Image1

Skripsi Bab II | Islam dan Politik di Indonesia


Islam dan Politik di Indonesia | Islam dan Politik tidak Boleh Dipisahkan| islam dan politik demokrasi | Islam dan Aspek Politik Pemerintahan

BAB II
 ISLAM DAN POLITIK
A. Pengertian Politik.
Sebagai landasan tioritis, dalam bab ini akan diuraikan dengan mengacu pada pandangan para Pemikir dan Ilmuan politik dalam bidang politik, hanya saja tak ada kesepakatan diantara mereka tentang konsep-konsep yang terkandung dalam istilah-istilah tersebut, hal ini disebabkan oleh latar belakang dan sudut pandang mereka, akibatnya tiori mereka bersifat parsial. Politik sebenarnya telah dikenal dalam sejarah sejak zaman Yunani Kuno, sebut saja pemikiran Socrates, Plato dan Aristoteles,[1] hingga pada para Pemikir dan Ilmuan politik terkini, walaupun pada generasi akhir ini, secara idiologis banyak dipengaruhi oleh idiologi Liberalisme, Marxisme, Nasionalisme, Sosialisme, dan lain sebagainya termasuk juga Islam.
Istilah “politik”, pertama kali dikenal dalam buku “Republik (politeia)” yang dikarang oleh Plato, kemudian muncul karya Aristoteles yang berjudul “Politeia”, yang pada perjalanan selanjutnya kedua karya ini dipandang menjadi awal cikal bakalnya berkembangnya pemikiran politik.[2] Kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan secara tersirat, kata asal tersebut berarti “Acting or judging, well judged, pradent” (disini kata tersebut di terjemahkan dengan: “bijaksana” atau “dengan bijaksana”,[3]  politik kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya), pada umumnya politik dapat diartikan secara bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu, adapun yang dimaksud dengan pengambilan keputusan adalah apa tujuan dari sistem politik itu mengenai seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah terpilih. Politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[4]
Di dalam persepektif politik Islam dikenal dengan “Fiqh Siyasah” , Siyasah juga dikenal dengan “Siyasah Syar’iyah” dan “Fikih Siyasah” (dua istilah yang berbeda tapi mengandung pengertian yang sama), yaitu Siyasah yang dihasilkan oleh pemikiran manusia yang berlandaskan etika agama dan moral dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum syari’at dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan bernegara. Dalam hubungan ini, Abdul Wahaf Khallaf  menyatakan bahwa definisi Siyasah Syar’iyah (atau Fikih Siyasah) adalah pengelolaan masalah umum bagi negara bernuansa Islam yang menjamin terealisirnya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan dengan tidak melanggar ketentuan syari’at dan prinsip-prinsip syari’at yang umum meskipun tidak sesuai dengan pendapat-pendapat para imam mujtahid.[5] Senada dengan definisi tersebut Abdurrahman Taj menyatakan : Siyasah Sar’iyah adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara dengan mengorganisir umat yang sejalan dengan jiwa syri’at dan sesuai dengan dasar-dasarnya yang universal (kulli) untuk merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat kemasyarakatan, sekalipun hal itu tidak ditunjukkan oleh nash-nash tafshili yang juz’i dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.[6] Sedangkan Ibn Abidin membuat definisi yang lebih luas, Siyasah Syar’iyah adalah kemaslahatan untuk manusia dengan membimbing mereka kejalan yang menyelamatkan di dunia dan akhirat, dan Siyasah itu dari para nabi khusus dan umum baik zahir maupun bathin, dan dari para pemegang kekuasaan, para sultan dan raja secara zahir serta dari para ulama ahli waris para nabi secara khusus dan bathinnya.[7]
Dari berbagai definisi yang ada, ditemukan dua kecendrungan pendefinisian politik, pertama pandangan yang mengaitkan politik dengan negara yakni dengan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah; kedua pandangan yang mengaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas dan atau dengan konflik. Perbedaan kecendrungan ini erat kaitannya dengan pendekatan yang dipergunakan, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan prilaku. Pendekatan tradisional meliputi beberapa pendekatan, misalnya pendekatan historis yang menekankan pembahasannya pada perkembangan partai-partai politik, perkembangan hubungan-hubungan politik dengan luar negeri, dan perkembangan ide-ide politik yang besar, sedangkan pendekatan prilaku menekankan perhatiannya pada prilaku aktor politik.        
Bagaimana dimensi politik kehidupan manusia dapat dipahami dalam diskursus politik, terdapat perbedaan sesuai dengan kerangka konseptual yang digunakan, Perbedaan ini akan memberikan hasil analisis yang berbeda ketika menentukan  unsur dominan dalam proses politik. Menurut Ramlan Surbakti (1992) Yang dikutip oleh Tobroni dan samsul Arifin dalam buku Islam Pluralisme Budaya Dan Politik, Ada lima kerangka konseptual yang dapat digunakan dalam memahami politik. Pertama, politik dipahami sebagai usaha warga negara dalam membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama, Kedua, politik sebagai segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat, Kempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.[8] Beberapa studi politik menyimpulkan bahwa konsep kedua dan ketiga begitu dominan. Sementara itu pihak yang menggunakan konsep negara yang juga disebut statis perspective (persepektif negara), menganggap negara sebagai unsur yang paling dominan dalam proses politik.
Dua persepektif konsep diatas diajukan, karena keduanya dapat di pergunakan bagi kajian terhadap persoalan pemikiran politik dalam Islam. Walaupun tidak dijumpai persoalan yang sama sebagaimana yang dalam pemikiran politik pada umumnya, jika dicermati akan ditemukan ketegangan konseptual yang berhubungan dengan perspektik politik diatas. Masalah konseptual demikian dapat dijadikan titik tolak dan bantuan sebagai obyek analisis (unit of analysis), dalam rangka memformulasikan pemikiran-pemikiran politik yang berangkat dari doktrin Islam.
   Sistem politik sebagai hubungan manusia yang mencakup bentuk-bentuk pengawasan, pengaruh, kekuasaan atau otoritas secara luas, maka pengertian politik tidak lagi terbatas pada negara, tetapi juga mencakup bentuk-bentuk persekutuan lainnya, seperti perkumpulan sosial, usaha dagang, organisasi buruh, organisasi keagamaan, organisasi kesukuan dan lain sebagainya. Dari defenisi politik di atas dapat diketahui, negara berfungsi sebagai wadah kegiatan politik dan juga sebagai alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya, dan dari sini juga-lah lahir persepsi sistem hukum yang dikehendaki tidak bisa berjalan mulus dan sebagaimana mestinya tanpa kekuasaan yang mendukungnya yang menjadi sumber kekuatan untuk memaksakannya.
Dari beberapa pandangan dan tiori ini lah yang menjadi penyemangat dan pemotivasi awal terbentuknya suatu pergerakan baik itu berbentuk partai, lembaga atau-pun institusi lainnya, yang nantinya dimungkinkan tercapainya tujuan dari pergerakan yang telah terbentuk.

