Image1

Makalah Agama dan Kemiskinan, Kemiskinan Perspektif Agama-agama


AGAMA & KEMISKINAN
Oleh : Musa Asy’ari


A.  Definisi Kemiskinan

Masalah kemiskinan selalu menjadi isu menarik sekaligus kontra-versial yang terus diperbincangkan oleh para pakar dan pemimpin dunia di berbagai belahan negara, khususnya di negara-negara Dunia Ketiga. Kini, perhatian dunia terhadap masalah kemiskinan agaknya kian gencar diwacana-kan sebagai problem global, terutama sejak paska meletusnya Perang Dunia Pertama dan Kedua, sebagai imbas dari timbulnya era industrialisasi dan kapitalisasi di dunia Barat.
Masalah kemiskinan biasanya selalu dikaitkan dengan persoalan kualitas hidup manusia di dunia. Oleh karena itu, pembahasan tentang kemis-kinan yang dimaksud dalam lingkup diskusi ini berhubungan dengan kemiskinan ekonomi. Rendahnya indeks pembangunan manusia (human development index) di Indonesia, misalnya menjadi contoh representatif bagaimana masalah kemiskinan dikaitkan dengan dampak rendahnya kualitas hidup manusia. Berdasarkan human development report tahun 2004, Indonesia merupakan negara yang  menempati urutan ke-111 dari 177 negara dengan angka Human Development Index (HDI) 0,692. Pendapatan domestik bruto angka perkapita berdasarkan paritas daya beli sebesar US $ 3.230.[1]
Merujuk dari sisi terminologi bahasa, istilah kemiskinan berasal dari kata dasar “miskin” yang mengandung arti “tidak berharta” atau “berkekurangan dalam hidup karena berpenghasilan rendah”.[2] Sedangkan, orang yang sangat miskin atau miskin sekali disebut “miskin papa”. Berbeda dengan istilah “miskin papa”, terdapat juga istilah “fakir miskin” yang artinya dinisbatkan pada orang-orang santri dan orang kebanyakan yang berkehidupan tidak berpunya sehingga berhak memperoleh zakat.[3] Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa arti kata kemiskinan dikonotasikan sebagai “hal atau keadaaan miskin”, yaitu situasi berkekurangan. [4]
Dalam Bahasa Inggris, istilah kemiskinan diartikan sebagai poverty. Kamus Oxford, misalnya menggambarkan poverty sebagai condition of adject (kondisi sifat). Selain itu ada juga istilah yang disebut the poverty line (garis kemiskinan) sebagai the minimum level of income needed to buy the basic necessities of life.[5] Tidak jauh berbeda dengan penjelasan Kamus Oxford, dalam Kamus Salim’s Ninth Collegiate, English-Indonesia Dictionary terbitan Modern English Press, Jakarta (2000), poverty line diartikan sebagai pengeluaran minimum yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum untuk hidup dimana seseorang atau keluarga diklasifikasikan hidup dalam kemiskinan.[6] Sedangkan keadaan yang menggambarkan kemiskinan yang sangat (absolut) disebut poverty sticken[7] yang juga diterjemahkan sebagai faqir jiddan  dalam istilah Arab.[8]
Sekadar untuk melengkapi, sejalan dengan uraian di atas, Bahasa Jawa yang dianut suku terbesar di Indonesia juga mengenal istilah miskin. Kata “miskin” di dalam kamus Bahasa Jawa diartikan “mlarat sarwo kekurangan” (menderita sekaligus kekurangan) atau “pametuné sithik banget saenggo ora nyukupi kanggo kebutuhané” (pendapatan yang sangat sedikit sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan).[9]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan bentuk dari kurangnya akses seseorang atau kelompok untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang disebabkan pendapatan yang sangat rendah. Sekalipun kemiskinan tidak selamanya ke arah arti yang demikian. Namun dalam upaya mendeskripsikan konsep kemiskinan yang perlu ditekankan adalah dalam perspektif apa kita melihat masalah ini. Masing-masing perspektif tentu saja akan melahirkan definisi yang berbeda pula. Sebagai contoh, jika kita melihat kemiskinan dalam perspektif pendidikan, tentu tidak akan sama dengan kemiskinan dalam perspektif ekonomi, moral dan budaya. Kemiskinan memang kerap identik dengan makna kemiskinan secara material. Secara umum ketika istilah kemiskinan itu diwacanakan, yang terbangun dalam image pikiran kita adalah kemiskinan yang berkonotasi tidak atau kurang terpenuhinya kebutuhan material dalam kehidupan sehari-hari seseorang.
Akan tetapi, definisi kemiskinan menurut Bappenas tahun 2004, justru diartikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya yang bermartabat. Hak-hak dasar tersebut, antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan kebutuhan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.[10]
Dari definisi Bappenas yang dijelaskan di atas, istilah kemiskinan ternyata dapat dilihat dalam pengertian yang sangat luas, yakni sebagai bentuk; (1) keterbatasan memperoleh pangan; (2) keterbatasan akses kesehatan; (3) akses pendidikan yang terbatas; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) keterbatasan dalam mengakses air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; dan (10) kurangnya jaminan rasa aman.
Dalam pada itu, Gergorius Sahdan mengemukakan suatu pendapat bahwa dalam melihat kemiskinan biasanya tergantung pada pendekatan apa yang digunakan oleh seorang pakar. Menurutnya, terdapat beberapa pendekatan yang biasa digunakan oleh institusi Bappenas dalam mendefinikan kemiskinan.[11] Diantaranya adalah 1) basic needs approach atau pendekatan kebutuhan dasar; yang melihat kemiskinan sebagai akibat kurang/tidak terpenuhinya kebutuhan minimum, seperti sandang, papan, pangan, pendidikan, dan kesehatan; 2) income approach atau pendekatan pendapatan; rendahnya penguasaan asset dan alat-alat produksi, seperti tanah dan kebun; 3) human capability approach atau pendekatan kemampuan dasar; kemiskinan sebagai bentuk keterbatasan kemampuan dasar seperti membaca dan menulis dan lain-lain yang memungkinkannya terbatas dalam menentukan kebijakan, 4) pendekatan objective; dan 5) pendekatan subjective; kemiskinan dilihat dari aspek pendapat atau pandangan orang miskin itu sendiri.[12]
