Makalah Perkembangan Anak Usia Sekolah 6-12 Tahun Tinjauan Psikologi Perkembangan
BAB III
A. Pengertian Anak
Usia Sekolah
Sebagaimana telah dijelaskan dalam penegasan istilah, bahwa
yang dimaksud dengan anak sekolah dalam skripsi ini adalah manusia yang masih
kecil.[1]
Yaitu anak-anak yang berada dalam rentang usia kurang lebih 6-12 tahun. Pada
usia ini anak biasanya duduk di sekolah dasar. Pada masa ini umumnya anak
memasuki usia belajar di dalam dan di luar sekolah.[2]
Pada usia sekolah dasar (6-12) tahun anak sudah dapat mereaksi rangsangan
intelektual atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan
intelektual koqnitif. Sebelum masa ini, yaitu masa prasekolah, daya pikir anak
masih bersifat imajinatif, berangan-angan (berkhayal), sedangkan usia SD daya
pikirannya sudah berkembang ke arah berpikir konkret dan rasional (dapat
diterima akal). Piaget menamakannya sebagai masa operasi konkret, masa
berakhirnya berpikir khayal dan mulai berpikir konkret (berkaitan dengan dunia
nyata).[3]
Karena secara resmi anak telah belajar di sekolah, namun disisi lain anak juga
belajar di rumah meskipun dalam hal ini juga dalam rangka mendukung
keberhasilan belajarnya di sekolah.
Pada umumnya anak-anak pada umur enam tahun telah masuk
sekolah dasar, anak-anak pada umur antara 6-12 tahun, ditandai dengan
perkembangan kecerdasan cepat. Kira-kira umur tujuh tahun pemikiran logis terus
bertumbuh dan berkembang dengan cepat sampai umur 12 tahun, dimana si anak
telah mampu memahami hal yang abstrak.[4]
Jadi anak usia sekolah disini tidak terbatas pada anak-anak yang berusia sekolah
dasar, baik yang bersekolah maupun tidak. Selain usia sekolah disebut juga usia
sosial atau usia intelektual.
Sebagaimana Elizabeth B. Hurlock menyebut anak usia 6
sampai 13 tahun pada anak perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki sebagai
akhir usia kanak-kanak, ini merupakan usia sekolah atau usia kelompok, dimana terjadi
kematangan seksual dan masa remaja dimulai perkembangan utama ialah sosialisasi.[5]
Kartini Kartono menyebutkan sebagai periode intelektual. Karena pada usia ini,
unsur intelektual dan akal budi (rasio), pikiran anak semakin menonjol.[6]
Dalam fase inilah anak menceburkan diri ke dalam masyarakat luas, yaitu
masyarakat di luar keluarga, taman kanak-kanak, sekolah, dan kelompok-kelompok
sosial lainnya.[7] Pada
usia inilah perkembangan anak mulai cepat, terutama anak perempuan lebih cepat
dibandingkan dengan anak laki-laki. Baik secara fisik maupun psikis.
Anak pada usia sekolah telah mengalami pertumbuhan dan
perkembangan fisik maupun psikis yang telah sempurna dibandingkan masa prasekolah.
Mulai menampakkan kekhasan tubuh anak sekolah dalam bentuk yang lebih langsing,
kemampuan fungsi kejiwaan, seperti berpikir, mengingat, emosi dan sebagainya.
Sudah mulai meningkat atau lebih baik. Sehingga kematangan kemampuan dan ketrampilannya
bertambah meskipun masih sederhana dan belum sempurna kematangan, kemampuan dan
ketrampilan remaja. Dengan kata lain berangsur-angsur dan sifatnya bertahap
dari yang sederhana ke tahap yang lebih sempurna, kecuali bila disebut khusus
yang berarti adanya kemampuan menonjol dalam usia tertentu, dan kemampuan anak
yang dimaksud disini adalah kemampuan anak secara umum atau rata-rata. Sehingga
bukan anak yang terlalu cerdas dan anak terlalu lamban, memang tidak bisa
dipastikan bahwa anak pada usia tertentu mempunyai kemampuan yang sama. Hal ini
karena perkembangan individu terjadi perbedaan yang disebabkan oleh taraf
pematangan dan kesempatan belajar.
Akhir masa kanak-kanak atau masa anak sekolah ini
berlangsung dari umur enam tahun sampai umur dua belas tahun. Masa ini disebut
orang tua dengan "masa tidak rapi" masa bertengkar" dan masa
menyulitkan. Para pendidik menyebut masa ini dengan sebutan "usia sekolah
dasar" dan "usia kritis" atau periode kritis, sedangkan ahli
psikologi menyebutnya dengan "usia berkelompok", usia penyesuaian.[8]
Setelah anak mencapai usia enam tahun/tujuh tahun,
perkembangan jasmani dan rohaninya mulai sempurna. Anak keluar dari lingkungan
keluarga dan memasuki lingkungan sekolah, yaitu lingkungan yang besar
pengaruhnya terhadap perkembangan jasmani dan rohani. Mereka mengenal lebih
banyak teman dalam lingkungan sosial yang telah luas, sehingga peranan
sosialnya semakin berkembang. Ia ingin mengetahui segala sesuatu disekitarnya
sehingga bertambah pengalamannya. Semua pengalaman baru itu akan membantu dan
mempengaruhi proses perkembangan berpikirnya.[9]
Pada usia sebelumnya, kemampuan unsur-unsur ( tertentu) kejiwaannya belum mampu
belajar dan menerima dengan baik. Sementara usia sebelumnya, apa yang mereka
terima sudah dapat melekat sehingga (apabila yang diterimanya adalah sesuatu
yang kurang baik) akan sulit dirubah.
