segala prasangka dan
kesalahkaprahan kultural yang di sematkan padanya (seks), adalah penting dan
mendesak bagi kita untuk memulai membicarakan dan membahas permasalahan ini
guna menyingkirkan kejumudan (kebekuan) dari pikiran-pikiran kita.[5]
Seks dalam arti sempit dapat juga berarti jenis
kenikmatan yang dihasilkan dari rangsangan organ seks untuk melanjutkan atau
melahirkan keturunan (prokreasi).[6]
Sedangkan seks dalam arti luas atau secara umum adalah
sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan
perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan.[7]
Adapun fungsi seks adalah sebagai berikut :
a.
Pembeda jenis, sebagaimana firman
Allah SWT, pada surat
An-Najm (53): 45-46
وانه خلق الزوجين الذكرولانثى. من نطفة اذا تمنى
Artinya : “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasang
laki-laki dan perempuan. Dari air mani, apabila ia dipancarkan”.[8]
Adapun perbedaan jenis manusia tidak hanya di
maksudkan untuk terciptanya pasangan, tetapi juga untuk membedakan hak dan
kewajiban masing-masing yang digariskan oleh Allah kepada manusia.[9]
b.
Pengembangbiakan, sebagaimana
Allah SWT berfirman dalam surat
An-Nisa (4): 1
ياايها الناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من
نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منها رجالا كثيراونساء وتقواالله الذى تساءلون به
والارحام ان الله كان عليكم رقيبا.
Artinya : “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya. Allah menciptakan
istrinya: dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. [10]
Pada ayat tersebut Allah menyatakan bahwa
pengembangbiakan manusia terjadi karena adanya jenis laki-laki dan perempuan.
Fungsi perbedaan seks yang menjadi sarana pengembangbiakan yang menjadi
tugasnya merupakan garis ketentuan Allah. Kedua jenis yang berbeda ini
melakukan pengembangbiakan yang menjadi tugasnya di dunia dengan jalan dan cara
yang digariskan Allah. Sebab tanpa pengembangbiakan manusia akan musnah di muka
bumi ini.[11]
c. Membina peradaban ini dijelaskan oleh Allah dengan firman-Nya dalam surat Al-Hujjarat (49):
13
ياايهاالناس
اناخلقنكم من ذكروانثى وجعلناكم شعوباو قباثل لتعارفو إن اكرمكم عند الله أتقكم.
Artinya : “ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang bertaqwa diantara
kamu. [12]
Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa dengan tujuan agar manusia saling mengenal dan dapat melakukan
hal-hal terbaik dalam kehidupannya di dunia.[13]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa pengertian seks
tidak sebatas hanya jenis kelamin laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga
menunjukkan segala hal yang terjadi akibat adanya perbedaan jenis kelamin tersebut.
Dan juga seks diartikan sebagai motivasi atau dorongan untuk berbuat, yang
disebut juga nafsu syahwat yang dapat menjurus kepada kebajikan maupun kepada
kejahatan.
2.
Makna Pendidikan Seks
Pendidikan seks mengandung dua kata kunci yaitu
pendidikan dan seks. Jadi pendidikan artinya memberi pelajaran kepada anak
didik mencakup fungsi koqnitif (pengetahuan), afektif (Perasaan), dan
psikomotor (perubahan tingkah laku). Demikian juga pendidikan dalam Islam,
bertujuan untuk membentuk pribadi yang utuh, sehat jasmani dan rohani. Dengan
demikian, diharapkan seorang muslim mampu berkiprah optimal dalam kehidupan.
Dalam konteks itu pula, Islam memandang pendidikan seks.[14]
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba
bahwa pendidikan adalah : bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.[15]
Dalam Islam, pendidikan seks merupakan bagian dari
pendidikan akhlak. Pendidikan seks yang dimaksud adalah jenis kelamin (laki-laki
dan perempuan), yaitu bagaimana mendidik anak menjadi orang normal baik
laki-laki maupun perempuan, tidak menjadi homoseksual, lesbi atau banci, tidak
ada gangguan orientasi seksual, serta jiwa dan badannya sesuai dengan kodratnya.[16]
Pendidikan seks mengajari juga perihal sopan santun atau hal-hal yang disukai
dan tidak disukai oleh masyarakat. Sehingga setiap orang bisa belajar
menghargai diri sendiri dan orang lain. Pendidikan seks justru tidak
mengajarkan cara-cara berhubungan seksual, yang sering dikonotasikan sebagai
pornografi.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan seks, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa seks berarti jenis kelamin dan dalam arti
luas seks berarti sesuatu yang berkaitan dengan alat intim atau hal-hal yang
berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan
perempuan. Dan juga seks diartikan kekuatan pendorong hidup yang disebut nafsu
syahwat.
