Makalah Partai Masyumi di Pentas Politik Indonesia
Partai Masyumi di Pentas Politik | Masyumi adalah partai politik yang beridiologi| arti partai masyumi
MASYUMI DI PENTAS PANGGUNG POLITIK NASIONAL
A. Masyumi
1.
Sejarah Masyumi, Lahir dan Dibekukannya Masyumi.
Hari kemerdekaan 17 Agustus 1945
adalah merupakan hari bangsa Indonesia merasa dilahirkan kembali yang selama
ini tertidur dalam kebuasan cengkraman para penjajah. Geliat ingin bangun dan
memulai hidup baru yang penuh dengan kemandirian-pun mulai dicanangkan,
berbagai macam gerakan-pun mulai timbul yang kesemuanya diorientasikan demi
menjaga persatuan untuk kemerdekaan dan memulai kehidupan yang terlepas dari
rasa ketakutan dan ketergantungan terhadap pihak lain. Dengan melepaskan semua
perbedaan yang ada, baik yang bersifat pribadi maupun ideologi, seakan setiap
orang berusaha memberikan bantuan kepada kemerdekaan yang diproklamasikan, dan
oleh sebab itu turut serta membelanya dengan berbagai cara.
Masyumi salah satu warna yang
berkeinginan ikut mengisi kemerdekaan, secara kronologis sejarah, Masyumi lahir
berawal dari MIAI independen, memang berdasarkan bentukan pihak Islam
(Muhamammadiyah dan NU), Menurut Safi’i Ma’arif, ada dua alasan kenapa
MIAI didirikan: Pertama, Usaha-usaha politik Islam pada waktu itu masih belum
mantap seperti yang diharapkan, dalam artian komunitas masyarakarat Islam
Indonesia mayoritas namun dalam kedudukannya tidak sebanding dengan
kuantitasnya. Kedua, dibentuknya MIAI didasarkan pada panggilan al-Qur’an dalam
Ali Imran: 103, yang mendesak umat Islam jangan bertikai, ayat ini dikemukakan
diilhami dari adanya keadaan dalam umat Islam itu sendiri, yang dilihat dapat
memperburuk keadaan, karena banyak ditemukan pertikaian yang bermula dari
masalah khilafiyah. Maka dengan MIAI, diharapkan penyakit perpecahan dapat
disembuhkan dan umat-pun dapat disatukan, lebih lanjut Syafi’i mengemukakan
bahwa selain tujuan internal tersebut, terbentuknya MIAI juga ditujukan untuk
menggalang kekuatan dalam melawan kolonialisme Belanda. Kemudian dengan
masuknya Jepang, MIAI mulai dipengaruhi ataupun terpengaruh dengan
banyaknya interfensi yang dilakukan pihak Jepang, setelah itu pada tahun 1943
MIAI diubah Menjadi Masyumi, perubahan ini dipandang Jepang sebagai
langkah alternatif untuk menetralisir keadaan yang berkembang dalam MIAI itu
sendiri. Selanjutnya selepas diproklamirkannya kemerdekaan RI, maka dipandang
logis ketika umat Islam berharap dapat mengisi dan mempengaruhi kemerdekaan
yang mulai dipegang yang secara kuantitas melebihi dari golongan lain, untuk
itu diperlukannya suatu wadah yang dapat mengorganisir potensi umat, Masyumi
baru-pun di bentuk yang dirasa dapat menjembatani kepentingan tersebut.
MIAI didirikan berorientasikan
untuk menyatukan kembali barisan yang sebelumnya dirasa masih sering terjadi
perselisihan dalam umat, baik itu berawal dari bedanya kepentinngan atau-pun
bedanya pandangan dalam memahami agama. Demi untuk menjaga kepentingan umat
Islam Indonesia dari ancaman pihak luar maupun perpecahan yang disebabkan
konflik inheren Islam itu sendiri. Maka dianggap keperluan mendesak adanya
reorientasi organisatoris, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) yang dalam hal
ini mewakili kelompok reformis dan ortodoks mensponsori diciptakannya suatu
federasi Islam yang baru, MIAI, Madjlisul Islamil A’laa Indonesia, atau Majlis
Agung Islam Indonesia, yang didirikan di Surabaya pada bulan September 1937.
Dapat dipahami jika organisasi baru ini mendapatkan dukungan massa yang banyak,
karena di dalamnya dua organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Secara
tidak langsung dapat mempengaruhi anggotanya untuk bersimpati terhadap
organisasi ini. PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) yang pertama
pembentukannya ditujukan juga untuk menampung dan menyalurkan aspirasi umat
namun dalam pelaksanaannya dirasa hampa, pada tahun 1939 bergabung kedalam
MIAI.
Masa dis-integrasi dan keresahan
yang puluhan tahun membuat para ulama sebagai satu-satunya surga tempat
pelarian yang masih ada dan tidak berubah bagi para petani , hal ini sangat
disadari oleh Jepang. Untuk itu MIAI yang telah ada di biarkan berkembang
kendatipun di dalam kestrukturannya banyak perombakan yang dimungkinkan dapat
diinterfensi oleh Jepang. MIAI baru, buatan Jepang ini tedensi
orientasinya lebih banyak ditujukan untuk menarik simpati dan pengaruh dari
umat Islam Indonesia, satu sisi demi untuk mempertahankan status quonya sebagai
penjajah di belentara nusantara dan di sisi lain guna mencari dukungan dari
rakyat Indonesia yang secara kuantitas mayoritas beragama Islam, diharapkan
nantinya dapat membantu Jepang dalam menghadapi Sekutu, keberpihakan ini
berbeda dengan umat Islam yang ada di negara-negara Arab (dalam periode yang
sama) lebih banyak berpihak kepada sekutu, hal ini didasarkan
pertimbangan bahwa bangsa Indonesia satu rasa yaitu anti Barat, dengan adanya
MIAI ini dimaksudkan dapat mempropoganda bangsa Indonesia untuk kepentingan
tersebut. Walupun pada kenyataan akhir, umat Islam lebih banyak merasa
diuntungkan. Dan yang perlu dicatat adalah Jepang sangat banyak menaruh
perhatian kepada gerakan dan perkembangan umat. Tampaknya mereka mendorong dan
memberi prioritas kepada kalangan Islam dalam mendirikan organisasi mereka
sendiri, sedangkan organisasi kalangan nasionalis yang netral agama tidak
digalakkan, manuver politik Jepang inilah yang menjadikan perbedaan
mencolok dalam hal menjalankan politik etisnya dengan Belanda terhadap Indonesia,
Belanda lebih cendrung mendudukkan posisi agama (Islam) kearah yang kurang
mendapatkan perhatian sehingga masyarakat agama merasa selalu disepelekan dan
dilecehkan sehingga dalam penomena selanjutnya menjadi bumerang bagi Belanda
itu sendiri. Tetapi walaupun demikian, Belanda banyak memberikan peluang
bagi pihak netral agama yang lebih condong berbasis pendidikan Barat,
proforsi ini dapat dimaklumi karena secara ideologi, pemahaman Belanda akan
agama bertedensi sekulerisme, yang tidak sepakat dengan adanya penggabungan
antara urusan keagamaan dengan urusan keduniaan (politik). Terlepas dari
perbedaan tersebut, jika dicermati, kesemua kecendrungan para kolonial
tersebut diniatkan untuk memecah belah persatuan dan dimungkinkan untuk dapat
diadu domba.
Kemudian, pada langkah berikutnya,
MIAI yang ada, dipandang Jepang tidak efektif lagi, yang dirasa cukup
membahayakan dimana partai lain tidak mampu menampakkan potensi massanya lagi,
sedangkan MIAI sanggup menunjukkan kemampuannya menggerakkan massanya. Dengan
berbagai alasan diatas, pada tahun 1943 MIAI-pun dibubarkan dan dibentuk
badan baru yang bernama Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) sebagai
gantinya. Perubahan ini menurut Syafi’i Ma’arif, dapat dimaklumi, karena Jepang
mulai merasa bahwa mereka juga penjajah dimata umat Islam, sehingga Jepang
pada akhirnya harus dilawan agar mereka tidak lama-lama tinggal di negeri
muslim ini. Sebagaimana halnya MIAI, Masyumi basis kuat pendukungnya juga
terdiri dari kaum reformis ( Muhammadiyah ) dan kaum ortodoks ( NU ).
