Makalah Penarikan Hibah Menurut Hukum Islam
Penarikan Hibah oleh
Ahli waris| Hukum Penarikan Kembali Hibah Menurut Hukum Islam |
A. Pengertian Hibah menurut Hukum Islam
Hibah ( الهبة ) adalah pemberian.[1] Kata hibah berasal dari bahasa Arab
yang sudah diadopsi menjadi bahasa Indonesia. Kata ini merupakan mas}dar dari kata وهب (wa-ha-ba)
yang berarti pemberian. Secara etimologis, hibah berarti telah disalurkan dari
tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi.[2]
Adapun hibah menurut pengertian
syara’ adalah:
Pengertian hibah menurut terminologi
syariat Islam juga disebutkan dalam kitab Mugni>
al-Muh}ta>j
Dalam Pasal 171 huruf g Inpres No.1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan mengenai pengertian
hibah, yaitu pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.[5]
Dewasa ini telah berkembang
pengertian hibah, hibah tidak hanya dapat dilakukan oleh seorang kepada orang
lain, melainkan juga dapat dilakukan oleh suatu negara kepada negara lainnya,
bahkan dapat pula dilakukan oleh suatu badan hukum kepada badan hukum lainnya.
Berkata Hazairin mengenai hibah ini:
Menurut hukum Islam, hibah ialah
pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan
seseorang atau untuk kepentingan sesuatu badan, sosial, keagamaan, dan ilmiah.
Juga kepada seseorang yang sekiranya berhak menjadi ahli warisnya, si penghibah
dapat menghibahkan.[6]
Dalam bahasa Inggris hibah
disebut dengan gift, yang memiliki arti yang sama dengan hibah,
yaitu pemberian.[7] Namun penggunaan kata gift ini
tidak tepat, karena istilah gift dalam bahasa Inggris memiliki
arti yang lebih luas dari istilah Arab hibah. Istilah gift bersifat
umum meliputi perbuatan beri-memberi yang luas, sedangkan istilah hibah yang
ada di dalam bahasa Arab mempunyai arti terbatas dan mempunyai arti hukum yang
lebih jelas dalam perumusannya. Hibah adalah penyerahan sejumlah harta yang
langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan.[8]
Pada dasarnya antara hibah, hadiah
dan shadaqah adalah mempunyai pengertian yang hampir sama, yaitu memberikan
suatu barang kepada orang lain. Akan tetapi istilah ketiganya tidak dapat dikacaukan,
karena ketiga istilah tersebut mempunyai perbedaan mendasar yang terletak pada
niat dan tujuan si pemberi. Dalam hibah pemberian itu dilakukan atas dasar
kebaikan semata-mata. Sedangkan hadiah itu diberikan untuk menghormati dan
memuliakan yang diberi. Kemudian pemberian dengan maksud shadaqah itu dilakukan
karena mengharap ridla dari Allah SWT.
Hibah juga berbeda dengan wasiat.
Wasiat dilakukan ketika pemberinya sudah meninggal dunia. Adapun hibah itu
dilakukan ketika si pemberinya masih hidup. Jadi, transaksi hibah bersifat
tunai dan langsung serta tidak boleh dilakukan atau disyaratkan bahwa
perpindahan itu berlaku setelah pemberi hibah meninggal dunia.
Dari uraian di atas dapat ditarik
suatu kesimpulan, bahwa pengertian hibah adalah suatu perbuatan hukum sepihak;
di mana pihak yang satu berjanji akan memberikan barang miliknya kepada pihak
lain dengan tidak mendapatkan imbalan, sedangkan penghibahannya dilakukan
ketika si pemberi hibah masih hidup.
B. Dasar Hukum Nash
Hukum hibah adalah diperbolehkan,
bahkan dianjurkan.
Dasar hukum yang menganjurkan hibah
terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits.
Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir
Fizhilalil Quran, nilai ‘mendermakan harta’ ialah bebas dari
sifat loba, kikir dan nafsu mementingkan diri sendiri. Melepaskan jiwa dari
kungkungan harta dunia. Inilah nilai ruhiyah ‘rohani’ yang telah
diisyaratkan oleh ayat ini. Dan nilai syu’uriyyah ‘perasaan’
akan menjadikan tangannya terbuka untuk mendermakan harta yang dicintainya,
bukan dari hartanya yang murah dan jelek.[10]
Dalam ayat yang lain Allah SWT
berfirman:
Allah SWT dengan ayat di atas melarang
hambanya memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Ayat tersebut turun
berkenaan dengan Imriil bin Qais bin ‘Abis dan ‘Abdan bin Asyma’
al-Hadrami yang bertengkar dalam soal tanah. Imriil Qais berusaha untuk
mendapatkan tanah itu menjadi miliknya dengan bersumpah di depan hakim. Ayat
ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang lain dengan
batil.[12]
Dalam ayat yang lain Allah SWT juga
melarang manusia bersifat bakhil, karena Dia-lah sesungguhnya Yang Maha
Pemberi.