Sedangkan pada usia sekolah kemampuan kejiwaannya sudah
mampu belajar dan apa yang diterima sebelumnya belum begitu melekat pada
kepribadian nya sehingga masih mudah untuk diubah. Dengan pertengahan masa pengertian
anak usia sekolah ini sering dibagi menjadi dua masa ( terutama apabila
dikaitkan dengan pendidikan formal sekolah dasar) yaitu masa awal dan masa
kanak-kanak akhir. Namun boleh disebut anak usia sekolah saja, maka lebih diistilahkan
dengan sekolah kanak-kanak akhir atau usia akhir kanak-kanak. Karena sebutan
prasekolah diistilahkan kanak-kanak awal atau usia awal kanak-kanak. Akan
tetapi ada juga yang mengganti (menyebut) kanak-kanak dengan anak-anak bila
kanak-kanak untuk prasekolah, maka usia sekolah dengan istilah anak-anak.
Selanjutnya kohnstam menamakan masa kanak-kanak akhir atau
masa anak sekolah ini dengan masa intelektual di mana anak-anak telah siap
untuk mendapat pendidikan di sekolah dan perkembangannya kebanyakan berpusat
pada aspek intelektual.[10]
Masa keserasian sekolah ini secara relative anak-anak lebih
mudah untuk dididik (di sekolah) dari masa sebelumnya dan sesudahnya nanti.
Masa ini dapat di rinci lagi menjadi dua fase yaitu: pertama, masa kelas-kelas
rendah sekolah dasar (umur 6,0 atau 7,0 sampai umur 9,0 atau 10,0) kedua , masa
kelas-kelas tinggi sekolah dasar (umur kira-kira 9,0 atau 10,0 sampai 12,0 atau
13,0).[11]
Sedangkan dalam buku Al-Ustadz Hasan Hafidz, dkk (1989),
periode ini bisa dibagi menjadi dua: pertama, usia 6-8 tahun, pada periode
pertama (6-8 tahun) perkembangan tubuh nampak menonjol. Kedua, usia 8-12 tahun,
pada periode kedua (8-12 tahun) perkembangan tubuhnya mulai lambat (menurun),
tetapi kesehatannya cukup baik. Aktifitas dan gerakan nya bertambah. Ia senang
lari-lari dan bermain. Karena itu masa ini sering disebut masa periode penuh
gerak dan keaktifan.[12]
B. Karakteristik Anak
Usia Sekolah
Secara umum, anak usia sekolah sudah mulai menunjukkan
adanya perbedaan dengan keadaan usia sebelumnya karena pada usia sekolah ini telah
mengalami perkembangan yang lebih dan berangsur-angsur menuju ke arah
kesempurnaan baik secara fisik maupun psikis. Dikatakan usia sekolah, karena ia
telah matang untuk menghadapi lingkungan sekolah. Di samping itu, aspek-aspek
kejiwaan yang juga mulai berkembang dan berfungsi secara lebih baik sehingga
mampu menghadapi lingkungan kehidupan yang baru, yaitu lingkungan sekolah
dengan diikuti tugas-tugas perkembangannya sehingga melahirkan sikap atau
tingkah laku khas usia ini. Meskipun tak bisa dipastikan bahwa anak usia
tertentu mempunyai kesamaan sehingga diharuskan mampu menuju tujuan tertentu atau
melakukan sesuatu seperti yang dilakukan anak usia seusianya. Karena
perkembangan individu berbeda, tergantung taraf kematangan dan kesempatan
belajarnya.
- Matang
untuk sekolah
Pada usia ini anak mampu menghadapi dunianya yang baru,
dari dunia anak kecil ke dunia anak sekolah. dari tempat bermain yang bebas
bertukar dengan belajar duduk. Dalam fase inilah anak menceburkan diri ke dalam
masyarakat luas, yaitu masyarakat diluar keluarga, taman kanak-kanak, sekolah,
dan kelompok-kelompok sosial lainnya.[13]
Pertumbuhan fisik anak pada umur sekolah dasar berjalan
wajar dan hampir sama pada semua anak. Pertumbuhan otot-otot halus telah
memungkinkannya untuk melakukan kegiatan yang memerlukan keserasian gerak,
seperti melukis, menggambar dan melakukan gerak shalat.[14]
Jadi pada usia sekolah tingkah laku anak tunduk pada peraturan-peraturan
sekolah baik di dalam maupun di luar kelas dan ia juga menyesuaikan dengan
susunan dan kehendak masyarakat baru.
Pengertian disini tidak hanya ditekankan pada kemampuan
anak untuk memasuki sekolah, namun lebih ditekankan bahwa pada usia ini anak
telah mampu menghadapi dunia luar yang baru sehingga tidak hanya terbatas lagi
pada lingkungan keluarga. Dikatakan dunianya baru karena antara lain teman
pergaulannya, kemampuan tindakannya, tugas-tugas atau tuntunan-tuntunan yang
dihadapinya, lingkungan (secara fisik) nya serba berbeda dibandingkan
sebelumnya.
Kematangan (maturation) adalah sempurna pertumbuhan
dan perkembangan di dalam organisme.[15]
Jadi maksudnya, bahwa anak pada usia kurang lebih 6-12 tahun ini telah tumbuh
dan berkembang secara sempurna untuk menghadapi sekolah sebagai dunia barunya.
