Hadits Palsu dalam Kitab Fadhail Amal
Hadits dhoif dalam Fadhilal Amal |Hadis Palsu | Hadits Palsu dalam Kitab Fadhail Amal
A. Pengertian
Hadis Dhaif
"Apa-apa
(hadis) yang tidak terdapat kriteria s}ah}ih} atau hasan".
ما
فضّل من الشيئ. [40]
الزيادة عن الإقتصار
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HADIS DHO’IF DAN
FAHAILUL
AMAL
Hadis, khabar,
as\ar atau sunnah merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat
atau tabi'in baik dalam bentuk perkataan, pernyataan, pendiaman, pengakuan,
gerak-gerik, isyarat, sifat dan sebagainya. Semua ini dijadikan sebagai
landasan untuk berbuat sesuai dengan ajaran atau syariat Islam. Hadis yang
dijadikan sebagai landasan ini dapat membawa dan memberikan kebenaran Islam
yang haqiqi. Kebenaran pada hadis akan memberikan signifikansi atau
pemahaman di dalamnya, sehingga dapat dijadikannya sebagai landasan kedua
setelah al-Qur'an. Makna di dalamnya memberi arti tersendiri bahwa dalam proses
perkembangannya mengalami sebuah
lingkaran atau perputaran ruang dan waktu secara kontinuitas. Maksudnya dalam
usaha menjaga dan memeliharanya membutuhkan pemikiran mendalam, agar hasil yang
diperoleh benar-benar terbukti kebenarannya dan dapat diimplementasikan dalam
kehidupan berdasarkan syari’at yang telah ditentukan.
Oleh karena itu, dalam
perkembangan ilmu hadis, sebagian ulama menaruh perhatian besar dan kepedulian,
dengan berusaha meneliti hadis secara ilmiah dan dapat dipertanggung-jawabkan
agar eksistensi hadis dapat dijaga dan dipelihara serta mampu memberikan
pemahaman yang komprehensif. Selain itu, untuk mengetahui kedudukan hadis,
baik yang maqbu>l dan
mardu>d, mutawa>tir dan ah}a>d, bersambung atau
tidak, sehingga dapat dikelompokkan dalam kategori tertentu. Salah satu usaha
yang dilakukakan dengan mengetahui penilaian kualitas hadis berdasarkan sifat,
baik tidaknya, kuat dan lemahnya atau diterima dan tidaknya hadis sebagai hujjah.
Sanad, rawi dan
matan merupakan unsur-unsur penting yang menjadi penilaian hadis pada umumnya,
dan secara khusus dapat diketahui kualitas hadis dengan melihat kaidah-kaidah
yang telah ditentukan. Oleh karena itu, ketiadaan unsur akan berpengaruh pada
eksistensi dan kualitas hadis itu sendiri.
Pembagian kualitas
hadis, baik hujjah, hasan maupun dhaif mengindikasikan bahwa
apakah suatu hadis dinisbahkan secara langsung kepada sumber utama dengan
kualitas perawi yang dapat dipertanggungjawabkan. Atau dengan kata lain hubungan antara rawi
yang satu dengan lainnya mempunyai kualitas interaksi yang signifikan terhadap
informasi yang diperoleh dari sumber, yaitu Nabi. Oleh karena itu berimplikasi
pada boleh tidaknya suatu hadis dapat dijadikan sebagai rujukan dalam memahami
dan melaksanakan ajaran Islam.
Pada
pembahasan bab kedua ini, penulis
mencoba untuk mendeskripsikan secara umum mengenai hadis dhai fbeserta
klasifikasinya. Selai itu, berusaha memahami persoalan fadhaailul al-amal
baik dari aspek terminologisnya maupun konteks persoalan yang akan dikaitkan
dengan pembahasan ini secara komprehensif.
A. Pengertian
Hadis Dhaif
Secara etimologis, hadis dhaif
berasal
dari kata Hadits yang berarti pembicaraan, hal yang baru, dan kata dhaif ,
dari kata d}a'ufa (d}a'afa)- yadh'ufu-d}a'fan, dhaif an, kebalikan dari qawi> (yang kuat).[1] Sehingga hadis dhaif berarti
suatu pembicaraan yang lemah (tidak kuat). Pengertian yang dimaksud adalah
makna dhaif secara ma’nawi>.
Secara terminologi, dapat
didefinisikan:
"Setiap
hadis yang didalamnya tidak terpenuhi atau tidak mengandung sifat-sifat yang
diterima (maqbu>l)".
Dalam Tadri>b
al-Ra>wi> disebutkan :
"Apa-apa
(hadis) yang tidak terdapat kriteria s}ah}ih} atau hasan".
Selain
terminologis di atas, al-Baiquni> mencoba memahami hadis dhaif , “tiap-tiap hadis yang
tingkatannya lebih rendah dari hadis hasan, maka dari itu tingkatan hadis dhaif
banyak macamnya”.[4]
Secara
umum dapat dipahami bahwa hadis dhaif merupakan tingkatan kualitas hadis
setelah hujjah dan hasan, yang di dalamnya terdapat salah satu atau sama
sekali syarat-syarat diterima dan tingkatannya berada di atas hadis
maud}u>'. Atau kualitas hadis yang kurang memenuhi persyaratan
unsur-unsur kaidah kesahihan hadis.
