Sistem Oposisi dalam Pemerintahan Indonesia
OPOSISI DALAM PEMERINTAHAN INDONESIA
A. Sistem Pemerintahan Indonesia
1. Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat)
Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(machtsstaat).
2. Sistem Konstitusi
Pemerintah
berdasarkan atas sistem konstitusional (hukum dasar), tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
3. Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan MPR (Die gesamte
staatsgewalt liegt allein bei der majelis).
4. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di
bawah majelis.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR namun presiden harus
minta persetujuan DPR dalam membentuk UU (gezetzgebung) dan untuk menetapkan
anggaran belanja negara (staats begrooting)
6. Menteri negara adalah pembantu presiden.
7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945, sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial,
namun kenyataannya dalam praktek ketatanegaraan selama pemerintahan Orde Baru
lebih mendekati bentuk pemerintahan parlementer.[2]
Sistem pemerintahan
presidensial menjadi pilihan aktual bangsa Indonesia . Di situ, oposisi politik
dinilai tak menemukan ruang relevansinya. Namun, problem konstitusional itu bukan alasan mendasar
menolak sikap oposisi politik. Oposisi di sini diterjemahkan bukan sebagai
sebuah institusi politik resmi. Maknanya lebih berorientasi peran kontrol
elemen politik atas jalannya kekuasaan. Peran kontrol ini dilakukan melalui
sikap kritis dan korektif. Kekuasaan yang dioperasikan secara keliru disikapi
secara oposisif. [3]
Sebelum dilakukan
perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia sering dikatakan sebagai
sistem MPR. Presiden bertanggung jawab kepada MPR dan melaksanakan tugas sesuai
dengan garis-garis besar haluan negara (GBHN) yang ditetapkan oleh MPR.
Presiden adalah mandataris MPR yang beranggotakan DPR, utusan daerah dan utusan
golongan.[4]
Dengan demikian
kegiatan kenegaraan yang menggerakan negara didasarkan pada program-program
sebagaimana terumus di dalam GBHN. hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa sistem
GBHN tidak membolehkan adanya penolakan oleh setiap warga negara terhadap
program yang telah ditentukan, karena wakil rakyat yang tertinggi dalam hal ini
MPR telah menetapkan demikian.[5]
Dengan sistem
politik seperti ini tidak memungkinkan adanya oposisi formal. Oposisi pada
sistem Presidensial sebenarnya lebih berarti mekanisme pengawasan dan
pengimbangan. Presiden hanya bisa dijatuhkan jika memang ada pelanggaran
serius, seperti termaktub dalam pasal 7 A UUD 1945 amandemen ketiga yaitu
"pelanggaran hukum berupa pengkhianatan pada negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden."
Berdasarkan
perubahan UUD 1945, presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR karena presiden
dipilih secara langsung, oleh karena itu presiden tidak melaksanakan GBHN
tetapi melaksanakan program-programnya sendiri.[6]
Terkait dengan
infra maupun suprastrukturnya, sebenarnya sistem politik bangsa Indonesia tidak
dirancang untuk sebuah kabinet presedensial hal ini disebabkan karena sistem
kepartaiannya ditunjang oleh sistem pemilihan umum proporsional telah memperkuat
sistem multipartai yang sesungguhnya lebih cocok untuk menunjang sistem kabinet
parlementer.[7]
Dengan demikian maka sistem pemerintahan bangsa
Indonesia
lebih tepat disebut dengan sistem pemerintahan campuran, yakni dalam sistem ini
diusahakan mencari hal-hal yang terbaik dari sistem pemerintahan parlementer
dan presedensial.[8]
Sesudah proklamasi
kemerdekaan 1945, Indonesia
secara teoritis telah mengenal tiga model demokrasi. Pertama demokrasi liberal
atau demokrasi parlementer (1945 – 1959), demokrasi terpimpin (1959 – 1965),
dan demokrasi pancasila (1966 – sampai sekarang).[9]
1.
