Image1

Oposisi dalam Pemerintahan Perspektif Fiqh Siyasah

OPOSISI MENURUT PERSPEKTIF FIQH SIYASAH

A.    Prinsip Ketaatan Kepada Pemimpin

Pemerintahan yang demokratis merupakan landasan terciptanya tata kepemerintahan yang baik (good governance). Pemerintahan yang demokratis menjalanakan tata kepemerintahan secara terbuka terhadap kritik dan kontrol dari rakyatnya. 
Prasyarat terpenting dari kehidupan oposisi adalah prasyarat sistemik, yakni adanya sebuah sistem yang membiarkan tumbuhnya keragaman, terbinanya kompetisi antar kelompok, tumbuhnya toleransi ideologi dan mekanisme pengawasan berjalan secara efektif.[1]
Dalam pemerintahan Indonesia Sikap oposisi belum berjalan secara optimal, karena trauma terhadap pemerintah otoriter dimasa lalu. Pada masa Orde Lama sikap kritis rakyat tidak mendapat dukungan dari pemerintah, sebaliknya pemerintah melakukan tindakan represif terhadap rakyat yang berani mengkritik. Sehingga sikap oposisi pada masa ini tidak dapat berkembang dengan baik.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, nasib oposisi tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa ini proses kooptasi dan ancaman represif dijalankan terhadap kekuatan-kekuatan sosial maupun politik di luar birokrasi. Sehingga tidak ada kekuatan kritis maupun oposisi yang secara efektif dapat menjadi kekuatan kontrol (check and balance) terhadap pemerintah.
Secara jelas Islam mewajibkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada umara dan mengharamkan kepada setiap kuam muslimin untuk mendurhakai perintah amir.[2] Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. yang berbunyi:
ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم   [3]
Kepatuhan individu kepada negara merupakan hak syar'i (hak yang bersumber pada syariat) negara atas warganya. Setiap individu wajib melaksanakan perintah-perintah, peraturan-peraturan dan rencana-rencana yang telah ditetapkan negara untuk merealisir kepentingan umum dan tujuan-tujuan negara.[4]
Karena pentingnya kepatuhan serta pengaruhnya yang sangat besar pada kejayaan negara, Islam memerintahkan setiap orang untuk patuh kepada negara baik dalam hal yang disenangi ataupun tidak. Rasulullah saw. bersabda:
السمع والطاعة على المرء المسلم فيما أحب وكره مالم يؤمر بمعصية فإذا أمر بمعصية فلا سمع و لا طاعة [5]
Hal ini dikarenakan ketaatan merupakan salah satu sendi hukum Islam dan kaidah ketatanegaraannya. Seseorang akan sulit membayangkan keberadaan suatu sistem yang sehat, negara yang kuat dan tetap, jika tidak ada pemerintahan yang adil, rakyat yang taat kepada pemimpin dan berlangsungnya musyawarah antara pemerintah dengan rakyat. [6]
Walaupun Islam menekankan kepada umatnya untuk mentaati ulil amri (pemerintah), tetapi ketaatan ini tidak bersifat absolut. Sebab ketaatan yang absolut akan mengakibatkan pemerintahan individualistis, diktator dan totalitas. Oleh karena itu Islam mewajibkan kepada rakyat untuk mentaati ulil amri itu dalam batas-batas tertentu.[7]
Ketaatan politis pada dasarnya adalah ketaatan yang bersifat kritis. Masyarakat mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapat dan diperbolehkan memberikan nasehat yang baik kepada pejabat-pejabat negara.[8] Sehingga kepatuhan ini diwajibkan selama tidak untuk melakukan maksiat.