B. Islam dan politik, Tinjauan Tioritis        
Manusia adalah “zoon politicon” (manusia makhluk politik) dan “social animal”(makhluk yang butuhkan masyarakat), makhluk politik dalam artian manusia selaku makhluk politik, ia dituntut untuk dapat bersiasat agar dapat mempertahankan dan atau memperjuangkan sesuatu yang diharapkannya. Makhluk sosial yang artinya ia selaku manusia membutuhkan suatu tatanan masyarakat untuk mencapai atau mempertahankan tujuan tersebut. Jadi kedua istilah tersebut tidak bisa dipisahkan dari realita kehidupan manusia.
Terlepas dari kedua istilah diatas, hubungan agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang cendrung agak sekuler. Bagi umat Islam, munculnya topik pembicaraan tersebut berpangkal dari permasalahan: apakah kerasulan Muhammad SAW mempunyai kaitan dengan masalah politik ; atau apakah Islam merupakan agama yang terkait erat dengan urusan politik, kenegaraan dan pemerintahan; dan apakah sistem dan bentuk pemerintahan, sekaligus prinsip-prinsipnya terdapat dalam Islam?.
Munculnya permasalahan tersebut dipandang wajar, karena risalah Islam yang di bawa nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat. Artinya, Islam menekankan terwujudnya keselarasan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, karena itu Islam mengandung ajaran yang integratif anatara tauhid, Ibadah, akhlak dan moral, serta prinsip-prinsip umum tentang kehidupan bermasyarakat.
Menurut Nurkholis Madjid, memahami masalah politik dalam Islam bukanlah perkara yang sederhana, pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah selama lebih dari empat belas abad, jadi akan merupakan suatu kenaifan jika  menganggap, bahwa selama empat belas abad itu selama segala sesuatu tetap stasioner dan berhenti. Kesulitannya ialah, sedikit sekali kalangan kaum muslimin sendiri yang memliki pengetahuan, apalagi kesadaran, tentang sejarah itu. Kedua, selain kebeneka ragamannya bahan-bahan kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti kekuatan-kekuatan dinamik dibelakangnya, juga terdapat perbendaharaan tioritis yang kaya raya tentang politik yang hampir setiap kali muncul bersama munculnya sebuah peristiwa atau gejala sejarah yang penting.[9] Sampai sekarang masih diperdebatkan mengapa nabi tidak dengan tegas menunjuk siapa yang akan yang bakal menjadi pengganti (khalifah) beliau setelah beliau wafat? Atau sebenarnya Nabi memang telah menunjuk, dengan satu dan lain cara, tetapi tidak terlaksana, atau terlaksana setelah lewat proses yang sulit? Kemudian mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah-pun masih diperdebatkan orang tentang mengapa dan bagaimana, bahkan tentang keabsahan (misalnya oleh sebagian kaum Syi’ah). Dan sama dengan persoalan pengangkatan Abu Bakar juga pengangkatan Umar (melalui wasiat Abu Bakar), Kemudian pengakatan Ustman oleh sebuah panitia yang ditunjuk atau dibentuk oleh Umar, diteruskan dengan terbunuhnya Ustman dan diangkatnya Ali dan seterusnya. Al-Qur’an sebagai acuan utama disamping as-Sunnah Nabi tidak sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya. Dalam hal ini menurut Marcel A. Boisard dalam bukunya Humanisme dalam Islam Mengatakan:
Tidak adanya petunjuk yang nyata tentang organisasi umat adalah mengherankan tetapi logis. Mengherankan dalam kacamata filsafat sosial Islam yang mengatakan bahwa berkumpulnya manusia dibawah kekuasaan seseorang adalah suatu hal yang perlu, Logis dalam jiwa politik Islam yang mengatakan perlunya kekuasaan temporal untuk menjalankan hukum Islam secara adil dan jujur.[10]
Lebih lanjut beliau menjelaskan, baru kira-kira tiga abad setelah nabi Muhammad meninggal dunia, dan setelah terjadi pelombaan dan peperangan yang terjadi antara pribadi-pribadi, suku-suku, bahkan dinasti-dinasti, terjadilah usaha untuk mendefinisikan lembaga-lembaga kekuasaan, terasa perlunya stabilisasi dalam segala bidang, walaupun sebenarnya perlombaan itu ditujukan untuk merebut kekuasaan, akan tetapi yang perlu ditekankan adalah lahirnya oposisi bukan ditujukan terhadap sifat lembaga, akan tetapi terhadap orang, atau dengan kata yang lebih halus, terhadap cara pemilihannya.
Khilafat itu adalah akibat logis dari sistem Islam tetapi tidak dianggap sebagai salah satu dogma yang fundamental dari Islam. Kelembagaannya dimaksudkan untuk kesejahteraan umum, dalam rangka mengikuti hukum ilahi, dan kemudian umat dan ekspansinya. Jika khilafat itu merupakan rukun Islam, sudah tentu al-Qur’an memberikan penjelasan yang terang tentang organisasi dan Muhammad, tentu tidak melupakan ketentuan-ketentuan untuk penggantiannya sebelum beliau meninggal dunia.
Dari  kesemua pertanyaan tersebut, kalau boleh dikotak-kotakkan, secara garis besar pandangan umat Islam terhadap politik terbagi kepada dua golongan[11]pertama, golongan yang berpandangan bahwa dalam Islam terdapat sistem politik, Islam itu lengkap mencakup semua aspek kehidupan baik kehidupan didunia maupun kehidupan diakhirat, ini terlihat jelas dalam Nash Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah) bagaimana Islam mengatur manusia seharusnya berhubungan dengan Allah SWT. dan berhubungan dengan sesama manusia. Golongan ini berargumen selain al-Qur’an dan al-Sunnah yang telah mengisyaratkan akan adanya “politik” dalam Islam, mereka juga menguatkan pandangan mereka dengan menyodorkan sejarah “politik” umat Islam di Madinah yang kemudian diteruskan dengan berbagai suksesi kepemimpinan setelah wafatnya nabi Muhammad, pengangkatan para Sahabat, sebagai penerus kepemimpinanNya, yang kemudian hari lebih dikenal dengan “Khulafa’urrasyidin”“ Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan semua masalah kehidupan”.[12]
Kedua, golongan yang punya pandangan, bahwa, Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah) secara eksplisit tidak memberikan tiori (konsep) secara baku bagaimana umat harus berpolitik sebagaimana yang telah dipahami dalam ilmu politik selama ini, namun walaupun demikian golongan ini juga mengakui bahwa secara inplisit Al-Qur’an dan as-Sunnah memberikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang besifat etis dalam aktivitas sosial dan politik yang harus selalu dipegang oleh umat dalam berpolitik Sebut saja: “prinsip keadilan, prinsip kesamaan, prinsip persaudaraan, dan prinsip kebebasan”[13]. Jadi menurut golongan ini selagi umat Islam dalam berpolitik tidak keluar dari prinsip-prinsip tersebut, maka  mekanisme dan sistem yang dipakai sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Islam.
Berawal dari kedua pandangan diatas, dalam al-Qur’an telah terdapat intrumen-intrumen sosial-politik (prinsip-prinsip) yang harus diperhatikan oleh umat, hanya saja diperlukannya kejelian dalam mengambil intrumen-intrumen tersebut, ambil contoh dalam al-Qur’an telah diajarkan sistem demokrasi dengan istilah “musyawarah”[14], sebelum lahirnya sistem demokrasi yang  selama ini telah dikenal, diketahui dan dipahami secara umum. Terlepas dari ada tidaknya persamaan antara “demokrasi” dan “Musyawarah”, dalam hal pendefinisian, ayat 159 surah Ali Imran, dan ayat 38 surah al-Syura, dianggap sebagai intrumen yang mirip (mungkin sewajah) dengan istilah “demokrasi”, yaitu, berbunyi :
