ٍٍSyariat Islam Piagam Jakarta dalam Bingkai Sejarah
Syariat Islam Piagam Jakarta | Piagam Jakarta dan Syariat Islam|
SYARI’AT ISLAM DAN PIAGAM JAKARTA
A. Syari’at
Islam
Islam adalah agama yang
mengintegrasikan di dalamnya nilai-nilai abstrak, ditujukan sebagai panutan
manusia menjalani hidupnya menuju keselamatan dunia maupun akhirat. Setidaknya
inilah yang disepakati oleh semua umat
Islam.
Syari’at Islam merupakan nilai
universal yang inklusif, bertujuan untuk mewujudkan kehidupan adil, damai,
egaliter, dan demokratis. Dalam literatur ke-Islaman, ada beberapa tokoh yang
patut dijadikan rujukan untuk memaknai syari’at
Islam, misalnya Ibn al-Qoyim al-Jauji, al-Jurjani, syaikh Muh}ammad
Syalt}u>t, dan Gamal al-Banna[1]. Syari’at menurut ulama tersebut, adalah
pranata nilai yang multi dimensional yang menyangkut hubungan manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Syari’at merupakan
aturan yang sangat holistik dan komprehensif.
Perlu diingat
bahwa syari’at adalah pola hidup yang lengkap dan yang mencakup semua perintah
sosial yang jangkauannya tidak hanya mencakup dunia, tapi juga mencakup
akhirat. Syari’at membicarakan semua aspek kehidupan dan memberikan arah bagi
kehidupan. Jadi, syari’at merupakan kesatuan organik yang masing-masing
bagiannya tidak dapat dipisahkan. Untuk memfungsikan dengan berhasil maka
seluruh pola syari’at harus diterapkan ke dalam hidup manusia, dan karenanya
syari’at sendirilah yang akan memperlihatkan kebaikan-kebaikannya.
Nilai syari’at tidak akan dapat diukur dengan
mengambil sebagian darinya atau beberapa keputusan dengan menyampingkan hal
yang lain. Sayang sekali Negara-negara Islam tidak mempergunakan syari’at Islam
secara ka>ffah, tetapi menerapkan dalam kehidupan hanya sebagian kecil saja dari syari’ah
sambil berharap mendapatkan menfaat secara keseluruhan[2].
Di sini mereka gagal memahami nilai hakiki Syari’ah. Misalnya, ayat al-Qur’an “Mengenai Pencuri, laki-laki maupun
perempuan, di potong tangannya. “ yang sekilas memang nampak brutal, tetapi
akan dianggap sangat adil jika melihat latar belakang masyarakat Islam di mana
yang kaya membayar zakat, di mana kebutuhan hidup ditanggung negara, di mana
warga negara menikmati persamaan hak dan kesempatan, di mana penimbunan
kekayaan dan riba dilarang dan keamanan serta kemakmuran tersebar.
Berdasarkan argumen di atas, maka dalam
konteks ke-Indonesiaan, boleh
jadi penolakan terhadap syari’at Islam karena misunderstanding terhadap syari’at itu sendiri. Apa yang terjadi
saat ini adalah sesuatu yang sangat ironis di mana syari’at ditolak di negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
B. Lahirnya Piagam Jakarta.
1. Dikotomi Ideologis Islam dan Negara
Salah
satu masalah yang dihadapi negeri Islam dalam masa-masa pembentukan awalnya
adalah bagaimana mendudukkan agama dalam kehidupan bernegara. Menurut Deliar
Noor,[3]
Islam setidaknya meliputi dua aspek yaitu agama dan masyarakat atau politik.
Akan tetapi untuk mengartikulasikan kedua pokok tersebut dalam kehidupan nyata,
ternyata menjadi persoalan tersendiri.
Memang
umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi
mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia, seringkali dipandang sebagai lebih dari
sekedar agama. Beberapa kalangan bahkan menyatakan bahwa Islam juga dapat
dipandang sebagai agama dan negara.[4]
Namun artikulasinya pada tingkat praktis merupakan sesuatu yang problematis,
hal ini disebabkan ciri umum sebagian besar ajaran Islam memungkinkan multi
interpretasi sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
Sementara
itu hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia sendiri pada sebagian
babakan sejarahnya merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain.