Institus nirlaba Wikipedia juga menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan sebuah istilah yang menggambarkan adanya kekurangan akses bahan pokok dan pelayanan, kondisi ekonomi yang buruk, dan kekurang-mampuan untuk hidup secara normal dalam kehidupan sosial masyarakat, seperti berpartisipasi dalam segala kegiatan masyarakat.[13] Sedangkan dalam Deklarasi Copenhagen, kemiskinan dicirikan sebagai bentuk kurangnya terhadap akses kebutuhan dasar manusia, seperti makan, minum, rasa aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, rumah, pendidikan, dan informasi. Bank Dunia (World Bank) juga mengkategorikan miskin, dalam arti pendapatan yang kurang dari US$ 2 per-hari, sedangkan seorang, keluarga atau masyarakat yang memiliki pendapatan kurang US$ 1 per-hari dikatageorikan oleh Bank Dunia sebagai bentuk “kemiskinan sangat” atau kemiskinan absolut.
Selain dari defenisi yang dikeluarkan oleh Bank Dunia (World Bank) di atas, terdapat juga yang memberikan penjelasan mengenai kemiskinan absolut sekalipun batasan-batasan yang diberikannya itu masih cukup umum sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Sutyastie S.R dan Prof. Prijono Tjiptoherijanto dalam bukunya “Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia”. Menurut kedua pakar ini, kemiskinan absolut merupakan kondisi di bawah pendapatan yang menjamin kebutuhan dasar, seperti  pangan, pakaian, dan perlindungan. [14] 
Agaknya kalau dibandingkan, definisi yang diberikan oleh Bank Dunia di atas sedikit lebih mengerucut dan sempit dalam melihat kemiskinan dari segi pendapatan daripada definisi kemiskinan yang digariskan oleh Bappenas dan Prof.  Sutyastie S.R beserta Prof. Prijono Tjiptoherijanto. Oleh karena itu, mengacu definisi tersebut, maka untuk konteks Indonesia yang dapat dikatakan miskin adalah orang yang berpenghasilan 20 ribu rupiah perhari atau 600 ribu rupiah perbulan, jika diasumsikan nilai tukar rupiah US$ 1 sebesar Rp 10.000,00. Dengan demikian, kemiskinan absolut atau kemiskinan taraf sangat juga adalah orang atau keluarga yang berpenghasilan 300 ribu rupiah satu bulan masih dengan asumsi US$ 1 sebesar Rp 10.000,00. 
Kemiskinan absolut sering juga disebut sebagai garis kemiskinan ekstrem dan kemiskinan sebagai garis kemiskinan. Para ekonom Bank Dunia, seperti Montek S. Ahluwinia, Nicholas G, dan Hollis B. Chenerey menjelaskan bahwa garis kemiskinan ekstrem sebagai bentuk pendapatan yang diperlukan untuk memperoleh kebutuhan nutrisi dasar, suplai 2,250 kalori per-orang dengan asumsi 275 daya beli dolar yang disesuaikan atau US$ 275 per-kapita pada tahun 1985. Sementara garis kemiskinan diukur dengan 370 daya beli dolar yang disesuaikan sebesar US$ 370 per-kapita dalam tahun 1985.[15]
Beberapa penjelasan tersebut sudah menunjukkan bahwa defenisi kemiskinan ternyata cukup luas. Apalagi jika dibandingkan antara satu negara dengan negara lain. Sebab sebenarnya yang menentukan tingkat kemiskinan adalah penilaian, sehingga seringkali apa yang dianggap miskin akan tergantung dari konteks waktu dan wilayahnya.[16] Pada persoalan ini standar yang diberikan oleh Bank Dunia secara nominal di atas juga akan menjadi sangat relatif antara satu negara dengan negara yang lain. Misalkan saja, kondisi kemiskinan yang terjadi di negara-negara maju. Apakah mungkin di AS, terdapat orang bule yang hanya berpenghasilan US$ 1 dalam sehari? Lantas bagaimana dengan negara Inggris yang notabene menggunakan mata uang Poundsterling yang jauh lebih mahal nilainya katimbang Dollar AS?
Oleh karena itu, kemiskinan pada dasarnya lebih bermakna pada kondisi tidak mempunyai akses yang luas untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ini artinya kebutuhan dasar (basic needs) menjadi kata kunci (key world) dalam memahami maslah kemiskinan. Abraham Maslow, misalnya mengungkapkan bahwa dalam hirarkhi kebutuhan manusia, terdapat kebutuhan yang bertingkat-tingkat dalam taraf pemenuhannya, seperti kebutuhan fisiologis (makan, kesehatan, dll), kebutuhan akan rasa aman (safety and scurity need), kebutuhan bersosial (social need), kebutuhan akan penghargaan (esteem need), dan kebutuhan beraktualisasi. Ini berarti ketika berbicara mengenai masalah kemiskinan, maka semua kebutuhan hidup manusia yang hirarkial itu harus terpenuhi. Sebab jika salah satu dari hirarki kebutuhan hidup manusia itu belum terpenuhi, orang atau keluarga dapat dikatakan berada dalam kemiskinan.
Dalam konteks yang lebih material (fisiologis), kebutuhan dasar itu dapat berupa pemenuhan bahan pangan dan kesehatan. Orang yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya seperti itu dapat dikategorikan sebagai orang miskin. Namun dalam konteks sosiologis, kemiskinan manusia akan kebutuhan dasarnya dapat berbentuk pada ketidakmampuan bersosialisasi dengan masyarakat, sebagai akibat dari kurangnya akses terhadap kebutuhan yang lainnya. Dalam konteks budaya, misalnya, kemiskinan terjadi karena dari kurangnya akses untuk memenuhi kebutuhannya memperoleh pengetahuan (knowledge).