فيما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لا نفضوا من حولك فا عف عنهم وا ستغفر لهم وشاورهم فى لامرفاذا عزمت فتوكل على الله ان الله يحب المتو كلين [15]  
والذين استجابوا لربهم واقاموا الصلوة وامرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون  [16]
Selain dari itu masih banyak lagi ayat-ayat yang berhubungan dengan politik, kedudukan manusia sebagai makhluk politik dan makhluk sosial (kedudukan manusia diatas bumi) misalnya, dapat ditemukan dalam al-Qur’an: al-Baqarah/2:30, an-Nur/24:55, al-Naml/27:62, Shad/38:26, Ali Imran/3:26, al-An’am/6:165, Yunus/10:14, Kepemimpinan: Ali Imran/3:118, al-Syu’ara’/26:150-152, al-Nisa’/4:59,  Menegakkan Kepastian Hukum dan Keadilan: al-Nisa’/4:58 dan 105, 135,  al-Maidah/5:6, Persatuan dan Persaudaraan: Ali Imran/3:103, al-Hujarat/49:10, Persamaan: al-Nisa’/4:1, al-Hujarat/49:13, Hidup Bertetangga/Hubungan antar Negara Bertetangga: al-Nisa’/4:2, Tolong-menolong dan Membela yang Lemah: al-Maidah/5:2, al-Taubah/9:11, al-Balad/90:12-16,  al-’Ma’un/107:1-3, Perdamaian dan Peperangan/Hubungan Internasional: al-Nisa’/4:89-90, al-Anfal/8:61, al-Hujarat/49:9, al-Mumtahana/60:8, Al-Baqarah/2: 193 dan 216, al-Taubah/9:12, Ekonomi dan Perdagangan: al-Nisa’/4:29, al-Baqarah/2:275 dan 198, al-A’raf/7:85, al-Isra’/17:35, al-Muhaffifin/83:1-3, Administrasi dalam Perikatan/Muamalah: al-Baqarah/2:282-283, Membela Negara: al-Taubah/9:38-39, Hak Asasi Manusia (HAM): al-Isra’/17:33, al-Nisa’/4:29, 32 dan 58, al-Baqarah/2:188 dan 256, al-Jum’ah/62:10, al-Nur/24:27, al-Hujarat/49:11-12, al-An’am/6:108, al-Yunus/10:99, al-Ankabut/26:46, al-Mumtahanah/60:8, al-Syura/42:41, al-A’raf/7:33, al-Maidah/5:32, Amal Ma’ruf dan Nahi Munkar: Ali-Imran/3:110 dan 114, permasalahan Menetapkan Para Pejabat dan Pelaksanaan Suatu Urusan: al-Qhashash/28:26, dalil-dalil dari Al-Qur’an diatas dapat dijadikan pedoman (landasan), prinsip-prinsip dalam berpolitik, dan juga, kebanyakan dari ayat-ayat tersebut di afirmasikan oleh as-Sunnah (Hadits) yang dalam hal ini, menurut penulis, belum perlu untuk dikemukakan.
Al-Qur’an tidak menyatakan secara eksplisit sebagaimana sistem politik terwujud, tetapi ia menegaskan bahwa kekuasaan politik di janjikan kepada orang-orang beriman dan beramal sholeh, ini berarti sistem politik terkait dengan kedua faktor tersebut, pada sisi lain keberadaan sebuah sistem politik terkait pula dengan ruang dan waktu. Ini berarti adalah budaya manusia sehingga keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan. Karena itu lahirnya sistem politik Islam harus diselusuri dari sebuah pristiwa sejarah yang dalam hal ini sejarah Islam.
Selain dari pengangkatan dalil-dalil dari al-Qur’an, hubungan antara Islam dan Politik dapat di afirmasikan dengan sejarah yang telah dilukiskan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam  pertama, yaitu, di zaman Rasulallah dan para Khulafa’Al-Rasyidin. Melirik pada sejarah umat Islam yang pertama, Hijrahnya Nabi dan pengikutnya dari Mekkah ke Madinah mengalami perubahan besar dari golongan Powerlees (tanpa kekuasaan) menjadi komunitas yang memiliki kekuatan sosial politik ditandai oleh beberapa pristiwa penting, pada tahun 621 dan  662 M., Rasul beserta pengikutnya berturut-turut memperoleh dukungan moral dan dukungan politik dari sekelompok orang Arab yang ada di Yastsrib yang menyatakan diri masuk Islam, keadaan ini berbeda dengan keadaan orang Arab di Mekkah yang masuk Islam, karena di samping mereka mengakui Islam sebagai Agama mereka juga membai’at Nabi, terbukti dalam bai’at kesatu dan kedua yang isinya antara lain: pertama, mereka berikrar, mereka tidak menyembah selain Allah SWT., akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan menta’ati Rasul dalam hal yang benar. Kedua, mereka berjanji akan melindungi Nabi sebagaimana mereka melindungi keluarga mereka dan akan menta’ati Rasul sebagai pemimpin mereka.[17]
Hidup bernegara pertama, oleh umat Islam, dimulai ketika Nabi dan umat Islam hijrah ke Yatsrib yang pada akhirnya nanti berubah namanya menjadi Madinah. Dan di Madinah ini juga-lah lahir komunitas masyarakat Muslim yang bebas dan merdeka dibawah naungan kepemimpinan nabi Muhammad, selain komunitas Islam (Muhajiri-Anshar) yang ada di Madinah, terdapat pula komunitas-komunitas lain, seperti; kaum Yahudi, kaum Munafik, dan suku-suku Pagan, yang notabene merupakan penduduk pribumi.[18]
Dengan adanya keprularan (kemajemukan) komunitas yang ada di Madinah ketika itu, maka diperlukannya suatu konstitusi atau perundang-undangan yang mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang ada, yang merupakan komponen-komponen masyarakat Madinah pada sa’at itu, Muhammad selain selaku Rasul juga selaku Kepala Negara, yang memimpin negara Madinah, memaklumkan suatu konstitusi atau perundang-undangan yang sekarang dikenal dengan nama “Piagam Madinah”, yang mana piagam ini, menurut para pakar ilmu poltik Islam dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama dan yang didirikan Nabi di Madinah.[19]
Dalam pembentukan Piagam Madinah ini, nabi Muhammad bukan hanya memperhatikan kepentingan atau kemaslahatan komunitas Muslim, akan tetapi, juga memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat non Muslim, piagam ini merupakan menjadi landasan beliau untuk mempersatukan penduduk Madinah secara integral yang terdiri unsur-unsur hetrogen, beliau tidak hendak mempersatukan umat Islam secara ekslusif yang terpisah dari golongan lain di wilayah teritorialnya. Oleh karena itu, ketetapan-ketetapan yang ada dalam Piagam Madinah tersebut menjamin hak-hak semua komunitas sosial dengan memperoleh persamaan dalam masalah-masalah umum, sosial dan politik, sehingga dapat diterima oleh semua pihak  Fakta-fakta sejarah di atas yang diyakini aktual, merupakan bukti bahwa Rasul/pengikutnya dan penduduk Yatsrib telah terjadi “persekutuan”, yang dalam ilmu politik di sebut “kontrak sosial”[20] dan juga merupakan bukti nyata atas kemampuan Muhammad dapat melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai golongan masyarakat Madinah yang hetrogen.