Secara garis besar Islam memberikan batas-batas ketaatan kepada ulil amri (pemerintah) antara lain: pertama, jika ulil amri itu orang yang menjalankan syari'at Islam, jika ulil amri itu bukan orang yang menjalankan syari'at Islam maka tidak wajib ditaati. Kedua, hendaknya mereka berlaku adil terhadap sesama manusia. Jika mereka menjalankan kewajiban ini berarti rakyat wajib mentaati mereka, tetapi jika mereka berbuat zalim dan aniaya maka tidak wajib mentaati mereka.
Berangkat dari hal di atas, maka ketaatan rakyat pada masa pemerintahan otoriter, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru tidak wajib hukumnya, karena pemerintahan  yang berkuasa pada waktu itu tidak menjalankan kewajibannya secara benar. Bahkan Islam menganjurkan untuk melakukan oposisi (amar ma'ruf nahi munkar) terhadap penguasa yang dzalim.    

B.    Ketaatan Terhadap Konstitusi

Menegakkan suatu masyarakat yang adil dan jujur adalah suatu ajaran yang pokok dalam Islam. Kebajikan sosial yang fundamental dan menjadi dasar bagi tindakan moral seorang muslim tidak bersifat intra-individual melainkan bersifat kolektif .[9]
Pada tingkat individual, diserukan tindakan yang harus bertanggung jawab, sehingga tingkah laku yang positif lebih disukai daripada yang mengarah kepada kerusakan atau destruktif.[10]
Dalam kehidupan moral, orang mukmin harus mematuhi ajaran-ajaran hukum tuhan, rasa tunduk dan keinginan untuk menjunjung tinggi perintah-Nya adalah akibat dari iman yang memberikan konsep umum tentang masyarakat.[11]
Konsep kekuasaan modern cenderung menjadikan negara atau kepemimpinan politik memiliki kekuasaan konstitusi yang besar dalam kawasan hukum dan undang-undang.[12] Sedangkan konsep kekuasaan Islam menurut Ibnu Taimiyah, mereduksi negara sebagai suatu sarana untuk menerapkan hukum Allah Swt. atau syari’at.[13]
Otoritas dan kekuasaan yang memaksa adalah satu-satunya sarana yang dapat mengatasi rasa dengki, kesombongan, kecurigaan, dan keangkuhan pribadi, yang dengan demikian dapat melindungi semua warga kelompok secara timbal balik.[14]
Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat oleh ambisi pribadi adalah suatu bentuk penindasan sosial yang tidak sesuai dengan keadilan, sebaliknya penindasan terhadap individu oleh masyarakat merupakan suatu bentuk ketidakadilan.[15]
Gerakan oposisi di Indonesia merupakan sikap penentangan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah yang berkuasa, dengan kata lain sikap ini bertujuan untuk mengingatkan pemerintah agar tetap memprioritaskan kepentingan rakyat. Sikap seperti ini dalam Islam diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan untuk menegakkan prinsip amar ma'ruf nahi munkar.
Hal yang dilarang adalah sikap oposisi yang hanya bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah tanpa ada alasan yang dapat dibenarkan, seperti yang pernah terjadi pada masa demokrasi parlementer.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapat adalah salah satu dasar bagi tindakan oposisi terhadap pemerintahan, dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran.
Menurut Islam, segala sesuatu yang tidak melanggar hukum adalah sepenuhnya diperbolehkan. Dengan demikian tindakan oposisi (check and balance) terhadap pemerintah di Indonesia dibolehkan selama tidak melanggar undang-undang yang berlaku atau dengan kata lain harus konstitusional.

C.   Budaya Oposisi Dalam Islam

Islam, yang oleh sebagian kalangan dianggap compatible dengan demokrasi, sebenarnya telah mengakui eksistensi oposisi. Tidak hanya dalam bidang pemerintahan saja, akan tetapi dalam segenap bidang kehidupan yang menyangkut masyarakat luas. Hal ini telah dibuktikan pada masa kerasulan Muhammad saw. hingga periode-periode sesudahnya.[16]
Melakukan koreksi atau kritik terhadap para pemimpin atau pejabat yang melakukan kesalahan dan ketidakadilan adalah salah satu bentuk jihad yang paling besar.[17] Rasulullah saw. memerintahkan orang muslim agar melenyapkan kerusakan di dalam daulah dan menganggapnya lebih utama daripada menghadapi serangan musuh dari luar. Karena kebobrokan dari dalam inilah yang memancing serangan musuh dari luar. Sehingga beliau bersabda ketika ditanya tentang jihad yang paling utama.