Didirikannya Masyumi ini diniatkan agar terjadinya perpecahan dalam umat Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut dengan berbagai dalih Jepang-pun mewajibkan para
pemimpin Masyumi untuk dapat bersumpah agar tidak terlibat dalam segala macam
bentuk kegiatan yang bersifat politik.
Sehabis dikomandangkannya hari
kemerdekaan RI, Masyarakat Indonesia-pun merasa berkewajiban untuk
mempertahankan kemerdekaan tersebut dari segala sesuatu yang dapat merusaknya
baik itu datangnya dari kolonialisme maupun dari dalam negeri yaitu
dis-integrasi bangsa, walupun untuk yang terakhir ini pada masa awal
kemerdekaan belum tampak. Selebih itu mayarakat-pun merasa berhak dalam usaha
mengisi kemerdekaan tersebut.
Pasca kemerdekaan, banyak
bermunculan diskursus tentang gagasan sosial politik, diskusi tentang
“masyarakat baru” dalam “polemik kebudayaan” yang kesemuanya tersebut, di latar
belakangi oleh tedensi dari elemen-elemen yang mengeluarkan tawaran. Begitu
juga Islam sebagai agama yang mayoritas dianut, berkeinginan juga untuk ikut
serta mencoba merumuskan corak masyarakat dan cita-cita politik yang hendak
mereka ciptakan dalam rangka mengisi kemerdekaan nasional yang telah mereka
bayar dengan harga yang sangat mahal.
Pada saat penyusunan Undang-Undang
Dasar 1945, dari kalangan ummat Islam terdengar suara gemuruh menuntut supaya
Indonesia merdeka berdasarkan Islam.
Tuntutan itu mewujudkan cita-cita
ummat Islam, sebagaimana kaum sosialis menghendaki Indonesia menjadi
sosialistis, atau golongan lainnya lagi mengharapkan susunan negara menurut
cita-citanya.
Nyatalah bahwa Negara sebagai alat
pengatur kehidupan di dunia (kursif asli) ini menjadi barang keinginan dan
hendak dimiliki beberapa golongan dalam masyarakat. Memang barang siapa
menguasai negara dan alat perabotnya, dialah yang dapat melaksanakan cita-cita
dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Terlepas dari latar belakang dan
jalur para tokoh pemikir Islam indonesia dalam periode ini, yang pasti mereka
satu pandangan yaitu: tanpa kekuasaan politik di tangan , maka terjadi tidak
mungkin bagi suatu sistem hukum Islam untuk berfungsi secara wajar dalam suatu
masyarakat muslim . Didorong oleh alasan inilah berbagai cara dan jalan telah
ditempuh oleh berbagai gerakan Islam, namun hasil yang dicapai sangat terbatas,
kedudukan umat Islam pada bagian permulaan kemerdekaan tidak menguntungkan
dibandingkan dengan mereka yang netral agama , dilanjutkan dengan lemahnya
kedudukan mereka dalam penyelidik dan dalam panitia kemerdekaan Indonesia.
Kemudian pada tanggal 1 November 1945, lahir pengumuman dari pemerintah yang
mengesahkan rakyat untuk mendirikan partai , yang mana kesempatan ini
dimanfaatkan oleh semua golongan untuk menampung dan menyalurkan aspirasi.
Begitu juga umat Islam ikut serta merespon manifesto politik tersebut.
Dari beberapa alasan tersebut di
atas, umat merasa berkewajiban mengorganisasikan kekuatan dan tenaga dalam satu
wadah politik sehingga dapat terlaksananya cita-cita umat. Maka diadakanlah
muktamar di Yogjakarta tertanggal 7 dan 8 November 1945 yang dihadiri hampir
semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang serta masa
pendudukan Jepang, konggres memutuskan untuk mendirikan Majlis Syuroh pusat
bagi umat Islam Indonesia, Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi
umat Islam. Masyumi mengembangkan sayapnya di wilayah politik praktis sebagai
partai politik Islam terbesar menunjukkan eksistensinya sebagai partai selama
lima belas tahun, mulai tahun 1945 sampai dibubarkannya partai ini oleh
Soekarno tahun 1960.
2. Tujuan Masyumi
Penindasan Belanda atas Islam
justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas bangsa
Indonesia. Selain itu Islam juga dijadikan lambang perlawanan terhadap
impralisme. Tidak hanya terbatas kalangan grass root, golongan bangsawan dan
sultan pun menyatukan dirinya menunjang perjuangan Islam, berjuang di bawah
lambang Bulan Sabit. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, bagi pemimpin
(penguasa) pribumi, memeluk agama Islam berarti memiliki dua senjata:
Pertama, mendapat dukungan
dari rakyat, karena rakyat banyak terutama dari para kalangan petani dan
pedagang yang telah menjadikan Islam sebagai agamanya, mereka menganggap Islam
sebagai Liberating Force (kekuatan pembebas). Lebih lanjut Mansur mencontohkan,
pada mulanya para Raja Nusantara banyak menyukai ajaran Hindu yang didalamnya
terdapat konsep ajaran kasta yang menganggap Raja sebagai the god king (raja
wakil dewa), namun keyakinan tersebut tidak dapat di pertahankan lagi. Apabila
rakyat banyak memeluk agam Islam maka kedudukannya tidak stabil tanpa mengikuti
rakyat. Kedua, Selain penguasa yang memeluk Islam mendapatkan dukungan rakyat,
juga dapat memiliki senjata dalam melawan agresi agama dan perdagangan dari
impralis Barat.
Dari tiori di atas, penulis
berpandangan logis dan tidak salah ketika melihat tujuan Masyumi dengan tidak
melupakan sosio-kultural masyarakat saat itu. Masyarakat Indonesia pada
masa menjelang kemerdekaan sampai sekarang mayoritas beragama Islam, pada waktu
itu sekitar 90 % orang Indonesia menganut agama Islam . Agama adalah alat
pemersatu yang sangat efektif untuk mendapatkan dukungan massa, terbukti ketika
para impralime masih berjaya di wilayah nusantara, isu agama dapat melahirkan
berbagai pergerakan yang kesemuanya ditujukan untuk menolak
kolonialisme-impralisme. Masyumi-pun tidak terlepas dari tujuan tersebut.
Jikalau-pun pada kemudian harinya juga diniatkan ikut berpartisipasi dalam
mewarnai bangsa, merupakan fasilitator dari aspirasi yang berkembang dari
kalangan umat Islam sendiri.
