Biografi Yusuf al-Qaradawi dan Pemikirannya
BIOGRAFI YUSUF AL-QARADAWI
DAN PEMIKIRANNYA
A. Biografi
1. Latar
Belakang Kehidupan
Yusuf
Al-Qaradawi lahir pada tanggal 9
September 1926 , di Desa Safat Turab, Mesir bagian barat, sebuah
lingkungan masyarakat yang terdidik.[1]
Nama lengkap Yusuf Al-Qaradawi adalah Yu<suf ibn Abdulla<h al-Qarad{a<<wi<,
dia berasal dari keluarga yang tekun beragama. Dalam usia dua tahun hidup tanpa
bimbingan sang ayah, yang lebih dulu meninggal dunia. Ia menjadi anak yatim
yang mulai saat itu diasuh oleh pamannya (saudara ayahnya). Meskipun bukan di bawah
asuhan ayahnya, namun paman ini memperhatikan dengan baik, sehingga Al-Qaradawi
menganggapnya sebagai ayah sendiri. Demikian juga anak-anak pamannya, ia anggap
sebagai saudara kandungnya.[2]
Dengan
perhatian yang cukup baik dan dalam lingkungan keluarga yang tekun, teguh dan
kuat beragama itu, al-Qaradawi pada umur lima
tahun telah mulai menghafal al-Qur'an. Dan dalam perkembangannya, belum sampai
usia 10 tahun ia sudah mampu menghafal al-Qur'an secara keseluruhan serta fasih
bacaannya, karena pengetahuannya tentang tajwid yang sempurna dan merdu pula
suaranya. Dari situlah yang masih murahaq (belum sampai dewasa) ini
sering disuruh menjadi imam, khususnya shalat-shalat jahriyyah.[3]
Selain
belajar ilmu-ilmu agama, Al-Qaradawi juga sekolah di pendidikan dasar yang
mengajarkan ilmu-ilmu umum, seperti sejarah, berhitung, kesehatan dan lain
sebagainya.
Pendidikan
selanjutnya ia teruskan ke Ma'had Ta{nta,} yang diselesaikannya selama
empat tahun, kemudian dilanjutkan pada tingkat menengah yang diselesaikannya
dalam waktu lima
tahun. Dari sinilah Al-Qaradawi melanjutkan pendidikan tingkat tingginya
dengan memasuki Universitas al-Azhar, Kairo untuk mengambil bidang studi Agama
pada Fakultas Usuluddin sampai mendapat Syahadah 'Aliyah (tahun
1952-1953), dengan predikat lulus terbaik. Kemudian pada tahun 1957 al-Qard{awi
masuk pada Ma'had al-Buhus| wa ad-Diraat al-'Arabiyyah sehingga
mendapatkan diploma tinggi di bidang bahasa dan sastra. Tidak berbeda dengan
sebelumnya, ketika luluspun, ia meraih juara pertama di antara 500 mahasiswa.[4]
Namun
pada kesempatan yang sama Qarad{awi juga mengikuti kuliah pada program Pasca
Sarjana (dirasat Ulya) di Universitas yang sama dengan mengambil bidang
studi al-Qur'an dan as-Sunnah pada jurusan Aqidah dan Filsafat, karena menurut
dosen-dosennya, dia memenuhi syarat
untuk jurusan tersebut. Namun setelah berkonsultasi dengan Dr. Muhammad Yusuf
Musa yang menerangkan akan kelebihan jurusan Tafsir Hadis akhirnya Al-Qaradawi
memilih jurusan itu, dan berhasil diselesaikan pada tahun 1960 lewat suatu
ujian yang sulit, sebab pada angkatannya hanya Al-Qaradawi yang lulus.
Setelah
menyelesaikan studinya pada tingkat pasca sarjana, Al-Qaradawi melanjutkan pada
tingkat doktoral dan menulis disertasi berjudul az-Zakah wa Asaruha fi Hall
al-Masyakil al-Ijtima'iyah (zakat dan pengaruhnya dalam solusi problema
sosial kemasyarakatan). Disertasi tersebut akhirnya diuji di depan guru besar
Universitas al-Azhar dan lulus dengan predikat cum laude.[5]
Disertasi tersebut kemudian lebih populer sebagai sebuah kitab fiqih tentang
zakat, yaitu kitab: "Fiqh az-Zakah" yang banyak menjadi
pegangan umat Islam.