Berangkat dari penggalan sejarah bernegara umat Islam yang pertama ini, Muhammad selaku Rasul untuk umat Islam telah memberikan contoh bagaimana umat harus berpolitik (bernegara) di kehidupan yang nyata ini. Madinah telah diklaim sebagai suatu negara, yang dari persyaratan suatu negara telah memenuhinya, yaitu; harus mempunyai wilayah, rakyat, pemimpin, dan perundang-undangan, yang kesemuanya telah ada dalam negara Madinah.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam dan politik merupakan kesatuan  yang integral, yang  tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Umat Islam sebagai salah satu golongan manusia (makhluk sosial dan politik) yang telah diciptakan oleh Allah SWT. dimuka bumi ini,[21] pasti mempunyai kepentingan dan tujuan dalam kehidupan yang nyata ini, baik secara individu maupun secara kolektif, dan begitu juga untuk kepentingan di akhirat kelak, yang hal itu memerlukan kekuatan (alat) untuk dapat mempertahankan dan atau untuk mengubah, demi terwujudnya tujuan dan kepentingan yang diharapkan, dengan tidak meyalahi garis-garis yang telah ditentukan oleh Islam itu sendiri, dengan itu diperlukannya suatu alat untuk mencapainya, yang dalam hal ini dikenal dengan istilah “politik”.  
C. Politik Islam di Indonesia
1.  Pra-Kemerdekaan RI
Untuk sub-bab ini, penulis mencoba membatasi permasalahan dengan hanya membahas pergerakan dan partai politik yang tumbuh dan berkembang pra kemerdekaan RI, harapannya  tidak adanya bahasan yang melampaui dari topik yang dibahas.
Sejak awal abad ke-20 ketika mulai timbul berbagai gerakan kebangsaan dalam situasi kolonial, pusat perhatian gerakan Islam lebih banyak tertuju kepada soal-soal kemasyarakatan, khususnya pendidikan, perbaikan sosial ekonomi dan dakwah, dalam rangka menyiarkan agama Islam, sesuai dengan aliran keagamaan masing-masing. Organisasi pergerakan, berhadapan dengan pemerintahan kolonial, misi yang diperjuangkan adalah menuntut perbaikan nasib bangsa, atau konsesi masyarakat dan sekaligus memajukan agama.[22]
Bersamaan adanya keinginan untuk melepaskan diri dari kolonialisme-impralisme, masyarakat Indonesia-pun khususnya umat Islam, termotivasi untuk mencerdaskan umat tentang betapa pentingnya kemerdekaan dan pengetahuan akan agamanya maupun pengetahuan lainnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, untuk itu, maka dipandang perlu, adanya suatu wadah yang nantinya diharapkan dapat menampung, mengorganisir akan kebutuhan ini.Yang pada perjalanan berikutnya dikenal dengan “emansipasi orang-orang Indonesia dari Islam” atau dengan kata lain; “gerakan moderen Islam”,[23] namun pergerakan organisasi-organisasi ini, pada awal pergerakan dan perlawanannya terhadap penjajah masih bersifat nafsi-nafsi.[24]
Lahirnya organisasi-organisasi pada periode ini, tidak terlepas dari kurangnya pembangunan sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Budi Utomo, merupakan organisasi moderen yang pertama kali didirikan di Indonesia.[25] Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908, munculnya organisasi ini, pada awalnya dipengaruhi oleh kemelaratan rakyat dan kebodohan massa, kemiskinan lahir bathin inilah yang mendorong para pelajar sekolah kedokteran (STOVIA) mendirikan Budi Utomo dengan tidak melupakan propoganda Dokter Wahidin Sudiro Husodo yang juga memacu terbentuknya organisasi ini, yang titik perhatiannya pada perluasan pengajaran sebagai usaha memajukan bangsa.[26] 
Pada periode pertama organisasi ini, banyak dilakoni oleh kaum terpelajar yang ketika itu masih bersifat Studi Club, dan diperjalanannya berubah menjadi organisasi (partai) politik yang didukung oleh massa buruh-tani. Kemudian setelah itu, lahirlah partai-partai baru yang menasional, terlepas dari latar belakang terbentuknya partai-partai tersebut, namun yang pasti, adanya organisasi-organisasi pada masa pra kemerdekaan diniatkan, ditujukan ke-arah berubahnya zaman kolonial menjadi zaman nasional.[27]
Berpaling  pada pergerakan organisasi Islam, sebagaimana yang dicatat oleh sejarah. Sarekat Islam-lah (SI), yang pertama menjadi organisasi umat Islam Indonesia, dan juga menjadi partai yang tertua dan pertama didirikan di Indonesia.[28] Jadi, tidak salah, jika manusia dipengaruhi oleh masa kecilnya, begitu juga pertumbuhan partai yang  bernuansa Islam juga tidak lepas dari adanya Partai Sarekat Islam (PSI).    
Pada masa permulaan abad ini, ketika rasa nasionalisme moderen Indonesia masih baru tumbuh, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi penduduk bumi putra,[29] kegerahan terjadi tidak hanya diperuntukkan kepada pihak Belanda (kolonialisme), tapi juga ditujukan kepada China. Sarekat Dagang Islam (1911, kemudian pada tahun 1912 berubah menjadi Sarekat Islam) misalnya: didirikan, untuk diarahkan agar menjadi tandingan saudagar-saudagar batik China di Solo. Yang selalu bersikap superior terhadap orang-orang Indonesia, walaupun alasan lain; merupakan tuntutan dari orang-orang Indonesia di Solo. Terbentuknya SDI (Sarekat Dagang Islam) dimaksudkan menjadi benteng bagi orang-orang Indonesia yang pada umumnya terdiri dari para pedagang batik di Solo terhadap saudagar-saudagar China. Meskipun SDI semula dimaksudkan untuk sekedar menjadi koperasi pedagang batik tetapi gaung kehadirannya ternyata mampu melintasi wilayah ekonomi.[30]Tanpa disadari perkembangan SDI mangkin lama mangkin pesat, hingga mewabah ke se-antero pulau Jawa, kegiatannya-pun semangkin meningkat tanpa dapat diawasi oleh pihak penguasa setempat, sehingga pada perjalanan selanjutnya SDI dibekukan dan hanya berlaku untuk wilayah Solo. Pembatasan ini dilatar belakangi oleh sering terjadinya perkelahian antara orang-orang pribumi dengan para pedagang China.[31]
Selain itu, dalam tenggang waktu mulai terbentuknya embrio-embrio pergerakan umat Islam, Belanda dalam hal ini selaku penjajah, dalam rangka mempertahankan hegemoni kekuasaannya, selalu menjalankan politiknya guna memperhambat atau-pun menghancurkan embrio-embrio tersebut. Dibidang pendidikan misalnya, ditutupnya rapat-rapat untuk mereka yang tidak termasuk golongan priyayi, hingga menyebabkan terbelahnya umat Islam menjadi dua aliran pendidikan yang kemudian ternyata telah menimbulkan jurang kondisi mental yang sangat dalam. Yaitu; 
Pertama, mereka yang umumnya mudah menerima apa yang datang dari Barat, termasuk juga terhadap paham bahwa kehidupan pendidikan harus terpisah dari kehidupan agama, diberikan kesempatan untuk memasuki lembaga-lembaga pendidikan Belanda. (Golongan Intelektual Barat). 
Kedua, mereka yang selalu menolak apa-pun dari Barat, termasuk ilmu pengetahuan murni-pun mereka jahui apabila itu datang dari Belanda, mereka mencari jalan pendidikan sendiri yaitu pesantren, walaupun pilihan ini juga ditentukan oleh kedudukan sosial.(Golongan Santri).[32] Dengan adanya dikotomi ini, maka terciptalah dua kutub dalam masyarakat dalam memahami agama, yang dimaksudkan agar yang satu menjadi antipode (lawan) terhadap yang lainnya yaitu; (1). Golongan Abangan dan (2) golongan Mutihan (santri).[33]  Golongan-golongan yang dengan sadar telah diciptakan oleh Belanda ini, secara otomatis akan saling berhadapan ketika ditimbulkan oleh isu yang menyangkut nasib dan kehidupan bangsa.