Setelah mengetahui pengertian pendidikan dan seks, maka
selanjutnya akan diuraikan mengenai pendidikan seks. Ada berbagai pendapat para ahli mengenai
pendidikan seks.
Menurut Abdullah Nashih Ulwan,
pendidikan seks adalah masalah mengajarkan, memberi pengertian, dan menjelaskan
masalah-masalah yang menyangkut seks, naluri, dan perkawinan kepada anak sejak
akalnya mulai tumbuh dan siap memahami hal-hal diatas.[TK1][17]
Dengan demikian ketika anak mencapai usia remaja dapat
memahami persoalan-persoalan yang menyangkut seks, dapat menggunakan alat
kelamin-nya secara halal melalui pernikahan dan tidak menurutkan hawa nafsunya
secara bebas.
Ali Akbar mengemukakan yang di maksud pendidikan seks adalah :
“ Mendidik nafsu syahwat sesuai dengan ajaran Islam,
supaya ia menjadi nafsu yang dirahmati Allah, guna menciptakan suasana
ketenangan dan kebahagiaan dalam rumah tangga, tempat mendidik keturunan yang
taat kepada Allah dan supaya manusia menjauhui zina.[18]
Sebab, nafsu syahwat dapat menjerumuskan manusia
ke jurang kejahatan dan juga naluri yang
terkuat diantara naluri-naluri lainnya. Sehingga harus ada bimbingan dan arahan
agar nafsu syahwat tersebut dapat dugunakan dengan sebaik-baiknya dan menjadi
nafsu yang dirahmati Allah.
Dalam pendidikan seks dapat dibedakan antara sex
instruction dan sex education in sexuality. Sex instruction
ialah penerangan mengenai anatomi, seperti pertumbuhan bulu pada ketiak dan
sekitar alat kelamin, dan mengenai biologi dari reproduksi yaitu proses
berkembang biak baik melalui hubungan kelamin untuk mempertahankan jenisnya.
Termasuk di sini pembinaan keluarga dan metode konstrasepsi dalam mencegah
terjadinya kehamilan.
Sedangkan sex education in sexuality meliputi
bidang-bidang etika, moral, fisiologis, ekonomi, dan pengetahuan lainnya yang
dibutuhkan agar seseorang dapat memahami dirinya sendiri sebagai individu
seksual, serta mengadakan hubungan interpersonal yang baik. Sex instruction
tanpa sex education in sexuality dapat menyebabkan promiscuity
(pergaulan dengan siapa saja) serta hubungan-hubungan seks yang menyimpang.[19]
Salim Sahli mengemukakan bahwa pendidikan seks ialah :
“ Sex education atau pendidikan seks artinya
penerangan yang bertujuan untuk membimbing serta mengasuh tiap-tiap lelaki dan
perempuan, sejak dari anak-anak sampai sesudah dewasa, perihal pergaulan antara
kelamin umumnya dan kehidupan seksual khususnya, agar mereka dapat melakukan
sebagaimana mestinya, sehingga kehidupan berkelamin itu mendatangkan
kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat manusia”.[20]
Sedangkan menurut Sarlito dalam bukunya psikologi
remaja (1994), Secara umum pendidikan seks salah satu cara untuk mengurangi
atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak
negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan,
penyakit menular, depresi dan perasaan berdosa.[21]
Salah satu fungsi seks adalah agar manusia dapat
mempertahankan keturunannya.