إن من أعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر [18]
Dalam beberapa ayat al-Qur’an memerintahkan setiap muslim untuk tetap melaksanakan jihad dan menjadi komunitas yang tetap konsisten mengajak manusia untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran sebagai implementasi dari ajaran tauhid.[19] Dilihat dari berbagai substansinya kualitas a}hsani taqw>im atau sebaik-baik ciptaan dalam Islam bukan terletak pada sifat, postur tubuh dan aktifitas manusia melainkan keseluruhan komponen kepribadian yang khusus dimiliki manusia.[20]       
Islam menarik perhatian dan pandangan kaum muslimin ke arah yang lebih tinggi yaitu perbaikan dunia secara menyeluruh, pembebasan umat manusia dari perbudakan dan menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah kemungkaran serta mengajak mewujudkan kebaikan.[21]
Juga ada kewajiban untuk mengubah kemungkaran baik yang berasal dari penguasa maupun dari rakyat, yang berasal dari individu maupun kelompok karena kaum muslimin pada hakikatnya adalah prajurit-prajurit Allah swt. di muka bumi. Perbaikan keadaan di muka bumi terletak di tangan mereka dan wajib menghapuskan berbagai kejahatan yang ada.[22]
Islam mengajarkan bahwa seluruh aktivitas muslim tak lepas dari kehidupan sosialnya sekalipun dia memiliki kehidupan pribadinya. Agar kehidupan anggota masyarakat senantiasa dalam nilai-nilai Islam (baik agama mereka Islam atau bukan), maka budaya amar ma’r>uf nah>i munkar dan saling menasihati untuk menetapi kebenaran dikembangkan dalam konteks kewajiban agama dan kemaslahatan kehidupan sosial. Kewajiban negara adalah menerapkan peraturan guna mengatur interaksi antar anggota masyarakat. Dalam konteks inilah diperlukan mu}h>asabah alias kritik dan kontrol kepada penguasa.
Untuk membentuk masyarakat yang terbaik maka paling tidak ada dua karakter yang menjadi ciri utama, yaitu melaksanakan humanisasi ajaran Islam kepada manusia  yakni amar ma’r>uf nah>i munkar dan yang kedua beriman kepada Allah swt. (Q.S. 3:110).[23] Pelaksanaan amar ma’r>uf nah>i munkar adalah bagian dari iman yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim, karena apabila ditinggalkan maka musibah akan ditimpakan kepada mereka secara umum.[24]  
Menurut Yusuf Qardhawy, dengan konsekuensi keimanan seseorang dituntut untuk tidak bersikap pasif dalam menghadapi kemungkaran dalam bentuk apapun, baik politis, ekonomi, sosial atau budaya.[25]  
Lebih lanjut dijelaskan bahwa apabila seseorang hanya bersikap pasif dalam menghadapi kezaliman dan meremehkannya maka semua lapisan masyarakat akan menanggung akibatnya, baik bagi orang yang dzalim maupun bagi orang didzalimi.[26]
Rasulullah saw. bersabda:
إن الناس إذا رأو الظالم فلم يأخذوا على يديه أوشك أن يعمهم الله بعقاب منه [27]
Ajaran sosial Islam adalah memberi dukungan dan bantuan kepada orang-orang yang ditindas dan dirampas hak-haknya dengan berbagai cara.[28] Tujuan diturunkannya agama bukan merupakan pembatas dan penghalang manusia untuk berbuat kebaikan, kenal mengenal dan tolong menolong, melainkan sebagai khazanah dan rahmat agar kehidupan manusia dinamis dan tidak monoton.[29]
Allah Swt. berfirman:
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان  [30]
