Kota Kudus Jawa Tengah dalam Potret Sejarah : Asal-usul Sejarah Kota Kudus dan Sosio Kultur
Sejarah Kota Kudus Tempo Dulu| Sejarah Asal Usul Kota Kudus | Cerita Legenda Kota Kudus
KOTA KUDUS JAWA TENGAH
Kota “suci”
Kudus, seperti dituturkan De Graaf dan Pegeaud, sejak dahulu sudah terkenal di
Jawa dan bahkan di Nusantara sebagai Pusat Agama Islam, Masjid besarnya diberi
nama Al-Mana>r atau Al-Aqs}a> seperti
masjid suci di Bait al-Maqdi>s. Para pengunjung Barat sudah sejak abad 17. Antonio Hurdi,
dalam ekspedisinya ke Kediri pada tahun 1678 mengagumi Menara raksasanya, suatu
bangunan yang kukuh tampan yang arsitekturnya jelas diilhami oleh candi-candi
zaman Pra Islam. Sunan Kudus dan masyarakatnya tidak merasa perlu untuk memusnahkan segala
sesuatu yang mengingatkan kepada kemusyrikan zaman itu atau melupakannya sama
sekali.[5]
Para pekerja pabrik rokok terdiri dari laki-laki,
perempuan bahkan ada anak-anak. Pada umumnya laki-laki sebagai pengawas,
perempuan sebagai penggiling rokok, dan anak-anak merapikan rokok yang telah digiling
(mbatil). Sejalan dengan kemajuan teknologi,
pabrik rokok yang semula manual kini dilengkapi dengan peralatan modern.
Perusahan rokok yang terkenal di Kudus antara lain: perusahaan rokok Djarum,
rokok Sukun, rokok Jambu Bol, dan Langsep. Perusahan rokok Djarum adalah perusahan
terbesar dari lainnya. Perusahan yang disebut terakhir ini milik orang China ,
sementara yang lain milik pribumi. Selain perusahaan-perusahan rokok besar, di
Kudus terdapat juga perusahaan-perusahaan rokok kecil (home industri) yang jumlahnya tidak sedikit dan bahkan mencapai
puluhan.
Para penganut Ahl
al-Sunnah Wa al-Jama>>’ah membentuk suatu organisasi bernama Jam’iyah Nahd}atul ‘Ulama’, atau
disingkat menjadi NU.
BAB II
A. Latar Belakang Historis
Kudus
adalah kota
yang unik dan menarik. Unik karena ia merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang mengambil nama dari
kata bahasa Arab “Qudu>s” yang berarti suci. Menarik karena di kota ini terdapat
beberapa tempat peninggalan sejarah seperti Masjid al-Mana>>r atau al-Aqs}}}}a> yang
kemudian lebih popular dengan sebutan “Masjid Menara Kudus”, dijumpai juga
makam Sunan Kudus, makam Sunan Muria dan Masjid Muria yang berdiri kokoh di
puncak gunung. Lebih dari itu kota
ini telah melahirkan tokoh-tokoh nasional dan ulama’ besar seperti alm. H. Subhan
ZE, KH. R. Asnawi, alm. KH.
M. Arwani Amin al-H}afi>z}, dan alm. KH. Turaikhan
Adjuhri asy-Syarafi al-Farlaqi.[1]
Kota Kudus
selalu dihubungkan dengan Sunan Kudus, Dja’far Sadiq, salah
seorang wali sembilan yang pada abad 16 M dan dimakamkan di kompleks Masjid
Menara, tepatnya di belakang Masjid. Beliau mendirikan masjid ini pada tahun
1543 M. bertepatan dengan tahun 950 H.[2] Beliau pula
yang awal mula mendirikan Kota
ini menjadi kota
Kudus. Konon nama Kudus didasarkan pada nama batu peringatan yang sekarang
terletak di atas mihrab Masjid tersebut. Batu yang
bertuliskan dan berbahasa Arab itu dibawa oleh Sunan Kudus dan Baitul Maqdi>s sebagai oleh-oleh ketika ia
pergi haji kemudian singgah ke sana
untuk memperdalam ilmu Islam.[3]
Sunan Kudus
dianggap orang yang paling berjasa sebagai penyebar agama Islam di kota ini,
yang pada masa pra Islam merupakan tempat konsentrasi beberapa agama, terutama
agama Hindu dan Budha. Kini, mereka yang menyatakan dirinya sebagai keturunan
Sunan Kudus bergelar Raden. Mereka mempunyai hak istimewa, meskipun sekarang
sudah tidak sehebat dulu lagi. KH. R. Asnawi adalah seorang Ulama’ besar Kudus
yang merupakan salah seorang dari keturunan Sunan Kudus yang wafat pada akhir
tahun 1959 M. Di samping itu beliau adalah sebagai pendiri Nahdlatul Ulama’
(NU) di wilayah ini dan sebagai tokoh Serikat Islam (SI) terkemuka di Kudus.
