Makalah Tentang Konsep Etika Aristoteles
Etika Menurut Aristoteles |Teori Etika Aristoteles | Konsep Etika Aristoteles |Etika keutamaan menurut Aristoteles
ETIKA ARISTOTELES
ETIKA ARISTOTELES
Oleh: M.Firdaus
A.
Latar Belakang Kehidupan
Aristoteles
Aristoteles lahir di Stageira,
suatu kota di Yunani Utara pada tahun 384 SM. Bapaknya adalah seorang dokter
pribadi Amyntas II, raja Makedonia sehingga sejak kecil ia telah hidup di
lingkungan elit bangsawan dan bakat serta minatnya di bidang ilmu empiris
sangat, mungkin ia warisi dari bapaknya. Pada usia 17 atau 18 tahun ia dikirim
ke Athena untuk belajar di Akademis Plato. Di sana ia tinggal selama
20 tahun sampai Plato meninggal dunia kira-kira pada 348. Di sana ia
menunjukkan bakatnya sehingga samasa di sana ia telah menulis
beberapa karya dan mengajar anggota-anggota akademia yang lebih yunior dalam
bidang logika dan retorika.
Setelah Plato meninggal dunia
Aristoteles keluar dan meninggalkan Akademia dan pergi Assos di pesisir Asia Kecil
dimana Gerneias yang merupakan bekas murid di Akademia menjadi penguasanya dan
di sana telah dibuka sekolah atas gagasan Hermenies dengan minta bantuan Plato
untuk mengirim muridnya untuk mengajar di sana. Aristoteles kemudian bergabung
dan mengajar di sekolah Assos dan di sini juga Aristoteles menikah dengan
kemenakan dan anak angkat dari Hermeias yang bernama Pythias. Pada tahun 345
terjadi kerusuhan politik yang menyebabkan Hermenies ditangkap dan di bunuh.
Aristoteles dan kawan-kawannya melarilkan diri dari Assos dan pergi ke Mytilene
di pulau Lesbos. Di Asssos dan Mytilene Aristoteles melakukan riset dalam
bidang biologi dan zoologi yang data-datanya sebagian dikumpulkan dalam buku
bernama Historia Animalium.
Pada tahun 342 ia diundang oleh
raja Philippos dari Makedonia, anak dari Amyntas II untuk menanggung pendidikan
anaknya Alexander yang pada sat itu berusia 13 tahun. Pada tahun 340 Alexender
diangkat menjadi pejabat raja Mekadonia dan empat tahun kemudian menggantikan
bapaknya pada saat berusia 19 tahun. Setelah Alexander Agung dilantik menjadi
raja Aristotelek kembali ke Athena dan mendirikan sekolah baru
di sana yang bernama Lykeion karena tempatnya adalah di halaman yang
di persembahkan kepada dewa Apollo Lykeios. Di sana Aristoteles
mengembangkan kreatifitas ilmyahya dan para anggota Lykon dengan semangat yang
tinggi mempelajari semua bidang ilmu yang dikenal saat itu. Aristoteles juga
membuat perpustakaan yang mengumpulkan bermacam-macam manuskrif dan peta bumi.
Inilah perpustakan pertama dalam sejarah
manusia.
B. Pokok-Pokok Pikiran Aristoteles
di Bidang Etika
Etika sebagai bidang penelitian
yang mandiri digagas pertama kali oleh Aristoteles dalam tiga karya besarnya
yaitu: Ethika Eudemia, Ethika Nikomacheia dan Politike.[1] Aristoteles
oleh banyak orang dianggap sebagai pemikir pertama yang mengidentifikasi dan
menguraikan etika secara kritis, reflektif dan argumentatif. Ia juga
mengutarakan status ilmu ini serta membahas metode yang sesuai dengan ciri
khasnya sehingga ia dipandang pendiri etika sebagai ilmu atau cabang filsafat
tersendiri.[2]
Ada beberapa point penting dari
pemikiran Aristoteles yang terkait dengan masalah etika yang akan diuraikan
dalam makalah ini antara lain terkait dengan konsep Aristoteles bahwa
kebahagiaan adalah tujuan akhir manusia, ajaran tentang keutamaan dan yang terakhir
adalah kehidupan yang ideal menurut Aistoteles. Point-point tersebut akan
diuraikan satu persatu dan kemudian akan dicoba untuk melihat bagaimana
relavansi dari pandangan-pandangannya untuk konteks sekarang dan kritik-kritik
terhadap bangunan etika yang dirumuskan olehnya.
