Makalah Agama dan Kemiskinan, Kemiskinan Perspektif Agama-agama
AGAMA
& KEMISKINAN
Oleh
: Musa Asy’ari
A.
Definisi Kemiskinan
Masalah
kemiskinan selalu menjadi isu menarik sekaligus kontra-versial yang terus
diperbincangkan oleh para pakar dan pemimpin dunia di berbagai belahan negara,
khususnya di negara-negara Dunia Ketiga. Kini, perhatian dunia terhadap masalah
kemiskinan agaknya kian gencar diwacana-kan sebagai problem global, terutama
sejak paska meletusnya Perang Dunia Pertama dan Kedua, sebagai imbas dari
timbulnya era industrialisasi dan kapitalisasi di dunia Barat.
Masalah
kemiskinan biasanya selalu dikaitkan dengan persoalan kualitas hidup manusia di
dunia. Oleh karena itu, pembahasan tentang kemis-kinan yang dimaksud dalam
lingkup diskusi ini berhubungan dengan kemiskinan ekonomi. Rendahnya indeks
pembangunan manusia (human development index) di Indonesia, misalnya
menjadi contoh representatif bagaimana masalah kemiskinan dikaitkan dengan
dampak rendahnya kualitas hidup manusia. Berdasarkan human development
report tahun 2004, Indonesia merupakan negara yang menempati urutan ke-111 dari 177 negara
dengan angka Human Development Index (HDI) 0,692. Pendapatan
domestik bruto angka perkapita berdasarkan paritas daya beli sebesar US $
3.230.[1]
Merujuk
dari sisi terminologi bahasa, istilah kemiskinan berasal dari kata dasar
“miskin” yang mengandung arti “tidak berharta” atau “berkekurangan dalam hidup
karena berpenghasilan rendah”.[2]
Sedangkan, orang yang sangat miskin atau miskin sekali disebut “miskin papa”.
Berbeda dengan istilah “miskin papa”, terdapat juga istilah “fakir miskin” yang
artinya dinisbatkan pada orang-orang santri dan orang kebanyakan yang
berkehidupan tidak berpunya sehingga berhak memperoleh zakat.[3]
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa arti kata kemiskinan
dikonotasikan sebagai “hal atau keadaaan miskin”, yaitu situasi berkekurangan. [4]
Dalam
Bahasa Inggris, istilah kemiskinan diartikan sebagai poverty. Kamus
Oxford, misalnya menggambarkan poverty sebagai condition of adject
(kondisi sifat). Selain itu ada juga istilah yang disebut the poverty line
(garis kemiskinan) sebagai the minimum level of income needed to buy the
basic necessities of life.[5]
Tidak jauh berbeda dengan penjelasan Kamus Oxford, dalam Kamus Salim’s Ninth
Collegiate, English-Indonesia Dictionary terbitan Modern English Press, Jakarta
(2000), poverty line diartikan sebagai pengeluaran minimum yang hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum untuk hidup dimana seseorang atau
keluarga diklasifikasikan hidup dalam kemiskinan.[6]
Sedangkan keadaan yang menggambarkan kemiskinan yang sangat (absolut) disebut poverty
sticken[7]
yang juga diterjemahkan sebagai faqir jiddan dalam istilah Arab.[8]
Sekadar
untuk melengkapi, sejalan dengan uraian di atas, Bahasa Jawa yang dianut suku
terbesar di Indonesia juga mengenal istilah miskin. Kata “miskin” di dalam
kamus Bahasa Jawa diartikan “mlarat sarwo kekurangan” (menderita
sekaligus kekurangan) atau “pametuné sithik banget saenggo ora nyukupi
kanggo kebutuhané” (pendapatan yang sangat sedikit sehingga tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan).[9]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan bentuk dari kurangnya
akses seseorang atau kelompok untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang disebabkan
pendapatan yang sangat rendah. Sekalipun kemiskinan tidak selamanya ke arah
arti yang demikian. Namun dalam upaya mendeskripsikan konsep kemiskinan yang
perlu ditekankan adalah dalam perspektif apa kita melihat masalah ini.
Masing-masing perspektif tentu saja akan melahirkan definisi yang berbeda pula.
Sebagai contoh, jika kita melihat kemiskinan dalam perspektif pendidikan, tentu
tidak akan sama dengan kemiskinan dalam perspektif ekonomi, moral dan budaya.
Kemiskinan memang kerap identik dengan makna kemiskinan secara material. Secara
umum ketika istilah kemiskinan itu diwacanakan, yang terbangun dalam image
pikiran kita adalah kemiskinan yang berkonotasi tidak atau kurang terpenuhinya
kebutuhan material dalam kehidupan sehari-hari seseorang.
Akan tetapi, definisi kemiskinan
menurut Bappenas tahun 2004, justru diartikan sebagai kondisi dimana seseorang
atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya yang bermartabat.
Hak-hak dasar tersebut, antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan
kebutuhan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.[10]
Dari definisi Bappenas yang
dijelaskan di atas, istilah kemiskinan ternyata dapat dilihat dalam pengertian
yang sangat luas, yakni sebagai bentuk; (1) keterbatasan memperoleh
pangan; (2) keterbatasan akses kesehatan; (3) akses pendidikan yang terbatas;
(4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan
terhadap aset usaha; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7)
keterbatasan dalam mengakses air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan
penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam,
serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; dan (10)
kurangnya jaminan rasa aman.