B. Penyebab Kemiskinan

Ada banyak penyebab yang menjadi akar munculnya kemiskinan, sebagaimana juga keragaman definisi kemiskinan itu sendiri yang tergantung pada sudut pandang atau perspektifnya. Demikian juga dalam melihat faktor-faktor yang menciptakan kemiskinan, juga tergantung dari persepktif apa yang digunakan oleh seorang pakar. Hal ini sangat penting dikemukakan untuk mengidentifikasi masalah kemiskinan sehingga akan menentukan cara apa yang seharusnya dilakukan untuk menanggulanginya. Sebagai contoh, jika ditarik pada ranah yang berdimensi struktural, kemiskinan dilihat dalam konteks ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi, yang melahirkan apa yang disebut dengan kemiskinan struktural. Di sini kemiskinan dipandang sebagai bentuk dari penerapan sistem timpang yang dijalankan dalam sebuah negara atau struktur sosial dalam suatu masyarakat.
Selain faktor struktural, kemiskinan juga bisa saja disebabkan karena faktor individual. Pendekatan secara individual seringkali juga disebut sebagai pendekatan ”pathological”. Ada juga diantara pakar yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari faktor agensi, yakni dampak dari kelakuan orang lain, seperti akibat dari perang dan pemonopolian sumber daya ekonomi. Adanya faktor dari kelakuan kehidupan sehari-hari dan tata nilai yang dianut dapat juga menjadi akar penyebab dari kemiskinan. Asumsi ini akan lahir jika faktor kemiskinan dilihat sebagai sub-kultur masyarakat.[17]