1. Kebahagiaan
Sebagai Tujuan Akhir Manusia.
Pada dasarnya kajian etika selalu
berangkat dari dualitas baik dan buruk. Nampaknya
setiap masyarakat manusia di dunia ini selalu mempunyai konsep baik dan buruk
sehingga ia bisa dikatakan sebagai sesuatu yang universal bagi semua manusia.
Namun demikian kesamaan ini hanya pada kenyataan bahwa semua orang atau
masyarakat mengenal konsep baik dan buruk, sedangkan mengenai apakah yang
dianggap baik dan buruk itu tidak ada konvensi yang bersifat universal.
Masing-masing orang, masyarakat dan komunitas mempunyai pandangan
sendiri-sendiri yang sering berbeda satu dengan yang lainnya atau bahkan tidak
jarang bertentangan dalam melihat apakah yang termasuk baik dan jelek.
Terkait dengan Aristoteles yang
dibahas di sini, kita bisa memulai dengan mempertanyakan salah satu dari konsep
baik dan buruk menurut Aristotels. Dalam kenyataannya kajian etika Aristotels
sebagaimana kecenderungan umum dalam filsafat Yunani dimulai dengan
mempertanyakan apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan “hidup yang baik” dan
bagaimana manusia bisa mencapai hidup yang baik?[3]
Terhadap
pertanyaan ini Aristoteles memberikan jawaban bahwa hidup manusia akan semakin
baik dan bermutu ketika semakin ia mencapai apa yang menjadi tujuannya karena
dengan mencapai tujuan hidupnya manusia mencapai dirinya sepenuh-penuhnya. Lalu
muncul pertanyaan, apakah yang merupakan tujuan hidup manusia?
Manurut Aristoteles tujuan hidup
manusia adalah demi sesuatu yang baik atau sesuatu yang bernilai. Nilai itulah
yang menjadi tujuannya. Namun demikian dibedakan antara dua macam tujuan
yaitu: Pertama, apa yang dicari demi tujuan lain yang lebih
baik. Kedua, apa yang dituju dalam dirinya dan semua tujuan di
bawahnya mengarah kepadanya.[4] Apa
yang dicari untuk tujuan lain bukanlah tujuan yang hakiki karena di sana masih
ada sesuatu yang dituju di balik itu. Aristoteles bahkan tergoda untuk melacak
tujuan akhir atau tujuan sesungguhnya dari kehidupan manusia.
Penyelidikan dan perenungan
Aristoteles sampai kepada kesimpulan bahwa tujuan akhir atau tujuan tertinggi
dari kehidupan manusia adalah untuk mendapatkan “kebahagiaan” (eudaimonia).[5] Sebabnya,
karena jika manusia telah bahagia, ia tidak membutuhkan apa-apa lagi. Juga
karena orang yang telah bahagia maka tidak masuk akal ia akan mencari sesuatu
yang lainnya. Kebahagiaan itu baik pada dirinya sendiri dan kebahagiaan itu
bernilai bukan demi sesuatu nilai yang lebih tinggi darinya, melainkan demi
dirinya sendiri. Tugas etika adalah mengembangkan dan mempertahankan
“kebahagiaan” itu.[6] Lalu
pertanyaan yang dapat muncul adalah apakah hakikat kebahagiaan itu sendiri?
