Hukum dan Metode Menghafal al-Quran
Metode Menghafal al-Qur'an dengan Cepat | Hukum Menghafal Al Quran
BAB
III
PENGHAFALAN
AL-QUR’AN
A. Sejarah
Penghafalan al-Qur’an
Terlebih
dahulu penulis akan memberikan penjelasan mengenai pengertian penghafal
al-Qur’an, baik dari segi etimologi maupun terminologi. Kata menghafal dalam
kosa kata bahasa Arab, yaitu:
حفظ- يحفظ- حفظ الشئ من الضياع
Artinya:
“Menjaga
sesuatu agar tidak hilang atau hancur.”
Kata
حفظ kebalikan dari kataنسى
yang bermakna lupa atau mengabaikan.
Menurut Sumadi Suryabrata, aktivitas mengecamkan dengan niat kesengajaan
dan dikehendaki dengan bentuk kesadaran yang tertanam atau sungguh-sungguh,
bisa disebut dengan menghafal.
Deskripsi
ini diperkuat oleh Abd al-Rab Nawa>buddīn, yang menyatakan bahwa makna
menghafal secara bahasa adalah jika selama tidak memiliki perbedaan dengan
istilah membaca di luar kepala. Akan tetapi, ada perbedaan antara menghafal al-Qur’an
dengan menghafal lainnya. Perbedaan ini bisa dilihat dari dua sisi, yaitu;
pertama, menghafal al-Qur’an dituntut untuk menghafal secara menyeluruh, dengan
berusaha mencocokkan dan menyempurnakan hafalannya menurut aturan-aturan bacaan
serta dasar tajwi>d yang masyhur; kedua, menghafal al-Qur’an dituntut untuk
senantiasa memiliki etos kesungguhan dengan disertai kontinuitas yang
terus-menerus dalam menjaga hafalannya dari sifat kelupaan. Oleh karena itu,
apabila ada seseorang yang telah hafal al-Qur'an kemudian lupa, baik sebagian
atau keseluruhan dikarenakan kelalaiannya atau meremehkan tanpa adanya
argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan
seperti sudah tua atau sakit, maka orang tersebut tidak dapat dinamakan
ha>fiz}.
Dari
segi istilah, jika lafaz حفظ dinisbatkan kepada Allah sebagaimana yang terdapat dalam QS.
Al-H}ijr: 9, maka dapat bermakna melindungi dan memelihara dari berbagai
perubahan, penyimpangan, dan pengurangan. Akan tetapi jika dinisbatkan pada
makhluk, lafaz} حفظ mengandung makna menghafal, memikirkan, dan mengamalkan segala
isinya, serta menggali berbagai hukumnya, melalui proses belajar mengajar,
sebagaimana terdapat dalam hadis:
أسألك يا الله يارحمن بجلالك ونور وجهك ان تلزم قلبى حفظ كتابك.
Artinya:
“Ya Allah, Ya
Rahman, dengan kekuasaan-Mu dan cahaya-Mu aku meminta kepada-Mu, untuk
menetapkan hatiku dalam menghafalkan kitab-Mu.” (HR. Turmuz|i>).
Dari
uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang disebut sebagai
h}a>fiz} atau h}uffa>z} bila dengan sengaja menghafal al-Qur’an tiga
puluh juz di luar kepala secara sempurna dan mampu membacanya sesuai dengan
kaidah ilmu tajwi>d yang masyhur. Dengan demikian, apabila seseorang hanya
mampu menghafal sepuluh atau dua puluh juz, maka ia belum berhak bergelar
ha>fiz}.
Jika menilik
kembali sejarah Islam, bahwa turunnya al-Qur'an di negeri Jiran (Arab) bukti
pertama, merujuk pada hadits:
فإن القرآن أُنزل بلسانهم.
Artinya:
"Sesungguhnya
al-Qur'an diturunkan menggunakan bahasa mereka (Arab)".
Kedua,
al-Qur'an diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW, sedangkan Nabi Muhammad SAW
adalah golongan Quraisy arab.
