Image1

Peradaban Islam Sebelum Nabi Muhammad


Sorotan Sejarah Islam Klasik
Pra-Nabi Masa Nabi di Makkah dan di Madinah


A. Pendahuluan
Pertemuan beberapa peradaban dan kebudayaan di dunia Islam tidak bisa disangkal dengan berbagai macam cara transformasi yang melibatkan keberadaan manusia sebagai pembentuk terlahirnya sebuah peradaban atau sebuah kebuadayaan, kita tidak bisa menafikan apa yang menjadi dasar dari terbentuknya perkembangan satu peradaban, tidak hanya itu akan memeperlihatkan sisi positif negatif dari sebuah perkembangan peradaban itu sendiri.



Kebudayanan lokal menjadi unsur pembentuk utama dari apa yang akan dibangaun selanjutnya, hal ini bisa terjadi jika budaya lokal atau budaya setempat menjadi rujukan untuk sedikit diperbaiki, dalam artian tidak dihilangkan secara total, tetapi justru ini harus dimodifikasi sekiranya ada hal yang kurang berkenan untuk dijadikan standar tradisi untuk membangun sebuah peradaban, termasuk karakter tradisi masyarakat setempat adalah bagian integral dari eksistensi mereka untuk dikenal oleh dunia luar.
Berbicara sejarah pra Islam-oleh karenanya- melalui asumsi-asumsi di atas menjadikan bahan dasar untuk melihat asimilasi apa yang datang selanjutnya, apakah kebudayaan baru yang datang selanjutnya akan mengikuti secara seratus persen apa yng ada pada tradisi lokal ataukah ada perubahan signifikan yang akan dilakukan oleh tradisi baru yang datang belakangan? Inilah yang menjadi titik fokus kita dalam melihat sejarah awal Islam sampai periode makkah dan madinah.
Banyak hal yang menjadi dasar persoalan yang harus dijadikan pijakan untuk melihat bagimana keberadaan sejarah yang sesungguhnya. Melihat sejarah bukan saja sebuah cermin yang memantulkan realitas tanpa problem apapun, atau melihat bayangan begitu saja, namun kita lebih mengedepankan gaya nalar kritis kita untuk memperlihatkan apa yang sesungguhnya terjadi lewat-lewat pragmentasi-pragmentasi yang ada dalam sejarah tersebut.
Sehingga lebih layak kita mengatakan bahwa sejarah itu adalah bagai cermin retak yang seyogyanya kita harus susun kembali karena lama tercecer dan berserakan, hal ini perlu melihatnya kembali sebagai bagain terpenting catatan kehidupan manusia untuk diperlihatkan kembali sebagai refrensi yang hidup dan senyatanya kita mengambil setetes curahan pengetahuan untuk dijadikan perahu untuk mengarungi lautan hidup yang begitu luas ini.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang disodorkan kepada kita adalah berupa puing-puing diskripsi tentang keberadaan manusia yang dilaluinya setiap detik. Puing-puing itu adalah data untuk dijadikan sumber analisis yang tidak hanya dijabarkan dalam bentuk penjelasan diskripsi semata-sebagaimana yang telah disebutkan- tetapi bagaimana usaha manusia untuk menyusunnya kembali secara sistematis, kemudian memberikan catatan-catatan kritis untuk menjadi batu loncatan dalam mengahdapi dunia selanjutnya.
Orang mengatakan bahwa sejarah adalah sebuah anomali-anomali kehidupan yang terukir dalam bahari perjalanan panjang manusia. Apa yang dimaksud dengan anomali di sini oleh pemakalah adalah sebuah peristiwa-peristiwa yang dianggap berkesan dibenak manusia, baik itu sesuatu yang menyenangkan manusia ataukah itu menjadi catatan hitam perjalanan kehidupan manusia itu sendiri.
Lihat saja apa yang ada dalam catatan-catatan sejarah yang ada baik sejarah lokal, sejarah nasional bahkan sampai kepada sejarah dunia, bahwa seyogyanya peristiwa tersebut adalah anomali-anomali yang dianggap berkesan di hadapan mereka. Sebenarnya, kita tidak harus mempolarisasi peta sejarah seperti ini, tetapi pada kenyataanya itulah yang terjadi.
Hal ini akan kita lihat dalam catatan sejarah dunia Islam –yang dalam hal ini- adalah sejarah Islam klasik mulai dari sebelum Islam datang, masa nabi yang terbatas pada dua periode yakni peristiwa-peristiwa makkiyah dan peristiwa-peristiwa madaniyah.
Satu catatan penting yang perlu ditekankan oleh pemakalah di sini adalah bagaimana sejarah ini akan mencoba membongkar secara sistematis kritis bagaiamana system yang ditearapkan oleh masyarakat dua periode tersebut; pertama pra Islam, kedua masa nabi yang terbagi dalam dua pasal yakni catatan sejarah makkah dan catatan sejarah madinah. Wallahualam.