Berbicara masalah tujuan Masyumi,
pada permulaan dirasakannya kemerdekaan, perbedaan ideologi masing-masing
golongan untuk sementara tidak ditampakkan, hal ini wajar karena kemerdekaan
yang telah ada dalam genggaman harus tetap terjaga agar tidak terlepas. Begitu
juga Masyumi pada masa revolusi, sebagai partai yang berdasarkan Islam, yang
bertujuan “menegakkan Republik Indonesia dan Agama Islam” dan “melaksanakan
cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan” (pasal II). Dalam Anggaran Dasar pada
tahun awal pembentukan Masyumi ini, tidak dikemukakan suatu penjelasan akan hal
ini; suasana tidak memberikan kesempatan kepada partai ini untuk menguraikan
lebih lanjut. Konsentrasi lebih banyak difokuskan kepada menjaga kedaulatan,
kemudian pada tanggal 17 Desember 1945 mengeluarkan suatu program aksi bahwa
Islam “menghendaki kesejahteraan masyarakat….dan menentang kekejaman, kebuasan
serta kepalsuan kapitalisme dan impralisme”. Ke-ikut sertaan pihak Islam,
dalam hal ini Masyumi dalam usaha mempertahankan kemerdekaan, menurut Deliar
Noer yang mengutip perkataan Mohammad Sardjan (anggota pengurus besar Masyumi)
merupakan suatu upaya untuk mencapai sarana dalam penciptaan suasana yang
damai, tentram dalam menggapai tujuan hidup: “sujud dan berbakti kepadaNya”,
hidup yang “menyerahkan diri kepada Allah” berarti “hidup sesuai dan laras
dengan hukum-hukum Allah.” Pada umumnya, partai bermaksud “melaksanakan
cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan, hingga dapat mewujudkan susunan negara
yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan masyarakat yang berdasar keadilan
menurut ajaran-ajaran Islam”. Masyumi juga bermaksud “memperkuat dan
menyempurnakan dasar-dasar pada UUD RI…sehingga dapat mewujudkan masyarakat dan
negara Islam”. Hal ini dapat dilihat, pada tanggal 6 Juli 1947 Masyumi
mengeluarkan manifesto politik, Masyumi merasa berkewajiban memperkuat dan
mempertahankan dasar-dasar yang diletakkan dalam konstitusi negara.
Kemudian setelah penyerahan
kedaulatan penuh oleh Belanda, mobilasasi pergerakan partai-pun mulai
diserahkan pada angkatan muda. Pada tahun1952 dalam konggres ke-6 akhir
Agustus, Tafsir Asas yang menggariskan pendirian Masyumi secara dasar, baru
dapat terumuskan. Masyumi, yaitu : “memperjuangkan kalimah Allah” ,
“Terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang-seorang,
masyarakat, dan negara Republik Indonesia menuju keridho’an ilahi” (pasal:
III), Cita-cita ini hanya bisa tumbuh dalam ketertiban dan
keamanan.
Yang dituju oleh Islam ialah agar
agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan
masyarakat serta dinyatakan dalam ketatanegaraan, pemerintahan, dan
perundang-undangan. Tetapi …dalam soal-soal keduniaan, orang-orang diberi
kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dengan musyawarat bersama
seperti dinyatakan firman Tuhan: Dan hendaklah urusan mereka diputuskan dengan
musyawarat (Q.S 5:58).
Lebih lanjut di
jelaskan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut dibuatlah tafsiran Anggaran Dasar
(AD) dari pasal III tersebut, yang dijadikan usaha-usaha untuk
merealisasikannya, yaitu : 1. Menginsafkan dan memperluas pengetahuan dan
kecakapan umat Islam dalam perjuangan politik, 2. Menyusun dan memperkokoh
barisan umat Islam untuk berjuang dan mempertahankan agama dan kedaulatan
negara, 3. Melaksanakan kehidupan rakyat berdasarkan iman dan takwa,
pri-kemanusiaan, sosial, persaudaraan dan persamaan hak menurut ajaran Islam,
dan 4. Bekerja sama dengan golongan lain dalam lapangan perjuangan untuk
menegakkan kedaulatan negara. Ditemukan juga, bahwa Masyumi ingin mewujudkan
negara RI yang “Baldatun Thoyyibun Wa Robbun Ghoffur” , dengan tidak
meninggalkan kelompok minoritas selain Islam, hal inilah yang menjadi tawaran
dan jawaban bagi kelompok-kelompok yang menganggap Islam adalah sesuatu yang
perlu ditakuti.
Untuk memperkuat tujuan tersebut
juga disahkan program perjuangan partai, yaitu terbagi tujuh bagian : Pertama,
Kenegaraan. Masyumi memperjuangkan terbentuknya negara hukum menurut Islam
dengan bentuk Republik, dan lebih menyukai terbentuknya kabinet presidensial
dengan tanggung jawab kepala negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Negara hendaklah menjamin keselamatan jiwa dan benda setiap orang dan kebebasan
beragama. Hak-hak asasi manusia hendaknya dijamin dalam UUD. Kedua,
perekonomian hendaklah diatur menurut dasar ekenomi tertentu. Perencanaan
produksi dan distribusi penting untuk kesejahteraan rakyat selua-luasnya.
Monopoli oleh perusahaan swasta dilarang dan konkurensi hendaknya berifat
membangun. Koperasi harus dibangun dengan bantuan pemerintah. Politik harga dan
upah harus sesuai “dengan keadaan perekonomian dalam negeri”. Pemerintah harus
memberi perlindungan kepada para petani dengan memberantas pemerasan
terhadap mereka; menghapuskan sisitem tuan tanah menurut hukum dan membagi-bagi
tanahnya kepada petani; menghapuskan beban-beban yang tidak adil bagi petani.
Ketiga, keuangan. Masyumi menganggap perlu dikeluarkan undang-undang bank
(swasta pribumi dan asing), demikian pula politik kredit perlu diawasi
pemerintah. Sistem pajak harus tidak melampau kekuatan masyarakat. Keempat,
Sosial. Undang-undang sosial perlu disempurnakan dengan memperhatikan jaminan
sosial (kecelakaan, hari tua, penyakit, pengangguran). Buruh berhak mendapatkan
“upah sosial” di samping upah kerja, termasuk di dalamnya soal tanggungan
keluarga dan tanggungan masa tua. Kelima, pendidikan dan kebudayaan.
Sekolah swasta agama perlu diberi subsidi. Pengajaran rendah dan menengah
hendaknya dapat menumbuhkan keterampilannya disamping pengetahuan. Pendidikan
agama di sekolah pemerintah ditujukan untuk pemebentukan watak dan kepribadian
sehingga para pemuda menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab, berjiwa
kemasyarakatan, berdisiplin, dan berkesusilaan. Pemuda yang berbakat tapi tidak
mampu harus diberi beasiswa yang cukup. Pendidikan rohani diselenggarakan
menurut agama masing-masing. Keenam, politik luar negeri. Masyumi menentang
penjajahan dan menyokong setiap usaha untuk menghapuskannya. Ketujuh, Iriaan
Barat. Irian Barat tetap merupakan tuntutan nasional selama ia belum masuk
wilayah Indonesia. Tafsir Asas dan program perjuangan Masyumi ini berlaku
sampai partai ini di buabarkan.
B. Partai Masyumi di Pentas Nasional.
Sebelum melangkah pada bahasan
Masyumi di pentas nasional, terlebih dahulu dibahas konflik yang terjadi dalam
tubuh masyumi, karena hal ini dipandang mempengaruhi perjalanan, dan malah
memecah belah masyumi sebagai partai Islam terbesar di Indonesia. Masalah
keanggotaan dalam Masyumi kalau dilihat merupakan salah satu penyebab lahirnya
konflik tersebut. Perpecahan ini dinilai telah menyalahi deklarasi bersama
di Yogyakarta bulan November 1945, yang memutuskan Masyumi sebagai
satu-satunya partai bagi umat Islam. Hampir di setiap konggres masalah
keanggotaan ini selalu disinggung.
Keanggotaan dalam Masyumi terdiri
dari dua macam: pertama, perorangan dan kedua, organisasi. Anggota perorangan
minimum berumur 18 tahun atau sudah kawin: dan tidak dibenarkan merangkap
keanggotaan partai lain. Sedangkan keanggotaan organisasi (disebut anggota
istimewa) mempunyai hak untuk memberi nasehat atau saran, akan hal ini, Deliar
Noer mencatat, bahwa ide dualisme keanggotaan ini ditujukan untuk:
1. Didasari pertimbangan untuk memperbanyak anggota, dan
2. Agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat tanpa ada yang
merasa tidak terwakili.