Manusia sebagai pengemban amanat ilahi dan khalifatullah di muka bumi menyadari bahwa semua yang ada pada mereka bukanlah milik mereka sendiri, jerih payah mereka bukan bagi kepentingan mereka sendiri dan tujuan hidupnya adalah untuk mewujudkan perdamaian di dalam masyarakat, baik perdamaian di kalangan individu, masyarakat maupun negara. Dengan demikian tidak ada peluang bagi timbulnya pertentangan dan pertikaian di kalangan individu, masyarakat dan bangsa.[31]     
Allah swt. berfirman:
والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون باالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسوله [32]
Budaya oposisi ini sebenarnya sudah ada sejak permulaan Islam, sistem }hasbah (koreksi) pada dasarnya merupakan praktek orisinal yang telah dicetuskan Islam sebagai suatu kewajiban hidup yang menjadi kebutuhan darurat sosial dan berdasarkan na}s-na}s yang seluruhnya sepakat bahwa }hasbah itu harus dilaksanakan.[33]
Oposisi dalam sejarah Islam lebih banyak bersifat perorangan, sehingga pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan atau perwakilan tanpa harus membentuk partai. Setiap orang yang beroposisi bukan memperjuangkan ideologi partai, melainkan penegakan nilai-nilai kebenaran sesuai dengan tuntunan Allah swt. dan Rasul-Nya. Dengan kata lain oposisi adalah hak individu yang ditopang oleh sikap kritis terhadap kondisi sosial yang menyangkut kepentingan umat. Bisa juga melalui perwakilan dengan menunjuk orang-orang yang mempunyai pengetahuan tertentu.
Mencermati budaya mu}h>asabah (kritik dan kontrol kepada penguasa) di masa rasul dan para khulafaur rasyidin, para pelaku mu}h>asabah adalah rakyat yang terdiri dari para sahabat terkenal maupun orang yang tidak dikenal. Bahkan orang badui sekalipun pernah menyampaikan wasiat taqwa kepada Khalifah Umar.
Terkadang dalam menghadapi suatu kemunkaran tindakan individu saja tidaklah cukup, apalagi jika kemungkaran itu berasal dari penguasa. Oleh karena itu diperlukan jalinan kerja sama antara individu atau kelompok. Dengan demikian akan tercipta suatu tindakan kolektif (‘amal jam>a’i), baik berupa perkumpulan atau partai.[34] Hal ini merupakan tindakan yang dibolehkan bahkan merupakan sesuatu yang diwajibkan agama, karena ini merupakan urgensi yang praktis.[35]      
Oleh karena itu keberadaan lembaga-lembaga yang kuat, yang berani mengingatkan para penguasa agar selalu berada pada rel syariat (Muh>asabah al-hukk>am) adalah disyariatkan dalam Islam.[36]
Menurut pandangan Syaikh Abdurrahman Abdul Karim seorang tokoh ternama dalam gerakan kaum salaf Kuwait seperti yang ditulis oleh Fahmi Huwaydi, bahwa: [37]
1.      Lembaga-lembaga dan sarana-sarana (partai-partai, jamaah-jamaah) ini bukan merupakan suatu hal haram atau dosa, tetapi ia termasuk ma}s>alih mursalah dan tak ada na}s syar’i yang melarangnya.
2.      Pembentukan partai-partai, kelompok-kelompok, atau perkumpulan-perkumpulan dengan segala macam bentuk sistem demokrasi diperbolehkan dengan catatan bahwa pendapat dan visinya tidak menetapkan hal-hal yang dilarang agama dan tidak merestui mereka berbuat kebatilan. Mereka harus melalui jalan damai dan dakwah yang terbuka, guna mengubah dan menghilangkan politik kekerasan dan terselubung. Ini semua pada hakekatnya terpuji dalam agama, bahkan merupakan pokok dalam berdakwah. 