Menurut Tafsir Ibnu Katsir, Maha Pemberi dalam ayat di atas mengandung arti Dzat
yang memberikan apa yang dikehendaki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.[14]
Sedangkan hadis-hadis yang menganjurkan untuk memberikan
hibah, di antaranya adalah:
C. Rukun dan Syarat Hibah
1. Rukun Hibah
Rukun hibah menurut jumhur ulama
terdiri dari empat perkara, yaitu:
a. Wahib (الواهب), yaitu orang
yang memberi atau pemberi.
b. Mauhub lah (موهوب له),
yaitu orang yang diberi atau penerima.
c. Mauhub (موهوب),
yakni barang atau benda, atau harta yang dimiliki secara sah yang akan
diberikan.
Menurut Alaudin, rukun hibah di
antaranya adalah ijab dari pemberi hibah, adapun qabul dari orang yang menerima
hibah itu bukanlah menjadi rukun daripada hibah. Namun menurut Zapar, melalui
jalan qiyas, qabul atau penerimaan ini adalah rukun, di mana qabul
memiliki arti yang sama dengan قبض (qabd}u), yang artinya menerima atau mengambil.
Menurut ulama Hanafiah, ijab dan
qabul termasuk rukun hibah, seperti halnya dalam kasus jual beli. Dalam
kitab Al-Mabsu>t} mereka menambahkan dengan qabd}u (pemegangan atau penerimaan). Alasannya, di dalam
hibah harus ada ketetapan dalam hal kepemilikan.
Namun demikian sebagian ulama
Hanafiah yang lain berpendapat bahwa qabul dari penerima hibah bukanlah menjadi
rukun. Menurut mereka yang termasuk rukun hanyalah ijab saja. Karena, dalam
pandangan mereka, hibah adalah sekedar pemberian, dan qabul hanyalah sebagai
dampak dari adanya hibah, yakni pemindahan hak milik.[19]
Ijab di sini dapat dilakukan
secara sharih, seperti perkataan seseorang, "Saya hibahkan
benda ini kepadamu", atau juga ijab ini diucapkan dengan tidak jelas, yang
tidak akan lepas dari syarat, waktu, atau manfaat.[20]
1. Ijab disertai waktu
Contoh:
"Saya berikan rumah ini selama saya hidup atau selama kamu hidup".
2. Ijab disertai syarat
Contoh: "Rumah ini untukmu,
jika kamu meninggal dunia terlebih dulu sebelum aku, maka rumah ini
menjadi milikmu".
3. Ijab disertai manfaat
Contoh:
"Rumah ini untukmu dan tempat tinggalmu".
Urgensi mengetahui perbedaan
pendapat dalam persoalan penerimaan atau qabul menjadi rukun atau tidak, akan
tampak pada kasus seseorang yang bersumpah untuk tidak memberikan sesuatu pada
seseorang, namun kemudian dia memberinya. Tetapi orang yang diberi itu belum
menerima hibah tersebut (belum mengucapkan qabul), sehingga kasus seperti itu
menurut Zapar bukanlah bentuk daripada pelanggaran sumpah (untuk tidak
memberikan hibah) tadi, sebab orang yang diberi belum menerima hibah tersebut, atau
belum qabul dan belum قبض (qabd}u) karena baginya qabul adalah rukun hibah.[21]
2. Syarat-syarat Hibah
Syarat-syarat daripada hibah ini lazimnya terpenuhi
seperti beberapa hal di bawah ini. Yaitu:
a. Wahib (الواهب ),
yaitu orang yang memberi atau pemberi. Syarat-syaratnya:
1) Dewasa, artinya orang tersebut sudah baligh dan mampu
melakukan tindakan hukum sendiri di dalam bidang hukum Islam.
2) Berpikiran sehat, artinya seorang wahib dapat
menggunakan akal yang dimilikinya secara baik di mana akalnya tidak terganggu
karena gila atau keborosan.