Namun Siti Rahayu Haditono dkk lebih menganjurkan memilih istilah
"kemampuan sekolah" dari pada "kemasakan sekolah". Sehingga
tidak hanya menunjuk pada proses yang terjadi dari dalam secara spontan,
melainkan "mampu sekolah" ditentukan faktor-faktor dari luar.[16]
Sehingga anak dikatakan mampu sekolah apabila ia memang
sudah matang dan ia juga memperoleh latihan-latihan dan pengalaman yang
menjadikannya mampu sekolah dari keluarga dan lingkungan.
Kesimpulannya, anak usia sekolah kurang lebih 6-12 tahun sudah
matang untuk memasuki sekolah (dasar) karena disamping sempurnanya pertumbuhan
dan perkembangan di dalam organisme itu sendiri, juga karena latihan-latihan
dan pengalaman-pengalaman yang di dapat dari keluarga dan lingkungannya selama
ini.
Diantara kriteria yang berhubungan dengan kemasakan menurut
Siti Rahayu Haditono dkk, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Anak harus dapat kerjasama dalam
kelompok dengan anak-anak lain, yaitu tidak boleh masih tergantung pada ibunya,
melainkan harus dapat menyesuaikan diri dengan kelompok teman-teman sebaya.
b.
Anak harus dapat mengamati secara
analitis. Ia harus sudah dapat mengenal bagian-bagian dari keseluruhan dan
dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut. Jadi disini anak harus sudah
mempunyai kemampuan memisah-misahkan.
c.
Anak secara jasmaniah harus sudah
mencapai bentuk anak sekolah. Petunjuk untuk ini adalah kalau sudah dapat
memegang telinga kirinya dengan tangan kanan melalui kepala, atau kalau anak
kidal maka tangan kiri harus dapat mencapai telinga kanan melalui kepala.
Inilah disebut ukuran Filipino (di Nederland hal ini sampai sekarang masih
merupakan ukuran apakah anak sudah "masak sekolah" atau belum).[17]
Sedangkan kriteria menurut Zulkifli dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a.
Kondisi jasmani cukup sehat dan
kuat untuk melakukan tugas di sekolah.
b.
Ada keinginan belajar.
c.
Fantasi tidak lagi leluasa dan
liar.
d.
Perkembangan perasaan sosial telah
memadai.
Ditambah
dengan persyaratan-persyaratan untuk bisa mengikuti pelajaran yaitu:
e.
Fungsi-fungsi jiwa (daya ingatan,
cara berpikir, daya pendengaran) harus sudah berkembang baik karena kematangan
fungsi-fungsi itu diperlukan untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung.
f.
Anak telah memperoleh cukup
pengalaman dalam rumah tangga untuk di pergunakan sebagai dasar bagi pengajaran
permulaan karena pengajaran berpangkal pada apa yang telah diketahui oleh
anak-anak.[18]
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa anak yang
sudah memenuhi kriteria masak atau matang sekolah yaitu apabila ia telah siap
dan mampu menghadapi dunia nya yang baru secara lebih mandiri karena
pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun kejiwaannya telah
berangsur-angsur lebih sempurna di samping pengalaman-pengalamannya yang dapat
sebelumnya menjadikannya mampu menyelesaikan tugas-tugasnya yang baru baik
secara individual atau kelompok.
- Aspek-aspek
perkembangan anak usia sekolah
Aspek-aspek perkembangan ini meliputi: Fisik, sosial,
berpikir, moral, kepribadian, keagamaan.
a.
Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik dipandang penting untuk dipelajari,
karena baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilaku
anak sehari-hari. Secara langsung, perkembangan fisik seorang anak akan
menemukan ketrampilan anak dalam bergerak. Seorang anak usia 6 tahun yang
bangun tubuhnya sesuai untuk usia tersebut, akan dapat melakukan hal-hal yang
lazim dilakukan oleh anak berumur 6 tahun. Bila ia mengalami hambatan atau
cacat tertentu, sehingga bangun tubuhnya tidak berkembang sempurna, maka jelas
tidak mungkin mengikuti permainan yang dilakukan teman sebaya.
Secara tidak langsung, pertumbuhan dan perkembangan fisik
akan mempengaruhi bagaimana anak ini memandang dirinya sendiri dan bagaimana
memandang orang lain. Ini semua akan tercermin dari pola penyesuaian diri anak
secara umum. Seorang anak, misalnya, yang terlalu gemuk akan cepat menyadari
bahwa dia tidak dapat mengikuti permainan yang dilakukan oleh teman sebayanya.
Di pihak lain, teman-temannya akan menganggap anak gendut itu terlalu lamban,
dan tidak pernah lagi diajak bermain. Semula timbul perasaan tidak mampu,
selanjutnya akan muncul perasaan selalu tertempa nasib buruk. Perpaduan kedua
perasaan ini akan memberikan warna tersendiri pada perkembangan kepribadian
anak.[19]
Pertumbuhan fisik tidak dapat dikatakan mengikuti pola
ketetapan yang tertentu. Pertumbuhan tersebut terjadi secara bertahap, proses,
seperti naik turunnya gelombang. Adakalanya cepat dan adakalanya lambat. Irama
pertumbuhan ini bagi setiap orang mempunyai gambaran tersendiri walaupun secara
keseluruhan tetap memperlihatkan keteraturan tertentu. Ada beberapa anak yang mengalami pertumbuhan
cepat, sedangkan anak lain mengalami keterlambatan. Pola seperti ini sebetulnya
menguntungkan, karena bila mengikuti pola perkembangan yang sangat teratur dan
ketat maka bayi yang berat tubuhnya akan mencapai 24 kilogram, karena pada
tahun pertama pertumbuhan berlangsung dengan sangat cepat (3 X lebih cepat)
dari pada tahun-tahun berikutnya.