Pada permulaan
Islam, bangsa Arab adalah bangsa yang buta huruf. Amat sedikit mereka yang
pandai menulis dan membaca. Kendatipun demikian, mereka mempunyai daya ingat
yang kuat. Sebab semua pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan
syair-syair dari pujangga, nasab, peristiwa-peristiwa yang terjadi dan
lain-lain adalah pada hafalan semata, demikian juga pada waktu Islam datang. Dengan demikian sudah selayaknya Rasulullah
SAW dalam menerima wahyu (al-Qur'an) menggunakan metode hafalan. Rasulullah
adalah orang pertama yang meraih gelar ha>fiz}. Pernyataan ini didasari oleh
argumentasi bahwa ketika wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
perantara malaikat Jibri>l, beliau berusaha menyerapnya dengan cara
menghafalkannya dan malaikat Jibri>l tidak lekas pergi sebelum ayat-ayat itu
mampu diterima dan dihafalkan Rasulullah SAW dengan baik. Bahkan, terkadang
Rasulullah SAW terlalu tergesa-gesa, dikarenakan ingin cepat menguasainya,
sehingga beliau mendapat teguran dari Allah agar lebih bersabar, sebagaimana
tertulis dalam QS. T}a>ha> (20): 114 yang berbunyi:
... ولاتعجل بالقران من قبل ا ن يقضى اليك وحيه وقل رب زدنىعلما ...
Artinya:
“…Dan janganlah
kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan wahyu kepadamu, dan
ucapkanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”
Proses
penghafalan Nabi SAW dilakukan secara berangsur-angsur menurut proses penurunan
al-Qur’an yang juga secara berangsur-angsur.
Adapun untuk memantapkan dan menyempurnakan kemampuan menghafal Nabi
Muhammad SAW ini, malaikat Jibri>l setiap bulan Ramadhan kerap kali turun
menghampiri Nabi Muhammad SAW untuk
membaca al-Qur’an, sebagaimana disabdakan sendiri oleh Rasulullah kepada
‘A>isyah r.a:
ان جبريل
يعارضنىالقران كل سنة وانه عارضنىالعام مرتين ولاار الاحضراجلي.
Artinya :
“Sungguh!
Jibri>l membacakan al-Qur’an sekali kepadaku dalam setiap tahun, namun tahun
ini ia datang dua kali, dan aku tidak melihatnya kecuali sudah mendekati
ajalku.”
Keterangan di
atas, dapat menjadi penjelas akan daya kemampuan menghafal Nabi Muhammad SAW
yang begitu kokoh dan lancar. Dari hasil menghafal inilah, kemudian beliau
menyampaikannya kepada para sahabat, terutama sahabat yang senantiasa dekat
dengan beliau melalui proses pembelajaran. Adapun untuk memantapkan al-Qur’an
pada para sahabat ini, Nabi SAW selalu berusaha menstimulan dan mengukuhkan
daya ingat mereka dalam menghafal. Dalam hal ini, Nabi Muhammad sering
mengadakan ulangan terhadap kekuatan menghafal para sahabat, yaitu dengan
menyuruh mereka membacakan hafalan al-Qur’anya di hadapan Nabi Muhammad SAW
kemudian Nabi Muhammad SAW membetulkan hafalan dan bacaan mereka. Kebanyakan dari sahabat Nabi hafal al-Qur'an.
Pada masa awal
kenabian, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat sangat mementingkan pemeliharaan
terhadap hafalan al-Quran secara hati-hati dengan berusaha menghafalkannya di
dada dan bukan dengan menulisnya pada lembaran-lembaran. Setidaknya ada dua
sebab yang mendorong hal itu; pertama, Nabi SAW sendiri seorang ummi> dan di
utus kepada kaum ummi> pula. Kedua, sulitnya peralatan tulis-menulis ketika
itu, walaupun Nabi SAW pada saat itu telah memerintahkan kepada sekretarisnya
untuk menulis wahyu tiap kali turun,
akan tetapi para sahabat banyak yang berusaha menghafalnya dikarenakan
mereka memiliki daya hafal yang baik dan kuat.
1. Fenomena Menghafal al-Qur’an Pada Masa
Sahabat
Nabi Muhammad
adalah penghafal al-Qur’an (h}a>fiz}) yang pertama, disusul para penghafal
al-Qur’an dari kalangan sahabat, terutama al-Khulafa>’ al-Ra>syidi>n
meskipun nama yang tercantum dalam beberapa riwayat jumlahnya terbatas,
sebagaimana diungkapkan oleh Abu> Ubaid dalam kitab al-Qira>’at
bahwasanya para h}uffa>z} dari golongan Muha>jiri>n adalah
al-Khulafa>’ al-Ra>syidi>n, T}alh}ah, Sa’ad, Ibn Mas’u>d,
H}uz|aifah, Sa>lim, Abu> Hurairah, dan Abdulla>h ibn Su’aib. Sedangkan
dari golongan Ans}ar, adalah Ubaidah Ibn S}a>mit, Mu’az| (yang dikenal
dengan nama Abu> H}ali>mah), Majma’, Ibn Jariyah, Fuz}alah ibn Ubaid, dan
Musa>lamah ibn Mukhalad. Namun, ada sebuah riwayat lain yang menambahkan
daftar nama-nama para penghafal al-Qur’an, di antaranya Tami>m
ad-Da>ri>, Uqbah ibn Ami>n, dan Mu>sa> al-Asy’ari>. Hal itu seperti yang terkandung dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Bukha>ri>, yaitu:
خذواالقرا ن من اربعة: من عبدالله
بن مسعود وسالم ومعاذوابى بن كعب
Artinya:
“Ambilah
al-Qur’an dari empat orang, yaitu Abdilla>h ibn Mas’u>d, Sa>lim,
Mu’az\ dan Ubay bin Ka’ab.”