Hadis
dhaif sebagai sebuah hasil
periwayatan, menerangkan aspek kualitas yang terdapat di dalamnya –
sebagaimana pandangan para ulama – berada pada jalur periwayatan yang tidak maqbu>l.
Untuk hadis hujjah dan hasan, ulama sepakat sebagai jalur
periwayatan yang maqbu>l, hanya saja kualitas syarat yang terdapat
pada hujjah lebih tinggi dari hasan.
Berdasar
terminologi yang ditawarkan oleh ‘Ajjaj al-Khat}t}i>b bahwa suatu hadis dhaif
merupakan hadis yang di dalamnya tidak terpenuhinya syarat-syarat diterima
suatu hadis. Maksud persyaratan diterimanya itu adalah :
2. 'Adil.
3. Ittas}a>l
al-Sanad.
4. Terhindar
dari syaz|.
5. Terhindar
dari 'llat.
Dengan
demikian, apabila terdapat kerusakan pada syarat-syarat di atas akan
berimplikasi pada kualitas hadis tersebut dan otentisitas hadis perlu diteliti
kembali. Pentingnya hadis dhaif diketahui untuk memberikan informasi,
bagaimana kedudukan hadis tersebut, klasifikasi dan implikasinya terhadap
situasi dan kondisi tertentu dalam periwayatan.
B. Klasifikasi Hadis Dhaif
Seiring
perkembangan ilmu mus}t}alah} al-Hadits (periwayatan hadis), keberadaan
ulama hadis sebagai mediator pada ranah keilmuan hadis mempunyai peran penting
dalam mewujudkan dan mempertahankan keutuhan sebuah keilmuan yang mampu
memberikan pemahaman dan kualitas keilmuan yang dapat implementasikan dalam
kehidupan. Tekad yang sungguh-sungguh (ijtihad) dan usahanya dalam penelitian
secara teliti, agar diperoleh suatu kadar kualitas penelitian hadis yang valid
sehingga dapat dikategorikan sesuai kadar penilaiannya dan dapat dijadikan
sebagai hujjah.
Awal
mula munculnya klasifikasi hadis, ulama mutaqaddimi>n, membaginya
atas hadis yang kuat dan lemah. Hadis yang kuat, sebagai periwayatan diterima,
dan lemah tidak diterima. Hal ini menunjukkan pada kuat atau lemahnya suatu
hadis (dengan kata lain disebut juga sebagai hadis maqbu>l dan mardu>d).
Sedangkan ulama muta’akhkhiri>n mengklasifikasikannya atas hujjah,
hasan dan dhaif . Pembagian ini menunjukkan ketelitian dan
pertimbangan atas evaluasi kritis di kalangan ulama hadis waktu itu.[7]
Oleh
Abu> Sulaima>n Ah}mad al-Khit}a>bi> bahwa hadis terbagi atas hujjah,
hasan dan saqi>m (lemah). Menurutnya, kualitas saqi>m
(lemah) mempunyai tiga tingkat kelemahan, yaitu maud}u>', maqlu>b
dan majhu>l.[8]
Dalam pembagian ini beliau tidak memberikan penjelasan kenapa hadis
terbagi tiga tingkatan.
Penggunaan
hadis hasan muncul, setelah abad ke-3 Hijriyah. Kemunculan ini sebagai
konsekuensi penilaian terhadap kualitas hadis yang ada waktu itu. Mengingat
kalau disebut hadis dhaif tidaklah sesuai, disebut hujjah juga
kurang tepat. Oleh karena itu, menurut Turmuz|i> hadis tersebut diberi
justifikasi hasan. Atas penilaian ini berkembanglah istilah hasan
sebagai salah satu penilaian terhadap hadis.
Persoalan
menjadi berkembang ketika justifikasi hadis dihadapkan pada kualitas hadis dhaif
. Hadis dhaif pada
pembagiannya memiliki keragaman bentuk yang berbeda, sehingga para ulama
mencoba meneliti dan menghimpun bentuk-bentuk logis, yang mengindikasikan tidak
adanya ciri hujjah dan hasan. Dengan usaha ini dapat diketahui
faktor yang menjadikan hadis dinilai dhaif .
Sebelum memaparkan lebih jauh klasifikasi
hadis dhaif , penulis
akan mendeskripsikan pandangan para ulama mengenai jumlah hadis dhaif . Berdasarkan
literatur yang ada, klasifikasi hadis dhaif oleh para ulama memiliki
keragaman pandangan dalam menyebutkan jumlah hadis tersebut. Jumlah hadis dhaif yang disebutkan
beragam, tapi tidak dijelaskan secara komprehensif sesuai dengan jumlahnya
hanya saja disebutkan berdasar ke-dhaif
-annya. Keragaman jumlah hadis
dhaif akan jelaskan di bawah ini, sesuai dengan pandangan para
ulama.
Secara teoritis, menurut al-Mana>wi> (w.
1031 H), baik dilihat dari persambungan maupun ‘adalah suatu sanad, hadis dhaif dapat
mencapai seratus dua puluh sembilan macam. Tetapi bila dikaji secara
utuh dapat diklasifikasikan lagi menjadi 81 macam.[9] Hal ini dimungkinkan
bahwa status kelemahan yang diteliti sangat terkait dengan aspek kelemahan
lainnya, sehingga berimplikasi pada ragamnya bentuk hadis dhaif .