Dalam
pada itu, Gergorius Sahdan mengemukakan suatu pendapat bahwa dalam melihat
kemiskinan biasanya tergantung pada pendekatan apa yang digunakan oleh seorang
pakar. Menurutnya, terdapat beberapa pendekatan yang biasa digunakan oleh
institusi Bappenas dalam mendefinikan kemiskinan.[11]
Diantaranya adalah 1) basic needs approach atau pendekatan kebutuhan dasar; yang
melihat kemiskinan sebagai akibat kurang/tidak terpenuhinya kebutuhan minimum,
seperti sandang, papan, pangan, pendidikan, dan kesehatan; 2) income approach
atau pendekatan pendapatan; rendahnya penguasaan asset dan alat-alat
produksi, seperti tanah dan kebun; 3) human capability approach atau
pendekatan kemampuan dasar; kemiskinan sebagai bentuk keterbatasan kemampuan
dasar seperti membaca dan menulis dan lain-lain yang memungkinkannya terbatas
dalam menentukan kebijakan, 4) pendekatan objective; dan 5) pendekatan
subjective; kemiskinan dilihat dari aspek pendapat atau pandangan orang
miskin itu sendiri.[12]
Institus
nirlaba Wikipedia juga menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan sebuah
istilah yang menggambarkan adanya kekurangan akses bahan pokok dan pelayanan,
kondisi ekonomi yang buruk, dan kekurang-mampuan untuk hidup secara normal
dalam kehidupan sosial masyarakat, seperti berpartisipasi dalam segala kegiatan
masyarakat.[13]
Sedangkan dalam Deklarasi Copenhagen, kemiskinan dicirikan sebagai bentuk
kurangnya terhadap akses kebutuhan dasar manusia, seperti makan, minum, rasa
aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, rumah, pendidikan, dan informasi. Bank
Dunia (World Bank) juga mengkategorikan miskin, dalam arti pendapatan
yang kurang dari US$ 2 per-hari, sedangkan seorang, keluarga atau masyarakat
yang memiliki pendapatan kurang US$ 1 per-hari dikatageorikan oleh Bank Dunia
sebagai bentuk “kemiskinan sangat” atau kemiskinan absolut.
Selain
dari defenisi yang dikeluarkan oleh Bank Dunia (World Bank) di atas,
terdapat juga yang memberikan penjelasan mengenai kemiskinan absolut sekalipun
batasan-batasan yang diberikannya itu masih cukup umum sebagaimana yang ditulis
oleh Prof. Sutyastie S.R dan Prof. Prijono Tjiptoherijanto dalam bukunya
“Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia”. Menurut kedua pakar ini,
kemiskinan absolut merupakan kondisi di bawah pendapatan yang menjamin
kebutuhan dasar, seperti pangan,
pakaian, dan perlindungan. [14]
Agaknya
kalau dibandingkan, definisi yang diberikan oleh Bank Dunia di atas sedikit
lebih mengerucut dan sempit dalam melihat kemiskinan dari segi pendapatan
daripada definisi kemiskinan yang digariskan oleh Bappenas dan Prof. Sutyastie S.R beserta Prof. Prijono
Tjiptoherijanto. Oleh karena itu, mengacu definisi tersebut, maka untuk konteks
Indonesia yang dapat dikatakan miskin adalah orang yang berpenghasilan 20 ribu
rupiah perhari atau 600 ribu rupiah perbulan, jika diasumsikan nilai tukar
rupiah US$ 1 sebesar Rp 10.000,00. Dengan demikian, kemiskinan absolut atau
kemiskinan taraf sangat juga adalah orang atau keluarga yang berpenghasilan 300
ribu rupiah satu bulan masih dengan asumsi US$ 1 sebesar Rp 10.000,00.
Kemiskinan
absolut sering juga disebut sebagai garis kemiskinan ekstrem dan kemiskinan
sebagai garis kemiskinan. Para ekonom Bank Dunia, seperti Montek S. Ahluwinia,
Nicholas G, dan Hollis B. Chenerey menjelaskan bahwa garis kemiskinan ekstrem
sebagai bentuk pendapatan yang diperlukan untuk memperoleh kebutuhan nutrisi
dasar, suplai 2,250 kalori per-orang dengan asumsi 275 daya beli dolar yang
disesuaikan atau US$ 275 per-kapita pada tahun 1985. Sementara garis kemiskinan
diukur dengan 370 daya beli dolar yang disesuaikan sebesar US$ 370 per-kapita
dalam tahun 1985.[15]
Beberapa
penjelasan tersebut sudah menunjukkan bahwa defenisi kemiskinan ternyata cukup
luas. Apalagi jika dibandingkan antara satu negara dengan negara lain. Sebab
sebenarnya yang menentukan tingkat kemiskinan adalah penilaian, sehingga
seringkali apa yang dianggap miskin akan tergantung dari konteks waktu dan
wilayahnya.[16]
Pada persoalan ini standar yang diberikan oleh Bank Dunia secara nominal di
atas juga akan menjadi sangat relatif antara satu negara dengan negara yang
lain. Misalkan saja, kondisi kemiskinan yang terjadi di negara-negara maju.
Apakah mungkin di AS, terdapat orang bule yang hanya berpenghasilan US$
1 dalam sehari? Lantas bagaimana dengan negara Inggris yang notabene
menggunakan mata uang Poundsterling yang jauh lebih mahal nilainya
katimbang Dollar AS?
Oleh
karena itu, kemiskinan pada dasarnya lebih bermakna pada kondisi tidak
mempunyai akses yang luas untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ini artinya kebutuhan
dasar (basic needs) menjadi kata kunci (key world) dalam memahami
maslah kemiskinan. Abraham Maslow, misalnya mengungkapkan bahwa dalam hirarkhi
kebutuhan manusia, terdapat kebutuhan yang bertingkat-tingkat dalam taraf
pemenuhannya, seperti kebutuhan fisiologis (makan, kesehatan, dll), kebutuhan
akan rasa aman (safety and scurity need), kebutuhan bersosial (social
need), kebutuhan akan penghargaan (esteem need), dan kebutuhan
beraktualisasi. Ini berarti ketika berbicara mengenai masalah kemiskinan, maka
semua kebutuhan hidup manusia yang hirarkial itu harus terpenuhi. Sebab jika salah satu dari hirarki
kebutuhan hidup manusia itu belum terpenuhi, orang atau keluarga dapat
dikatakan berada dalam kemiskinan.
Dalam
konteks yang lebih material (fisiologis), kebutuhan dasar itu dapat berupa
pemenuhan bahan pangan dan kesehatan. Orang yang tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya seperti itu dapat dikategorikan sebagai orang miskin. Namun dalam
konteks sosiologis, kemiskinan manusia akan kebutuhan dasarnya dapat berbentuk
pada ketidakmampuan bersosialisasi dengan masyarakat, sebagai akibat dari
kurangnya akses terhadap kebutuhan yang lainnya. Dalam konteks budaya,
misalnya, kemiskinan terjadi karena dari kurangnya akses untuk memenuhi
kebutuhannya memperoleh pengetahuan (knowledge).
