Makalah Pembahasan Model Pembelajaran Self Regulated Learning
PEMBAHASAN MODEL PEMBELAJARAN
SELF REGULATED LEARNING
Kata self-regulated
learning secara harfiah diartikan sebagai belajar yang dikelola/diatur oleh
diri sendiri. Kata ini terdiri dari dua unsur, yaitu self-regulation dan
learning. Menurut Markus & Wurf, self-regulation
merupakan suatu konsep
dalam psikologi yang berkenaan dengan proses kontrol dan pengarahan tindakan (Fiske dan Taylor, 1991).
Konsep ini muncul dari tradisi klinis, yang menganggap individu berperan aktif dalam mendesain perilaku-perilaku untuk mengeliminir pola-pola berpikir dan berperilaku yang disfungsional, maupun dari tema-tema umum psikologi, yang menganggap bahwa setiap perilaku itu memiliki orientasi tujuan. Self-regulation melibatkan penetapan tujuan, persiapan-persiapan kognitif dalam berperilaku ke arah tujuan serta pemantauan dan evaluasi terhadap perilaku bertujuan tersebut (Fiske dan Taylor, 1991).
Konsep ini muncul dari tradisi klinis, yang menganggap individu berperan aktif dalam mendesain perilaku-perilaku untuk mengeliminir pola-pola berpikir dan berperilaku yang disfungsional, maupun dari tema-tema umum psikologi, yang menganggap bahwa setiap perilaku itu memiliki orientasi tujuan. Self-regulation melibatkan penetapan tujuan, persiapan-persiapan kognitif dalam berperilaku ke arah tujuan serta pemantauan dan evaluasi terhadap perilaku bertujuan tersebut (Fiske dan Taylor, 1991).
Self-regulation dalam belajar berarti kemampuan pembelajar untuk memahami dan mengontrol belajarnya (Zimmerman, dalam Mitiadou, 2003). Corno dan Mandinach (dalam Purwanto, 2000) mendefinisikannya sebagai upaya individu dalam melaksanakan aktivitas belajar dengan melibatkan proses metakognisi (mencakup perencanaan dan pemantauan) dan afeksi yang di milikinya. Self-regulated learning terjadi manakala pembelajar berpartisipasi aktif dalam proses belajarnya dari sudut metakognisi, motivasi, maupun perilaku (Zimmerman, 1989). Ia tidak bertumpu pada pengajar, orang tua, maupun agen-agen institusi lainnya dalam memunculkan dan mengarahkan perilakunya. Secara khusus, self-regulated learning melibatkan strategi-strategi tertentu dalam mencapai tujuan belajar atas dasar persepsi self-efficacy (Zimmerman, 1989). Schunk menggarisbawahi. pentingnya mengembangkan dan mempertahankan keyakinan-keyakinan positif dengan kapabilitas belajar dan antisipasi hasil belajar disamping pengelolaan perilaku dan kognisi secara sistematis dalam definisinya tentang self-regulated learning (Ajisuksmo, 1996). Menurut Schunk & Zimmerman (dalam Purwanto, 2000), self-regulated learning bukanlah semacam kemampuan mental atau keterampilan akademis, namun suatu proses pengarahan dan self-instruction untuk mentransformasikan kemampuan mental menjadi keterampilan akademis.
Berdasarkan
definisi-definisi diatas, self-regulated learning diartikan sebagai
kegiatan pengelolaan belajar secara aktif dan mandiri dari sudut motivasi, metakognisi, maupun perilaku
oleh individu itu sendiri untuk mencapai tujuan belajarnya.
B. Karakteristik Self-Regulated Learning
Menurut Harris & Graham, individu yang mengelola perilaku belajarnya (self-regulated
learner) menunjukkan kebiasaan-kebiasaan belajar yang adaptif dalam karir akademiknya. Individu demikian memiliki tujuan belajar
yang jelas dan mandiri dalam membuat perencanaan, mengatur dirinya dan
melakukan evaluasi dalam rangka mencapai tujuan yang dibuatnya dalam belajar
(Purwanto, 2000). Simon, Biggs, dan Zimmerman & Schunk menunjukkan sejumlah kemampuan yang
dimiliki oleh individu tersebut (dalam Purwanto, 2000), yaitu kemampuan untuk :
a. Mempersiapkan
aktivitas belajarnya.
b. Mengambil
langkah-langkah dalam belajar.
c. Mengatur aktivitas
belajarnya.
d. Melakukan
pertimbangan dan menyediakan umpan balik.
e. Mempertahankan
motivasi belajar agar tetap tinggi.