Berdasarkan
Abu> Amr bin S}ala>h} al-Syahrazu>ri> dalam Muqaddimah
menyatakan bahwa Ibn H}ibba>n al-Busti> menyebutkan jumlah hadis dhaif
mencapai 49 macam. Lain halnya dengan al-Ira>qi> menyebutkan
jumlahnya 42 macam dan ada juga yang berpandangan 63 macam.[10] Penyebutan ini menunjukkan
jumlah hadis dhaif cukup banyak, meskipun angka tersebut oleh para ulama
tidak disepakati.
Penyebutan
jumlah hadis dhaif di
atas, tidaklah memberikan pemahaman yang jelas seberapa banyak lagi kadar
kualitas hadis tersebut. Secara implisit, ulama menyebutkan dengan tidak
diiringi pembagian kualitas hadis sesuai jumlah, sehingga penulis hanya
menunjukkan pandangan ulama mengenai jumlah hadis dan tidak menjelaskan
klasifikasi hadis secara luas.
Mengenai
sebab-sebab ke-dhaif -an hadis, secara
umum ulama melihat dari aspek perawi yang gugur dalam sanad dan
kecacatan pada diri perawi (jatuhnya perawi dalam periwayatan atau persambungan
sanad), dan dari aspek ke-dhaif -an pada sifat matanya (berkaitan dengan
syaz\ dan ‘illah).[11] Sedangkan ‘Azami menyebutkan
sebab ke-dhaif -an sesuai dengan ke-dhaif -an yang disebabkan
oleh cacatnya pada diri perawi, ke-dhaif -an yang disebabkan
keterputusan isna>d dan ke-dhaif -an yang diakibatkan oleh
faktor-faktor alasan insidental.[12]
Berkenaan
dengan sebab-sebab ke-dhaif -an hadis, sekiranya dapat diketahui pada
bentuk hadis dhaif yang di dalamnya menunjukkan sisi ke-dhaif -an
suatu hadis. Sebelum itu akan dipaparkan ke-dhaif -an hadis berdasar
pada cacatnya (ketercelaan) perawi, yang oleh Ibnu H}ajar al-Asqalani>
diklasifikasikan secara sistematis.[13]
1.
al-Ka>z|ib, maksudnya dikenal suka
berdusta.
2.
al-Tuhmah
bi al-kaz|b ;
tertuduh telah berdusta.
3.
Fah}sy
al-Galt},
maksudnya banyak periwayatan yang salah dari yang benar.
4.
al-Gaflah
‘an al-Itqa>n ;
sifat lupa yang menonjol dirinya dari hafalannya.
5.
al-Wahm
; maksudnya
periwayatan yang mengandung kekeliruan.
6.
al-Mukha>lafah
‘an al-s|iqah ;
periwayatan yang bertentangan dengan periwayatan yang s\iqah.
7.
al-Fusu>q/
al-Fisq ;
berbuat fasik, tapi belum sampai ke kafir.
8.
al-Jaha>lah
; periwayatan
yang tidak dikenal jelas pribadi dan keadaannya.
9.
al-Bid’ah
; berbuat
bid’ah yang mengarah ke fasiq dan belum ke kafir.
10. Su>’u
al-H}ifz\} ;
hafalannya yang jelek berakibat banyak salah dalam riwayatnya tetapi ada juga
yang benar.
Keseluruhan
sebab di atas, menunjukkan tingkat ketercelaan periwayat. Hal itu, juga
menunjukkan kriteria tingkatan-tingkatan ke-dhaif -an yang banyak
diikuti dan dipakai oleh para ulama sebagai bagian dari penilaian hadis.
Akan tetapi, oleh Ibnu H}ajar
al-Asqalani> membaginya menjadi dua bagian, lima kriteria pertama sebagai
sebab ke-dhaif -an yang merusak keadilan periawayat dan lima kriteria
kedua merupakan sebab ke-dhaif -an yang merusak ke-d}abit}-an
periwayat. Namun demikian, ia tidak menjelaskan kategori tersebut. Lain halnya
dengan ‘Ali> al-Qa>ri> secara jelas menunjukkan dan menyebutkan al-kiz\b, tuhmat bi al-ka>z\ib,
al-fisq, al-jaha>lah dan bid’ah sebagai sifat-sifat yang merusak
keadilan periwayat dan selain itu yang merusak ke-d}abit}-an periwayat.[14]
Mengenai pengklasifikasian
bentuk hadis dhaif , menurut Umar Ha>syim dalam bukunya Qawa>‘id
Us}u>l al-H}adi>s\ membagi hadis dhaif berdasarkan ke-dhaif
-an pada persambungan sanad, ‘adil, d}abt}, syaz\ maupun ‘illah.
Pertama, hadis dhaif berdasar hilangnya kriteria dalam
persambungan sanad, meliputi hadis mu’allaq, mursal, munqat}i‘, mu‘d}al, mudallas, mu‘an‘an dan mua'nnan. Kedua, hilangnya
kriteria persyaratan ‘adil,
yaitu hadis maud}u>‘,
matru>k, munkar, dan
mud}a‘af. Ketiga, hilangnya kriteria d}abit}, meliputi hadis mud}t}arab,
mudarraj, maqlu>b, mus}ah}h}af dan muh}arraf. Keempat, tidak
terbebas dari syaz\, yaitu hadis syaz\, dan kelima, tidak
bebas dari ‘illah
adalah hadis mu‘allal.[15]
Lebih jelasnya akan
dipaparkan dibawah ini sesuai dengan sebab-sebab ke-dhaif -annya.