Serta yang
diriwayatkan oleh Bukha>ri> dari Qata>dah:
سالت انس بن مالك رضي الله عنه من جمع القرا ن على عهدالنبّى صلّى الله
عليه وسلّم ؟ فقال: اربعة كلهم من الا نصار:ابى بن كعب ومعاذ بن جبل وزيد بن ثا بت
وابوزيد.
Artinya :
Aku telah
bertanya kepada Anas bin Ma>lik: Siapa sajakah yang menghafal al-Qur’an di
masa Rasulullah Saw, dan ia menjawab: ada empat orang, dan semuanya dari kaum
Ans}ar, di antaranya ialah Ubay bin Ka’ab, Mu’az| bin Jabal, Zaid bin
S|a>bit dan Abu> Zaid. (HR. Bukha>ri>).
Hal ini
diperkuat kembali dengan riwayat yang disampaikan oleh Ana>s, yaitu:
مات النبىصلى الله عليه وسلم ولم يجمع القران غير اربعة : ابوالدرداْ ومعاذ
بن جبل وزيد.
Artinya:
“Nabi Muhammad
SAW telah wafat, sedangkan al-Qur’an belum dihafal, kecuali oleh empat orang,
yaitu Abu> Darda>’, Mu’az| bin Jabal, Zaid bin S|a>bit, dan Abu>
Zaid.”
Riwayat ini
kemudian dipertegas al-Z|ahabi> dalam karyanya T}abaqa>h al-Qurra>’
yang menyebutkan bahwa qurra>’ (h}a>fiz}) yang terkenal dari kalangan sahabat
Nabi Muhammad sebanyak tujuh orang, yaitu Us|ma>n, Ali>, Ubay, Zaid, Ibn
Mas’u>d, Abu> al-Darda>’, dan Mu>sa> al-Asy’ari>.
Terhadap
beberapa hadis di atas, para ulama men-ta’wi>l-kan dengan pemahaman
bahwasanya jumlah para penghafal al-Qur’an tidak hanya terbatas tujuh
sebagaimana disebutkan di atas. Pembatasan tujuh orang karena hanya merekalah
yang dapat menghafal seluruh isi al-Qur’an di luar kepala dan telah menunjukkan
hafalannya di hadapan Nabi Muhammad di samping itu, silsilah isna>d-nya pun
sampai pada umat Islam hingga kini. Meski diakui ada banyak jumlah penghafal
al-Qur’an saat itu, namun kebanyakan di antara mereka kurang memenuhi
kualifikasi seperti yang diisyaratkan di atas. Hal ini disebabkan para sahabat
telah tersebar di berbagai daerah dan mereka menghafal dari orang lain.
Sebagaimana
diungkapkan oleh al-Qurt}ubi>, bahwa telah terbunuh sebanyak 70 orang
h}a>fiz} pada pertempuran Yama>mah dan juga telah terbunuh pada
pertempuran di Bi’ri Ma’u>nah, sehingga jumlah yang meninggal dalam masa
ini, kurang lebih sebanyak 140 orang Qurra>’ atau h}uffa>z}.
Semenjak masa
Rasulullah SAW, penghafal al-Qur’an tidak hanya terbatas kepada kaum pria
melainkan melibatkan kaum wanita juga, seperti ‘A<isyah r.a., H}afs}ah, Ummu
Salamah, dan Ummu Waraqah binti Abdulla>h ibn H}a>ris|. Besarnya jumlah h}uffa>z} pada zaman Nabi
Muhammad disebabkan oleh dua faktor: pertama, anjuran dan dorongan Nabi SAW
kepada para sahabat untuk menghafal al-Qur’an, di samping itu beliau juga
mengajarkan dan menerangkan makna yang
terkandung di dalamnya
secara langsung. Kedua, sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah beliau
mengutus Mas’ab bin Umar dan Ibn Umi Maktu>m untuk mengajarkan Islam serta
menganjurkan untuk membaca dan menghafal al-Qur’an kepada ahli Madinah. Setelah
Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mengutus Mu’az\ bin Jabal ke Makkah untuk
mengajar penduduk setempat juga.