Dengan demikian, dapatlah kita katakan bahwa pertumbuhan
dan perkembangan fisik anak umumnya berlangsung secara teratur dan dapat
diramalkan sebelumnya (misalnya seorang anak berusia satu tahun biasanya sudah
akan dapat berjalan) meskipun, waktu pertumbuhan ini masing-masing tidak sama.[20]
Sesudah usia 6 tahun, pertumbuhan badan menjadi agak
lambat, dari pada waktu-waktu sebelumnya. Sampai umur 12 tahun anak bertambah
panjang 5 sampai 6 cm tiap tahunnya. Sampai umur 10 tahun dapat dilihat bahwa
anak laki-laki agak lebih besar sedikit dari pada anak wanita. Sesudah itu maka
wanita lebih unggul dalam panjang badannya, tetapi sesudah kurang lebih 15
tahun anak laki-laki mengejar nya dan tetap unggul dari pada anak wanita. Barat
badan anak bertambah lebih banyak dari panjang badannya. Pada akhir periode ini
ditemukan lebih banyak perdebatan individual diantara anak-anak, sekarang
nampak lebih banyak perbedaan fisik yang khas dari pada dulu. Kekuatan badan
dan kekuatan tangan pada anak laki-laki bertambah dengan pesat antara usia 6
dan 12 tahun. Dalam masa ini juga ada perubahan dalam sifat dan frekuensi
motorik kasar dan halus. Ternyata bahwa kecakapan motorik ini makin disesuaikan
dengan "keleluasaan" lingkungan.[21]
Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan proporsi ini
mengikuti hukum arah perkembangan setengah tahun pertama setelah dilahirkan,
perubahan hanya terjadi sedikit. Mulai saat ini sampai saat remaja pertumbuhan
kepala berlangsung lambat, tungkai dan tangan tumbuh dengan cepat, tetapi
bagian tubuh lainnya berkembang dengan kecepatan sedang saja. Otak dan bagian
wajah lainnya mencapai kematangan bentuk dan perkembangannya mendahului organ
alat tubuh lainnya.[22]
Pada permulaan masa sekolah, jadi sekitar 6 tahun, kaki dan
tangan menjadi lebih panjang, dada dan panggul lebih besar. Dalam hal ini
hampir tidak ada perbedaan-perbedaan karena jenis seks.[23]
Jadi pertumbuhan anak pada usia ini tidak seimbang jika dibandingkan dengan
anak laki-laki dan anak perempuan sebab pada usia sekolah perkembangan anak
perempuan lebih cepat dari pada anak laki-laki. Misalnya pada umur 9 tahun atau
10 tahun anak perempuan sudah mengalami menstruasi/haid.
b.
Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam
hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan
diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi
suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama.[24]
Seperti yang dikemukakan oleh Zulkifli, "Bila anak
mulai bersekolah, ia menyambut kenalan-kenalan baru itu dengan rasa gembira.
Semua murid di kelas itu adalah temannya. Kemudian mereka membentuk
kelompok-kelompok tersendiri, dimana setiap anak menggabungkan dirinya ke dalam
salah satu kelompok. Makin lama anak makin banyak memegang peranan individual
dalam kelompoknya. Sekarang anak itu mulai mengetahui bahwa ia termasuk murid
yang pandai berhitung, termasuk murid yang pandai bermain kasti, anak yang
jenaka, dan sebagainya. Pada perkembangan selanjutnya muncullah "pemimpin
dan pengikutnya" didalam kelas itu.[25]
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses
perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai
aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta
mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Proses bimbingan orang tua ini lazim disebut
sosialisasi.
Suenn Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu
sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian
sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan
efektif.[26]
Dan anak masa sekolah ini disebut juga dengan usia kelompok
atau usia geng. Karena pada masa ini perhatian utama anak tertuju pada
keinginan untuk diterima oleh teman sebaya sebagai anggota kelompok. Anak akan
merasa kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
Adapun ciri khas dari anak kelompok atau geng anak-anak
masa sekolah ini menurut Elizabeth B. Hurlock adalah sebagai berikut:
1.
Geng dikenal karena namanya, yang
kebanyakan diantaranya diambil dari nama jalan atau blok tempat tinggal para
anggota.
2.
Anggota geng menggunakan isyarat.
3.
Geng anak-anak sering menggunakan
tanda pengenal antara lain topi.
4. Geng kadang-kadang mempunyai
upacara plonco untuk menguji ketrampilan atau ketahanan fisik anggota baru.
5. Tempat pertemuan yang dipilih geng
sejauh mungkin mengurangi campur tangan orang dewasa dan memungkinkan adanya
kesempatan maksimum untuk melakukan aktivitas yang disenangi.