B.  Arab Pra-Islam; Sumber-sumber peradaban
Sumber peradaban pertama–laut tengah dan laut merah -agama-agama keristen dan Majusi-Bizantium pewaris Romawi-sekte-sekte Kristen dan pertentanganya-Majusi Persia di jazirah Arab-antara dua kekuatan-tidak dikenal, selain Yaman- lalu lintas kafilah-Yaman dan peradabanya-Judaisme dan Kristen di Yaman-hancurnya bendungan Ma`rib-susunan masyarakat jazirah Arab- paganisme arab dan sebab-sebabnya-Kristen dan Judaisme-tersebarnya paganisme- peranan berhala-kedudukan Makkah.

1. Laut Tenagah dan Laut Merah
Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar ke pantai-pantai laut tengah atau sekitarnya, di Mesir, di Asyiria dan Yuanai sejak ribuan tahuan yang lalu, yang sampai saat ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahauan dan teknologi, dalam bidang pertanian, perdaganagan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan manusia. Tetapi semua peradaban itu sumber dan pertumbuhannya selalu berasal dari agama.
Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama dalam lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agama-agama yang dikenal sampai saat ini.[1]

2. Agama-Agama Kristen dan Majusi
Berhadapan dengan agama masehi yang bersumber di bawah panji dan pengaruh Romawi itu berdiri pula kekuasaan majusi di Persia yang mendapat dukungan moril di timur jauh di India selama bebarapa abad itu Asyiria dan Mesir yang membentang sepanjang Vunisia telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Romawi dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula diambang pintu Bizantium, namun tidak terpikir oleh raja-raja Persia untuk menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani satu-satunya yang dibuat oleh pihak Persia adalah mengambil salib besar dan dibawanya ke negerinya bila mana kelak kemenangan itu berganti berada dipihak Romawi salib itupun diambilnya kembali dari tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur.[2]

3. Bizantium Pewaris Romawi
Kenyataan di atas terus berlangsung sampai abad ke-6 dalam pada itu pertentangan antara Romawi dengan Bizantium makin meruncing pihak Romawi yang benderanya berkibar dibenua Eropa sampai ke Gaul dan Kelt di Inggris selama bebarapa generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahan itu mulai berangsur-angsur surut sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan mendirikan kekuasaan sendiri sebagai ahli waris kerajaan Romawi yang menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan kerajaan Romawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas datang menyerbunya dan mengambil kekuasaan pemerintahan ditangannya, dengan demikian Romawi berada dalam kekuasaan pemerintahan Vandal yang menimbulkan bekas luka yang dalam pada agama Masehi yang mereka anut.