Hubungan yang tidak harmonis ini terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan
para pendiri Republik ini mengenai Indonesia yang di cita-citakan. Salah satu butir terpenting
dalam perbedaan di atas adalah apakah negara bercorak Islam atau Nasionalis.[5] Konstruk kenegaraan pertama mengharuskan agar
Islam diakui dan diterima sebagai dasar negara. Sementara konstruk yang kedua
menghendaki agar Indonesia di dasarkan atas Pancasila, sebuah ideologi yang
telah di dekonfensionalisasi.
Menurut
Taufiq Abdullah, dasawarsa 1920-an sampai 1930-an merupakan dasawarsa ideologi
dalam sejarah modern Indonesia. Di masa-masa inilah berbagai jenis ideologi
berkembang yang kemudian akan berpengaruh dalam pertumbuhan keagamaan, hingga
akhirnya dasar ideologi perjuanganpun mulai diperdebatkan di kalangan kaum
pergerakan nasional.[6]
Ideologisasi ini mengakibatkan, makin diperjelasnya struktur-struktur
panji-panji Islam, sehingga perbedaan yang kemudian bersifat aliran ini
bertambah rumit karena adanya pengaruh ide yang bersumber dari Barat, seperti
Marxisme dan Nasionalisme sekuler. Kenyataannya kemudian adalah ideologisasi
semakin memperkokoh ikatan solidaritas, baik secara politis, kultural maupun
keagamaan. Ideologisasi ini makin memperjelas identifikasi diri dan integrasi
kelompok manakala terjadi pertarungan dalam struktur sosial.
Dalam
kondisi demikian, berkembangnya ideologi sekuler serta meningkatnya peranan
partai dan tokoh sekularis dalam melakukan artikulasi politik, secara mudah
akan menimbulkan kepekaan keagamaan dan ideologis di kalangan umat Islam.
Kenyataan ini dapat dipahami mengingat sebagian tokoh muslim seperti
Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hasan dan Mohammad Natsir adalah ideolog
modernis, universalis dan idealis.[7]
Mereka bukan saja meyakini akan keabadian ajaran Islam, tetapi juga
keberlakuannya secara total.
Dalam
menghadapi kekuasaan kolonial serta zending kristen, sikap kalangan
Muslim tegas, tidak kompromistis. Pemerintah kolonial dalam pandangan mereka
adalah pemerintahan orang kafir yang pada hakekatnya tidak sah di mata Islam. Oleh
karena itu mereka harus diusir dari tanah air Indonesia, sekalipun dengan cara
kekerasan. Sedangkan terhadap misi zending Kristen dianggap sebagai
lawan Islam. Berbeda ketika menghadapi kalangan nasionalis sekuler, mereka
sering terjebak dalam sikap mendua. Di satu sisi kalangan Islam harus melakukan kerjasama
dan membentuk ikatan solidaritas politik dengan kalangan nasionalis sekuler
dalam menghadapi pemerintah Belanda. Sementara disisi lain antara golongan
nasionalis dan golongan Islam terdapat perbedaan ideologi dasar perjuangan yang
cukup tajam, dan seringkali menciptakan konflik-konflik internal di kalangan
kelompok nasionalis tersebut.
2. Akar Dikotomi.
Berdirinya Republik Indonesia tahun 1945 merupakan
kulminasi perjuangan gerakan nasional Indonesia dan Revolusi anti-kolonial, dan
kelompok-kelompok sosial politik yang beragam bermunculan sepanjang
dekade-dekade ini. Kelompok ini merupakan hasil proses dialektis dalam Indonesia
abad dua puluh, sehingga mereka pada hakikatnya mewakili keragaman masyarakat
Indonesia.
Gerakan kebangsaan Indonesia (nasionalisme)
sebenarnya merupakan rumusan sintesis dua arus utama kesadaran kebangsaan yang
sedang mencari identitas dan sedang berusaha menampilkan alternatif atas
kolonialisme. Arus pertama berakar di kalangan priyayi dan Budi Utomo yang
mereka dirikan dengan tujuan utama bukan hanya mendorong pembentukan
sekolah-sekolah bagi kalangan pribumi (indonesia), tapi juga berkeinginan untuk
menghidupkan budaya Jawa pra-Islam.[8]
Arus kedua adalah gerakan massa Sarekat Islam yang memusatkan perhatiannya pada
bidang sosial dan dan ekonomi yang benar-benar menginginkan tumbuhnya kelas
menengah. Sebagai pengibar bendera Islam, gerakan tersebut menggunakan
simbol-simbol Islam dalam menghadirkan suatu paradigma bagi perjuangan melawan
kolonialisme Belanda.