C. Pandangan Agama-Agama tentang Kemiskinan

 Pada dasarnya agama lahir ke muka bumi bertujuan luhur untuk menyampaikan pesan-pesan suci Tuhan, antara lain yang terpenting adalah membebaskan manusia dari derita sosial. Oleh karena itu, agama tetap memiliki pandangan profetik terhadap kemiskinan dan kaum miskin. Dalam konteks ini akan sedikit dielaborasi menegenai bagaimana agama-agama memandang kemiskinan, terutama agama misionaris dunia, yaitu Islam, Kristen dan Buddha.

1.      Kemiskinan dalam Pandangan Islam

Islam adalah salah satu agama dunia (world religions) yang mengklaim dirinya sebagai agama pembawa rahmat bagi semesta alam,[18] ia merupakan fitrah manusia dalam artian bahwa manusia memiliki kecenderungan dasar untuk beragama Islam,[19] karena bagi pemeluknya terdapat suatu keyakinan pasti bahwa Islamlah satu-satunya agama yang direstui (ridha) Tuhan.[20] Sebagai sebuah rahmat tentu kehadiran Islam akan memberikan ketentraman dan kesejahteraan hidup bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ketentraman di sini pada dasarnya sudah dijanjikan oleh Allah dan ia lebih bersifat pada hal yang bermakna ruhaniah, sedangkan kesejahteraan lebih bermakna pada suatu pemenuhan kebutuhan yang bersifat material. Jika demikian konsep yang diidealkan oleh dienul Islam, mengapa Islam saat ini justru begitu banyak terpuruk dan identik dengan kemiskinan (umat)-nya? Oleh karena itu sebelum melihat bagaimana pandangan Islam tentang kemiskinan, persoalan yang harus pertama kali dijawab adalah bagaimana Islam memandang dunia kehidupan manusia.
Islam meyakini adanya dua kehidupan, yakni kehidupan dunia sekarang dan kehidupan akhirat. Meyakini adanya kehidupan paska kematian atau akhirat merupakan bagian dari rukun iman (arkanu al-iman).[21] Dalam pandangan Islam kehidupan akhirat dan kehidupan dunia merupakan dua mata rantai yang integral dan ‘bersimbiosis’, serta tidak dapat dilepaskan satu sama lain.[22] Akan tetapi, pergeseran pemikiran dalam Islam kemudian mengalami perkembangan sejarah yang berbeda. Pengaruh Ilmu Kalam, misalnya telah memecah pemikiran Islam mengenai dunia dan akhirat ke banyak spektrum yang mempengaruhi tindakan dalam memperlakukan dunia. Dari golongan yang melihat dunia sebagai sebuah perhiasan yang harus dijauhi, karena penuh laknat sampai munculnya pandangan yang hanya memfokuskan diri pada persoalan dunia. Pandangan dunia (world view) dalam melihat kehidupan dunia-akhirat inilah yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana kaum muslimin melihat kemiskinan yang notabene sebagai bentuk dari warna kehidupan duniawi.
Oleh karena itu, istilah kemiskinan dalam Islam mempunyai banyak arti dan dimensi. Akan tetapi secara garis besar dapat ditarik suatu pemahaman bersama bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan adalah kemiskinan dalam pengertian ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan material-nya. Sebagai contoh, dalam surat al-An’am ayat 151 dan surah al-Isra’ ayat 31 yang melarang keras kepada kaum muslimin saat itu agar tidak lagi membunuh anak-anak perempuan lantaran takut jatuh miskin. Sangat jelas yang dimaksud dengan kemiskinan pada kedua ayat tersebut adalah miskin dalam artian kurang dalam akses pemenuhan kebutuhan material, seperti makan dan minum.[23] Kedua ayat ini juga menunjukkan suatu fakta sejarah bahwa sebelum Islam datang, terdapat kecenderungan dari masyarakat Arab Jahiliyah yang mengubur hidup-hidup anak perempuan yang dianggapnya sebagai makhluk tidak produktif, sehingga menimbulkan rasa khawatir berlebihan akan ketidakmampuan menghidupinya alias takut miskin.[24] Uniknya, Khalifah Umar ibn Khattab juga memiliki konsep kemiskinan secara material yang dipraktekkannya sendiri di masa kekhalifahannya sedang dijabat. Menurutnya kemiskinan itu berbeda dengan kefakiran. Miskin dan fakir itu berbeda, sekalipun keduanya dapat dimaknai sinonim. Bagi Khalifah Umar, fakir (fuqara) adalah kemelaratan yang dialami kaum muslimin, sedangkan miskin (masakin) adalah kemelaratan yang dialami kaum non-muslim yang tinggal di wilayah Islam (dar al-Islam), seperti orang Yahudi dan Nasrani.[25] 
Dalam pada itu sebenarnya terdapat dua pandangan dalam melihat kemiskinan yang berpusat pada dua spektrum pandangan yang berbeda, yakni yang memandang kemiskinan sebagai kenyataan yang tidak perlu dijauhi, bahkan ia merupakan anugerah Tuhan yang harus dinikmati. Sebaliknya pandangan kedua, melihat kemiskinan sebagai suatu masalah negatif yang harus dilenyapkan, karena memang kemiskinan bukanlah dipandang sebagai suatu anugerah Tuhan, justru kekayaanlah yang sebenarnya menjadi anugerah Tuhan.
Pandangan yang pertama misalnya tampak dari apa yang dikategorikan oleh Syekh Yusuf Qaradhawi sebagai; pertama, pandangan yang mengkultuskan kemiskinan yang dipraktekkan oleh orang-orang zuhud, rahib (ulama), dan mereka yang mengaku sebagai kaum sufi dan orang-orang yang taqasysyuf (tidak menyenangi dunia). Dalam pandangan golongan ini, kemiskinan menjadi sebuah kenikmatan dan karenanya tidak harus dijauhi. Kemiskinan justru merupakan rahmat dan anugerah Allah, sedangkan kekayaan hanya sebuah ilusi yang akan menipu manusia untuk menjauhkan dirinya dari Tuhan. Oleh karena itu, sesuatu yang bersifat keduniawian harus dijauhkan, dan kebahagiaan berupa kekayaan itu sebenarnya hanya terjadi secara riil dalam kehidupan setelah kematian, yakni di alam akhirat.[26] Kemiskinan dalam pandangan ini juga dipahami sebagai simbol orang-orang shaleh, sedangkan kekayaan dikonotasikan sebagai dosa manusia jahat yang akan disegerakan siksanya.
Kedua, pandangan Jabbariyah. Berbeda dengan pandangan pertama yang melihat kemiskinan sebagai bencana, sehingga ada usaha keras untuk melarikan diri dari kekayaan harta dunia dan menikmati kemelaratan. Pandangan golongan ini lebih melihat kemiskinan sebagai sebuah suratan takdir dari Allah yang tidak dapat diubah, manusia hanya dapat menerima ketentuan itu. Kaya dan miskin murni merupakan takdir Allah yang telah digariskan nash-nya. 
Ketiga, pandangan dari golongan yang menyeru kesalehan individual. Menurut Qaradhawi, pandangan ini sedikit lebih maju (progress) dari pandangan sebelumnya, sekalipun terdapat kesamaannya juga, terutama dalam menilai kemiskinan sebagai sebuah bencana dan tindak kejahatan. Poin kemajuan dari pandangan ini terletak pada adanya anggapan bahwa kemiskinan merupakan sebuah masalah yang harus dicari solusinya untuk dipecahkan. Solusi pemecahan yang ditawarkan hanya saja sangat bersifat individualistik, yakni sekedar menyerukan kepada individu-individu yang kaya agar segera membantu (karikatif) orang miskin.
Berbeda dari ketiga pandangan di atas, Qaradhawi justru berpendapat bahwa Islam menganggap kemiskinan sebagai sebuah problem masyarakat, dan bahkan ia merupakan penyakit yang harus segera dicarikan obatnya, sementara kekayaan dilihat sebagai anugerah Allah.[27] Menurutnya, kemiskinan merupakan penyakit yang berbahaya bagi umat manusia dan bagi umat Islam khususnya, dikarenakan ia; pertama dapat mengancam aspek spiritual (akidah dan ketenangan beribadah). Kemiskinan cenderung menimbulkan keragu-raguan akan kebijaksanaan dan keadilan Allah.[28] Kedua, kemiskinan dapat melemahkan intelektualitas. Orang miskin tidak akan mampu berfikir secara maksimal, mereka akan terganggu karena kebutuhan dasarnya belum terpenuhi secara baik.[29] Ketiga, kemiskinan dapat mengakibatkan keretakan rumah tangga. Keempat, kemiskinan rentan menimbulkan beragam penyakit sosial[30] yang ujung-ujungnya akan menjauhkan diri dari perintah agama (pencurian, perampokan, pelacuran, dll).[31]
Dengan demikian, Islam merupakan salah satu agama yang melihat kemiskinan sebagai sebuah kenyataan sosial yang harus diperangi. Kepemilikan harta bukan hal yang tercela, tetapi justru Islam memerintahkan untuk mencari sebanyak-banyaknya. Islam mengajarkan prinsip hidup selalu berjuang (jihad). Berjuang untuk mengeluarkan diri dari lembah kemiskinan. Al-Qur’an juga mengajarkan prinsip agar tidak bermalas-malasan dalam menjalani hidup.[32] Bentuk pengeluaran diri dari jeratan kemiskinan ini tidak hanya dibebankan secara sepihak kepada si miskin saja untuk mengatasinya, tetapi juga dari orang kaya,[33] karena di dalam harta si kaya sebenarnya terdapat hak untuk orang miskin yang harus diambil.[34]
Islam juga melarang keras kepada pemeluknya yang hidup bermalas-malasan dengan jalan meminta-minta (mengemis). Sikap meminta-minta sebagai simbol kemalasan ini direspon oleh Ibnu Qayyim secara keras dan negatif. Ibnu Qayyim menganggap hidup meminta-minta merupakan bagian dari kezaliman, yakni zalim kepada Allah karena menggantungkan kerenda-hannya kepada selain Allah, zalim kepada yang dimintai dan zalim kepada dirinya sendiri atas segala potensi yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.[35] Sekalipun demikian, dalam pandangan Islam kemiskinan tidak semata-mata dilihat karena faktor individu, tetapi juga diakibatkan oleh sistem politik yang dijalankan oleh penguasa yang tidak memihak kepada orang-orang yang bertuna harta. Karena itu kemiskinan dapat terjadi karena kekuasaan orang-orang kaya yang mengendalikan secara absolut sumber-sumber ekonomi.
Hal itu dapat terjadi, misalnya dari pernyataan eksplisit bagaimana al-Qur’an kerap kali melihat kemiskinan sebagai bagian dari produk sistem. Ini artinya Islam memandang persoalan kemiskinan juga sebagai bagian dari problem struktural, dan oleh karenanya selain menerapkan prinsip pemerataan secara sistemik (zakat), Islam juga melancarkan serangan dan kecaman secara struktural kepada mereka yang mengeksploitasi dan memiskinkan manusia[36] dan menentang segala bentuk pemonopolian ekonomi.[37]