Dalam waktu
singkat, al-Qur’an telah tersimpan di dada para sahabat Nabi SAW dan mereka
menularkan bacaan dan hafalan al-Qur’an itu kepada generasi berikutnya
berdasarkan hafalan para h}uffa>z} dan bacaan para Qurra>’.
2. Fenomena Menghafal al-Qur’an Pada Masa
Ta>bi’i>n dan Ta>bi’ Ta>bi’i>n
Seperti halnya
masa sahabat, para ta>bi’in juga banyak yang menghafal al-Qur’an. Mereka
belajar al-Qur’an kepada sahabat dengan metode dan sistem yang mirip seperti
yang telah dilakukan Rasulullah SAW, sehingga bacaan tajwid, hukum dan
riwayatnya tidak berubah. Di antara para h}uffa>z| dari kalangan ta>bi’in tersebut adalah:
a. Pemuka Qurra>’ di Madinah, antara lain Ibn
al-Musayyab, Urwah, Sa>lim, Umar, Ibn Abdul Azi>z, Sulaima>n ibn
Yassa>r, At}a>’ ibn Yasa>r, Mu’az| ibn al-H}a>ris|,
Abdurrah}ma>n ibn Hurmu>z al-A’ray, Ibn Syiha>b al-Zuhri>, Muslim
bin Jundab, dan Zaid ibn Aslam.
b. Pemuka Qurra>’ atau h}uffa>z| di Makkah,
antara lain al-Ubaid ibn Umar, At}a>’ ibn Abi Raba>h}, Muja>hid,
Ikrimah, dan ibn Abi> Mulaikah.
c. Pemuka Qurra>’ di Kuffa>h, antara lain
al-Qamah, al-Aswa>d, Masru>q, Ubaidah, Amir ibn Syurahbil, al-H}a>ris|
ibn Qais, al-Rabi>’ ibn Khaisan, Amar ibn Maimu>n, Abu>
Abdurrah}ma>n al-Sulaimi>, Z|ir ibn H}ubaisi>, Said ibn Jubair,
Ibra>hi>m al-Nakhari>, dan Al-Sya’bi>.
d. Pemuka
Qurra>’ di Bas}rah antara lain Abu> al-‘A>liyah, Abu> Rafa’,
Na>s}ir ibn ‘As}im, Yah}ya> ibn Ma’mu>n, al-H}assa>n, Ibn
Siri>n, dan Qaradah
e. Pemuka
Qurra>’ di Sya>m, antara lain al-Mug}i>rah ibn Abi> Syiha>b dan
Kha>lifah ibn Sa’ad.
Pada masa ini
muncul segolongan ulama yang mengkonsentrasikan pikiran dan dirinya untuk
mempelajari qira>’ah, sehingga muncullah ulama Qurra>’ yang pandai dalam
melagukan al-Qur’an disertai dengan kapasitas kemampuannya yang tidak
diragukan. Di antara para ulama Qurra>’ tersebut adalah Ja’fa>r Yazi>d ibn Qa’qa’, Abdulla>h
ibn Kas|i>r al-Makki>, A>s}im bin Abi> al-Nuju>d al-Asadi>,
Abdulla>h Ish}a>q, Abdulla>h ibn Ami>n, Abu> A<mir ibn
al-A’la>, dan lain sebagainya.
Dengan ekspansi
dan pengembangan wilayah Islam, juga menambah daftar jumlah para Qurra>’ di
kalangan Ta>bi’i>n dan Ta>bi’ Ta>bi’i>n. Kondisi inilah pada
akhirnya yang menyebabkan perbedaan bacaan al-Qur’an di kalangan mereka. Untuk
menghindari pertengkaran, perselisihan, dan kekeliruan dalam tubuh umat Islam
terutama dalam masalah bacaan dan hafalan al-Qur’an, maka ulama Qira>’ah
melakukan upaya penyeleksian bacaan dan hafalan para h}uffa>z}, yaitu dengan
memisahkan antara yang h}aqq dan ba>t}il, membedakan antara riwayat yang
sya>z|, s}ah}i>h} dan d}a‘i>f, serta menyesuaikannya dengan kaidah
bahasa Arab dan mus}h}af al-us|ma>ni>, sehingga timbullah istilah
Qira>’ah al- Sab’ah.
3. Fenomena Menghafal al-Qur’an Pada Masa
Kejayaan Islam Hingga Sekarang
Pada zaman
puncak kejayaan Islam, khususnya masa Kha>lifah al-Ma’mu>n (831 M/233
H-833 M/253 H), didirikan lembaga ilmiah pertama di kota Baghdad, yang dikenal
dengan Bait al-H}ikmah (830 M/150 H). Periode berikutnya berdiri pula
Ja>m’iah al-Azha>r (970 M/340 H), Da>r al-H}ikmah di Kairo (1005 M/425
H), dan Madrasah Niz}a>miyah (1065 M/485 H).