Demokrasi Parlementer
Periode ini
dimulai dengan dikeluarkannya maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 oleh
Presiden Soekarno, yang merupakan konversi sistem pemerintahan dari sistem presidensial
menjadi sistem parlementer. Melalui maklumat ini dibentuk Kabinet Parlementer
pertama di bawah pimpinan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri dan
menteri-menteri bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
sebagai subsitut MPR/DPR.[10]
Sistem
pemerintahan parlementer tersebut mendapatkan legalisasi dalam konstitusi RIS
Pasal 118 (2) yang menyatakan bahwa:
"Menteri-menteri bertanggung
jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya
maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu"[11]
Dengan perubahan
sistem pemerintahan ini, sistem politik di Indonesia lebih cenderung kepada
demokrasi liberal. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah
yang selalu tidak disetujui dan dikecam oleh pihak oposisi, walaupun maksud dan
tujuan kebijakan itu baik dan bermanfaat bagi rakyat.[12]
Dengan demikian oposisi pada masa ini lebih cenderung bersifat royal yang hanya
bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.[13]
Dalam sistem ini ada pemerintah dan partai
oposisi. Dari periode itu memberikan kesan kuat bahwa partai oposisi tidak
berfungsi dengan baik karena hanya menumbuhkan kultur oposisi yang melawan
pemerintah, semua yang berasal dari pemerintah dianggap buruk dan ditanggapi
secara apriori, sehingga tujuan dari partai oposisi adalah bagaimana
menjatuhkan pemerintah secara konstitutional untuk digantikan oleh partainya.[14]
2.
Demokrasi Terpimpin
Demokrasi
terpimpin dimulai setelah UUD 1945 berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959,[15]
karena Pelaksanaan UUDS 1950 dianggap telah melakukan penyimpangan-penyimpangan
dari cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan dalih
seperti itu presiden Sukarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin dalam politik
Republik Indonesia .[16]
Pada masa
pemerintahan Demokrasi Terpimpin usaha-usaha untuk mewujudkan negara hukum yang
demokratis dan berkeadilan sosial mengalami masa-masa suram.[17]
Pada dasarnya rezim pemerintahan Demokrasi Terpimpin merupakan rezim
pemerintahan patrimonial yang menolak dalam bentuk apapun pengawasan rakyat
terhadap jalannya pemerintahan.[18]
Hal ini dapat
dilihat dari berbagai indikasi yang ada pada waktu itu, seperti penetapan
presiden tentang arti kegiatan subversif yang dikeluarkan pada tahun 1963 telah
menjadi dasar legitimasi bagi tindakan-tindakan sewenang-wenang pemerintah
untuk membungkam dan menindas hak-hak asasi warga negara, terutama bagi yang
kritis terhadap pemerintah.[19]
Karena prinsip
cara penetapan berdasarkan Demokrasi Terpimpin menyimpang dari prinsip
pelaksanaan asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945
alinea keempat, maka prinsip Demokrasi Terpimpin tersebut pada awal pemerintahan
Orde Baru dicabut.[20]
3.
Demokrasi Pancasila
Demokrasi
Pancasila merupakan perwujudan dari sila keempat seperti yang tercantum dalam
alinea keempat pembukaan UUD 1945. yang berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.[21]
Pelaksanaan
Demokrasi Pancasila di Indonesia diatur dalam ketetapan MPR. No. I/MPR/1983
tentang peraturan tata tertib MPR. Peraturan ini dapat pula diterapkan pada
lembaga-lembaga tinggi negara, lembaga-lembaga negara lainnya dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan di Indonesia .[22]
Dalam demokrasi
pancasila tidak mengenal adanya oposisi yang menjurus kepada peruncingan
masalah-masalah dan perbedaan pendapat yang bertentangan sehingga melahirkan
sikap apriori, namun demikian diperkenankan adanya sikap menghargai perbedaan
pendapat, kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin oleh UUD.[23]
Ide oposisi lebih
dimaksudkan sebagai kegiatan kenegaraan yang dimaksudkan untuk mendapatkan arah
kegiatan kenegaraan yang lebih baik dengan cara melakukan dialog.