Aristoteles memberikan jawaban
bahwa kebahagiaan harus disamakan dengan satu aktifitas dan bukan dengan
potensialitas belaka. Seseorang mendapatkan kesempurnaan bukan karena dengan
memiliki potensi, melainkan karena potensi tersebut telah mencapai
aktualisasinya. Pada diri manusia, potensi yang paling khas adalah kemampuan
rasionya karena yang demikian itulah yang membedakannya dengan makhluk lainnya.
Oleh sebab itulah, kebahagiaan manusia adalah dengan menjalankan aktifitas yang
khas baginya yaitu berpikir. Aristoteles mengatakan bahwa kebahagiaan manusia
itu adalah memandang kebenaran (theria) atau berkontemplasi.[7]
Namun demikian menurut Aristoteles,
sesuatu yang hakiki harus ditambahkan kepadanya agar manusia sungguh-sungguh
bahagia. Tidak cukup jika aktivitas tertinggi manusia dijalankan dengan
sembarangan saja. Manusia hanya disebut bahagia jika ia menjalankan aktifitasnya
dengan baik. Atau seperti dirumuskan oleh Aristoteles agar manusia bahagia maka
ia harus menjalankan aktifitasnya (menurut keutamaan). Hanya pemikiran yang
disertai dengan keutamaanlah yang dapat memberikan kebahagiaan kepada manusia.
Kebahagiaan bukan hanya menyangkut rasio, akan tetapi juga manusia secara
keseluruhan. Manusia bukan saja merupakan makhluk intelektual melainkan juga
makhluk yang mempunyai perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, nafsu-nafsu dan
lain sebagainya.
Namun
demikian Aristoteles menegaskan bahwa pemikiran yang disertai keutamaan belum
boleh disebut kebahagiaan kalau hanya berlangsung beberapa detik, beberapa saat
atau sesekali saja. Manusia baru boleh disebut bahagia jika ia dapat
menjalankan pemikirannya yang disertai dengan keutamaan dalam jangka waktu yang
panjang.[8] Dengan
pernyataan lain kebahagiaan adalah keadaan manusia yang bersifat stabil.
Di samping itu masih ada unsur-unsur
“pendukung” lainnya bagi tercapainya kebahagiaan yaitu agar ia merasa senang
atau dapat menikmati kebahagiaan tersebut. Rasa senang yang dimaksudkan di sini
adalah rasa bahagia yang subjektif. Sekalipun demikian kebahagiaan tidak dapat
disamakan dengan “kesenangan” karena bagaimanapun Aristoteles menolak hedonisme.
Akan tetapi ia mengakui bahwa kebahagiaan belum sempurna jika tidak disertai
oleh kesenangan.
Jika kesenangan adalah faktor
penunjang bagi kebahagiaan, maka manurut Aristoteles masih ada syarat material
dan unsur lahiriyah yang juga harus terpenuhi agar kebahagiaan tersebut
terjamin. Hal-hal lahiriyah tersebut adalah seperti kesehatan, kesejahteraan
ekonomi, sahabat-sahabat, hidup berkeluarga, penghormatan dan lain sebagainya.[9] Manusia
yang mempunyai kekurangan-kekurangan dalam bidang tersebut belum bisa dikatakan
bahagia. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa kesenangan dan unsur-unsur
lahiriyah tersebut tidak termasuk dalam hakikat kebahagiaan melainkan hanya
sebagai pendukung dan penunjang belaka. Atau dengan pernyataan lain hal-hal
yang telah disebutkan hanya sebagai syarat dan bukan esensi dari kebahagiaan
itu sendiri.
2. Ajaran Mengenai Keutamaan
Aristoteles membagi dua macam
keutamaan yaitu keutamaan intelektual (aretai dianoetikai)
dan keutamaan moral (aretai etikai).[10] Yang pertama,
yaitu etika intelektual (keutamaan dianoetik) menurut Aristoteles terkait
dengan dua fungsi rasio yaitu (1) untuk menunjukkan kepada kebenaran yang dalam
hal ini rasio mempunyai “fungsi teoritis”. Dan (2), rasio dapat membimbing
manusia untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan dalam kondisi tertentu yang
dalam hal ini rasio dapat dikatakan mempunyai “fungsi praktis”. Dengan dasar
ini, Aristoteles membagi kebijaksanaan menjadi dua macam yaitu
kebijaksanaan teoritis dan kebijaksanaan praktis.