Perasaan bersatu  yang dijumpai pada kalangan Islam terhadap impralisme berkembang terus, sungguhpun perbedaan suku dan tingkat loyalitas politik juga tanpak. Sarekat Islam lahir dan tumbuh, berakar dari Sarekat Dagang Islam, dimana pembentukannya pertama, didirikan di Solo pada tanggal 11 November 1912,[34] yang merupakan harapan umat dan bangsa guna memecahkan permasalahan yang dihadapi bangsa. Maju mundurnya organisasi (partai) ini memperlihatkan dan menggambarkan sedikit banyaknya, maju mundurnya posisi umat Islam dalam gelanggang politik Indonesia yang mendasarkan idiologinya pada Islam. Jadi singkat kata perkembangan sarekat Islam semat-mata dipergunakan untuk memahami kedudukan umat Islam di Indonesia dalam bidang politik dan memahami aspek politik dari gerakan pembeharuan Islam umumnya         
Berangkat dengan adanya alasan, keinginan untuk memerdekakan diri dari belenggu Penjajah. Masyarakat bersama lahirnya Sarekat Islam, khususnya dari kalangan modernis yang berlatar belakang pendidikan dari Timur Tengah dan Eropa, melihat bahwa faktor yang pertama yang harus di rubah dalam tatanan masyarakat adalah faktor pendidikan. Hal ini dicermati karena banyak ditemukan paradigma dimasyarakat yang memahami agama, hanya dalam artian sempit, dan mengabaikan aspek politik dan sosial dari agama itu sendiri.[35] Sehingga masyarakat Indonesia banyak di bodohi dan berlakukan secara sewenang-wenang oleh para kolonial.
Sarekat Islam, dalam perjalanannya dapat dibagi menjadi empat periode[36]pertama, periode 1911 sampai 1916,  yaitu masa memberi corak dan bentuk bagi partai. Seperti apa yang disinggung diatas, bahwa, terbentuknya Partai Sarekat Islam merupakan penerus dari organisasi pendahulunya yaitu; Sarekat Dagang Islam (SDI). Seperti pada umumnya awal pembentukan suatu organisasi, masih ditandai perhatiannya terhadap masalah-masalah organisasi. Termasuk di dalam-nya usaha mencari pemimpin, penyusunan anggaran dasar (AD) dan hubungan antara organisasi pusat dan daerah. Dalam masyarakat yang baru dibangun seperti Indonesia, pada tahun belasan itu, mudah dapat dimengerti bila arah perjuangan Sarekat Islam pada umumnya tergantung pada arah yang diberikan oleh pemimpin-pemimpinnya. Bersamaan dengan itu, adanya keinginan untuk menghindarkan  organisasi dari tindakan “pengawasan preventif dan represif secara administrative”oleh pemerintah, maka dipandang perlu adanya pengakuan secara hukum (legal).[37] 
Dengan adanya ini diharapkan dapat meningkatkan prestise organisasi dalam masyarakat serta dapat menghapuskan kehawatiran akan organisasi yang mungkin dapat menyebabkan menjahunya para calon-calon anggota. Kemudian di Yogyakarta tanggal, 18 Februari 1914, diputuskanlah pembentukan pengurus pusat, yang terdiri dari: Haji Samanhoeddhi sebagai ketua kehormatan, Tjokroaminoto sebagai ketua, dan Gunawan sebagi wakil ketua.[38] Barulah kemudian pada tanggal 18 Maret 1916, pengurus Centraal Sarekat Islam di akui oleh pemerintah.[39] 
Dalam periode ini yang perlu dicatat adalah belum adanya suatu program yang jelas, yang memungkinkan para pemimpin tersebut memberikan arah yang lebih tegas bagi organisasinya, maksud dan tujuan organisasi memang telah dirumuskan akan tetapi ini mempunyai sifat yang sangat luas dan umum sehingga ia mencakup segala kegiatan. 
Kedua, tahun 1916 sampai tahun 1921, dalam periode ini struktur organisasi sudah mulai stabil, Sarekat Islam memberikan perhatian kepada berbagai masalah bangsa, baik politik maupun agama. Sifat politiknya tercermin dengan jelas pada nama dari konggres tahunannya,  pada periode pertama, pertemuan-pertemuannya hanya disebutkan konggres saja, sedangkan pada periode kedua, pertemuan konggres tersebut dinamai konggres nasional, jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pada periode ini Sarekat Islam telah menasional, hal ini dapat dilihat dari hadirnya utusan-utusan daerah dalam konggres kedua ini, serta adanya suatu usaha yang sadar dari pemimpin-pemimpinnya untuk menyebarkan dan menegakkan cita-cita nasionalisme, dengan Islam sebagai ajaran yang dianggap dasar dalam pemikiran tersebut. Salah satu jalan yang dipakai oleh Sarekat Islam (SI) kearah kesejahteraan bangsa pada periode ini, ialah; dengan didirikannya Volkrsraad (dewan rakyat) yang didalamnya banyak diduduki oleh pihak SI, berusaha menjalankan politik korporasi, yaitu mencoba bekerja sama dengan pihak Belanda dalam mewujudkan kebutuhan tersebut. Melalui jalur Volksraad, SI mengajukan beberapa tuntutan kepada pemerintah, yang tertuang dalam program kerja dari SI itu sendiri, antara lain :[40]
a)     SI menuntut penghapusan kerja paksa dan sistem izin untuk berpergian.
b)     SI menuntut dihapuskannya segala konstitusi yang menghambat tersebarnya Islam, pembayaran gaji bagi Kiyai dan penghulu, subsidi bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam dan pengakuan hari-hari besar Islam.
c)     Dalam bidang Hukum, SI menuntut adanya kedudukan yang sama didepan hukum, baik itu yang memerintah ataupun yang diperintah.
d)     Dalam bidang Argaria dan Pertanian, SI menuntut dihapuskannya istilah “milik tuan tanah”(particuliere landerijen)
e)     SI menuntut agar industri-industri yang sangat penting dinasionalisasi yaitu industri-industri yang mempunyai sifat monopoli dan yang memenuhi pelayanan dan barang-barang yang bersifat pokok bagi rakyat banyak.
f)      SI menuntut dihapuskannya peraturan dalam bidang pendidikan yang mendiskriminasikan penerimaan murid di sekolah-sekolah, dan serta menuntut terlaksananya wajib belajar bagi masyarakat sampai berumur 15 tahun, perbaikan segala sarana-sarana pendidikan dalam segala tingkatan, dan ditambahnya tingkatan sekolah hingga keperguruan tinggi.
g)     SI menuntut agar adanya pajak yang yang berdasar proposional, dan diadakannya bantuan bagi koperasi .
h)    SI menuntut pemerintah dapat memerangi minuman keras, candu, perjudian, dan prostitusi, dan juga harus melarang penggunaan tenaga anak-anak, serta mengeluarkan peraturan perburuhan yang menjaga kepentingan para pekerja, dan di tambahnya poliklinik dengan gratis.
Dibuatnya program kerja ini, untuk ditujukan akan adanya perubahan dalam masyarakat, dan terbentuknya Dewan Rakyat ini dimaksudkan dapat menjadi forum untuk “aksi” dan dapat bertindak sebagai penasihat bagi perlemen Belanda, serta juga bertindak sebagai “rem” terhadap anggota-anggota parlemen yang konservatif. Selain dari kemajuan tersebut, pada periode ini juga masuk dan mulai berkembangnya komunisme dalam tubuh organisasi, yang pada perjalanan selanjutnya mengakibatkan meletusnya perselisihan dan perpecahan, baik itu antara individu atau-pun diantara komunitas kolektif.
Dengan adanya temperatur organisasi yang tidak menentu inilah yang menyebabkan loyalitas anggota-anggota menjadi menipis dan kesatuan dalam partaipun ikut melemah.                                      