6. Aktivitas geng meliputi semua
bentuk permainan dan hiburan kelompok, membuat sesuatu, mengganggu orang lain,
mencoba-coba dan melibatkan diri dalam aktivitas terlarang seperti berjudi,
merokok, minum minuman keras, dan mencoba-coba obat bius.[27]
Di dalam kelompok atau geng ini anak belajar bergaul dengan
teman-temannya baik dalam cara penampilan, berbicara dan berperilaku. Sehingga
kelompok ini, membantu anak untuk menjadi pribadi yang mampu bermasyarakat dan
bantuan kelompok (geng). Untuk mengembangkan ketrampilan yang memungkinkan
mereka melakukan hal-hal yang dilakukan teman sebaya, dan untuk menghilangkan
sifat mementingkan diri sendiri dan individualisme anti sosial. Dalam membantu
perkembangan sosial anak diantaranya.
1. Geng membantu anak bergaul dengan
teman sebaya dan berperilaku yang dapat diterima secara sosial bagi mereka.
2. Geng dapat membantu anak mengembangkan
kesadaran yang rasional dan skala nilai untuk melengkapi atau mengganti nilai
orang tua.
3. Melalui pengalaman geng anak mempelajari sikap
sosial yang pantas, misalnya cara menyukai orang serta cara menikmati kehidupan sosial dan
aktivitas kelompok.
4. Geng dapat membantu kemandirian pribadi anak
dengan memberikan kepuasan emosional dari persahabatan dengan teman sebaya.[28]
Sebaliknya kehidupan geng menunjang perkembangan kualitas
tertentu yang tidak baik. Kadang-kadang mendorong penggunaan bahasa kasar,
sumpah serapah, penceriteraan, dongeng dan lelucon cabul, pembolosan, kenakalan
sikap memandang rendah terhadap aturan dan orang-orang yang mempunyai
kekuasaan, pemutusan ikatan kekeluargaan.[29]
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa anak dalam usia
sekolah ini mulai muncul kecenderungan untuk melepaskan keterikatan nya dengan
keluarga terutama ibu dan cenderung menyatu pada kelompok usia sebayanya
sehingga menjadikannya lebih mandiri, bertanggung jawab, mampu demokratis,
belajar bersaing dengan orang lain secara sehat, mempunyai kesempatan untuk
belajar dan bermain dengan kelompok sehingga pengalaman dan wawasan nya semakin
luas.
c.
Perkembangan Berpikir
Istilah yang biasa dipergunakan dalam psikologi ialah
intelek dan inteligensi. Yang dimaksud dengan intelek ialah berpikir, sedangkan
yang dimaksud dengan inteligensi ialah kemampuan kecerdasan. Pada dasarnya
kedua istilah itu mempunyai arti yang sama. Jika ada orang yang memandang nya tidak
sama, sebenarnya perbedaannya hanya terletak dalam waktu saja. Di dalam kata
berpikir terkandung perbuatan menimbang-nimbang, menguraikan, menghubung-hubungkan,
sampai akhirnya mengambil keputusan. Sedangkan dalam kata cerdas terkandung
kemampuan seseorang dalam memecahkan masalahnya dengan cepat.[30]
Berpikir ialah kemampuan meletakkan hubungan dari
bagian-bagian pengetahuan kita. Sedang pikiran (rasio, akal budi) ialah
kemampuan psikis untuk meletakkan hubungan dari bagian-bagian pengetahuan kita.[31]
Berbicara mengenai berpikir, sebagaimana ditulis oleh
Kartini Kartono dalam buku psikologi umum (1996) memberikan tingkatan berpikir
menjadi beberapa tingkatan diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
berpikir konkret ialah berpikir
dalam kepastian, yaitu dalam dimensi ruang, waktu, tempat tertentu.
2.
berpikir abstrak ialah berpikir
dalam ketidak berhinggaan, sebab bisa disebarkan atau disempitkan keluasannya.
Misalnya saja, binatang menyusui adalah lebih abstrak dari pada
bintang-binatang buas, binatang buas lebih abstrak dari pada kucing.[32]
Daya pikir anak tumbuh dan berkembang dan pengalamannya pun
semakin banyak. Pada periode ini nampak hal-hal yang menonjol. Diantaranya
senang mengetahui sesuatu, dimana anak yang maju ingin mengetahui bagaimana
sebenarnya jam, radio atau lainnya. Ia ingin membongkar dan memasangnya
kembali. Dengan demikian memungkinkan anak memperoleh pengetahuan dan
pengalaman-pengalaman yang sesuai dengan lingkungannya. Ia mengetahui
jenis-jenis binatang, unggas (burung), pohon-pohon dan lain sebagainya. Anak
senang mengetahui lingkungannya dan suka ingin tahu apa yang ada disekitarnya.[33]
Dalam keadaan pertumbuhan yang biasa, pikiran berkembang
secara berangsur-angsur, sampai anak mencapai umur delapan tahun sampai dengan
dua belas tahun, ingatan menjadi kuat sekali. Biasanya mereka suka menghafal
banyak-banyak.[34]
Dan ingatan anak pada usia ini Kartini Kartono menjelaskan.