Purdie, Hattie,
& Douglas (1996) menyatakan bahwa self- regulated learner memiliki strategi dan tekun dalam belajar. Mereka memiliki kemampuan untuk
mengevaluasi kemajuannya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkannya lalu
menyesuaikan perilaku selanjutnya menurut evaluasinya. Ia juga menghasilkan dan
mengarahkan pengalaman-pengalaman belajarnya ketimbang berperilaku mengikuti
kontrol eksternal. Jadi, perilaku belajarnya sistematis, terarah, namun tetap
luwes. Manakala menghadapi rintangan akademis, mereka mampu memotivasi diri
mereka agar tetap terfokus pada tugas. Wolters (2003) menyimpulkan ciri-ciri self-
regulated learner sebagai berikut: pertama, ia memiliki pengetahuan atau
keterampilan tentang strategi kognitif; kedua, memiliki keterampilan
metakognitif, yaitu pengetahuan tentang proses berpikir dan belajar serta
strategi monitor dan kontrol aspek-aspek belajarnya; ketiga, ia menunjukkan
keyakinan-keyakinan dan sikap motivasi awal yang adaptif yang mencakup taraf self-efficacy
yang tinggi dan berorientasi pada tujuan belajar tuntas (mastery learning).
Secara umum, self-regulated
learner menjalankan kegiatan belajarnya secara sistematis lewat penetapan
tujuan, perencanaan, pengorganisasian langkah-langkah, yang dilanjutkan dengan
pemantauan dan evaluasi hasil yang dicapainya serta senantiasa memotivasi
dirinya agar tekun dalam belajar hingga tujuannya tercapai.
C. Aspek-Aspek Dalam Self-Regulated Learning.
Terdapat
sejumlah pendapat tentang aspek-aspek apa sajakah yang terkandung di dalam self-regulated
learning. Sleight (1997) menyebut lima aspek dalam self-regulated
learning, yaitu: a) motivasi, b) metakognisi, c) epistemic beliefs,
d) strategi belajar, dan e) pengetahuan yang dimiliki.
Menurut Vermunt
(dalam Ajisuksmo, 1996) yang menjadi komponen pembentuk self-regulated learning
adalah:
a. Keterampilan
pemprosesan cara siswa memproses muatan pelajaran.
b. Keterampilan
pengelolaan, yaitu mengorganisasikan dan mengelola kegiatan-kegiatan
pemrosesnya.
c. Konsepsi belajar,
yaitu keseluruhan ranah tujuan-tujuan niat, motif, harapan, sikap, kepedulian
dan keraguan siswa yang bersifat pribadi dalam mengikuti suatu pendidikan untuk
mata pelajaran.
Pintrich & De Groot (1990) menunjukkan bahwa self-regulated learning mencakup komponen strategi kognitif dan
metakognitif, pengelolaan dan kontrol sumber daya belajar, serta motivasi.
Ketiga aspek tersebut diukur oleh skala yang disusunnya, yaitu Motivated
Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ).
Pintrich & De Groot (1990) memaparkan ketiga komponen
itu lebih lanjut. Pada aspek pertama, pembelajar yang menerapkan strategi
kognitif dan metakognitif merencanakan, mengorganisasikan, menginstruksi, dan
mengevaluasi diri sendiri pada berbagai tahapan belajar. Ini menggunakan
strategi kognitif, seperti rehearsal, elaboration, organization,
dan critical thinking, serta strategi metakognitif, seperti perencanaan,
pemantauan, dan pengelolaan. Pada aspek yang kedua, pembelajar mengelola dan
mengontrol waktu dan lingkungan belajarnya, memantau usahanya, belajar bersama
dengan teman, dan mencari bantuan dan dukungan dari teman dan instruktur. Pada
aspek yang ketiga, pembelajar yang termotivasi mempersepsi dirinya memiliki self-efficacy
dan berorientasi kepada tujuan. Motivasi ini mengandung unsur nilai, unsur
harapan, dan unsur afektif.