4. System masyarakat Jazirah Arab
Apabila sistem politik di Yaman sudah menjadi kacau yang diakibatkan oleh pertentangan dan pertempuran kekuasaan maka struktur politik serupa tidak dikenal pada bebarapa negeri semenanjung Arab lainya pada waktu itu. Segala macam system yang dianggap sebagai suatu system politik seperti pengertian kita sekarang atau seperti pengertian negara-negara yang sudah maju pada masa itu, di daerah-daerah seperti Tihama, Hijaz, Nejd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri arab tidak mengenal system itu, mereka adalah anak negeri yang tinggal di pedalaman yang tidak bisa di kota-kota. Mereka tidak tinggal menetap pada suatu tempat, yang mereka kenal adalah hidup mengembara, selalu berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu seperti juga di tempat-tempat lain di sini dasar hidup pengembaraan itu adalah kabilah. Kabilah-kabilah[3] yang selalu pindah dan mengembara tidak mengenal suatu peraturan atau tatacara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga dan kebebasan keluarga yang penuh. Sedang orang kota, atas nama tatatertib mau mengalah dan membuang sebagian kemerdekaan mereka untuk kepentingan masyarakat dan penguasa, sebagai imbalan dan ketenangan dan kemewahan hidup mereka. sedang seorang pengembara tidak pedulikan kemewahan, tidak betah dengan ketenangan hidup menetap juga tidak tertarik pada apapun-seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota-selain kebebasannya yang mutlak. hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh degan anggota-anggota kabilahnya atau kabilah-kabilah lain sesamannya. Dasar kehidupannya ialah seperti makhluk-makhluk lain, mau survaiv, mau bertahan terus sehingga sesuai dengan kaedah-kaedah kehormatannya yang sudah ditanamkan dalam kehidupan pengembara yang serba bebas itu.
Oleh karena itu, kaum pengembara tidak menyukai tindakan ketidakadilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau melawannya mati-matian dan kalau tidak dapat melawan, mereka meninggalkan tempat mereka untuk mengembara lagi keseluruh jazirah, sekalipun mereka terpaksa melakukannya. Itulah sebabnya, perang, adalah jalan yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengan cara hormat. Karena bawaan itu juga, maka tumbulah dikalangan sebagian besar kabialah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian, suka tolong menolong, melindungi tetangga, serta sikap memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan mangkin kuat apabila, semakin dekat kepada kehidupan pedalaman, dan akan semakin hilang bila semakin dekat dengan kehidupan kota.
Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Romawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman saja dari antara Jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk. Mereka lebih suka meninggalkan tanah air dari pada tunduk kepada perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah tidak akan taat kepada peraturan apapun yang berlaku atau kepada lembaga apapun yang berkuasa.
Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhu darerah yang kecil-kecil yang tumbuh disekitar jazirah karena adanya perdagangan para kafilah. Daerah-daerah ni dipakai oleh para pedagang sebagai tempat beristitrahat sesudah melakukan perjalanan yang begitu meletihkan. Disitu mereka bertemu dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa guna memperoleh keselamatan bagi mereka serta menjauhkan mara bahaya gurun sahara serta mengaharapkan perdagangan mereka selamat sampai ditempat tujuan. Kota-kota seperti Mekah, Thaif, Yastrib, dan yang sejenis itu seperti; wahah-wahah (oase) yang berserak dicelah-celah gunung atau gurun pasir, terpengaruh juga sifat-sfat pengembaraan demikian itu. Dalam susunan  kabilah serta cabang-cabangnya, perangai hidup, adat istiadat, serta kebencianya terhadap segala ytang membatasi kebebasanya lebih dekat dengan cara hidup pedalamannya dari pada cara-cara di kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu cara hidup yang menetap yang tentunya tidak sma dengan cara hidup pedalaman.[4]