Hal ini karena
demokrasi pancasila adalah demokrasi mufakat, yang mana musyawarah bukan
sekedar proses pengambilan keputusan. Musyawarah mengandung substansi bahwa
yang dimusyawarahkan adalah hal-hal yang benar, mengandung kebajikan dan
keadilan serta dilaksanakan secara jujur bagi kemaslahatan semua pihak, karena
itu dalam sistem musyawarah tidak dikenal istilah oposisi permanen.[24]
B. Oposisi di Indonesia
1. Sejarah Oposisi
Sejarah Indonesia sejak
awal kemerdekaan hingga sekarang berisi kisah menyedihkan tentang gerakan
oposisi. Prasyarat sistemik maupun kultural bagi gerakan oposisi sudah terbabat
hampir habis oleh penguasa yang tak mau diganggu-gugat. Membangun oposisi di Indonesia
merupakan pekerjaan berat yang banyak menguras energi, dan membutuhkan
ketekunan serta keuletan.[25]
Secara
historis-faktual, di Indonesia, oposisi selalu mengalami pengekangan secara
sistematik. Di masa Demokrasi Terpimpin, misalnya, oposisi dinafikan secara
ideologis lewat konsepsi politik gotong royong dan musyawarah untuk mufakat. Bahkan
di masa Orde Baru, oposisi dipandang tidak mempunyai akar budaya bangsa dan
berada di luar ideologi Pancasila.[26]
Kehidupan politik ketika awal-awal Republik ini memang
ditandai perbedaan tajam antar kelompok. Namun, tidak ada tendensi peniadaan
oposisi maupun penindasan terhadap kaum oposan. Oposisi dirasa sebagai hal yang
wajar saja, bukan barang aneh atau istimewa, serta tidak dianggap sebagai
pengganjal bagi penguasa. Toleransi lintas kelompok, ideologi dan kepentingan
merupakan perangkat kultural yang dibangun demokrasi liberal. Sistem inilah
yang membuat Pemilu 1955 berlangsung bersih, elegan.
Gerhana politik baru muncul tahun 1957. Presiden
Soekarno dan Angkatan Darat (AD) mulai agresif menjalankan strategi antipartai.
Mereka bersekutu untuk menyudahi eksperimen demokrasi liberal berbasis partai
politik.
Periode 1957-1959 ditandai sistem kekuasaan berlanggam
sentralistik. Soekarno, dengan dalih “revolusi belum usai”, memberangus semua
kekuatan yang dianggap “kontra revolusi”. Perangkat kultural sistemik kaum
oposan dihancurkan. Fase ini, meminjam istilah Herbert Feith-adalah "The decline of constitutional
democracy".
Demokrasi Terpimpin sebagai periode musim kering
kehidupan oposisi. Karakter kekuasaannya yang eksklusif dan anti publik
menyebabkan setiap potensi oposisi mengalami kebinasaan.
Tahun 1966 Bung Karno jatuh. Tidak ada diskontinuitas
ketika Angkatan Darat di bawah Soeharto mulai berkuasa pada 1966. Yang terjadi
hanyalah musim semi kebebasan amat pendek (1966-1974). Indonesia lalu
terperangkap rezimentasi Orde Baru yang mematikan demokrasi dengan wacana
oposisi loyal. Soeharto hanya memperbolehkan oposisi yang loyal.
Kekuasaan Orde Baru yang sentralistik dan
personal-sebagaimana hukum besi otoritarianisme di mana pun- mengalami
sakralisasi. Dalam konteks operasi kekuasaan yang tidak bisa disalahkan itulah,
gerakan oposisi pada zaman Orde Baru telah “meninggal dengan tenang”.
Pada zaman Orde Baru,
fungsi oposisi tidak dapat berjalan secara efektif dikarenakan oleh beberapa
hal yaitu, pertama, lembaga oposisi tidak diakui hak hidupnya di tengah
perpolitikan bangsa karena struktur kelembagaan formal tidak menyediakan
saluran partisipasi politik oposisional. Kedua, sulit ditemui kelompok
dan gerakan oposisi yang terorganisasi secara politik. Ketiga, sikap
oposisional tidak terakomodasi dalam proses perumusan, pelaksanaan dan evaluasi
kebijakan.[27]
Ketidakpastian politik berkembang biak. Timbul
ketidaktertataan pemerintahan (ungovernability).
Otonomi negara digeser otonomi massa .
Kekerasan politik dan politik kekerasan marak akibat ketidaksiapan hampir semua
kekuatan politik untuk bermain secara sehat dan dewasa. Sumber-sumber
kekhawatiran tersedia lebih banyak ketimbang harapan. Belum dapat dipastikan Indonesia
sedang bergerak menuju transisi demokrasi atau rekonsolidasi otoritarianisme.
Melaksanakan amanat sejarah yang tertunda-tunda terus
itu, jelas bukan pekerjaan ringan. Sebab, dalam empat dekade terakhir Indonesia
mengalami pelumpuhan tradisi beroposisi. Memulai sesuatu yang lama absen tentu
saja menimbulkan kegamangan. Namun, membangun visi dan aksi oposisi yang solid
tetap merupakan kebutuhan mendesak.
