Muhammad Iqbal dan Rekonstruksi Pemikiran Islam
Muhammad Iqbal dan Rekonstruksi Pemikiran Islam | Muhammad Iqbal lahir sialkot punjab india pada tanggal 9 November 1877, Tetapi ia Sendiri mengaku lahir pada tanggal 2 Zulqo’dah 1294 H./1976
EPISTIMOLOGI
DALAM TASAWUF IQBAL
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punyab - sekarang termasuk wilayah Pakistan
- pada tanggal 9 november 1877[1],
tetapi ia sendiri mengaku lahir pada tanggal 2 Zulqo’dah 1294 H./1976 M. Iqbal
adalah keturunan dari Kasymir[2].
Kakeknya, entah yang ke berapa, Bab Lol Haj lah yang memeluk agama Islam.
Kakeknya bernama Syeikh Muhammad Rofiq. Ayahnya bernama Nur Muhammad. Ibunya
bernama Imam Bibi.
Pendidikan formal Iqbal di mulai di Scottish Mission School di Sialkot . Pada tahun 1895
dan di usianya yang ke 10[3] ia
telah lulus dan melanjutkan ke Lahore
pada Government College . Pada tahun 1897 ia mendapat
gelar B. A. (Bachelor of Arts). Di Goverment College Iqbal mendapat bimbingan
filsafat islam dari seorang orientalis yang bernama Thomas Arnold. Pada tahun
1905 iqbal melanjutkan studi ke Jerman pada universitas Munich . Serta di lanjutkan lagi di school of Political Science . Karir Iqbal yang
paling menonjol adalah sebagai penyair, praktisi, dan pemikir. Di dalam
karirnya Iqbal menjalani kehidupan sebagai praktisi dalam tiga hal, pendidikan,
advokasi, dan politik.
BAB
II
EPISTIMOLOGI
MUHAMMAD IQBAL
Epistimologi adalah cabang dari
filsafat yang menyelidiki sumber-sumber serta kebenaran pengetahuan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kritik kritik Iqbal terhadap berbagai
aliran filsafat dan tasawuf, seperti: idealisme, realisme, rasionalisme, hegelianisme,
dan mistikisme, yang kesemuanya itu sangat bertentangan dengan epistimologi Muhammad
Iqbal.
a. Idealisme, adalah aliran
filsafat yang menyatakan bahwa realitas yang sebenarnya itu terdiri atas ide-
ide, pemikiran, akal, atau jiwa yang berbeda dari benda.[4]tokoh
idealisme diantaranya adalah plato, yang memiliki pendapat bahwa tangkapan
panca indera tidak menghasilkan pengetahuan yang sebenarnya kecuali hanya
menghasilkan pendapat yang berubah ubah. Di lain sisi, Iqbal tidak menerima
pendapat dari plato. Katanya pendapatnya tidak qur'anik. Dalam al qur'an,
pendengaran dan penglihatan sebagai anugerah ilahi yang sangat berharga dan
dinyatakan sebagai yang bertanggung jawab kepada tuhan dalam segala
kegiatannya. Komentar Iqbal ini dapat dibenarkan dalam al-Qur'an surat Yasin (36) ayat 65.
bahwa tangan dan kaki manusia mempertanggungjawabkan perbuatannya, sementara
mulut terkunci rapat. Secara logis bahwa apa yang ditangkap oleh panca indera
mengandung kebenaran yang objektif.
b.
Realisme
Realisme adalah anggapan bahwa benda-benda yang kita rasakan dengan
indera kita itu ada, tanpa bersandar pada pikiran kita, atau walaupun kita
tidak menyadarinya sebagaimana terhadap kaum idealisme, Iqbal menyatakan
kritiknya bahwa kaum realisme jauh dari kebenaran teori pengetahuan. Kesimpulan
Iqbal bahwa realisme mengandung kontradiksi[5].
c.
Rasionalisme
Rasiomalisme Islam berbeda dengan barat. Aliran ini berpendapat bahwa
penggunaan prosedur tertentu dari akal saja dapat menentukan pengetahuan yang
tak mungkin salah. Sedangkan rasionalisme dalam islam biasanya menunjuk pada
aliran teologi yang paling banyak menggunakan rasio. Iqbal mengartikan
rasionalistis secara longgar. Maksudnya "pikiran sepenuhnya rasional dan
tak bertalian dengan indera"[6].
d.
Mistikisme
Mistikisme adalah suatu tipe dalam agama yang menekankan adanya hubungan
langsung dengan Tuhan.[7]
Dalam Islam, mistikisme mengambil bentuk sufisme. Kaum sufi menutup indera dan
akal mereka untuk melatih intuisi dan merefleksikan penghayatan
agama dengan memutar tasbih. Kritik iqbal terhadap kaum sufi dapat dibenarkan.