Lebih lanjut, Deliar mengemukakan
bahwa kedua alasan tersebut dapat dimaklumi, tetapi apakah alasan tersebut
dapat meningkatkan kualitas dan kesadaran berpolitik bagi anggota. Beliau
mencontohkan, misalnya seorang anggota organisasi Muhammadiyah pada suatu ketika
bisa mengaku bahwa ia tergolong partai Masyumi hanya karena Muhammadiyah
menjadi anggota Masyumi, sedangkan apakah ia mengetahui dasar dan cita-cita
Masyumi tidak dipersoalkan. Pada hal, keadaan seperti ini penting bagi kekuatan
partai yang sebagian tergantung pada kesadaran anggotanya. Belum lagi adanya
pertimbangan; apabila Muhammadiyah bukan anggota Masyumi, bisa dimunggkinkan
jika anggota tersebut enggan untuk menjadi anggota Masyumi, apalagi jika
dikaitkan dengan anggota aktif, masih dalam tanda tanya.
Memang suatu organisasi yang telah masuk Masyumi, tidak secara
otomatis anggota dari organisasi tersebut dapat menjadi anggota Masyumi, namun
hal ini kalau ditinjau ulang, secara tidak langsung dapat mempengaruhi
loyalitas anggotanya terhadap partai. Permasalahan kenggotaan ini tidak
terbatas mempengaruhi keloyalitasan anggota namun juga berimbas pada
pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan. Sistem keanggotaan seperti
ini, mempunyai kelemahan yang tersembunyi yaitu sering menonjolnya semangat golongan
mengalahkan semangat persatuan dalam tubuh partai.
Dalam sejarah kepartaian umat Islam
Indonesia di masa kemerdekaan, tanpaknya keterikatan seseorang pada suatu
partai lebih sering ditentukan oleh kedudukan partai tersebut ditengah
pergolakan politik di Tanah Air. Bila kedudukan partai kuat, partai itu menjadi
pusat jala pumpunan ikan, bila tidak, orang pun menjauh dari padanya. Cita-cita
ukhuwah, loyalitas, seakan bergantung pada imbalan, apakah ini berbentuk materi
atau nonmateri. Imbalan nonmateri umpamanya mencakup soal kebanggaan, atau
keamanan diri.
Konflik yang terjadi dalam Masyumi,
tidak sebatas itu. Keluarnya 3 (tiga) organisasi Islam dari Masyumi yaitu
Perti, PSII, dan NU yang kemudian membentuk partai sendiri, juga ikut andil
dalam melemahkan posisi partai di pentas nasional. Muhammadiyah, Perti,
PSII, dan NU merupakan empat organisasi Islam yang pertama yang bergabung
kedalam Masyumi, namun untuk yang kedua sampai yang terakhir, mereka
mengudurkan diri dari keanggotaan Masyumi. Keluarnya ketiga organisasi ini
ditentukan oleh dua hal, yaitu ditentukan oleh kepentingan dan prinsip. Hal ini
tecermin dalam berbagai alasan yang dikemukakan, Perti mengundurkan diri
dan menjadi partai disebabkan, pertama, merasa kurang cocok dengan MIT (Majlis
Islam Tinggi - kemudian menjadi Masyumi) di Sumatera, oleh karena dominasi
kalangan modernis yang kurang memperhatikan perasaan dan aspirasi
kalangan tradisional di daerah itu. Posisi kelompok tradisional di rasa agak
ekslusif dibandingkan dengan kelompok modernis . Kedua, Para pemuka Perti
memandang demi untuk mempertahankan paham agama mereka, maka perlu melibatkan
Perti menjadi sebuah partai politik. Ketiga, Setelah kemerdekaan, ambisi para
pimpinan Perti lebih meningkat, dalam rangka mengembangkan Perti ke-lingkup
yang lebih luas yaitu menasional, jalan politik-lah dianggap paling cocok.
Kemudian pada tanggal 22 November dan di pertegas 22-24 Desember 1945, Perti
menjadikan organisasi mereka menjadi sebuah partai politik. Singkat kata, Perti
tidak saja sebagai organisasi agama tapi juga sebagai organisasi politik.
Berbeda dengan Perti, PSII dan NU
lebih disebabkan oleh kepentingan mereka yang tidak terpenuhi oleh Masyumi.
PSII, yang lahir dari SDI yang sering membanggakan diri sebagai partai yang
tertua di Indonesia, masuk kedalam Masyumi karena melihat Masyumi sebagai
satu-satunya partai yang dapat menyatukan umat Islam Indonesia. Namun
kesepakatan tinggal kesepakatan, ketika kepentingan tidak di hiraukan,
kesepakatan-pun mulai dilupakan. PSII melihat bahwa posisi mereka didalam
Masyumi hanya sebatas pelengkap, pandangan ini tercermin dalam ketidak puasan
PSII dalam kedudukan kedua tokoh mereka dalam tubuh partai, yaitu: Wondomiseno
dan Arudji Kartawinata (kecuali Abi Kusno), yang dipandang tidak berarti dalam
menentukan keputusan partai. Pada hal kedudukan kedua tokoh tersebut pada masa
penjajahan Belanda, mereka termasuk pimpinan PSII tingkat nasional.
Adapun alasan lain, kenapa partai ini didirikan kembali dan keluar dari Masyumi
adalah: Pertama, adanya ajakan Amir Sjarifudin (1947) kepada pihak Islam
untuk ikut serta dalam kabinet tersebut, namun ajakan tersebut ditolak oleh
Masyumi. Keputusan ini disebabkan karena Masyumi menganggap Amir
Sjarifuddin adalah orang PKI . Ideologi komunis harus dihindari karena sangat
bertentangan dengan agama Islam. Kiranya PSII telah terpengaruh dengan
ajakan tersebut: mereka bersedia duduk dalam kabinet yang dibentuk tersebut .
Kedua, PSII beranggapan bahwa Masyumi telah bersikap lunak dalam menghadapi
revolusi (khususnya Belanda). Memang, beberapa pimpinan Masyumi, seperti
Muhammad Roem dan Mohammad Natsir, turut dalam kabinet Sjahrir, dan dalam
perundingan dengan pihak Belanda menjalankan kebijakan pemerintah yang bagi
setengah pihak kelihatan bersikap lunak dan kompromistis. Pada hal sebenarnya
partai Masyumi sendiri tidak mensetujui kebijakan pemerintah tersebut.
Untuk itu PSII beranggapan bahwa Masyumi merupakan partai baru, yang kurang
merupakan partai sambungan partai-partai sebelum perang. Ketiga, adanya
desakan dari beberapa orang lama PSII di daerah yang mendesak para pimpinan
mereka dipusat untuk mendirikan kembali partai. Kemudian dalam suatu konferensi
partai di Banjarnegara di Jawa Barat tanggal 13 Juli 1947, yang diikuti oleh 20
cabang, mendudukung inisiatif para pimpinan partai untuk mendirikan kembali
PSII.
NU didirikan sebagai usaha untuk
mempertahankan ajaran tradisional dari mangkin menyebar luasnya paham pembaharu
(modernis) dalam Islam. Pada awal kemerdekaan, gelagat NU untuk bebas
dari Masyumi belum kelihatan, ini dianggap masuk akal karena setiap komponen
bangsa hanya terfokus dalam usaha untuk mempertahankan kemerdekaan. Setiap
keputusan-keputusan yang diambil partai masih dianggap keputusan bersama
dengan kesadaran keterikatan organisasi pada Masyumi. Yaitu untuk mengakui
Masyumi sebagai partai satu-satunya partai bagi umat Islam Indonesia, sesuai
dengan tekad tahun 1945. Setelah mulai jelas kepastian Belanda benar-benar akan
memberikan kemerdekaan kepada RI (1949), indikasi untuk bebas dari Masyumi
mulai muncul, alasan utama yang dijadikan kalangan NU untuk menarik diri dari
Masyumi adalah adanya keinginan untuk menjadikan Menteri agama dari golongan
NU, ketika itu, dalam pembentukan kabinet baru (17 Maret 1952) Parwoto Mangku
Sasmito dari Masyumi ditunjuk sebagai salah satu formatir pembentukan kabinet
tersebut . Setelah masalah ini di musyawarahkan dalam partai yang juga diikuti
oleh kalangan NU, permintaan itu-pun ditolak. dan selebih itu, alasan
lain adalah menginginkan Masyumi dibentuk menjadi badan federasi , permintaan
ini pun ditolak karena masyumi melihat, benar jika masyumi menjadi badan
federasi akan menjadi organisasi besar melebihi Masyumi ketika itu, akan tetapi
perpecahan dan perebutan kekuasaan juga akan mudah terjadi. Perkembangan
selanjutnya menggambarkan ke-tidak harmonisan hubungan antara Masyumi dan NU.