Terkait dengan kebijaksanaan yang
pertama, Aristoteles lebih memilih istilah shofia untuk menunjukkan
makna kebijaksanaan.[11] Dalam hal ini ia melihat
sebagaimana halnya dengan keutamaan-keutamaan lainnya bahwa kebijaksanaan
teoritis merupakan suatu kondisi yang tetap atau stabil. Seseorang tidak bisa
dikatakan bijaksana jika mengenal kebenaran hanya sesekali saja. Oleh sebab
itulah menurutnya kebijaksanaan jenis ini hanya dimiliki oleh sebagian kecil
orang yaitu mereka yang terbiasa menggunakan potensi rasio mereka untuk
berpikir dan merenung.
Adapun kebijaksanaan jenis kedua
yaitu kebijaksanaan praktis, ia menggunakan istilah “phronesis” untuk
menunjukkan kepada makna yang ia maksudkan.[12] Istilah ini menggambarkan satu
kemampuan manusia yang memungkinkannya untuk mengatakan mana barang-barang
kongkrit yang baik untuk hidupnya.
Keutamaan jenis kedua yaitu keutamaan
moral (aritai etikai) Aristoteles melukiskan keutamaan ini sebagai satu
sikap watak yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua
yang ekstrim berlawanan. Keutamaan selalu merupakan pertengahan antara
kelebihan dan kekurangan.[13] Terkait dengan jalan tengah yang
dimaksudkan di sini, menurut Aristoteles tidak bisa ditetapkan dengan cara yang
sama untuk semua orang. Dengan pernyataan lain, jalan tengah harus dipandang
secara subjektif dan bukan objektif. Tidak mungkin untuk mengukur jalan tengah
secara matematis, akan tetapi faktor-faktor pribadi harus dipertimbangkan.
Dikarenakan jalan tengah yang
dimaksudkan oleh Aristoteles ini bersifat subjektif maka peran rasio yang
menentukan pertengahan dan rasio pula yang melakukannya. Aristoteles
mengatakan, “sebagaimana seorang yang bijaksana dalam bidang praktis akan
menentukan pertengahan”.[14] Dengan pernyataan ini ia hendak
mengatakan bahwa hidup menurut keutamaan bukan merupakan masalah teoritis dalam
artian bahwa belum tentu seorang terpelajar akan bisa hidup dengan keutamaan
moral. Akan tetap seorang yang bijaksana dalam bidang praktis moral akan mampu
menentukan pertengahan antara kekurangan dan kelebihan dengan mempertimbangkan
keadaan kongkrit.
Di sini perlu ditegaskan bahwa
pandangan Aristotels mengenai keutamaan jenis ini masih tetap dalam kerangka
umum pandangannya yang mengatakan bahwa keutamaan adalah hal yang telah bisa
dilaksanakan secara terus menerus sehingga keutamaan yang hanya dilakukan satu
kali atau beberapa kali tidak bisa dikatakan sebagai keutamaan.
3.
Pola Hidup Yang Ideal
Berdasarkan apa yang telah disebutkan
di atas mengenai tujuan hidup manusia, kebahagiaan dan keutamaan, hal lain yang
perlu diperhatikan terkait dengan pemikiran etis Aristoteles adalah bagaimana
ia mendeskripsian pola kehidupan yang biasa dijalani oleh manusia dan mana di
antara pola-pola hidup tersebut yang menurutnya adalah pola hidup yang ideal.