Pertama,
hadis-hadis da‘if yang ke-dhaif -an
terletak pada persambungan sanad.
1. Hadis Mu‘allaq
Secara etimologi mu‘allaq berarti
tergantung. Dalam kajian hadis, mu‘allaq merupakan hadis yang gugur
periwayatnya di awal sanad, baik seorang maupun lebih secara berurutan.[16]
2. Hadis Mursal
Menurut bahasa, mursal
mempunyai arti lepas atau terceraikan dengan cepat atau tanpa halangan. Kata
ini dipakai untuk hadis tertentu yang periwayatnya “melepaskan“ hadis tanpa terlebih
dahulu mengaitkannya dengan sahabat yang menerima riwayat hadis dari Nabi.[17] Mayoritas menyatakan bahwa
hadis mursal adalah hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh tabi‘i
(besar – kecil), tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi.[18]
Mengenai hadis mursal, para
ulama berbeda pendapat dalam menjadikannya sebagai hujjah. Pertama, Imam
Abu> H}ani>fah, Ah}mad dan Ma>lik serta ulama fiqh bahwa hadis mursal
dapat dipakai sebagai hujjah. Kedua, ulama hadis kebanyakan dan
ulama fiqh menyatakan bahwa hadis mursal tidak dapat dijadikan hujjah
mengingat termasuk hadis dhaif karena adanya sesuatu yang hilang pada
sanad, dan ketiga, Imam Sya>fi’I mensyaratkannya pada tabi’in besar
sebagai hujjah.[19]
3. Hadis Mu‘d}al
Yaitu
hadis yang gugur (digugurkan) dua orang perawi atau lebih dari sanadnya secara
berturut. Dapat dicontohkan, hadis oleh al-A‘masi dari al-Sya‘bi yang berkata :
“demikian………demikian al-Sya‘bi sebenarnya meriwayatkan dari Anas, dan Anas
meriwayatkan dari Rasulullah SAW, lalu dari al-A‘masi menjadi mu‘d}al dengan
menggugurkan Anas dan Rasulullah dari sanad.[20]
4. Hadis Munqat}i‘
Merupakan hadis yang perawinya gugur dari sanadnya
atau terdapat nama perawi yang tidak jelas, seperti hadis mursal, hanya saja
dalam hadis mursal tanpa menyebutkan jahalah.[21] Kemiripan antara hadis munqati‘ dan hadis mursal adalah dalam
ke-dhaif -annya, yang tidak ada kesinambungan pada sanadnya. Sebagaimana
pendapat al-Khat}i>b al-Bagda>di> dalam kitabnya bahwa hadis munqat}i‘
itu sama dengan hadis mursal, hanya sebutan munqat}i‘ biasanya digunakan untuk
riwayat dari seseorang yang bukan tabi‘i
yang meriwayatkannya dari sahabat.[22] Cara yang digunakan untuk
membedakan keduanya dengan ditarjih dan dikompromikan dengan kelahiran setiap
perawi, dan ada kemungkinan bertemu dan saling berkomunikasi.[23]
5. Hadis Mudallas
Dikatakan mudallas karena terdapat penipuan
atau penyembunyian cacat (aib). Salah satu tadli>s-nya dengan
menyembunyikan sesuatu dengan diam.[24] Dalam tadli>s ini,
ulama membagi 2 macam yaitu tadli>s al-isna>d dan tadli>s
al-syuyu>kh. Selain itu, ada tadli>s al-taswiyyah, tadli>s
al-‘at}af dan tadli>s al-suku>t.[25]
6. Hadis Mu‘an‘an dan Mu'annan
Kalau hadis mu‘an‘an merupakan hadis yang mengandung h}arf
‘an. Sebagian ulama menyatakan bahwa
sanad hadis yang mengandung ‘an
adalah sanad
terputus, apabila dipenuhi syarat-syarat tidak terdapat penyembunyian informasi
(tadli>s) yang dilakukan periwayat, antara periwayat dengan periwayat
yang terdekat dan ditengarai huruf عن dimungkinkan terjadi pertemuan, dan menurut
Ma>lik bin Anas, Abd al-Barr dan al-‘Ira>qi> bahwa periwayatnya harus orang-orang yang kepercayaan.
Sedangkan hadis mu'annan adalah hadis yang mengandung hurufأنّ
. Huruf tersebut, menurut sebagian pendapat
menunjukkan keterputusan hubungan periwayatan, terkecuali bila terdapat bukti
bahwa hubungan tersebut tidak terputus. Dengan demikian sanad akan dikatakan
bersambung setelah diadakan penelitian.[26]
Kedua, hadis dhaif yang ke-dhaif
-annya terletak pada ‘adil.
1.