"ingatan anak pada usia 8-12 tahun mencapai intensitas paling besar, dan
paling kuat. Daya menghafal dan daya memorisasi (dengan sengaja memasukkan dan
meletakkan pengetahuan dalam ingatan) adalah paling kuat. Dan anak mampu memuat
jumlah materi ingatan paling banyak.[35]
Perkembangan berpikir anak harus terus bertambah. Ia mampu
membedakan antara benda satu dengan benda yang lain dan memecahkan beberapa
masalah yang lebih sulit. Daya pikir, dan ingatan anak mulai banyak berfungsi,
lebih-lebih setelah berusia sembilan tahun. Oleh karena itu hafalan secara
mekanis perlu dihindari. Apa yang di berikan kepada anak hendaknya lebih
didasarkan pada peringatan, pemahaman dan disesuaikan dengan kemampuan dan
kesenangannya. Yang menonjol pada periode ini adalah tumbuh dan berkembangnya
rasa ingin memiliki pada diri anak. Karena itu mereka senang koleksi
gambar-gambar berwarna dan lain-lain.[36]
Periode ini ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan
baru, yaitu mengklasifikasikan (mengelompokkan), menyusun, atau mengasosiasikan
(menghubungkan atau menghitung) angka-angka/bilangan. Kemampuan yang berkaitan
dengan perhitungan (angka), seperti menambah, mengurangi, mengalikan, dan
membagi. Disamping itu, pada akhir masa ini anak sudah memiliki kemampuan
memecahkan masalah (problem solving) yang sederhana. Kemampuan
intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai
kecakapan yang dapat mengembangkan pola berpikir atau daya nalarnya.[37]
Pada masa ini anak memiliki perasaan ingin tahu yang lebih
besar sehingga anak tidak lagi bersifat egosentris, artinya anak tidak lagi
memandang diri sendiri sebagai pusat perhatian lingkungannya. Anak mulai
memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan obyektif. Karena timbul keinginannya
untuk mengetahui kenyataan, keinginan itu akan mendorongnya untuk menyelidiki
segala sesuatu yang ada di lingkungannya.[38]
Adapun dorongan untuk mengetahui segala sesuatu yang ada di
sekelilingnya itu, menjadikan anak hangat dan dinamis. Sebagaimana di jelaskan
oleh Kartini Kartono.
"Minat
anak pada periode tersebut terutama sekali tercurah pada segala sesuatu yang
dinamis bergerak. Anak pada usia ini sangat aktif dinamis. Segala sesuatu yang
aktif dan bergerak akan sangat menarik minat perhatian anak. Lagi pula minat
nya banyak tertuju pada macam-macam aktivitas. Dan semakin banyak dia berbuat,
makin berguna lah aktivitas tersebut bagi proses pengembangan kepribadian nya".[39]
Dari uraian di atas, tentang perkembangan berpikir anak
masa sekolah ini, maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan berpikir anak pada
masa sekolah berada pada tingkatan berpikir konkret. Dan menjelang akhir masa
sekolah yaitu kira-kira 11/12 tahun anak mulai dapat berpikir abstrak. Dalam
keadaan normal daya ingatannya sangat kuat.
Anak masa ini tidak lagi berpikir egosentris, ia selalu
ingin tahu segala yang ada disekelilingnya, maka ia suka bergerak, selalu giat
dan suka berbuat sesuatu. Oleh karena itu anak pada masa ini harus banyak
diberi kesempatan untuk bergerak, berbuat, berbuat disertai dengan bimbingan
yang baik, agar perkembangan berpikir anak dapat berjalan dengan baik.
d.
Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari kata latin "mos"
(moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata
cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan
melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip moral. Nilai-nilai moral itu,
seperti, (1) seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memberi ketertiban
dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hal orang lain. Dan (2)
larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang yang tersebut
sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.[40]
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh
lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama
dari orang tuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nila dan berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orang tua
sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orang
tua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak,
diantaranya sebagai berikut.
- konsisten
dalam mendidik anak
Ayah
dan ibu memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan
tingkah laku tertentu kepada anak.
- Sikap
orang tua dalam keluarga
Secara
tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau
sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses
peniruan (imitasi). Sikap orang tua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan
sikap disiplin semua pada anak.
- Sikap
konsisten orang tua dalam menerapkan norma
Orang
tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka
mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur.[41]
Anak mulai mengenal konsep moral (mengenal benar salah atau
baik buruk) pertama kali dari lingkungan keluarga. Pada mulanya, mungkin anak
tidak mengerti konsep moral ini, tetapi lambat laun anak akan memahaminya.
Usaha menanamkan konsep moral sejak usia dini (prasekolah) merupakan hal yang
seharusnya, karena informasi yang diterima anak mengenai benar salah atau baik
buruk akan menjadi pedoman pada tingkah lakunya dikemudian hari.
Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mengikuti
pertautan atau tuntunan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir
usia ini, anak sudah dapat memahami alasan yang mendasari suatu peraturan.
Disamping itu, anak sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk perilaku dengan
konsep benar salah atau baik buruk. Misalnya, dia memandang atau menilai bahwa
perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu
yang salah atau buruk. Sedangkan perbuatan jujur, adil dan sikap hormat kepada
orang tua dan guru merupakan suatu yang benar atau baik.[42]
Jadi kesimpulannya bahwa pada anak usia sekolah sudah mulai
dapat membedakan yang benar dan salah, yang baik dan yang buruk yang mampu
memikirkan alasannya yang mendasar meskipun tentu saja dalam tahap sederhana,
sehingga ia berperilaku yang sesuai atau yang dapat diterima oleh masyarakat
atau kelompok sosial lainnya. Ini semua didapatkan dari kelompok-kelompoknya,
pengembangan hati nurani sebagai pengendali internal bagi perilaku individu.