Dari sejumlah pengertian yang disebutkan diatas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud pendidikan seks adalah suatu proses bimbingan,
tuntunan, pimpinan secara sadar tentang masalah-masalah yang menyangkut seks,
anatomi dan psikologi seksual dengan menanamkan moral, etika serta komitmen
agama sehingga ia dapat menyalurkan ke jalan yang benar. Dengan adanya
pendidikan seks yang baik dan benar, maka sangat membantu anak dalam proses
perkembangan yang dihadapinya untuk memasuki masa remaja
B. Konsep Islam Tentang Pendidikan Seks Bagi Anak
Target pendidikan seks, seperti didefinisikan oleh
ustadz Al-Ghawshi, adalah memberikan pengetahuan yang tepat kepada anak untuk
menghadapi persiapan beradaptasi secara baik dengan perilaku-perilaku seksual
pada saat yang akan datang dengan maksud dapat mendorong sang anak dapat
melakukan suatu kecenderungan yang logis dan benar dalam masalah-masalah
seksual dan reproduksi.[22]
Sementara itu, Syekh Abdullah Nashih Ulwan. Nashih
mendefinisikan pendidikan seksual sebagai “pengajaran, penyadaran, dan
penerangan kepada anak sejak ia memikirkan masalah-masalah seksual, hasrat, dan
pernikahan sehingga ketika anak itu menjadi pemuda, tumbuh dewasa, dan memahami
urusan-urusan kehidupan maka ia mengetahui kehalalan dan keharaman.[23]
Dengan memperhatikan kedua definisi tersebut, kita
memahami keduanya memberikan tekanan pada pembekalan anak mumayiz dengan
kaidah-kaidah yang mengatur perilaku seksual untuk menghadapi sikap-sikap
seksual dan reproduksi yang mungkin menimpa kehidupannya di masa depan.
Pendidikan seksual membekali individu dengan konsep-konsep kehalalan dan
keharam yang oleh Profesor Al-Ghawshi disebut pengetahuan yang benar: Hal-hal
dalam dua definisi tersebut diharapkan dapat membantu si anak dalam mewujudkan
kesucian diri dan beradaptasi secara baik dengan syahwat seksual-nya, dan bisa
bersikap benar ketika menghadapi masalah seksual, meskipun definisi kedua
kata-katanya disusun dengan bahasa Islam.[24]
Pendidikan seks Islam mengandung dua aspek yang salah
satunya berperan menyiapkan pembekalan pada anak usia tamyiz dengan
pengetahuan-pengetahuan teoritis seputar masalah-masalah keseksualan. Pendidik
berupaya memberikan pengetahuan teoritis kepada anak mengenai
perubahan-perubahan seks yang menyertai ketika masuk usia dewasa (misalnya,
pengetahuan tentang sperma, cara pembentukannya, tempat penyimpanannya,
pengaruh hormon seks dalam pembentukan sperma, ovum, dan hubungan antara sperma
dengan ovum), selanjutnya, pendidik menjelaskan mengenai hukum-hukum fiqih yang
sesuai bagi setiap keadaan. Tetapi sang pendidik tidak cukup hanya membekali
anak didik dengan pengetahuan seksual teoritis dalam beberapa sikap. Sebab
pengetahuan teoritis tersebut menuntut aplikasi nyata dan faktual sesuai dengan
hukum syariat dalam perilaku.[25]
Tidak cukup, misalnya, pendidik menjelaskan hukum syariat tentang keadaan haid,
mimpi basah (ihtilam), dan buang hajat kepada anak.
Tidak terlalu berarti apabila seorang pendidik muslim
semata-mata mengajari anak didik tentang pentingnya memisahkan tempat tidur
anak laki-laki dari tempat tidur anak perempuan, ditambah menunjukkan pandangan
Islam masalah ini.[26]
Yang lebih penting adalah ia harus segera mempraktekkannya sedini mungkin hal
tersebut. Sebab tidak ada gunanya anak menginjak usia tamyiz atau dewasa
memiliki pengetahuan tentang masalah seksual dan hukum-hukum fiqih tanpa
mengubah pengetahuan tentang fiqih dan seksual tersebut menjadi bundelan
perilaku Islam yang benar. Yang menguatkan ruh kehormatan diri pada individu
muslim dalam setiap fase pertumbuhan jiwanya. Selain itu,
pengetahuan-pengetahuan tersebut diharap menjadi daya yang lebih besar untuk
menyongsong perubahan-perubahan biologis yang akan dihadapi dalam seluruh
siklus hidupnya.