5. Paganisme Arab dan Sebab-Sebabnya
Lingkungan msyarakat dalam alam demikian itu serta keadaan moral, politik, sosial yang ada pada mereka, mempunyai pengaruh yang sama terhadap cara beragamannya. Melihat hubungannya dengan agama Kristen Romawi dan Majusi Persia, setidaknya akan mempengaruhi lingkungan Jazirah Arab. Misi Kristen yang ada pada masa itu sama giatnya seperti yang sekarang dalam mempropagandakan agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiawa serta cara hidup kaum pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan kaum pengembara manusia berhubunganngan dengan alam, ia merasakan adanya wujud yang tidak terbatas dalam segala bentuknya. ia merasa perlu mengatur suatu cara hidup antara dirinya dengan alam dengan tidak terbatasnya itu. Sedang bagi orang kota ketidakterbatasan itu sudah tertutup oleh kesibukannya sehari-hari, oleh adanya perlindungan masyarakat terhadap dirinya sebagai imbalan atas kebebasannya yang diberikan kepada sebagian masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada undang-undang penguasa supaya memperoleh jaminan dan hak perlindungan. Hal ini menyebabkannya tidak merasa perlu berhubungan dengan diluar penguasa itu dengan kekuatan alam yang begitu dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hubungan jiwa dan unsur-unsur alam yang sekitarnya jadi berkurang.
Yang menyebabkan orang-orang Arab itu tetap bertahan pada paganismenya bukan saja karena ada pertentangan di antara golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisme itu masih tetap berpengaruh dan tetap hidup di kalangan-kalangan bangsa yang sudh menerima ajaran Kristen. Paganisme Mesir dan Yunani masih tetap berpengaruh ditengah-tengah perbagai mazhab yang beraneka ragama di antara berbagai sekte-sekte kristen sendiri. Aliran Alexandria dan filsafat Alexandfria masih tetap berpengaruh meskipun sudah banyak berkurang dibandingkan dengan masa Ptolimies dan masa permulaan agama masehi. Logikannya yang tampak cemerlang-sekalipun masih bersifat sofistik-dapat juga menarik keparcayaan Paganisme yang politestik, yang dengan kecintaannya dapat didekatkan pada kekuasaan manusia. Inilah yang mengikat jiwa mereka yang masih lemah pada paganisme, dalam setiap zaman, setiap saat sampai sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup mencapai tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya pada semesta alam sehingga dia dapat memahami adannya kesatuan yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud ini, menjelma dalam wujud Tuhan yang Maha Esa, kepercayaan demikian itu hanya sampai pada suatu manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api misalnya. Lalu tidak berdaya lagi mencapai yang lebih tinggi, yang akan memperliahatkan adanya manifestasi alam dalam kesatuannya.
Bagi jiwa yang lemah ini cukup dengan berhala saja. Ia akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah tentang pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan berhala itu lalu dilengkapi dengan segala gambaran kudus, yang sampai sekarang dapat kita saksikan di seluruh dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya modern dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban.

6. Peranan Berhala
Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab terdahulu banyak sekali macamnya. Disamping itu menunjukkan bahwa kekudusan berhala-berhala itu bertingkat-tingkatan adanya. Setiap kabilah atau suku mempunyai pantung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahan-sesembahan masa Jahaliyah inipun berbeda-beda pula antara sebutan Shanam (patung), Watsaan (berhala), Nushub. Shanam dan Watsaan ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Sedangkan Nushub adalah batu karang tanpa bentuk tertentu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri. Mereka beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Diantara berhala-berhala yang baik buatannya biasannya berasal dari Yaman, hal ini tidak mengherankan sebab kemajuan peradaban mereka tidak dikenal di Hijaz, Nejd, atau di Kinda. Terdapat satu berhala yang paling terkenal diantara mereka yakni berhala Hubal yang terbuat dari batu akik dalam bentuk manusia, dan lengannya pernah rusak selanjutnya oleh orang-orang Quraisy diganti dengan lengan yang terbuat dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan di Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru Jazirah datang berziarah ketempat itu. Disamping berhala-berhala tersebut mereka juga memiliki pantung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing yang digunakan sebagai penyampai sebahyang dan memberikan korban-korban. Mereka mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar rumah atau sekembalinya dari berpergian. Mereka beranggapan penyembahannya kepada dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada tuhan sekalipun dengan menyembah berhala-berhala itu mereka melalaikan Tuhannya.