Pengembangan rasa bersalah dan rasa malu dan adanya kesempatan untuk melakukan interaksi
dengan anggota kelompok sosial dan tentu tidak lepas dari orang tua atau
pendidik lain. Perkembangan moral ini bergantung dari perkembangan kecerdasan
yang matang. Dengan kata lain kemampuan melakukan penilaian moral yang
disetujui, mengikuti pola yang dapat diramalkan yang berkaitan dengan urutan
tahap dalam perkembangan kecerdasan.[43]
e.
Perkembangan Kepribadian
Kepribadian menurut "Allport" adalah organisasi
atau susunan yang dinamis dari pada sistem psikofisik dalam diri individu yang
menentukan penyesuaian dirinya yang unik (khas) terhadap lingkungannya.[44]
Menurut MC Dougal, dkknya, bahwa kepribadian adalah
"tingkatan sifat-sifat dimana biasanya sifat yang tinggi tingkatannya
mempunyai pengaruh yang menentukan.[45]
Kepribadian dapat juga diartikan sebagai " kualitas
perilaku individu yang tampak dalam melakukan penyesuaian diri terhadap
lingkungan secara unik" (Abin Syamsuddin Makmuan, 1996). Keunikan
penyesuaian tersebut sangat berkaitan dengan aspek-aspek kepribadian itu
sendiri, yaitu meliputi hal-hal berikut.
1.
Karakter, yaitu konsekuen tidaknya
dalam mematuhi etika perilaku, konsisten atau teguh tindakannya dalam memegang
yang dapat dari lingkungan.
2.
Temperamen, yaitu disposisi
reaktif seseorang, atau cepat atau lambatnya mereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
3.
Sikap, sambutan terhadap obyek
(orang, benda, peristiwa, norma dan sebaiknya) yang bersifat positif. Negatif
atau ambil valen (ragu-ragu).
4.
Stabilitas emosional, yaitu kadar
kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti, mudah
tidaknya tersinggung, marah, sedih atau putus asa.
5.
Responsibilitas (tanggung jawab),
kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan.
Seperti, mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri
dari resiko yang dihadapi.[46]
f.
Perkembangan Keagamaan
Anak mulai mengenal agama lewat pengalamannya melihat orang
tua melaksanakan ibadah. Mendengarkan kata Allah dan kata agamis yang mereka
ucapkan dalam berbagai kesempatan.
Kemajuan berpikir, ketrampilan dan kepandaian dalam
berbagai bidang akan memantul kepada si anak. Mulai kecil si ibu menidurkan
anaknya dengan dendang dan senandung yang merdu, menumbuhkan pada anak jiwa
seni. Karya ibu dalam bidang yang dapat dilihat, di dengar dan dirasakan anak,
akan menyebabkannya tertarik kepada hasil-hasil karya tersebut.[47]
Pada masa ini,
perkembangan penghayatan keagamaannya ditandai dengan ciri-ciri sebagai
berikut.
1.
Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai
dengan pengertian.
2.
Pandangan dan paham ketuhanan
diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman
pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya.
3.
Penghayatan secara rohaniah
semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan
moral (Abin Syamsuddin. M, 1996).[48]
Periode usia sekolah dasar merupakan masa pembentukan
nilai-nilai agama sebagai kelanjutan periode sebelumnya. Kualitas keagamaan
anak akan sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan atau pendidikan yang
diterimanya.
Zakiah Daradjat (1986: 58) mengemukakan bahwa pendidikan
agama di sekolah dasar, merupakan dasar bagi pembinaan sikap positif terhadap
agama dan berhasil membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan
sikap itu pada masa remaja akan muda dan anak telah mempunyai pegangan atau
bekal dalam menghadapi berbagi kegoncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.[49]
Jadi pada masa ini, anak-anak perlu diperhatikan dalam
perkembangan, karena hal ini sangat membantu pertumbuhannya untuk memasuki masa
remaja. Sehingga anak-anak bisa menerima mana yang baik dan mana yang buruk.
- Tugas-tugas
perkembangan
Berbicara mengenai tugas-tugas perkembangan anak pada usia
sekolah ini, maka sangat diharapkan adanya perilaku atau ketrampilan tertentu
sebagai buah (hasil) dari perkembangan-perkembangan yang ada. Sebagaimana di
ungkapkan oleh Robert Havighurst ( Adam dan Gollota, 1983) mulai perspektif
psikososial berpendapat bahwa periode yang beragam dalam kehidupan individu
tertentu untuk menuntaskan tugas-tugas perkembangan yang khusus. Tugas-tugas
ini berkaitan erat dengan perubahan kematangan, persekolahan, pekerjaan,
pengalaman beragama, dan hal lainnya sebagai prasyarat untuk pemenuhan dan
kebahagiaan hidupnya.[50]
Selanjutnya menurut Havighurst, tugas perkembangan adalah
tugas-tugas yang harus di selesaikan individu pada fase-fase atau periode
kehidupan tertentu: dan apabila berhasil mencapainya mereka akan berbahagia,
tetapi sebaliknya apabila mereka gagal akan kecewa dan dicela oleh orang tua
atau masyarakatnya dan perkembangan selanjutnya juga akan mengalami kesulitan.[51]
Tugas-tugas perkembangan, bersumber pada faktor-faktor
berikut:
a.
Kematangan fisik
- Tuntunan masyarakat secara kultural
c.
Tuntunan dan dorongan dan
cita-cita individu sendiri
Masa anak-anak (late childhood) berlangsung antara usia
6-12 tahun dengan ciri-ciri utama sebagai berikut.