Al-Qaradawi
dikenal sebagai seorang yang rajin dalam mempelajari ilmu-ilmu keislaman, tidak
terbatas pada salah satu bidang tertentu saja. Hal ini dapat dilihat dari
pendidikannya walaupun ia awalnya belajar di fakultas Usuluddin yang
konsentrasinya adalah bidang Aqidah dan Filsafat, Tafsir dan Hadis, hal
ini tidak selalu menghalangi untuk memperdalam ilmu-ilmu syari'ah seperti ilmu
fiqih dan sejarahnya, ilmu usul fiqih dengan qawa'idnya. Bahkan hal itu juga
sangat membantu menambah khazanah keilmuannya dalam studinya pada fakultas
Usuluddin.
Pemikiran
Al-Qaradawi dalam bidang agama dan politik banyak dipengaruhi oleh hasan
al-Banna, pendiri gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, dimana Al-Qaradawi juga
tercatat sebagai salah seorang anggotanya. Salah satu pemikiran dan ajaran
Hasan al-Banna yang tertulis dalam karya monumentalnya Risalat at-Ta'lim,
diserap Al-Qaradawi yang kemudian
dijadikannya sebagai landasan utama
dalam pemikiran hukumnya, yaitu ajaran kebebasan dari pengaruh ta'assub
(fanatisme) terhadap mazhab.
Disamping
Hasan al-Banna, Al-Qaradawi juga pengagum Ibnu Taimiyyah dan juga muridnya,
Ibnu Qayyim. Meskipun demikian, bukan merupakan penghalang bagi Al-Qaradawi
untuk tidak sependapat dalam beberapa masalah dengan mereka.[6]
Sebagai
seorang ulama yang membenci sikap taqlid dan fanatisme terhadap mazhab, Al-Qaradawi
membebaskan keterikatan dirinya terhadap suatu mazhab ketika menghadapi
persoalan-persoalan. Dia sangat terbuka menerima pendapat-pendapat yang datang
dari berbagai mazhab. Hal tersebut menurutnya bukanlah taqlid (mencampuradukkan)
pendapat-pendapat seperti dikatakan orang, tetapi sekedar mengikuti petunjuk
dari data yang diperoleh. Menurut Al-Qaradawi seorang "muhaqqin" (peneliti)
yang baik hanya boleh mengikuti dalil-dalil yang netral dan bersumber dari
al-Kitab dan as-Sunnah.[7] Al-Qaradawi
berpandangan bahwa sudah saatnya sekarang ini untuk melakukan ijtihad insya'i,
yaitu upaya melahirkan hukum yang sama sekali orisinil, upaya pemikiran yang
belum pernah dihasilkan orang-orang terdahulu.[8]
2. Karya-karya
Yusuf Al-Qaradawi
Sebagai
seorang cendekiawan, Al-Qaradawi sangat produktif menulis untuk menyampaikan
gagasan dan pemikirannya, baik yang berkaitan dengan hukum Islam maupun yang
berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi dan budaya secara global. Hingga saat
ini ia menghabiskan waktunya untuk menulis, mengarang buku-buku, artikel dan surat kabar. Disamping
karyanya yang terbesar dan terpopuler yaitu Fihq az-Zakah, ia juga
banyak menulis buku di antaranya adalah:
- Huda
al-Islam, Fatawa al-Mu'asirah
(Fatwa-fatwa Kontemporer)
- Al-Musykilat
al-Faqr
- Al Halal
wa al-Haram
- Al-Ibadah
Fi< al-Islam
- Ima<n
wa Taqiyyah
- An-Nas{ wa
al-Haq
- Asy-Syari'ah
al-Isla>miyyah Khulu<ha wa Salihuha li at-Tat{biqi li Kulli Zaman
wa Makan
- Iman wa
al-Hayyat
- Al-Waqt
fi< Hayyat al-Muslim
- As-Sahwah
al-Islamiyyah Baina al-Juhd wa at-Tatarruf
- Kaifa
Nata'ammal ma'a as-Sunna an-Nabawiyyah Ma'alim wa Dawabit{
- A-Khsa<
'is al-'Ammah li al-Isla>m
Disamping
beberapa judul di atas masih banyak lagi judul buku Yang tidak dapat penyusun cantumkan.