Selain
Sunan Kudus, tercatat dua nama lagi yang telah berjasa pada awal perkembangan
Islam di Kudus, yaitu Kyai Telingsing dan R.Umar Sa’id (Sunan Muria). Mbah Kyai
Telingsing wafat dan dimakamkan di daerah Sunggingan. Ia merupakan salah satu
guru Sunan Kudus. Sementara orang menyatakan
bahwa beliau adalah seorang Tionghoa yang masuk Islam. Nama Telingsing
merupakan singkatan dari nama Tionghoa yaitu The Ling Sing, Kyai Telingsing
adalah seorang pemahat yang termasuk dalam aliran seni pahat “Sun Gin” yang terkenal dan diduga dari kata
“Sun Gin” yang kemudian dijadikan sebagai nama kampung. Kampung Sunggingan
terdapat di Kota Kudus sampai sekarang. R. Umar Sa’id (Sunan Muria), yang termasuk
salah seorang dari wali sembilan, adalah kakak ipar Sunan Kudus, karena Dewi
Sujinah, istri Sunan Muria adalah kakak perempuan Sunan Kudus.[4] Sunan
Muria wafat dan dikuburkan di kompleks Masjid di puncak gunung Muria, 18 km
sebelah utara kota
Kudus.
Sejak abad
18 kota Kudus sudah berada di bawah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda dan,
menurut Masyhuri, pada tahun 1918 penduduk yang tinggal di wilayah kota Kudus
berjumlah sekitar 40.000 orang, terdiri atas pribumi, Eropa, Cina dan
orang-orang Timur Asing lainnya. Sebagian besar dari mereka adalah pedagang.[6]
Pengelompokan ini, menurut Masyhuri, dapat dilihat atas dasar perbedaan ras.
Berdasarkan latar belakang sejarahnya, masing-masing kelompok sosial ini
mempunyai perbedaan-perbedaan, baik misalnya dibidang agama, maupun adat
istiadat. Perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat sering kali disebut
sebagai ciri masyarakat Indonesia
yang bersifat majemuk.
Orang-orang
Belanda yang datang ke Indonesia
mula-mula bertujuan untuk berdagang, namun tujuan itu berubah setelah mengetahui
kehidupan masyarakat Indonesia ,
sehingga mereka mulai merambah dalam memandang masalah masyarakat. Politik dan
ekonomi yang terjadi tidak sebagai warga negara melainkan sebagai kapitalis
atau majikan dari buruh-buruh mereka. Elite politik di sini mencakup pula elite
politik daerah, yang terdiri dari Bupati yang menjalankan kekuasaan pribadi
atas rakyat dan dibantu oleh pengikut-pengikutnya.
Selain
orang-orang Belanda, ada golongan orang-orang China . Golongan ini merupakan
golongan terbesar di antara orang-orang Timur Asing lainnya. Golongan ini
menempati kedudukan menengah setelah orang-orang Belanda sebagai penguasa
orang-orang pribumi. Orang-orang
China merupakan
orang-orang yang di bawah civil code
orang-orang Belanda dalam sebagian besar transaksi komersial mereka dan ini
memberikan kepada mereka kedudukan sosial yang lebih tinggi dari penduduk asli.
Orang-orang China pada umumnya berdagang dan
banyak lagi sebagai rentenir. Seperti halnya orang-orang Belanda, orang-orang China datang ke
Indonesia
juga semata-mata untuk kepentingan ekonomi.
Golongan
pribumi merupakan golongan setelah orang-orang China . Golongan ini dibagi menjadi
tiga golongan. Pertama, golongan priyai yang meliputi penguasa-penguasa
pemerintah dan yang lebih dekat dengan orang-orang Belanda. Kedua, golongan
elite agama yang menduduki fungsi kepemimpinan informal dalam masyarakat.