Dari pusat-pusat pendidikan ini melahirkan ulama-ulama Islam yang
h}a>fiz} al-Qur’a>n.
Selain pusat
pendidikan yang masyhur tersebut, di kota-kota lain juga terdapat lembaga yang
bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran tah}fi>z} al-Qur’a>n, seperti di Makkah dan Madinah.
Dari kedua kota ini para ulama dari Afrika, Asia Tengah, India, Pakistan,
Bangladesh, dan ASEAN mempelajari agama Islam dan menghafalkan al-Qur’an. Ulama
ASEAN termasuk Indonesia, umumnya
mereka belajar di Makkah sejak pertengahan abad 17 M dan di al-Azha>r pada
awal abad 19 M. Setelah dirasa cukup dan mendapat ija>zah sanad dari
gurunya (bagi yang h}uffa>z}), mereka
kembali ke daerahnya masing-masing dan menjadi guru atau kyai. Semisal KH. M.
Munawwir pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Yogyakarta. Beliau adalah pelopor
tradisi h}a>fiz} di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Belajar di Makkah
selama 21 tahun (1888-1909), setelah memperoleh sanad (ija>zah), tepatnya
pada tahun 1909 kemudian kembali ke Yogyakarta. Pada tahun 1911 K.H. Munawwir
mendirikan pondok pesantren yang bergerak di bidang tah}fi>z}ul Qur’a>n. Hal ini dilakukan juga oleh para ulama yang
tersebar di hampir seluruh Nusantara, yang juga belajar di tempat yang sama
dengan KH. M. Munawwir, seperti KH. Arwani (Kudus), KH. Damanhuri (Malang), KH.
Saleh Ma’mun (Serang), KH. Azra’i Abdur Rauf (Medan), KH. Muntaha (Wonosobo),
dan KH. Abdul Hamid (Pasuruan), dan lain sebagainya.
B. Hukum dan Keutamaan Penghafalan Al-Qur’an
Menghafal
al-Qur’an hukumnya fard}u kifa>yah.
Hal ini menandakan bahwa orang yang menghafal al-Qur’an tidak boleh
kurang dari jumlah mutawa>tir, sehingga tidak akan ada kemungkinan
terjadinya pemalsuan dan pengubahan terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an. Jika
kewajiban ini telah terpenuhi oleh sejumlah orang (mencapai tingkat
mutawa>tir), maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya. Sebaliknya,
jika kewajiban ini tidak terpenuhi, maka semua umat Islam akan menanggung
dosanya. Hal ini ditegaskan oleh Syeikh Muh}ammad Ma>liki> Nas} dalam
sebuah kitabnya Niha>yah Qaul al-Mufi>d:
ان حفظ
القران عن ظهرها فرض كفاية
Artinya:
“Sesungguhnya
menghafal al-Qur’an di luar kepala hukumnya fard}u kifa>yah”
Berbeda halnya
dengan menjaga keutamaan bacaan al-Qur’an dari berbagai penyimpangan dan
perubahan, upaya menjaga seperti ini adalah suatu kewajiban yang harus diemban
oleh tiap-tiap individu muslim dengan di hukumi fard}u ‘ai>n.
Orang yang
dianugerahi oleh Allah SWT bisa menghafal al-Qur’an 30 juz secara baik dan
benar merupakan keistemewaan yang besar karena tidak semua orang bisa menghafal
al-Qur’an, hanya orang-orang pilihanlah yang dapat menghafal al-Qur’an dengan
sempurna. Sebagaimana firman Allah, QS. Fa>t}ir (35): 32:
ثم اورثنا
الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا فمنهم ظالم لنفسه ومنهم مقتصد ومنهم سابق با لخيرات
بإذن الله ذلك هو الفضل الكبير.
Artinya:
Kemudian kami
mewariskan kitab, kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba
kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri, dan di antara
mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka (pula) yang lebih dahulu
berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat
besar.
Penghafal
al-Qur’an inilah yang memiliki peran besar di kalangan umat Islam dalam upaya
pemeliharaan keautentikan al-Qur’an sebagai sumber hukum dan pedoman hukum umat
Islam yang paling utama. Selain itu, menghafalkan al-Qur’an bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah karena membutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan ketekunan
yang tinggi, serta butuh pendekatan diri kepada Allah SWT, dengan menjauhkan
diri dari berbagai maksiat yang dapat merusak proses menghafal al-Qur’an.