Dua
arus utama tersebut kemudian berubah ke
dalam bentuk organisasi-organisasi sosial politik yang berbeda, namun pada
waktu munculnya kesadaran nasionalisme, mereka bahu membahu bagi kemerdekaan
Indonesia. Dan kelompok inilah yang pada dasarnya bersaing pada masa pasca
Revolusi bagi pembangunan -atau mungkin demi perkembangan organisasi mereka
sendiri- di negara Indonesia yang masih baru.
Sebagai
bentuk entitas politik modern, negara baru ini di konsepsikan oleh kelompok-kelompok
tersebut atas dasar ideoligi mereka masing-masing. Akibatnya, kelahiran negara
baru memberikan faktor pendorong bagi kompetisi politik yang lebih jauh, namun
ini baru terjadi ketika mereka mulai mencari sendiri gambaran masa depan dan
cara-cara artikulasinya sehingga dapat dijalankan dalam proses pembangunan
bangsa.[9]
Persaingan
yang amat menentukan tersebut pertama-tama berlangsung dalam perdebatan
ideologis pada Juni 1945, berkaitan dengan dasar dan konstitusi negara yang
akan didirikan. Beragamnya latar belakang Ideologi dan pemikiran di antara
anggota-anggota dalam badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), menyebabkan terjadinya kecenderungan dikotomi politik dalam
setiap pertemuan di BPUPKI, dan dikotomi ini terbagi ke dalam: faksi politik
Islam yang berjuang bagi berdirinya negara Islam versus konsep negara sekuler
dari faksi non politik Islam.
Yang
pertama terdiri dari umat Islam yang terlibat dalam berbagai organisasi sosial
politik Islam dan yang kedua adalah umat Islam yang berasal dari
organisasi non Islam dan juga dari
kelompok agama yang lain. Sejauh menyangkut hubungan Islam dan negara, keduanya
benar-benar mencerminkan dua perbedaan orientasi politik Islam dan non politik
Islam.
Pada awal 1940-an
polemik-polemik diatas berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme. Polemik
itu telah menyentuh masalah yang paling penting, yakni hubungan politik antara
Islam dan negara. Dalam periode ini,
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada tokoh yang begitu sering
terlibat dalam berbagai perdebatan kecuali Soekarno dan M. Natsir.
Soekarno pada dasarnya
mendukung pemisahan antara Islam dan negara. Akan tetapi Ia tidak menyatakan
dengan tegas bahwa sama sekali tidak boleh ada hubungan apapun antara keduanya.
Dia memang dengan tegas menentang pandangan mengenai hubungan formal-legal
antara Islam dan negara, khususnya dalam sebuah negara yang tidak semua
penduduknya beragama Islam. Baginya hubungan semacam itu hanya akan menimbulkan
perasaan terdiskriminasikan, khususnya dikalangan masyarakat non muslim[10]
Meskipun demikian, sebagai
seorang muslim, Soekarno menganut paham hubungan yang bersifat substansialistik
antara Islam dan Negara. Oleh
karena itu, bagi Soekarno otensitas sebuah negara Islam tidak pertama-tama
ditunjukkan oleh penerimaan formal atau legal Islam sebagai dasar ideologi dan
semangat Islam dalam kebijakan-kebijakan negara.
Karena alasan-alasan di atas dan didukung
oleh pemahaman teologisnya bahwa Islam ideal, pada dasarnya bersifat lentur,
rasional dan progresif. Soekarno juga mempercayai bahwa Islam tidak memiliki
preferensi politis yang siap pakai berkaitan dengan hubungan politiknya dengan
negara. Keyakinan yang secara tidak
langsung diambilnya dari karya, Ali bin Abd. Raziq dalam Isla>m wa ushu>l al hukm. Soekarno kemudian tampil sebagai pembela utama pemisahan negara dan
agama. Islam di Indonesia menurutnya tidak menjadi urusan negara.[11]
Bertolak belakang dengan
posisi Soekarno, Natsir menjadi pembela utama paham penyatuan Negara dan Agama.