Ketiga, mulai tahun 1921-1927, periode konsolidasi. Dalam periode ini partai tersebut bersaingan keras dengan golongan komunis, disamping juga mengalami tekanan-tekanan yang dilancarkan pemerintah Belanda. Pada tahun 1921 merupakan suatu tahun perubahan bagi Sarekat Islam dalam perkembangannya, tercatat oleh sejarah, bahwa SI dalam periode ketiga ini mengalami perubahan; pertama, perubahan dalam keterangan asas, yaitu keterangan asas dalam periode ini lebih menekankan kepada “kemerdekaan yang berasas ke-Islaman …., yang sesungguhnya melepaskan segala rakyat dari pada perhambaan macam apapun juga” perubahan ini ada, karena disebabkan oleh rasa kecewa SI atas politik etis yang diperankan oleh pemerintah (Belanda) khususnya Eropa pada umumnya, yang telah dianggap menjadi penyebab mangkin memburuknya keadaan bangsa, dan hal ini mangkin memperburuk hubungan Indonesia dan Eropa.
 Korporasi yang telah dilakukan SI dalam bentuk tuntutan-tuntutan (seperti yang telah dikemukakan pada periode kedua), hanya dijadikan mesin untuk mempertahankan masa jajahan (hegemoni kekuasaan) tanpa memperdulikan kepentingan-kepentingan masyarakat pribumi. Sekolah-sekolah yang telah didirikan oleh pemerintah Belanda dalam rangka melaksanakan politik etisnya, ditujukan guna mencetak tenaga-tenaga terlatih, hanya untuk memenuhi keperluan pemerintah dan dunia dagang Eropa. Untuk itu Sarekat Islam mulai menampakkan permusuhannya terhadap kaum kolonialisme. Perubahan kedua, struktur baru Sarekat Islam, perubahan ini dihasilkan dalam Konggres Nasional ketujuh di Madiun tanggal 17-20 Februari 1923, hal ini dilakukan karena struktur lama dianggap membahayakan pimpinan organisasi, dan keputusan ini dimaksudkan agar organisasi Sarekat Islam berubah menjadi satu partai yang terdiri dari anggota-anggota inti yang aktif dan tidak goyah loyalitasnya terhadap partai.[41]Perubahan ketiga, dengan adanya penahan Tjokroaminoto selaku pimpinan partai melahirkan ketegangan yang mendalam, hubungan Partai Sarekat Islam terhadap pemerintah dalam periode ini sangat kontradiktif dari periode sebelumnya. Kepercayaan terhadap pemerintah dan kesediaan bekerjasama dengan pemerintah lenyap sama sekali. Tuntutan terhadap pemerintah agar merehabilitasi nama baik pimpinan partai yang telah ditahan, tidak dipenuhi oleh pemerintah menambah keretakan hubungan, kemudian pada akhir perjalanannya PSI mulai melakukan usaha untuk memutuskan hubungan dengan pemerintah.
Ke-empat, mulai 1927-1942,  dalam periode ini, dimulainya babak perpecahan dan kemerosotan partai, PSI banyak disita perhatiannya dalam menafsirkan asas dan penafsiran politik hijrah, dan dikeluarnya keputusan partai (tahun 1927) yang memutuskan agar dikeluarkannya anggota-anggota yang berlabelkan Muhammadiyah dari lingkuangan partai[42], walaupun hal ini ditujukan atas nama pendisiplinan, tetapi dalam kenyataannya berikutnya sulit untuk dipulihkan hubungan tersebut. Faktor lain yang menyebabkan merosotnya partai ialah pada tahun 1927, lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI)[43] yang secara tidak lansung telah mencuri perahatian pendukung dalam hal pergerakan, tidak hanya itu kemerosotan dan perpecahan partai juga dapat dilihat dari lahirnya partai-partai kecil dari tubuh partai, jadi pendek kata perpecahan tidak hanya disebabkan oleh faktor diluar partai tetapi juga disebabkan oleh perselisihan dalam tubuh partai itu sendiri, baik itu secara individu maupun secara kolektif.
Dengan adanya penjajahan di Indonesia, selain ditemukannya banyak efek negatifnya, tanpa direncanakan dikehendaki penjajah, kekuasaan kolonial telah melahirkan kekuatan-kekuatan, nilai lama yang bercorak tradisional dan nilai baru yang dalam masyarakat Indonesia, sebagai percampuran antara nilai lama yang bercorak Indonesia dan nilai baru yang berasal dari alam pikiran modern yang dibawa kaum penjajah. Di satu pihak gejolak sosial sudah mengarah kepada anti penjajah, dipihak lain mereka mempertahankan kekuasaannya.
Munculnya serangkaian gejolak di dalam masyarakat terhadap kebijaksanaan pemerintah kolonial disatu pihak serta adanya usaha mendirikan organisasi yang disebut partai politik dilain pihak adalah salah satu bukti dari adanya dinamika di dalam masyarakat. Selain PSI, ada juga organisasi Islam yang ikut meramaikan kemajemukan tersebut  sebut saja Persatuan Muslimin Indonesia (PMI) yang kemudian dikenal dengan Permi, didirikan pada tahun 1930.[44] PMI/Permi  pada mulanya pergerakannya berorientasi pada pendidikan, adapun tranformasinya menjadi partai politik terutama merupakan hasil usaha dua orang tokoh; Haji Iljas Jakub dan Haji MuchtarLuthfi, yang keduanya berbasis pendidikan dari Mesir[45]. Sebagaimana halnya Sarekat Islam, partai ini berdasarkan Islam, dan juga menolak hadirnya kolonialisme dan kapitalisme di bumi Indonesia. Berkeyakinan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan akan terlaksana apabila Indonesia telah merebut kembali kemerdekaannya, dan percaya bahwa ajaran-ajaran Islam hanya dapat ditegakkan setelah tercapainya kemerdekaan. Kendatipun demikian, ada hal yang menjadikan perbedaan antara Sarekat Islam dan Permi, Sarekat Islam dalam menjalankan politik praktisnya lebih cendrung kearah korporasi terhadap pemerintah, sedangkan Permi banyak bersifat non-korporasi.[46] Salah satu manuver politik Permi yang dapat dikemukakan; dalam bidang ekonomi,  kapitalisme yang ditentang, pada konggres partai dalam tahun 1931 di Padang, menyarankan kepada semua anggota delegasi konggres agar memakai pakaian dan lain-lainnya  yang yang hanya di produksi oleh kalangan bangsa sendiri.[47]
Dengan adanya penyebaran keseluruh wilayah nusantara, partai ini-pun mulai mendapatkan pengawasan yang pada arah selanjutnya didomistikasi oleh pemerintah kolonial, termasuk juga didalamnya adanya larangan untuk melakukan rapat-rapat. Kemudian, pada tahun 1936, lahirnya keadaan yang  memaksa partai berhadapan dengan dualisme opsi (pilihan), melanjutkan kegiatan-kegiatan tanpa hasil yang berarti atau membubarkan diri, para pimpinan partaipun akhirnya mengambil pilihan kedua, yang dianggap satu-satunya jalan yang praktis.                                                                 
2. Islam dan Politik Pasca Kemerdekaan RI.                              
Kemerdekaan adalah modal buat bangsa dalam mencari identitas, sesuai dengan yang dicita-citakan.[48]  Dekade kelima dan keenam dari abad ke-20  bagi bangsa-bangsa Asia benar-benar merupakan tahun-tahun perjuangan yang akan menentukan corak bangsanya masing-masing apakah tetap di bawah belenggu kaum penjajah atau harus membuktikan ketangguhannya dengan jalan melawan kaum penjajah guna merebut kemerdekaan. Dalam kenyataannya banyak negara-negara kecil di Asia yang pada umumnya dijajah oleh bangsa Barat memilih jalan terakhir, yaitu berjuang melawan kaum penjajah, walau harus melalui peperangan dengan menelan banyak korban jiwa.