Dengan
demikian, posisi penghafal al-Qur’an menempati kedudukan terhormat di hadapan
Allah SWT, bahkan Allah mensejajarkan mereka dengan Nabi dan Rasul serta selalu
mendapatkan prioritas utama hingga mereka wafat. Sebagaimana yang disabdakan
Nabi Muhammad:
عن جابر
بن الله (رض) ان النبى صلى الله عليه وسلم:
كان يجمع الرجلين من قتلى احد ثم يقول:
ايها اكثر اخد للقران؟ فإن اشير الى احدهما قدمه اللحد. (رواه اْبوداود)
Artinya:
Dari Ja>bir
bin Abdulla>h r.a bahwa Nabi SAW mengatakan dua orang dari dua orang-orang
yang gugur dalam perang Uh}u>d dalam satu liang lahat, kemudian Nabi saw
bertanya “dari dua orang ini mana yang paling banyak hafal al-Qur’annya?
Apabila ada orang yang dapat menunjukkan kepada salah satunya, maka Nabi SAW
memasukkan mayat itu lebih dahulu ke liang lahat.
Para
h}a>fiz} dan h}a>fiz}ah juga dapat memberikan syafa’at kepada
keluarganya, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:
عن على
بن ا بى طالب كرم الله وجهه قال: قال رسول الله (ص (من قراْ القرا ن وحفظه ادخله الله الجنة وشفعه
فى عشرة من اهل بيته كلهم قد استوجب النار
Artinya:
Dari Ali>
bin Abi> T}a>lib r.a, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: barangsiapa
membaca al-Qur’an dan menghafalkannya, niscaya Allah akan memasukannya ke dalam
surga, dan memberinya hak syafa’at untuk 10 anggota keluarganya, di mana mereka
telah ditetapkan masuk neraka.
Demikianlah,
jaminan pahala yang akan diterima seseorang yang menghafal al-Qur’an. Kendati
demikian, para penghafal al-Qur’an tidak semestinya hanya terkesan terhadap
kemuliaan dan kedudukan yang dijanjikan Allah, namun hal yang terpenting pula
adalah dengan mengetahui juga ancaman dan resiko yang harus dihadapi bagi yang
melalaikannya. Hal ini terlansir dalam sabda Nabi SAW yang berbunyi:
حدثنا
محمد بن العلاء أخبرنا ) أنبأنا) ابن ادريس عن يزيد بن ابى زياد عن عيسى فائد عن سعد
بن عبادة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :ما من امرئ يقرأْ القرأ ن ثم ينساه
الا لقى الله يوم القيامة أجذم.
Artinya:
"Barang
siapa yang membaca al-Qur’an kemudian ia melupakannya, pada hari Qiamat, Allah
akan menemuinya dalam keadaan buntung.”
C. Metode Pembelajaran Menghafal al-Qur’an
Dalam proses
belajar-mengajar, metode memiliki peran
yang substansial karena berhasil tidaknya tujuan pembelajaran salah satunya
adalah ditentukan oleh metode pembelajaran yang digunakan. Begitu pula dalam
menghafal al-Qur’an, memerlukan suatu strategi atau metode yang tepat agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Berkaitan dengan metode menghafal al-Qur’an ini, Muhammad Zein membagi metode
menghafal al-Qur’an menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Metode Tah}fi>z} atau Menghafal
Metode
tah}fi>z} adalah menghafal materi baru yang belum pernah dihafalkan
sebelumnya. Metode ini merupakan langkah awal untuk seseorang agar bisa disebut
h}uffa>z}. Awalnya seseorang membaca ayat yang akan dihafal beberapa kali
dengan melihat mushaf kemudian mengulanginya lagi dengan tidak melihat mus}h}af
hingga benar-benar hafal dan begitu juga proses selanjutnya secara terus
menerus.
2. Metode Takri>r
Metode
takri>r adalah upaya mengulang hafalan yang sudah pernah dihafalkan untuk
menjaga hafalan al-Qur’an dari kelupaan, salah satunya ialah dengan menciptakan
kreatifitas takri>r (pengulangan) secara teratur. Upaya ini merupakan faktor
penting dalam menjaga ayat-ayat al-Qur’an yang telah dihafalkannya agar tidak
hilang. Hal ini perlu dilakukan, mengingat; pertama, menghafal itu lebih mudah
daripada menjaganya; kedua, anjuran Nabi untuk memeliharanya; dan ketiga
ancaman terhadap orang yang melupakannya.