Natsir sangat percaya akan watak holistik Islam. Ia amat mendukung H.A. R.
Gibb, yang menyatakan bahwa Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem
agama, Islam adalah suatu kebudayaan yang lengkap. Bagi Natsir, Islam tidak
hanya terdiri dari praktek-praktek ibadah, melainkan juga prinsip-prinsip umum
yang relevan untuk mengatur hubungan antara individu dan masyarakat.
Pertarungan ideologis antara kelompok Islam dan Nasionalis baru berlangsung
secara penuh dalam pertemuan-pertemuan BPUPKI, yang berlangsung antara akhir
Mei hingga pertengahan Agustus 1945. Dalam pertemuan ini kelompok Nasionalis
Islam menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam, atau dengan kata
lain Islam harus menjadi dasar ideologi negara. Sedangkan Kelompok Nasionalis
sekuler mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional, di mana
masalah-masalah negara harus dipisahkan dari masalah-masalah agama. Dalam pandangan kelompok nasionalis sekuler,
Indonesia dilihat dari agama yang dianut para penduduknya bukanlah homogen.
Meski demikian, kelompok ini tetap menegaskan bahwa negara yang demikian itu
tidak akan menjadi negara yang tidak relegius.[12]
Untuk
menjembatani berbagai perbedaan di antara kelompok Islam dan Nasionalis, sebuah
panitia kecil kemudian dibentuk. Terdiri dari Soekarno, Hatta, Ahmad Subarjo,
Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujono, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, A. Wahid
Hasyim dan A. A. Maramis.[13]
Panitia kecil itu akhirnya menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal
dengan sebutan Piagam Jakarta. Pada intinya, piagam ini mengesahkan Pancasila
sebagai dasar negara dengan penambahan bahwa sila Ketuhanannya dilengkapi
dengan “Kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa pembukaan UUD 1945, baru terumuskan secara final pada
tanggal 18 Agustus 1945. Walaupun demikian, UUD 1945 sebenarnya telah mengalami
proses yang panjang dan mengalami proses sejarah dari 1 juni 1945 sampai
tanggal 18 Agustus 1945. Pada tanggal 1 juni 1945 Soekarno yang mendapat
kesempatan berpidato di depan Sidang BPUPKI, menyampaikan pidatonya tentang
Pancasila. Pidato itulah yang memacu BPUPKI untuk menugaskan suatu Panitia
kecil yang terdiri dari 9 orang untuk mengembangkan berbagai usulan yang masuk
mengenai kemerdekaan Indonesia.[14]
Berdasarkan hasil kerja
Panitia kecil itu tersusunlah suatu naskah (Preambul) yang kemudian dianggap
sebagai suatu Gentle Aggreement di antara para
pendukung paham Nasionalisme dan Pendukung Islam. Kesepakatan inilah yang
kemudian diusulkan M. Yamin, yang kemudian disebut sebagai Djakarta Charter (
Piagam Jakarta ). Piagam Jakarta yang di dalamnya terdapat tujuh kata yang
diperdebatkan hingga kini yaitu “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”, yang bermula dari sidang BPUPKI tanggal 11 juli 1945,
di mana diceritakan wakil Kristen dari Indonesia Timur, Latuharhary, menggugat
kesepakatan soal tujuh kata tersebut. Ia menyatakan, kalimat semacam itu dapat
membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap adat istiadat masyarakat Indonesia
yang plural, oleh karena itu, harus dicari modus lain yang tidak membawa akibat
yang dapat mengacaukan rakyat.
Namun
Soekarno sebagai ketua Panitia Sembilan menolak keberatan Latuharhary, Soekarno
menegaskan barangkali tidak perlu diulangi bahwa Preambul tersebut adalah hasil
jerih payah untuk menghilangkan perselisihan paham antara golongan-golongan
yang di namakan golongan kebangsaan dengan golongan Islam. Dan manakala kalimat
tersebut tidak dimasukkan, Soekarno mengatakan pihak Islam tidak bisa menerima Preambul
ini, jadi perselisihan akan terjadi terus menerus.