Buat bangsa Indonesia pengalaman semasa penjajahan oleh bangsa Barat - dalam hal ini Belanda,telah mengajarkan betapa parahnya kehancuran sistem sosial sebagai akibat penjajahan tersebut. Pergerakan yang dilancarkan oleh bangsa Indonesia pada masa penjajahan, terutama lebih terdorong oleh motif untuk mendapatkan kekuasaan dalam rangka menyusun kekuatan untuk tujuan-tujuan kemerdekaan. Secara politis penjajah telah merusak sendi-sendi kemasyarakatan yang memungkinkan rakyat pribumi untuk bangkit, memenuhi panggilan jiwanya sesuai dengan harkat, martabat dan hak-hak asasinya. Munculnya berbagai organisasi politik, baik berupa partai politik maupun yang lebih merupakan organisasi keagamaan, kemasyarakatan, dan kedaerahan, merupakan sebab dari telah mengkristalnya ketidak puasan yang telah diderita oleh rakyat sebagai akibat dari kebijaksanaan kaum penjajah. Tidak hanya secara politis bangsa Indonesia terjajah melainkan juga secara ekonomis bahkan secara kulturalpun masyarakat Indonesia tereksploitir oleh penjajah. Secara ekonomis, hasil kekayaan bumi Indonesia diangkut ke negeri penjajah, tenaga rakyat diperas melalui kerja paksa hanya untuk memakmurkan bangsa penjajah. Keadaan bangsa Indonesia sedemikian memperhatinkan, sementara bangsa kulit putih yang menjajah berfoya-foya dengan menguras potensi bangsa demi kemewahan  segelintir bangsa penjajah. Penjajahan secara kultural dapat dilihat di lapangan kehidupan yang bersifat spiritual, penjajah dengan arogannya menyebar benih-benih agama Nasrani di tanah Indonesia melalui zending, dengan mendiskriditkan bangsa pribumi yang telah memiliki tradisi keagamaan terutama Islam.[49] Di sisi lain penjajahan kultural juga tanpak pada usaha mereka untuk menghidup-suburkan feodalisme yang justru sangat membelenggu manusia Indonesia. Pendidikan tak begitu mendapat perhatian yang layak dari kaum penjajah. Kultur bapakisme/paternalistic semangkin mendapat tempat. Dari beberapa segi ini saja sebenarnya dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan tak lain dari upaya untuk melestarikan kekuasaan di bumi Indonesia yang potensial dan strategis.
Dengan lumpuhnya hampir segala segi kehidupan akibat penjajahan maka merupakan suatu hal yang menjadi tantangan yang mendesak bagi masyarakat Indonesia untuk merumuskan cita-cita kemerdekaan serta dasar Indonesia merdeka. Sikap rendah diri yang sebelumnya mereka perlihatkan kini lenyap, dan mereka menganggap diri mampu serta sama sederajat dengan siapapun didunia ini.[50] Kegiatan merumuskan cita-cita kemerdekaan maupun dasar negara tersebut telah di mulai sejak masih bercokolnya bangsa Jepang di negeri ini.[51]
Dalam proses perumusan dasar negara, terlihat gigihnya tokoh-tokoh partai politik dalam rangka memperjuangkan ideologinya supaya ikut mewarnai falsafah dasar negara. Disitu dapat dilihat betapa sengitnya perdebatan antara kelompok nasionalis di satu pihak dan kelompok Islam di pihak lain, apa yang mereka perjuangkan mati-matian adalah apa yang menurut mereka strategis bagi pelestarian ideologi mereka melalui dasar negara tersebut, yang kesemuanya dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan masing-masing tokoh. Perdebatan di sekitar perumusan Dasar Negara jelas menunjukkan adanya polarisasi ideologi yang memiliki orientasi yang berbeda, bahkan mungkin tak sekedar berbeda melainkan bertolak belakang.
Kendatipun kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 telah diproklamirkan, perangkat negara sudah dilengkapi pada tahun itu juga, yakni tanggal 18 Agustus dengan disahkannya UUD 1945 sebagai Undang-undang Dasar negara serta dipilihnya Sukarno dan Hatta masing-masing sebagai presiden dan wakil presiden, tak berarti bahwa perangkat lain telah dipenuhi.
Hampir tidak ada bangsa yang baru merdeka yang tidak menetapkan pemilihan umum sebagai program politik berikutnya.[52] Maka ketika Indonesia yang baru merdeka menetapkan bahwa pemilihan umum adalah program yang harus segera dilaksanakan, merupakan suatu euphoria politik pada kesempatan mana bangsa yang baru merdeka ingin menikmati pengalaman demokratis secara nasional untuk pertama kalinya sepanjang sejarah yang pernah ditempunya. 
 Lahirnya partai-partai politik dalam periode itu, tidak lepas dari adanya usulan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) yang berfungsi sebagai parlemen yang disampaikan kepada pemerintah.[53] 
Usul ini menuntut kepada pemerintah supaya diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik disertai pembatasan dan harapan bahwa partai-partai politik tersebut hendaknya memperkuat perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat.                        
 Kemudian pada tanggal 3 Nopember 1945, dikeluarkanlah manifesto politik oleh pemerintah yang isinya membolehkan masyarakat untuk mendirikan partai-partai politik. yang mana kesempatan ini dimanfaatkan oleh semua golongan untuk menampung dan menyalurkan aspirasi. Begitu juga umat Islam ikut serta merespon manifesto politik tersebut. Umat merasa berkewajiban mengorganisasikan kekuatan dan tenaga dalam wadah politik sehingga dapat terlaksananya cita-cita umat. Sebagaimana yang dicatat oleh Buku Kepartaian Indonesia/terbitan menteri penerangan tahun 1951[54], dalam menyikapi maklumat pemerintah tersebut, partai-partai yang lahir dapat diklasifikasikan :
A. Dasar Ketuhanan :
1.      Masjumi
2.      Partai Sjarekat Islam Indonesia.
3.      Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
4.      Partai Kresten Indonesia (Parkindo)
5.      Partai Katholik.      
B.  Dasar Kebangsaan :           
1.      Partai Nasional Indonesia (PNI)
2.      Persatuan Indonesia Raya (PIR)
3.      Partai Indonesia Raya (Parindra)
4.      Partai Rakyat Indonesia ( PRI)
5.      Partai Demokrasi Rakyat (Banteng)
6.      Partai Rakyat Nasional (PRN)
7.      Partai Wanita Rakyat (PWR)
8.      Partai kebangsaan Indonesia (Parki)
9.      Partai Kedaulatan Rakyat (PKR)
10.  Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI)
11.  Ikatan Nasional Indonesia (INI)
12.  Partai Rakyat Jelata (PRJ)
13.  Partai Tani Indonesia (PTI)
14.  Wanita Demokrat Indonesia (WDI)
C. Dasar Marxisme :
1.      Partai Komunis Indonesia (PKI)
2.      Partai Sosialis Indonesia
3.      Partai Murba
4.      Partai Buruh
5.      Partai Buruh
6.      Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
D.Partai Lain-lain :
1.      Partai Demokrat Tionghoa Indonesia.
2.      Partai Indo Nasional (PIN)
 Banyaknya partai-partai politik yang muncul pasca kemerdekaan, tidak terlepas dari adanya keinginan untuk ikut serta dalam upaya menentukan nasib bangsa  yang telah sekian lama terhimpit dalam genggaman penjajah, dari klasifikasi diatas  dalam masa transisi tersebut ada tiga aliran yang berkembang secara garis besar mempengaruhi partai-partai politik tersebut; (1) Nasional Oportunis, (2) Nasional Islam,(3) Komunis/Sosialis.