Di masa kini, di mana banyak partai politik dan ada anggota dewan perwakilan rakyat, maka fungsi dan kewajiban itu sudah semestinya diemban oleh mereka. Allah swt. berfirman:
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون [38]
Memang, tidak ada amar ma’r>uf nah>i munkar yang lebih utama dari amar ma’r>uf nah>i munkar yang dilakukan terhadap pemerintah yang berkuasa menjalankan pemeliharaan urusan umat. Dan tidak ada yang lebih efektif melakukan amar ma’r>uf nah>i munkar kepada pemerintah kecuali partai politik. Ini bukan berarti menafikan aktivitas perorangan. Hanya saja sebuah partai politik memiliki kemampuan mengemban tugas lebih kuat daripada perorangan.
Dalam Islam partai-partai tidak memiliki pretensi untuk menjatuhkan dan menggantikan pemerintahan yang sah. Partai-partai itu menjadi pengawal di masyarakat agar sistem kehidupan tetap berlangsung, pemikiran Islam yang murni dan jernih menjadi opini umum masyarakat, perasaan Islam yang luhur menjadi perasaan dan norma umum masyarakat, dan peraturan Islam menjadi pemecah problem-problem yang terjadi dalam interaksi masyarakat.
Partai menjaga agar penguasa memelihara terjaminnya urusan dan kemaslahatan masyarakat serta menegakkan sanksi hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang nyata terjadi. Dengan demikian kesejahteraan dan keadilan dapat diperoleh dan dirasakan oleh segenap anggota masyarakat, baik muslim maupun non muslim.
Dalam al-Qur’an terdapat prinsip-prinsip yang dapat diangkat menjadi konsep lembaga kontrol terhadap kekuasaan yakni amar ma’r>uf nah>i munkar. Prinsip ini menghendaki bahwa kekuasaan yang melakukan kemungkaran seperti pemerintahan yang korup, represif atau otoriter harus bisa diluruskan melalui lembaga musyawarah atau yang biasa disebut lembaga perwakilan.[39]
Sebagian fuqoha sepakat bahwa landasan khi}tab Islam terutama kebebasan, keadilan dan musyawarah membuat suatu kaidah yang sangat berarti bagi adanya oposisi dalam Islam.[40] Mereka membenarkan oposisi dalam mengkritik para penguasa dan aparatnya, baik dari segi politiknya maupun dari segi yang lain.[41]
Dengan demikian gerakan oposisi yang ada di Indonesia, baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh lembaga merupakan kegiatan yang sangat mulia dan perlu di kembangkan dalam kehidupan bernegara. Alasan tidak diperkenankannya oposisi formal atau oposisi parlementer, tidak menghalangi untuk melakukan oposisi terhadap penguasa. Oposisi secara luas lebih dimaksudkan sebagai sistem norma untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

D.   Batas-Batas Melakukan Oposisi
Kemerdekaan dalam Islam bukan berarti bebas tanpa batas yang tidak mengenal norma-norma tertentu, atau melawan undang-undang, karena dengan kemerdekaan seperti itu tidak mungkin tercipta suatu kehidupan yang sehat, akan tetapi yang dimaksud dengan kemerdekaan ialah kebebasan yang konstruktif yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran dalam jiwa dan cara berfikir, bukan yang bersifat destruktif.[42]        
Oleh karena itu kritik dan saran yang dilayangkan kepada penguasa harus memiliki standar yang jelas. Tanpa standar jelas kritik dan saran tak akan menemui sasaran bahkan cenderung dicurigai dan disalahpahami. Inilah yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat sangat relatifnya aturan-aturan dan ide-ide serta tolok ukur yang dikembangkan. Dengan adanya standar kritik dan rujukan yang pasti, maka dialog antara rakyat dan penguasa bisa terjadi secara patut dan konstruktif.