7. Adat Istiadat Kehidupan Arab Pra-Islam
Sekalipun mereka terkenal sangat menjunjung tinggi kehormatan tetapi itu masih terkesan sangat sukuistik dan primordialistik dimana mereka terkenal dengan kebaranian dan kedermawanannya. Disatu sisi keberanian mereka diperuntukkan untuk mempertahankan kabilahnya disisi lain kedermawanan yang mereka miliki menjadi tradisi yang telah merasuk dalam jiwa mereka hal itu terlihat dalam penghormatan mereka terhadap tamu-tamu mereka yang datang. Kondisi geografis yang tidak menguntungkan menjadikan mereka kesulitan mencari kebutuhan hidup hingga mereka terkenal dengan bangsa yang nomaden (berpindah-pindah). Kebiasaan kaum pria yang gemar berperang untuk mendapatkan kehidupan menyebabkan kondisi kaum perempuan di bawah kedudukan kaum pria. Sebab peperangan adalah fundamen kehidupan mereka hal ini terlihat dalam kebiasaan kaum pria bangsa Arab pra-Islam lebih gemar jika para isteri mereka melahirkan anak laki-laki, disebabkan anak laki-laki dapat membantu kedua orang tuannya untuk memikul senjata dalam rangka mempertahankan hidup mereka. Oleh karena itu dibeberapa suku ditemukan mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, karena dianggap sebagai aib dan mendatangkan kefakiran sebab kaum perempuan tidak bisa berperang.
Kebiasaan buruk kaum Arab pra-Islam adalah meminum-minuman keras dan gemar menukar-nukar pasangan. Hal ini terjadi sampai datangnya pencerahan yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. dimanan ia mengadakan perubahan-perubahan secara signifikan terhadap system kehidupan masyarakat Arab pra-Islam.
Disamping kebiasaan orang Arab pra-Islam yang bertentangan dengan Islam terdapat pula sisi yang baik dari kebiasaan mereka; yaitu:
a.       kebiasan bangsa Arab yang gemar membuat sya’ir, dalam sejarah mereka dikenal sebagai ahli dalam membuat sya’ir-sya’ir hingga mereka kerap mengadakan perlombaan membuat sya’ir. Sya’ir yang baik akan diletakkan didinding Ka’bah sebagai tanda penghormatan bagi sya’ir yang terbaik.
b.      Bangsa Arab suka menolong.
c.       Bangsa Arab dikenal sangat dermawan
d.      Bangsa Arab sebelum Islam telah dikenal sebagai bangsa yang beradab terbukti dengan masyarakatnya yang pandai berorasi (pidato) dan membuat perumpamaan-perumpamaan (kata-kata hikmah) sebagai puncaknya dengan lahir karya-karya yang monumental yang terpampang disekitar ka’bah.[5]