Berbagai
pendapat tentang komponen self-regulated learning tersebut secara umum
dapat dipetakan ke dalam tiga aspek. Zimmerman (1989) menyebutkan ketiga aspek
itu: "Secara umum, siswa-siswa dapat dianggap sebagai mengelola sendiri (self-regulated)
belajarnya sejauh berpartisipasi aktif dari segi metakognitif, motivasional dan
perilaku dalam proses belajarnya",
yaitu aspek metakognisi, motivasi, dan perilaku.
a.
Metakognisi
Metakognisi
merupakan kemampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasikan,
menginstruksikan diri, memantau, dan mengevaluasi dalam kegiatan belajar. Metakognisi berkenaan dengan komponen eksekutif, atau
pelaksana, learning to learn. Tanpa kemampuan ini, pembelajar akan sulit
memilih proses-proses yang tepat untuk dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan belajar
secara efektif (Weinstein & Stone, 1994).
Menurut Flavel,
metakognisi meliputi
pengetahuan seseorang tentang
dan pengaturan proses-proses kognitifnya. Pengetahuan tentang kognisi tersebut, menurut Schraw, meliputi informasi individu, pengetahuan tentang strategi-strategi, dan pengetahuan tentang kapan dan dimana menggunakan strategi yang dimiliki
(dalam Purwanto, 2000). Pengetahuan
ini berkembang sesuai usia dan pengetahuan pembelajar, sehingga relatif stabil (Flavel, dalam
Ajisuksmo, 1996). Adapun pengaturan
kognisi (atau regulasi
metakognitif), menurut Wolters,
berkenaan dengan mekanisme self-regulation, seperti pemeriksaan,
perencanaan, pemantauan, revisi dan evaluasi. Pengaturan kognisi bergantung
pada ciri pembelajar dan tugas sehingga bersifat tak stabil. Pengaturan kognisi ini merupakan aspek metakognisi
yang terpenting (Ajisuksmo, 1996).
Self-regulated
learner dari sisi
metakognitif ini membuat perencanaan, mengorganisasikan, memberi instruksi
kepada diri sendiri, melakukan evaluasi sendiri pada berbagai tahapan belajar
(Zimmerman dan Martinez-Pons, 1988). Kegiatan ini diwujudkan dengan
menggunakan strategi-strategi kognitif dan metakognitif. Strategi kognitif
berupa rehersal, elaboration, organization, dan critical
thinking. Sedang strategi/regulasi metakognitif mencakup perencanaan,
pemantauan, dan pengontrolan (Pintrich & De Groot, 1990). Penggunaan
strategi-strategi belajar kognitif tersebut tidak bersifat kaku tapi
disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, dan efektivitasnya akan dipantau
melalui regulasi metakognitif lewat umpan balik untuk memilih strategi yang
lebih tepat.
b. Motivasi
Motivasi
merupakan faktor yang krusial dalam self-regulated learning. Pembelajar yang memiliki keterampilan
dan strategi belajar belum tentu menerapkannya dalam belajar manakala dia tidak
terdorong untuk menggunakannya (Miltiadou, 2003). Secara
umum, motivasi meningkatkan taraf energi dan kegiatan individu, mengarahkan
individu ke arah tujuan tertentu (Elliott & Dweck, 1983), mempromosikan
inisiatif untuk melakukan kegiatan tertentu dan tekun dalam melakukannya
(Stipek, 1988) serta mempengaruhi strategi-strategi belajar dan proses-proses
kognitif yang digunakan individu (Eccles & Wigfield, 1985).
c.
Perilaku
Menurut Zimmerman & Martinez-Pons,
perilaku dalam self-regulated
learning adalah usaha individu untuk menyeleksi, menyusun, dan menciptakan
lingkungan sosial dan fisik yang mendukung kegiatan belajar (dalam
Purwanto, 2000). Individu pembelajar
yang melakukan self-regulated learning adalah yang mampu membangun
lingkungan belajar fisik dan sosialnya secara konstruktif. Individu tersebut
menyukai lingkungan belajar yang tenang dan nyaman serta mampu membangun
hubungan yang baik dengan rekan-rekan dan para pengajarnya yang akan dijadikan
sebagai salah satu sumber belajar.