Aristoteles menyebutkan tiga pola
kehidupan yang sering dianggap memuat kepuasan dalam dirinya yaitu: hidup yang
“mencari nikmat”, hidup praktis atau “politis” dan hidup sebagai seorang filsuf
atau hidup kontemplatif.[15]
Terhadap pandangan pertama
Aristotels menolak dan memberikan argumentasi yang meyakinkan terhadap
kesalahan pandangan tersebut. Alasan utama yang ungkapkan olehnya adalah bahwa
perasaan nikmat tidak khas manusiawi. Orang yang hanya mencari nikmat (hedonis)
sama derajatnya dengan binatang, namun karena manusia bukanlah binatang maka
hidup sebagai binatang tidak mungkin membahagiakan. Aristoteles mencontohkan
dengan seorang anak yang selalu gembira. Seandainya nikmat betul-betul nilai
tertinggi, maka kita mesti ingin menjadi anak kecil kembali karena hidupnya
penuh nikmat. Namun dalam kenyataannya tidak ada orang yang mau kembali menjadi
anak kecil.[16]
Ia sebenarnya tidak menolak
perasaan nikmat. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa nikmat atau kenikmatan itu
terkadang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna. Akan tetapi
nikmat bukanlah tujuan dan nikmat itu baik selama ia bukan menjadi tujuan.
Mengejar hanya kenikmatan semata menurutnya tidak akan mencapai kebahagiaan.
Aristoteles menolak pandangan
pertama dan mengajukan pandangannya sendiri bahwa pola hidup yang ideal
terdapat pada dua pola kehidupan lain yang telah disebutkan yaitu “kehidupan
politis” dan “kehidupan kontemplatif”. Ini karena dua hal ini terkait dengan
sesuatu yang khas manusia yang melibatkan jiwa yang berakal budi. Kehidupan
politis yang dimaksudkan di sini adalah kehidupan etis yang terwujud melalui
partisipasi dalam kehidupan masyarakat, merealisasikan semua bagian jiwa
manusia termasuk yang ruhani. Sedangkan kehidupan kontemplatif mengangkat jiwa
manusia kepada hal-hal yang ilahi dan ia adalah murni kegiatan akal budi.
Aristoteles melihat bahwa pola
kehidupan ideal (dalam artian yang paling membahagiakan) adalah kehidupan
kontemplatif (theoria). Yang dimaksudkan dengan kehidupan seperti ini adalah
kehidupan yang selalu merenungkan hal-hal yang rohani dengan mata jiwa.
Renungan ini merupakan kegiatan manusia yang paling luhur karena merealisasikan
bagian jiwa yang paling luhur bahkan ilahi, logis atau ruh. Dalam perenungan
ruh digiatkan. Objek renungan adalah realitas yang tidak berubah, yang abadi,
yang ilahi. Renungan adalah kegiatan sang filsuf, orang yang mencintai
kebijaksanaan (philo-sophia). Oleh sebab itulah kehidupan yang ideal menurut
Aristoteles adalah sebagai filsuf.[17]
Namun demikian Aristoteles
menegaskan bahwa manusia bukan makhluk ruhani murni, akan tetapi makhluk
campuran yang juga mempunyai sisi material. Oleh sebab itulah menurutnya
manusia tidak bisa terus-menerus berteori, berkontemplasi atau merenung.
Perenungan tersebut adalah kegiatan akal budi untuk waktu-waktu yang terbatas.
Bidang perealisasian diri manusia yang sebenarnya adalah polis,
negara kota dan kegiatannya adalah praktis.[18] Aristoteles tidak terhenti pada
kegiatan kontemplatif semata akan tetapi melangkah lebih jauh dengan mengatakan
bahwa perenungan (theoria) saja tidak mencukupi bagi manusia untuk mencapai
keutamaan, akan tetapi dibutuhkan juga kepekaan untuk memilih dengan bebas apa
yang mau diambil (prohairesis)
C. Relevansi
Pemikiran Etika Aristoteles.