C. Reformasi Muhammad di Mekah
Rasulullah SAW, melaksanakan tugas risalahnya selama 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Dakwah dalam periode Mekah ditempuh melalui tiga tahap; tajap pertama adalah, dakwah secara diam-diam. Yang menjadi dasar dimulainnya dakwah ini adalah surat al-Mudatsir ayat: 1-7. dalam tahap ini Rasulullah mengajak keluarga yang tinggal serumah dan sahabat-sahabat terdekatnya agar meninggalkan agama berhala dan beribadah kepada Allah semata. Dalam pase ini yang pertama menyatakan beriman adalah Khadijah, Ali ibn Abi Thalib dan Zid ibn Haritsah. Dari kalangan sahabat Abu bakarlah yang menyatakan keimanannya kemudian diikuti oleh Utsman ibn Affan, Zubai ibn Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqas, Talhah ibn Ubaidillah, Abdurrahman ibn ‘Auf, Abu Ubaid ibn Jarrah, Arqam ibn Abi Al-Arqam, Bilal Bin Rabbah, dan beberapa penduduk Mekah yang lain. Rasulullah mengajarkan Islam kepada mereka dirumah Arqam Abi Al-Arqam. Mereka menjalankan ajaran agama baru ini secara sembunyi-sembunyi sekitar tiga tahun lamanya.
Tahap kedua adalah dakwah semi terbuka; dalam tahap ini menyeru keluarganya dalam lingkup yang lebih luas berdasarkan surat As-Syu’ara ayat: 214, yang menjadi sasaran utama seruan ini adalah bani Hasyim. Sesudah itu Rasulullah memperluas jangkauan seruannya kepada seluruh penduduk Mekah setelah turun ayat 15 surat Al-Hijr. Langkah ini menandai dimulainnya tahap ketiga yaitu dakwah terbuka. Sejak saat itu Islam mulai menjadi buah bibir penduduk Mekah. Dalam pada itu, Rasulullah terus meningkatkan kegiatannya dan memperluas jangkauan seruannya sehingga tidak lagi terbatas pada penduduk Mekkah, melainkan pada setiap orang yang datang ke Mekah.
Dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah tidak semua masyarakat Mekah menerimanya dengan lapang dada, akan tetapi terdapat pula masyarakat yang menentang dan melarang beliau untuk berdakwah. Menurut Syalabi ada lima faktor yang menyebabkan penduduk Quraisy menetang dakwah Rasulullah, yaitu;
a.       Persaingan pengaruh dan kekuasaan; mereka belum bisa membedakan antara kenabian dan kerajaan. Mereka memenuhi seruan Rasulullah berarti tunduk kepada Abdul Muthalib. Hal ini menurut anggapan mereka akan menyebabkan suku-suku Arab akan kehilangan pengaruhnya dalam masyarakat.
b.      Persamaan derajat; Rasulullah mengajarkan persamaan derajat di antara umat manusia. Hal ini berlawanan dengan tradisi Arab jahiliah yang membeda-bedakan derajat manusia berdasarkan kedudukan dan status sosial bangsawan Quraisy belum siap menerima ajaran yang akan meruntuhkan tradisi dan dasar-dasar kehidupan mereka.
c.       Takut dibangkitkan setelah mati; gambaran tentang kembangkitan kembali setelah mati sebagaimana diajarkan Islam sangat mengerikan di mata pemimpin-pemimpin Quraisy.
d.      Taqlid kepada nenek moyang; bangsa Arab jahiliyah menganggap bahwa tradis nenek moyang merupakan sesuatu yang mutlak dan tidak boleh diganggu gugat. Terlampau berat bagi meraka meninggalkan agama nenek moyangnya apa lagi yang diajarkan Rasulullah itu bertolak belakang dengan keyakinan yang mereka anut.
e.       Perniagaan patung; larangan menyembah patung dan larangan memahat serta memperjual belikannya merupakan ancaman yang akan mematikan usaha pemahat dan penjual patung. Lebih dari itu para penjaga Ka’bah juga tidak mau kehilangan sumber penghasilan dan pengaruh yang diperoleh dari jasa pelayanan terhadap orang-orang yang datang ke Mekah untuk menyembah patung.[6]
Dalam melakukan dakwah yang ditempuh dengan beberapa tahap dan sangat sulit yang tidak sedikit kaum muslimin mengorbankan harta, pelecehan, penganiayaan dan bahkan mereka diancam oleh kematian. Namun usaha ini tidaklah sia-sia, Rasulullah berhasil mengadakan beberapa reformasi di dalam masyarakat Arab. Reformasi tersebut ialah;
a.       Menyatukan aqidah; diketahui bahwa  aqidah bangsa Arab sebelum datangnya Islam adalah aqidah paganisme dimana mereka membuat patung-patung untuk dijadikan sesembahan, patung tersebut cendrung menjadikan masing-masing suku saling memperlihatan tingkat materialistik yang mereka miliki sebab masyarakat ekonomi rendah membuat patung dari tanah atau batu yang mereka pahat tidak memberikan asoseris yang lebih dibandingkan dengan masyarakat ekonomi menegah ke atas. Mereka yang ekonominya menengah ke atas biasannya mereka membuat patung yang dicampurkan emas dan mutiara. Dengan demikian terlihat adanya kesenjangan sosial di antara mereka, sehingga terjadi diskriminasi di antara orang miskin dengan orang kaya. Oleh karena itu Muhammad datang untuk menyatukan keyakinan mereka kepada satu Tuhan yang melindungi seluruh alam semesta, bukan Tuhan satu suku (kabilah), bukan Tuhan orang Arab saja, bukan Tuhan manusia, namun dialah Tuhan segala sesuatu (rabbul ‘alamin).[7]
b.      Menyempurnakan akhlak bangsa Arab; Rasulullah datang di tengah-tengah masyarakat Arab yang telah mengenal etika dan moral (akhlak), akan tetapi Rasulullah datang dengan misi untuk membenahi etika mereka yang masih bertentangan dengan Islam, seperti; membunuh anak perempuan, minum-minuman keras, kebiasaan menukar pasangan di antara teman. Dan melestarikan etika mereka yang tidak bertentangan dengan Islam, seperti; memuliakan tamu, dermawan, sifat pemberani, dan sifat tolong menolong.[8]
c.       Menghancurkan sikap sukuisme dan fanatisme; dalam ajaran Islam mengajarkan kesetaraan derajat sesama manusia, penilaian kemuliaan hanya berdasarkan ketaatannya kepada Allah dan Islam sangat membenci pembedaan kemulian sesama manusia.[9]
D. Muhammad mendirikan Komunitas Baru