Salah satu penyebab runyamnya kondisi bangsa Indonesia
adalah tiadanya sosok partai oposisi yang mengontrol kinerja pemerintah. Mereka
yang duduk di badan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan elite parpol pada
dasarnya sekutu yang siap bernegosiasi (baca: koalisi) tanpa pandang bulu
ideologi partai guna mendapat bagiannya dari kekuasaan.[28]
C. Hubungan Lembaga-Lembaga Politik
Secara umum struktur kelembagaan politik, ekonomi, dan
sosial suatu masyarakat dapat menciptakan dan melanggengkan demokrasi, namun
disisi lain juga dapat mengancam dan melemahkannya. Artinya struktur
kelembagaan ini dapat menjadi sarana penerapan prinsip-prinsip demokrasi,
tetapi dapat juga menciptakan sistem yang otoriter.
Kerangka kelembagaan (struktur frameworks) pada
dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, lembaga yang secara
langsung mempengaruhi penerapan hak-hak asasi warga negara, melalui pendidikan
bagi warga negara dengan menyediakan sarana dan kondisi yang memungkinkan.
Misalnya pengembangan LSM-LSM yang merupakan manifestasi kesadaran masyarakat
akan hak-haknya sekaligus sebagai sarana efektif untuk menjamin pelaksanaan hak
dan kewajiban warga negara.
Perangkat kedua adalah lembaga-lembaga yang merupakan
mekanisme yang memungkinkan warga negara berinteraksi dengan lembaga-lembaga
pemerintah atau negara. Dalam hal ini, lembaga-lembaga tersebut memberikan
kesempatan seluas mungkin bagi warga negara untuk mendapatkan dan
mempertukarkan informasi, mengartikulasikan kepentingan dan mengungkapkan
opini. Beberapa lembaga yang relevan dalam hal ini adalah media massa , kelompok
kepentingan, pemilu, partai politik, dan lain-lain.
Ketiga, perangkat kelembagaan yang terdiri dari
lembaga-lembaga pemerintahan, yang kebijakan-kebijakannya sedapat mungkin
mencerminkan atau selaras preferensi demos. Mencakup beberapa lembaga
negara yang populer, seperti lembaga legislatif, lembaga eksekutif, birokrasi,
pemerintahan pada tingkat daerah, lembaga-lembaga hukum pemerintahan, dan
lain-lain.[29]
Dalam sistem
demokrasi kekuasaan merupakan dasar politik, pemakaiannya harus sesuai dengan
patokan-patokan kewajaran atau keadilan. Hal ini tercermin dalam hukum. Hukum
menciptakan wewenang dan perwakilan yang menjadi sarana pembuatan hukum.
Selanjutnya jika perwakilan didasarkan pada persamaan maka akan mendorong
kebebasan dan demokrasi.[30]
Hal ini pada gilirannya menuntut pembagian wewenang
antara negara dan masyarakat menurut prinsip demokrasi yakni pemerintah
bertugas mengatur sedangkan rakyat mengawasi. Dalam suatu negara korporatis,
pembagian wewenang itu tidak dijalankan karena negara mengatur dan sekaligus
mengawasi masyarakat. Pada akhirnya kekuasaan eksekuif dan wewenang untuk
kontrol direbut oleh negara dan digenggam dalam satu tangan oleh negara dan
pemerintah seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.[31]
Lembaga-lembaga dalam masyarakat baik yang berupa
lembaga politik, sosial, ekonomi maupun kebudayaan dalam sistem yang demokratis
merupakan pencerminan aspirasi masyarakat yang dibentuk berdasarkan kepentingan
masyarakat luas sehingga lembaga-lembaga tersebut harus mempunyai sifat otonom,
artinya pemerintah tidak boleh campur tangan dalam masalah-masalah intern
lembaga. Pemerintah hanya berfungsi sebagai pengawas dan baru bertindak jika
permasalahan suatu lembaga menimbulkan konsekuensi yang sangat luas bagi
stabilitas nasional.