Ketiga, golongan pedagang namun golongan ini banyak diisi oleh golongan elite
agama. Artinya banyak sekali uluma’ dan haji-haji yang berdagang, selain itu
minoritas golongan ini adalah orang-orang biasa. Keempat golongan petani dan
buruh, mayoritas golongan ini adalah masyarakat jelata atau dengan kata lain
mayarakat desa (wong cilik).
Selain
ketiga golongan di atas, masih ada lagi kelompok kecil orang-orang Arab dan India . Kelompok
ini merupakan kelompok terkecil dari lainnya. Kebanyakan kelompok ini selain
beraktivitas sebagai pedagang juga sebagai penyeru agama Islam. Walaupun
sebagai kelompok kecil, kelompok ini adalah kelompok yang dekat dan membaur dengan
masyarakat pada umumnya. Dalam misinya kelompok ini bisa di katakan berhasil,
karena agama yang dibawanya pada kenyataannya berkembang pesat sampai sekarang.
B. Letak Geografis
Kudus
adalah Kota Kabupaten berada 51 kilometer arah Timur laut dari Kota Semarang,
ibukota propinsi Jawa Tengah. Terletak di antara 110 36’ dan 110 50’ Bujur
Timur serta 6 41’ dan 7 16’ lintang Selatan, berketinggian rata-rata 55 meter
dari permukaan air laut dan bertemperatur sedang dengan curah hujan rata-rata
di bawah 3000 mm/ tahun. Wilayah kabupaten yang berada di dataran rendah ini
dibatasi oleh kabupaten Jepara di sebelah Utara, kabupaten Pati di sebelah Timur,
kabupaten Grobogan di sebelah Selatan, dan kabupaten Demak di sebelah Barat.[7]
Kota Kudus
terbagi menjadi dua bagian, yaitu Kudus Kulon (Kudus Barat) berada sebelah
barat sungai Kaligelis, dan Kudus Wetan (Kudus Timur). Di Kudus Kulon terdapat
masjid Menara Kudus dan tempat-tempat pendidikan agama (pesantren dan madrasah)
terutama pesantren al-Qur’an. Sedangkan di Kudus Wetan, terdapat lokasi
perkantoran pemerintahan dan tempat perniagaan serta tempat pendidikan umum,
akan tetapi juga terdapat pesantren. Namun pesantren di Kudus Wetan lebih
ditekankan belajar kitab kuning. Dengan banyaknya pondok pesantren yang ada di
Kudus banyak orang menyebut Kota Kudus adalah “Kota Santri.”
Kabupaten
Kudus memiliki luas daerah 42.515,644 ha, terbagi 9 Kecamatan dan satu di antaranya
adalah kecamatan Kota
dengan luas wilayah 1.047,316 ha.[8] Kecamatan
ini terdiri dari 18 desa dan 7 kelurahan. Di kota inilah pondok pesantren Tah}fi>z} Anak-anak Yanbu>’ al-Qur’a>n berdiri. Tepatnya
di Dukuh Kebon Agung Desa Krandon Kecamatan Kota Kabupaten Kudus Propinsi Jawa Tengah.
Desa Krandon berada di ujung utara Kecamatan Kota, 1 kilometer arah utara Masjid Menara Kudus. Desa ini merupakan
daerah strategis dan tepat sebagai tempat menghafal al-Qur’an, karena daerah
ini jauh dari keramaian, kebisingan lalu lintas, dan sepi.
Batas
wilayah yang membatasi desa Krandon dengan desa lain adalah:
1.
Sebelah utara desa
Peganjaran Kecamatan Bae
2.
Sebelah selatan desa
Kejeksan Kecamatan Kota
3.
Sebelah barat desa Bakalan
Krapyak Kecamatan Kaliwungu
4.
Sebelah timur desa
Singocandi Kecamatan Kota
Letak kota
Kudus sangat strategis dan merupakan daerah pantura serta perlalulintasan
penghubung dengan daerah sekitarnya, baik di daerah sebelah timur; daerah Pati,
Tayu, Juwana, Rembang, Lasem, Blora, dan sampai ke daerah Jawa Timur. Daerah
sebelah barat; daerah Jepara. Penduduk daerah tersebut biasanya menjadikan
Kudus sebagai Kota
lintasan yang menghubungkan dengan Kota Semarang.