Konsep perilaku
dalam self-regulated learning ini diwujudkan dalam bentuk pengelolaan dan kontrol terhadap sumber
daya belajar Dalam perilakunya, self-regulated learner harus mengelola dan mengatur waktu dan
lingkungan belajarnya, memantau usaha belajarnya, belajar bersama teman, dan mencari dukungan dari teman dan instruktur
(Pintrich & De Groot, 1990).
Kesimpulannya,
ada tiga aspek yang melandasi self-regulated learning, yaitu
metakognisi, motivasi, dan perilaku. Metakognisi mencakup perencanaan,
pengorganisasian, instruksi diri, pemantauan, dan evaluasi belajar. Motivasi
mencakup orientasi belajar intrinsik dan nilai tugas (faktor nilai), persepsi self-efficacy dan harapan akan kesuksesan (faktor expectancy), dan task-anxiety yang
rendah (faktor afeksi) Perilaku
meliputi pemilihan, penyusunan, dan penciptaan lingkungan sosial dan fisik yang
mendukung kegiatan belajar dengan cara mengontrol waktu dan lingkungan
belajar, memantau usaha, belajar bersama rekan, dan mencari bantuan dari rekan
dan instruktur.
Menurut konsepsi
sosial kognitif, self-regulated learning melibatkan faktor: personal,
lingkungan dan perilaku, yang beroperasi secara terpisah namun saling terkait (Zimmerman,
1989). Interaksi antara faktor
tersebut memberi kesempatan pada pembelajar untuk melakukan kontrol terhadap
belajarnya. Di samping itu juga menetapkan batasan pada pengarahan oleh diri
sendiri (Purdie dkk, 1996). Zimmerman
(1989) mengulas faktor tersebut
lebih lanjut sebagai berikut:
a. Pengaruh Personal
Pengaruh
personal adalah determinan yang bersumber dari diri pembelajar itu sendiri.
Pengaruh tersebut berupa:
1) Pengetahuan yang
dimiliki tentang strategi. Pengetahuan ini terbagi menjadi pengetahuan
deklaratif atau proposisional dan
pengetahuan prosedural. Pengetahuan
deklaratif tersusun sesuai dengan struktur verbal, sekuensial, dan hierarkhis
yang inheren. Adapun pengetahuan prosedural berkaitan dengan bentuk strategi
yang, jika disesuaikan dengan
tuntutan tugas, akan
memfasilitasi kinerja. Pengetahuan regulasi diri memiliki kualitas prosedural
yaitu bagaimana menggunakan strategi dan mencapai strategi yang dipilih
efektif.
2) Proses metakognitif.
Pada tataran umum proses ini berupa analisis tugas atau perencanaan untuk
menyeleksi dan mengubah strategi regulasi diri yang umum. Pada tataran yang spesifik,
proses metakognitifnya adalah proses kontrol perilaku yang menuntun kegiatan
perhatian, eksekusi, ketekunan dan pemantauan respon strategis dan non
strategis dalam konteks tertentu.
3) Tujuan-tujuan yang
ingin dicapai. Menurut Bandura (dalam Zimmerman,1989) strategi khusus yang
efektif dalam mencapai tujuan jangka panjang mencakup penetapan tujuan yang
tarafnya sedang dari segi spesifikasi kesukaran dan kedekatannya dengan waktu.
4) Keyakinan self-efficacy. Menurut Bandura (1986), self-efficacy
adalah persepsi individu tentang kapabilitasnya untuk mengorganisasikan dan
melaksanakan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencapai kinerja
keterampilan pada tugas tertentu.
Dari perspektif sosial kognitif, menurut Zimmerman, self-efficacy merupakan faktor personal yang memainkan peran sentral dalam self-regulated
learning karena persepsi pembelajar tentang kapabilitasnya akan mempengaruhi kinerjanya dalam tugas-tugas akademik. Pembelajar
yang memiliki taraf self-efficacy yang tinggi akan bekerja lebih keras dan
tekun pada tugas akademik mereka di tengah kesulitan dan kegagalan (Elliott
dkk, 1999). Persepsi self- efficacy yang tinggi berhubungan dengan
penggunaan strategi belajar yang lebih baik
dan pemantauan diri yang lebih akurat. Persepsi ini juga berkorelasi
dengan manipulasi dan pemilihan lingkungan belajar yang lebih kondusif
(Zimmerman, 1989).
b. Pengaruh Perilaku/Behavior
Maksudnya ialah pengaruh-pengaruh yang didorong oleh usaha untuk
menggunakan kemampuan. Zimmerman (1989) menyebut tiga kelompok perilaku self
regulated learning (sub prosesnya), yaitu:
1) Self-observation, berarti respon-respon siswa yang
melibatkan pemantauan sistematis terhadap kinerjanya. Pengamatan ini akan
memberi informasi tentang kemajuan yang telah dicapainya ke arah tujuannya.