Demikian pula hal serupa berlaku bagi masalah-masalah
kesopanan, menyembunyikan perhiasan bagi perempuan, dan sebagainya, karena
pengetahuan-pengetahuan teoritis tersebut sangat penting. Akan tetapi, hal itu
akan mewujudkan kesucian diri dan kedisiplinan individu bila tidak dilaksanakan
secara praktis.[27]
Dalam siklus hidupnya manusia mengalami proses
pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan, khusus dimaksudkan bagi pertambahan
dalam ukuran-ukuran badan dan fungsi fisik yang murni. Misalnya berat dan
tinggi badan. Sedangkan perkembangan lebih mencerminkan sifat-sifat yang khas
mengenai gejala-gejala psikologis yang nampak. Seperti kemampuan berpikir dan
emosi.
Kartini-Kartono (1986), membagi perkembangan manusia
menjadi tujuh masa. Yaitu masa bayi 0-2 tahun (periode vital), masa kana-kanak
1-5 tahun (periode estatis), masa anak sekolah 6-12 tahun (Periode
intelektual), masa remaja 12-14 tahun (periode prapubertas), masa matang kedua
(periode negatif), masa pubertas awal 14-17 tahun, dan masa adolensi (periode
dewasa).[28]
Masa pubertas merupakan salah satu fase pertumbuhan
yang berjalan kurang lebih delapan atau sepuluh tahun. Antara umur sebelas
sampai dua puluh satu tahun. Ketika itu seorang anak tumbuh menjadi dewasa,
ditantadai dengan akil baligh.
Masa pubertas ditandai dengan perubahan-perubahan
fisik, naluri, interaksi sosial, dan rasio. Itu merupakan fase kepentingan
dalam kehidupan manusia. Perubahan-perubahan tersebut disertai dengan
fenomena-fenomena khusus dalam tingkah laku yang menuntut perhatian dan
pengawasan.
Tatkala usia menginjak baligh, gejolak naluri seksual
mulai berfungsi. Biasanya pemuda sangat tertarik kepada lawan jenisnya. Ketika
itu, mereka mulai terpengaruh dan hidup dalam lingkaran tersebut. Seorang
pemuda mulai menginjak jenjang kelaki-lakian dan seorang pemudi mulai menginjak
jenjang kewanitaan. Semua itu mempunyai daya tarik yang mengundang kebingungan
dan kegelisaan. Akibatnya perhatian dan pikirannya tersita untuk memuaskan
kebutuhan tersebut. Lalu mereka akan terseret dan terbelenggu dalam medan ilusi seksual. Bisa
jadi, hal itu dapat menjerumuskan mereka kedalam kubang perzinaan (pergaulan
bebas).[29]
Dalam kehidupan sehari-hari, bayi merasakan adanya
saat-saat yang menyenangkan. Sentuhan-sentuhan dan rabaan-rabaan lembut orang
tuanya disertai suara lembut dan sayang, akan memberikan perasaan aman dan
sangat menyenangkan. Menyandarkan kepala dan mengisap payudara ibunya yang
lembut dan hangat, memberikan kenikmatan tersendiri. Saat mandi juga merupakan
saat yang sangat menyenangkan karena bayi mengalami usapan-usapan pada wajah, tubuh,
dan alat kelaminnya. Ini semua merupakan proses dan pengalaman dalam hal
seksualitas bagi bayi. Tidak aneh kalau dalam perkembangan selanjutnya, anak
menjadi ingin tahu lebih banyak tentang seksualitas, yang dimiliki dan
dirasakan itu.[30]
Melihat dari tingkah laku bayi tersebut, maka seorang
ibu mempunyai kewajiban atau tanggung jawab terhadap anaknya dalam hal menyusui
selama kurang lebih dua tahun. Hal ini dipertegas sebagaimana firman Allah SWT.
وَالوَاِلدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَدَ هُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ (البقره: 233)
Artinya : “ Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh”.[31]
Jadi melihat perkembangan anak semakin lama semakin
berkembang baik fisik maupun psikis. Pada usia 6 tahun, anak diajak melihat
bayi yang sedang dimandikan atau disusui. Ini merupakan kesempatan baik bagi
orang tua untuk menjawab pertanyaan anak atau langsung memberi penjelasan.[32]
Pemisahan tempat tidur anak merupakan kaidah
pendidikan lain bagi keberhasilan pendidikan seksual kita kepada anak-anak.