Seperti
halnya Kota
lainnya, Kota Kudus memiliki alun-alun yang biasa disebut “Simpang Tujuh”. Letaknya
di depan gedung pemerintahan kabupaten Kudus dan terletak di arah timur laut
lurus dari kota
Semarang , di sebelah
baratnya terdapat Masjid, sebelah timur terdapat Mall. Kota Kudus pada 5 Juni
tahun 1996 mendapat gelar Kota
“Adipura Kencana”. Dari gelar itu sudah selayaknya Kota Kudus digolongkan
sebagai Kota
yang bersih dan rapi.
C. Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Kudus
Selain
Kudus terkenal dengan “Kota Santri”, Kudus juga terkenal dengan sebutan “Kota
Kretek”, karena Kudus merupakan daerah
konsentrasi industri rokok. Rokok bercengkeh ini sebagai barang perdagangan
pada tahun 1870.[9] Kota Kudus
mencatat nama Niti Sumito seorang pengusaha rokok kretek pribumi di zaman
sebelum perang. Perusahaannya bernama
“Tiga Bola”. Selain tiga bola, ada lagi rokok bermerk “Sepeda Motor” dan
“Motor Sedan”, keduanya milik H. Jufri.
Pada
periode awal perkembangan industri, industri rokok bukan merupakan satu-satunya
kegiatan perdagangan di Kudus. Ada
juga industri lain seperti industri batik, perdagangan ternak, dan lain-lain,
namun yang paling besar adalah industri rokok.
Di Kudus,
selain industri rokok ada juga industri tekstil, pakaian jadi (konfeksi),
logam, dan lain-lain yang jumlahnya mencapai (kurang lebih) 140 buah industri
besar dan kecil.[10] Salah satu
industri di Kudus selain rokok yang menjangkau perdagangan internasional
seperti industri kertas PT. Pura Barutama, industri tv PT. Polytron, dan industri
makanan ciri khas “Jenang Kudus”.
Masyarakat
Kudus yang dipersepsikan sebagai sebuah komunitas yang bercirikan sosial santri
muslim dengan tradisi ekonomi yang bertumpu pada perdagangan dan industri
diyakini berkaitan dengan sosok Sunan Kudus. Dalam tradisi tersebut digambarkan
bahwa selain sebagai seorang penyebar agama Islam yang fa>qih, Sunan Kudus juga sebagai pedagang yang ulet.[11]
Sepintas
lalu masyarakat Kota Kudus terlihat makmur, karena Kota kecil dan terdapat industri-industri
besar yang banyak menambah pendapatan daerah. Kebanyakan pekerjaan masyarakat
Kudus adalah karyawan/karyawati di salah satu perusahaan. Ada yang berdagang dan bertani, tetapi
apabila diteliti lebih jauh dan mendalam dengan menghayati fenomena
kemasyarakatan, tampaknya telah terjadi kesenjangan ekonomi sosial yang lebar,
khususnya antara karyawan/karyawati dengan petani. Mereka terbagi lagi antara
manager, kepala bagian (kabag), dan produksi, antara buruh tandur dengan majikan
tuan tanahnya, atau antara bos dan anak buahnya. Hampir seluruh manager, kabag
dan tuan tanah adalah orang kaya, makanya tidak heran mereka hidup mewah.
Pengelompokan-pengelompokan
sosial (social groupings) masyarakat
Kudus bertolak dari pluralitas subjek,
interaksi antara subjek-subjek itu, dan solidaritas atau kohesi
sosial mereka.[12] Masyarakar
Kudus yang terdiri dari karyawan/ karyawati dan petani sebagai pribumi dan
manager sebagai pendatang yang kemudian menjadi golongan elite memberikan nuansa heterogenitas
masyarakat yang bersifat pluralistik.
Pluralitas subjek menjadi salah satu faktor determinan terhadap timgkat
diferensiasi atau heterogenitas masyarakat. Semakin tinggi tingkat pluralitas,
semakin tinggi pula diferensiasi atau heteroginitas sosial masyarakat itu.