Kemudian pada tanggal 5 April 1952 pada rapat Pengurus Besar NU di Surabaya
mengambil keputusan keluar dari Masyumi, dan menjadikan NU sebagai salah satu
partai politik .
Bila diperhatikan sebab-sebab
berdirinya berbagai partai Islam itu, maka tanpak sekali bahwa cita-cita adanya
hanya satu partai tidak terwujud dalam kenyataan. Setengah kalangan Islam
menghubungkan soal ini dengan kurang atau lemahnya iman, keikhlasan, dan
persaudaraan dalam lingkungan umat sehingga berbagai faktor, seperti kursi,
kompetisi, dan ambisi, mudah menggoda. Tapi faktor perkembangan keadaan atau
sejarah, sifat-sifat pribadi serta psikologis tidak dapat diabaikan begitu saja.
Dan ini-lah yang namanya permainan dunia, hidup di alam yang nyata. Menanggapi
perpecahan yang terjadi dalam tubuh partai Masyumi, dalam hal ini, menurut
K.H.A. Sjaichu, yang dikutip oleh Syafii Maarif, mengatakan :
Memang dari cerminan kelemahan yang
disebabkan oleh dua faktor: (1) Umat masih belum memliki kepemimpinan yang
dapat diandalkan. Inilah salah satu sebab mengapa persatuan masih sering goyah;
(2) Sebagai konsekuensi logis dari faktor pertama, maka pemimpin-pemimpin umat
sering benar membuat keputusan-keputusan politik tanpa mempertimbangkan secara
mendalam danpak masa depannya bagi uamt secara keseluruhan….
Petimbangan-petimbangan politik jangka pendeklah yang banyak menentukan corak
tingkah laku politik pemimpin-pemimpin umat.
Pasca kemerdekaan, selain bangsa
dan umat Islam disibukkan perhatiannya kepada upaya untuk mempertahankan
kemerdekaan, juga dikejutkan dengan penetapan keputusan pada
tanggal 18 Agustus 1945 yang mengubah hasil sidang konstituante yang sebelumnya
telah disepakati termasuk juga didalamnya tujuh kata (Piagam Jakarta) dalam
pembukan UUD 1945. Pencoretan istilah-istilah Islam yang semula dicantumkan
dalam UUD 1945 secara tidak langsung menghapuskan kegelisahan suku bangsa
Indonesia bagian Timur terhadap UUD dengan sendirinya.
Dalam upaya mempertahankan
kemerdekaan dengan merebut kedaulatan penuh, bangsa Indonesia khususnya umat
Islam dalam hal ini Masyumi sebagai organisasi Islam memiliki andil terhadap
upaya tersebut. Sebagaimana yang dicatat Syafii Maarif , Masyumi mempunyai
prestasi gemilang terhadap usaha menolak impralisme dan merebut kedaulatan
penuh, prestasi ini dapat dilihat dalam perjanjian-perjanjian dan peran para
tokoh Masyumi untuk menggapai maksud tersebut. Sebut saja: perjanjian Linggarjati
(1946) dan perjanjian Renville (1947) yang dipandang banyak merugikan pihak
Indonesia. Akan prestasi ini Soekiman Wirjosendjojo menggambarkannya sebagi
berikut:
Dalam hubungan ini tidaklah dapat
disangsikan lagi bahwa Masyumi merupakan kekuatan yang telah mempertahankan
kemurnian cita-cita kemerdekaan, tidak dapat dibelokan oleh mereka, yang
memegang tampuk pimpinan negara, pada jalan-jalan yang menimpa dari tuntutan
jiwa patriotik bangsa Indonesia. Telah menolak perjanjian-perjanjian
Linggarjati dan Renville, yang dipelopori oleh mereka, yang sekarang (1959) ini
membanggakan dan menamakan diri golongan revolusioner-progresif…
Secara perpetahan politik lebih
lanjut Syafii membagi pergerakan dalam menyikapi perjanjian-perjanjian tersebut
menjadi dua golongan, pertama, kelompok kiri yang terdiri dari; PKI, Partai
Sosialis, Pesindo, dan partai Buruh, Kedua, kelompok Masyumi dan PNI. Dalam
menjalankan manuver politik guna menghadapi Belanda melalui
perjanjian-perjanjian tersebut kedua golongan ini berhadapan.
Politik golongan kiri dinilai
Masyumi dan PNI banyak melemahkan kedudukan Indonesia yang baru berusia muda
itu. Untuk kepentingan ini Masyumi dan PNI merupakan pilar sejarah penting bagi
Republik yang baru lahir itu, hal ini dapat diselusuri dalam kerja sama mereka
melakukan demontrasi di Yogyakarta di depan istana dengan menyorakkan anti Amir
Sjarifuddin, salah seorang tokoh puncak golongan kiri yang pada September 1948
mengarsiteki pemberontakan Madiun . Tidak hanya sampai disitu, kerjasama
dalam menentang pemberontakan PKI-pun Masyumi dan PNI melakoninya. Politik
korperasi ini dipandang logis dan wajar karena kedua partai memiliki kesamaan
dalam tujuan yaitu mempertahankan kemerdekaan dan menjaga integrasi bangsa.
Dari dalam tubuh Masyumi sendiri ketika itu dipimpin oleh kelompok Soekiman,
yang sedikit berbeda dalam kebijaksanaan politiknya dengan generasi sesudahnya
yang dikenal dengan kelompok Nastir. Kelompok Soekiman dilihat lebih dekat
hubungannya dengan pimpinan-pimpinan PNI dan presiden Soekarno, perbedaan dalam
Masyumi tersebut menurut Syafii, tidak pernah bertabrakan secara terbuka, dan
itu-pun masih dalam prinsip “berbeda dalam persatuan” atau “bersatu dalam
perbedaan” atau yang lebih dikenal dengan istilah Ukhuwah Islamiyah.
Prestasi lain yang telah dicapai
Masyumi dalam periode kritis tersebut, adalah Pernyataan Roem Royen (Roem-Van
Royen Statements) pada 7 Mei 1949 sebagai langkah pelicin bagi Konfrensi Meja
Bundar (KMB) yang membawa pengakuan kedaulatan terhadap Republik Indonesia
oleh kerajaan Belanda. Mohammad Roem (1908-1983) adalah salah seorang tokoh
Masyumi yang berhaluan moderat, tapi sangat dihormati kawan dan lawan. Tokoh
Masyumi lain yang juga dinilai ikut andil dalam mempertahankan kemerdekaan
ataupun memiliki peran penting dalam merebut kedaulatan bangsa yang
terintegrasi kedalam teritorial Republik Indonesia, yaitu Mohammad Natsir dan
Sjafruddin Prawiranegara, Nastir terkenal dengan “mosi integral”-nya dapat
mempersatukan bangsa. Sedangkan Sjafruddin pernah memimpin PDRI
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia) pada 1949 ketika itu Soekarno dan Hatta
ditangkap Belanda pada akhir agresi kedua. Jadi tidak salah jika
dikatakan bahwa prilaku politik Masyumi (dalam periode itu) hampir-hampir tanpa
cacat, ke-pemihakannya kepada martabat Republik Indonesia begitu jelas,
konsisten dan penuh perhitungan.