B. Penyebab Kemiskinan
Ada banyak penyebab yang menjadi akar munculnya
kemiskinan, sebagaimana juga keragaman definisi kemiskinan itu sendiri yang
tergantung pada sudut pandang atau perspektifnya. Demikian juga dalam melihat
faktor-faktor yang menciptakan kemiskinan, juga tergantung dari persepktif apa
yang digunakan oleh seorang pakar. Hal ini sangat penting dikemukakan untuk
mengidentifikasi masalah kemiskinan sehingga akan menentukan cara apa yang
seharusnya dilakukan untuk menanggulanginya. Sebagai contoh, jika ditarik pada
ranah yang berdimensi struktural, kemiskinan dilihat dalam konteks ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem
yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang
sangat lemah dan tereksploitasi, yang melahirkan apa yang disebut dengan
kemiskinan struktural. Di sini kemiskinan dipandang sebagai bentuk dari
penerapan sistem timpang yang dijalankan dalam sebuah negara atau struktur
sosial dalam suatu masyarakat.
Selain faktor struktural, kemiskinan juga bisa saja
disebabkan karena faktor individual. Pendekatan secara individual seringkali
juga disebut sebagai pendekatan ”pathological”. Ada juga diantara pakar yang
melihat kemiskinan sebagai akibat dari faktor agensi, yakni dampak dari
kelakuan orang lain, seperti akibat dari perang dan pemonopolian sumber daya
ekonomi. Adanya faktor dari kelakuan kehidupan sehari-hari dan tata nilai yang
dianut dapat juga menjadi akar penyebab dari kemiskinan. Asumsi ini akan lahir
jika faktor kemiskinan dilihat sebagai sub-kultur masyarakat.[17]
C. Pandangan
Agama-Agama tentang Kemiskinan
Pada dasarnya agama lahir ke muka bumi
bertujuan luhur untuk menyampaikan pesan-pesan suci Tuhan, antara lain yang
terpenting adalah membebaskan manusia dari derita sosial. Oleh karena itu,
agama tetap memiliki pandangan profetik terhadap kemiskinan dan kaum miskin.
Dalam konteks ini akan sedikit dielaborasi menegenai bagaimana agama-agama
memandang kemiskinan, terutama agama misionaris dunia, yaitu Islam, Kristen dan
Buddha.
1.
Kemiskinan dalam Pandangan Islam
Islam
adalah salah satu agama dunia (world religions) yang mengklaim dirinya
sebagai agama pembawa rahmat bagi semesta alam,[18]
ia merupakan fitrah manusia dalam artian bahwa manusia memiliki kecenderungan
dasar untuk beragama Islam,[19]
karena bagi pemeluknya terdapat suatu keyakinan pasti bahwa Islamlah
satu-satunya agama yang direstui (ridha) Tuhan.[20]
Sebagai sebuah rahmat tentu kehadiran Islam akan memberikan ketentraman dan
kesejahteraan hidup bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Ketentraman di sini pada dasarnya sudah dijanjikan oleh Allah dan ia lebih
bersifat pada hal yang bermakna ruhaniah, sedangkan kesejahteraan lebih
bermakna pada suatu pemenuhan kebutuhan yang bersifat material. Jika demikian
konsep yang diidealkan oleh dienul Islam, mengapa Islam saat ini justru
begitu banyak terpuruk dan identik dengan kemiskinan (umat)-nya? Oleh karena
itu sebelum melihat bagaimana pandangan Islam tentang kemiskinan, persoalan
yang harus pertama kali dijawab adalah bagaimana Islam memandang dunia
kehidupan manusia.
Islam
meyakini adanya dua kehidupan, yakni kehidupan dunia sekarang dan kehidupan
akhirat. Meyakini adanya kehidupan paska kematian atau akhirat merupakan bagian
dari rukun iman (arkanu al-iman).[21]
Dalam pandangan Islam kehidupan akhirat dan kehidupan dunia merupakan dua mata
rantai yang integral dan ‘bersimbiosis’, serta tidak dapat dilepaskan satu sama
lain.[22]
Akan tetapi, pergeseran pemikiran dalam Islam kemudian mengalami perkembangan
sejarah yang berbeda. Pengaruh Ilmu Kalam, misalnya telah memecah pemikiran
Islam mengenai dunia dan akhirat ke banyak spektrum yang mempengaruhi tindakan
dalam memperlakukan dunia. Dari golongan yang melihat dunia sebagai sebuah
perhiasan yang harus dijauhi, karena penuh laknat sampai munculnya pandangan
yang hanya memfokuskan diri pada persoalan dunia. Pandangan dunia (world
view) dalam melihat kehidupan dunia-akhirat inilah yang nantinya akan
mempengaruhi bagaimana kaum muslimin melihat kemiskinan yang notabene sebagai
bentuk dari warna kehidupan duniawi.
Oleh
karena itu, istilah kemiskinan dalam Islam mempunyai banyak arti dan dimensi.
Akan tetapi secara garis besar dapat ditarik suatu pemahaman bersama bahwa yang
dimaksud dengan kemiskinan adalah kemiskinan dalam pengertian ketidakmampuan
seseorang untuk memenuhi kebutuhan material-nya. Sebagai contoh, dalam surat
al-An’am ayat 151 dan surah al-Isra’ ayat 31 yang melarang keras kepada kaum muslimin
saat itu agar tidak lagi membunuh anak-anak perempuan lantaran takut
jatuh miskin. Sangat jelas yang dimaksud dengan kemiskinan pada kedua ayat
tersebut adalah miskin dalam artian kurang dalam akses pemenuhan kebutuhan
material, seperti makan dan minum.[23]
Kedua ayat ini juga menunjukkan suatu fakta sejarah bahwa sebelum Islam datang,
terdapat kecenderungan dari masyarakat Arab Jahiliyah yang mengubur hidup-hidup
anak perempuan yang dianggapnya sebagai makhluk tidak produktif, sehingga
menimbulkan rasa khawatir berlebihan akan ketidakmampuan menghidupinya alias
takut miskin.[24]
Uniknya, Khalifah Umar ibn Khattab juga memiliki konsep kemiskinan secara
material yang dipraktekkannya sendiri di masa kekhalifahannya sedang dijabat.