3) Pemilik benda yang dihibahkan, maksudnya adalah bahwa orang
tersebut benar-benar sebagai pemilik dan menguasai benda yang akan dihibahkan,
bukan sebagai pemegang atau penerima titipan dari orang lain.[22]
Pasal 210 KHI menyebutkan:
a) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun,
berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya
1/3 harta yang dimilikinya, kepada orang lain atau lembaga, di hadapan dua
orang saksi untuk dimiliki.
b. Mauhub lah (موهوب له),
yaitu orang yang diberi atau penerima. Syarat-syaratnya adalah bahwa orang yang
dapat menerima hibah ialah setiap orang yang berhak memiliki suatu kekayaan dan
tidak harus dapat melakukan tindakan hukum sendiri. Oleh karena itu, penerima
hibah dapat saja orang dewasa, anak-anak, atau orang yang tidak berpikiran
sehat sekalipun. Akan tetapi bagi penerima hibah dari golongan anak-anak dan
atau orang yang tidak berpikiran sehat, dalam menerima benda pemberian itu
haruslah diterimakan dan diserahkan kepada walinya.[24]
c. Mauhub (موهوب),
yakni barang atau benda, atau harta yang dimiliki secara sah yang akan
diberikan. Syarat-syaratnya adalah:
1) Benda itu ada wujudnya atau konkrit.
2) Bisa diserahkan dan bermanfaat.
3) Benda itu milik penuh sang pemberi.
4) Tidak bersifat umum yang tidak dapat atau tidak mungkin
dibagi.
5) Benda yang dihibahkan itu berupa harta yang ada nilai
harganya. Sehingga tidaklah sah melakukan hibah dengan barang-barang terlarang atau
haram seperti bangkai, darah, babi, alkohol dan lain-lain (menurut Hanafi).
Menurut Syafi'i setiap barang yang
boleh dijual sah untuk dihibahkan. Dengan asumsi seperti itu tidaklah sah hibah
sesuatu yang tidak dimiliki secara sah dan barang-barang atau benda najis.[25]
d. Shigat atau
ijab qabul
Syarat daripada shigat menurut Imam Syafi'i sama dengan
shigat dalam aktivitas jual beli, di antaranya:
1) Qabul haruslah sesuai dengan ijab. Apabila yang memberikan
mengatakan, "Kamu saya beri dua ekor kambing", kemudian yang diberi
menerimanya dengan ucapan, "saya terima salah satunya", maka hibah
itu tidak sah adanya.
2) Qabul harus diucapkan segera setelah ucapan ijab selesai,
tidak terpisah atau terselang oleh sesuatu yang sifatnya lain (tidak ada
hubungan dengan akad).
3. Ketentuan Lain tentang Hibah
a. Hibah
orang sakit menjelang kematian
Apabila si penghibah pada waktu menghibahkan hartanya itu
dalam keadaan sakit, Pasal 213 KHI menyebutkan bahwa: Hibah yang diberikan pada
saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus
mendapat persetujuan dari ahli warisnya.[27]
Jadi, penghibahan yang dilakukan oleh seorang yang sakit
menjelang ajalnya tidak dapat dilaksanakan kecuali atas persetujuan dari ahli
warisnya. Dan apabila ahli warisnya tidak menyetujuinya, maka penghibahan
tersebut tidak dapat dilangsungkan.
b. Hibah
antara suami istri
Dalam hukum Islam tidak ada larangan
bagi suami istri untuk saling memberi atau menghibahi satu sama lainnya.
c. Penghibahan seorang istri tanpa izin suaminya
Dari hadis
di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwasanya pemberian seorang istri
haruslah dengan seizin suaminya. Namun demikian ada ulama yang membolehkan
pemberian seorang istri tanpa izin dari suaminya, akan tetapi pembolehan itu
dikhususkan pada barang-barang yang remeh, yang tidak berharga dan tidak nampak
berkurang. Dan ada pula yang berpendapat jika kebolehan itu terutama pada
penghibahan barang-barang yang diizinkan oleh suaminya walaupun izinnya itu
secara garis besar, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Bukhari.[29]
d. Penghibahan oleh WNI di negara asing
Pasal 214
KHI menyebutkan:
Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat
membuat surat hibah di hadapan konsulat atau kedutaan Republik Indonesia
setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan Pasal-pasal ini.[30]
Yang dimakud dengan ketentuan Pasal-Pasal ini adalah
ketentuan tentang hibah yang tersebut di dalam Pasal 210 sampai dengan Pasal
213 KHI.
D. Batasan Hibah
Ada
sebagian ulama yang berpendapat bahwa seseorang hanya boleh menghibahkan
sepertiga dari harta yang dimilikinya kepada orang lain. Dan pendapat inilah
yang diikuti oleh sebagian besar ulama madzhab. Namun demikian ada pula
sebagian ulama yang berpendapat bahwa seseorang boleh menghibahkan semua apa
yang dimilikinya.
Berkata
Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahqiq madzhab Hanafi: Tidak sah
menghibahkan semua harta meskipun di dalam kebaikan. Mereka menganggap orang
yang berbuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya.