Bagi Muhammad, hijrah ke Madinah bukan sematas pelarian dari kedudukan langsung yang tidak dapat dipertahankan di Mekkah. Ini juga peluang emas untuk membangun suatu tatanan baru kehidupan sosial seperti yang semakin jelas dituntut oleh perkembangan kepercayaannya. Pemujaannya kepada Allah sebagai pencipta, pertama-tama menuntut pengabdian pribadi pada kesucian moral; namun kesucian moral menyiratkan suatu tindakan sosial yang adil; kedermawanan kepada orang atau kaum lemah dan mengekang atau membatasi kebebasan kaum yang kuat. Selain itu, diakui secara penuh bahwa kehidupan moral seseorang merupakan suatu fungsi resolusi-resolusinya yang baik yang biasanya berada di bawah tingkat penghargaan-penghargaan aktual di sekelilingnya. Ia harus merupakan masyarakat dan bukan hanya individu-individu yang harus diperbaharui[10].
Dalam negosiasi-negosiasi dengan kaum muslimin Madinah, Muhammad secara ekspilisit menegaskan wewenangnya atas komunitas religius  yang kemudian semakin menjadi tersirat bahkan dikalangan orang-orang atau para pengikut Mekkahnya. Tentu saja beliau belum lagi membuat tuntutan yang sama dikalangan non muslim, tetapi juga kemandirian politik kaum  muslimin memungkinkan mereka untuk membina, paling tidak, satu tingkat pengaharapan-pengharapan social tertentu di antara mereka sendiri. Selain itu juga sebagai juru penengah (hakim) bahkan di antara orang-orang Madinah yang bukan Muslim, Muhammad telah mampu untuk meluaskan semacam semangat baru di luar umat yang sebenarnya bahkan sebelum seluruh Madinah bergabung ke dalam kelompok Islam.
Usaha-usaha yang pertama kali dilakukan oleh Muahammad di Madinah adalah mempersaudarakan kaum Muhajirun dan kaum Anshar dalam rangka untuk memperkuat posisi serta membentuk strategi politik untuk merangkul masyarakat sekitar, dengan demikian rasul dan pengikutnya yang telah terputus dengan klan-klan yang ada di Mekkah tergantikan dengan apa yang ada di Madinah. Selanjutnya Muhammad melihat sisi perekonomian masyarakat pendatang –dalam hal ini- pengikutnya sendiri untuk mencari peluang-peluang ekonomi untuk memperkuat misi dakwah yang ada. Sebab msyarakat muslim yang tiba di Madinah merasa kekurangan, dengan demikian rasul mulai mengirim kaum muhajirun keluar untuk menyergap karavan-karavan dagang kaum Quraisy. Penyergapan (raiding) tentu saja merupakan prosedur yang secara normal bisa diterima, dengan nama-nama suku Arab yang kurang mendapat tempat memulihkan kerugian-kerugian mereka dari kelompok yag mendapat tempat lebih beruntung. Ketika meninggalkan Mekkah, kaum muhajirun telah memutuskan hubungan-hubungan mereka dengan klan mereka di sana, mencampakkan tuntutan perlindungan dari mereka; akibatnya, kini mereka membentuk sebuah klan mereka atau suku mereka sendiri; bahwa mereka harus mengadakan penyergapan (jika mereka mampu) terhadap mereka yang tidak memiliki perjanjian apapun lagi dianggap sudah biasa. Meskipun begitu, Muhammad merasa tindakan tersebut memerlukan pembenaran dilihat dari orientasi moral baru.  Karena itu ia menyatakan bahwa Quraisy bukan hanya menolak menjadi muslim sendiri, tetapi mereka secara aktif menentang tatanan Ilahi dengan penyiksaan mereka terhadap kaum muslimin yang bersipat publik. Ini bukan semata-mata nestapa pribadi kaum muhajirun, tetapi tujuan umum, tetap bergantrung nasib abadi orang lain, adalah hak kaum muslimin untuk memerangi orang-orang Quraisy sampai mereka tidak lagi merintangi jalan orang-orang yang mungkin saja akan masuk Islam kalau tidak dihalangi.
          Periode Madinah ini juga adalah momen nabi dalam melanjutkan risalahnya yang telah dirintis di Mekkah, dengan modal wilayah dan bersifat mandiri secara spiritual, Islam dapat memulai pembangunan tatanan sosialnya sendiri secara serius. Dimana nabi bersama umat Islam yang ada pada saat itu boleh dikatakan masih minoritas namun karena semangat untuk kebebasan manusia secara universal, baik kebebasan dari kehidupan paganisme, sukuisme, khauvimisme dan kehidupan yang sangat individualistik. Di sini nabi memulai membangun tatanan baru kehidupan sosial umat Islam.
      Ada beberapa persoalan sosial sehari-hari masyarakat yang diterapkan dalam konteks wilayah yang baru seperti; kaum muslimin dilarang untuk memakan daging babi (di sini perasaan orang-orang badui dan yahudi nampaknya bertemu), berjudi dan minum-minuman keras atau paling tidak impor anggur (hal ini merupakan bagian dari langkah-langkah disiplin sosial). Yang paling kentara adalah suatu sistem baru untuk menjamin keamanan kaum lemah terhadap kaum berkuasa. Perseteruan di antara klan-klan Muslim dilarang dan hukuman setimpal yang secara ketat disesuaikan sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan dijatuhkan sebagai ganti kerugian, untuk kemudian dilaksanakan di depan mata nabi Muhammad sebagai wakil Allah. Pada waktu yang bersamaan, orang yang lemah secara finansial juga dijamin oleh pengumpulan zakah, yaitu pajak atas barang-barang milik. Zakah ini tumbuh dari praktek pemberian uang atau makanan untuk pensucian diri, zakah ini diorganisir di Madinah senagai basis finansial kehidupan kelompok (bersama dengan seperlima harta rampasan yang diberikan kepada Muhammad) dan juga untuk menyelenggarakan keadilan individual; atau tata laksananya diberikan petunjuknya lansung dari nabi dan lain-lain[11].
      Hal ini juga banyak terlihat perubahan dalam bidang hukum keluarga sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an dan periode Madinah inilah yang dilaim sebagai negara muslim pertama dengan sistem pemerintahan teokrasi, artinya Muhammad sebagai seorang rasul sekaligus kepala pemerintahan sebagai mana tercatat dalam dokumentasi sejarah. Wallahu`alam.        
 