Setelah perang dunia ke-II
berakhir, bangsa-bangsa yang merahi kemerdekaannya pada umumnya banyak memilih
demokrasi sebagai sistem politiknya. Hal ini dapat dilihat dengan
diselenggarakannya pemilihan umum yang merupakan mekanisme politik yang inheren
dalam sistem tersebut, dan di bentuknya Majlis Konstituante adalah wujud dari
aspirasi rakyat yang terwakili melalui utusan-utusan di dalamnya guna
menyelesaikan urusan yang fundamental mengenai negara.
Seperti telah disinggung pada
bahasan sebelumnya, dengan adanya manifesto politik yang dikeluarkan oleh
pemerintah tentang dibolehkannya rakyat mendirikan partai guna menyambut pesta
demokrasi, masyarakat dari berbagai golongan-pun menyambutnya, namun secara
garis besar pemilu tersebut diikuti oleh tiga aliran, yaitu, Islam,
Nasionalisme, dan komunisme/sosialisme. Pemilu 1955 itu dilaksanakan sebagai
realisasi sistem demokrasi yang dianut di Indonesia. Pemilu awal direncanakan
akan dilaksanakan sebelum tahun 1950-an namun rencana tersebut belum juga
terealisasi . Hal ini karena, pertama, meletusnya perang mempertahankan
kemerdekaan lantaran belanda masih ingin melanjutkan penjajahannya,
sehingga rencana tersebut masih ditunda. Kedua, Pemilihan umum menjadi isu
politik yang penting dalam percaturan politik pada masa-masa itu. Dalam
masa-masa setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda hampir setiap kabinet yang
berkuasa menjanjikan atau merencanakan pemilihan umum sebagai program kerjanya,
kendatipun demikian pada akhir perjalanannya pemilihan umum lebih merupakan isu
politik dari pada program politik. Harapan dan penggarapan persiapan
pemilihan umum selalu tidak pernah sejalan, setiap kali mendapat rintangan.
Setelah suatu kabinet berkuasa pemilihan umum senantiasa di tunda-tunda tak
menentu. Seperti yang dicatat Bahtiar, yang paling penting yang menyebabkan
ditundanya pemilu adalah ketakutan para elite Negara dan partai, khususnya
mereka yang berasal dari kelompok nasionalis, bahwa pesta tersebut dapat
mengancam hubungan politik antara agama (Islam) dan negara yang sudah
didekonfessionalisasi seperti yang berlangsung saat itu. Politik
ketakutan terhadap nantinya perolehan suara yang didapatkan oleh pihak
Islam dapat mempengaruhi hubungan antara Islam dan Negara yang sebelumnya
dirasa telah dapat dijembatani, mulai menghantui dan memainkan perannya.
Lahirnya politik ketakutan (meminjam istilah Bahtiar) ini dipandang wajar,
karena Masyumi selaku partai Islam terbesar saat itu pada tanggal 24
Februari 1953 Majlis Syura Masyumi megeluarkan fatwa:
Bahwa pemilu untuk membentuk
parlemen dan konstituante adalah wajib hukumnya. Untuk kemenangan Islam dan
umatnya , maka wajib (fardhu) ‘ain hukumnya atas tiap-tiap muslim dan muslimat
yang mukallaf (dari segala golongan, kalangan dan tingkatan) untuk turut serta
berjuang dalam pemilihan tersebut. Karena persyaratan tersebut, fatwa Majlis
Syura mewajibkan kepada tiap-tiap muslim agar hanya memilih calon-calon yang
memperjuangkan dan mendukung cita-cita politik Islam.
Telepas dari adanya konfrontasi
diatas, pada tanggal 29 September 1955 sejumlah 37.875.299 dari yang berhak
pilih menurut pendaftaran sebanyak 43.104.464 berbondong-bong ketempat
pemilihan. Berarti bahwa 87, 65 % pemilih yang mempergunakan hak pilihnya
untuk memilih sedangkan 12,35 % tidak mempergunakan suaranya. Jadi jika di
lihat dari persentase mereka yang menggunakan hak pilihnya maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa bangsa Indonesia menginginkan perubahan, ketika itu dirasa
lemah dalam segala sendi kehidupan, baik itu ekonomi, keamanan, politik dan
lain sebagainya. Pemilu 29 September untuk memilih 257 anggota DPR, sedangkan
pada 15 Desember 1955 untuk memilih 514 anggota Konstituante. Pemilihan
umum pertama ini telah telah berhasil memetakan partai politik pada tiga aliran
ideologi politik baik di DPR maupun di Konstituante . Untuk lebih jelasnya,
dibawah ini dilampirkan Empat Besar perolehan suara yang didapat oleh partai
Masyumi dan partai-paratai lainnya:
Tabel I
Keseluruhan Perolehan Suara dan
Persentase Empat Besar Peserta Pemilu 1955 untuk DPR serta Peringkat Masyumi
No Daerah Pemilihan PNI Masyumi NU PKI Urutan
Masyumi Ket
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Jawa timur 2.251.069 22.8 1.109.742 11.2 3.370.554 34.1 2.299.602 23.2 Ke-4
2 Jawa Tengah 3.019.568 33.5 902.387 10.0 1.772.306 19.6 2.326.108 25.8 Ke-4
3 Jawa Barat 1.541.927 22.1 1.844.442 26.4 673.55.2 9.6 775.634 10.8 Ke.1
4 Jakarta Raya 152.031 19.6 200.460 26.0 120.667 15.7 96363 12.0 Ke-1
5 Sumatera Selatan 213.766 14.6 628386 43.1 115.938 7.2 176.900 12.1 Ke-1
6 Sumatera Tengah 42.558 2.7 797.692 50.7 71.959 4.6 90.513 5.8 Ke-1
7 Sumatera Utara 329.657 14.0 789.910 36.4 87.773 4.2 258.875 10.8 Ke-1
8 Kalimantan Barat 64.195 13.7 155.173 33.2 37945 8.1 8.526 1.8 Ke-1
9 Kalimantan Selatan 46.440 5.9 252.296 31.9 380.874 48.6 17.210 2.24 Ke-2
10 Kalimantan Timur 43.067 25.0 44.347 35.7 20.796 10.7 8.209 4.8 Ke-1
11 Sulawesi
Utara-Tengah 102..855 13.6 189.198 25.1 21.619 2.9 33.204 4.4 Ke-1
12 Sulawesi
Tenggara-Selatan 46.334 4.2 446.255 40.0 159.193 14.3 17.831 1.6 Ke-1
13 Maluku 30.218 9.1 117.440 35.4 4.792 1.4 Ke-1
14 Nusa tenggara Timur 65.027 5.8 157.972 13.9 17.684 1.6 5.008 0.5 Ke-3 Partai
Katholik (1) Parkindo (2)
15 Nusa Tenggara Barat 464.398 37.1 264.719 21.1 104.282 8.3 66.067 5.3 Ke-2
Jumlah Seluruh Indonesia 8.434.653 22.3 7.903.886 20.9 6.955.141 18.4 6.179.914 16.4 Ke-2
Masyumi dalam pemilihan anggota DPR
hanya mendapat 57 kursi, sedangkan di Konstituante Masyumi mendapatkan 112
kursi anggota, hal ini wajar karena porsi kursi bagi setiap peserta pemilu di
konstituante dua kali dari porsi yang ada di DPR. Rincian perolehan jumlah
kursi Masyumi di DPR dan Konstituante dapat dilihat pada Tabel II.