Pengarang
kitab ar-Raud}ah an-Nad}iyyah mentahqiq masalah ini katanya:
Barang siapa yang sanggup bersabar atas kemiskinan dan
kekurangan harta, maka tidak ada halangan baginya untuk mensedekahkan sebagian
besar atau semua hartanya. Dan barang siapa yang menjaga dirinya dari
meminta-minta kepada manusia di waktu dia memerlukan, maka tidak halal baginya
untuk menyedekahkan semua atau sebagian besar dari hartanya.[31]
Adapun dalam
Pasal 210 KHI dengan sangat tegas menyatakan bahwa hibah hanya dibatasi
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta bendanya. Maka dari itu, dalam hukum
Islam di Indonesia berlaku ketentuan bahwa hibah yang melebihi dari sepertiga
harta yang dimiliki tidak diperbolehkan.
Dalam
sebuah hadis juga disebutkan bahwa seseorang hanya boleh menghibahkan sepertiga
hartanya. Hadis ini diceritakan oleh Ibnu Umar, kemudian diberitahukan oleh
Sufyan, dari az-Zuri dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash dari ayahnya berkata:
“Aku sakit pada tahun kemenangan Makkah dengan sakit yang berat yang
menyebabkan aku mendekati kematian lalu Rasulullah SAW datang untuk menjengukku
lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku mempunyai harta yang
banyak dan tidak mewarisiku selain seorang anak perempuanku maka bolehkah aku
berwasiat semua hartaku?” Beliau bersabda: “Jangan”, lalu aku berkata:
“Bolehkah aku berwasiat dua pertiga hartaku?” Beliau bersabda: “Jangan”. Aku
berkata: “Seperdua?” Maka bersabda: “Jangan”. Saya berkata: “Sepertiga
hartaku?” Beliau bersabda:
الثلث
والثلث كشيرإنك ان تذرورثتك أغنياءخيرمن أن تذرهم عالةيتكففون الناس إنك لن تنفق
نفقةإلاأجرت فيهاحتىاللقمنةترفعهاإلىفىامرأتك [32]
Mengenai
seseorang yang menghibahkan semua hartanya kepada orang asing (bukan ahli
waris), dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan bahwa para
fuqaha sudah sepakat pendapat untuk membolehkannya.[33] Pendapat tersebut jelaslah sangat
bertentangan dengan Pasal 210 KHI dan juga bertentangan dengan hadis tersebut
di atas.
Sedangkan hukum
bagi seorang ayah yang memberikan hibah seluruh harta bendanya hanya untuk
sebagian anaknya saja tanpa sebagian yang lain atau melebihkannya atas sebagian
yang lain dalam hibah ini, sebagian besar para ulama berpendapat bahwa yang
demikian itu adalah perbuatan yang makruh, akan tetapi menurut mereka jika
memang itu telah tejadi, tetap boleh.[34]
Seorang ayah
dalam membagikan hartanya kepada anak-anaknya hendaknya dilakukan secara adil,
tidak membeda-bedakan salah seorang di antara anak-anaknya. Berdasarkan firman
Allah SWT:
Kata al-‘adl secara
bahasa berarti persamaan dalam segala perkara, tidak lebih dan tidak kurang.[37] Ada
yang berpendapat bahwa penyamaan pembagian harta kepada anak-anak itu dengan
cara menetapkan bagian seperti yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam
al-Qur’an, bahwa bagian dua anak perempuan itu sama dengan bagian satu anak
laki-laki.
Namun
dalam sebuah hadis disebutkan:
Dalam
hadis tersebut Rasulullah SAW menganjurkan persamaan antara anak laki-laki dan
perempuan dalam hal pemberian. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Sa’id bin
Manshur dan al-Baihaqi dengan sanad yang bagus.
Menurut
Pasal 211 KHI hibah dari orang orang tua kepada anaknya, dapat diperhitungkan
sebagai sebagai warisan. Jadi, kalau menurut Pasal tersebut pembagian harta untuk
laki-laki dan perempuan, pembagiannya dapat dilakukan seperti halnya pembagian
warisan, bagian perempuan adalah separuh bagian laki-laki.
E. Macam-macam Hibah
1. Hibah Umra
Kata umra diambil
dari kata al-’umra>, yang artinya: hidup. Dinamakan begitu karena pada
masa jahiliyyah, apabila ada seseorang memberi kepada orang lain, ia
berkata, A’martuka
iyya>ha>, yaitu; aku perkenankan rumah itu
untukmu selama umurmu dan hidupmu.[39]
Secara terminologi, umra berarti
apabila seseorang berkata kepada yang lain: “Aku berikan rumah ini selama
engkau hidup.”[40]
Jadi umra adalah
penghibahan yang dilakukan selama si penerima hibah itu masih hidup (seumur
penerima hibah), dan apabila penerima hibah itu meninggal dunia maka barang
yang dihibahkan itu kembali menjadi milik si penghibah.