Secara tekstual alam al qur'an surat
Al isra' (17) ayat 44 sesuai dengan pernyataan Iqbal bahwa mineral, tetumbuhan,
dan binatang melakukan tasbih dan sujud kepada Allah. Hanya manusia
tidak dapat mengetahui bagaimana mereka itu melakukan tasbih.
e.
Hegelianisme
Hegelianisme adalah aliran filsafat yang didirikan oleh
Hegel, yang merupakan perpaduan filsafat idealisme, agama Kristen, paham
politik monarki, dan kultur borjuis. Metode yang digunakan adalah dialektik yaitu, kontradiksi dan hal- hal yang berlawanan dipertemukan dan disintesiskan.
Dalam perkembangannya, filsafat hegelianisme terpecah menjadi dua bagian,
hegelianisme sayap kanan dan hegelianisme sayap kiri.
Sosialisme Marx, oleh Iqbal disebut sebagai sosialisme modern
yang ateistik dan berakar dari hegelianisme sayap kiri, kemudian Iqbal
menyatukannya dengan paham nasionalisme dan mistikisme abad pertengahan yang sebenarnya
tidak menolak agama tetapi pendapat Iqbal bahwa sosialisme ateistik jelas-jelas
menolak agama.
Sumber Ilmu
Salah satu wujud kedekatan Iqbal pada
agama dan al- Qur’an adalah konsepnya tentang sumber ilmu. Untuk lebih
jelasnya, Iqbal menjelaskan masing- masing ilmu sebagai berikut :
a.
Afaq (alam semesta)
Iqbal mengindikasikan world sebagai
sesuatu yang lahir. World di bedakan dari diri (anfus), artinya
world sebagai sesuatu yang berada di luar dan berhadapan dengan diri. Ia
memberikan contoh afaq pada benda- benda angkasa seperti bumi, bulan,
dan matahari. Karena itu, tidak salah kalau world di pahami sebagai nature (afaq).
b.
Anfus ( Ego/Diri)
Yang di maksud anfus oleh Iqbal
adalah manusia yang merupakan kesatuan jiwa-badan.[8]
Dan struktur wujud itu merupakan realisasi dan sesuatu yang bersifat spiritual.
Karena di dalam diri manusia terdapat tiga potensi epistimologis, yaitu:
serapan panca-indera, kekuaten akal dan intuisi.
c.
Sejarah
Menurut Iqbal, sejarah adalah gramafon
besar yang di dalam nya suara bangsa-bangsa di simpan. Definisi tersebut dapat
di pahami bahwa sejarah adalah rekaman masa lalu dari kehidupan masyarakat
Menurut Iqbal, cara mengambil ilmu dari
sumbernya, khususnya yang berasal dari alam semesta (afaq) adalah dengan
serapan panca-indera setelah mendapat ilham. Hal ini mutlak bahwa penerima ilham adalah intuisi – yang dalam peristilahan Iqbal di sebut fuad, qalb, heart, atau
insight.
BAB III
Metafisika Tasawuf Iqbal
Ajaran tasawuf secara komprehensif terdiri dari empat bagian, yaitu: metafisika,
kosmologi, psikologi, dan harapan eskatologi. Ajaran metafisika melukiskan
kodrat kenyataan, ketunggalan hakekat Illahi, alamat- alamat dari yang hakiki
dan kodrat manusia. Dalam Ajaran kosmologi tidak dibahas secara detail fisika
atau kimiawi, tetapi hanya membahas tentang alam keseluruhan dengan tujuan
penjelajahan yang akhirnya di miliki. Ajaran psikologi memuat penyembuhan sakit
jiwa secara lengkap dalam perjalanan batini, jiwa menuju pusatnya sendiri untuk
selanjutnya menuju penyucian diri dan surga. Dan ajaran eskatologi mengandung
petunjuk perjalanan menuju pada tingkatan hidup lain untuk mendapatkan keluasan
hidup di balik kehidupan empiris dunia fisika ini.
The
Liang Gie menghimpun persoalan-persoalan metafisika ada 19 macam. Di antaranya:
diri, ruang, barang fisik dan tuhan. Oleh sebab itu di dalam membahas
metafisika tasawuf Iqbal dalam tulisan ini memakai peristilahan dan sub
sistematika: dunia materi, waktu, ruang, manusia, dan Tuhan.
Puncak Tasawuf Muhammad Iqbal
Konsep insan kamil memang membaku menjadi
falsafah ahli tasawuf. Lagi- lagi orientasi tentang manusia sempurna secara
detail terdapat perbedaan di sana-
sini, baik bentuk persatuannya dengan Tuhan, hakekat orang yang bersatu, maupun
fungsinya sebagai manusia sempurna. Akan tetapi berdasarkan pada telaah corak insane kamil secara garis besar di bedakan menjadi dua jenis, yaitu;
corak transendentalisme dan unionisme.[9]
Dan posisi insane kamil versi Iqbal adalah transendentalisme, yakni ada
perbedaan tajam antara manusia dengan Tuhan-khalik dan makhluk.