3. Metode Tarti>l
Metode
tarti>l adaah bentuk pengucapan dengan baik, yaitu dengan menyebutkan
hurufnya, kalimatnya, waqaf
ibtida>’-nya, dan marja’ahnya.
Ada
juga yang menyebutkan bahwa metode yang digunakan dalam menghafal al-Qur’an,
bisa juga menggunakan metode global, yaitu menghafalkan materi yang panjang
dengan sekaligus tanpa menghafalnya satu persatu, dan metode terperinci, yaitu
menghafalkan ayat per ayat yang akan dihafal.
Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa metode menghafal
al-Qur’an terdiri dari :
1. Metode Wah}dah, yaitu menghafal al-Qur’an satu
persatu akan ayat yang akan dihafalkan.
2. Metode
Kita>bah, yaitu menulis terlebih dahulu ayat yang akan dihafal, kemudian
dihafalkannya. Metode ini cukup praktis dan baik, karena di samping membaca
dengan lisan, aspek visual menulis juga sangat membantu dalam proses akselerasi
terbentuknya pola hafalan dalam angan si penghafal, sehingga memudahkan dalam
menghafalkannya.
3. Metode Sama>’i. Sama>’i artinya
“mendengar”, yang dimaksud mendengar di
sini adalah mendengarkan ayat yang akan dihafal, baru kemudian dihafalkannya.
4. Metode
Integralistik, yaitu menggabungkan metode yang pertama dan kedua, hanya saja
kita>bah di sini, lebih memiliki fungsi sebagai media uji coba terhadap
ayat-ayat yang sudah dihafalkan.
5. Metode Jama', yaitu metode menghafal yang
dilakukan secara kolektif, dibacakan oleh guru di depan murid-muridnya, yang
kemudian dihafalkannya.
Selain
metode-metode di atas, ada beberapa upaya yang harus diperhatikan, demi
kelancaran menghafal al-Qur’an, di antaranya ialah;
Pertama,
ikhlas, bahwasanya dalam menghafal al-Qur’an hendaknya diniati karena Allah SWT
dan mengharapkan keridhaannya, karena jika niat seseorang membaca dan menghafal
al-Qur’an hanya untuk dipuji atau dilihat oleh orang lain dan mencari balasan
dunia, maka ia tidak akan mendapatkan keridhaan dan pahala di sisi Allah SWT.
Kedua,
upaya membenarkan pengucapan dan bacaan. Dalam hal membaca al-Qur’an, harus dihindari kepercayaan diri yang
berlebihan meskipun diakui ia sudah cukup pandai dalam menggunakan bahasa Arab
dan mendalami kaidah-kaidahnya. Sebab, di dalam al-Qur’an memiliki berbagai
jenis ayat al-Qur’an yang menyalahi atau memiliki perbedaan kaidah-kaidah
bahasa Arab yang sudah baku. Oleh karena itu, untuk menghindari dan
meminimalisir kesalahan dalam membaca, maka diperlukan ekstra ketelatenan yang
keras untuk selalu mendengarkan bacaan seseorang yang sudah hafal dan sangat
cermat.
Ketiga, upaya
membuat target hafalan setiap hari. Artinya, bagi seseorang yang berminat
menghafal al-Qur’an, sedapat mungkin ia harus merancang dan membuat target
hafalan setiap harinya. Hal ini dimaksudkan agar dalam menghafal al-Qur’an
tidak menghabiskan rentang waktu yang cukup lama.
Keempat, jangan
beralih pada hafalan baru, sebelum sempurna hafalan yang lama. Seseorang yang
sedang menghafal al-Qur’an tidak boleh beralih pada hafalan yang baru, kecuali
jika hafalan yang lama telah dikuasai secara matang. Hal ini dimaksudkan, agar
apa yang dihafalkan dapat terpatri dalam hati. Salah satu cara yang dapat
membantu memantapkan hafalan al-Qur’an adalah selalu mempraktekkannya. Misalnya
membaca al-Qur’an dalam shalat dan lain sebagainya, dengan menggunakan cukup
satu mus}h}af saja. Sebab, bentuk dan letak antara mus}h}af satu dengan lainnya
tidak sama. Jadi, untuk mempercepat hafalan dan memudahkan mengingat kembali,
yaitu dengan tidak bergonta-ganti mus}h}af.
Kelima,
memahami ayat-ayat al-Qur’an. Di antara faktor dominan yang dapat membantu
menghafal ialah memahami ayat-ayat yang dihafal dan berusaha untuk mengerti
keterkaitan aspek antara satu ayat dengan ayat yang lain. Oleh karenanya,
seseorang yang sedang menghafal al-Qur’an, sebaiknya membaca tafsir ayat-ayat
yang hendak dihafalkannya terlebih dahulu dan memiliki konsentrasi yang tinggi
pada waktu membaca. Hal ini dilakukan sebagai upaya mempermudah dalam mengingat ayat-ayatnya.