2.      Kemiskinan dalam Pandangan Kekristenan 

Agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik merupakan salah satu agama yang mengedepankan cinta kasih kepada sesama sebagai intisari ajaran agamanya.[38] Cinta kasih ini tersimbolisasikan dalam pengorbanan diri Yesus guna menebus dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia.[39] Pada peristiwa penyaliban Kristus inilah inti dari kepercayaan Kristen yang kelak akan sangat menentukan corak keberagamaan umat Kristiani. Bahkan Dr. Y. Hartono Budi menegaskan bahwa inti keimanan Kristen selain pada penyaliban Yesus, juga terletak pada kehidupan baru yang dilahirkan melalui kematian Yesus dalam sejarah dunia.[40]
Oleh karena itu, sebelum menjelaskan bagaimana pandangan Kristen tentang kemiskinan, perlu kiranya hal-hal yang bersifat teologi-historis kita ungkap sekalipun tidak secara rigid, minimal ini akan membantu kita dalam melacak apa yang kita cari. Bahwa Yesus sebagai realitas sejarah yang disalib menjadi inti dari ajaran Kristen oleh Huston Smith digambarkan sebagai sepenggal kisah kehidupan seorang tukang kayu Yahudi yang tidak dikenal, lahir di dalam kandang hewan, tidak memiliki harta, tidak pernah mengenyam pendidikan, tidak mempunyai pasukan, meninggal dalam usia muda (33 tahun) dengan tuduhan sebagai seorang penjahat dan penipu, dan jangankan menulis buku, satu-satunya tulisan yang ia goreskan hanyalah tulisan di atas pasir.[41]
Kenyataan dari tragedi penyaliban itulah yang membentuk pandangan Kristen dalam melihat kemiskinan. Hal ini sangat sejalan dengan bagaimana proses penyaliban lebih jauh dihayati oleh Kristus sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan kembali antara Allah dengan manusia yang ada dalam situasi dosa.[42] Dengan pengorbanan yang dilakukan dan bukan hanya karena kenyataan historis Yesus Kristus, sebagaimana digambarkan oleh Huston Smith di atas, Sabda Allah yang menjelma (menjadi manusia) itu meng-identikkan dirinya dengan kaum miskin. [43] Oleh karena itulah, Kristus sangat diyakini oleh umat Kristiani hadir di dalam diri setiap orang miskin. Iman kita mendesak kita mengakui kehadiran Kristus dalam diri orang miskin dan tertindas (Konstituti 112).
Keadaan Yesus dengan penuh derita dan pengorbanan demi menang-gung dosa umat manusia dalam keadaan miskin papa, ternyata menjadi acuan bagi kehidupan beragama masyarakat Kristen. Kemiskinan, dengan demikian menjadi memiliki nilai yang sangat penting bagi umat Kristen dalam menempuh hidup Injili sekaligus religius. Di sini dapat dilihat bahwa kemiskinan menjadi sebuah realitas yang tidak harus dijauhi, apalagi dianggap sebagai realitas yang menjijikkan sehingga orang enggan untuk menghampiri orang miskin. Yesus Kristus yang diimani hadir dalam diri orang-orang miskin menjadi spirit Kristiani untuk menyatu dengan orang-orang miskin
Dari deskripsi tersebut, satu yang menjadi benang merah kita adalah bahwa kemiskinan yang dimaksud oleh Kekristenan jelas lebih mengarah pada pengertian-pengertian sebelumnya tentang kemiskinan, yakni kurangnya akses untuk memenuhi kebutuhan dasar  hidup. Lebih jauh dokumen FABC I dengan rigid memberikan penjelasan mengenai kemiskinan. Dalam FABC I tersebut bahwa kemiskinan dijabarkan :
“Miskin bukan dalam nilai-nilai, kualitas, ataupun potensi-potensi manusiawi. Miskin berarti bahwa mereka dilucuti dari kemungkinan mencapai harta dan sumber-sumber material yang mereka perlukan untuk bisa hidup secara sungguh manusiawi. Dikatakan dilucuti, karena mereka hidup di bawah penindasan, yakni di bawah struktur-struktur sosial, ekonomi dan politik yang dalam dirinya sudah mengandung ketidak-adilan.” [44]

Pernyataan di atas menegaskan bahwa, pertama istilah miskin dan kemiskinan dalam pemikiran iman Kristiani selaras dengan padanan kata yang dikonotasikan sebagai bentuk dari ketidak-mampuan untuk mengakses kebutuhan dasar material dalam menjalani kehidupan yang manusiawi. Kedua, miskin dan kemiskinan tidak disebabkan oleh manusianya (budaya, pendi-dikan), tetapi akibat dari sistem sosial, ekonomi, dan politik yang menciptakan keadaan miskin. 
Kehadiran Yesus dalam diri orang miskin bukan berarti bahwa kemiskinan dalam pandangan Kristen menjadi pilihan hidup yang harus diterima positif.[45] John Paul II ketika menyampaikan keresahannya dalam melihat kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidak-merataan distribusi kekayaan baik dalam antar maupun intra-negara, menjelaskan bahwa tanpa kekayaan material mustahil dapat membangun manusia seutuhnya.[46]
Ungkapan Fr. Fransiskus Obon tersebut diperkuat oleh Dekrit 18 Kongregasi Jendral 13, poin II tentang Garis Pedoman Kemiskinan Injili & Religius Dalam Serikat Yesus nomor 4 (empat) yang menyatakan bahwa kemiskinan dalam serikat itu bersifat rasuli: Tuhan mengutus kita “untuk mewartakan injil dalam kemiskinan” Pada lain kesempatan juga dijelaskan agar umat  Kristiani menggapai harta kerajaan Tuhan dengan melepas harta dunia dan mencintai kaum miskin dalam kesadaran “bahwa Tuhan akan menyediakan makan dan pakaian seperlunya bagi para hambanya yang melulu mencari kerajaan Tuhan.” (Formula Instituti Paulus III dan Julius III n.7; Kj 31, D.18, n.3)
Penyatuan  bersama orang miskin dan mewartakan Injil dalam kemiskinan merupakan upaya memberikan harapan kepada orang miskin. Mungkin, karena penekanan Kristen kepada kemiskinan, Pier mengatakan, sebagaimana dikutip Edward Ratu Dopo bahwa “misi Yesus” adalah dari kaum miskin, dan...untuk kaum miskin dan bagi kaum miskin. [47]  Kristus juga pernah berkata “Berbahagialah orang miskin karena merekalah yang mempunyai Kerajaan Surga. Berbahagialah mereka yang berduka cita karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang  yang lapar dan haus karena mereka akan dikenyangkan. Berbahagialah kamu jika kamu dibenci, didiskriminasikan, dihina, dan namamu dicoret karena anak manusia. Bersuka citalah dan bersoraklah, karena besarlah upahmu di surga karena demikianlah para nabi dianiaya. Pernyataan suci ini menunjukkan bahwa Kekristenan memandang orang miskin harus dikeluarkan dari kemiskinannya, bukan sebaliknya dipertahankan. Iman Kristen yang meyakini bahwa Yesus Kristus hadir dalam diri orang miskin pada dasarnya merupakan sebuah jalan ikhtiar untuk mengeluarkan orang dari kemiskinannya. Dalam hal ini, Fr. Fransiscus Obon dalam tulisannya; “Kaum Religius dan Orang Miskin” mengungkapkan bahwa salah satu yang perlu dianut dalam mengubah kaum miskin adalah menjadi orang miskin, dengan orang miskin, dan seperti orang miskin.[48]

