Makalah Pengertian, Syarat dan Hukum Gadai dalam Fiqh
MAKALAH PENGERTIAN,
SYARAT DAN HUKUM GADAI DALAM FIQH ISLAM
A. Pengertian
Gadai
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gadai adalah pinjam meminjam uang
dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika
telah sampai saat waktunya tidak ditebus barang menjadi hak yang memberi
pinjaman. Atau kredit jangka pendek dengan jaminan yang berlaku tiga bulan dan
setiap kali dapat diperpanjang apabila tidak di hentikan oleh salah satu pihak
yang bersangkutan.
Dalam
hukum menurut BW benda yang dapat ditanggungkan sebagai gadai ialah hanya benda
bergerak. Lain halnya dalam hukum adat di perkenankan benda tetap sebagai
gadai, pada umumnya gadai terdapat sawah, tegalan, rumah. Akan tetapi dalam
hukum ini syaratnya barang harus ada di tangan kreditur, pemegang gadai
diperkenankan memungut hasil dari benda itu hingga saat pembayaran pinjaman.
Dengan pengertian bahwa gadai baru dikembalikan, bilamana kreditur telah
memperoleh hasilnya, artinya panen dari apa saja yang ditanamnya telah
berakhir, walaupun sebelum itu telah dibayar lunas. Perlu digaris bawahi disini
bahwa gadai berupa benda bergerak, didalam hukum adat hal ini juga lazim.
Menurut
istilah bahasa Arab "gadai" diistilahkan dengan rahn, dan dapat juga
dinamai dengan "al-habsu. Secara estimologis (artinya kata) rahn berarti
"tetap atau lestari" berarti penahanan. Pasaribu dan K Lubis
(2004:139) menjelaskan bahwa :
Dalam
peristiwa sehari-hari pihak yang mengadaikan disebut dengan "pemberi
gadai" dan yang menerima gadai disebut penerima atau pemegang gadai.
Perjanjian gadai adalah merupakana perjanjian kedua pihak (bersegi dua) namun
demikian dalam pratik, perjanjian gadai ini sering juga terlibat tiga pihak,
yaitu "orang yang berutang" (debitur), "pemberi gadai"
yaitu orang yang menyerahkan benda yang dijadikan obyek perjanjian gadai serta
"orang yang berpiutang" atau "pemegang gadai" (kreditur).
Dari
paparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa gadai adalah sutau hak yang
diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh
seorang debitur atau oleh seorang lain atas nama debitur, dan memberikan
kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut dan
didahulukan dari kreditur-kreditur lainya. Seperti isi dari definisi pasal 1150
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dapat diambil beberapa unsur pokok
sebagai berikut :
1.
Gadai
lahir karena penyerahan kekuasaan atas barang gadai kepada kreditur pemegang
gadai.
2.
Penyerahan
itu dapat dilakukan oleh debitur pemberi gadai atau orang lain atas nama
debitur.
3.
Barang
yang menjadi obyek gadai atau barang gadai hanyalah barang bergerak.
4.
Kreditur
pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari barang gadai lebih dahulu
dari pada kreditur-kreditur lainya.
Unsur
yang pertama menunjukkan bahwa gadai merupakan perjanjian riil. Yang dimaksud
perjanjian riil ialah di samping kata sepakat diperlukan sutau perbuatan yang
nyata. Penyerahan dilakukan pemberi gadai atau orang ketiga atas nama debitur
dan ditujukan kepada pemegang gadai, akan tetapi pasal 1152 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata memperbolehkan peyerahan itu ditujukan kepada orang
lain yang disetujui kedua belah pihak.
Lain
halnya dalam pasal (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata melarang penguasaan
barang gadai oleh debitur atau pemberi gadai lainya, dengan ancaman batalnya
gadai. Yang terakhir bahwa kreditur pemegang gadai mempunyai hak mendahului.
Hak
gadai yang dimaksud diatas timbul dari perjanjian yang mengikuti perjanjian
pokok yaitu perjanjian utang piutang. Dari hubungan hukum utang piutang inilah
pihak yang berutang (debitur) memberikan hak gadai kepada pihak yang berpiutang
(kreditur) sehingga menimbulkan hukum gadai. Hubungan ini mengakibatkan
perikatan di antara penerima gadai dan pemberi gadai yang berupa hak dan
kewajiban timbal balik seperti yang diatur dalam pasal 1150 sampai dengan 1160
Kitab Undang-Undang Hukum perdata.