Tabel II
Keseluruhan Jumlah Suara dan Kursi
Pemilu 1955
Untuk DPR dan Konstituante
No Partai Suara di DPR Jumlah
Kursi Suara di Konstituante Jumlah Kursi
01 Partai Nasional
Indonesia 8.434.653 57 9.070.218 119
02 Masyumi 7.903.886 57 7.789.619 112
03 Nahdlatul Ulama 6.955.141 45 6.989333 91
04 Partai Komunis
Indonesia (PKI) 6.176.914 39 6.232.512 80
05 Partai Sarekat
Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 8 1.059.922 16
06 Partai Kresten
Indonesia (Parkindo) 1.003.325 8 988.81 16
07 Partai Katolik 7.70.740 6 748.591 10
08 Partai Sosialis
Indonesia (PSI) 753.191 5 695.932 10
09 Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 539.824 4 544.803 8
10 Persatuan Tarbijah
Indonesia (Perti) 483.014 4 465.359 7
11 Gerakan Pembela
Panca Sila (GPPS) 219.985 2 152.892 2
12 Partai Rakyat
Nasional 242.125 2 220.652 3
13 Persatuan Pegawai
Polisi Republik Indonesia (PPPRI) 200.419 2 179.346 3
14 Partai Murba 199.588 2 248.633 4
15 Partai Buruh 224.167 2 332.047 5
16 Partai Rakjat
Indonesia (PRI) 206.261 2 134.011 2
17 PRI Wongsonegoro 178.481 1 162.42 2
18 Partai Indonesia
Raya (PIR)-Hazairin 114.644 1 101.509 1
19 Persatuan Marhaen
Indonesia (Perinai) 149.287 1 164.386 2
20 Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) 178.4811160.456
21 Gerakan Rakyat Indonesia
(Gerinda) 154.792 1 157.976 2
22 Partai Persatuan
Daya 146.054 1 157.976 2
23 Partai Rakyat
Indonesia Merdeka (PRIM) 72.532 1 84.862 1
24 Angkatan
Kebangkitan Umat Islam Indonesia (AKUI) 81.532 1 84.862 1
25 Angkatan Communis
Muda (Acoama) 64.514 1 55.844 1
26 Partai persatuan
Tharekat Indonesia (PPTI) 85.131 1 74.913 1
27 Partai Rakjat Desa
(PRD) 77.919 1 39.278 1
28 R.Soedjono
Prawirosoedarmo dan Kawan-kawan 53.305 1 38.356 1
29 Gerakan Pilihan
Sunda (Gerpis) 18.227 - 35.035 1
30 Partai Tani Indonesia 33.894 - 30.06 1
31 Radja Keprabonan
dan Kawan-kawan 42.27 - 33.66 1
32 Gerakan Banteng RI 35.632 - 39.874 1
33 Partai Indonesia
Raja (PIR)-Nusa Tenggara Barat 33.457 - 33.823 1
34 Panitia Pendukung
Pencalonan (PPP) L.M. Idrus Effendi 46.835 - 31.988 1
Irian Barat 3 -
Jumlah 260 514
Pemilihan umum 1955 sungguh
mengecewakan Masyumi. Harapan untuk meraih suara mayoritas dengan dukungan umat
Islam Indonesia, ternyata tidak terwujud. Pridiksi awal yang menyatakan Masyumi
akan menang mutlak dalam pemilu hanya penghibur, lain dari realitas yang
didapat. Penomena tersebut, masuk akal, secara matematis, pridiksi awal
di peruntukkan setelah Masyumi di deklarasikan bersama sebagai satu-satunya
partai bagi umat Islam Indonesia, konsensus bersama tersebut dilakukan oleh
hampir semua organisasi yang berlabelkan Islam, baik itu didirikan sebelum
revolusi atau-pun pasca kemerdekaan. Pridiksi tersebut, juga tidak terlepas
dari pertimbangan; seperti di singgung pada bahasan sebelumnya, masyarakat
Indonesia mayoritas beragama Islam, yaitu mencapai 90%”, belum lagi adanya
pertimbangan telah mengakarnya keanggotaan Masyumi dalam lingkup nasional.
Pridiksi tersebut tidak berlaku lagi ketika perpecahan terjadi dalam Masyumi,
keluarnya beberapa organisasi dari tubuh partai yang dianggap telah menyalahi
konsensus bersama (1945), telah melemahkan kedudukan partai di pentas nasional,
kesatuan umat-pun retak.
Selepas diketahuinya hasil pemilu,
lahirlah Kabinet Ali-Roem-Idham (PNI-Masyumi-NU) menggantikan kabinet Burhanuddin
Harahap, tapi kabinet tersebut tidak berumur panjang, pada 14 Maret 1957 mandat
dikembalikan kepada presiden. Setelah Kabinet Ali-Roem-Idham lenyap dari
peredaran, dalam Majlis Konstituante masih berlangsung perdebatan sengit,
khususnya tentang dasar negara.
Yang mana sebelum masa revolusi
perdebatan akan hal ini telah muncul. Dalam sidang-sidang BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) kemudian berubah
menjadi PPKI, adapun anggota BPUPKI seluruhnya berjumlah 62 orang, kemudian
ditambah lagi hingga menjadi 68 orang, dari 68 orang anggota tersebut, hanya 15
orang (sekitar 20 persen) dari Nasionalis-Muslim yang benar-benar menyuarakan
kepentingan politik Islam, sedang mayoritas anggota (sekitar 80 persen) berasal
dari Nasionalis-Sekuler. Hal ini menunjukkan tidak berimbangnya kekuatan
politik antara kelompok Nasionalis-Muslim dengan Nasionalis-Sekuler dalam
keanggotaan BPUPKI. Pembahasan yang berlangsung meliputi; dasar
ideologi dan konstitusi negara, apakah Islam sebagai agama negara atau tidak,
apakah presiden harus seorang Muslim atau tidak, apakah negara harus memiliki
aparatur dan badan-badan yang relevan untuk menerapkan hukum Islam,
pembahasan-pembahasan ini berlangsung alot antara yang pro dan kontra yaitu meliputi
hubungan antara Islam dan Negara. Namun dalam perdebatan tersebut, pihak
Islam gagal dalam menawarkan praoduknya dalam sidang BPUPKI. Kegagalan
tersebut, menurut M. Dawam Rahardjo disebabkan oleh:
Para pemimpin Gerkan Islam “tidak
siap” untuk berbicara mengenai konsep kenegaraan menurut Islam. Agaknya, mereka
memang tidak memiliki ide tentang apa yang disebut “Negara Islam”. Karena itu,
ketika BPUPKI mempersilahkan sidang untuk mengajukan gagasan tentang
Filosofhische glonslagg bagi negara baru yang akan dibentuk, para pemimpin
gerakan Islam tidak mengajukan gagasan apa-apa yang kongkret tentang dasar
negara dan praktis menerima usulan Bung Karno mengenai Pancasila.
Lebih lanjut dawam menulis, gejala
lain yang menarik adalah, bahwa gerakan Islam tidak mengajukan konsep tandingan
yang kemudian yang dikenal dengan konsep “Negara Islam” itu. Namun walaupun
demikian, diambillah konsensus bersama, dengan mencantumkan dalam sila
Ketuhanan dan mukoddimah UUD diberi keterangan “dengan menjalankan syareat
Islam bagi pemeluk-pemeluknyanya” . Dan kemudian, tujuh kata tersebut, yang
lebih dikenal dengan istilah “Piagam Jakarta”, pada tanggal 18 Agustus 1945
dicoret, baik dalam pembukaan UUD maupun pasal 29 ayat 1. Istilah-istilah Islam
yang semula dicantumkan pada pasal UUD juga dihapuskan. Penghapusan yang
dilakukan oleh Soekarno tersebut, beralasan kepada demi menjaga persatuan.
Apabila Piagam Jakarta ini tidak dihapus, ditakutkan suku bangsa bagian Timur
akan keluar dari kesatuan Republik Indonesia.
Negara yang ingin kita susun dan
yang kita ingini ialah negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia. Kalau
kita dirikan negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang
penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya Maluku, Bali,
Flores Timur, Kai, dan juga Irian Barat yang belum masuk wilayah Indonesia
tidak akan mau ikut dalam Republik.