Pendapat
Soekarno diperkuat oleh Wahid Hasyim yang menegaskan “jika masih ada yang kurang puas karena
seakan-akan terlalu tajam, saya katakan bahwa masih ada yang berpikir
sebaliknya. Bahkan ada yang menanyakan kepada saya, apakah dengan ketetapan
yang demikian itu orang Islam sudah boleh berjuang menyebarkan jiwanya untuk
negara yang kita cintai ini”.
Kemudian
Soekarno menegaskan lagi “ saya ulangi lagi bahwa ini suatu kompromis untuk
menyelesaikan kesulitan kita bersama”. Kompromis itupun terdapat setelah
keringat kita menetes. Dan sekiranya kalimat dengan didasarkan kepada ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah
jelas, maka sudah diterima oleh panitia-panitia tersebut.[15]
Dalam
risalah sidang BPUPKI disebutkan bahwa pada rapat tanggal 13 juli 1945, Wahid
Hasyim mengusulkan agar syarat Presiden ditambah dengan yang beragama Islam,
juga pada pasal 29 ditambahkan “ Agama negara adalah agama Islam” Bahkan pada
rapat tanggal 14 Juli 1945 Tokoh Muhammadiyah Ki Bagoes Hadi Kusumo mengusulkan
agar kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dicoret, dan menjadi hanya
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam akan tetapi usulan
tersebut ditolak.
Hingga
pada rapat terakhir BPUPKI tanggal 16 Juli 1945 telah terjadi kesepakatan
tentang Piagam Jakarta, bahkan ketika itu Soekarno menegaskan disepakatinya klausul,
Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Dan pasal
29 tetap berbunyi “ Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Terakhir ketua BPUPKI menyimpulkan
bahwa rancangan tersebut telah diterima semuanya, kemudian dengan suara yang
bulat di terimalah Undang-undang ini.[16]
Peristiwa
ini bisa dikatakan kekalahan pertama kelompok nasionalis muslim dalam
memperjuangkan Indonesia sebagai negara Islam yang seutuhnya. Kekalahan ini
semakin bertambah ketika pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah
kemerdekan Indonesia diprokalamirkan, Piagam Jakarta kembali dipersoalkan. Moh.
Hatta ketika itu menyampaikan empat usul perubahan:
- Kata
“Mukaddimah” diganti dengan kata “ Pembukaan”.
- Dalam Preambul
(Piagam Jakarta), anak kalimat “berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya “ di ubah
menjadi berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
- Sejalan
dengan perubahan yang kedua di atas, maka pasal 29 ayat 1 menjadi “ Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai pengganti “Negara
berdasarkan aatas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya."[17]
Setelah membacakan
perubahan-perubahan tersebut, Hatta
menyatakan keyakinannya: Inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala
bangsa. Soekarno kemudian menambahkan bahwa UUD 1945 yang dibuat ini adalah
Undang-Undang Dasar sementara, nanti kalau kita telah bernegara di dalam
suasana yang damai kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat
UUD yang lebih lengkap dan sempurna.
Persetujuan yang terburu-buru
mengenai beberapa perubahan yang amat penting dan kontroversial ini
sungguh-sunguh menimbulkan satu pertanyaan sejarah. Pertanyaan yang hingga saat
ini masih menjadi misteri yang tidak terpecahkan. Perubahan itu sendiri bermula
dari kedatangan seorang opsir Kaigun, datang menemui Hatta dan mengatakan bahwa
wakil-wakil Kristen dan Protestan yang ada dalam wilayah Kaigun sangat
keberatan dengan atas anak kalimat dalam Pembukaaan UUD 1945 yang berbunyi “ Ketuhanan dengan menjalankan
syari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”, walaupun mereka mengakui bahwa anak
kalimat tersebut tidak mengikat mereka, dan hanya mengikat masyarakat muslim
saja, namun mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka golongan
minoritas. Hatta menjawab kepada opsir itu, bahwa hal tersebut bukanlah
diskriminasi, karena penetapan tersebut hanya untuk orang Islam saja. Tapi
opsir itu menjawab, jika Pembukaan itu tidak dirubah maka golongan Protestan
dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik..