3.      Kemiskinan dalam Pandangan Buddha

Agama Budha merupakan agama misisonarisme ketiga setelah Islam dan Kristen yang akhir-akhir ini perkembangannya terus bersaing ketat di berbagai belahan dunia, dan di Indonesia pada khususnya. Sekalipun demikian hal yang paling menarik dari agama Buddha adalah begitu kental nilai-nilai spiritualitas dalam ajaran agama ini, terutama senantiasa mengajak umatnya untuk berfikir.[49] Huston Smith bahkan menganggap bahwa Sang Buddha selain sebagai salah seorang tokoh terbesar dunia yang lahir di Lumbini-India, ia juga merupakan tokoh rasionalis terbesar sepanjang zaman yang setaraf dengan Socrates.[50] Akan tetapi, sangat disayangkan jika literatur tentang studi-studi ke-Buddha-an sangat jarang ditemukan di Indonesia. 
Menarik di sini membicarakan masalah kemiskinan dalam perspektif Buddha. Akan tetapi sebelum mengarahkan ke persoalan tersebut, dalam melihat ajaran Buddha perlu kiranya meninjau kembali pokok ajaran sang Buddha yang terletak pada Empat Kesunyian Mulia, yakni Dukkha (dukkha), Dukkha Samudaya (sumber dukkha), Dukkha Nirodha (terhentinya dukkha), dan Magga (jalan yang menuju terhentinya dukkha).[51]
Kata Dukkha dalam bahasa Pali mengandung arti “derita,” “sakit,” “sedih” atau “masyghul”, sebagai lawan dari kata Sukkha yang berarti senang atau gembira. Tetapi kata Dukkha menurut pandangan sang Buddha dalam kehidupan mengandung arti filosifsi yang lebih mendalam dan memiliki cakupan yang sangat luas. [52]
Ajaran Buddha pada prinsipnya mengimani sebuah doktrin khusus yang menyatakan bahwa hidup manusia ini adalah penderitaan (Dukkha). Jadi,  pandangan Buddha tentang hidup manusia di dunia tidak lain adalah sebuah penderitaan dan kesengsaraan.[53] Lebih jauh menurut ajaran Buddha, manusia dianggap tidak ada, tidak ada atman, karenanya perwujudan sejati manusia adalah dengan kemampuannya memadamkan (nirvana) dari seluruh struktur ruang-waktu dan pengalamannya yang dianggap sebagai perwujudan yang sejati dan otentik. Ini merupakan cara satu-satunya yang harus dilalui untuk melakukan pembebasan yang nyata/riil (nibbana).[54]
Terlepas dari hal di atas, Maga yang merupakan salah satu dari Empat Kesunyian Mulia yang disebutkan di atas sebenarnya menjadi puncak dari upaya manusia untuk melepaskan diri dari Dukkha (dukkha nirodha gaminipatipada-Ariyasacca) yang juga dikenal sebagai jalan tengah (Majjhima-Patipada). Pada proses Maga ini seorang harus melakukan dua hal yang, menurut Maha Pandita Sumedha Widyadharma cukup ekstrem, yaitu pertama, tidak mencari kebahagiaan hidup dengan menuruti hawa nafsu indra (fisik) yang dianggap hina, rendah, biasa, tidak berfaedah dan cara-cara yang biasa. Kedua, tidak mencari kebahagiaan hidup dengan menyiksa diri dalam berbagai cara, yang menyakiti fisik dan tidak berharga bagi kehidupan.[55]
Agaknya di sini terlihat bahwa doktrin agama Buddha selalu mengambil jalan tengah. Karena itu, dengan doktrin, Buddhisme selalu dikatakan sebagai ajaran agama yang realistis. Yakni, mengajarkan kepada kita untuk melihat hidup di dunia ini secara wajar. Tidak menganggap dunia sebagai sorga secara berlebihan, tetapi tidak juga menakut-nakuti umatnya dengan beragam ancaman dosa dan siksa di kehidupan setelah mati kelak. [56] Dengan demikian, ajaran Buddha tentang penderitaan bukan berarti Buddha mengajarkan sikap pesimistik dalam memandang kehidupan sebagaimana doktrin dosa asal (the sin origine) dalam Kekristenan dan juga tidak memandang dunia manusia secara optimistis sebagaimana doktrin fithrah (baik/suci) manusia dalam ajaran dasar Islam mengenai penciptaan manusia.
            Sang Buddha Gautama yang digelari sebagai pembabar agung dari Sakyamuni memandang hasrat duniawi apapun dapat mengundang kedatangan Iblis. Hal ini dijelaskan setelah Gautama pernah melakukan perdebatan dengan iblis yang bernama Mara Papiyas. Untuk melepaskan diri dari hasrat duniawi itu Gautama membimbing manusia agar senantiasa membebaskan pikiran dari segala ikatan, seperti air pegunungan yang mengalir bebas. [57]
Agama Buddha juga memberikan doktrin tentang Nibbana. Pada dasarnya dalam doktrin mengenai pembebasan ini akan terlihat bagaimana ajaran Buddha memandang negatif tentang kemiskinan. Sebab kemiskinan bertentangan dengan doktrin penderitaan (Dukkha) yang seharusnya dihilangkan oleh manusiua dalam kehidupan ini, baik itu penderitan akibat kemiskinan spiritual maupun karena kemiskinan material. Oleh karena itu juga dalam ajaran Buddha damai tidak selamanya bermakna dari kondisi tiadanya perang, akan tetapi damai juga merupakan sebuah kondisi kebahagiaan yang lepas dari segala bentuk bahaya kehidupan sosial, seperti kemiskinan.[58] Jadi hidup dalam kedamaian adalah hidup yang terbebas dari kemiskinan, baik kemiskinan material maupun spiritiual. Sebab kemiskinan juga merupakan salah satu pangkal dari penderitaan manusia (dukkha) yang harus dibebaskan dengan delapan jalan utama (paramitha). Wallahu A’lamu.
  