Akan tetapi
interaksi di antara mereka saling menguntungkan, karena karyawan/karyawati
masyarakat Kudus banyak tergantung pada manager. Bahkan mereka bisa
menghabiskan uang 2-5 juta rupiah untuk dapat masuk menjadi karyawan/karyawati
dengan sistem pembayaran kontan, yang akan dibayarkan ketika melamar pekerjaan.
Manager atau disebut sebagai wong sugih sangat
memberikan kontribusi positif bagi masyarakat pribumi. Akan tetapi, banyak juga
kasus ketika memanasnya interaksi, meskipun manager tersebut yang salah, baik
aparat kepolisian maupun aparat desa tetap akan membela manager sehingga hal
itu mengindikasikan bahwasanya manager merupakan kelompok primer (primary group) yang lebih dominan
dibanding karyawan yang lebih dikarenakan posisi dan nilai tawar mereka.
Dalam
hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, masyarakat Kudus secara ketat
mengidentifikasikan sebagai muslim yang taat sesuai ajaran agama Islam. Sebagai
perbandingan, sekitar tahun 1940-an masyarakat Kudus melarang membunyikan radio
transistor karena merupakan perbuatan yang tidak terpuji.[13] Hari
Jum’at dipakai oleh masyarakat Kudus sebagai hari libur dan hari yang baik
(utama).[14]
Sebagai
“Kota Santri”, niscaya di Kota Kudus terdapat banyak ulama’ (kyai) dan pondok
pesantren. Ulama’ (kyai) yang terkenal antara lain;
1. KH. Muhammad Arwani Amin al-H}a>fiz} (alm),
beliau adalah ahli dalam bidang al-Quran dan t}ari>qah, pendiri
dan pengasuh pondok pesantren yang bernama “Pondok
H}uffa>z} Yanbu>’ul Qur’a>n”. Beliau merupakan salah satu murid dari KH. Munawwir al-H}a>fiz} Krapyak
Yogyakarta dan Pemilik Yayasan Arwaniyyah
2. KH. Turaichan Adjuhri asy-Syarafi> (alm), beliau ahli dalam bidang fala>q yang biasa
membuat kalender (al-manak) dan
diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus, yang meliputi: kalender syar’i>>>, kalender
bulan umum, kalender bulan asapon,
dan kalender bulan pranata masa (Jawa).
3. KH. Sya’rani Ahmadi, beliau adalah murid dari KH. M. Arwani
dan KH. Turaichan, ahli dalam bidang al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau sering
memberikan pengajian kitab Tafsi>r Jala>lain di Masjid
Menara Kudus.
4. K.H. Ma’mun Ahmad (alm), pimpinan Madrasah Tasywi>qut}
T}ulla>b Salafiyah (TBS).
5. K.H. Ahmad Basyir, pengasuh pondok dan sohibul ijazah puasa ‘dalail’.
6.
Dan lain-lain.
Kehidupan
pesantren dan suasana religius mewarnai Kota Kudus. Selepas Mag}ri>b misalnya, hampir setiap rumah
terdengar suara orang melantunkan ayat-ayat al-Qur’an. Pada malam Kamis dan
Jum’at pagi masyarakat Kudus berbondong-bondong untuk menghadiri pengajian umum
Tafsir Jalalain yang diasuh oleh KH. Sya’rani Ahmadi yang bertempat di rumah H.
Chalis Janggalan dan di masjid Menara Kudus, yang dihadiri dari berbagai pelosok
desa maupun luar kota .
Berdasarkan
data dari Kantor Departemen Agama Kabupaten Kudus 2003/2004, jumlah pondok
pesantren ada 63, TPQ berjumlah 279 buah, MI berjumlah 111 buah, MTS berjumlah
28 buah, dan MA berjumlah 12 buah, serta
STAIN 1 buah.[15]
Secara
umum, hubungan intern dan antar umat beragama sangatlah baik, disertai hubungan
yang baik dengan pemerintahan Kudus. Hal itu dapat dilihat dalam kehidupan
sehari-hari. Mereka secara bersama-sama membangun Kota Kudus demi mewujudkan
stabilitas dan kesejahteraan bersama.
Dalam
bidang olah raga, Kudus dikenal sebagai Kota
pengorbit olahragawan bulutangkis yang potensial. Nama-nama pemain bulutangkis
yang berkali-kali menyandang gelar juara di berbagai turnamen internasional,
seperti Lim Swie King, Hartono Arbi, Kartono, dan Herianto berasal dari Kudus.