B. Pemikiran
Yusuf Al-Qaradawi Tentang Pajak dan Zakat
1. Prinsip
Keadilan Antara Pajak dan Zakat
Tugas
negara pada prinsipnya berusaha dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan
bagi rakyatnya. Untuk itu negara harus tampil kedepan dan turut campur tangan,
bergerak aktif dalam bidang kehidupan masyarakat, terutama di bidang
perekonomian guna tercapainya kesejahteraan umat manusia.
Untuk
mencapai dan menciptakan masyarakat yang sejahtera, dibutuhkan biaya-biaya yang
cukup besar. Demi berhasilnya usaha ini, negara mencari pembiayaannya dengan
cara menarik pajak. Penarikan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan
negara sebagai suatu fungsi esensial. Di beberapa negara yang sudah maju, pajak
sudah merupakan suatu conditiesine qua non bagi penambahan keuangan negara.[9]
Keuangan negara akan lumpuh bila tidak ada pemungutan pajak.
Pajak
merupakan kewajiban yang harus dibayar
oleh setiap wajib pajak dan dipaksa bila tidak mau membayar secara sukarela.
Untuk menghindari perbuatan yang merugikan negara maupun wajib pajak seperti
penipuan dan kecurangan maka diperlukan undang-undang perpajakan, yang diharapkan bisa memenuhi prinsip keadilan.
Adam
Smith dalam bukunya Wealth of Nations yang dikutip oleh Bohari ia mengemukakan
empat asas dalam pemungutan pajak yang lazim dikenal "four canons
taxation" atau sering disebut "the four maxims". Keempat
asas itu adalah equality (asas
persamaan), certainty (asas kepastian), conveniency of payment (asas
menyenangkan), low cost of collection (asas efisiensi).[10]
Sebenarnya
prinsip-prinsip yang senada tersebut sudah
ada dalam Islam, lebih dari 1000 tahun sebelum Adam Smith.[11]
Dalam
penjelasan prinsip-prinsip tersebut Adam Smith berkata
Rakyat
pada suatu negara wajib berperan serta dalam pembiayaan negara. Semuanya
disesuaikan dengan kemungkinan dan kemampuannya, yaitu atas dasar perlindungan
dari negara terhadap pendapatan yang dapat diperolehnya.[12]
Al-Qaradawi juga sependapat dengan Adam Smith, dan
diuraikannya keempat prinsip sebagai berikut :
a. Keadilan
Keadilan
adalah prinsip pertama yang wajib diperhatikan dalam setiap pajak yang
dikenakan kepada masyarakat.
Di
dalam Islam prinsip keadilan ditekankan dalam segala hal, sebagaimana dijelaskan
dalam al-Qur'an bahwa para Nabi berperan besar untuk membina keadilan sosial di
dunia. Untuk mencapai tujuan ini, mereka diberi kitab dan neraca (keadilan),
sehingga mereka dapat mengawasi dari perbuatan sia-sia yang dilakukan manusia
dan memelihara prinsip keseimbangan yang mantap. Neraca keseimbangan (keadilan)
ini bukanlah semata-mata masalah moral dan rohani, melainkan meliputi segala
aspek kehidupan manusia. Berlakunya keadilan pada setiap segi kehidupan manusia
merupakan hal yang penting, sehingga keselarasan dapat terwujud pada setiap
tindakan manusia.[13]
Al-Qaradawi
menjelaskan apabila prinsip keadilan tersebut diterapkan dalam pajak dan zakat maka
akan didapat dengan jelas dan ditemukan keadilan itu dalam berbagai hukumnya.