B. Syarat
dan Dasar Hukum Gadai
a. Dasar hukum
Hukum
Islam dalam hal ini menjaga kepentingan debitur juga menjaga kepentingan
kreditur. Agar keduanya saling percaya syariat Islam membolehkan memintai
barang dari sipengutang sebagai jaminan bagi utangnya agar keduanya merasa
tenang. Dan apabila tidak mampu melunasi utangnya maka barang tersebut dapat
dijual.
Menyangkut
perjanjian gadai ini dalam syariat Islam dihukumkan sebagai perbuatan yang jaiz
atau dibolehkan, baik menurut ketentuan Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma’ Ulama.
Dasar
hukum dibolehkanya gadai dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh (2)
ayat 283 sebagai berikut :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا
كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا
الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
b. Rukun dan syarat sahnya perjanjian
adapun yang menjadi rukun gadai ini adalah :
1. Adanya
lafaz, yaitu pernyataan ada perjanjian gadai.
2. Adanya
pemberi gadai dan penerima gadai.
3. Adanya barang yang digadaikan.
4. Adanya
utang.
Dalam hal
ini lafaz dapat dilakukan dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis atau lisan,
asalkan didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai dintara kedua
belah pihak.
Dalam
menempatkan rukun gadai para Ulama berbeda pendapat. Menurut Ulama Hanafiah,
rukun gadai adalah ijab qobul dari pengadai dan penerima gadai segabaimana akat
lain. Akan tetapi akat dalam gadai (rahn) tidak sempurnya sebelum adanya
penyerahan barang.
Menurut Ulama selain Hanafiah rukun
gadai (rahn) ada empat yaitu, siqot, akid, (orang yang akat), marhun, dan
marhun’bih.
Siqot
akat biasa disebut ijab qobul adalah suatu perbuatan atau peryataan untuk
menunjukan suatu keridhoan dalam berakat dintara dua orang aatu lebih, sehingga
keluar atau terhindar dari ssuatu ikatan yang dilarang berdasarkan syara’.
Azhar Basyir (1993:42) menyebutkan bahwa akat terjadi diantara dua pihak dengan
suka rela dan menimbulkan kewajiban atas masing-masing secara timbal balik.
1. Akad
Akad
adalah sutau perikatan antara ijab dan qobul dengan cara yang dibenarkan syara’
yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah
pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yag diinginkan sedangkan qobul
adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Syarat siqod yang dikemukakan
oleh Ulama Hanafiah. Yaitu bahwa siqod dalam gadai (rahn) tidak boleh memakai
syarat atau dikaitkan dengan sesuatu, hal ini karena sebab sebab rahn adalah
jual beli. Adapun menurut Ulama selain Hanafiah, syarat dalam gadai (rahn) ada
yang sahih dan yang rusak. Pendapat mereka mengenai syarat yaitu :
a. Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam gadai ada tiga :
1.
Syarat
sahih, seperti mensyaratkan murtahin cepat membayar sehingga harta jaminan
tidak disita.
2.
Mensyaratkan
sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan
jaminan diberi makanan tertentu, syarat seperti ini batal tetapi akadnya sah.
3.
Syarat
yang merusak akat, seperti sesuatu yang merugikan muetahin.
b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat gadai
(rahn) ada dua yaitu rahn sahih dan rahn fasid rahn sahih yang mengandung unsur
kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan, sedangkan rahn fasid adalah
mengandung unsur persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau
dipalingkan pada sesuatu yang haram. Seperti mensyaratkan barang harus berada
dibawah tanggung jawab rahin (sipenggadai).
2. Akid
(penggadai dan penerima gadai)
Pernjanjian
gadai dipandang sah apabila keduanya memenuhi kriteria ahliyah. Menurut Ulama
Syafi’iyah ahliyah yaitu orang yang telah sah untuk jual beli yaitu berakal dan
mumayiz. Dan orang yang masih dalam perlindungan apabila sudah mumayiz, atau
orang yang bodoh boleh melakukan rahn, karena gadai tidak disyaratkan baliq akan
tetapi hal ini harus seizin walinya dengan alasan sebagai berikut :
a.