Selain bulutangkis, olah raga yang ada di Kota Kudus antara lain bola voli,
tenis meja , tenis lapangan, sepakbola, dan lain sebagainya.
Kesenian
tradisional Kota Kudus sampai saat ini adalah h}ad}rah (terbang)
dan barzanji>. Terbang
adalah instrumen musik yang biasa dipakai dalam seni ‘rebana’, barzanji> adalah bait dalam bahasa Arab (naz}am) yang dibacakan secara bersama-sama. Makanan ciri khas
Kudus antara lain; Soto Kudus, Jenang Kudus, Tahu Kudus, Lentog Kudus. Dari
empat buah makanan ciri khas Kudus itu yang menembus perdagangan nasional
maupun internasional adalah Soto Kudus dan Jenang Kudus. Jenang Kudus semacam
kue dodol yang bahan dasarnya terdiri dari tepung beras dan gula, dan yang
terkenal adalah yang bermerk “jenang tiga-tiga” milik H. Sohib (alm.) penduduk
pribumi Kudus salah seorang murid K.H. Muhammad Arwani Amin. Tradisi tersebut
hingga sekarang masih tetap hidup di kalangan masyarakat, maka tidak aneh
apabila masyarakat Kudus menjadi santri muslim yang taat sekaligus sebagai
pedagang, pengusaha, karyawan/karyawati yang gigih terutama dalam perdagangan
kain konfeksi dan bordir.
D. Ormas yang Berkembang di
Kota Kudus
Penduduk
kota Kudus pada tahun 2004 berjumlah 697.988 jiwa, masing-masing menganut agama
Islam 678.972 jiwa, Protestan 9.726 orang, Katholik 7.798 orang, Hindu 193
orang, dan Buddha 1.299 orang. Sedangkan sarana peribadatan yang tersedia di
Kudus, ada Masjid 29 buah, Mushalla 27 buah, Langgar/Surau 88 buah, 2 buah
Gereja Katholik, 9 buah Gereja Protestan, dan klenteng 2 buah.
Mayoritas
agama masyarakat Kudus adalah Islam, dan orientasi keberagamaan umat Islam
Kudus pada umumnya adalah Ahl al-Sunnah
Wa al-Jama>>’ah. Secara umum, perkataan Ahl
al-Sunnah Wa al-Jama>’ah diartikan
sebagai para pengikut Nabi Muhammad dan ijma’ al-ulama’ serta
kelompok yang selamat.[16]
Menurut KH. Bisri Mustafa bahwa faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama>>’ah adalah faham yang berpegang pada tradisi sebagai berikut:
1.
Dalam bidang hukum-hukum
Islam, menganut ajaran-ajaran salah satu maz|hab empat.
Dalam praktiknya, para pengikut faham ini adalah penganut kuat dari pada maz|hab asy-Sya>fi’i>.
2.
Dalam soal tauh}i>d, menganut ajaran-ajaran Ima>m
Abu> H}asan al-Asy’ari> dan Ima>m Abu> Mans}u>r
al-Ma>turidi>.
Bersamaan dengan faham
keagamaan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama>>>’ah (NU) yang mendominasi masyarakat
Kudus, di daerah Kudus juga berkembang beberapa T}ari>qah Qadariyah dan
Naqsyabandiyah di pondok al-Wusta
Desa Piji Kecamatan Dawe. Pengikutnya berjumlah sekitar 500 orang
laki-laki dan perempuan. Mursyid-nya adalah seorang kepala desa
yang juga seorang ulama’, yaitu K.H. Siddiq. Di Desa
Jetak Kembang Kecamatan Kota, dahulu ada Tariqah Naqsyabandiyah yang diasuh
oleh K. Ali dan menantunya, K. Anwar. Di Desa Pasuruhan Kidul Kecamatan Jati,
dulu terdapat tariqah yang dipimpin oleh K. Sabuni, namun tariqah ini
dianggap oleh banyak orang termasuk tariqah sesat. Dari pengakuannya, bahwa tariqah ini adalah
tariqah Naqsyabandiyah. Ajaran-ajaran tariqah ini
meninggalkan syari’ah yakni tidak mengerjakan salat al-fardu, tidak
mengerjakan kewajiban-kewajiban agama lainnya. Mereka lebih mementingkan ibadah
sunnah, seperti wirid dan sejenisnya. Tariqah ini juga bersifat perdukunan.