1) Sama Rata
dalam Kewajiban Zakat
Setiap
muslim terkena zakat yang memiliki satu nisab, zakat tidak memandang bangsa,
warna kulit, keturunan atau kedudukan dalam masyarakat. Berbeda dengan hukum
Barat zaman dahulu yang membebaskan pajak atas kaum bangsawan dan pemimpin
agama.[14]
Lain halnya dengan zakat dimana semua muzakki sama rata dalam kewajiban
zakat. Rasulullah s.a.w. bersabda:
عن ابن عمر قال فرض
رسول الله صلىالله عليه وسلم صدقة الفطر صاعا من شعير اوصاعا من
تمرعلىالصغيروالكبيروالحروالمملوك.[15]
Dalam
al-Qur'an juga dijelaskan mengenai kewajiban zakat. Sebagaimana firman Allah
swt.
حذ
من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهمم بها.[16]
Ayat ini berlaku
umum bagi siapa saja, karena semua membutuhkan kesucian dari Allah.[17]
Walaupun
terdapat perbedaan pokok antara zakat dan sumber-sumber modern keuangan negara,
namun zakat dapat dihubungkan dengan empat prinsip perpajakan Adam Smith. Dalam
pajak terdapat asas kesamaan, yaitu bahwa seseorang dalam keadaan yang sama
hendaknya dikenakan pajak yang sama. Dalam asas equality (asas
persamaan) tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara
wajib pajak.[18]
2) Membebaskan
Harta yang Kurang dari Nisab
Untuk
tercapainya suatu keadilan, Islam dalam kewajiban zakat membebaskan harta yang
sedikit dari kewajiban zakat. Zakat tidak diwajibkan kecuali bagi harta yang
mencapai satu nisab. Hal ini dimaksudkan agar pemungutan zakat dari kelebihan
akan mudah bagi jiwa dan tidak berat menurut tabiat manusia.[19] Allah
s.w.t. berfirman:
ويسألونك ماذاينفقون قل العفو[20]
W.J.
de Langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda, dalam penjelasan asas pokok
perpajakan menyebutkan bahwa bagi yang pendapatannya di bawah basic need
dibebaskan dari pajak.[21]
3) Larangan
Zakat Ganda
Keadilan
pajak keuangan Islam menetapkan prinsip penyatuan aplikasi zakat dan tidak ada
zakat ganda untuk mencegah pemaksaan bagi pemilik harta, adanya unsur
kedzaliman, penghalang harta dan pemeliharaan kemampuan beban harta.[22]
Di antara pelaksanaan prinsip yang paling nampak, adalah undang-undang yang
diuraikan Rasulullah saw. dalam sabdanya :
Berdasarkan
hadits tersebut Ibnu Qudamah menetapkan bahwa tidak ada boleh mewajibkan zakat
dua kali dalam setahun dengan satu sebab.[24]
Abu
Hanifah berkata:
Pemilik
harta tidak boleh menggabungkan hasil penjualan unta, sapi atau kambing, yang
telah dizakati dengan sejumlah uang sendiri yang cujkup senisab. Ia memberikan
alasan bahwa dengan cara demikian berarti melakukan thunaya dalam
sedekah. Karena thunaya itu berarti mewajibkan zakat dua kali terhadap
satu milik dalam satu harta, dalam setahun dan hal itu bertentangan dengan
hadits.[25]
Al-Qaradawi
sependapat dengan para imam mazhab seperti Imam Maliki, Imam Abu Hanifah dan
Imam asy-Syafi'i yang tidak membolehkan zakat ganda dalam setahun dengan satu
sebab. Bahwa hukum keuangan Islam sejak dulu berpedoman pada prinsip keadilan
dalam memberikan beban kewajiban yang terpenting adalah larangan adanya zakat
ganda sebagaimana ditegaskan dalam hadits.
4) Perimbangan
Untuk
menentukan besar kecilnya kadar zakat yang akan dikeluarkan perlu diperhatikan perimbangan.
Di antara keadilan dalam Islam ialah adanya perimbangan antara besarnya kewajiban dengan besarnya
tenaga yang dikeluarkan oleh manusia.[26]
Contoh yang jelas dalam hal ini ialah kewajiban membayar zakat 10% bagi tanaman dan buah-buahan
yang diairi tanpa alat (air hujan) 5% bagi tanaman atau buah-buahan yang
disiram dengan alat.