2. Hibah ruqba
Ruqba berasal dari kata al-Mura>qabah, yang artinya: pengawasan, disebut demikian karena
masing-masing dari keduanya (penghibah dan penerima hibah) saling mengawasi
satu sama lain.[41] Adapun hal yang menjadi pengawasan
adalah, siapa diantara mereka yang meninggal terlebih dahulu, maka ia yang
lebih berhak atas kepemilikan barang hibah tersebut.
Sedangkan secara terminologi, ruqba adalah
seseorang memberikan kepada orang lain dengan syarat apabila pemberi mati
terlebih dahulu, maka barang itu menjadi milik orang yang diberi. Tetapi jika
orang yang diberi itu meninggal terlebih dahulu maka barang itu kembali
kepada pemberi.[42] Istilah lain dari ruqba ini
adalah pemberian yang digantung.
Pada dasarnya umra dan ruqba adalah
sama, keduanya sama-sama mengandung unsur pemberian yang disertai dengan suatu perjanjian
yang lain. Berdasarkan hadis Nabi SAW dari Abu Zubair dari Thawus dari Ibnu
Abbas r.a., dan diriwayatkan oleh Abu Zubair.
Ada dua pendapat menyangkut
hukum umra dan ruqba ini. Pendapat pertama
menyatakan bahwa umra dan ruqba itu
diperbolehkan. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa umra dan ruqba itu
tidak diperbolehkan, dengan alasan bahwa kedua persoalan itu adalah untuk ahli
warisnya orang yang dihibahi.
Pendapat yang menyatakan bahwa umra dan ruqba itu
diperbolehkan adalah pendapatnya Imam as-Syafi’i, Hanafi, dan Ahmad.
Berdasarkan hadis Nabi SAW dari Jabir r.a. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,
an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Menurut at-Tirmidzi hadis tersebut adalah hadis
hasan.
Imam Malik berkata: Umra ialah
pemilikan manfaat dan bukan penguasaan. Apabila umra itu
diberikan kepada seseorang, maka umra itu baginya selama ia
hidup, dan itu tidak diwariskan. Bila umra diberikan kepadanya
dan kepada anak-anaknya sepeninggal dia, maka umra itu menjadi
harta warisan bagi keluarganya.[45]
Jumhur berpendapat bahwa umra itu
apabila terjadi, maka ia menjadi milik orang kedua dan tidak bisa kembali
kepada orang pertama, kecuali bila ditegaskan dengan syarat harus kembali
kepada orang pertama, maka barang tersebut harus dikembalikan kepada orang
pertama.[46]
Pendapat tersebut juga dibenarkan
oleh Ibnu Taimiyah. Menurutnya, melakukan umra itu diperbolehkan,
dan dia menjadi milik orang yang diserahi dan (juga) menjadi milik ahli
warisnya, kecuali dia kalau pihak pemberi mensyaratkan harus kenbali kepadanya,
maka syarat itu sah.[47]
Kemudian pendapat kedua yang
menyatakan bahwa umra dan ruqba itu
tidak diperbolehkan adalah pendapatnya imam Abu Hanifah. Apabila seseorang
melakukan umra dan ruqba terhadap orang lain,
maka barangnya itu untuk yang diberi umra dan ruqba dan
untuk para ahli warisnya.[48]
Berdasarkan hadis Nabi SAW:
Menurut Andi Tahir Hamid, hibah
secara ruqba itu tidak diperkenankan, karena hak milik atas
benda yang dihibahkan seharusnya sudah berpindah bila sudah diucapkan qabul dan
benda tersebut secara langsung telah berada di tangan pihak yang diberi. Jadi
hibah yang disertai dengan syarat, syaratnya itu tidak sah; dianggap hibah
tanpa syarat.[50]
Jika pemberi hibah tidak
mensyaratkan apa pun maka setelah penerima hibah meninggal dunia, maka barang
hibah tersebut menjadi milik ahli waris dari penerima hibah.[51]
F. Penarikan Kembali Hibah
Pada
umumnya seseorang yang telah memberikan suatu barangnya kepada orang lain, maka
ia tidak dapat menarik kembali pemberiannya itu. Sekalipun pemberiannya itu
dilakukan terhadap saudaranya sendiri atau pemberian seorang suami terhadap
istrinya.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa
hukum menarik kembali suatu pemberian adalah haram, kecuali pemberian seorang
ayah terhadap anaknya.