- Memiliki
dorongan untuk keluar dari rumah dan memasuki kelompok sebaya (peer group)
- Keadaan
fisik yang memungkinkan atau mendorong anak memasuki dunia permainan dan
pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan jasmani
- memiliki
dorongan mental untuk memasuki dunia konsep, logika, simbol, dan
komunikasi yang luas.
Adapun tugas-tugas
perkembangan pada masa perkembangan kedua ini meliputi kegiatan belajar dan
mengembangkan hal-hal sebagai berikut:
- Belajar
ketrampilan fisik yang diperlukan untuk bermain.
- membina sikap yang sehat (positif)
terhadap diri sendiri sebagai seorang individu yang sedang berkembang.
- Belajar
bergaul dengan teman-taman sebaya sesuai dengan etika moral yang berlaku
di masyarakatnya.
- Belajar
memainkan peran sebagai seorang pria (jika ia seorang pria) dan sebagai
seorang wanita (jika ia seorang wanita).
- Mengembangkan
dasar-dasar ketrampilan membaca, menulis, dan berhitung.
- Mengembangkan
konsep-konsep yang diperlukan kehidupan sehari-hari.
- Mengembangkan
kata hati, moral dan skala nilai yang selaras dengan keyakinan dan
kebudayaan yang berlaku di masyarakatnya.
- Mengembangkan
sikap objektif atau lugas baik positif maupun negatif terhadap kelompok
dan lembaga kemasyarakatannya.
- Belajar
mencari kemerdekaan atau kebebasan pribadi sehingga menjadi dirinya
sendiri yang independen (mandiri) dan bertanggung jawab.[53]
Oleh karena itu untuk dapat melakukan tugas-tugas
perkembangan dengan baik, maka dituntut peran orang tua atau pendidik bahkan
kelompok sebaya untuk membantunya. Misalnya orang tua dapat membantu memupuk
dasar-dasar perkembangannya agar anak dapat bergaul dengan teman sebaya.
Sehingga anak memperoleh pengalaman belajar dari anggota kelompok sebayanya.
Dan mampu pula untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat dan
sebagaiknya.
[1]
Maman S.Mahayana, Nuradji, Totok Suhardiyanto, Kamus Ungkapan Bahasa
Indonesia, (Jakarta:PT. Gramidia Widiasarana Indonesia, 1997), hlm. 12
[2]
Singgih D. Gunarsa dan Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis ; Anak,
Remaja dan keluarga, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 12
[3] Dr. H. Syamsu Yusuf LN ,
M.Pd, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet. IV, 2004),
hlm. 178
[4]
DR. Hj. Zakiah Daradjat, Pendidikan Dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 79
[5]
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak I, (Jakarta : Erlangga, 1997), hlm.
38
[6]
Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi perkembangan), (Bandung:
Mandar Maju, 1995), hal. 134
[7] Ibid.,
hlm. 133
[8]
Drs. M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta :Pedoman Ilmu Jaya,
cet. I, 1993), hlm. 155
[10]
Drs. M. Alisuf Sabri, op.cit., hlm. 156
[11] Ibid.,
hlm. 156-157
[12]
Al-Ustadz Hasan Hafidz, Dkk, Dasar-Dasar Pendidikan Dalam Ilmu Jiwa,
(Solo: CV. Ramadhani,1989), hlm. 65
[16] F. J. Monks Dkk, Psikologi perkembangan ;
Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta:Gadja Madah University, IX,
1994), hlm. 178
[17] Ibid.,
hlm. 178-179
[18]
Zulkifli L, op.cit., hlm. 52-53
[19] Elizabeth
B. Hulock, op.cit., hlm. 114
[21]
F.J. Monks, dkk, op.cit., hlm.177
[22]
Elizabeth B. Hurlock, op.cit., hlm.121
[23]
F.J. Monks, dkk, op.cit., hlm.177
[25]
Zulkifli, op.cit., hlm. 61
[26]
Dikutip dalam bukunya Syamsu Yusuf
LN , Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,
(Bandung : Remaja
Rosdakarya, cet. IV 2004), hlm.122
[27]
Elizabeth B. Hurlock, op.cit., hlm. 265
[29] Loc.,cit.
[30]
Zulkifli, op. cit, hlm. 58
[31]
Kartini kartono, Psikologi Umum, (Bandung: Mandar Maju, 1996), hlm. 69
[33]
Al-Ustadz hasan Hafidz, dkk, op. cit., hlm. 66
[34]
Zulkifli, op. cit., hlm. 58
[35]
Kartini Kartono, op. cit, hlm.138
[36]
Al-Ustadz Hasan Hafidz, dkk, op. cit., hlm. 67
[38]
Zulkifli, op. cit., hlm. 59
[39]
Kartini Kartono, op. cit., hlm.138
[41] Ibid.,
hlm.133
[42] Ibid.,
hlm.182
[43] Elizabeth
B. Hurlock, Perkembangan Anak II, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 80
[44]
M. Alisuf Sabri, op. cit., hlm. 91
[46] Ibid.,
hlm.127
[47]
Zakiah Dardjat, op. cit., hlm. 75-76
[49] Ibid.,
hlm.183
[50] Ibid.,
hlm. 65
[51]
M. Alisuf Sabri, op. cit., hlm.170
[53]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan; Dengan Pendekatan Baru, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, cet.VI, 2001), hlm. 51
0 Response to "Makalah Perkembangan Anak Usia Sekolah 6-12 Tahun Tinjauan Psikologi Perkembangan"
Post a Comment