Melalui pemisahan ini, anak-anak jauh dari kamar kedua orang tua dan diasingkan
dari tempat yang di dalamnya dilakukan aktivitas seksual. Selain itu, pemisahan
anak laki-laki dari anak perempuan, dimana masing-masing jenis memiliki kamar
tersendiri, menghindarkan anak-anak dari sentuhan badan yang dapat menyebabkan
rangsangan seksual yang berbahaya.[33]
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.
مُرُ وْاِصبْيَا
نَكُمْ بِا لصَّلاَةِ إِذَابَلَغُوْ سَبْعَا, وَاضْرِبُوْ هُمْ عَلَيْهَا
إِذَابَلَغُوْ عَشْرًا, وَفَرِقُوْا بَيْنَهُمْ فِى المَضَاجِعِ
Artinya : “Suruhlah anak-anakmu
untuk shalat jika mencapai usia tujuh tahun, pukullah mereka atasnya (shalat)
jika telah mencapai usia sepuluh tahun, dan pisahkan antara mereka di tempat
tidur”.[34]
Dalam Islam, tidak membatasi pada satu batasan usia
tertentu untuk memulai pemisahan tempat tidur bagi anak-anak. Kadang-kadang,
satu riwayat menentukan batasan usia sepuluh tahun untuk menerapkan metode
pendidikan ini. Riwayat lain menunjukkan batasan usia 6, 7, dan 8 tahun untuk
memulai pemisahan tersebut. Barangkali, perbedaan riwayat-riwayat itu dalam
menentukan usia dimulainya pemisahan tempat tidur bagi anak-anak merujuk pada
perbedaan kematangan seksual diantara anak-anak yang mumayiz, baik
laki-laki maupun perempuan, diantara satu lingkungan dan lingkungan yang lain.[35]
Diantara tanggung jawab berat yang dibebankan Islam
kepada pendidik adalah menjauhkan anak dari apa saja yang merangsang seks dan
merusak akhlaknya. Hal ini harus dilaksanakan pada saat anak mencapai usia
puber dari umur 10 tahun sampai mencapai usia baligh.
Sarjana pendidikan sepakat bahwa masa pubertas adalah
masa yang paling berbahaya dalam kehidupan manusia. Bila pendidik mengetahui
bagaimana mendidik anak, menyelamatkannya dari lingkungan rusak, dan
mengarahkannya dengan pengarahan yang ideal, maka anak itu akan tumbuh atas
dasar akhlak yang luhur, sopan santun, dan pendidikan Islam yang tinggi.[36]
Islam memerintahkan para orang tua dan pendidik agar
menjauhkan anak-anak mereka dari rangsangan seks dan gejolak berahi.[37]
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat
An-Nur (24) : 31
Melihat begitu penting adab (etika) Islam tersebut,
maka Allah yang Maha tinggi telah menetapkan waktu-waktu meminta izin dan kapan
izin itu di syariatkan.[39]
Hal ini telah dipertegas dalam alqur'an surat An-Nur ayat 58,
adapun waktu dimana anak-anak harus meminta izin lebih dahulu sebelum masuk
kamar orang tuanya : sebelum shalat subuh, ketika orang tua melepaskan pakaian
untuk istirahat di siang hari dan setelah shalat isya'. Anak-anak harus
dianjurkan agar mengetuk pintu dan kemudian minta izin sebelum masuk pada
waktu-waktu ini.[40]
يَسْتَأذِنُ
اَلرَّجُلُ عَلَى وَلِدِهِ وَأُمِّهِ وَإِنْ كَانَتْ عَجُوْزًا وَأَخِيْهِ
وَأُخْتِهِ وِأَبِيْهِ (رواه البخارى)
Artinya : “ Seorang lelaki harus meminta izin kepada anaknya dan
ibunya sekalipun ibunya sudah tua, kepada saudara-saudaranya, dan ayahnya”.[41]
Permintaan izin ini di
lakukan pada waktu-waktu terbukanya aurat dan membuka baju, yaitu pada waktu
bangun tidur, hendak tidur, dan pada siang hari. Diluar waktu-waktu tersebut
anak telah berakal diizinkan masuk tanpa izin, tapi diharuskan mengucapkan
salam.