5) Kondisi
Keadilan
tidak hanya ditekankan pada benda yang dizakati, tapi juga mencakup pada
unsur-unsur yang menyangkut kondisi orang yang mengeluarkan zakat itu. Para ahli keuangan membedakan dua macam pajak, yaitu :
a. Pajak benda
yang wajib atas mata bendanya, secara paksa tanpa memperhatikan kondisi pribadi
dan tanggungannya.
b. Pajak
kepala yaitu pajak yang harus
memperhatikan kondisi wajib pajak.[27]
Keadilan pajak mempertimbangkan beban kemampuan
pembayar pajak, sebab pajak ditentukan tidak berdasarkan nisab,
sedangkan zakat diambil karena ada unsur kelebihan kebutuhan pemilik harta dan
kebutuhan keluarganya.[28]
Dalam
Islam bagi orang yang hartanya kurang dari satu nisab maka dibebaskan
dari kewajiban zakat. Hal ini didasarkan bahwa Islam mewajibkan zakat
orang-orang kaya untuk diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka.[29]
Sebagian fuqaha' berpendapat bahwa bagi orang yang dililit hutang maka
dia terbebas dari kewajiban zakat, hutangnya itu menggugurkan nisab atau
menguranginya.[30]
6) Keadilan
dalam praktek
Kandungan
nash-nash yang berisi syariah tentang pemeliharaan keadilan tidak
berarti bila tidak diaplikasikan dalam praktek. Maka Islam berhati-hati dalam
memilih para amil zakat, mereka yang menjadi amil zakat harus memiliki sifat
jujur, dapat dipercaya dan suka memelihara diri. Hal ini diharapkan untuk menghindari
menyeleweng dari apa yang seharusnya.
b. Kepastian
Prinsip
yang kedua yaitu kepastian, maksud kepastian disini adalah bahwa bagi wajib pajak,
harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah dan cara pembayaran pajak. Dalam
prinsip ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subjek dan
objek pajak.[31]
Menurut Gazi Inayah prinsip kepastian ini dalam bahasan zakat memang lebih
jelas, lebih rinci dan lebih konsisten, baik yang berkaitan dengan nilai barang
zakat, nisab, kadar, ketentuan, sebab-sebab menghasilkan zakat atau yang
lainnya.[32]
Dalam
penjelasannya tentang kepastian, Adam Smith berkata :
Pengetahuan
para subjek pajak tentang kewajiban-kewajibannya hendaklah pasti, tidak boleh
ada keraguan sedikitpun, sebab ketidakpastian dalam sistem pajak apapun sangat
membahayakan bagi tegaknya keadilan dalam distribusi beban pajak.[33]
Kepastian
itu sangat erat hubungannya dengan kestabilan pajak. Karena seringnya perubahan
mengenai aturan-aturan perpajakan akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan dan
timbulnya keraguan di kalangan masyarakat.[34]
c. Kelayakan
Pajak
seharusnya dipungut pada waktu yang tepat, maksudnya pemungutan itu dilakukan
ketika wajib pajak itu dalam keadaan senang.[35] Misalnya:
pemungutan pajak bumi dan bangunan terhadap para petani, sebaiknya dipungut
pada saat mereka memperoleh uang yaitu pada saat panen.
Pada
prinsip ini ditekankan untuk menjaga perasaan para wajib pajak, dan berlaku
sopan terhadap mereka. Hal ini untuk menarik simpatik sehingga mereka dengan
suka rela akan menyerahkan pajak itu tanpa ada rasa ragu dan terpaksa karena
perlakuan yang kurang baik.[36]
Dalam
memungut zakat tidak diperbolehkan memungut harta yang terbaik tapi
diperintahkan untuk memungut harta yang pertengahan. Hal ini didasarkan pada
wasiat Nabi s.a.w. kepada Muaz| Bin Jabal ketika ia diutus beliau ke negeri
Yaman, supaya tidak memungut harta yang terbaik dari mereka.[37]
Pada
prinsip ini menghendaki perolehan zakat untuk melestarikan harta dari muzakki,
untuk itu tidak boleh mengambil harta yang terbaik juga tidak boleh mengambil
harta yang terjelek, tetapi harta yang dikeluarkan adalah yang tengah-tengah.[38]
Selain
ketentuan-ketentuan di atas ditetapkan juga adanya perluasan dan keringanan
untuk mukallaf untuk menghindari kedzaliman, sewenang-wenang, sehingga
kemungkinan tidak jadi mengambil zakat jika terjadi sesuatu yang bukan menjadi
haknya.