 




[1] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, alih bahasa, Ali Audah, cet. XXIX, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2003), hlm. 2.
[2] Ibid, hlm. 3.
[3] Kabilah-kabilah yang pernamenguasai Mekah antara lain Amaliqah, Jurhum, Khiza’ah dan yang terakhir adalah Quraisy. Lihat, Siti Maryam, Muhammad Wildan, dkk, (edt), Sejarah peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 22.
[4] Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Mesir: Maktaba An-Nahdhah Al-Misyriyah, 1933), hlm. 6-11.
[5] Ibid, hlm. 55-59.
[6] Siti Maryam, Muhammad Wildan, dkk, (edt), Sejarah peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 29-30.
[7] Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Mesir: Maktaba An-Nahdhah Al-Misyriyah, 1933), hlm.71.
[8] Ibid, hlm. 74.
[9] Ibid. Op.Cit. dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan “ sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”. Dan hal ini didukung oleh hadis Nabi yang mengatakan bahwa ” bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru kedalam fanatisme atau mengangkat senjata dikarenakan fanatisme”.
[10] Tatanan sosial masyarakat dibenahi sesuai dengan misi yang dibawa oleh nabi dan tentunya itu harus cocok dengan tuntunan ajaran Ilahi dalam Al-Qur'an serta menghapus nilai-nilai sukuistik-individualistik tradisi masyarakat Arab pra Islam, lihat dalam buku Marshal Hodgson, h. 500.  
[11] Lihat Hodgson, Marshal G.S. The Venture of Islam,  diterjemah oleh: Mulyadi Kartanegara H. 258. 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Peradaban Islam Sebelum Nabi Muhammad "

Post a Comment