Menurutnya kemiskinan itu berbeda dengan kefakiran. Miskin dan fakir itu
berbeda, sekalipun keduanya dapat dimaknai sinonim. Bagi Khalifah Umar, fakir (fuqara)
adalah kemelaratan yang dialami kaum muslimin, sedangkan miskin (masakin)
adalah kemelaratan yang dialami kaum non-muslim yang tinggal di wilayah Islam (dar
al-Islam), seperti orang Yahudi dan Nasrani.[25]
Dalam
pada itu sebenarnya terdapat dua pandangan dalam melihat kemiskinan yang
berpusat pada dua spektrum pandangan yang berbeda, yakni yang memandang
kemiskinan sebagai kenyataan yang tidak perlu dijauhi, bahkan ia merupakan
anugerah Tuhan yang harus dinikmati. Sebaliknya pandangan kedua, melihat
kemiskinan sebagai suatu masalah negatif yang harus dilenyapkan, karena memang
kemiskinan bukanlah dipandang sebagai suatu anugerah Tuhan, justru kekayaanlah
yang sebenarnya menjadi anugerah Tuhan.
Pandangan
yang pertama misalnya tampak dari apa yang dikategorikan oleh Syekh Yusuf
Qaradhawi sebagai; pertama, pandangan yang mengkultuskan kemiskinan yang
dipraktekkan oleh orang-orang zuhud, rahib (ulama), dan mereka yang mengaku
sebagai kaum sufi dan orang-orang yang taqasysyuf (tidak menyenangi
dunia). Dalam pandangan golongan ini, kemiskinan menjadi sebuah kenikmatan dan
karenanya tidak harus dijauhi. Kemiskinan justru merupakan rahmat dan anugerah
Allah, sedangkan kekayaan hanya sebuah ilusi yang akan menipu manusia untuk
menjauhkan dirinya dari Tuhan. Oleh karena itu, sesuatu yang bersifat
keduniawian harus dijauhkan, dan kebahagiaan berupa kekayaan itu sebenarnya
hanya terjadi secara riil dalam kehidupan setelah kematian, yakni di alam
akhirat.[26]
Kemiskinan dalam pandangan ini juga dipahami sebagai simbol orang-orang shaleh,
sedangkan kekayaan dikonotasikan sebagai dosa manusia jahat yang akan
disegerakan siksanya.
Kedua, pandangan
Jabbariyah. Berbeda dengan pandangan pertama yang melihat kemiskinan
sebagai bencana, sehingga ada usaha keras untuk melarikan diri dari kekayaan
harta dunia dan menikmati kemelaratan. Pandangan golongan ini lebih melihat
kemiskinan sebagai sebuah suratan takdir dari Allah yang tidak dapat
diubah, manusia hanya dapat menerima ketentuan itu. Kaya dan miskin murni
merupakan takdir Allah yang telah digariskan nash-nya.
Ketiga,
pandangan
dari golongan yang menyeru kesalehan individual. Menurut Qaradhawi, pandangan
ini sedikit lebih maju (progress) dari pandangan sebelumnya, sekalipun
terdapat kesamaannya juga, terutama dalam menilai kemiskinan sebagai sebuah
bencana dan tindak kejahatan. Poin kemajuan dari pandangan ini terletak pada
adanya anggapan bahwa kemiskinan merupakan sebuah masalah yang harus dicari
solusinya untuk dipecahkan. Solusi pemecahan yang ditawarkan hanya saja sangat
bersifat individualistik, yakni sekedar menyerukan kepada individu-individu
yang kaya agar segera membantu (karikatif) orang miskin.
Berbeda
dari ketiga pandangan di atas, Qaradhawi justru berpendapat bahwa Islam
menganggap kemiskinan sebagai sebuah problem masyarakat, dan bahkan ia
merupakan penyakit yang harus segera dicarikan obatnya, sementara kekayaan
dilihat sebagai anugerah Allah.[27]
Menurutnya, kemiskinan merupakan penyakit yang berbahaya bagi umat manusia dan
bagi umat Islam khususnya, dikarenakan ia; pertama dapat mengancam aspek
spiritual (akidah dan ketenangan beribadah). Kemiskinan cenderung menimbulkan
keragu-raguan akan kebijaksanaan dan keadilan Allah.[28]
Kedua, kemiskinan dapat melemahkan intelektualitas. Orang miskin tidak
akan mampu berfikir secara maksimal, mereka akan terganggu karena kebutuhan
dasarnya belum terpenuhi secara baik.[29]
Ketiga, kemiskinan dapat mengakibatkan keretakan rumah tangga. Keempat,
kemiskinan rentan menimbulkan beragam penyakit sosial[30]
yang ujung-ujungnya akan menjauhkan diri dari perintah agama (pencurian,
perampokan, pelacuran, dll).[31]
Dengan
demikian, Islam merupakan salah satu agama yang melihat kemiskinan sebagai
sebuah kenyataan sosial yang harus diperangi. Kepemilikan harta bukan hal yang
tercela, tetapi justru Islam memerintahkan untuk mencari sebanyak-banyaknya.
Islam mengajarkan prinsip hidup selalu berjuang (jihad). Berjuang untuk
mengeluarkan diri dari lembah kemiskinan. Al-Qur’an juga mengajarkan prinsip
agar tidak bermalas-malasan dalam menjalani hidup.[32]
Bentuk pengeluaran diri dari jeratan kemiskinan ini tidak hanya dibebankan
secara sepihak kepada si miskin saja untuk mengatasinya, tetapi juga dari orang
kaya,[33]
karena di dalam harta si kaya sebenarnya terdapat hak untuk orang miskin yang
harus diambil.[34]
Islam
juga melarang keras kepada pemeluknya yang hidup bermalas-malasan dengan jalan
meminta-minta (mengemis). Sikap meminta-minta sebagai simbol kemalasan ini
direspon oleh Ibnu Qayyim secara keras dan negatif. Ibnu Qayyim menganggap
hidup meminta-minta merupakan bagian dari kezaliman, yakni zalim kepada Allah
karena menggantungkan kerenda-hannya kepada selain Allah, zalim kepada yang
dimintai dan zalim kepada dirinya sendiri atas segala potensi yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya.[35]
Sekalipun demikian, dalam pandangan Islam kemiskinan tidak semata-mata dilihat
karena faktor individu, tetapi juga diakibatkan oleh sistem politik yang
dijalankan oleh penguasa yang tidak memihak kepada orang-orang yang bertuna harta.