Oleh karena itu, kebebasan dan kemerdekaan senantiasa berlandaaskan pada komitmen moral dan aturan. Tata nilai dan norma bukanlah suatu penghalang tetapi sebagai neraca pengendali. Umat Islam dituntut untuk selalu memiliki komitmen moral membasmi kebathilan dan kemungkaran, apabila ia meninggal dunia karena menjalankan kewajiban tersebut, maka dia meninggal dalam keadaan syahid. [43] 
Hal yang dilarang dan harus dihindari dalam melakukan oposisi adalah dengan menggunakan senjata, yang dapat mengancam keberadaan negara, meresahkan masyarakat serta menghancurkan persatuan.[44] Oleh karena itu terhadap kaum pemberontak yang tidak patuh, tentu saja negara harus dan perlu diberi hak untuk menumpas mereka, karena mereka menjadi sumber kerusuhan.[45]
Dengan demikian prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam menjalankan amar ma’r>uf nah>i munkar yaitu pertama,bertujuan untuk menciptakan kedamaian. Islam adalah universal religion of peace yang menekankan kedamaian bagi seluruh alam (rah{matan lil ‘>alam>in).
Kedua, berani menyuarakan kebenaran, karena bersikap diam terhadap kezaliman bukanlah sikap yang bijak Rasulullah saw. bersabda :

قل الحق إن كان مرا  [46]

Ketiga, menghindari kerusakan harus didahulukan dari pada yang lain. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi :
درء المفاسد أولى من جلب المصالح فإذا تعارض مفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا   [47]
Keempat, dalam melaksanakan amar ma’r>uf nah>i munkar harus disertai dengan kesabaran, keuletan dan ketegaran. Kelima, harus dilandasi dengan kasih sayang dan mudah memaafkan terhadap sesama. Sikap lembut, ucapan yang sejuk dan konsisten mengajak ke nilai-nilai yang benar secara psikologis akan lebih mudah mengingatkan dan menyadarkan seseorang.[48]
Terlepas dari siapa yang melakukan kegiatan oposisi ini, Islam hanya membolehkan kritik yang bersifat proporsional dan konstitusional (al-Maui}zah al-}Hasanah), agar transformasi politik tetap berada dalam kondisi yang stabil. Karena tujuan kritik itu adalah agar dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan tidak membawa kerusakan pada sendi-sendi kemasyarakatan.[49]

E.    Tujuan Oposisi Dalam Islam
Dalam Islam tidak dikenal pemisahan (differensiasi) antara yang profan dan yang sakral. Islam memandang bahwa politik merupakan tugas keagamaan dan keduniawian sekaligus yang dilakukan secara simultan. Oleh karena itu politik sebagai aktivitas kongkrit manusia dalam kehidupan tidak dipahami hanya sebagai pemenuhan tugas keduniawian yang lebih banyak mengejar kepentingan-kepentingan pragmatis dengan orientasi yang bersifat jangka pendek. Politik diberi muatan nilai-nilai dan moralitas keagamaan sehingga politik menemukan kenyataan hakikinya sebagai refleksi tanggung jawab (amanah) manusia, baik secara kemanusiaan maupun ketuhanan.[50]  
Berdasarkan konsep politik demikian, maka orientasi politik dalam rangka mendapatkan kekuasaan (power) diperoleh dengan menggunakan pertimbangan moralitas politik, tidak semata-mata untuk kekuasaan itu sendiri melainkan lebih diperuntukkan bagi kemanusiaan secara menyeluruh.[51]       
Rakyat dan bangsa yang merdeka adalah rakyat yang kritis dan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kemaslahatan bangsanya, serta menjadikan amar ma’r>uf nah>i munkar sebagai bagian integral dari kehidupannya.[52]