Ada
keperluan mendesak yang harus menggadaikan sesuatu seperti memenuhi kebutuhan
pokok makan, sandang, dan pendidikan.
b.
Ada
keuntungan materiil yang lain yang bisa diperoleh dalam perwaliyan tersebut.
3. Marhun (barang yang digadaikan)
Marhun
adalah barang yang dijadikan jaminan. Para Ulama Fiqih sepakat bahwa
mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual beli, sehingga
barang tersebut dijual untuk memenuhi hak murtahin.
Ulama Syafi’iyah mensyaratkan marhun sebagai
berikut :
a.
Penggadai
mempunyai hak kuasa atas barang yang digadaikan.
b.
Yang
digadaikan ialah barang, maka tidak sah menggadaikan manfaat berupa penempatan
rumah dan macam-macam lainya yang bukan barang.
c.
Barang
yang digadai suci, tidak sah menggadaikan barang najis.
d.
Yang
digadaikan bukan barang yang cepat rusak, padahal tempo pembayaranya lama.
e.
Barang
gadaian dapat dimanfaatkan secara syara’ sekalipun pada masa akan datang.
4.
Marhun
bih (utang)
Marhun
bih adalah hak yang diberikan rahn, syarat utang tersebut benar-benar dan tetap
menjadi tanggungan rahin, yaitu telah diketahui oleh masing-masing pihak yang
melakukan gadai.
Ulama Hanafiah mengemukakan beberapa syarat
marhun bih sebagai berikut :
a.
Marhun
bih hendaklah barang yang wajib diserahkan. Menurut selain Ulama Haafiah marhun bih hendaklah yang berupa utang yang kepada orang yang menggadaikan.
b.
Marhun
bih dimungkinkan dapat dibayarkan. Jika marhun bih tidak dapat dibayarkan gadai
menjadi tidak sah, sebab menyalahi maksut dan tujuan dari syarat rahn.
c.
Hak atas
marhun bih harus jelas dengan demikian tidak boleh memberikan dua marhun bih
tampa dijelaskan utang mana yang menjadi gadai.
Menyangkut
adanya utang , bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang tetap, dengan
perkataan lain utang tersebut bukan merupakan utang yang berubah-ubah, sebab
adanya utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut
sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedagakan perbuatan riba
ini bertentangan dengan ketentuan syariat Islam.
C. Prosedur
Gadai
Prosedur
gadai ialah tata cara melakukan proses gadai bermula dari proses penyerahan
benda gadai kepegadaian sampai pelunasan pembayaran utang. Menurut pasal 1150
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, agar tidak terjadi kelalaian melunasi utang.
Maka siberutang harus menyerahkan benda tanggungan utang kepada piutang,
penyerahan ini merupakan syarat mutlak karena penyerahan benda bergerak
dilakukan secara tidak nyata. Tidak hanya peryataan pemberi gadai sebagai
syarat mutlak perjanjian gadai.
Prosedur Gadai
1.
Nasabah
membawa barang atau benda gadaian kekantor perum pegadaian. Dalam hal ini
nasabah membawa benda bergerak kemudian menyerahkan benda tersebut untuk
ditaksir juru taksir untuk menentukan harga supaya bisa mendapatkan kredit
pinjaman utang dari perum pegadaian.
2.
Penaksiran.
Setelah
benda dibawa kekantor pegadaian maka juru taksir akan memeriksa, meneliti benda
yang di bawa tersebut, sehingga layak atau tidak untuk menerima kredit.
Kemudian penaksir akan menaksir benda tersebut berdasarkan harga pasar yang
berlaku saat ini. Debitur akan menerima bukti penerimaan kredit (SBK) yang
dapat dijadikan bukti apabila debitur melakukan pelunasan utang dan pengambilan
barang. Setelah itu debitur menunggu untuk mendapatkan panggilan dari kasir
untuk menerima kredit.
Selanjutnya
kasir akan memanggil dan memberikan kredit dengan syarat debitur menunjukan
surat (SBK) atas barang jaminan tersebut.
0 Response to "Makalah Pengertian, Syarat dan Hukum Gadai dalam Fiqh"
Post a Comment