Suatu lembaga tidak harus selalu berperilaku harmonis
dengan negara. Dalam kasus-kasus tertentu perilaku lembaga-lembaga tersebut
dapat berbeda dan bahkan bertentangan dengan sikap pemerintah. Hak semacam ini
dijamin oleh UU dan bukan masalah yang serius dalam kehidupan yang demokratis,
sebaliknya dianggap sesuatu yang normal serta mencerminkan dinamisme dan
kepekaan masyarakat. Hal
ini sesuai dengan prinsip demokrasi yang menghargai akan perbedaan di dalam
kehidupan bernegara. [32]
Dalam
masyarakat madani tidak ada dominasi penguasa terhadap rakyat, hubungan yang
ada adalah kesejajaran antara pemegang kekuasaan dan yang dikuasai. Bahkan
rakyat berhak untuk melakukan koreksi terhadap pemerintah atau penguasa. Citra demokrasi
dalam masyarakat madani menempatkan kontrol rakyat sangat penting terhadap
jalannya pemerintahan.[33]
D. Proses Demokratisasi di Indonesia
Tuntutan terhadap demokratisasi diberbagai aspek
kehidupan sosial merupakan kecenderungan global setelah berakhirnya era negara
nasional di berbagai belahan dunia. Tuntutan itu menjadi suatu keharusan ketika
revolusi teknologi informasi membuka batas-batas wilayah kekuasaan politik
suatu negara. Pada saat demikian negara nasional kemudian dituntut untuk
memasuki tatanan politik mondial.[34]
Masalah demokrasi merupakan sesuatu yang selalu aktual
untuk dibicarakan karena demokrasi selalu dipahami dan dijalankan sesuai dengan
konteks perubahan sosial dalam masyarakat dan Negara. Di Indonesia masalah
demokrasi masih merupakan satu agenda politik yang selalu perlu diangkat ke
atas permukaan karena di dalam kenyataannya wajah demokrasi Indonesia masih
sering diperdebatkan apakah demokrasi yang sekarang ini merupakan sesuatu yang
dapat diterima atau memang masih harus diperjuangkan agar nilai-nilai demokrasi
yang diyakini bermakna universal dapat diwujudkan dengan lebih kongkrit lagi
dalam kehidupan politik Indonesia .[35]
Demokratisasi merupakan tuntutan terhadap pemberdayaan
rakyat dalam pemerintahan dan politik yang semakin marak disuarakan oleh rakyat
diseluruh dunia. Demokratisasi belakangan ini berlangsung dalam konteks
globalisasi yang menyentuh aspek-aspek kehidupan manusia yang paling penting
yang mencerminkan sifat kosmopolitan kedua tema yaitu kehidupan sehari-hari dan
Negara dalam kehidupan dewasa ini.[36]
Di Indonesia demokratisasi ini terjadi sebagai sebuah
peristiwa mendadak karena paksaan keadaan. Ia dijalankan tanpa ada kesiapan
dari para pelaku politik untuk membangun sikap saling percaya. Kata demokratisasi pun menjadi mencemaskan.
Perubahan memang berjalan sangat cepat. Namun, kearifan setiap pelaku yang
terlibat di dalamnya tidak terbangun secepat jalannya perubahan. Tak heran bila
akhirnya yang muncul adalah ancaman disintegrasi, baik vertikal maupun
horisontal.
Dalam
menjalankan pemerintahan, Bangsa Indonesia telah mengalami beberapa
siklus dalam kehidupan bernegara. Siklus pertama yaitu siklus pancaroba yang
berlangsung selama dua dasawarsa sejak proklamasi, pada periode ini diwarnai
dengan intrik dan pertentangan yang pada hakekatnya tidak lebih daripada
perbenturan egoisme pribadi dan golongan.
Siklus
yang kedua adalah yang punya ciri utama tentang penekanan yang amat berat pada
satu sisi kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu hanya sisi pembangunan
ekonomi semata. Oleh karena itu siklus ini telah menyebabkan tertundanya
pembangunan bangsa (delayed nation building).[37]
Proses
demokratisasi, menurut Eep, dengan dasar elaborasi teori Samuel Huntington, serta
Guillermo o'Donnel dan Phillip Schmitter, berjalan melalui empat tahap.
Pertama, yang disebut pratransisi, berjalan sebelum rezim otoriter runtuh.
Tahap ini ditandai varian resistensi rakyat terhadap rezim semakin kuat, rezim
mengalami perpecahan internal, militer mengalami disorientasi politik, dan
terakhir rezim menghadapi krisis ekonomi dan politik yang makin tak terkelola.
Kedua
disebut liberalisasi politik awal. Ini ditandai dengan jatuhnya rezim lama,
redefinisi hak-hak politik rakyat, terjadinya ketidaktertataan pemerintahan,
ketidakpastian berkesinambungan di pelbagai bidang kehidupan, dan terjadinya
ledakan partisipasi politik rakyat. Tahap ini biasanya ditutup dengan pemilu
yang relatif demokratis dan pergantian pemerintahan.