Menanggapi usulan tersebut
Hatta menyarankan agar dibuat penyesuaian-penyesuaian tertentu untuk menjamin kesatuan negara nasional
Indonesia. Karena didorong oleh desakan Hatta, kelompok Islam yang diwakili Ki
Bagus Hadikusumo, A. Wahid hasyim, Kasman Singodimedjo dan Tengku Muhammad
Hassan bersepakat untuk menghapus unsur-unsur legalistik / formalistik Islam,
terutama pencabutan butir-bitir mengenai Islam sebagai agama resmi dan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.[18]
Dalam
hal ini akan lebih baik, jika dilakukan pengamatan atas empat tokoh Islam yang
menurut keterangan Hatta telah diundang untuk membicarakan masalah perubahan
tersebut. Yaitu: Ki Bagus Hadikusumo, A. Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo dan
Tengku Muhammad Hassan. Reaksi positif Teuku M. Hassan atas usul perubahan
tersebut dapat dipahami karena dia sama sekali tidak tergolong nasionalis
Islam. Mengenai ketiga orang lainnya yang juga anggota PPKI, menurut Endang
Saefuddin Anshari[19]
bahwa A. Wahid Hasyim tidak hadir dalam
pertemuan 18 Agustus 1945 itu karena dia sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur,
sedangkan Kasman Singodimedjo, yang menjadi anggota baru sebagai tambahan,
menerima undangan baru pada pagi hari itu dan dapat dimengerti bila dia sama
sekali tidak siap untuk berurusan dengan masalah tersebut.
Mengenai
tidak adanya kesinambungan antara tindakan kesembilan orang penandatangan Preambul yang asli yakni Piagam Jakarta, dan
putusan Panitia Persiapan, sangat penting untuk dicatat di
sini bahwa hanya empat orang
penandatangan Piagam Jakarta yang ditunjuk atau dipilih sebagai anggota Panitia
Persiapan, yaitu, Soekarno, Moh. Hatta, Achmad Subarjo, dan A. Wahid Hasyim.
Ini berarti bahwa Muhammad Yamin, A.A. Maramis juga Haji Agus Salim, Abikoesno
Tjokrosoejoso dan Kahar Muzakkir semuanya tidak diundang. Dan satu-satunya
nasionalis Islam penanda tangan Piagam Jakarta juga tidak hadir dalam pertemuan
tersebut. Jadi dari sembilan penendatangan Piagam Jakarta hanya tiga saja
yaitu; Soekarno, Moh. Hatta dan Soebarjo yang terlibat dalam proses perubahan
tersebut. Ini berarti tidak seorangpun dari nasionalis Islam yang terlibat
dalam proses dimaksud.
Jika
dicermati pada fakta-fakta sejarah, penerimaan para tokoh Islam untuk mencoret
tujuh kata dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan hal itu lebih
merupakan pertimbangan situasional, bukan mengenai konsep pluralitas dan
heterogennya masyarakat pada saat itu. Terbukti kemudian mereka gigih kembali
memperjuangkan konsep Piagam Jakarta dalam majlis Konstituante.
C. Posisi dan fungsi Piagam Jakarta
Dekrit
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 telah menegaskan secara historis
maupun yuridis posisi dan fungsi Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan Piagam
Jakarta merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD 1945.
Profesor
Ahmad Sanusi[20]
ketika membahas eratnya kaitan antara Piagam Jakarta dengan Dekrit, menerangkan
bahwa Piagam Jakarta setelah 5 Juli 1959 disenafaskan dengan konstitusi 1945.
Dengan demikian Piagam Jakarta telah dilegalisir dalam tingkatan konstitusi dan
dihidupkan kembali sebagai Gentlement
Agreement’s dalam rangka persatuan dan perjuangan nasional. Dia menyatakan
ketidaksetujuannya pada sebagian politisi dan beberapa sarjana tertentu yang
beranggapan bahwa Piagam Jakarta itu tidak mempunyai nilai konstitusional
apapun. Untuk itu, dia mempergunakan kata kunci dalam Dekrit Presiden sebagai
argumentasinya yang utama.
Sebagaimana
Sanusi, Hajairin[21]
menganggap perujukan dekrit pada Piagam Jakarta itu adalah hal yang sangat penting
bagi penjelasan pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang tanpa perangkaian tersebut akan
menjadi kabur dan dapat menimbulkan berbagai multi tafsir yang simpang siur dan
absurd.