Hadis
Maud}u>‘
Adalah sesuatu yang dinisbahkan
kepada Nabi SAW, tetapi sesungguhnya bukan merupakan perkataan, perbuatan atau
takrir Nabi SAW. Atau hadis yang dibuat-buat oleh para pendusta dan mereka
menyandarkannya kepada Rasulullah.[27] Ciri-ciri hadis tersebut
diantaranya hadis tidaj sesuai dengan fas}ah}ah bahasa Nabi,
bertentangan dengan al-Qur’an, adanya pengakuan sendiri dari pembuat hadis dan
perawi dikenal selalu berbuat dusta.[28]
2. Hadis
Matru>k
Adalah hadis yang diriwayatkan
seorang perawi yang tertuduh berdusta atau menampakkan kefasikan dengan perbuatan,
perkataan atau banyak lalai dan salah.[29]
3.
Hadis
Munkar
Hadis yang diriwayatkan oleh
perawi dhaif yang berlawanan dengan perawi yang s\iqah. Bandingannya
dengan hadis ma‘ru>f.[30]
4.
Hadis
Mud}a‘af
Hadis yang diperselisihkan oleh
para ulama mengenai lemah kuatnya sanad atau matanya. Pada hadis ini terdapat
perbedaan pandangan diantara ulama hadis.[31]
Ketiga,
hadis da‘if yang disebabkan hilangnya
kriteria persyaratan dabit. Secara khusus, ke-dhaif -annya disebabkan
oleh sering atau banyak lupa dan salah dalam periwayatan hadis.
1.
Hadis Mud}tarrab
Kata mud}tarrab berarti
kacau dan tidak beraturan, adalah hadis yang banyak periwayatannya, jumlah
riwayat yang banyak itu sederajat dan seimbang, tidak mungkin mengunggulkan
salah satunya dengan cara apapun. Ada
kalanya, sebuah hadis diriwayatkan dua kali atau lebih oleh perawi, atau satu
hadis diriwayatkan oleh dua atau banyak perawi.[32]
2.
Hadis Mudarraj
Secara bahasa berarti yang
tercampur. Maksudnya, suatu hadis yang
terdapat penambahan sanad atau matan yang bukan dari hadis tersebut, sehingga
tercampur dengan yang diketahui dan menganggap bahwa setiap kata itu berasal dari aslinya.[33]
3.
Hadis Maqlu>b
Maqlu>b mempunyai arti yang terbalik,
yang tertukar. Adalah hadis yang sanadnya atau matanya terbalik atau tertukar
dari yang semestinya.[34]
4.
Hadis Mus}ah}h}af dan Muh}arrah
Arti mus}ah}h}af adalah
yang dirubah. Maksud dalam ilmu hadis adalah hadis yang berubah hurufnya dalam
sanad atau matan karena titik, sedang bentuk tulisan aal masih tetap. Sedangkan
arti muh}arraf, yang dipalingkan, adalah hadis yang harokatnya pada
sanad atau matan berubah dari asalnya.[35]
Keempat,
hadis dhaif
yang disebabkan tidak
terbebas dari syaz\ adalah hadis syaz\. Adalah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang terpercaya, berlawanan dengan riwayat orang-orang
terpercaya yang lain. Menurut Ibnu H}ajar al-Asqalani> batasan hadis
tersebut adalah penyendirian dan perlawanan.[36]
Kelima,
hadis dhaif yang disebabkan tidak terbebas dari ‘illah adalah hadis mu‘allal. Batasan dalam hadis ini adalah
hadis yang terungkap mengandung cacat yang menodai kesahihan hadis, meskipun
sepintas tampak bebas dari cacat. Persoalan menemukan cacat dalam hadis adalah
pekerjaan yang paling sulit, sebab ‘illat tersebut samar dan
tersembunyi. Oleh karena itu dalam penelitian ini harus dibutuhkan pengetahuan
yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat.[37]
Selain
ke-dhaif -an hadis pada sanad, ke-dhaif -an juga terletak ada
pada sifat matanya, yakni apakah matanya
hanya terhenti sampai pad apa yang dikatakan dan diperbuat oleh sahabat saja
atau hanya terhenti sampai tabi‘in saja. Berdasarkan sifat matanya, hadis dhaif
dapat diklasifikasikan menjadi hadis mauquf dan hadis maqt}u>‘.[38]
Pembahasan
macam-macam hadis dhaif berdasarkan kelompok keragamannya dimaksudkan
untuk menjadi pedoman yang komprehensif, guna membedakan antara hadis yang maqbu>l
dan mardu>d, dengan berbagai bentuk dan jenisnya. Selain itu,
dimaksudkan untuk menjelaskan sejauh mana batas ke-dhaif -an suatu
hadis, apakah ia dapat menjadi kuat bila ada hadis yang menguatkannya atau
tetap dhaif , sehingga tidak dapat menjadi kuat sama sekali atau bahkan
merupakan mardu>d.[39]
Oleh
karena itu dapat dipahami bahwa dalam kajian ilmu hadis, ulama berusaha
mengkaji secara mendalam eksistensi hadis di sekitar mereka. Hal ini sebagai
salah satu bukti bahwa para ulama hadis sangat hati-hati dan membutuhkan
pemikiran intelektualitasnya secara intensif dalam melakukan penelitian.
C. Fadhailul A;-mal alam Hadis Dhaif
C. Fadhailul A;-mal alam Hadis Dhaif
Fad}a>il
al-A‘ma>l
terdiri dari
dua kata, yaitu al-Fad}a>il dan al-A‘ma>l. Kata fadhaailul merupakan
jamak dari الفضيلة atau الفضالة yang mempunyai arti:
ما
فضّل من الشيئ. [40]
Dalam
kamus lain disebutkan الفضيلة adalah :
“Kedudukan yang tinggi dalam
suatu kebaikan (kemuliaan)”.