Proses ini dipengaruhi oleh proses-proses personal seperti self-efficacy,
penetapan tujuan dan perencanaan metakognitif. Observasi diri dilakukan dengan
dua metode: reportase lisan atau tertulis dan pencatatan tindakan dan reaksi secara kuantitatif. Observasi yang
sistematis terhadap kemajuan belajar dapat
menumbuhkan efek-efek reaksi diri yang positif selama belajar.
2) Self-judgment, yang berarti respon-respon siswa yang
melibatkan komparasi sistematis atas kinerjanya dengan standar atau tujuan.
Proses ini bergantung pada proses personal seperti self-efficacy, goal
setting, pengetahuan/standar-standar maupun respon-respon yang diamati sendiri. Penilaian terhadap perilaku ini
dilakukan dengan jalan pengecekan prosedur dan dengan merating jawaban-jawaban
orang lain atau pada kertas jawaban.
3) Self-reaction, yang melibatkan proses-proses personal
dalam menyesuaikan diri dan rencana dalam belajar untuk mencapai tujuan atau
standar yang telah dibuat dan ditetapkan. Ada tiga macam strategi self-reaction:
a) Behavioral self-reaction, dimana pembelajar berusaha mengoptimalkan
respon-respon belajarnya yang
spesifik. Misalnya,
penggunaan strategi seperti kritik dan pujian terhadap diri sendiri.
b) Personal
self-reaction, dimana
pembelajar berusaha
memperkuat proses-proses individu mereka selama belajar. Seperti strategi
penetapan ulang tujuan terdekat atau rehearsing dan menghafal.
c) Environmental
self-reaction, dimana
pembelajar berusaha memperbaiki lingkungan belajar sesuai dengan kebutuhan.
Misalnya, menyusun lingkungan dan minta bantuan orang lain.
c. Pengaruh Lingkungan/ Environment
Menurut Bandura (dalam Zimmerman, 1989), peran lingkungan adalah tempat
individu melakukan kegiatan belajar dan menfasilitasi kegiatan belajar itu.
Pengaruh lingkungan ini bermacam-macam wujudnya. Diantaranya adalah pengalaman
sosial dan enactive experience.
Pengalaman sosial mencakup peniruan strategi regulasi diri yang efektif serta
persuasi verbal. Kombinasi kedua bentuk pengalaman sosial ini menjadi medium
yang kuat untuk mempelajari berbagai keterampilan kognitif, afektif dan
akademik. Enactive experience, menurut Bandura (1986), adalah metode yang paling berpengaruh untuk mengubah
persepsi self-efficacy pembelajar dan meningkatkan retensi pengetahuannya. Pengalaman ini akan
memotivasi pemilihan dan pelaksanaan strategi lebih lanjut. Pengaruh lingkungan
juga muncul dari dukungan sosial seperti bantuan langsung dari guru dan rekan
serta bentuk-bentuk informasi literatur dan simbolik lainnya. Terakhir ialah
struktur konteks belajar, seperti elemen-elemen semacam tugas dan situasi
akademik. Misalnya dengan meningkatkan taraf kesukaran tugas maupun mengubah
tempat belajar menjadi lebih tenang dan aman.
Gambar
1
Analisis
Triadik Self-Regulated Learning
(Sumber: Zimmerman, 1989, hal.330)
Pada behavioral self-regulation, penggunaan strategi
evaluasi diri memberi informasi tentang akurasi dan apakah strategi itu harus dilanjutkan lewat enactive
feedback. Secara timbal balik, hubungan kausal ini diawali dari person,
diimplementasikan lewat penggunaan strategi dan dikelola dengan pengukuhan
melalui persepsi self-efficacy.