Tahap
ketiga adalah transisi. Ini berlangsung setelah muncul pemerintahan baru
yang bekerja dengan legitimasi memadai. Pemerintahan baru inilah yang menata
kembali seluruh infrastruktur dan suprastruktur penyokong sistem politik,
ekonomi, sosial, dan budaya guna menutup peluang siapa pun untuk menjadi
diktator. Pemerintahan baru juga berusaha menjadi preseden moral bagi perbaikan
mentalitas dan tabiat masyarakat yang menyeleweng dan korup.
Keempat, konsolidasi demokrasi. Tahap ini ditandai
dengan tampilnya orang-orang baru yang bersih dalam pemerintahan, amandemen
konstitusi, partai politik, dan parlemen yang bekerja relatif demokratis. Selain
itu, pemilu berikutnya terselenggara secara demokratis, sehingga menghasilkan
pemerintahan yang basis legitimasinya makin kukuh. Tahap ini biasanya
berlangsung lama karena harus menghasilkan pembenahan pola pikir (paradigma)
dan perilaku menyimpang masyarakat. [38]
[1] C.S.T.
Kansil, Sistem Pemerintahan, hlm. 36-38. Lihat juga Inu Kencana, Sistem
Pemerintahan, hlm. 93-97.
[2] Maksun,
”Islam dan Gagasan Oposisi Loyal”, http://www.suaramerdeka.com/harian/
0405/14/opi3.htm, Akses 11 Agustus 2004.
[3] Syam
Kalilauw, “Menguatkan Empat Pilar Demokrasi” http://www.balipost.co.id/
balipostcetak/2004/4/30/p5.htm., Akses 13 September 2004.
[4]
Sulastomo, “Kabinet Presidensial, hlm. 5.
[5] Padmo
Wahjono, Indonesia
Negara Berdasarkan atas Hukum, cet. ke-2, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986),
hlm. 71.
[6]
Sulastomo “Kabinet Presidensial, hlm. 5.
[7] Ibid.
[8]
Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm.
89.
[9] Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin (1959 – 1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 198.
[10]
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan, hlm. 31. Lihat juga Toto
Pandoyo, Ulasan Terhadap, hlm. 126.
[11] Ibid.
[12]
Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap,
hlm. 126.
[13] Ibid.
[15] Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap, hlm.
131.
[16]
Inu Kencana Syafi’i, Sistem Politik, hlm. 38.
[17] Abdul
Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia (Jakarta: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1988), hlm. 16.
[18] Ibid.
hlm. 15.
[19] Ibid.
hlm. 16.
[20]
S. Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap, hlm. 132.
[21]
C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan, hlm. 245.
[22] Ibid.,
hlm. 246.
[23] “Kita Tidak Mengenal Oposisi” Berita
Nasional, (28 Juni 1977), dalam Widodo, Gejala, hlm. 11
[24] Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik, hlm. 196.
[25] Eep
Saefullah Fatah, Membangun Oposisi, hlm. Xiii.
[26]
Maksun, ”Islam dan Gagasan Oposisi Loyal”, http://www.suaramerdeka.com/harian/
0405/14/opi3.htm, Akses 11 Agustus
2004.
[27] Eep
Saefullah Fatah, Membangun Oposisi, hlm.11-12
[28] A Khoirul Anam, Potensi NU Menjadi
Oposisi, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/18/opini/1030021.htm,
Selasa, 18 Mei 2004
[29] Riza
Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 63-84.
[30]
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, alih bahasa Setiawan Abadi,
cet. ke-4 (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 136
[31]
Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara, (Magelang: Indonesiatera, 2004),
hlm. 21.
[32] Ibid,
hlm. 74.
[33]
Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 213.
[34] Abdul
Munir Mulkhan, Teologi kebudayaan dan Demokrasi Modernitas (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 48.
[35] Afan
Gafar, “Islam dan Demokrasi: Pengalaman Empirik yang Terbatas” dalam Bernard
Lewis, et. al., Liberalisme Demokrasi : Membangun Sinerji Warisan
Sejarah, Doktrin dan Konteks Global (Jakarta :
Paramadina, 2002), hlm. 115.
[36]
John L. Esposito, Demokrasi di Negara-Negara, Hlm. 12.
[37] Nurkholish
Madjid, “Pendidikan untuk Demokrasi”, Jurnal Universitas Paramadina Vol.
1 No. 3 (Mei 2002), hlm. 280-281.
[38]
Eep Saefullah Fatah, Membangun Oposisi,
hlm. xxi – xxiii
0 Response to "Sistem Oposisi dalam Pemerintahan Indonesia"
Post a Comment