Karena itu kemiskinan dapat terjadi karena kekuasaan orang-orang kaya yang
mengendalikan secara absolut sumber-sumber ekonomi.
Hal
itu dapat terjadi, misalnya dari pernyataan eksplisit bagaimana al-Qur’an kerap
kali melihat kemiskinan sebagai bagian dari produk sistem. Ini artinya Islam
memandang persoalan kemiskinan juga sebagai bagian dari problem struktural, dan
oleh karenanya selain menerapkan prinsip pemerataan secara sistemik (zakat),
Islam juga melancarkan serangan dan kecaman secara struktural kepada mereka
yang mengeksploitasi dan memiskinkan manusia[36]
dan menentang segala bentuk pemonopolian ekonomi.[37]
2.
Kemiskinan dalam
Pandangan Kekristenan
Agama Kristen, baik Protestan maupun
Katolik merupakan salah satu agama yang mengedepankan cinta kasih kepada sesama
sebagai intisari ajaran agamanya.[38]
Cinta kasih ini tersimbolisasikan dalam pengorbanan diri Yesus guna menebus
dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia.[39]
Pada peristiwa penyaliban Kristus inilah inti dari kepercayaan Kristen yang
kelak akan sangat menentukan corak keberagamaan umat Kristiani. Bahkan Dr. Y.
Hartono Budi menegaskan bahwa inti keimanan Kristen selain pada penyaliban
Yesus, juga terletak pada kehidupan baru yang dilahirkan melalui kematian Yesus
dalam sejarah dunia.[40]
Oleh karena itu, sebelum menjelaskan
bagaimana pandangan Kristen tentang kemiskinan, perlu kiranya hal-hal yang
bersifat teologi-historis kita ungkap sekalipun tidak secara rigid, minimal ini
akan membantu kita dalam melacak apa yang kita cari. Bahwa Yesus sebagai
realitas sejarah yang disalib menjadi inti dari ajaran Kristen oleh Huston
Smith digambarkan sebagai sepenggal kisah kehidupan seorang tukang kayu Yahudi
yang tidak dikenal, lahir di dalam kandang hewan, tidak memiliki harta, tidak
pernah mengenyam pendidikan, tidak mempunyai pasukan, meninggal dalam usia muda
(33 tahun) dengan tuduhan sebagai seorang penjahat dan penipu, dan jangankan
menulis buku, satu-satunya tulisan yang ia goreskan hanyalah tulisan di atas
pasir.[41]
Kenyataan dari tragedi penyaliban
itulah yang membentuk pandangan Kristen dalam melihat kemiskinan. Hal ini
sangat sejalan dengan bagaimana proses penyaliban lebih jauh dihayati oleh
Kristus sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan kembali antara Allah dengan
manusia yang ada dalam situasi dosa.[42]
Dengan pengorbanan yang dilakukan dan bukan hanya karena kenyataan historis
Yesus Kristus, sebagaimana digambarkan oleh Huston Smith di atas, Sabda Allah
yang menjelma (menjadi manusia) itu meng-identikkan dirinya dengan kaum miskin.
[43]
Oleh karena itulah, Kristus sangat diyakini oleh umat Kristiani hadir di dalam
diri setiap orang miskin. Iman kita mendesak kita mengakui kehadiran Kristus
dalam diri orang miskin dan tertindas (Konstituti 112).
Keadaan Yesus dengan penuh derita dan
pengorbanan demi menang-gung dosa umat manusia dalam keadaan miskin papa,
ternyata menjadi acuan bagi kehidupan beragama masyarakat Kristen. Kemiskinan,
dengan demikian menjadi memiliki nilai yang sangat penting bagi umat Kristen
dalam menempuh hidup Injili sekaligus religius. Di sini dapat dilihat bahwa
kemiskinan menjadi sebuah realitas yang tidak harus dijauhi, apalagi dianggap
sebagai realitas yang menjijikkan sehingga orang enggan untuk menghampiri orang
miskin. Yesus Kristus yang diimani hadir dalam diri orang-orang miskin menjadi
spirit Kristiani untuk menyatu dengan orang-orang miskin
Dari deskripsi tersebut, satu yang
menjadi benang merah kita adalah bahwa kemiskinan yang dimaksud oleh
Kekristenan jelas lebih mengarah pada pengertian-pengertian sebelumnya tentang
kemiskinan, yakni kurangnya akses untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Lebih jauh dokumen FABC I dengan rigid
memberikan penjelasan mengenai kemiskinan. Dalam FABC I tersebut bahwa
kemiskinan dijabarkan :
Pernyataan
di atas menegaskan bahwa, pertama istilah miskin dan kemiskinan dalam
pemikiran iman Kristiani selaras dengan padanan kata yang dikonotasikan sebagai
bentuk dari ketidak-mampuan untuk mengakses kebutuhan dasar material dalam
menjalani kehidupan yang manusiawi. Kedua, miskin dan kemiskinan tidak disebabkan oleh manusianya (budaya, pendi-dikan),
tetapi akibat dari sistem sosial, ekonomi, dan politik yang menciptakan keadaan
miskin.
Penyatuan bersama orang miskin dan mewartakan Injil
dalam kemiskinan merupakan upaya memberikan harapan kepada orang miskin.
Mungkin, karena penekanan Kristen kepada kemiskinan, Pier mengatakan,
sebagaimana dikutip Edward Ratu Dopo bahwa “misi Yesus” adalah dari kaum
miskin, dan...untuk kaum miskin dan bagi kaum miskin. [47] Kristus juga pernah berkata “Berbahagialah
orang miskin karena merekalah yang mempunyai Kerajaan Surga. Berbahagialah
mereka yang berduka cita karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lapar dan haus karena mereka akan
dikenyangkan. Berbahagialah kamu jika kamu dibenci, didiskriminasikan, dihina,
dan namamu dicoret karena anak manusia. Bersuka citalah dan bersoraklah, karena
besarlah upahmu di surga karena demikianlah para nabi dianiaya. Pernyataan suci
ini menunjukkan bahwa Kekristenan memandang orang miskin harus dikeluarkan dari
kemiskinannya, bukan sebaliknya dipertahankan. Iman Kristen yang meyakini bahwa
Yesus Kristus hadir dalam diri orang miskin pada dasarnya merupakan sebuah
jalan ikhtiar untuk mengeluarkan orang dari kemiskinannya. Dalam hal ini, Fr.