Pada environmental self-regulation, lingkungan belajar dikontrol
melalui strategi manipulasi lingkungan secara aktif (mengatur tempat belajar
yang tenang untuk mengerjakan tugas) yang melibatkan respon seperti mengurangi
kebisingan, mengatur pencahayaan, mengatur tempat untuk menulis. Penggunaan
situasi belajar yang terstruktur ini secara kontinyu tergantung pada persepsi
efektifitasnya dalam mendukung proses belajar. Ini akan dijalankan secara
timbal balik lewat putaran umpan balik dari lingkungan.
Pada covert self-regulation, proses-proses personal yang
berlangsung secara samar dikontrol. Proses-proses metakognitif misalnya akan
mempengaruhi proses-proses personal lainnya seperti basis-basis pengetahuan
atau kondisi-kondisi afektif.
Selanjutnya menurut Bandura (dalam Zimmerman, 1989), kekuatan pengaruh
timbal-balik antara ketiga faktor determinan dalam self-regulated learning itu
tidaklah sama. Pengaruh-pengaruh lingkungan mungkin lebih dominan pada
konteks-konteks tertentu dibandingkan dengan pengaruh personal dan perilaku.
Misalnya, di dalam sekolah yang memiliki kurikulum yang sangat terstruktur, kegiatan
perencanaan dan self-rewarding mungkin terhambat. Namun di sekolah
alternatif, faktor personal maupun perilaku mungkin lebih dominan. Self-regulated
learning akan terjadi manakala pembelajar mampu mendayagunakan
proses-proses personalnya melalui strategi-strategi yang dibuatnya untuk
mengelola perilaku dan lingkungan belajarnya.
Kesimpulannya, ada tiga faktor determinan self-regulated learning,
yaitu faktor personal, faktor perilaku, dan faktor lingkungan. Faktor personal
terdiri dari pengetahuan tentang strategi, proses-proses metakognitif, dan
tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Faktor perilaku terdiri dari self-observation,
self-judgment, dan self-reaction. Faktor lingkungan mencakup
pengalaman sosial dan enactive
experience, dukungan sosial, dan struktur konteks
belajar.
Strategi merupakan salah satu elemen penting dalam self-regulated
learning disamping persepsi self-efficacy dan tujuan akademik (Zimmerman, 1989).
Menurut Weinstein & Stone (1994), strategi belajar dapat membedakan
pembelajar yang efektif dari pembelajar yang tidak efektif. Strategi belajar
adalah metode atau teknik yang digunakan individu untuk meningkatkan pemahaman,
belajar, penyimpanan dan pemunculan kembali informasi. Kirby (1984) membedakan strategi belajar dari
proses belajar. Proses belajar adalah kelompok fungsi-fungsi kognitif yang
terlibat dalam encoding, transformasi, dan penyimpanan informasi secara
aktual, sedangkan strategi belajar bertanggung jawab mengontrol dan merencanakan
penggunaan proses itu.
Presley dkk menyatakan bahwa strategi dalam belajar akademik ada yang bersifat spesifik, yang
bergantung pada konteks-konteks tugas tertentu, dan strategi umum, yang dapat
digunakan secara universal. (Zimmerman, 1989). Strategi yang bersifat spesifik
disebut strategi mikro, lebih berkenaan dengan pengetahuan dan kemampuan
tertentu, lebih dekat dengan kinerja, dan lebih responsif terhadap instruksi.
Strategi yang lebih umum disebut strategi makro, lebih terkait dengan perbedaan
kultural, dan lebih sulit diubah lewat instruksi (Biggs, 1984).
Strategi belajar juga dapat dikategorisasikan
menurut kedalamannya. Menurut Thomas & Bain, strategi belajar terbagi
menjadi surface strategy dan deep strategy. Surface strategy bersifat
dangkal, pasif, menekankan reproduksi pengetahuan dalam bentuk menghapal, sedangkan
deep strategy bersifat dalam, aktif, dan transformasional yang
melibatkan elaborasi dan proses-proses yang menghubungkan belajar lama dengan
belajar baru (dalam Ainley, 1993).
Efektivitas strategi belajar akan berbeda tergantung pola motivasinya. Dengan
kata lain, bagaimana pembelajar termotivasi akan menentukan strategi belajar
apa yang dipilihnya dan seberapa efektif strategi itu berjalan. Pembelajar yang
termotivasi akademik dan berprestasi tinggi memilih strategi dengan baik, yang
cenderung kongruen dengan pola motivasinya dan terkait dengan kinerjanya
(Biggs, 1984).