Hal yang tidak bisa dipungkiri
adalah kenyataan bahwa pemikiran etis Aristoteles merupakan sesuatu yang
dibentuk dan dikonstruksi sejalan konteks zamannya sehingga tidak terlepas dari
konteks sosio-kultural dan politis yang melingkupinya. Pandangan-pandangan
Aristoteles sedikit tidak mencerminkan semangat zamannya sekalipun dalam banyak
hal tentunya juga menyimpang dari arus besar kecederungan saat itu dan lebih
berorientasi kepada kritik terhadapnya.
Jika melihat kepada point-point
pandangan etis Aristoteles sebagaimana yang dipaparkan di atas dan coba
dibenturkan dengan konteks kecederungan umum pemikiran etis sekarang ini maka
dapat disimpulkan bahwa pandangan Aristoteles ini lebih bercorak teleologis.
Sebagaimana telah diketahui bahwa ada dua kecenderungan umum dalam bidang etika
yang bertentangan satu dengan yang lainnya yaitu kecenderungan deontologis yang
menekankan pada subjek dan aspek normatif dari nilai moral. Pandangan
deontologis ini melihat bahwa baik dan buruk itu memang ada secara substansial pada
perbuatan sehingga dalam tindakan tidak dipentingkan tujuan atau hasil dari
sebuah perbuatan. Sesuai dianggap baik karena perbuatan itu sendiri baik,
bagaimanapun akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Berbeda dengan
pandangan teleologis yang melihat sebaliknya yaitu bahwa perbuatan itu baik
bukan nilai esensialnya akan tetapi lebih kepada tujuannya. Tujuanlah yang
mendapatkan prioritas karena yang menentukan baik dan buruk suatu perbuatan
adalah hasil yang ditimbulkannya.
Etika yang bercorak teleologis
secara sepintas akan terlihat lebih pleksibel karena tindakan moral tidak
dibatasi oleh konsep-konsep normatif yang tidak jarang agak kaku dan bisa
menjebak seseorang pada kebuntuan ketika dihadapkan pada situasi yang
problematik. Meskipun demikian kritik yang dapat diajukan kepada etika
teleologis adalah sering menjebak pada pandangan yang terpusat pada manusia
(antroposentris) dan kurang menyentuh-hal-hal yang lebih abadi, universal.
Pandangan teleologis menyisakan anggapan bahwa harus di sandarkan kepada dunia
manusia yang selalu berubah dan diwarnai oleh kompleksitas dan pertentangan.
Etika teleologis mengandaikan tidak adanya kebenaran universal yang abadi bisa
dijadikan sebagai landasan bagi perbuatan yang bermoral. Untuk manusia yang telah
berapiliasi kepada satu agama atau kepercayaan dan sistem nilai tertentu, etika
teleologis ini tidak akan pernah memuaskan.
Dalam banyak segi
pandangan-pandangan Aristoteles tersebut berbeda dengan yang berlaku pada
konteks masyarakat kita terutama sekali karena menyangkut bentuk norma
kebangsawanan. Dalam konteks masyarakat kita sekarang, hal yang telah diterima
sebagai pandangan etis adalah penekanan pada kesetaraan dan hak-hak yang setara
dan keadilan itu tidak terlepas dari kesetaraan ini. Aristoteles justru
berpendapat bahwa keadilan bukan merupakan kesetaraan namun pembagian hak yang
tidak selalu berarti persamaan (egalitarian).
Masalah ini akan terlihat
signifikansinya ketika dibenturkan dengan konteks politik dalam struktur sosial
masyarakat yang mengenal ada stratifikasi berdasarkan jabatan politik atau
mereka dalam struktur pergaulan masyarakat adalah kaum elit. Etika justru akan
semakin menciptakan gap dan kesenjangan yang lebih besar antara kaum elit
dengan masyarakat kebanyakan. Yang demikian itu karena etika Aristoteles hanya
berbicara dan berlaku untuk konteks masyarakat dari kalangat elit. Keutamaan
atau kesempurnaan seakan-akan hanya milik mereka yang termasuk elit, sedangkan
rakyat atau orang kebanyakan dan terlebih lagi mereka yang statusnya sebagai
budak mempunyai etika yang lebih rendah seakan-akan tidak akan pernah bisa
mencapai kesempurnaan sebagai manusia, atau setidaknya tidak diberikan
kesempatan untuk mencapai kesempurnaan moral.