Fransiscus Obon dalam tulisannya; “Kaum Religius dan Orang Miskin”
mengungkapkan bahwa salah satu yang perlu dianut dalam mengubah kaum miskin
adalah menjadi orang miskin, dengan orang miskin, dan seperti orang miskin.[48]
3.
Kemiskinan dalam
Pandangan Buddha
Agama
Budha merupakan agama misisonarisme ketiga setelah Islam dan Kristen yang
akhir-akhir ini perkembangannya terus bersaing ketat di berbagai belahan dunia,
dan di Indonesia pada khususnya. Sekalipun
demikian hal yang paling menarik dari agama Buddha adalah begitu kental
nilai-nilai spiritualitas dalam ajaran agama ini, terutama senantiasa mengajak
umatnya untuk berfikir.[49]
Huston Smith bahkan menganggap bahwa Sang Buddha selain sebagai salah seorang
tokoh terbesar dunia yang lahir di Lumbini-India, ia juga merupakan tokoh
rasionalis terbesar sepanjang zaman yang setaraf dengan Socrates.[50]
Akan tetapi, sangat disayangkan jika literatur tentang studi-studi ke-Buddha-an
sangat jarang ditemukan di Indonesia.
Menarik
di sini membicarakan masalah kemiskinan dalam perspektif Buddha. Akan tetapi
sebelum mengarahkan ke persoalan tersebut, dalam melihat ajaran Buddha perlu
kiranya meninjau kembali pokok ajaran sang Buddha yang terletak pada Empat
Kesunyian Mulia, yakni Dukkha (dukkha), Dukkha Samudaya (sumber
dukkha), Dukkha Nirodha (terhentinya dukkha), dan Magga (jalan
yang menuju terhentinya dukkha).[51]
Kata
Dukkha dalam bahasa Pali mengandung arti “derita,” “sakit,” “sedih” atau
“masyghul”, sebagai lawan dari kata Sukkha yang berarti senang atau
gembira. Tetapi kata Dukkha menurut pandangan sang Buddha dalam
kehidupan mengandung arti filosifsi yang lebih mendalam dan memiliki cakupan
yang sangat luas. [52]
Ajaran
Buddha pada prinsipnya mengimani sebuah doktrin khusus yang menyatakan bahwa
hidup manusia ini adalah penderitaan (Dukkha). Jadi, pandangan Buddha tentang hidup manusia di
dunia tidak lain adalah sebuah penderitaan dan kesengsaraan.[53]
Lebih jauh menurut ajaran Buddha, manusia dianggap tidak ada, tidak ada atman,
karenanya perwujudan sejati manusia adalah dengan kemampuannya memadamkan (nirvana)
dari seluruh struktur ruang-waktu dan pengalamannya yang dianggap sebagai
perwujudan yang sejati dan otentik. Ini merupakan cara satu-satunya yang harus
dilalui untuk melakukan pembebasan yang nyata/riil (nibbana).[54]
Terlepas
dari hal di atas, Maga yang merupakan salah satu dari Empat Kesunyian
Mulia yang disebutkan di atas sebenarnya menjadi puncak dari upaya manusia
untuk melepaskan diri dari Dukkha (dukkha nirodha
gaminipatipada-Ariyasacca) yang juga dikenal sebagai jalan tengah (Majjhima-Patipada).
Pada proses Maga ini seorang harus melakukan dua hal yang, menurut Maha
Pandita Sumedha Widyadharma cukup ekstrem, yaitu pertama, tidak mencari
kebahagiaan hidup dengan menuruti hawa nafsu indra (fisik) yang dianggap hina,
rendah, biasa, tidak berfaedah dan cara-cara yang biasa. Kedua, tidak
mencari kebahagiaan hidup dengan menyiksa diri dalam berbagai cara, yang
menyakiti fisik dan tidak berharga bagi kehidupan.[55]
Agaknya
di sini terlihat bahwa doktrin agama Buddha selalu mengambil jalan tengah.
Karena itu, dengan doktrin, Buddhisme selalu dikatakan sebagai ajaran agama
yang realistis. Yakni, mengajarkan kepada kita untuk melihat hidup di dunia ini
secara wajar. Tidak menganggap dunia sebagai sorga secara berlebihan, tetapi
tidak juga menakut-nakuti umatnya dengan beragam ancaman dosa dan siksa di
kehidupan setelah mati kelak. [56]
Dengan demikian, ajaran Buddha tentang penderitaan bukan berarti Buddha
mengajarkan sikap pesimistik dalam memandang kehidupan sebagaimana doktrin dosa
asal (the sin origine) dalam Kekristenan dan juga tidak memandang dunia
manusia secara optimistis sebagaimana doktrin fithrah (baik/suci)
manusia dalam ajaran dasar Islam mengenai penciptaan manusia.
Sang
Buddha Gautama yang digelari sebagai pembabar agung dari Sakyamuni memandang
hasrat duniawi apapun dapat mengundang kedatangan Iblis. Hal ini dijelaskan
setelah Gautama pernah melakukan perdebatan dengan iblis yang bernama Mara
Papiyas. Untuk melepaskan diri dari hasrat duniawi itu Gautama membimbing
manusia agar senantiasa membebaskan pikiran dari segala ikatan, seperti air
pegunungan yang mengalir bebas. [57]
Agama
Buddha juga memberikan doktrin tentang Nibbana. Pada dasarnya dalam doktrin
mengenai pembebasan ini akan terlihat bagaimana ajaran Buddha memandang negatif
tentang kemiskinan. Sebab kemiskinan bertentangan dengan doktrin penderitaan (Dukkha)
yang seharusnya dihilangkan oleh manusiua dalam kehidupan ini, baik itu
penderitan akibat kemiskinan spiritual maupun karena kemiskinan material. Oleh
karena itu juga dalam ajaran Buddha damai tidak selamanya bermakna dari kondisi
tiadanya perang, akan tetapi damai juga merupakan sebuah kondisi kebahagiaan
yang lepas dari segala bentuk bahaya kehidupan sosial, seperti kemiskinan.[58]
Jadi hidup dalam kedamaian adalah hidup yang terbebas dari kemiskinan, baik
kemiskinan material maupun spiritiual. Sebab kemiskinan juga merupakan salah
satu pangkal dari penderitaan manusia (dukkha) yang harus dibebaskan
dengan delapan jalan utama (paramitha). Wallahu A’lamu.