Makna الفضيلة dalam
literatur lain dapat dipahami sebagai makna dan pengertian :
الزيادة عن الإقتصار
Seorang ahli kamus al-Qur’an, Ragi>b
al-Isfah}ani> berpendapat bahwa الفضيلة mempunyai
dua makna, yaitu kelebihan atau keistimewaan dari sisi kebaikan dan kelebihan
dari sisi / segi tercela. Untuk yang pertama dapat dicontohkan mengenai
kelebihan atau keistimewaan ilmu dan sifat kedermawanan, dan kedua kelebihan
emosi.
Lebih lanjut, al-Ragi>b mengatakan
bahwa الفضيلة lebih banyak digunakan untuk persoalan kebaikan. Selain itu,
diartikan dengan keutamaan (keistimewaan), yang olehnya dapat diklasifikasikan
menjadi keistimewaan dari segi jenisnya, keistimewaan dari segi zatnya, dan
keistimewaan dari segi yang diperoleh seseorang atas lainnya.[43]
Sedangkan al-A'ma>l adalah
jamak dari kata al-'amal, yang dalam kamus dapat diartikan dengan المهنة, الفعل.[44]
Dengan demikian fad}a>il al-a'ma>l dapat diartikan
keutamaan-keutamaan, keistimewaan, kebaikan-kebaikan yang ada dalam amal atau
perbuatan.
Merujuk pada arti etimologi antara al-fadhaailul
dan al-a‘ma>l di atas,
secara terminologi dapat dipahami sebagai keutamaan yang terdapat pada
amalan-amalan, yang di dalamnya menerangkan pahala-pahala guna memotivasi untuk
berbuat (mengerjakan) amalan tersebut.
Sebelum memahami secara dalam tentang
kedudukan hadis dhaif dan fadhaailul al-a‘ma>l, terlebih
dahulu untuk menelusuri pandangan ulama secara umum tentang hal tersbut. Sebab
dengan mengetahui pemahaman di kalangan ulama, sekiranya dapat dijadikan
sebagai pijakan untuk memahami pengertian di atas. Oleh karena itu,dibawah ini
akan dipaparkan pandangan sebagian ulama yang menyoroti tentang kedudukan
pengamalan hadis dhaif .
Menurut Ali> al-Qa>ri>’ dalam
kitabnya al-Maraqah berpendapat hubungannya dengan fadhaailul
al-a‘ma>l, berpendapat bahwa sesungguhnya hadis dhaif itu boleh
diamalkan di dalam perkara-perkara yang tergolong dalam fadhaailul
al-a‘ma>l. sesungguhnya perkara ini juga merupakan kesepakatan ulama,
sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Nawawi.[45]
Menukil pendapat Imam Nawawi dalam al-Az\ka>r
al-Muntajab min Kala>m Sayyid al-Mursali>n Muhamamd SAW, bahwa :
Sebagian
golongan muhaddis\in mengatakan hadis dhaif dijadikan alasan
meningkatkan prestasi beramal baik, amal yang disunnahkan atau
peningatan-peningatan mengerjakan amalan yang berdasarkan hadis dhaif ,
asal saja ke-dhaif -an itu tidak sampai ke derajat maud}u>‘. Lain halnya dengan masalah hukum, haram halal, jual beli, nikah, talak
serta lainnya yang serupa haruskah berdasarkan ih}tiya>t}, umpamanya
ada hadis dhaif yang menerangkan makruh tentang sesuatu yang menyangkut
jual beli dan pernikahan, mustahab baginya tidak melakukannya tetapi wajib
menjauhinya.[46]
Oleh karena itu, menurutnya bahwa
apabia dalam periwayatan hadis dhaif tidak boleh dikatakan secara
lengkap, dan tidak boleh berkata terhadap atau tentang riwayat yang dhaif dengan
kalimaat yang menunjukkan kepastian (sigah jazm). Oleh karena dalam
periwayatan hadis dhaif sesungguhnya boleh menggunakan kalimat seperti
“diriwayatkan daripadanya……”, “dinukil daripadanya……”, diceritakan
daripadanya……”, “didatangkan daripadanya……”, disampaikan daripadanya……” dan apa
yang menyerupainya dari kalimat yang menunjukkan kelemahan, bukan yang
menunjukkan kepastian. Oleh karena itu, ulama sepakat bahwa kalimat yang
menunjukkan kepasstian ditunjukkan untuk kualitas hadis sahih atau hasan, dan
manakala kalimat yang menunjukkan kelemahan ditunjukkankepada apa selain daari
kedua hadis tersebut.[47]
Selain itu, al-Hais\ami> membenarkan
penggunaan dalil dengan hadis dhaif dalam beramal sehubungan dengan fadhaailul
al-a‘ma>l. Para ulama sepakat untuk mengamalkan hadis dhaif sehubungan
dengan fadhaailul al-a‘ma>l. Seandainya hadis yang bersangkutan itu
hakekatnya sahih maka sudah seharusnya diamalkan dan seandainya tidak sahih
maka pengamalannya terhadap itu tidak mengakibatkan mafsadah.