Jenderal
A. Yani Nasution dalam kedudukannya
sebagai wakil Menteri pertama / Kepala staf
Angkatan Barsenjata, dalam peringatan 18 tahun Piagam Jakarta tanggal 22
Juni 1963 di Jakarta, menekankan bahwa kata-kata "Merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi"
tersebut berarti merupakan salah satu rangkaian kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dengan konstitusi tersebut. [22]
Dengan
demikian jelaslah bahwa Piagam Jakarta itu menjiwai dan merupakan rangkaian
kesatuan dengan sila pertama dari Pancasila sebagaimana terdapat dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan
juga penjelmaannya dalam batang tubuh UUD yang termuat dalam pasal 29 ayat 1.
Ada
dua kata kunci yang dapat dipahami dari Dekrit Presiaden Soekarno pada 5 Juli
1959. Yakni, Piagam Jakarta menjiwai UUD1945, dan sebagai rangkaian kesatuan
dengan konstitusi itu sendiri. Dengan kata lain, perkataan Ketuhanan dalam
pembukaan UUD 1945 dapat dipahami dengan “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Kata
menjiwai secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat peraturan perundangan
di negara Republik Indonesia yang bertentangan dengan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Dan secara positif berarti bahwa para pemeluk Islam
diwajibkan melakukan syari’at Islam. Untuk itu harus dibuat Undang-undang yang
akan memberlakukan hukum Islam dalam hukum nasaional. Pendapat ini sesuai
dengan pendapat Perdana Menteri Juanda pada tahun 1959, “Pengakuan terhadap
Piagam Jakarta sebagai dokumen-historis bagi pemerintah berarti pengakuan pula
akan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945. jadi pengakuan itu tidak
hanya mengenai pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, selanjutnya ia harus
menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.
[1]
Zuhairi Misrawi, Problematika Syari’at Islam di Indonesia, dalam Syari’at Islam Yes, Syari’at Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945 ( Jakarta : Paramadina, 2001), hlm. 129.
[2]
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum
Islam dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam , alih bahasa Yudian Wahyudi Asmin (Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana, 1997), hlm. 73.
[3]
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, cet. VIII, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 1.
[4]
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante, cet I, (Jakarta:
LP3EA, 1996), hlm. 15.
[5]
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara:
Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik Islam di Indonesia (Jakarta:
Paramadina, 1998), hlm. 60.
[6]
Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat:
Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 15.
[7] Ibid,
hlm.30.
[8] Ibid,
hlm.33.
[10]
Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek
Hukum Islam di Indonesia, Studi Atas Pemikiran Gus Dur (Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 145.
[11] Ibid,
hlm. 145.
[12]
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, hlm. 20.
[13] Delapan anggota yang disebut pertama berasal
dari kelompok nasionalis sekuler, sedangkan empat yang terakhir dari kelompok
nasionalis Islam, kedua kelompok ini termasuk muslim . Sementara A.A. Maramis
adalah seorang Kristen yang pandangan ideologisnya sama dengan kecenderungan
kelompok nasionalis sekuler. H. Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta, hlm. 42.
[14]
Safrueddin Bahar, Ananda, B. Kesuma dkk, Risalah
Sidang BPUPKI / PPKI, 28 mei 1945-22-Agustus 1945 ( Jakarta: Sekretaris Negara RI, 1945), hlm.
88-94
[15]
Adian Husaini, “ Syari’at Islam di Indonesia, dalam Deformalisasi Syari’at,” Jurnal Tashwi>rul Afka>r, No. 12 (2002),
hlm. 57.
[16] Risalah Sidang hlm. 81.
[17]
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta
22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik
Indonesia ( Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), hlm. 47.
[18]
Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm.
147.
[19]
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta,
hlm. 52.
[20] Ibid,
hlm. 130.
[21]
Hazairin, Demokrasi Pancasila, (
Jakarta: Tinta Mas,1970), hlm. 59.
[22] Piagam Jakarta Menjiwai Undang-Undang Dasar
1945 ( Jakarta: Departemen Agama, 1963), hlm. 20
0 Response to "ٍٍSyariat Islam Piagam Jakarta dalam Bingkai Sejarah"
Post a Comment