Ciri-ciri insan kamil:
1.
Manusia yang telah dilengkapi oleh
Tuhan dengan berbagai macam indera.
2.
Manusia adalah teman kerja Tuhan
di bumi ini.[10]
3.
Iradah manusia utama adalah
seiradah Tuhan
4.
Ilmu dan kekuatan Tuhan menjadi
kembar dengan ilmu dan kekuasaan manusia utama.
5.
Insan kamil adalah orang yang tak
terkendalikan qada’ dan qadar, melainkan mampu mengarahkannya
kemana harus terjadi.
Indikasi Hubungan Langsung dan Pembuktian Rasionalistik
Kelaziman seorang mistikus, jika telah
sampai pada tataran tertinggi yaitu komunikasi langsung dengan Tuhan tidak
menjelaskan bagaimana cirri-cirinya, bagaimana cara mendeskripsikannya ke dalam
bahasa yang logis, serta mencari analog- analog dengan pengalaman sehari- hari.
Tentu saja akan kelihatan ganjil oleh telinga- telinga siapa saja yang belum
pernah memperoleh pencerahan rohani maupun mengerti disiplin ilmu tasawuf
dengan baik.
Sebagai seorang sufi, Iqbal sadar akan hal
itu. Karenanya ia melakukan hal yang belum pernah di lakukan orang, yaitu
menjelaskan cirri- cirri pengalaman mistik secara lugas dan disertai
argumen-argumen analogis yang sulit di bantah. Ciri- cirri yang di maksud
adalah:
1. Pengalaman mistik berjalan secara
langsung seperti halnya pengalaman- pengalaman terhadap obyek lainnya. Seseorang
mengenal Tuhan itu persis seperti mengenal obyek- obyek lain.
2.
Totalitas pengalaman mistik tak
dapat di uraikan.
3. pengalaman mistik merupakan saat
penggabungan yang intim sekali dengan Yang Maha menyeluruh. Artinya yang
mengalami penggabungan tidak fanak.
4.
Hubungan langsung dengan tuhan
lebih bersifat perasaan.
5. Hubungan manusia dengan Tuhan yang
mengesankan tidak ada perlangsungan waktu itu sebenarnya bukan merupakan saat
pemutusan total dengan perlangsungan waktu. Karena hubungan ini sejenak, lalu
kembali kepada pengalaman normal.
Situasi manusia tidaklah final. Untuk
mencapai hubungan yang mesra dengan kebenaran mutlak, pikiran harus tegak lebih
tinggi lagi dan untuk mendapatkan kepuasan dalam suatu sikap kesadaran yang
oleh agama disebut tindak sembahyang.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hussain, Shahid "Iqbal's
concept of personal identity" dalam Mohammed Maruf (ed), contributions to
iqbal's thought, Lahore :
islemic book service, 1977.
2. Nasution, Harun,
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1978..
3. simuh; “Konsepsi
tentang Insan Kamil dalam Tasawuf” dalam Al Jami’ah, XXVI 1981.
4. Jamil, yusuf, Iqbal
tentang Tuhan dan Keindahan, Bandung : Mizan, 1984.
5. Danusri,
Epistimologi dalam tasawuf iqbal, yogyakarta: pestaka pelajar, 1996.
6. Kattsoff, Louis
O, pengantar filsafat, yogyakarta: tiara wacana, 2004.
[2] Lihat: Schimmel, loc. Cit.
[3] Lihat: Syaukat Ali, op. cit., hlm. 2;
Abul Hasan op. cit., hlm. 14
[4] Lihat: Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan
Richard T. Nolan, Living Issues in Philosophy (New York: D. Van Nostrand
Company, 1979), hlm. 431.
[7] Lihat: Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 56
[8] Lihat: Shahid Hussain, “Iqbal’s Concept
Personal Identity”, dalam Mohammed Maruf (ed.), Contributions to Iqbal’s
Thoght (Lahore: Islamic Book service, 1977), hlm. 43.
[9] Lihat: simuh; “Konsepsi tentang Insan Kamil
dalam Tasawuf” dalam Al Jami’ah, XXVI (1981), hlm. 58
[10] Lihat: M. M. Syarif, About Iqbal and His
Thougt, di terjemahkan oleh Yusuf Jamil dengan judul Iqbal tentang Tuhan
dan Keindahan (Bandung Mizan, 1984), hlm. 129.
0 Response to "Muhammad Iqbal dan Rekonstruksi Pemikiran Islam"
Post a Comment