Referensi

[1] Baca, Zainal Abidin, Ilmu Politik Islam, cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 156-163, dan juga dapat ditemukan; Abd Muin Salim,  Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an. cet. I (Jakarta: Rajawali Press,  tahun. 1994), hlm. 34, Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XIV, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm.1, Muhammad Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat,cet.I, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.21-28. 

[2] Ibid.
[3] Abd Muin Salim,  Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam al-Qur’an. cet. I, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm.37

[4] Ibid.
[5] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet III, (Jakart: PT RajaGrafindo Persada, 1997) hlm.25 dan lihat Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis & Fundamentalis, cet. Pertama (Jogjakarta: Indonesiatera, 2001) Buku ini pada awalnya merupakan hasil Skripsi di Fakultas Syari’ah , kemudian di publikasikan

[6]Adurrhman Taj, Al-Siyasat Al-Jinaiyat Fi Al-Syari’at (Mishr: Maktabat Dar al-‘Urabat, 1965, hlm. 10.

[7] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah,….hlm.25
[8] Tobroni dan Samsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: Sipress,  1994) hlm. 38.
[9] Tulisan ini disampaikan Beliau dalam kata sambutannya terhadap buku; Munawir Sjadzali.  Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi ke-lima, (Jakarta: UI Press, 1993 ), hlm.vi-vii
[10] Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam cet. I, edisi bahasa Indonesia, (Jakarta:: Bulan Bintang, 1980), hlm.174-175.
[11] Baca, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara…hlm. 1-2..dalam buku ini, Beliau memang membagi pandangan umat Islam terhadap Tata Negara menjadi tiga golongan akan tetapi secara subtansial golongan ketiga hanya merupakan pelengkap dan Bahtiar Effendi, Islam dan Negara Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesi, Cet.I, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm.6-16

[12]Bahtiar Effendi, Islam dan Negara Tranformasi Pemikiran,….. hlm.2.
[13] Bahtiar Effendi, Islam dan Negara Tranformasi Pemikiran,….. hlm. 13-14

[14] Baca.Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam III, sejarah Islam  dan umatnya sampai sekarang perkembangannya dari zaman ke zaman, cet.I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 164.

[15] Ali Imran (3): 159

[16]  Al-Syura (42): 38
[17] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet III, (Jakart: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm.79

[18] ibid., hlm.55
[19]Munawir Sjadzali.  Islam dan Tata Negara Ajaran,…….. hlm.10

[20] “Suatu bentuk persekutuan harus di bangun yang berakibat bahwa semua kekuatan masyarakat dikerahkan untuk melindungi diri pribadi dan tiap anggota yang bersekutu, sedemikian rupa sehingga mengakibatkan tiap anggota-yang bersatu dengan kawan-kawannya-mejadi patuh pada kemauannya sendiri, dan tetap berada dalam keadaan bebas sebagaimana sebelimnya.”Inilah soal mendasar yang diselesaikan oleh perjanjian sosial. (Jean-Jacques Roussseau); Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat,  edisi revisi (Bandung: Mizan Media Utama (MMU), 2001), hlm. 161.    
[21] Al-Hujurat (49):13.
[22] M. Dawam Raharjo, Agama, Masyarakat dan Negara, Ali, Mukti, Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, (Jogjakarta: PT. Tiara Wacana, Tahun 1998), hlm.131

[23] Baca; Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,edisi bahasa Indonesia, cet.VIII, (Jakarta: PT.Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), hlm. 37-104
               
[24] Misalnya Budi Utomo, pergerakan ini hanya banyak memperjuangkan kepentingan daerah pulau Jawa, Sarekat Islam, PMI, PII; kecendrungan pergerakannya bersifat keagamaan yaitu Islam. Dan lain-lain. Untuk lebih jelas lihat : M.Rusli Karim, Perjalanan Partai politik di Indonesia, Sebuah Potret Pasang Surut, edisi pertama, (C.V.Rajawali, 1983), hlm. 15-18.

[25] Ibid., hlm.15

[26] Ibid., hlm.15-16

[27] Ibid.

[28] Ibid., hlm.19

[29] Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional, Kisah dan Analisis perkembangan
Politik Indonesia 1945-1965, cet. II, ( Mizan, Tahun 2000), hlm.5

[30] Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa, Menoleh Kebelakang Menatap Masa Depan, cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm.19
                [31] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, cet.VIII, (Jakarta: PT.Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), hlm.116
               
[32] Ibid., hlm.13-14

[33] Dalam dua dekade  pertama abad ini sampai-sampai memakai pakaian Barat, seperti dasi, dianggap haram….Deliar Noer, Partai Islam di Pentas, …hlm.10.
                [34] Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa, Menoleh, ….hlm.19
                [35] Agama hanya dipandang sebatas ritual keagamaan seperti pekawinan, hubungan keluarga, peraturan yang berkenaan dengan waris, Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam,…..hlm. 183
               
[36] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam,…… hlm.114. Berangkat dari metodelogi penelitian, Penulis meminjam pambagian periode yang telah dilakukan oleh Deliar Noer, yang nantinya diharapkan bahasan ini dapat  diterangkan secara sistematis (teratur). 
               
[37] Anwar Harjono, Perjalanan Politik,…hlm.19
                [38] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam, …..hlm.119
               
[39] Ibid.
                [40] Ibid., hlm.127-130
                [41] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas,…hlm.6
               
[42] Pancabutan keanggotaan orang-orang Muhammadiyah dalam PSI ini, berbuntut dibuatnya partai baru yaitu Partai Islam Indonesia (PII) yang secara struktural dan keanggotaan  partai, banyak dihuni oleh orang orang yang merasa kecewa akan kinerja dan keputusan yang dikeluarkan PSI,  Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam,…hlm. 114-169 
               
[43] M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik,…hlm.35
                [44] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam,…hlm. 172
               
[45] Ibid., hlm. 171-173
               
[46] Ibid.
               
[47] Ibid.
               
[48] M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik,…hlm.57
[49] Lihat. Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,…..hlm.190-234

[50] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional.Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, cet.II, (Mizan, 2000), hlm.1

[51] Ketika semangkin jelas bakal kalah dalam perang melawan sekutu, Jepang melangkah lebih jahu dalam mencuri hati bangsa Indonesia. Untuk menunjukkan kesungguhannya hendak memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, pada tanggal 1 Maret 1945 Jepang membentuk Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia – BPUPKI). Dan pada tanggal 7 Agustus 1945 mengubah namanya menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa,….hlm.36-39 
[52] Daniel Dhakidae, Pemilihan Umum di Indonesia : Saksi Pasang Surut Partai Politik (Kumpulan karangan dari majalah Prisma tentang Demokrasi dan Politik, cet.I, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm.169

[53] Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan (Jakarta: Rajawali, 1981), hlm.40. Dikutip oleh M.Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik,…hlm.64
               
[54] Lihat. M.Rusli Karim, Perjalanan Partai politik di Indonesia, Sebuah,,……hlm.65-66


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Skripsi Bab II | Islam dan Politik di Indonesia"

Post a Comment