SUMBER KEPUSTAKAAN
Abd al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahros Li
al-Faazh al-Qur’an al-Kariem, Beirut, Daar al-Fikr, 1401 H/1981 M.
AS.,
Homby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Fifth Edition. London,
Oxford University Press, 2005.
Alamsyah,
M., Budi Nurani Filsafat Berfikir, Jakarta, Titik Terang, 1987.
Ba’albaki,
Munir, Al-Mawrid Qamus Inkliziy-‘Arabiy, Beirut, Daar al-‘Ilm, 1974.
Badudu,
JS., dan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 1994.
Berger,
Peter L., Piramida Pengorbanan Manusia, Satu Jawaban diantara Sosialisme dan
Kapitalisme, terj., Bandung: Samiadji, 1983.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung, Gema Risalah Press,
1989.
Djam’annuri
(ed), Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama; Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2000.
Finn,
James, Masyarakat Beriman dan Tatanan dunia dalam Tinjauan Kristen, dalam
Trialog Tiga Agama Besar, Langkah baru Perbandingan Agama ke Arah Pemikiran
dan Diskusi Masa Depan, Surabaya, Pustaka Progressif, 1994.
Hamidullah,
Muhammad, Introduction to Islam, New Delhi, Kitab Bhavan, 1992.
Hartono,
Budi Y., Teolog dan (Harapan) Para Korban, Sebuah Refleksi Tentang Peran
Teologi dan Universitas Dalam Masyarakat dengan Mayoritas Orang Miskin, Yogyakarta,
Universitas Sanata Dharma, 1999.
Kompas,
2 Desember 2004.
Osco,
R. Sebastian, Sumbangan Hidup Kerahiban Bagi Penggalan Khasanah Kerohanian
Indonesia, Majalah Rohani, Th. XXXVI No.3, 1989
Obon,
Fr.Fransiskus, Kaum Religius dan Orang Miskin, Majalah Rohani XXXVI. No.
10, Oktober 1989.
Okawa,
Ryuho, Hakikat Ajaran Buddha Jalan Menuju Pencerahan, Yogyakarta, Arruz
Media Yogyakarta, 2004.
P.S.,
Metta, Damai Waisak untuk Kebahagiaan Umat Manusia, Pikiran Rakyat, 12
Juni 2004.
Panikkar, Raimundo, Dialog Intra
Religius, Yogyakarta, Kanisius, 1994.
Pranowo,
& Sudaryanto, ed., Kamus Pepak Basa Jawa, Solo, Badan Pekerja
Kongres Bahasa Jawa, 1999.
Ratu
Dopo, Edward, Teologi Pembebasan dalam Konteks Kemiskinan dan Pluri-religi
di Asia Menurut Aloysius Pieris, Yogyakarta, FTW, 1993.
Rudati,
Sr. Christera Sri, Menelusuri Perjalanan Kaum Religius dalam Melayani Orang
Kecil, Majalah Rohani XXXVI No. 10 Oktober, 1989.
Salim,
Peter, Salim’s ninth Collegiate; English-Indonesia Dictionary, Jakarta,
Modern English Press, 2000.
Syari’ati,
Ali, Paradigma Kaum Tertindas, Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Jakarta,
al-Huda, 2001.
Smith,
Huston, Agama-agama Manusia, terj, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
2001.
Supriyadi,
Eko, Sosialisme Islam, Pemikiran Ali Syari’at, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003.
Shihab,
M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung, Penerbit Mizan, 2001.
Tjiptoherijanto, Priyono & Sutyastie S.R., Kemiskinan
dan Ketidakmerataan di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2002.
Widyadharma, Maha
Pandita Sumeda, Dhamma-Sari, Jakarta, Yayasan Dana Pendidikan Buddha
Nalanda, 1994.
Yusuf,
Qaradhawi, Teologi Kemiskinan, Doktrin Dasar dan Solusi Islam atas Problem
Kemiskinan. terj.,Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2002.
[2] JS. Badudu dan Muhammad Zain, Kamus
Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), 903.
[5] Homby, AS, Oxford Advanced Learner’s
Dictionary, Fifth Edition (London: Oxford University Press, 2005), 866.
[6] Peter Salim, Salim’s ninth
Collegiate; English-Indonesia Dictionary (Jakarta: Modern English Press,
2000), 1128.
[9] Sudaryanto & Pranowo, ed., Kamus
Pepak Basa Jawa, (Solo: Badan
Pekerja Kongres Bahasa Jawa, 1999), 593.
[12] Subjective approach ini dapat
kita lihat, misalnya dari cerita Peter L. Berger ketika berkunjung ke Alagados,
sebuah bentangan pemukiman penduduk yang berdiri tegak di atas tumpukan sampah
yang menjadi daratan di kota Salvador ibu kota negara bagian Bahia El-Savador.
Seorang juru bicara yang meneliti Alagados menjelaskan kepada kita ketika
menggambarkan tempat tersebut, “Anda memang melihat kemiskinan di daerah ini,
tetapi anda tidak akan melihat penderitaan. Orang-orang di sini cukup bahagia”,
Lihat, Peter L. Berger, Piramida Pengorbanan Manusia, Satu Jawaban diantara
Sosialisme dan Kapitalisme, (Bandung: Samiadji, 1983), 80-1.
[14] Sutyastie S.R & Prijono
Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002), 34.
[22] Dalam hal ini, Ali Syari’ati juga berpendapat,
“Jadi (tawhid) tidak terbagi-bagi atas dunia kini dan dunia akhirat nanti…jadi
kita memandang seluruh eksistensi sebagai bentuk tunggal, suatu organisme
tunggal yang hidup...”, Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas, Sebuah
Kajian Sosiologi Islam (Jakarta: al-Huda, 2001), 23. Menurut Eko Supriyadi
pandangan dunia tawhid melihat sesuatu sebagai kesatuan dua aspek, yang ghaib
dan yang zhahir, inderawi dan non-inderawi, Lihat pula, Eko Supriyadi, Sosialisme
Islam Pemikiran Ali Syari’ati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 98.