Hukum
keuangan Islam memperbolehkan menangguhkan penarikan zakat dari waktu yang
telah ditentukan karena beberapa sebab. Seperti yang pernah dilakukan Umar bin
Khatab pada musim paceklik, ia menangguhkan penarikan zakat ke tahun depan
kemudian dikumpulkan dari dua tahun silam.[39]
d. Faktor Ekonomis
Prinsip
keempat mengenai prinsip keadilan yang terkenal dalam masalah perpajakan adalah
ekonomis. Maksud ekonomis di sini yaitu ekonomis dalam pembiayaan pemungutan
pajak dan menjauhi pemborosan.[40]
Asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari hasil
yang akan diterima.[41]
Dalam
Islam sendiri diperintahkan untuk berlaku sederhana dan ekonomis, dan melarang
pemborosan serta berlebih-lebihan. Apabila dikaitkan dengan zakat, maka hukum
Islam sangat kompeten untuk tidak berbuat aniaya dalam penarikan zakat, baik
dari para amilnya atau dari wajib zakat serta melarang menerima hadiah sebagai
pekerja penarik zakat.
Imam
asy-Syafi'i menegaskan bahwa tidak boleh memberi upah kepada para amil kecuali
dia sudah mendapat bagian tanpa penambahan atau kelebihan.[42]
Kita dapat melihat bagaimana Rasulullah bertindak tegas dan keras kepada para
pemungut zakat serta para amilin lainnya. Rasulullah sangat benci kepada
orang yang memberikan hadiah yang dikatakan bahwa hadiah itu untuk beliau.[43]
2. Pelaksanaan
Pajak Disamping Zakat
Masih
ada perbedaan dalam bentuk undang-undang terhadap kekuasaan pemerintah dalam
mewajibkan pajak dan zakat.
Dasar-dasar
yang digunakan al-Qaradawi dalam memperbolehkan adanya kewajiban pajak
disamping zakat.
a. Solidaritas
merupakan satu kewajiban.
Pembahasan
mengenai keuangan Islam, tidak terlepas dari pertanyaan apakah dalam harta ada
kewajiban lain selain zakat? Dan telah diketahui bahwa adanya persetujuan
tentang kewajiban kepada kaum muslim sesudah zakat, apabila ada keperluan yang
perlu ditanggulangi bersama meskipun akan menghabiskan seluruh harta.[44]
b. Sasaran
zakat itu terbatas sedangkan pembiayaan negara sangat banyak.
Zakat
merupakan baitul mal yang bersifat khusus, yaitu anggaran yang berdiri
sendiri.[45]
Sasaran zakat terbatas pada delapan asnaf sebagaimana yang ditentukan
al-Qur'an[46]
sehingga pengeluaran zakat tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran umum
negara. Para ahli fiqh tidak membolehkan menggabungkan harta zakat dengan
kekayaan dari sumber lain. Sebagaimana pendapat Abu Yusuf yang dikutip oleh Al-Qaradawi
:
tidaklah
layak kiranya harta kharaj digabungkan dengan harta zakat, karena harta kharaj
adalah harta rampasan untuk seluruh kaum muslimin sedangkan harta zakat
diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam al-Qur'an.[47]
Di sisi lain negara memerlukan biaya-biaya untuk
pengadaan sarana-sarana umum dan untuk membayar gaji para aparatur negara, dari
manakah memperoleh biaya untuk keperluan umum, maka pemerintah tidak ada jalan
lain kecuali mewajibkan pajak, untuk memenuhi keperluan-keperluan yang wajib
dibiayai. Hal ini sesuai dengan kaidah " sesuatu yang menjadi syarat bagi
yang wajib adalah wajib".[48]
c. Kaidah-kaidah
umum hukum syara'.