Sesuai dengan makna amar ma’r>uf nah>i munkar yang bertujuan untuk menegakkan haq dan keadilan dimuka bumi. Al-}haq identik dengan mengajak kejalan Allah swt. yang haq. Misi ini bersifat universal dan tidak dibatasi dimensi ruang dan waktu hingga Nabi saw. mengisyaratkan dan memprediksi bahwa akan senantiasa ada golongan terpilih (}t>aifah) yang tidak henti-hentinya memperagakan kebenaran.[53] 
Realitas politik menunjukan bahwa perjalanan pemerintahan tidak selamanya berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, dengan kata lain hubungan antara pemerintah dan rakyat yang tidak setuju merupakan bagian baku dari setiap pengalaman politik umat Islam. Tidak ada pemerintahan yang didukung sepenuhnya dalam segala hal oleh rakyat yang diperintah.[54] 
Dalam memperjuangkan ideologi emansipatoris (amar ma’r>uf) dan menghadang dehumanisasi (nah>i munkar), masalah keadilan sebagai cita-cita kolektif dalam tingkat struktur atau basis, harus menjadi agenda politik utama untuk dicarikan cara-cara politik yang mampu menyatukan kelompok masyarakat yang tertindas (we are people of subordination within a multiple of identities), sehingga dengan demikian ada kekuatan sejarah yang harus bergerak sebagai agents of social change menuju pembaharuan masyarakat yang lebih adil.[55]
Pada hakekatnya oposisi terletak pada kejernihannya memandang segala sesuatu serta konsistensi sikapnya dalam menyokong kebenaran. Dalam politik kebenaran biasanya diukur dari seberapa adil setiap rumusan dan implementasi sebuah aturan atau kebajikan. Dengan demikian kebenaran dalam politik dapat didefinisikan secara pragmatis sebagai kebijakan publik yang partisipatif dan menghasilkan keadilan.[56]





[1] Eep SAefullah Fatah, Membangun Oposisi, hlm. xiii
[2] Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam: Suatu Telaah Tentang Tata Hukum, Keadilan, Ketaatan, dan Syura (Yogyakarta: PLP2M, 1987), hlm. 82.
[3] An-Nis>a’ (4) : 59. 
[4] Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, alih bahasa Abdul Aziz, (Jakarta:  Yayasan al-Amin, 1984), hlm. 87.
[5] Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu'lu wa al-Marjan (Beirut:  D>ar al-Fikr, tt), II:246, hadis| nomor 105, "Kitab al-Im>arah", "Bab Wuj>ub }Taat al-Umara' F>i gairi Ma'}siyatin wa Tahr>imih>a F>i al- Ma'}siyatin", hadis| ini masyhur di kalangan ulama, diriwayatkan dari al-Bukhori.  
[6]  Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem, hlm. 81.
[7]  Ibid., hlm. 225.
[8] M. Dzulfikriddin, “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah”, al-Fatah, hlm. 83.
[9] Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, alih bahasa M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 69.
[10] Khurshid Ahmad, Pesan Islam, alih bahasa Achsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 123.
[11] Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, alih bahasa M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 59.  
[12] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: telaah politik Ibnu Taimiyah tentang pemerintahan Islam  alih bahasa Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 62.
[13] Ibid.
[14] Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, hlm. 159.
[15] Syed Qutb, “Pendekatan Islam terhadap Masalah Keadilan Sosial” dalam Khurshid Ahmad, Pesan Islam, hlm. 150.
[16] Maksun, “Islam dan Gagasan Oposisi Loyal”,  http://www.suaramerdeka.com/harian /0405/14/opi3.htm, Aksses 11 Agustus 2004.
[17] Kusnadi, “Konsep Jihad Menurut al-Hadits”, Al-Fatah, No. 20/Vol. XXII/Juni 2002, hlm.35.