SUMBER KEPUSTAKAAN



Abd al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahros Li al-Faazh al-Qur’an al-Kariem, Beirut, Daar al-Fikr, 1401 H/1981 M.
AS., Homby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Fifth Edition. London, Oxford University Press, 2005.
Alamsyah, M., Budi Nurani Filsafat Berfikir, Jakarta, Titik Terang, 1987.
Ba’albaki, Munir, Al-Mawrid Qamus Inkliziy-‘Arabiy, Beirut, Daar al-‘Ilm, 1974.
Badudu, JS., dan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Berger, Peter L., Piramida Pengorbanan Manusia, Satu Jawaban diantara Sosialisme dan Kapitalisme, terj., Bandung: Samiadji, 1983.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung, Gema Risalah Press, 1989.
Djam’annuri (ed), Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama; Sebuah Pengantar,  Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2000.
Finn, James, Masyarakat Beriman dan Tatanan dunia dalam Tinjauan Kristen, dalam Trialog Tiga Agama Besar, Langkah baru Perbandingan Agama ke Arah Pemikiran dan Diskusi Masa Depan, Surabaya, Pustaka Progressif, 1994.
Hamidullah, Muhammad, Introduction to Islam, New Delhi, Kitab Bhavan, 1992.
Hartono, Budi Y., Teolog dan (Harapan) Para Korban, Sebuah Refleksi Tentang Peran Teologi dan Universitas Dalam Masyarakat dengan Mayoritas Orang Miskin, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, 1999.
Kompas, 2 Desember 2004.
Osco, R. Sebastian, Sumbangan Hidup Kerahiban Bagi Penggalan Khasanah Kerohanian Indonesia, Majalah Rohani, Th. XXXVI No.3, 1989
Obon, Fr.Fransiskus, Kaum Religius dan Orang Miskin, Majalah Rohani XXXVI. No. 10, Oktober 1989.
Okawa, Ryuho, Hakikat Ajaran Buddha Jalan Menuju Pencerahan, Yogyakarta, Arruz Media Yogyakarta, 2004.


P.S., Metta, Damai Waisak untuk Kebahagiaan Umat Manusia, Pikiran Rakyat, 12 Juni 2004.
Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, Yogyakarta, Kanisius, 1994.

Pranowo, & Sudaryanto, ed., Kamus Pepak Basa Jawa, Solo, Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa, 1999.
Ratu Dopo, Edward, Teologi Pembebasan dalam Konteks Kemiskinan dan Pluri-religi di Asia Menurut Aloysius Pieris, Yogyakarta, FTW, 1993.
Rudati, Sr. Christera Sri, Menelusuri Perjalanan Kaum Religius dalam Melayani Orang Kecil, Majalah Rohani XXXVI No. 10 Oktober, 1989.
Salim, Peter, Salim’s ninth Collegiate; English-Indonesia Dictionary, Jakarta, Modern English Press, 2000. 
Syari’ati, Ali, Paradigma Kaum Tertindas, Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Jakarta, al-Huda, 2001.
Smith, Huston, Agama-agama Manusia, terj, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Supriyadi, Eko, Sosialisme Islam, Pemikiran Ali Syari’at, Yogyakarta, Pustaka  Pelajar, 2003.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Penerbit Mizan, 2001.
Tjiptoherijanto, Priyono & Sutyastie S.R., Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2002.
Widyadharma, Maha Pandita Sumeda, Dhamma-Sari, Jakarta, Yayasan Dana Pendidikan Buddha Nalanda, 1994.
Yusuf, Qaradhawi, Teologi Kemiskinan, Doktrin Dasar dan Solusi Islam atas Problem Kemiskinan. terj.,Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2002. 