Dalam
menetapkan apakah diperbolehkan memungut pajak disamping zakat maka digunakan
kaidah-kaidah umum hukum syara' sebagai landasan. Dari kaidah itu timbullah
istilah, seperti memelihara kepentingan umum. Juga ada kaidah yang menyebutkan:
اذا
تعارض مفسدتان روعىأعظمهماضررابارتكاب أخفهما[49]
Dalam
hal ini ulama mengharuskan untuk mengisi kas negara dengan hasil pajak yang
ditetapkan oleh kepala negara untuk menghadapi berbagai bahaya yang mengancam
atau untuk memenuhi segala kebutuhannya. Menurut al-Qaradawi apabila negara
Islam modern tidak memungut pajak untuk pembiayaan-pembiayaan negara, maka
lambat laun akan menjadi lemah, dan akan menjadi parah bila timbul ancaman
militer terhadapnya.[50]
d. Jihad
dengan harta dan tuntutannya atas biaya yang besar.
Al-Qaradawi
berpijak pada al-Qur'an :
- انماالمؤمنون الذينءامنوابالله ورسوله0ثم
لم يرتابواوجاهدوابأمولهم وانفسهم في سبيل الله[51]
- وانفقوافي سبيل الله ولاتلقوابأيديكم
إلىالتهلكة واحسنوا ان الله يحب المحسنين[52]
Dari
ayat-ayat di atas jelas bahwa ada kewajiban bagi kaum muslimin untuk
membelanjakan hartanya di jalan Allah. Dan kewajiban ini adalah kewajiban
diluar zakat.
e. kerugian
dibalas dengan keuntungan.
Masyarakat
akan memperoleh fasilitas dari pemerintah, fasilitas tersebut dibiayai oleh
pajak yang dipungut dari rakyat. Maka masyarakat wajib menyokong dengan harta
guna untuk membiayai sarana-sarana umum. Hal ini sesuai prinsip yang ditetapkan
oleh para ulama, yaitu kerugian dibalas dengan keuntungan.[53]
[1] Yusuf
Qarad{awi, Huda al-Islam: Fatawa al-Mu'asrah, alih bahasa Abdurrahman
Ali Bauzain,(Surabaya: Risalah Gusti, 1989), hlm. 455
[2] Ibid.
[3] Yusuf Qarad{awi, Pasang
Surut Gerakan Islam, alih bahasa Farid Uqbah dan Hartono, (Jakarta :Medan
Dakwah, 1987), hlm.154
[7]Yusuf al-Qarad{awi, Hukum zakat, Alih bahasa
Salman Harun dkk, cet. IV, (Bandung: Mizan, 1996), hlm.18
[8] Yusuf
al-Qarad{awi , Muh. Madani dan Mu'inuddin Qadir, Dasa-dasar pemikiran Hukum
Islam, alih bahasa Hasan Firdaus, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), hlm.85
[13] Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan
Nastangin,(Yogyakarta : Dana Bhakti wakaf, 1995), I:32
[14]Yusuf al-Qarad{awi, Hukum Zakat, hlm. 1039
[15] Husein
Bahreisy Himpunan Hadits Pilihan:Hadits Shahih Bukhari,(Surabaya:
Al-Ikhlas, 1980), hlm.116
[22] Gazi Inayah, Teori
Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, (Yogyakarta
: Tiara Wacana, 2003), hlm. 190
[23] Hadits
riwayat Abu Abaid, al-Amwal, hlm.375., dan Ibnu Abu Syaibah., dalam
Yusuf al-Qarad{awi, Hukum Zakat,hlm.1041
[31] Bohari, Pengantar Hukum
Pajak, hlm.42
[36]Yusuf al-Qard{awi, Hukum zakat, hlm.1049
[38]Gazi Inayah, Teori
Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, hlm. 56
[41]Bohari, Pengantar Hukum Pajak,
hlm.42
[42]Gazi Inayah, Teori
Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, hlm. 57
[46]At-Taubah, (9):60
0 Response to "Biografi Yusuf al-Qaradawi dan Pemikirannya"
Post a Comment