Pada hakekatnya kualitas sahih dan
hasan sudah seharusnya dijadikan sebagai hujjah dan dapat diamalkan dalam
berbuat. Lain halnya dengan hadis dhaif , khususnya pengamalannya dalam fadhaailul
al-a‘ma>l menunjukkan aspek kebolehan, asal dalam penggunaannya tidaklah
mengandung suatu kemafsadatan (kerusakan dalam ajaran).
Berkenaan dengan pengamalan hadis dhaif
juga, al-Hafi>z} al-Sakhawi> menerangkan bahwa dalam pengamalan hadis
dhaif terdapat tiga pendapat. Pertama, tidak dibolehkan beramal
dengannya secara mutlak; kedua, boleh beramal dengannya jika dalam hal
tersebut tidak ada selain hadis sahih dan hasan; dan ketiga, merupakan
pendapat jumhur, boleh beramal dengannya dalam hal keutamaan salkan buan dalam
persoalan hukum-hakam.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Sakhawi>,
jumhur ulama yang membolehkan penggunaan hadis dhaif dalam hal keutamaan
beramal, harus diperlukan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut dikemukakan
olehnya, yang didengar dari Ibnu H}ajar al-Asqalani>, yaitu :
1.
Telah disepakati untuk diamalkan,
bahwa kedaifan hadis tersebut tidaklah terlalu lemah. Oleh karena dalam
periwayatan tunggal harus ditolak bagi mereka yang suka berbohong dan dikenal
hafalannya kurang baik.
2.
Kandungan hadis tersebut
masih dapat digolongkan dalam tema dasar umum yang diakui. Maksudnya bahwa
hadis dhaif tersebut berada dibawah dalil yang umum, sehingga tidak
dapat diamalkan hadis dhaif yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.
3.
Amalan atau perbuatan yang
dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadis dhaif , tetapi
diniatkan atas dasar kehati-hatian (ih}tiya>t}).[48]
Apabila memperhatikan syarat-syarat pengamalan
hadis dhaif di atas, menurut Nu>ruddi>n ‘Itr akan diperoleh pemahaman bahwa
syarat-syarat itu untuk menghilangkan anggapan bahwa pengamalan hadis dhaif itu
menetapkan syara‘ baru.
Sebab para ulama mensyaratkan kandungan hadis dhaif itu harus berada di
bawah satu dalil syara‘ yang
umum dan sudah pasti keberadaannya, sehingga pokok pensyariatanya ditetapkan
dengan dalil syara‘ yang
umum dan hadis dhaif itu bersesuaian dengannya.[49]
Signifikansi penjelasan pengamalan
hadis dhaif dengan berbagai persyaratan, amat penting untuk
mengisyaratkan ke-dhaif -an hadis tersebut, agar :
1.
Orang ramai dapat mengetahui
bahwa si penyampai telah meneliti sumber dan kualitas hadis tersebut.
2.
Orang ramai tidak menganggapnya
sebagai sebuah hadis yang hujjah.
3.
Orang ramai tidak menetapkan
hukum berdasarkan hadis tersebut.
Selain
itu, setiap beramal dengan menggunakan hadis dhaif , sebaiknya
memperhatikan dua aspek :
1.
Hadis yang
ingin dijadikan sumber amalan memiliki rujukan dalam kitab yang asal dan telah
diteliti bahwa ia sekurang-kurangnya memiliki derajat kelemahan yang ringan.
Demikian
pula persoalan al-targi>b dan al-tarhi>b juga mempunyai
keterkaitan dalam pengamalan hadis dhaif . Pengertian keduanya dapat
diketahui, kalau al-Targi>b dipahami sebagai hal-hal yang di dalamnya
menerangkan amalan-amalan yang telah ditentukan dalam rangka menggairahkan,
memberi semangat, atau memotivasi hati untuk mengerjakan amalan tersebut.
Dengan kata lain himbauan untuk berbuat baik atas amalan yang berhukum.
Sedangkan al-tarhi>b merupakan hal-hal yang dilakukan dalam rangka
untuk memberikan “ancaman” guna dijadikan sebagai perasan takut untuk tidak
berbuat dosa.[51]
Dalam konteks kajian hadis ini, al-targi>b
dan al-tarhi>b dapat dipahami sebagai hadis-hadis yang di dalamnya
berisi fad}a>il al-a’ma>l dengan menerangkan pahala-pahala
(kebaikan) amalan tersebut, sebagai suatu himbauan untuk berbuat sehingga
menggairahkan (li al-targi>b) dan juga sebagai tanda “ancaman atau
teguran” untuk menakuti agar manusia tidak melakukan perbuatan dosa (li
al-tarhi>b).
Dengan demikian kedudukan atau
pengamalan hadis dhaif dalam hal fadhaailul al-a‘ma>l,
al-targi>b dan al-tarhi>b sebagai peranan dalam menerangkan
keutamaan satu amalan, atau motivasi atau peringatan yang telah ditetapkan oleh
al-Qur’an maupun hadis yang hujjah, dan menjelaskan hadis tersebut selama
bukan sebagai hadis maud}u>‘.
fadhaailul al-a‘ma>l
[1] Jama>l al-Di>n Muh}ammad
bin Mukram bin Manz}u>r al-Afriqi> al-Mis}ri>, Lisa>n al-'Arab (Beirut : Da>ru
S}a>dir, 1990), jilid IX, hlm. 203-204.