Mengenai kebolehannya seorang ayah
menarik kembali hibahnya terhadap anaknya, hal ini dimaksudkan agar seorang
ayah, dalam membagikan harta kepada anak-anaknya hendaknya memperhatikan
unsur-unsur keadilan. Ayah tidak diperkenankan memberikan sebagian hartanya
hanya kepada salah seorang di antara anaknya saja. Bahkan dalam sebuah hadis
disebutkan bahwa apabila seorang ayah dalam memberikan hartanya hanya
mengutamakan kepada salah seorang di antara anaknya, maka Rasulullah SAW
memerintahkan untuk menarik kembali hibah tersebut.
Penarikan kembali
hibah oleh ayah terhadap anaknya dapat dilakukan pada waktu si anak itu masih
kecil atau sudah besar. Bahkan sekalipun hibahnya itu sudah ada dalam kuasa
anaknya, kebolehan memperoleh kembali hibah jenis ini mengandung lima syarat:
1. Anaknya tidak menikah setelah hibah.
2. Tidak ada hutang.
3. Bentuk hibah itu tidak berubah.
4. Tidak terjadi perubahan pada
penerima hibah.
Terdapat
perbedaan pendapat mengenai, apakah seorang ibu bisa memiliki kembali hibahnya,
sebagaimana seorang ayah tadi. Ada yang berpendapat boleh, dengan syarat
ayahnya masih hidup. Namun apabila ayah si anak itu sudah meninggal dunia, maka
si ibu tidak bisa menarik kembali hibahnya, sebab tidak boleh sesuatu pun
diambil dari anak yatim.[55]
Adapun
perumpamaan bagi seseorang yang menarik kembali hibahnya, ibarat seorang yang
muntah kemudian ia menelan kembali muntahannya itu. Atas dasar itulah para
ulama menyepakati bahwa hukum menarik kembali suatu pemberian atau hibah adalah
haram.
Rasulullah
SAW bersabda:
Dilihat
dari segi etika, penarikan kembali barang yang telah diberikan
kepada orang lain, tidak sepantasnya untuk dilakukan. Menarik kembali suatu
pemberian bukanlah akhlak yang baik, sedangkan Islam itu ada demi
menyempurnakan akhlak yang baik.
Namun
demikian ada ulama yang berpendapat bahwa seseorang diperbolehkan menarik
kembali hibah dalam keadaan di mana penghibah menghibahkan barangnya guna
mendapatkan imbalan dan balasan atas hibahnya, sedang orang yang diberi hibah
belum membalasnya.
Berdasarkan hadis Nabi SAW:
Inilah
pendapat yang dipegang oleh Ibnul Qayyim di dalam A’la>mul
Muwa>qi’i>n,
katanya:
Penghibah tidak diperbolehkan menarik kembali hibahnya itu
adalah penghibah yang semat-mata memberikan tanpa meminta imbalan. Dan
penghibah yang diperbolehkan menarik kembali hibahnya adalah penghibah yang
memberikan agar pemberiannya itu diberi imbalan dan dibalas, sedangkan orang
yang diberi hibah tidak membalasnya. Jadi semua sunnah Rasulullah SAW itu
dipakai bukannya dipertentangkan satu sama yang lain.[58]
Kemudian
juga menurut pendapat para ulama bahwa seseorang yang menghibahkan boleh
mengambil kembali apa yang telah dihibahkannya di dalam hibah
yang disyaratkan jika orang yang menerima hibah menyalahi
persyaratan hibah. Misalnya, orang yang menghibahkan sesuatu kepada seorang
laki-laki agar dapat diberikan kepada orang lain. Jika laki-laki itu tidak
memberikan hibah itu kepada orang yang dimaksud, maka orang yang menghibahkan
boleh mengambil kembali apa yang telah dihibahkannya kepada laki-laki tersebut.[59]
Ulama
Hanafiah berpendapat ada enam perkara yang melarang wahib mengembalikan barang
yang telah dihibahkan, yaitu:
1. Penerima memberikan ganti:
a. Pengganti yang disyaratkan dalam
akad. Ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi’iyah menganggap hibah seperti ini
sebagai jual-beli, bukan hibah.
b. Pengganti yang diakhirkan.
2. Penerima maknawi
a. Pahala dari Allah. Sedekah kepada
orang fakir tidak boleh diambil lagi.
b. Pemberian dalam rangka silaturahmi.
c. Pemberian dalam hubungan suami
istri.
3. Tambahan yang ada pada barang yang
diberikan yang berasal dari pekerjaan mauhublah (orang yang diberi hibah).
4. Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah,
seperti dijual kepada orang lain.
5. Salah seorang yang akad meninggal.
6. Barang yang dihibahkan rusak.[60]
Sedangkan
persoalan yang dapat membatalkan hibah adalah, di antaranya, dengan pembatalan
persetujuan, bisa dengan model pengurangan kadar hibah, atau menarik kembali
hibah melalui keputusan seorang qa>d}iy (hakim), atau dengan cara
pembatalan tara>d}iy (karena sikap kerelaan di antara
pihak pemberi dan penerima hibah). Maka apabila akad hibah tadi sudah
dibatalkan dengan persetujuan, otomatis barang yang menjadi hibah itu kembali
menjadi kepunyaan pemberi.[61]
Meskipun
demikian ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia yang berpenduduk mayoritas
muslim, tetap tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari
sini peran hakim akan sangat penting dalam menentukan dan memutuskan berbagai
macam persoalan termasuk persoalan apakah seseorang dapat menarik kembali suatu
pemberiannya.
Referensi
[2] Suhrawardi
K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap dan
Praktis (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 40.
[4] Muhammad as-Syarbini
al-Kha>tib, Mugni>
al-Muhta>j: Ila> Ma’rifati Ma’a>ni al-fa>z}i al-Minh}a>j, Juz
II (Mesir: Mustafa, 1958), hlm.
396.
[5] Depag
RI, Pedoman Penyuluhan Hukum (Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1995), hlm. 215.
[6] Abdullah
Siddik, Hukum Waris dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam (Jakarta:
Widjaya, 1984), hlm. 204-205.
[7] John
M. Echols dan Hassan Sadily, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia (Jakarta:
PT. Gramedia, 1993), hlm. 269.
[10] Sayyid Quthb, Tafsi>r Fi> Zhila>lil
Qura>n, alih bahasa As’ad Yasin, Abdul Azis Salim Basyarahil dan Muchotob
Hamzah (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 189.
[12] Qamaruddin
Saleh, dkk., Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat
al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 1997), hlm.58.
[14] Muhammad
Nasib ar-Rifa'i, Tafsir Ibnu Katsir, alih bahasa Syihabuddin
(Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 63.
[15] Ibnu Hajar
al-‘Asqala>ni>, Bulu>gul
Mara>m: Min Adillatil Ahka>m (Libanon, Beirut: Dar al-Fikri, 1995), I: 617; hadis nomor
961, "Kita>b
Buyu>’ ", "Bab al-Hibatu wa
al-'Umra> wa ar-Ruqba>".
Hadis dari Abu Hurairah. Diriwayatkan oleh Bukhari, dimuat dalam Kitab "Adabul Mufrad", dan riwayat Abu Ya'la dengan isnad hasan.
[16] Ibnu Hajar
al-‘Asqala>ni>, Bulu>gul
Mara>m, hadis nomor 961, "Kita>b
Buyu>’", "Bab al-Hibatu wa al-'Umra> wa ar-Ruqba>". Hadis dari Anas ra, diriwayatkan oleh Bazar dengan
isnad dhaif.
[17] ‘Ali
Mubarak Qadli al-Jaufi dan Faishal bin ‘Abdul ‘Aziz, Terjemah Nailu
al-Authar: Himpunan Hadis-hadis Hukum, terj. Mu’ammal Hamidy (Surabaya:
Bina Ilmu, 1993), I: 1965, hadis nomor 3194, "Kita>b al Hibati
wa al-Hida>yati, "Bab Betapapun
Kecilnya Hadiah itu Diterima", hadis dari Khalid bin 'Adiy dan
diriwayatkan oleh Ahmad.
[19] Ibid.
[20] ‘Alauddi>n Abi>
Bakr ibn Mas'u>d al-Kasani al-Hanafi>>, Kita>b Badai
al-Sana>'i fi Tarti>bi al-Syara>'i, Juz VI (Beirut:
Dar al-Fikr, 1996), hlm. 116.
[26] Idris
Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1992), hlm. 154-155.
[31] Sayyid Sa>biq, Fiqh
as-Sunnah, Jilid III (Kairo:
Dar al-Fath lil I’lam al-‘Arabiy, 1990), hlm. 421.
[32] H.R. Sunan at-Tirmiz>i, (Beirut: Dar al-Fikri, 1980), Juz III, hlm. 291. “Abwab Was{aya”, “Bab
Ma Ja’a fi al-Was{iyati bi al-S{ulus{i”,
hadis ini adalah hasan sahih.
[33] Ibnu
Rusyd, Bida>yatul
Mujtahid wa Niha>yatul Muqtasid (Beirut:
Dar al-Fikri, tahun), hlm. 246.