Keenam, jangan
melewatkan satu surat pun sebelum lancar. Setelah selesai pada satu surat
al-Qur’an, sebaiknya tidak beralih pada surat sesudahnya sebelum memiliki
kesempurnaan hafalannya. Sebab, menghafal al-Qur’an memiliki kemudahan, namun
sulit untuk menjaganya.
Ketujuh,
memiliki ketekunan yang ekstra dalam mendengarkan. Seseorang yang sedang
menghafal al-Qur’an tidak boleh mempercayakan hafalannya terhadap dirinya
sendiri, melainkan harus dengan tekun menyodorkan hafalannya kepada seorang
h}a>fiz} lain untuk mengingatkan kemungkinan akan masih adanya kesalahan
dalam bacaan dan adanya bacaan yang terlupakan.
Kedelapan,
upaya menjaga secara kontinuitas. Menghafal al-Qur’an sangat berbeda dengan
menghafal bahan lain, seperti bait syair, prosa, dan karya-karya sastra
lainnya, karena hafalan al-Qur’an lebih cenderung lekas hilang. Karena itu,
harus selalu mengupayakan untuk mempraktekkan dan menjaganya terus-menerus
terhadap hafalan al-Qur’an tersebut.
Kesembilan,
memperhatikan ayat-ayat yang serupa. Al-Qur’an dalam segi makna, lafaz}, dan
ayat-ayatnya memiliki kecenderungan yang serupa (identik). Oleh karenanya,
seorang penghafal al-Qur’an harus memberikan perhatian khusus terhadap
ayat-ayat yang serupa. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kualitas hafalan
yang baik.
Kesepuluh,
memanfaatkan batas usia yang baik untuk menghafal. Usia yang baik untuk
menghafal, yakni semenjak usia lima tahun sampai kira-kira dua puluh tiga
tahun. Sebab usia di bawah lima tahun, seseorang belum bisa berbuat banyak
dalam masalah ini, sedang usia di atas dua puluh tiga tahun, cenderung
mengalami penurunan ingatan dan gampang lupa.
Meskipun metode
yang dilakukan memiliki perbedaan, namun, realitas yang terjadi hingga saat
ini, proses menghafal al-Qur’an terus berjalan seiring waktu bergulir. Ini
dapat menjadi bukti, dengan masih banyaknya pesantren dan madrasah yang
bergerak di bidang tah}fi>z} al-Qur’a>n. Dengan demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa menghafal al-Qur’an merupakan realita yang terus berjalan bagi
umat Islam hingga saat ini. Oleh karena itu, permasalahan seputar menghafal
al-Qur’an masih terus menarik untuk dikaji, untuk dapat memberikan secercah ide
dan pemikiran sebagai upaya proses pelancaran dan pemudahan menghafal
al-Qur’an, sehingga keautentikan al-Qur’an menjadi bukti lestari kemahakuasaan
Tuhan yang tak terhingga.
Di
antara sekian banyak problematika seputar menghafal al-Qur’an adalah
permasalahan lupa. Para penghafal al-Qur’an senantiasa berusaha semaksimal
mungkin untuk menjaga hafalannya agar tidak hilang. Di satu sisi, hadis-hadis
Nabi SAW yang mengungkapkan ancaman bagi para penghafal al-Qur’an yang lupa
akan hafalannya banyak ditemukan. Hal ini dapat menjadi pendorong untuk selalu
ingat bahwa menjaga hafalan merupakan suatu kewajiban, sehingga hafalan
al-Qur’an dapat terjaga dengan baik.
Namun
di sisi lain, hal ini juga dapat menjadi penghalang seseorang untuk
mengurungkan niatnya menghafalkan al-Qur’an, karena merasa takut dengan ancaman
tersebut atau menjadi penghambat seorang penghafal al-Qur’an untuk berkecimpung
dalam dunia atau pendidikan lain, karena khawatir waktunya tersita oleh
kegiatan lain di luar al-Qur’an. Hal ini cukup menyedihkan, karena bagaimana seorang
akan dapat memahami pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an, jika menutup
diri untuk mendalami kajian di luar penghafalan al-Qur’an.
Dengan
demikian, pemahaman yang tepat terhadap teks agama merupakan suatu hal yang
penting untuk membuktikan keuniversalan hukum Islam, menjawab problematika
umatnya, atau paling tidak untuk menjawab kegelisahan para penghafal
al-Qur’an.
0 Response to "Hukum dan Metode Menghafal al-Quran"
Post a Comment