Yang demikian itu diperkuat lagi
dengan pandangan Aristoteles yang mengatakan keutamaan moral atau keutamaan
intelektual hanya bisa dicapai oleh sedikit orang karena sulitnya. Masalah ini
sebenarnya menimbulkan peroblem etis yaitu pandangan yang menekankan pada
kesenjangan yang ada antara manusia. Lalu Dimanakah letak etika universal yang
didasarkan atas anggapan yang sama terhadap manusia terutama pada hal-hal yang
paling mendasar dari sisi kemanusiaan yang bagi semua orang sama. Dengan teori
Aristotels yang seperti itu maka etika yang benar-benar didasarkan atas
persamaan tidak akan pernah dicapai atau terwujud. Etika Aristoteles masih
sangat jauh dari etika populis, padahal dalam masyarakat manusia mayoritas
mereka adalah dari kalangan masyarakat atau rakyat
biasa.
Meskipun demikian pandangan Aristoteles
bahwa untuk mencapai kebahagiaan manusia perlu mengaktualisasikan
potensi-potensi kemanusiannya baik yang bersifat teoritis ataupun bersifat
praktis. Pandangan ini menurut hemat penulis masih sangat relavan untuk konteks
dunia kita sekarang ini. Ketika masyarakat kita yang terjebak dengan cara
pandang materialis dan hedonis dimana yang dicari adalah pemuasan diri baik
melalui media pemuasan material, jabatan dan pemanfaatan tehnologi yang justru
telah terbukti membuat manusia modern menjadi gersang, teralienasi dan menjauhi
pusat spiritulitas dirinya. Aktualisasi potensi-potensi kemanusiaan sebagaimana
yang dikatakan oleh Aristoteles akan bisa menjadi alternatif solusi bagi krisis
yang melanda masyarakat modern dengan tradisi dan kecenderungan skulernya.
Potensi intelektual, spiritual dan juga potensi-potensi lain perlu diaktualkan
secara menyeluruh dan seimbang sehingga dicapai satu kondisi di mana bisa
kembali kepada nilai kemanusiaannya yang sudah lama direnggut oleh peradaban
modern.
Frans Magnis menyebutkan bahwa
etika Aristoteles adalah etika Eudemonisme karena dalam sistem etika
Aristoteles adalah kebahagiaan (eudemonia). Etika seperti ini lanjutnya mau
mengantarkan kepada hidup yang bermakna, positif, bermutu dan memuaskan.[19] Inilah kebijakan prenial yang telah
menghilang dari kehidupan manusia modern. Perspektif yang diajukan oleh
Aristoteles yang menyebutkan bahwa cara untuk mencapai tujuan hidup seperti itu
dengan memaksimalkan potensi manusiawi baik yang bersifat teoritik ataupun yang
praktis, potensi material dan juga potensi spiritual adalah sesuatu yang masih
relevan atau bahkan masih dibutuhkan dalam masyarakat modern.
D. Catatan
Kritis dan Penutup
Ada beberapa hal dari
pandangan-pandangan Aristoteles yang akan coba dilihat secara kritis dalam
tulisan ini. Yang pertama adalah pandangannya mengenai kebahagiaan sebagai
tujuan akhir dari manusia. Anggapan bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir dari
kehidupan manusia di satu sisi akan sangat rawan menimbulkan kesalahpahaman dan
bahkan dijadikan sebagai dasar argumentasi bagi sebagai orang untuk
menjustifkasi perbuatan jahat atau tidak baiknya. Bisa saja seorang penjahat
yang sudah terbiasa dengan perbuatan jahatnya akan mengatakan bahwa ia bahagia
dengan dunia dan pekerjaannya.