Untuk itu, disepakatilah sila
ketuhanan ditambah “Yang Maha Esa” dan sila ini diletakkan pada urutan
sila pertama, diharapkan agar dapat mewarnai sila setelahnya. Hasil yang
didapat ini, satu sisi dapat agak melegakan dan menghibur pihak Islam, yang
sebelumnya berambisi untuk menjadikan Islam sebagai dasar atau agama negara,
namun disisi lain hasil ini dipandang dapat mendiskriminasikan golongan lain
yang dalam hal ini non Islam. Kurang kuatnya argumentasi yang dikemukakan oleh
tokoh-tokoh Islam dalam sidang PPKI dalam mempertahankan Piagam Jakarta
berakibatkan dihapusnya tujuh kata (Piagam Jakarta) dalam pembukaan UUD
1945 dan dijadikannya Pancasila sebagai Ideologi Negara. Kemudian setelah
itu, perselisihan tentang hubungan Islam dan Negara, antara kelompok
Nasionalis dan Islam untuk sementara terjadi tidak terlihat, perbedaan ideologi
yang ada terlihat ditiadakan dan mampu mengembangkan hubungan yang relatif
harmonis. Kedua golongan memandang bahwa ada persoalan prioritas yang
memerlukan persatuan, yaitu menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang ingin
direbut kembali oleh pihak Belanda.
Dan pemilu pertama (1955)
dilaksanakan, Majlis konstituante-pun telah berhasil merampungkan 90% tugas
konstitusionalnya, namun terganggu dengan perdebatan panas khususnya tentang
dasar negara . Perdebatan yang sebelumnya telah terjadi, kembali
dikemukakan. Permasalahan ini muncul kembali, bagi pemimpin-pemimpin
Islam, mengingat:
Pertama, mereka melihat dasar
ini sebagai masalah yang mereka janjikan selama kampanye pemilihan umum tahun
1954 dan 1955. Kedua, mereka melihat Konstituante sebagai forum tiap kelompok
atau fraksi perlu mengungkapkan dasar dan cita-cita mereka sendiri, dan
membicarakannya dengan kawan atau juga dengan lawan-lawannya didalam sidang.
Walau orang lain tidaka akan menerima cita-cita atau ajaran ini.
Sekurang-kurangnya kewajiban menyampaikan telah terpenuhi. Tentu perlu kompromi
dalam batas-batas tertentu; tetapi kompromi akan lebih mudah tercipta bila
kedudukan tiap kelompok telah jelas. Lagi pula penyelesaian akhir terletak pada
soal pemungutan suara. Ketiga, forum Konstituante dilihat oleh para pimpinan
Islam sebagai forum dakwah untuk menyampaikan kepada orang-orang konstituante
serta diluarnya apa yang sebenarnya dimaksud oleh Islam dalam hubungannya
dengan masyarakat dan politik .
Alasan diatas juga diamini oleh
Dawam Rahardjo;
Apalagi dalam alam Demokrasi
Liberal, itu semua merupakan hak-hak positip yang sah. Adalah lebih baik
memperjuangkan prinsip-prinsip Islam secara demokratis, dari pada melalui jalan
kekerasan di luar sistem politik yang berlaku. Disini para tokoh gerakan Islam,
khususnya Masyumi, merasa memiliki nilai-nilai demokrasi yang mereka junjung
tinggi itu, sebagai orang modern.
Berdasarkan pertimbangan diatas,
pihak Islam dalam sidang konstituante kembali memperjuangkan cita-cita mereka,
namun terbentur dengan kekalahan. Seperti yang dicatat oleh Syafii Maarif ada
dua tokoh dari Masyumi yang telah banyak mengeluarkan tentang tiori negara
Islam dan banyak ditulis oleh para penulis modernis Indonesia, sebelum atau
sesudah perang II , yaitu: Natsir dan Zainal Abidin Ahmad, keduanya diantara
pimpinan puncak Masyumi . Namun, menurut Syafii, tiori-tiori tersebut masih
kurang mendalam. Gagasan mengenai negara Islam atau ideologi Islam, seperti
yang pernah diperjuangkan dengan gigih oleh para pemimpin dan aktivis Islam
politik terdahulu, hanyalah “sesuatu bentuk kecendrungan apologetik”.
Selebih itu, menurut Dawam, kengototan pihak Islam juga dilhami oleh
Pakistan yang menamakan diri sebagai sebuah negara Islam. Konsep ini pada
dasawarsa 1950-an dapat dinilai sebagai konsep yang paling maju dan paling modern
di Dunia Islam. Akan hal ini Natsir berkata:
Tidak diragukan lagi Pakistan
adalah sebuah negeri Islam karena penduduknya dan karena pilihan sebab ia
menyatakan Islam sebagai agama negara. Begitu juga Indonesia adalah sebuah
negeri Islam karena fakta bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia,
sekalipun dalam konstitusi kami dengan tidak tegas dinyatakan sebagai agama
negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan.
Bahkan ia telah menaruhkan kepercayaan tauhid (monotheistic belief) kepada
Tuhan pada tempat teratas dari Pancasila – Lima Prinsip yang dipegang sebagai
dasar etik, moral dan spiritual negara dan bangsa.
Namun untuk kedua kalinya Masyumi
bersama partai-partai Islam lainnya, akan hal ini mengalami kegagalan. Perjuangan
melalui jalur konstitusi tidak berhasil, malah pada 5 Juli 1959, Dekrit
Presiden dikeluarkan, Majlis Konstituante-pun dibubarkan. Pembubaran ini,
merupakan akibat dari hukum kausalitas, Sukarno melihat, jika masalah dibiarkan
berlarut-larut, maka tidak ada penyelesaiannya kecuali mengambil tindakan
tegas, yaitu pembubaran.
Dengan memasuki pertengahan 1959,
maka telah memasuki masa Demokrasi Terpimpin ala ciptaan Soekarno. Dalam Majlis
Konstituante, partai-partai Islam pada umumnya dapat menggalang kekompakan
sesama mereka, khususnya pada waktu memperjuangkan Islam atau Pancasila ala
Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Tapi di DPR atau ditempat lobi yang lain,
partai-partai Islam belum tentu mempunyai bahasa yang sama dalam menilai
perubahan politik yang berlangsung. Pihak liga Muslim (NU, PSII, dan Perti)
mangkin lama mangkin mengendorkan sikap politiknya terhadap move Soekarno,
sebaliknya Masyumi yang sudah mangkin terpencil tetap saja meneruskan
perlawanan terhadap gagasan dan pelaksanaan Demokrasi terpimpin. Dimata
Masyumi sistem Demokrasi terpimpin akan membawa bencana bagi bangsa dan negara.
Karena itu move Soekarno harus dilawan apa-pun akibatnya. Semangat inilah yang
diistilahkan Syafii sebagai “idealisme martir” .
Harapan Masyumi bahwa rakyat akan
berpihak kepada demokrasi, tidak kepada sistem otoriter, ternyata sia-sia.
Masyumi-pun di depan Soekarno dianggap sebagai perintang yang harus
disingkirkan, propoganda-pun mulai dikeluarkan oleh soekarno dan golongan yang
tidak senang terhadap Masyumi. Mulai dari istilah “Kepala Batu” sampai tuduhan
sebagai gerakan sparadis-pun mulai ditujukan kepada Masyumi dan Para
tokoh-tokohnya. Perkembangan selanjutnya pada 17 Agustus 1960,
dikeluarkan pengumuman keputusan Presiden No.200/1960 tentang pembubaran partai
Masumi. Maka pada 13 September 1960, Pimpinan Partai Masyumi menyatakan
partainya bubar untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam keputusan-keputusan
presiden. Hilangnya Masyumi dan PSI dari peralatan sejarah moderen Indonesia,
dapat diartikan sebagai robohnya pilar-pilar demokrasi dan merapuhnya Indonesia
sebagai negara hukum yang dengan gigih diperjuangkan oleh mendiang kedua partai
tersebut.
0 Response to "Makalah Partai Masyumi di Pentas Politik Indonesia"
Post a Comment