[18]  Sunan Tirmidzi, J>ami’ as-}Sa}h>i}h,  cet. ke-2 (Beirut: D>ar al-Fikr, 1983), III:318. hadis ini diriwayatkan dari Q>asim bin d>in>ar al-K>ufi diceritakan dari ‘Abd ar-Ra}hman bin Mus’ab Ab>u Yaz>id dari Isr>a>il dari Muhamad bin Ju}h>adat dari ‘A}tiyyah dari Ab>i Sa>id al-Khudr>i. Kualitas hadis ini }hasan.
[19]  Kusnadi, “Konsep Jihadhlm. 36.
[20]   Ibid., hlm. 18.
[21]  Sayyid Qutb, Islam dan Perdamaian Dunia, alih bahasa Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 91.
[22]  Ibid., hlm. 92
[23]  Kusnadi, “Konsep Jihad, hlm.39
[24]  Al-Munzir, al-Targhib wa al-Tarhib Min al-Hadis al-Syarif (Beirut: D>ar al-Fikr,1993), hlm. 230.
[25] Yusuf Qardhawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah, Alih Bahasa Kathur Suhardi, cet. ke-3, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), hlm. 129 
[26]  Ibid., hlm. 130.
[27]  Sunan Tirmidzi, J>ami’ as-}Sa}h>i}h, III: 316.  Hadis ini diriwayatkan dari A}hmad bin man>i’ diceritakan dari Yaz>id bin h>ar>un dikabarkan dari Isma’>il bin Ab>i Kh>alid dari Qais bin Ab>i }H>azim dari Ab>i Bakar as-}Sidd>iq. Kualitas hadis ini }sa}h>i}h.
[28] Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, alih bahasa Nurasiah Fakih Sutan Harahap, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 205.
[29] Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam: Pluralisme Budaya dan Politik (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), hlm. 1.
[30]  Qs. al-M>aidah (5): 2.
[31] Sayyid Qutb, Islam, hlm. 91.
[32] At-Taubah (9): 71
[33] Abdul Hadi Asy-Syal, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur, Alih Bahasa Anshori Umar Sitanggal, (Jakarta: Pustaka Dian, 1987), hlm. 263.
[34]  Yusuf  Qaradhawy, Fiqh Daulah, hlm. 130.
[35]  Ibid.
[36] “Mengatur Wakil Rakyat dengan Syari’at”, http://www.hayatulislam.net/comments. php? id=336_0_1_0_C4,  Akses 13 September 2004.
[37] Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: isu-isu besar politik Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 112.
[38] Qs. Ali Imran (3):104
[39] Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 9.  
[40]  Fahmi Huwaydi, Demokrasi, hlm. 141.
[41]  Ibid., hlm. 142.
[42] Abdul Hadi asy-Syal, Islam Membina, hlm. 218.
[43] Jabir Qumaihah, beroposisi, hlm. 30.
[44] Fahmi Huwaydi, Demokrasi, hlm. 142 , bandingkan dengan Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik, hlm. 89.
[45] Abdul Hadi asy-Syal, Islam Membina, hlm. 225
[46] Ibnu Hibban, }Sa}hi}h Ibnu }Hibban,  (Beirut: D>ar al-Fikr, tt), I: 97.
[47] Jalaluddin as-Suy>u}ty, al-Asyb>ah wa an-Na}z>air (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M), hlm. 63.
[48] Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 94-98.  
[49] Maksun, ”Islam dan Gagasan Oposisi Loyal”, http://www.suaramerdeka.com/harian/ 0405/14/opi3.htm, Akses 11 Agustus 2004.
[50]  Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik (Yogyakarta: SI Press, 1994), hlm.  42.
[51]  Ibid.
[52] Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, cet. ke-2 (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 203   
[53] Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 90.
[54] John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, hlm.2.
[55] Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 48.
[56] Eep Saefullah Fatah, Membangun Oposisi, hlm. xii.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Oposisi dalam Pemerintahan Perspektif Fiqh Siyasah"

Post a Comment