Tidak
menutup kemungkinan untuk membatasi umur anak agar senantiasa meminta izin
ketika ia berumur tujuh tahun, dimana dalam usia ini si anak telah melihat
sebagian persoalan yang berhubungan dengan seks. Dan, persamaan dengan
pembatasan ini, mulailah pendidikan seks padanya.[42]
Sebagian
ulama melihat bahwa membuka pintu, mengangkat tirai, dan mengkhususkan beberapa
ruangan untuk tiap anggota keluarga dianggap cukup sebagai pemberian izin. mengangkat
tirai dan membuka pintu di anggap sebagai pemberian izin untuk masuk kepada
orang yang menghendaki.
Berdasarkan uraian di atas, maka seorang ayah dan setiap orang yang
merasa khawatir auratnya akan terlihat oleh anggota keluarga yang lain,
dianjurkan untuk menutup pintu kamarnya dengan kunci atau palang pintu, untuk
menjadi perhatian bagi anak-anak agar tidak masuk. Selain itu, si anak harus
dilatih agar senantiasa mengetuk pintu setiap kali akan masuk lewat pintu yang
tertutup. Jika ia tidak melakukannya, ia disuruh kembali dan masuk lagi dengan
mengetuk pintu sambil ia belajar dan terbiasa.
Referensi
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 2
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 796
[2] DR. H. Ali Akbar, Seksualitas Ditinjau
Dari Hukum Islam, cet. 3 (Jakarta: Ghalia Indo, 1989), hlm. 9
[3] Nina Surtiretna, Bimbingan Seks Bagi
Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 1-2
[4] Marzuki Umar Sa'abah, Perilakua Seks Menyimpang
Dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, (Yogyakarta
: UUI Press, 2001), hlm. 1
[6]
Abdullah Nashih Ulwan dan Hassan Hathout, Pendidikan Anak Menurut Islam;
Pendidikan Seks, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 129
[8] Q.S. An-Najm (53): 45-46
[9] M.
Thalib, 30 Tuntunan Seksualitas Islam, (Bandung: Irsyad Baitus Salman, 1997),
hlm. 17
[10] Q.S. An-Nisa’ (4): 1
[11] M. Thalib, op.cit., hlm. 21
[12] Q.S. Al-Hujarat (49): 13
[13] M. Thalib , op.cit., hlm. 26
[14] Istanti Surviani, Membimbing Anak Memahami
Masalah Seks; Panduan Praktis Untuk Orang Tua, (Bandung : Pustaka Ulumuddin, 2004), hlm. 24
[15] Drs. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat
Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif,1986), hlm. 19
[16] Istanti Surviani, op.cit., hlm. 25
[17] Abdullah Nashih Ulwan, op.,cit, hlm. 1
[18] Ali Akbar, op.cit., hlm. 15
[19]
Ahmad Azhar Abu Miqdad, Pendidikan Seks Bagi Remaja, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 1997), hlm. 9
[20] Ibid., hlm. 7-8
[21] Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi
Remaja, (Jakarta: PT. Remaja Grafindo Persada, 1994), hlm. 182
[25] Yusuf Madan, , op.cit.,
hlm.145.
[26] Ibid., hlm. 145-146
[27]
Yusuf Madani, op.cit., hlm. 92
[29] Ibid., hlm. 20-21
[30] Wimpie Pangkahila, Seksualitas Anak dan
Remaja, (Jakarta : PT. Grasindo, 1998), hlm 16-17
[31] Q.S. Al-Baqarah (2) : 233
[32] Wimpie Pangkahila, op.cit., hlm 30
[33] Yusuf madani, op.cit., hlm 134
[34] Adnan Hasan Baharits, Penyimpangan Seksual
Pada Anak, Cet. IV, (Jakarta
: Gema Insani Press, 2001), hlm. 55
[35] Yusuf Madani, op.cit., hlm. 135
[36] Abdullah Nashih Ulwan, op.,cit, hlm.
33
[37] Ibid., hlm. 33
[38] Q.S. An-Nur (24) : 31
[40] Faramarz bin Muhammad Rahbar, Slamatkan
Putra-Putrimu Dari Lingkungan Tidak Islami, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 1999),
hlm. 125
[41] Adnan Hasan Baharits, op.cit., hlm 99
0 Response to "Skripsi Pendidikan seks dalam Islam BAB II"
Post a Comment