[34] Ahmad as-S}a>wi, Bulgatu as-Sa>lik li Aqrabi al-Masa>lik, Juz II (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), hlm. 314.
[35]Imam Abi
Husein Muslim ibn Hajjaj, al-Ja>mi’u S}a>hih, Juz V (Libanon, Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), hlm. 66. “Kita>b Hibah”,”Bab Kara>hatu
Tafd}i>li Ba’di a-l Aula>di fi al-Hibati”.
[37]Abdul Musthafa> al-Mara>gi, Tafsi>r al-Mara>gi, Jilid 14 (Semarang:
Toha Putra, 1992), hlm. 233.
[38] Muhammad ibn
Isma>il al-Ami>r, Subulussala>m, Juz III (Libanon, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), hlm. 89.
[40] Al-Ima>m
Taqiyuddi>n Abi> Bakr bin Muhammad Husaini, Kifa>yatul
Akhya>r fi> H}a>l Ga>yatul Ikhtis}a>r, Juz I dan II (Semarang: Toha Putra, t.t.), hlm.326.
[43] Jala>luddi>n
as-Suyu>t}i>, Syarh Sunan an-Nasa>’i, (Libanon, Beirut Dar al-Fikri, 1930) Juz IV, hlm. 270. “Kita>b an-Nah}l”,
“Z}ikrul Ikhtila>f ‘ala Abi> Zubair”. Diriwayatkan oleh Zubaer, dari Abu Zubaer dari Thawus dan
Ibnu ‘Abbas r.a.
[47] Ibnu ‘Abba>s
al-Bugli>y ad-Dimasqi>y, Al-Ikhtiya>ra>t al-Fiqhiyyah min
Fata>wa> Syaikh al-Isla>m Ibnu Taimiyyah (Libanon, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 184.
[48] Abu Suja>’
Ahmad, Matan al-Ga>yah Wa at-Taqri>b (Fi> al-Fiqhia
as-Sya>fi’i) (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1994),
hlm.187. Lihat al-Ima>m
Syari>f al-Di>n Yahya> al-Nawa>wi>y, al-Sira>j
al-Waha>j: Syarh al-Syaikh Muhammad al-Zuhri> al-Gamraw>iy (Mesir: Dar al-Fikr, t.t),
hlm.308.
[51] Syaikh Zainuddi>n
M. as-Sya>fi’i>, Fath} al-Mu’i>n. Juz II (Kudus: Menara, t.t.), hlm. 337-338.
[52] Ibnu Hajar
al-Asqala>ni>, Bulu>gul Mara>m: Min Adillatil Ah}ka>m, hlm.162. Hadis nomor 957, hadis dari Ibnu Umar ra, dan
Ibnu Abas ra, diriwayatkan oleh Ahmad, dan empat orang Imam, dan shahih menurut
Tirmidzi, Ibnu Hihan dan Hakim.
[53]Muhammad
Fuad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’ wal Marjan (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), II: 59: hadis nomor 1048, Kitab
Jual Beli”, “Bab Makruh Mengutamakan Salah Satu dari Anak dengan
Pemberian”. Hadis dari an-Nu’man bin Basyit r.a. ketika dibawa oleh ayahnya
menghadap Rasulullah SAW, lalu ayahnya berkata: “Ya Rasulullah, saya telah
memberi kepada anakku seorang budak”, lalu Nabi bersabda dengan hadis di atas.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
[55] Ibid..
Lihat juga Syekh
Abu> Muhammad ‘Abdulla>h, Ar-Risa>lah al-Fiqhiyyah (Beirut: Dar al-Ghrab al-Islamiy, 1986), hlm. 228.
[56] Ibnu Hajar
al-‘Asqala>ni>, Bulu>gul
Mara>m: Min Adillatil Ah{ka>m (Libanon, Beirut: Dar al-Fikri, 1995), I: 159; hadis nomor
955a, "Kita>b Buyu>’ ", "Bab al-Hibatu wa
al-'Umra> wa ar-Ruqba>".
Hadis dari Ibnu Abas ra, diriwayatkan oleh Bukhari.
[57] Sunan Ibnu Majah, Juz
IV (t.k: t.p., t.t.), hlm. 798; hadis no. 2387, “Kita>b Hibah”, “Bab Man
Wahaba Hibatan Raja’a S|awa>biha>”. Hadis dari Abu Hurairah r.a., diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dengan isnad dhaif.
[59] Husein
Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, terj. Dudung RH dan Idhoh
Anas (Jakarta: Gema Insani, 1998), hlm. 252
0 Response to "Makalah Penarikan Hibah Menurut Hukum Islam"
Post a Comment