[2] M. 'Ajjaj al-Khat}i>b, Us}u>l
al-H}adi>s| : ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}uh (Beirut: Da>r al-Fikr,
1975), hlm. 337.
[3] Jala>l al-Di>n
Abu> Fad}l Abd al-Rah}ma>n al-Suyu>t}i>, Tadri>b
al-Ra>wi> fi> Syarh} Taqri>b al-Nawawi> (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1988), hlm. 179.
[4] Dikutip dari Mahmud Tahhan, Ulumul
Hadis : Studi Kompleksitas Hadis Nabi, terj. Zaenal Muttaqien (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 72.
[5] Sebagian ulama telah menjelaskan
kata d}abit}, bahwa untuk kualitas sahih kedabitannya adalah lebih (ta>mm),
dan h}asan khafi>f.
[6] Fawwa>z Ah}mad Zamrali>, al-Qaul
al-Muni>f fi> H{ukm al-Amal bi al-Hadis al-D{a'i>f (Beirut:
Da>ru Ibn Hazm, 1995), hlm. 12-13. Lihat. M. ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l
al-H}adi>s\……, hlm. 305.
[8] T{ahir bin S{a>lih bin Ah{mad
al-Jaza>iri> al-Dimasyqi>, Taujih
al-Naz}ar ila> Us}u>l al-As|ar (Madi>nah: al-Maktabah al-Ilmiah,
tt), hlm. 68.
[9] M. Syuhudi Ismail, Kaidah
Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm.
173. Selain itu, sebagian ahli menyebut hadis d}a‘i>f ada 381. Lihat. M. Ibra>hi>m
al-Jayu>si>, Dira>sat H}aul al-Sunnah (tk: Da>r al-Anha>r
al-‘Arabi>, 1976), hlm. 124.
[10] M. Mah}fuz} bin Abdulla>h
al-Tirmisi>, Manhaj Zawi> al-Naz}ar (Mesir : Maktabah Mustafa>, 1955), hlm. 40.
[12] Maksud faktor-faktor
alasan insidental adalah sebab-sebab yang sepele, misal ada penukaran atau
pembalikan nama sanad. Lihat. M. Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj.
A. Yamin (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 105.
[13] M. Syuhudi Isma’il, Kaidah
Kesahihan ……, hlm. 178-179. Lihat. T{ahir bin S{a>lih bin Ah{mad
al-Jaza>iri> al-Dimasyqi>, Taujih al-Naz}ar…... hlm. 342. Lihat. Ibnu H}ajar Al-Asqalani>, Nuzhah
al-Naz}ar: Syarh} Nukhbah al-Fikr (Semarang :
Maktabah al-Munawawar, tt), hlm. 26-28.
[14] M. Syuhudi Ismail, Kaidah
Kesahihan ……, hlm. 178-179.
[16] Ibid. hlm. 89.
[17] Al-Tirmisyi>, Manhaj……, hlm.
49.
[18] M. Syuhudi Ismail, Kaidah
Kesahihan ……, hlm. 174.
[19] Ah}mad Umar Ha>syim, Qawa>’id
……, hlm. 105-106.
[20] Subhi al-Salih, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997), hlm. 152-153.
[22] Subhi al-Salih, Membahas
Ilmu ……, hlm. 152.
[28] Diakses dari http://sientifika.blogspot.com/2005_02_01sinetifika_archive.html,
tanggal 12 Mei 2005.
[29] M. ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l
al-H}adi>s\......, hlm. 348.
[30] Subhi al-Salih, Membahas
……, hlm. 180.
[38] Subh}i> al-S}a>lih}, Ulu>m
al-H}adi>s\ wa Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al-‘Ilmi> li
al-Mala>yi>n, 1977), hlm. 208-209.
[40] Jama>l al-Di>n Muh}ammad
bin Mukarram bin Manz}u>r al-Afriqi> al-Mis}ri>, Lisa>n al-Arab,
Jilid 11 (Beirut :
Da>ru S}a>dir, 1990), hlm. 524-525.
[42] Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi
Hukum Islam (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jilid 2, hlm. 294.
[43] Ibid.
[44] Jama>l al-Di>n Muh}ammad
bin Mukarram bin Manz}u>r al-Afriqi> al-Mis}ri>, Lisa>n……,hlm.
524-525.
[46] Ibid.
hlm. 3.
[47]
M. Najib Ibrahim, Al-Majmu‘ Syaaaaarh al-Muhaz\z\ab, jilid 1 (Beirut : Da>R
Ih}ya<’ al-Tura>s\ al-‘Arabi, 2001), hlm. 134. Dikutip dari Hafiz Firdaus
Abdullah, “Hadis D}a‘i>f: Hukum dan Syarat Pengamalannya”, http://al-ahkam.com.my/forum2/viewtopic.php/t=2773.
akses 19 Mei 2005.
[50]
Hafiz Firdaus Abdullah, “Hadis D}a‘i>f: Hukum dan Syarat Pengamalannya”, Dalam
http://al-ahkam.com.my/forum2/viewtopic.php/t=2773.
akses 19 Mei 2005, hlm. 6.
[51]
Yusuf al-Qardawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, terj. M. Al-Baqir
(Bandung: Kharisma, 1999), hlm. 67.
0 Response to "Hadits Palsu dalam Kitab Fadhail Amal"
Post a Comment