[23] Ustdaz Quraish Shihab juga menyebutkan
kebutuhan manusia ke dalam lima garis besar kebutuhan, yakni 1) kebutuhan
fa’ali (makan, minum, dan hubungan seksual), 2) kebutuhan akan
ketentraman dan keamanan, 3) kebutuhan akan keterikatan kelompok, 4)
kebutuhan akan rasa penghormatan, dan 5) kebutuhan akan pencapaian
cita-cita, Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), 308.
[24] Dalam QS.al-Ma’un/107:1-3 misalnya juga
sangat jelas, yang dimaksud dengan miskin adalah miskin secara material. Ayat
tersebut berbunyi “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang
yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”
Al-Qur’an secara khusus menyinggung kata miskin/kemiskinan (miskien,
miskienan, masaakin) kurang lebih sebanyak 23 kali yang kesemuanya
berkonotasi pada kemiskinan dalam artian kekurangan secara material, Lihat,
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahros Li al-Faazh al-Qur’an
al-Kariem, (Beirut: Daar al-Fikr, 1401 H/1981 M), 354.
[26] Golongan ini senantiasa juga
menggunakan argumentasinya berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, seperti tertera
dalam QS.20:117-119 yang berbunyi, “Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis)
adalah musuh bagimu dan bagi istrimu. Maka, sekali-kali jangan sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga yang akibatnya kamu akan bersusah payah.
Sesungguhnya kamu tidak akan lapar di sini (surga), tidak pula akan telanjang,
dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak pula akan kepanasan ”,
Lihat, Yusuf Qaradhowi, Teologi Kemiskinan, Doktrin Dasar dan Solusi Islam
atas Problem Kemiskinan. terj. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hlm.
1-2.
[27] Berdasarkan pada ayat “Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”
(Q.S.al-Dhuha/93:8). “..dan membanyakkan harta dan anak-anakmu…” (Q.S.Nuh/71:10-12).
[29] Menurut Alamasyah, pemikiran manusia
senantiasa bermula dari tuntutan-tuntutan; a) jasad (perut, seks,
libido), b) perasaan bathin (cinta kasih sayang, damai, harmoni), dan c)
ruhani (kerinduan pada Tuhan), Lihat, M. Alamsyah, Budi Nurani Filsafat
Berfikir (Jakarta: Titik Terang, 1987), 67.
Dengan demikian, kemiskinan akan mengganggu pikiran manusia karena
otomatis sangat mengganggu ketiga hal tersebut.
[30] Kesimpulan ini sangat sesuai dengan
Hadis Nabi yang menyatakan bahwa, “Perut adalah rumah penyakit, sedang
berpantang adalah pangkal segala obat.” Penyakit yang dimaksud disini tentu
bukan hanya penyakit secara biologis atau fisik, tetapi juga penyakit
psikologis (stress, depresi) dan penyakit sosial (kriminalitas).
[36] Q.S. al-Nisa’/4:7; Q.S.al-Anfal/8:39;
Q.S.al-A’raaf/07:137; Q.S.al-Taubah/09:103; Q.S.al-Hasyr/59:7-8.
[37] Q.S.al-Humazah/104:6-8;
Q.S.al-A’raaf/07:31; Q.S. al-Dzariyaat/51:34; Q.S.al-Hasyr/59:7;
Q.S.al-Humazah/104:1-4; Q.S. al-Ma’uun/107:1-3; Q.S.al-Baqarah/2:264;
Q.S.al-Syura/42:08.
[38] Djam’annuri (ed), Agama Kita Perspektif
Sejarah Agama-agama, Sebuah Pengantar (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 2000), 77, 102-3. Lihat juga dalam Dei Verbum bagaimana
dijelaskan “bahwa dengan wahyu ini Allah yang tidak kelihatan (Bdk. Kol
I:15; 1 tim 1:17) karena cinta kasih-Nya yang melimpah ruah, menyapa manusia
sebagai sahabat (Bdk. Kel 33 : 11; Yoh 15:14-15)dan bergurau dengan
mereka, guna mengundang dan menerima mereka ke dalam persekutuannya ” (DV
2)
[39] Dalam iman Kristen, khususnya Kristen
Protestan, manusia digambarkan sebagai sosok “yang berdosa" tetapi pada
saat yang bersamaan juga sebagai “orang yang dibenarkan.” Lihat, Djam’annuri. Ibid,
102.
[40] Budi Y. Hartono, Teolog dan
(Harapan) Para Korban, Sebuah Refleksi Tentang Peran Teologi dan Universitas
dalam Masyarakat dengan Mayoritas Orang Miskin, (Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma), 28.
[42] R. Sebastian Osco, Sumbangan Hidup
Kerahiban Bagi Penggalan Khasanah Kerohanian Indonesia, Majalah Rohani, Th.
XXXVI No.3, 1989
[44] Dikutip dari tulisan Edward Ratu Dopo; Teologi
Pembebasan dalam Konteks Kemiskinan dan Pluri-religi di Asia Menurut Aloysius
Pieris, (Yogyakarta: FTW, 1993), 87.
[45] Iman Kristiani mengenal ada tujuh macam
dosa pokok manusia yang merupakan akibat
dari perbuatan Adam yang sering juga disebut sebagai dosa asal. Salah satu dari
dosa pokok tersebut adalah malas. Lihat, Djam’annuri. (ed), Op.cit,
89. Dengan demikian, menerima kemiskinan dengan sikap malas akan menjadi dosa
yang sangat besar.
[46] James Finn, Masyarakat Beriman dan
Tatanan Dunia dalam Tinjauan Kristen, dalam Trialog Tiga Agama Besar,
Langkah Baru Perbandingan Agama ke Arah Pemikiran dan Diskusi Masa Depan, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1994), 153.
[48] Fr. Fransiskus Obon, Kaum Religius
dan Orang Miskin, Majalah Rohani XXXVI.10 Okt-1989, 409, Bdk Sr. Christera
Sri Rudati, Menelusuri Perjalanan Kaum Religius dalam Melayani Orang Kecil, Majalah
Rohani XXXVI,402-408
[57] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha Jalan Menuju
Pencerahan, (Yogyakarta: Arruz Media Yogyakarta, 2004), 41.
0 Response to "Makalah Agama dan Kemiskinan, Kemiskinan Perspektif Agama-agama"
Post a Comment