Di dalam kaitannya dengan self-regulated learning, strategi
merupakan tindakan-tindakan dan proses yang melibatkan perantara, maksud dan
persepsi instrumentalitas oleh pembelajar (Zimmerman, 1989). Menurut Bandura,
aplikasi strategi pada self-regulation akan memberikan pengetahuan yang
berharga tentang self-efficacy. Pengetahuan ini pada gilirannya dianggap
mempengaruhi seleksi dan pelaksanaan strategi selanjutnya (Zimmerman, 1989).
Suatu investigasi telah dilakukan oleh Zimmerman dan Martinez-Pons (dalam Zimmerman, 1989) untuk mengindentifikasi
strategi umum yang digunakan oleh pelajar dalam mengelola belajarnya atau meningkatkan
prestasi akademiknya. Melalui metode wawancara dengan siswa-siswa SMU yang
ditelitinya,
keduanya mengindentifikasi 14 macam strategi self-regulated learning.
Strategi-strategi tersebut ialah:
a. Self-evaluation, yaitu inisiatif pembelajar dalam mengevaluasi
kualitas atau kemajuan pekerjaan mereka.
b. Organizing dan transformation, yaitu
inisiatifnya dalam menyusun kembali bahan-bahan pelajaran secara jelas ataupun
samar untuk meningkatkan belajar.
c. Goal setting and
planning, yaitu penetapan
tujuan-tujuan atau subtujuan-tujuan pendidikan dan perencanaan dalam membuat
rangkaian, timing, dan penyelesaian kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengan tujuan-tujuan itu.
d. Information
seeking, yaitu
inisiatifnya dalam usaha memperoleh informasi tugas lebih lanjut dari
sumber-sumber non sosial sewaktu mengerjakan suatu tugas.
e. Note taking and
monitoring, yaitu
inisiatifnya dalam upaya mencatat peristiwa-peristiwa atau temuan-temuan.
f.
Environmental structuring, yaitu inisiatifnya dalam upaya memilih atau
mengatur lingkungan fisik agar belajar lebih mudah.
g. Self-consequating, yaitu pengaturan atau pembayangan atas
imbalan-imbalan atau hukuman-hukuman bagi kesuksesan atau kegagalan yang
dicapai.
h. Rehearsing dan memorizing, yaitu inisiatifnya
untuk menghafal bahan pelajaran lewat peraktek secara jelas atau samar.
i
– k. Social help seeking, yaitu
inisiatifnya dalam mendapat bantuan dari rekan sejawat (i), pengajar (j), dan
orang dewasa (k).
l
– m. Note reviewing, yaitu inisiatifnya
untuk membaca kembali catatan-catatan (l), ujian-ujian (m), atau buku-buku teks
(n) sebagai persiapan di kelas atau ujian kelak.
o. Perilaku belajar atas
inisiatif orang lain seperti guru atau orang tua, dan semua respon-respon
verbal yang tak jelas.
Penelitian
menunjukkan adanya korelasi penggunaan strategi-strategi self regulated
learning tersebut dengan prestasi akademik. Zimmerman dan Martinez-Pons (dalam Zimmerman, 1989)
menemukan bahwa siswa-siswa yang berprestasi tinggi melaporkan penggunaan 13
dari 14 strategi tadi. Penelitian selanjutnya (Zimmerman dan Martinez-Pons,
1988 dan 1990) mengkonfirmasi korelasi persepsi kemampuan bahasa dan matematika
siswa dengan penggunaan strategi-strategi tersebut.
Menurut
Zimmerman (1989), efektivitas ke-14 strategi self-regulated learning itu dapat dilihat
dari segi model triadik dimana strategi-strategi itu memperkuat ketiga komponen
triadik, yaitu:
a. Strategi semacam organizing
and transformation, rehearsing dan memorizing, serta goal
setting and planning meningkatkan kinerja personal siswa.
b. Strategi semacam self-evaluation
dan self-consequating meningkatkan kinerja perilaku akademik siswa.
Strategi
seperti enviromental structuring, information seeking, reviewing dan help seeking
mengoptimalkan lingkungan belajar siswa.
0 Response to "Makalah Pembahasan Model Pembelajaran Self Regulated Learning"
Post a Comment