Mereka tidak mengerjakan ibadah wajib karena menurut anggapannya hanya
ibadah-ibadah sunnahlah yang secara jelas diterangkan tentang pahalanya,
sedangkan ibadah-ibadah wajib tidak diterangkan secara jelas dan mendetail
mengenai pahalanya. Gerakan tariqah yang dikatakana sesat oleh banyak
orang ini, diduga dari ajaran Mbah Sarido Bonang Lasem.[18]
Di Kecamatan Kota, tepatnya
Desa Kwanaran juga terdapat tariqah Naqsyabandiyah yang mula-mula diasuh oleh beliau al-Mursyid KH. Arwani Amin (alm) dan sekarang dipegang oleh
putranya KH. Ulin Nuha Arwani dan KH. Ulil Albab Arwani
dengan dibantu ulama’-ulama’ lain seperti KH. Sya’rani Ahmadi, KH. Ma’ruf Irsyad, dan lain-lain. Tariqah ini mulai
dari berdirinya sampai sekarang tidak pernah surut malahan dari tahun ke tahun tariqah ini
pengikutnya bertambah sangat pesat. Jumlah pengikutnya mencapai sekitar 1.500
orang. Ada lagi tariqah yang didirikan oleh KH.Mujahid Rasyidi di Desa Margorejo dan Desa Masin
Kecamatan Dawe yang pengikutnya sekitar 100 orang laki-laki/perempuan, namun tariqah ini
merupakan cabang dari tariqah Naqsyabandiyah yang diasuh oleh KH. Ulin Nuha> Arwani> dan KH. Ulil Albab Arwani. Tariqah ini juga
termasuk dalam yayasan Arwaniyyah, seperti halnya pondok pesantren Tahfiz Anak-anak Yanbu’ al-Qur’an yang
pendirinya adalah KH. Arwani Amin.
Selain kelompok Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah (NU), di
Kudus terdapat juga kelompok Islam
modern yang mengambil tempat dalam wadah organisasi Muhammadiyah. Kelompok yang
sering disebut sebagai gerakan reformis ini baru muncul setelah kedatangan
Syekh Muh}ammad
Ra>d}i> dari Makkah, dan pada tahun 1925 secara resmi organisasi
muhammadiyah didirikan.[19]
Dibandingkan dengan
organisasi Nahdlatul Ulama’, organisasi Muhammadiyah jauh lebih modern, namun
minoritas dalam kuantitas. Meskipun organisasi Muhammadiyah minoritas di Kota
Kudus, akan tetapi organisasi ini mampu mempertahankan eksistensinya sebagai
organisasi masyarakat. Lembaga-lembaga yang dikelola oleh organisasi ini
seperti sekolah-sekolah dan pengajian-pengajian. Walaupun organisasi
Muhammadiyah terkenal dengan gerakan reformis, namun organisasi ini, selain
mempunyai sekolah-sekolah modern juga mempunyai sekolah salaf seperti halnya sekolah Ma’a>>hid yang
letaknya di Desa Krapyak Kudus (utara Masjid
Menara Kudus). Di
sekolahan Ma’a>hid ini, selain
diajarkan pelajaran-pelajaran
umum juga diajarkan pelajaran khusus, yaitu pelajaran pendalaman agama Islam,
seperti
‘ilmu nah}wu, ‘ilmu s}arf, ‘ilmu fiqh, ‘ilmu tauh}i>d, ‘ilmu tafsi>r, dan
lain-lain, yang kesemuanya memakai buku panduan kitab kuning. Organisasi ini,
dalam perjalanannya, lambat laun mengalami kemajuan yang amat pesat.
Penganut faham NU dan
Muhammadiyah, masing-masing mempunyai interpretasi yang berbeda terhadap ajarannya,
terutama yang menyangkut masalah-masalah furu>>’ (cabang). Walaupun demikian, kedua-duanya saling
menjaga dan saling menghormati satu sama lain dalam menjaga keutuhan umat
Islam, pada khususnya dan keutuhan bangsa, pada umumnya. Mereka berpendapat
bahwa perbedaan ideologi ini merupakan barakah, dan selagi masih dalam koridor
Islam. Hal itu bisa dilihat dari adanya pembangunan Rumah Sakit Islam (RSI)
yang di bangun bersama-sama untuk kemaslahatan umat Islam.