Ini bukan isapan jempol semata,
karena dalam kehidupan nyata kita sering dihadapkan dengan kenyataan bahwa
banyak orang dianggap mempunyai kelainan psikologis yang tidak merasakan
ketenangan dan merasa menderita ketika ia tidak melakukan kejahatan yang biasa
ia lakukan. Terhadap fenomena seperti ini etika Aristoteles mungkin tidak akan
bisa memberikan solusi yang memuaskan karena yang demikian itu bukan
diselesaikan rumusan-rumusan ideal akan tetapi sangat terkait dengan kondisi
psikologis seseorang.
Sebuah anekdot yang bisa dijadikan
untuk menggambarkan masalah ini adalah bahwa malaikat penjaga neraka salah
tangkap dan membawa setan atau iblis ke dalam surga. Setelah di sana ternyata
setan protes karena merasa asing dan tidak nikmat di surga. Ia meminta kepada
malaikat untuk di bawa ke neraka karena ia akan di sanalah tempatnya dan
mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan.
Di sisi lain konsep terkait dengan
cara-cara untuk mencapai kebahagiaan terlalu idealis dan mengabaikan realitas
faktual dimana masing-masing orang mempunyai kapasitas yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Rumusan-rumusan yang terlalu ideal seperti itu akan sulit
digunakan untuk membentuk dan mengarahkan masyarakat secra umum menuju
kehidupan yang baik. Karena terlalu idealis, ia akan sulit diterjemahkan dalam
rumusan-rumusan yang nyata dan kongkrit. Etika Aristoteles mungkin cocok dengan
orang-orang seperti Aristoteles, akan tetapi belum tertentu bisa memberikan
manfaat bagi orang lain yang kapasitas mereka secara intelektual, peran
politik, atau mental jauh dari apa yang dimiliki oleh Aristoteles. Ilmu etika
seharusnya bukan hanya bisa memberikan perspektif bagaimana yang baik secara
rasional, akan tetapi juga bisa mendorong manusia untuk memperaktekkan sesuatu
yang baik secara moral.
Bibliografi
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta,
Pustaka Kanisius, cet. xvii, 2001.
Magnis-Suseno, Franz, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani
Sampai Abad ke-19, Yogyakarta, Pustaka Kanisius, cet. vii, 2003.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2002.
Aristoteles, Politik, Yogyakarta, Bentang, 2004.
Ä Makalah
dipresentasikan dalam seminar kelas mata kuliah Filsafat Moral PPs UIN
Sunankalijaga (Prodi: Filsafat Islam) yang diampu oleh Dr. Haryatmoko.
[2] Lihat
Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad
ke-19, (Yogyakarta: Pustaka Kanisius, cet. vii, 2003) hlm. 28.
[4] Apa
yang dicari untuk tujuan lain misalnya adalah uang. Uang dicari bukan sebagai
tujuan pada dirinya akan tetapi lebih untuk tujuan lain seperti untuk biaya
pendidikan. Namun demikian pendidikan juga belum bisa dikatakan sebagai tujuan
dalam dirinya karena di balik itu ada hal lain yang diinginkan dengan
pendidikan misalnya untuk mendapatkan jabatan atau pekerjaan yang layak
demikian seterusnya sehingga hal-hal yang dijadikan sebagai tujuan tersebut
ternyata masih menyimpan hal lain yang dituju dengannya. Tujuan-tujuan tersebut
menurut Aristoteles bukanlah tujuan yang sesungguhnya melainkan hanya sebagai
sarana untuk tujuan yang lebih jauh. Sesuatu yang dicari karena dirinya dapat
dicontohkan dengan permainan seruling, yang mana orang yang bermain seruling
tidak bertujuan dengan permainannya kepada hasil semata akan tetapi juga karena
menikmati prosesnya. (Lihat Frans Magnis, 2003, hlm. 34).
[19] Frans
Magnis, 13 Tokoh…, hlm.41.
0 Response to "Makalah Tentang Konsep Etika Aristoteles"
Post a Comment