[1] Kompas, 2 Desember 2004
[2] JS. Badudu dan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), 903.
[3] Ibid.. 903.
[4] Op.cit., 903.
[5] Homby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Fifth Edition (London: Oxford University Press, 2005), 866.
[6] Peter Salim, Salim’s ninth Collegiate; English-Indonesia Dictionary (Jakarta: Modern English Press, 2000), 1128. 
[7] Ibid.
[8] Munir Ba’albaki, Al-Mawrid Qamus Inkliziy-‘Arabiy, (Beirut: Daar al-‘Ilm, 1974), 741.
[9] Sudaryanto & Pranowo, ed., Kamus Pepak Basa Jawa,  (Solo: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa, 1999), 593.
[12] Subjective approach ini dapat kita lihat, misalnya dari cerita Peter L. Berger ketika berkunjung ke Alagados, sebuah bentangan pemukiman penduduk yang berdiri tegak di atas tumpukan sampah yang menjadi daratan di kota Salvador ibu kota negara bagian Bahia El-Savador. Seorang juru bicara yang meneliti Alagados menjelaskan kepada kita ketika menggambarkan tempat tersebut, “Anda memang melihat kemiskinan di daerah ini, tetapi anda tidak akan melihat penderitaan. Orang-orang di sini cukup bahagia”, Lihat, Peter L. Berger, Piramida Pengorbanan Manusia, Satu Jawaban diantara Sosialisme dan Kapitalisme, (Bandung: Samiadji, 1983), 80-1.
[14] Sutyastie S.R & Prijono Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 34.
[15] Ibid. 35
[16] Sutyastie S.R & Prijono Tjiptoherijanto, Op.cit., 34
[17] www.id.wikipedia.org
[18] QS. al-Anbiya’/21:107
[19] QS. al-Rum/30: 30
[20] QS. al-Maidah/05:03
[21] QS. al-Baqarah/2:04
[22] Dalam hal ini, Ali Syari’ati juga berpendapat, “Jadi (tawhid) tidak terbagi-bagi atas dunia kini dan dunia akhirat nanti…jadi kita memandang seluruh eksistensi sebagai bentuk tunggal, suatu organisme tunggal yang hidup...”, Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas, Sebuah Kajian Sosiologi Islam (Jakarta: al-Huda, 2001), 23. Menurut Eko Supriyadi pandangan dunia tawhid melihat sesuatu sebagai kesatuan dua aspek, yang ghaib dan yang zhahir, inderawi dan non-inderawi, Lihat pula, Eko Supriyadi, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati (Yogyakarta: Pustaka  Pelajar, 2003), 98.
[23] Ustdaz Quraish Shihab juga menyebutkan kebutuhan manusia ke dalam lima garis besar kebutuhan, yakni 1) kebutuhan fa’ali (makan, minum, dan hubungan seksual), 2) kebutuhan akan ketentraman dan keamanan, 3) kebutuhan akan keterikatan kelompok, 4) kebutuhan akan rasa penghormatan, dan 5) kebutuhan akan pencapaian cita-cita, Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), 308.
[24] Dalam QS.al-Ma’un/107:1-3 misalnya juga sangat jelas, yang dimaksud dengan miskin adalah miskin secara material. Ayat tersebut berbunyi “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” Al-Qur’an secara khusus menyinggung kata miskin/kemiskinan (miskien, miskienan, masaakin) kurang lebih sebanyak 23 kali yang kesemuanya berkonotasi pada kemiskinan dalam artian kekurangan secara material, Lihat, Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahros Li al-Faazh al-Qur’an al-Kariem, (Beirut: Daar al-Fikr, 1401 H/1981 M), 354.
[25] Muhammad Hamidullah, Introduction to Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1992), 173-174.
[26] Golongan ini senantiasa juga menggunakan argumentasinya berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, seperti tertera dalam QS.20:117-119 yang berbunyi, “Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu. Maka, sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga yang akibatnya kamu akan bersusah payah. Sesungguhnya kamu tidak akan lapar di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak pula akan kepanasan ”, Lihat, Yusuf Qaradhowi, Teologi Kemiskinan, Doktrin Dasar dan Solusi Islam atas Problem Kemiskinan. terj. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hlm. 1-2. 
[27] Berdasarkan pada ayat “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (Q.S.al-Dhuha/93:8). “..dan membanyakkan harta dan anak-anakmu…”  (Q.S.Nuh/71:10-12).
[28] Berdasarkan pada hadis Nabi “Hampir saja, kefakiran menjadi kekafiran”
[29] Menurut Alamasyah, pemikiran manusia senantiasa bermula dari tuntutan-tuntutan; a) jasad (perut, seks, libido), b) perasaan bathin (cinta kasih sayang, damai, harmoni), dan c) ruhani (kerinduan pada Tuhan), Lihat, M. Alamsyah, Budi Nurani Filsafat Berfikir (Jakarta: Titik Terang, 1987), 67.  Dengan demikian, kemiskinan akan mengganggu pikiran manusia karena otomatis sangat mengganggu ketiga hal tersebut.
[30] Kesimpulan ini sangat sesuai dengan Hadis Nabi yang menyatakan bahwa, “Perut adalah rumah penyakit, sedang berpantang adalah pangkal segala obat.” Penyakit yang dimaksud disini tentu bukan hanya penyakit secara biologis atau fisik, tetapi juga penyakit psikologis (stress, depresi) dan penyakit sosial (kriminalitas).
[31] Yusuf Qaradhawi, Op.cit, 28-9.
[32] QS. al-Insyirah/94:7
[33] QS. al-Baqarah/2:188
[34] QS. az-Dzariaat/51:19; QS. at-Taubah/09:103; QS.al-Ma’aarij/70:24-25; QS. al-Hadid/57:7
[35] Yusuf Qaradhawi, Op.cit. 30.
[36] Q.S. al-Nisa’/4:7; Q.S.al-Anfal/8:39; Q.S.al-A’raaf/07:137; Q.S.al-Taubah/09:103; Q.S.al-Hasyr/59:7-8.
[37] Q.S.al-Humazah/104:6-8; Q.S.al-A’raaf/07:31; Q.S. al-Dzariyaat/51:34; Q.S.al-Hasyr/59:7; Q.S.al-Humazah/104:1-4; Q.S. al-Ma’uun/107:1-3; Q.S.al-Baqarah/2:264; Q.S.al-Syura/42:08.   
[38] Djam’annuri (ed), Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama, Sebuah Pengantar  (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000), 77, 102-3. Lihat juga dalam Dei Verbum bagaimana dijelaskan “bahwa dengan wahyu ini Allah yang tidak kelihatan (Bdk. Kol I:15; 1 tim 1:17) karena cinta kasih-Nya yang melimpah ruah, menyapa manusia sebagai sahabat (Bdk. Kel 33 : 11; Yoh 15:14-15)dan bergurau dengan mereka, guna mengundang dan menerima mereka ke dalam persekutuannya ” (DV 2)
[39] Dalam iman Kristen, khususnya Kristen Protestan, manusia digambarkan sebagai sosok “yang berdosa" tetapi pada saat yang bersamaan juga sebagai “orang yang dibenarkan.” Lihat, Djam’annuri. Ibid, 102.
[40] Budi Y. Hartono, Teolog dan (Harapan) Para Korban, Sebuah Refleksi Tentang Peran Teologi dan Universitas dalam Masyarakat dengan Mayoritas Orang Miskin, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma),  28.
[41] Huston Smith, Agama-agama Manusia, terj, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), 356.
[42] R. Sebastian Osco, Sumbangan Hidup Kerahiban Bagi Penggalan Khasanah Kerohanian Indonesia, Majalah Rohani, Th. XXXVI No.3, 1989
[43] Matius 25: 31-46
[44] Dikutip dari tulisan Edward Ratu Dopo; Teologi Pembebasan dalam Konteks Kemiskinan dan Pluri-religi di Asia Menurut Aloysius Pieris, (Yogyakarta: FTW, 1993), 87.
[45] Iman Kristiani mengenal ada tujuh macam dosa pokok manusia yang merupakan  akibat dari perbuatan Adam yang sering juga disebut sebagai dosa asal. Salah satu dari dosa pokok tersebut adalah malas. Lihat, Djam’annuri. (ed), Op.cit, 89. Dengan demikian, menerima kemiskinan dengan sikap malas akan menjadi dosa yang sangat besar.
[46] James Finn, Masyarakat Beriman dan Tatanan Dunia dalam Tinjauan Kristen, dalam Trialog Tiga Agama Besar, Langkah Baru Perbandingan Agama ke Arah Pemikiran dan Diskusi Masa Depan, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1994), 153.
[47] Edward Ratu Dopo, Op.cit, 93.
[48] Fr. Fransiskus Obon, Kaum Religius dan Orang Miskin, Majalah Rohani XXXVI.10 Okt-1989, 409, Bdk Sr. Christera Sri Rudati, Menelusuri Perjalanan Kaum Religius dalam Melayani Orang Kecil, Majalah Rohani XXXVI,402-408
[49] Sumedha Widyadharma, Dhamma-Sari (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddha Nalanda), 21.
[50] Huston Smith, Agama-agama Manusia, Op.cit, 114.
[51] Sumeda Widyadharma, Op.cit, 21. 
[52] Ibid, 23.
[53] Ibid, 21.
[54] Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 140.
[55] Sumeda Widyadharma, Op.cit, 58.
[56] Sumeda Widyadharma, Op.cit, 22.
[57] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha Jalan Menuju Pencerahan, (Yogyakarta: Arruz Media Yogyakarta, 2004), 41.
[58] Metta P.S., Damai Waisak untuk Kebahagiaan Umat Manusia, Pikiran Rakyat, 12 Juni 2004.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Agama dan Kemiskinan, Kemiskinan Perspektif Agama-agama"

Post a Comment