Selain organisasi NU dan
Muhammadiyah, masih ada lagi organisasi Islam lain yang ada di Kota Kudus,
seperti halnya organisasi LDII (Lembaga Da’wah Islam Indonesia ), Islam Jama’ah, Islam
Tauhid, dan lain-lain. Namun organisasi-organisasi tersebut, pengikutnya sangat
sedikit dan tidak banyak di respon oleh kebanyakan masyarakat Kudus.
Organisasi-organisasi Islam ini masuk Kota Kudus sekitar tahun 1990-an dan
dibawa oleh para pendatang dari luar Kota Kudus.
Dengan demikian,
keanekaragaman ORMAS yang ada di Kota Kudus bukan berarti memecah belah umat
Islam Kudus, akan tetapi sebaliknya memperkuat dan memperkokoh umat Islam
Kudus, yang tentunya berimplikasi terhadap semakin syi’ar dan semaraknya dakwah Islam ke semua penjuru kota Kudus.
[1]
Rasehan Anwar, dkk. Biografi KH. M. Arwani Amin di Propinsi Jawa
Tengah, Proyek Penelitian Keagamaan
Departemen Agama Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama, Jakarta : 1987, hlm.
36-83.
[2] De
Graff dan Pigeaud, Kerajaan Islam di
Jawa: Perlawanan dari Majapahit ke Mataram, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Jakarta:
Grafiti pers, 1985), hlm. 114.
[3] Solikin Salam, Ja’far Shadiq Sunan Kudus (Kudus: Menara Kudus, 1986), hlm. 16
[4] Ibid.,
hlm. 12.
[5] De
Graff dan Pigeaud, Kerajaan…., hlm.117.
[6] Masyhuri, “Kudus di Awal
Abad 20”, El Wijhah: Panitia Wulan Windu
Madrasah Qudsiyyah,Terbitan Perdana t.th., hlm. 91
[7]
Kontor Statistik Kabupaten Kudus, Kudus
Dalam Angka 1984 (Kudus: t.p., 1984),
hlm. 3.
[8] Ibid., hlm.5
[9] Arief
Mudatsir, “Subchan ZE”, Prisma, XII,
Oktober 1983, hlm. 60.
[10]
Kantor Statistik Kabupaten Kudus, Kudus...,
hlm. 227.
[11]
Abdul Wahab, “Pesantren al-Qur’an Kanak-kanak Kudus Jawa Tengah”, Tesis,
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya ,
2001, hlm. 57.
[12] Ali
Humaedi, “Budaya Dombret dan Komunitas Laut: Tinjauan Antropologis Peran Antara
Islam Kebelah dan Islam Petani dalam
Penghayatan Keberagamaan/Religious
Experiences di Desa Blanakan Kecamatan Blanaan Kabupaten Subang”, Riset
Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Proyek Pengembangan Riset Unggulan
Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi dengan Pascasarjana Institut Agama
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2000, hlm. 44.
[13]
Masyhuri, Kudus di Awal..., hlm. 95.
[14] Ibnu
Ma>jah, Sunan Ibnu Ma>jah, juz 1 (Beiru>t:
Da>r al-Fikr, t.th.), hlm. 336.
[15] DEPAG, Daftar
Nama Pondok Pesantren Kabupaten Kudus, (Kudus: t.pt., 2003), tanpa nomor
halaman.
[16] Ah}mad
as}-S}a>wi> al-Ma>liki>, H}a>syiyatus}
S}a>wi> ‘Ala >
Tafsi>r al-jala>lain, juz 2 (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1988),
hlm. 55. Lihat juga Sya’rani Ahmadi, Fara>’id
as-Saniyyah (Kudus: t.p., 1401 H), hlm. 3.
[18]
Sahilun A. Nasr, “Khalwat di Pondok Kwanaran Kudus”, Ikhtisar Laporan Hasil
Penelitian, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Kudus 1979/1980, hlm. 63.
[19]
Masyhuri,Kudus di Awal…, hlm. 96.
0 Response to "Kota Kudus Jawa Tengah dalam Potret Sejarah : Asal-usul Sejarah Kota Kudus dan Sosio Kultur"
Post a Comment